• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Agama dalam Struktural Fungsional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Agama dalam Struktural Fungsional"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Peran Agama dalam Struktural Fungsional terhadap

Adaptasi Etnik Pendatang

Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten

Bogor

Oleh: Kelompok 191

PENDAHULUAN

Latar

Belakang

Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan budaya dan etnik. Etnik di Indonesia menurut Sjaf (2012) sejumlah 761 etnik, tidak heran Indonesia disebut bangsa yang heterogen. Pembagian kelompok suku atau etnik di Indonesia pun tidak mutlak dan tidak jelas akibat perpindahan penduduk dan percampuran budaya. Sebagai contoh sebagian pihak berpendapat orang Banten dan Cirebon adalah suku tersendiri dengan dialek yang khusus pula, sedangkan pihak lainnya berpendapat bahwa mereka hanyalah sub-etnik dari suku Jawa secara keseluruhan. Demikian pula Suku Baduy yang menganggap mereka sebagai bagian dari keseluruhan Suku Sunda.

Hampir di seluruh etnik atau kebudayaan tertentu mengenal adanya stratifikasi, seperti di masyarakat etnik Sunda dan Jawa. Kedua etnik ini cukup tinggi stratifikasinya, terlihat dari bahasa yang mereka gunakan memiliki tingkatan-tingkatan tertentu. Hal inilah yang memicu terjadinya pelapisan masyarakat atau biasa disebut dengan stratifikasi sosial. Masyarakat terbagi ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Perwujudan dari stratifikasi sosial adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah di dalam masyarakat. Dasar dan inti lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban, kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat. Adanya etnik minoritas dan mayoritas, turut mendukung terbentuknya stratifikasi sosial pada masyarakat. Seringkali stratifikasi sosial yang terjadi ini menimbulkan gesekan-gesekan yang berujung pada konflik. Meskipun banyak terjadi konflik, namun di daerah-daerah yang masyarakatnya sudah terbiasa dengan kehidupan masyarakat yang heterogen kehidupan mereka tetap harmonis. Masing-masing orang berusaha untuk menghindari konflik meskipun seringkali ada gesekan-gesekan yang sering terjadi, hal ini digambarkan dalam perubahan sosial sebagai teori struktural fungsional.

Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor menurut Abdurachman (2011) memiliki sembilan desa, yaitu: Desa Cigombong, Desa Watesjaya, Desa

(2)

Tugujaya, Desa Ciburuy, Desa Srogol, Desa Cisalada, Desa Ciadeg, Desa Ciburayut, dan Desa Pasirjaya dan dengan 21.562 kepala keluarga. Kecamatan Cigombong memiliki penduduk yang cukup banyak dimana jumlah penduduk pada akhir desember 2010 adalah sebesar 82.042 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak 41.848 jiwa dan perempuan sebanyak 40.194 jiwa. Sedangkan untuk angkatan kerja penduduk terdiri dari 50.519 jiwa termasuk dalam usia produktif dan 16.580 jiwa termasuk dalam usia tidak produktif dengan rata-rata kepadatan penduduk sebesar 1.270,76 Jiwa/Km2 serta rata-rata penyebaran penduduk sebesar 580 jiwa/km2. Kecamatan Cigombong cukup berkontribusi dalam sektor tanaman pangan, beberapa desa seperti Desa Ciburuy, Desa Pasir Jaya, dan Desa Srogol mata pencaharian masyarakatnya masih pertanian. Mayoritas penduduk di Kecamatan Cigombong bekerja di bidang pertanian yaitu sebanyak 10.680 jiwa yang terdiri dari 4.800 jiwa pemilik tanah, 2.130 petani atau penggarap, dan 3.750 buruh tani. Penduduk lainnya kebanyakan bekerja sebagai buruh pabrik, buruh bangunan, pedagang, pengemudi, pengrajin, dan pegawai negeri sipil. Adanya buruh pabrik yang mengindikasikan mulai menggeliatnya sektor industri dan kemungkinan adanya pendatang-pendatang sehingga mulai bercampur baurnya etnik-etnik yang berbeda.

