• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pendekatan Pendidikan Realistik Matematika dalam Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh Pendekatan Pendidikan Realistik Matematika dalam Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Pendekatan Pendidikan Realistik Matematika

dalamMeningkatkan Kemampuan Komunikasi

MatematisSiswa Sekolah Dasar

Fitriana Rahmawati

E-mail: Fitriana_apri@yahoo.co.id

Abstrak. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menelaah peningkatan komunikasi matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan pendidikan matematika realistik dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika secara konvensional.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan dua kelompok sampel yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen memperoleh pembelajaran dengan pendidikan matematika realistik dan kelompok kontrol memperoleh pembelajaran konvensional. Untuk mendapatkan data hasil penelitian digunakan instrumen berupa tes kemampuan komunikasi matematis, lembar observasi dan pedoman wawancara. Subjek penelitian adalah siswa kelas V SDN 118 Palembang.

Berdasarkan analisis data diperoleh hasil bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan PMR berbeda secara signifikan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.

Berdasarkan penelitian di atas , maka pembelajaran matematika dengan PMR sangat potensial diterapkan dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis.

Kata Kunci : Pendekatan Realistik Matematika, Komunikasi Matematis

Pendahuluan

Pentingnya penguasaan matematika terlihat pada Undang-Undang RI No. 20 Th.2003 Tentang Sisdiknas Pasal 37 ditegaskan bahwa mata pelajaran matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib bagi siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Soejadi (2000) menyatakan bahwa wujud dari pelajaran matematika di pendidikan dasar dan menengah adalah matematika sekolah. Matematika sekolah adalah unsur-unsur atau bagian-bagian dari matematika yang dipilih berdasarkan kepentingan pendidikan untuk menguasai teknologi dimasa depan. Karena itu, mata pelajaran matematika yang diberikan di pendidikan dasar dan menengah juga dimaksudkan untuk membekali siswa dengan kemampuan berfikir logis, analitis,

sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kemampuan tersebut, merupakan kompetensi yang diperlukan oleh siswa agar dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti , dan kompetitif.

(2)

matematika. Mengaitkan pengalaman kehidupan nyata siswa dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di kelas penting dilakukan agar pembelajaran bermakna (Soejadi,2006). Menurut Van de Henvel-Panhuizen (2000), bila siswa belajar matematika terpisah dengan pengalaman mereka sehari-hari, maka siswa akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika. Selain itu siswa perlu dilatih menerapkan kembali konsep matematika yang telah dimiliki siswa dalam kehidupan sehari-hari atau pada bidang lainnya.

Selama ini juga kita menyadari bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran matematika siswa jarang sekali diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan ide-idenya. Sehingga siswa sulit dalam memberikan penjelasan yang benar, jelas dan logis atas jawabannya. Untuk mengurangi kejadian seperti itu menurut Pugale (2001), dalam pembelajaran matematika siswa perlu dibiasakan untuk memberikan argumen atas setiap jawabannya serta memberikan tanggapan atas jawaban yang diberikan orang lain, sehingga apa yang dipelajari menjadi lebih bermakna bagi siswa.

Rendahnya kemampuan matematis dalam pembelajaran sangat penting untuk diperhatikan, karena melalui komunikasi matematis siswa dapat mengorganisasikan

dan mengkonsolidasi berfikir

matematikanya baik secara lisan maupun tulisannya. Linquist (linquist & Eliot, 1996) menyatakan jika kita sepakat bahwa matematika itu merupakan suatu bahasa dan bahasa tersebut sebagai bahasa terbaik dalam komunitasnya, maka mudah difahami bahwa komunikasi merupakan esensi mengajar, belajar dan penilaian matematika. Selanjutnya Turmudi (2008:55) menyatakan bahwa komunikasi adalah bagian esensial dari matematika dan pendidikan matematika. Hal ini merupakan cara untuk sharing gagasan dan mengklasifikasikan pemahaman.