Rumusan Masalah

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang heterogen atau bangsa majemuk, oleh karena itu semboyan Bhineka Tunggal Ika sangat cocok dengan kondisi yang ada di negara ini. Biasanya daerah tertentu memiliiki ciri khas sendiri yang berbeda dengan daerah lain. Sehingga kita perlu mengetahui bagaimana kondisi umum Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor?

Selain itu biasanya daerah tertentu kental dengan etnik tertentu juga. Namun berbeda dengan wilayah-wilayah kawasan urban, daerah wisata, daerah tujuan transmigrasi, daerah penyangga ibukota dan tentunya daerah ibukota sendiri yang sudah banyak kaum pendatang yang berdatangan. Daerah-daerah ini biasanya memiliki penduduk dengan etnik yang lebih beragam pula. Salah satu daerah wisata, tempat pelesiran adalah Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Lebih spesifik lagi di Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, sekilas masih terlihat dominasi etnik sunda, namun kita perlu mengetahui beberapa hal tentang kondisi etnik yang terdapat di latar belakang tersebut. Bagaimana karakteristik etnik di Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor (jenis-jenis etnik, sejak kapan ada di wilayah tersebut, latar belakang etnik, dan dominasi etnik)?

Etnik tertentu seringkali juga selalu mencegah terjadinya konflik diantara etnik itu sendiri maupun antar etnik yang berbeda di suatu wilayah yang mereka tempati bersama. Teori yang menggambar hubungan yang selalu mencegah terjadinya konflik adalah struktural fungsional. Oleh karena itu, perlu melihat bagaimana struktural fungsional yang terjadi dalam satu etnik maupun yang berbeda etnik di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor?

Tujuan

(3)

1. Mendeskripsikan keadaan umum Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor.

2. Mengidentifikasi etnik-etnik yang berada di Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor (jeni-jenis etnik, sejak kapan ada di wilayah tersebut, latar belakang etnik, dan dominasi etnik).

3. Menganalisis etnik-etnik yang ada di Kecamatan Cigombong dengan teori struktural fungsional.

METODE PENELITIAN

Metodologi yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah melalui data primer yang diperoleh dengan pengamatan langsung, wawancara mendalam terstruktur, serta studi literatur. Selain itu, data juga diperoleh melalui data sekunder yakni dari berbagai referensi. Pengamatan langsung dilakukan secara sistematik terhadap aktivitas yang menjadi fokus perhatian tulisan ini. Pencatatan hasil dilakukan dengan bantuan alat rekam elektronik dan foto. Wawancara mendalam berstruktur atau wawancara yang menggunakan panduan pertanyaan secara teratur. Studi literatur dilakukan untuk mendapatkan data sekunder sebagai pendukung dalam penelitian. Studi literatur ini juga dilakukan untuk memperkuat konsep-konsep yang akan digunakan untuk melihat fenomena yang ada di lapangan.

PEMBAHASAN

Gambaran Umum Desa Tugu Jaya

(4)

disebut-sebut sebagai desa yang paling luas di antara desa-desa lain yang berada di Kecamatan Cigombong. Jumlah Rukun Tetangga (RT) desa ini adalah 44 orang dengan 3.512 rumah tangga. Desa yang memiliki 11 Rukun Warga (RW) ini, terletak 2 km dari pusat pemerintahan Kecamatan Cigombong, 60 km dari ibu kota kabupaten, dan 125 km dari ibu kota provinsi. Desa Tugu Jaya adalah desa yang sejuk karena belum terlalu banyak kendaraan yang melintas, terlebih lagi tidak ada angkutan umum yang masuk desa ini, mobilitas di desa hanya menggunakan ojeg. Suhu rata-rata di desa adalah 25-330C dengan curah hujan 250-550 mm/thn dan terletak di ketinggian 500-700 Mdpl di atas permukaan laut.

Data kependudukan di desa ini sudah cukup baik, sudah ada data yang lengkap namun belum diketahui data ini diambil pada tahun berapa. Menurut data monografi desa jumlah keseluruhan penduduk Desa Tugu Jaya adalah 13.228 orang, dengan didominasi oleh penduduk usia produktif dengan jumlah mencapai 8.887 jiwa. Selain itu, jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari perempuan yaitu 6.785 jiwa sedangkan perempuan 6.443 jiwa. Menurut data monografi desa, mata pencaharian warga Desa Tugu Jaya lebih banyak di bidang peratanian dibandingkan dengan non pertanian. Jumlah warga yang bekerja di bidang pertanian sejumlah 3.041 jiwa, dengan rincian pemilik tanah sejumlah 1.420 jiwa, petani penggarap 1.234 jiwa, dan buruh tani 387 jiwa. Selanjutnya pekerjaan kedua terbanyak adalah buruh industri, menurut data monografi jumlah buruh industri di desa ini ada 1.234 orang. Menurut cerita kepala desa dan masyarakat setempat, buruh industri ini bekerja di pabrik-pabrik garmen yang terletak di kampung Benteng yang masih berada di kawasan Desa Tugu Jaya. Masyarakat yang bekerja di pabrik garmen ini kebanyakan anak-anak muda dan sebagian ibu-ibu. Sedangkan bapak-bapak di desa ini bekerja serabutan, mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap. Seperti Bapak Cepi yang rumahnya kami tempati, bapak ini dapat mengerjakan berbagai macam pekerjaan. Beliau sering dimintai tolong untuk membenarkan listrik yang konslet ataupun memasang listrik rumah yang baru selesai dibangun. Selain itu, beliau juga sering diminta untuk membetulkan barang-barang elektronik yang rusak, seperti mesin cuci. Selain itu, menurut salah satu ketua RT dan RW bapak-bapak di desa ini juga banyak yang menjadi kuli bangunan dan buruh di pabrik bata. Pekerjaan di pabrik bata dapat dilakukan sendiri-sendiri atau dikerjakan kelompok. Jika dilakukan sendiri, artinya dia menjadi buruh tetap dan dibayar per minggu, sedangkan jika ia mengerjakan per kelompok bayarannya dihitung per-bata yang dapat dihasilkan. Dahulu sebelum banyak pabrik garmen, Desa Tugu Jaya dikenal sebagai penghasil tuak dan aren. Namun, saat ini kondisi desa sudah berubah banyak para petani aren dan tuak yang beralih profesi menjadi buruh. Hal ini karena lahan penghasil tuak dan aren ini telah beralih fungsi menjadi perumahan yang dikelola oleh warga pendatang.

(5)

sekolah dasar yang bernama SD Cipetir, dan dua buah SMP/ MTs yang bernama SMP PGRI dan MTs. Miftahul Aziz. Mereka yang melanjutkan pendidikan sampai ke SMA maupun sampai perguruan tinggi adalah mereka yang pergi merantau. Kehidupan politik di desa ini cukup baik, masyarakat cenderung tidak apatis. Pada saat pemilihan kepala desa yang hasilnya memenangkan Bapak Sigit Sugandi saja, ada tiga orang yang berpartisipasi memperebutkan jabatan kepala desa. Selain itu dalam ketua RT dan RW di desa ini dipilih melalui pemiihan dengan menggunakan surat suara kemudian para calon pejabat RT dan RW ini dipilih oleh seluruh masyarakat baik laki-laki maupun perempuan yang sudah memenuhi kriteria pemilih. Ketika penulis berada di desa ini, kebetulan sedang ada pelantikan RT dan RW baru dengan masa jabatan 2013-2019. Dulunya RT dan RW yang memiliki masa jabatan selama enam tahun ini, dipegang oleh satu orang selama beberapa kali periode. Bahkan salah satu mantan ketua RT 04 yaitu Bapak Wawan pernah menjabat selama 13 tahun, tetapi saat ini telah digantikan oleh salah seorang dari kalangan pemuda. Pada saat pengangkatan jabatan pada hari Sabtu, tanggal 21 Desember 2013 itu ketua RT dan RW didominasi oleh warga yang berada pada usia produktif.