Dalam meningkatkan kemampuan matematis, maka harus ada upaya yang dilakukan untuk peningkatan kualitas pembelajaran matematika, sebab banyak faktor yang menentukan kwalitas hasil pembelajaran matematika. Salah satu faktor yang sangat penting yang mempengaruhi tersebut adalah model penyajian materi. Darhim (2004,3) mengemukakan bahwa penyajian materi yang menarik, menyenangkan, sederhana, mudah dipahami, dan sesuai dengan kondisi siswa, merupakan modal utama untuk memberi rasa senang terhadap matematika. Hal ini penting mengingat matematika merupakan mata pelajaran yang kurang disukai siswa.

Kurang disukainya matematika oleh siswa mungkin dipengaruhi oleh faktor materi atau proses pembelajarannya (Darhim, 2004 : 4). Oleh karena itu perlu pendekatan pembelajaran matematika yang dapat menjembatani anak-anak tahap operasi konkrit (usia SD) dalam mempelajari matematika sebagai ilmu yang abstrak. Pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran matematika.

Tuntutan pembelajaran matematika seperti diatas sesuai dengan pendekatan realistik yang dikembangkan di Belanda. Dimana menurut Gravemeijer (1994) bahwa matematika harus dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Dalam pendidikan realistik pembelajaran harus dimulai dari sesuatu yang riil sehingga siswa dapat terlibat dalam proses pembelajaran secara bermakna.ja matematika, melakukan proses pemodelan, dan menempuh self-development model yang dapat menghasilkan kebebasan berfikir siswa, yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa.

(3)

kontekstual yang dapat mengaitkan konsep matematika dengan kehidupan nyata, dengan pembuatan model yang dapat memudahkan siswa untuk berkontribusi dalam menyelesaikan maslah, adanya interaktivitas baik sesama siswa maupun dengan guru yang dapat membantu siswa yang lemah untuk memahami konsep sedangkan bagi siswa yang pandai dapat meningkatkan kemampuan dalam memberi penjelasan, tanggapan, dll.

Tinjauan Teori

Pendidikan Matematika Realistik (Pmr)

Pendidikan matematika realistik pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal.Pendidikan matematika realistik ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia.Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari.Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994).

Pendidikan matematika realistik merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang didasari pandangan bahwa matematika sebagai aktivitas manusia (Gravemeijer, 1994).Menurut Freudenthal (1973)

matematika sebagai aktivitas

manusia.Aktifitas manusia yang dimaksud

meliputi mencari masalah,

mengorganisasikan materi yang relevan, membuat model matematika, penyelesaian masalah, mengorganisasikan ide-ide baru dan pemahaman baru yang sesuai dengan konteks (Freudenthal dalam Haji, 2005:

33). Sebagai aktivitas manusia, matematika berhubungan dengan dunia nyata.

Soedjadi (Haji, 2005: 34) Menyatakan bahwa pendidikan matematika realistik pada hakikatnya adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang menggunakan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik daripada masa yang lalu.

Dalam pendidikan matematika realistik, dunia nyata. (real world) digunakan sebagai titik awal untuk mengembangkan ide dan konsep matematika. Dunia nyata adalah segala sesuatu di luar matematika, seperti mata pelajaran lain selain matematika, atau kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita (Blum & Niss, 1989 (Nadi, 2005)). Sementara De lange (1996) mendefinisikan dunia nyata sebagai suatu dunia nyata yang konkrit, yang disampaikan kepada siswa melalui aplikasi matematika. Begitulah cara kita memahami proses belajar matematika yang terjadi pada siswa, yaitu terjadi pada situasi nyata. Proses pengembangan konsep dan ide matematika dimulai dari dunia real oleh De Lange (1996) disebut "matematisasi konsep".

(4)

pendekatan matematika realistik sangat memperhatikan aspek-aspek informal matematika, kemudian mencari perantara untuk mengantarkan pemahaman siswa terhadap matematika formal. De Lange (Darhim, 2004) mengistilahkan matematika informal sebagai matematisasi horizontal, sedangkan matematika formal sebagai matematisasi vertikal.