(6)

Pada Desa Tugu Jaya terdapat salah satu pesantren yang berada di Kampung Batu Karut yang bernama Pesantren Miftahul Aziz. Pesantren yang sudah berdiri sejak 2001 ini pemiliknya adalah masyarakat asli yang juga beretnik Sunda. Para santri yang bersekolah maupun mengaji di pondok pesantren ini dominan masyarakat pendatang, beberapa daerah asal santri yaitu Jawa Tengah, Lampung, Bekasi, Depok dan Jakarta. Penduduk asli kebanyakan tidak sekolah di pesantren ini melainkan pergi keluar desa. Bukti lain yang menunjukkan dominasi etnik Sunda adalah ketika pengajian berlangsung, ketika itu doa ataupun shalawat yang disenandungkan diartikan menggunakan Bahasa Sunda dan terlihat jelas mereka yang mengikuti pengajian tersebut fasih berbahasa Sunda.

(7)

yang unik, sorban yang biasanya hanya digunakan oleh kiai atau ustad di desa ini digunakan oleh masyarakat biasa, menurut salah seorang yang kami wawancarai ia memiliki tujuh buah sorban padahal ia bukan merupakan seorang pemuka agama. Baginya tidak menggunakan sorban ketika ke mesjid bagaikan petani ke kebun tidak membawa golok. Selain itu keberadaan pesantren yang telah menjadi yayasan sejak tahun 2008 yaitu Yayasan Miftahul Aziz menambah kekentalan agama Islam di desa ini, karena berkat adanya pesantren ini anak-anak sekitar Kampung Batu Karut yang tadinya kegiatan di sore hari hanya beramain bola, saat ini beralih menjadi kegiatan mengaji di pesantren. Pesantren ini terdiri dari dua santri, santri salafi dan santri khalafi. Santri salafi yaitu santri yang hanya belajar mengaji, sedangkan santri khalafi adalah santri yang belajar di Madrasah Tsanawiyah (MTs.) sekaligus mengaji. Santri khalafi belajar pelajaran seperti di sekolah sekaligus belajar agama dan libur seperti siswa-siswi sekolah pada umumnya, sedangkan santri salafi hanya mempelajari Al Qur’an, tidak ada hari libur, namun tidak terikat peraturan-peraturan sekolah seperti santri khalafi. Pada lingkungan pesantren suasana islami sangat terasa antara santri putra dan putri selalu dipisah, ketika mereka berinteraksi di tempat yang sama pun mereka mempunyai batasan sendiri agar tidak saling bersentuhan.

Adaptasi Etnik

Interaksi sosial adalah titik awal terjadinya proses sosial. Menurut Gillin dan Gillin (1954) dalam Soekanto (1990), interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan-hubungan antar perorangan, antar kelompok, atau antara orang perorangan dengan kelompok. Terdapat dua macam proses sosial yang timbul akibat adanya interaksi sosial, yaitu proses asosiatif dan proses disasosiatif. Salah satu bentuk dari proses asosiatif atau proses yang menyatukan adalah akomodasi. Akomodasi menurut Gillin dan Gillin (1954) dalam Soekanto (1990) pengertiannya mirip dengan proses adaptasi yang dipergunakan oleh ahli-ahli biologi untuk menunjuk pada suatu proses dimana makhluk-makhluk hidup menyesuaikan dirinya dengan alam sekitarnya. Pengertian tersebut dimaksudkan sebagai suatu proses dimana orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang mula-mula saling bertentangan, saling mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan.

(8)

Pada perjalanan politik di Desa Tugu Jaya pernah tercatat adanya pendatang yang mencalonkan diri sebagai kepala desa. Pendatang asal Yogyakarta beretnik Jawa ini sebelumnya memang telah tinggal selama kurang lebih 20 tahun di desa ini. Namun, ini membuktikan meskipun etnik lain selain Sunda adalah etnik minoritas mereka tetap bisa bersaing dengan berhasil menduduki peringkat kedua dalam pemilihan kepala desa tersebut. Artinya etnik minoritas ini dapat beradaptasi dengan masyarakat setempat, sehingga dapat dipercaya dan mendapat perolehan suara yang cukup banyak meskipun akhirnya kalah. Selain menjadi kepala desa ada juga etnik Jawa lain yang menjabat ketua RT ataupun ketua RW. Bentuk adaptasi pendatang atau beda etnik juga terlihat dari adanya pesantren di Desa Tugu Jaya. Pesantren Miftahul Aziz yang terletak di Kampung Batu Karut telah berdiri sejak tahun 2001 dan menjadi yayasan resmi 5 tahun belakangan yaitu tahun 2008. Para santri yang bersekolah dan mengaji di pesantren ini dominan merupakan pendatang dari Jawa Tengah, Lampung, Bekasi, Depok, dan Jakarta. Meskipun didominasi oleh kaum pendatang, tetap saja yang berusaha menyesuaikan diri adalah kaum pendatang dengan santri-santri asli Desa Tugu Jaya.

Etnik Sunda terasa sangat kental di Desa Tugu Jaya. Hal ini terlihat bahwa bahasa sehari-hari mereka adalah Bahasa Sunda. Saat pengajian berlangsung, pembacaan doa ataupun shalawat yang disenandungkan diartikan menggunakan Bahasa Sunda dan terlihat jelas mereka yang mengikuti pengajian tersebut fasih berbahasa Sunda. Namun, kekentalan budaya Sunda tersebut tidak membuat para pendatang merasa tersingkir, karena walaupun sebagian besar pengajian menggunakan Bahasa Sunda, pendatang yang berdomisili di sana tetap mengikuti pengajian rutin. Nilai selanjutnya yang terlihat adalah nilai gotong-royong. Aktivitas gotong-royong masih dapat ditemukan di Desa Tugu Jaya. Hal ini terlihat saat pembangunan rumah warga. Walaupun pembangunan rumah tersebut menggunakan jasa tukang bangunan, namun warga setempat tetap berinisiatif membantu pembangunan tersebut. Selain pembangunan rumah, gotong-royong pun dilakukan saat pembangunan masjid, perbaikkan jalan, penyelenggaraan acara selametan atau acara pernikahan, acara keagamaan, membersihkan jalan, bahkan saat perayaan HUT RI. Semua elemen masyarakat turun tangan untuk mensukseskan acara tersebut. Mereka cukup memahami bahwa perbedaan etnis bukan penghalang untuk saling bekerjasama. Hal ini lah yang menunjukkan bahwa pendatang di Desa Tugu Jaya berusaha berdaptasi, menyesuaikan budaya-budaya setempat meskipun pada awalnya mungkin terjadi ketegangan-ketegangan.

Struktural Fungsional

(9)

kepentingan di antara para warganya. Kebersamaan dan kohesi sosial dimungkinkan karena adanya hubungan fungsional antarbagian pembentuk sistem, interdependency. Dengan demikian, kondisi masyarakat akan selalu dalam keadaan equilibrium atau dynamic eqiulibrium. Seandainya ada perubahan-perubahan, baik karena faktor internal maupun eksternal, perubahan itu diyakini tidak akan sampai mengganggu integritas sosial atau keseimbangan sosial, sebab sifat perubahan yang terjadi lebih bersifat gradual ketimbang mendasar.

Kedatangan para pendatang ke Desa Tugu Jaya diterima dengan baik oleh masyarakat desa. Mereka sangat terbuka dengan kehadiran orang-orang baru di sana. Mereka bahkan bertoleransi dengan kebudayaan dan kebiasaan yang berbeda. Hal ini bisa pula menjadi salah satu dampak negatif karena warga masyarakat menerima begitu saja kebudayaan dan kebiasaan yang baik maupun buruk dari para pendatang. Namun, semua itu menunjukkan dengan jelas struktural fungsional di desa Tugu Jaya, seperti menurut teori meskipun ada perubahan-perubahan yang terjadi dengan masuknya pendatang keseimbangan sosial di desa ini tetap tidak terganggu. Terbukti masyarakat di desa ini tetap hidup rukun dan saling berdampingan.