Beberapa kegiatan dalam matematisasi horizontal (Turmudi, 2001) sebagai berikut:

1. Pengidentifikasian matematika khusus dalam konteks umum.

2. Pensekemaan.

3. Perumusan dan penvisualan masalah dalam cara yang berbeda

4. Penemuan relasi (hubungan) 5. Penemuan keteraturan

6. Pengenalan aspek isomorfic dalam masalah-masalah yang berbeda

7. Pentransferan real worl problem ke dalam mathematical problem

8. Pentransferan real worl problem ke dalam suatu model matematika yang diketahui.

Sedangkan beberapa kegiatan

matematisasi vertikal (Turmudi, 2001) sebagai berikut:

1. Menyatakan suatu hubungan dalam suatu rumus.

2. Pembuktian keteraturan

3. Perbaikan dan penyesuaian model 4. Penggunaan model-model yang

berbeda

5. Pengkombinasian dan pengintegrasian model-model

6. Perumusan suatu konsep matematika baru

7. Penggeralisasian.

Menurut Gravemeijer (Haji, 2005) secara umum karakteristik pendidikan matematika realistik mempunyai lima karakteristik yaitu (1) The use of contexts (penggunaan konteks), (2) The use of models (penggunaan model), (3) The use of students' own productions and constructions (penggunaan kontribusi dan

hasil siswa sendiri), (4) The interactive character of teaching process (interaktifitas dalam proses pembelajaran), (5) The intertwinment of various learning Strands (Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya).

Pertama, Penggunaan konteks dalam pembelajaran matematika.Konteks yang disampaikan dapat berbentuk sebagai masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari maupun hal-hal yang dapat dipikirkan oleh siswa.Menurut Van den Heuvel-Panhuizen (Sabandar, 2001) konteks berfungsi agar soal dapat dipecahkan dan konteks menunjang terbentuknya ruang gerak dan transparansi dari problem, dan

dapat melahirkan berbagai

strategi.Konteks yang disajikan dalam bentuk masalah atau masalah kontekstual dapat berfungsi sebagai "jembatan" untuk dapat memahami suatu konsep maupun algoritma dalam matematika.Oleh karena itu, dalam pendidikan matematika realistik, masalah kontekstual diberikan pada awal pelajaran sebagai titik tolak dari mana konsep matematika yang ingin

dimunculkan.Dengan demikian

menyelesaikan atau memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari merupakan bagian yang essensial dalam pendekatan

pendidikan matematika

realistik.Karakteristik yang pertama ini

menunjukkan bahwa matematika

dipandang sebagai kegiatan manusia sehari-hari (Freudenthal, 1991).Peran guru dalam hal ini adalah memunculkan masalah kontekstual dan memotivasi siswa agar dapat memahami masalah kontekstual tersebut.

Kedua, penggunaan model dalam

menyelesaikan masalah

(5)

menghasilkan kemampuan siswa dalam membuat model, skema, maupun simbolisasi dalam matematika.Peran guru

mengarahkan, membimbing, dan

memotivasi siswa agar dapat membuat model dari suatu masalah.

Ketiga, mengenai pemanfaatan hasil konstruksi dan kontribusi siswa dalam memecahkan suatu masalah. Konstruksi maupun kontribusi siswa diperoleh melalui berbagai kegiatan, antara lain: kegiatan konstruksi, refleksi, antisipasi, dan integrasi dalam pembelajaran matematika. Siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep-konsep maupun algoritma dalam matematika melalui kegiatan doing mathematics.Peran guru adalah merangsang siswa agar dapat berkontribusi secara maksimum, mengarahkan, dan menyeleksi kontribusi siswa.

Keempat, mengenai perlunya interaksi antar siswa maupun antara siswa dan guru dalam pembelajaran matematika.Interaksi antar siswa maupun antara siswa dan guru dalam bentuk negosiasi, interpretasi, diskusi, kerjasama, dan evaluasi merupakan kegiatan-kegiatan interaktifitas dalam pembelajaran matematika.Dengan adanya interaksi antara berbagai unsur dalam pembelajaran matematika membuat suasana kelas menjadi dinamis dan "hidup".Hal ini dapat membuat siswa senang dalam belajar matematika. Interaksi yang terjadi dalam pembelajaran matematika tersebut menempatkan siswa menjadi fokus dari segala kegiatan di kelas (Haji, 2005). Sedangkan guru berfungsi sebagai mediator dari segala interaksi yang tedadi di dalam kelas, agar interaksi yang terjadi berlangsung secara efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran.