Menurut Parson dalam Narwoko dan Suyanto (2011) perkembangan masyarakat berarti erat dengan perkembangan keempat unsur subsistem utama: kultural (pendidikan), integrasi, pencapaian tujuan, dan adaptasi. Dalam konteks ini, kemampuan beradaptasi merupakan tolak ukur yaitu semakin besar kemampuan masyarakat menyesuaikan diri terhadap lingkungan, semakin maju pula masyarakat yang bersangkutan. Jadi sistem adaptasi merupakan faktor penting dalam struktural fungsional karena dapat mengukur maju atau tidaknya suatu masyarakat di suatu daerah. Pada Desa Tugu Jaya terlihat kemampuan adaptasi masyarakat pendatang yang berbeda etnik dan memiliki kebudayaan berbeda tetap hidup berdampingan dengan menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat setempat.

Agama selain dijunjung tinggi juga merupakan salah satu penguat struktural fungsional di Desa Tugu Jaya. Hal-hal seperti pengajian rutin, larangan bersentuhan saat bersalaman untuk orang-orang yang berbeda jenis kelamin, penggunaan sorban, dan lain-lain masih tetap ditaati oleh masyarakat sekalipun nilai-nilai seperti itu sudah jarang ditemuimasyarakat di daerah ini tetap taat aturan dan tidak berusaha untuk memberontak. Hal inilah yang menunjukkan ciri struktural fungsional selanjutnya yaitu adanya kesepakatan bersama (collective consciousness) para warganya mengenai nilai-nilai kemasyarakatan (general agreements), sehingga mereka tetap menaati aturan tersebut.

(10)

kultural. Sedangkan nilai-nilai kultural, pada gilirannya berperan sebagai tiang penyangga tata kehidupan bermasyarakat dan sebagai pedoman yang mengarahkan tingkah laku anggota masyarakat di alam kehidupan fisik yang nyata. Kyai dan ustadz memiliki peran yang penting sebagai kontrol sosial karena mereka sangat didengarkan oleh masyarakat. Bahkan, mereka lebih dekat dengan warga dibandingkan dengan Kepala Desa yang lebih banyak berhubungan dengan struktur pemerintahan. Para kiai selalu menyebarkan nilai-nilai agama Islam yang intinya harus menjaga kerukunan antar warga karena itulah masyarakat Desa Tugu Jaya selalu hidup harmonis. Kyai dan ustadz di sini berfungsi sebagai penyebar agama Islam dan penjaga equilibrium atau dynamic equilibrium dalam masyarakat, sehingga hampir tidak pernah terjadi konflik.

(11)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, terdapat keterkaitan antara adaptasi etnik dengan teori struktural fungsional di Desa Tugu Jaya. Pendatang yang berbeda etnik melakukan penyesuaian dengan lingkungan desa yang kental dengan kegiatan keagamaannya. Salah satu bentuk kegiatan keagamaan di desa ini adalah kegiatan pengajian. Dalam pengajian ini selain menggunakan bahasa arab, arti dari doa-doa dijabarkan dalam bahasa Sunda. Meskipun menggunakan bahasa Sunda minoritas etnik yang beragama Islam ini tetap mengikuti pengajian sebagai bentuk adaptasi mereka terhadap lingkungan setempat (Gillin dan Gillin (1954) dalam Soekanto 1990). Dalam teori struktural fungsional agama merupakan salah satu komponen untuk mencapai mencapai keseimbangan. Masyarakat Desa Tugu Jaya yang sangat menjunjung nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka, selalu menerapkan salah satu ajaran agama Islam yang mengajarkan tentang kedamaian. Kepercayaan dalam hal ini agama menjadi pedoman perilaku masyarakat sehingga masyarakat desa ini tetap hidup dalam kerukunan (Talcon Parson dalam Narwoko dan Suyanto 2011). Hubungan antara etnik dan struktural fungsional adalah pendatang yang berbeda etnik beradaptasi dengan masyarakat setempat melalui pendekatan agama. Adaptasi ini adalah salah satu cara untuk mencapai struktural fungsional karena dengan adanya adaptasi akan menyebabkan terciptanya new dynnamic equilibrium (Talcon Parson dalam Narwoko dan Suyanto 2011).

Saran

Masalah yang muncul di lapangan adalah pola pikir yang salah karena masih kentalnya agama Islam di sana. Setiap ada alokasi dana dari pemerintah untuk pembangun, yang selalu diprioritaskan untuk adalah pembangunan mesjid. Mereka masih berpikir jika dana pembangunan itu digunakan untuk pembangunan mesjid, dananya akan lebih berkah. Padahal seperti yang telah terlihat sekarang dengan semakin banyaknya mesjid, mesjid-mesjid tersebut jadi tidak terawat dan jarang diisi. Contohnya mushola-mushola yang ada di sana hanya digunakan untuk pengajian, jika solat berjamaah dilakukan di mesjid. Dampak lainnya adalah jika aktivitas warga semakin tersebar di banyak mesjid dan tidak terpusat akan mengurangi kohesivitas antar warga. Solusi dari kelompok kami adalah dana yang diberikan oleh pemerintah sebaiknya tidak hanya digunakan untuk pembangunan mesjid, dana tersebut dapat dialokasikan untuk pemberdayaan masyarakat untuk membuka usaha atau pelatihan keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Tugu Jaya. Hal ini karena banyak penduduk di sana yang bekerja serabutan atau tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Selain itu, jika dana tersebut tidak hanya digunakan untuk pembangunan mesjid lagi, aktivitas warga akan berpusat di satu mesjid sehingga kohesivitas antar warga akan tetap terjaga.

(12)

didominasi oleh tamatan sekolah dasar yaitu sebanyak 6.430 orang, kemudian disusul oleh tamatan SLTP sebanyak 2.169 orang, SLTA 1.002 orang, dan sisanya tamatan D3 dan S1 masing-masing sebanyak 54 dan 105 orang. Hal ini disebabkan jumlah sekolah yang ada sangat terbatas karena hanya terdapat satu sekolah dasar yang bernama SD Cipetir, dan dua buah SMP/ MTs yang bernama SMP PGRI dan MTs. Miftahul Aziz, sedangkan jika ingin melanjutkan ke jenjang SMA mereka harus merantau keluar kota. Padahal pendapatan warga untuk dapat menyekolahkan anaknya keluar kota juga terbatas. Solusi yang ditawarkan oleh kelompok kami yaitu dengan menggunakan dana bantuan dari pemerintah untuk pembangunan sekolah dan perbaikan sarana prasarana pendidikan. Sehingga dana yang diberikan tidak hanya digunakan untuk pembangun masjid. Tentunya hal ini juga diimbangi dengan pengalokasian dana yang akan digunakan untuk pemberdayaan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman GG. 2011. Analisis Sikap dan Kepuasan Petani terhadap Benih Padi Hibrida. [internet]. [diunduh 17 Desember 2013]. [dapat diunduh dari:

http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/53150].

Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. 2011. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana, Prenada Media Group.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Rafindo Persada.

Referensi

Dokumen terkait

Analisis standar belanja (ASB) adalah suatu penilaian tentang kewajaran atas beban kerja dan biaya yang dialokasikan untuk melaksanakan suatu kegiatan.Penilaian

Dengan menggunakan tingkat kemiskinan sebagai target intervensi dan proporsi rumah tangga terhadap akses. air bersih sebagai salah satu indikator utama dibidang infrastruktur

Dengan mengetahui nilai Z, dapat diketahui apakah perusahaan menghadapi masalah yang serius atau tidak. Dengan analisis Z score management dapat memprediksikan

The Martius flap technique using a fat pad flap is a decent choice for low rectovaginal fistulas.. A well vascularised interposi- tion flap between the vagina and the rectum gives

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penggunaan model blended learning dapat meningkatkan kamandirian belajar dan daya

Penelitian lainnya yang menggunakan prokrastinasi adalah penelitian yang dilakukan oleh Ramadhani (2016) yang berjudul hubungan konformitas dengan prokrastinasi dalam