Kelima, mengenai pentingnya keterkaitan antar topik dalam matematika maupun antara topik dalam matematika dengan topik lain di luar matematika. Keterkaitan antar topik dapat

memudahkan siswa dalam memahami suatu konsep yang terdapat dalam topik yang bersangkutan.Suatu topik dalam matematika lebih sukar dipahami bila terpisah dengan topik yang lain (Haji, 2005).Peran guru adalah menyampaikan topik-topik yang saling terkait, sedangkan siswa memahami keterkaitan tersebut dan memunculkan konsep yang terdapat pada topik-topik tersebut.

Selanjutnya, menurut Gravemeijer (1994) terdapat tiga prinsip utama dalam pembelajaran dengan pendekatan realistik. Ketiga prinsip yang dimaksud adalah penemuan terbimbing dan bermatematika secara progresif (guided reinvention and progressive mathematization), fenomena

pembelajaran (didactical

phenomenology), pengembangan model mandiri (self-developed model).

Pertama, prinsip penemuan terbimbing

dimaksudkan untuk memberikan

kesempatan kepada siswa untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika melalui proses matematisasi masalah kontekstual. Dengan guided reinvention and progressive mathematization siswa diarahkan untuk menemukan cara dalam menyelesaikan suatu masalah dalam matematika. Cara tersebut dapat sama dengan cara ilmuan sebelumnya dan dapat pula cara "baru" yang ditemukan oleh siswa sendiri. Untuk dapat memotivasi siswa dalam melakukan penemuan kembali ide maupun konsep dalam matematika, siswa diberikan masalah kontekstual maupun materi sejarah matematika. Sejarah matematika dapat menunjukkan kepada siswa bagaimana cara kerja para matematikawan dalam menemukan ide-ide matematika. Dengan strategi penyelesaian yang dibuat

siswa, maka dapat mendorong

pemahaman konseptual dan meningkatkan kemampuan berfikir matematika mereka (Fraiviling&Fuson dalam Haji, 2005).

(6)

bahwa proses .pemahaman matematika oleh siswa berlangsung secara alami sesuai dengan nilai-nilai pendidikan dengan memanfaatkan fenomena yang terjadi pada diri siswa dan lingkungannya. Melalui fenomenafenomena dalam kehidupan sehari-hari dapat dimunculkan topik matematika yang mengandung berbagai konsep maupun algoritma (Haji, 2005).

Ketiga, pengembangan model mandiri (self-developed model) dalam pendidikan matematika realistik diusahakan dapat mengembangkan dan memunculkan model-model yang ditemukan oleh siswa melalui pengarahan dari guru berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, mulai dari model pemecahan yang informal (model of) menuju ke model yang formal (model for) dalam bentuk model matematika maupun rumus-rumus dalam matematika (Haji, 2005).

Peran guru pada pembelajaran dengan pendekatan pendidikan matematika realistik sebagai fasilitator, pembimbing, atau teman belajar yang lebih berpengalaman, yang tahu kapan memberikan bantuan (scaffolding) dan bagaimana caranya membantu agar proses konstruksi dalam pikiran siswa dapat berlangsung (Marpaung, 2001). Dalam hal ini tugas guru tidaklah ringan. Sebelum pembelajaran dimulai guru harus membuat rencana dan persiapan mulai dari menentukan konsep yang akan diajarkan, mencari dan menentukan masalah kontekstual yang sesuai dengan topik tersebut, dan merencanakan strategi pembelajaran yang cocok (tidak monoton, kadang individual atau kelompok, dan sebagainya). Setelah pembelajaran, guru melakukan refleksi, membuat catatan-catatan dan penilaian (informal maupun formal) terhadap siswa.

Teori Belajar yang Mendukung Pendidikan Matematika Realistik

Dengan mencermati pengertian, karakteristik, dan prinsip utama dari

pendidikan matematika realistik, terdapat beberapa teori belajar yang mendasari pendekatan pembelajaran ini, yaitu:

Teori Belajar Konstruktivisme

Teori belajar konstruktivisme menyatakan bahwa siswa harus membangun pengetahuan di dalam benak mereka sendiri.Setiap pengetahuan atau kemampuan hanya bisa diperoleh atau dikuasai oleh seseorang apabila orang itu secara aktif mengkonstruksi pengetahuan atau kemampuan itu di dalam pikirannya.

Ide-ide konstruktivis banyak berlandaskan teori Vygotsky (Ali, 2006:39), sehingga menjadi konsep mendasar dalam konstrukstivisme, seperti scaffolding, Proses top down, Zone Of Proximal Development (ZPD), dan pembelajaran kooperatif.

Scaffolding

Scaffolding dapat diartikan sebagai pemberian sejumlah bantuan kepada seorang siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil alih tanggungjawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya. Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan untuk memecahkan masalah.Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri (Ali, 2006-.40).

Proses Top Down

(7)

keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan (Slavin, 1994).

Zone of Proximal Development (ZPD) Menurut Vygotsky (Suryadi, 2007) bahwa belajar dapat membangkitkan berbagai proses mental tersimpan yang hanya bisa dioperasikan manakala seseorang berinteraksi dengan orang dewasa atau berkolaborasi dengan sesama teman. Pengembangan kemampuan yang diperoleh melalui proses belajar sendiri (tanpa bantuan orang lain) pada saat melakukan pemecahan masalah disebut sebagai actual development. Sedangkan perkembangan yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi dengan guru atau siswa lain yang mempunyai kemampuan lebih tinggi disebut potensial development. Zone of Proximal Development (ZPD) selanjutnya diartikan sebagai jarak antara actual development dan potensial development.

Pembelajaran Kooperatif

Vygotsky (Slavin, 1995) menyarankan agar dalam pembelajaran digunakan pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis proyek, dan penemuan.

Salah satu implikasi penting teori Vygotsky dalam, pendidikan adalah perlunya kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswadapat berinteraksi dalam menyelesaikan tugas-tugas dan dapat saling memunculkan strategi pemecahan masalah yang efektif di dalammasing-masing ZPD mereka. Menurut Slavin (1995), pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran kelas yang menerapkan pembelajaran kooperatif secara ekstensif, atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi dengan temannya.

Teori konstruktivisme merupakan

jembatannya PMR yang sangat

memperhatikan aspek-aspek informal

untuk mengantarkan siswa pada matematika formal.

Teori Belajar David Ausubel

David Ausubel terkenal dengan teori belajar bermaknanya.Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa melalui penerimaan dan penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang ada.

Ausubel (Ali, 2006) membedakan antara belajar menemukan dan belajar menerima.Pada belajar menerima, bentuk akhir dari yang diajarkan itu diberikan, sedangkan pada belajar menemukan, bentuk akhir itu harus dicari oleh siswa.Selain itu, Ausubel membedakan belajar bermakna (meaningful learning) dan belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses memperoleh informasi baru dengan menghubungkannya dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seorang pembelajar. Sedangkan belajar menghafal terjadi bila seseorang memperoleh informasi baru yang sama sekali tidak berhubungan dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. Dalam hal ini, belajar menerima dan belajar menemukan, keduanya dapat merupakan belajar bermakna, bergantung pada terjadi tidaknya pengaitan konsep baru atau informasi baru dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa.

(8)

dihadirkan dengan mengaitkannya dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Situasi masalah kontekstual yang diajukan tentunya sangat relevan dengan pendapat Ausubel tersebut.

Kemampuan Komunikasi matematis Komunikasi matematis menipakan salah satu aspek (kompetensi) yang harus dimiliki siswa dalam proses pembelajaran

matematika. Dengan kemampuan

komunikasi matematis diharapkan siswa mampu menyatakan, menjelaskan, menggambarkan, mendengar sehingga membawa siswa pads pemahaman yang mendalam tentang matematika.

Cai (1996) mengemukakan bahwa "communication is considered as the means by which teachers and students can share the processes of learning, understanding, and doing mathematics". Komunikasi dianggap sebagai alai yang mans guru ban siswa bisa membagi proses-proses pembelajaran, pemahaman dan mengerjakan matematika.

Komunikasi dalam pembelajaran

sangat penting, NCTM (2000)

mengusulkan bahwa program

pembelajaran matematika sekolah yang baik harus menekankan siswa untuk:

1. Mengatur dan mengaitkan

mathematical thinking mereka melalui komunikasi.

2. Mengkomunikasikan mathematical thinking mereka secara koheren (tersusun secara logis) dan menjelaskan kepada teman-temannya, guru, dan orang lain.

3. Menganalisis dan menilai

mathematical thinking dan strategi-strategi yang lain.

4. Menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide-ide matematika secara benar.

Sumarmo (2003) mengemukakan kemampuan yang tergolong pada komunikasi matematis, yaitu :

1. Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika.

2. Menjelaskan ide, situasi, clan relasi matematika secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik, dan aljabar.

3. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika. 4. Mendengarkan, berdiskusi, dan

menulis tentang matematika.

5. Membaca presentasi matematika tertulis dan menyusun pertanyaan yang relevan.

6. Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi.

Menurut Baroody (1993) terdapat lima aspek komunikasi, kelima aspek itu adalah:

1. Representasi diartikan sebagai bentuk baru dalam hasil translasi suatu masalah atau ide, atau translasi suatu diagram dari model fisik ke dalam simbol atau kata-kata (NCTM, 1989). Representasi dapat membantu anak menjelaskan konsep atau ide dan memudahkan anak mendapatkan strategi pemecahan. Selain itu dapat meningkatkan fleksibilitas dalam menjawab soal matematika (Baroody, 1993).

2. Mendengar (listening), dalam proses diskusi aspek mendengar merupakan salah satu aspek yang sangat penting. Kemampuan siswa dalam memberikan pendapat atau komentar sangat terkait

dengan kemampuan dalam

(9)

3. Membaca (reading), kemampuan membaca merupakan kemampuan yang kompleks, karena di dalamnya terkait aspek mengingat, memahami,

membandingkan, menemukan,

menganalisis, mengorganisasikan dan akhimya menerapkan apa yang terkandung dalam bacaan.

4. Diskusi (discussing), merupakan sarana bagi seseorang untuk dapat mengungkapkan dan merefleksikan pikiran-pikirannya berkaitan dengan materi yang diajarkan. Baroody (1993) menguraikan beberpa kelebihan dari diskusi antara lain: (a) dapat mempercepat pemahaman materi pembelajaran dan kemahiran menggunakan strategi, (b) membantu siswa mengkonstruksi pemahaman matematik, (c) menginformasikan bahwa para ahli matematika biasanya tidak memecahkan masalah sendiri-sendiri tetapi membangun ide bersama pakar lainnya dalam satu tim, (d) membantu siswa menganalisis dan

memecahkan masalah dengan

bijaksana.

5. Menulis (writing), kegiatan yang dilakukan dengan sadar untuk mengungkapkan dan merefleksikan pikiran, dipandang sebagai proses berfikir keras yang dituangkan dalam kertas. Menulis adalah alat yang bennanfaat dari berfikir karena siswa memperoleh pengalaman matematika sebagai suatu aktivitas yang kreatif Dengan mencermati beberapa pendapat di atas, maka kemampuan komunikasi matematis merupakan kemampuan yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Dalam penelitian ini kemampuan komunikasi matematis yang akan diukur adalah kemampuan siswa

dalam menyelesaikan masalah

kontekstual. Dalam setiap masalah kontekstual, aspek membaca dan menulls diukur melalui kemampuan siswa dalam merumuskan informasi yang diketahui dan

informasi yang ditanyakan, aspek representasi diukur melalui kemampuan siswa dalam pemodelan baik model informal maupun model format, menentukan strategi penyelesaian, dan menyelesaikannya, membuat jawaban akhir, dan memberi penjelasan atas jawaban tersebut. Sedangkan aspek mendengar dan diskusi diukur melalui

kemampuan dalam mengajukan

pertanyaan, memberi penjelasan, dan mengemukakan pendapat pada kegiatan diskusi kelas.

Secara rinci indikator kemampuan komunikasi matematis yang diukur dalam penelitian ini adalah: membuat model masalah (model informal) yang berupa gambar atau diagram dari masalah yang diberikan, membuat model matematika (model formal) yang berupa simbol matematika berdasarkan masalah yang diberikan, menentukan strategi dan menyelesaikan masalah, danmenjelaskan ide, strategi penyelesaian, atau jawaban yang diperoleh tulisan, baik berupa gambar, grafik, maupun aljabar.

Desain Pembelajaran PMR dalam Meningkatkan Komunikasi Matematis

Pelaksanaan pembelajaran: matematika dengan pendekatan PMR ini bertujuan

untuk meningkatkan kemampuan

komunikasi matematis siswa. Sebelum pembelajaran dilaksanakan, maka terlebih dahulu dibuat rencana pelaksanaan

pembelajaran yang memuat lima karakteristik PMR dalam proses pembelajaran. Untuk memunculkan karakteristik PMR dalam pembelajaran, maka dibuat lembar aktivitas siswa (LAS) yang memuat masalah kontekstual dan petunjuk aktivitas siswa.Masalah

kontekstual disusun dengan

(10)

menyelesaikan masalah tersebut. Dengan adanya model-model yang dibuat siswa, menunjukkan adanya produksi dan kontribusi siswa dalam pembelajaran. Dengan demikian karakteristik pertama, kedua, dan ketiga dari PMR terpenuhi.

Sebagai upaya menciptakan

interaktivitas siswa dalam pembelajaran, maka dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan setting cooperative learning. Suherman (Herwati, 2007)

mengemukakan bahwa dalam

pembelajarancooperative learning, siswa dibagi dalam kelompok kecil yang saling bekerjasama untuk menyelesaikan suatu masalah atau suatu tugas dalam mencapai tujuanbersama. Dengan cooperative learning diharapkan siswa membangunpengetahuan baru berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki, dapat mengemukakan pendapat, menerima pendapat orang lain, dan dapat bekerja samadalam menyelesaikan masalah. Dengan adanya interaksi antar siswa dalampembelajaran kelompok diharapkan dapat membantu siswa yang lemah dalam memahami masalah dan memberi kesempatan kepada siswa yang pandai untukmenjelaskan ide-idenya pada orang lain yang dapat meningkatkan wawasan pengetahuannya, sehingga dengan situasi yang demikian kemampuan pemecahan dan komunikasi matematis semua siswa dapat meningkat menjadi lebih baik.

Sedangkan untuk memperkuat

pengetahuan siswa terhadap topik yang dipelajari, guru mengaitkan topik yang dipelajari dengan topik lain.

Secara umum langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

1. Memberikan masalah kontekstual Pada langkah ini terdapat karakteristik pembelajaran matematika realistik yang pertama. Guru meminta siswa untuk memahami masalah tersebut. 2. Menjelaskan masalah kontekstual

Setelah guru memberikan soal dan meminta siswa untuk memahami soal, maka guru memberikan kesempatan bertanya kepada siswa yang belum memahami soal, kemudian guru membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami soal tersebut dengan cara memotivasi siswa untuk mengidentifikasi permasalahan dengan mencari permasalahan yang diketahui dan yang ditanyakan dari soal, serta mencari cara yang cocok untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Pada langkah ini terdapat karakteristik pembelajaran matematika realistik yang keempat yaitu penggunaan interaktifitas. Interaktifitas pada langkah ini terlihat dari adanya interaksi siswa dengan guru, di mana siswa dapat memperoleh manfaat positif (memahami maksud soal) dari interaksi tersebut

3. Menyelesaikan masalah kontekstual Guru memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menyelesaikan soal yang diberikan berdasarkan pengetahuan yang sudah mereka miliki (menggunakan cara siswa sendiri). Guru berjalan keliling kelas untuk melihat pekerjaan siswa dan membimbing/memotivasi siswa yang mengalami kesulitan.Pada langkah ini terdapat karakteristik pembelajaran matematika realistik yang kedua dan ketiga, yaitu guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan model dan cara mereka sendiri sesuai dengan pengetahuan matematika yang telah mereka miliki. Pada langkah ini pula terdapat semua prinsip pembelajaran dengan pembelajaran matematika realistik. 4. Membandingkan dan mendiskusikan

(11)

kemudian mengarahkan siswa untuk memilih jawaban yang paling benar berdasarkan basil diskusi. Selanjutnya guru menunjuk beberapa, siswa untuk menampilkan jawaban mereka berdasarkan basil diskusi untuk ditampilkan dan didiskusikan, kembali

bersama-sama di dalam

kelas.Sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan motivator untuk membantu siswa dalam menganalisa dan mengevaluasi pekerjaannya.

Pada langkah ini terdapat karakteristik pembelajaran matematika realistik yang keempat dan kelima, yaitu penggunaan metode yang interaktif, menghargai ragam jawaban, dan kontribusi siswa dengan cara memberi kesempatan pada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban dari soal secara berkelompok, selanjutnya dibandingkan dan didiskusikan dalam, diskusi kelas 5. Menyimpulkan

Pada langkah ini terdapat karakteristik pembelajaran matematika realistik yang keempat, yaitu penggunaan metode interaktif dengan cara

mengarahkan siswa menarik

kesimpulan suatu konsep atau prosedur dari hasil diskusi.

6. Evaluasi

Guru memberi masalah kepada setiap siswa untuk dikedakan secara individu untuk mengetahui kemampuan siswa (khususnya kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis) terhadap materi yang dipelajari. Pada langkah ini terdapat karakteristik PMR yang pertama, kedua, dan ketiga. Berdasarkan langkah-langkah pembelajaran di atas, kemampuan komunikasi matematis dapat diamati pada langkah pembelajaran yang memiliki karakteristik PMR kedua, ketiga, dan keempat yaitu adanya membuat model matematika, adanya kontribusi siswa, dan interaksi antar siswa dan antara siswa

dengan guru. Melalui kegiatan siswa dalam doing Mathematics

Metode Penelitian

Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SDN 115 Palembang 2010/2011. Penelitian ini berbentuk eksperimen dengan dua kelompok sampel yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Menurut Rusefendi (2005 : 35) penelitian eksperimen adalah penelitian yang benar-benar untuk melihat hubungan sebab akibat. Kelompok eksperimen adalah kelompok siswa yang mendapat pembelajaran melalui Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran biasa. Populasi dan Sampel

Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri 118 Palembang tahun pelajaran 2010/2011, yang terdiri dari 2 kelas dan masing-masing kelas terdiri dari 34 siswa. Kelas A sebagai kelas eksperimen, sedang kelas B sebagai kelas kontrol. Penentuan kelas eksperimen dan kelas kontrol dilakukan secara acak.

Instrumen Penelitian

(12)

membuat penyelesaian masalah, dan menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika, secara tulisan, dengan bendanyata, gambar, grafik dan aljabar.

Untuk mengetahui baik tidaknya suatu tes maka perlu memperhatikan validitas tes, daya pembeda, tingkat kesukaran dan reliabilitasnya. Untuk itu tes tersebut terlebih dahulu diujicobakan pada siswa lain yang telah mempelajari pelajaran yang bersangkutan, dari uji coba tersebut dianalisis validitas, daya pembeda, tingkat kesukaran, dan reliabilitasnya, kemudian soal yang memenuhi syarat tes yang baik yang diambil dan yang tidak memenuhi syarat dibuang.

Analisis Data

Data yang dianalisis adalah skor hasil post-test siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Setelah data diperoleh dilakukan analisis data untuk menguji hipotesis

dengan menggunakan skor rata-rata siswa kelas eksperimen dan kelass kontrol. Metode statistik yang digunakan adalah uji kesamaan dua rata-rata dengan uji-t untuk menguji masing-masing hipotesis. Sebelum menganalisis uji-t harus diuji dengan asumsi untuk uji-t yaitu uji normalitas dan uji homogenitas.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada dua kelas sampel yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Sebelum memberi pembelajaran, siswa diberi pre-test dan setelah dilaksanakan proses pembelajaran diberikan post-test pada kelas sampel tersebut. Dalam serangkaian penelitian ini diperoleh data berikut.

Tabel 4.1 Data Statistik Penelitian

Statistik Kelas

Eksperimen Kontrol

Pre-test Post-test Pre-test Post-tes

61,91176 71,9705 63,2353 63,4117

83,8451 97,1503 85,1211 78,5939

S 9,1567 9,8564 9,6621 8,8653

80 89,5 80 89,5

50 52,6 45 52,6

N 34 34 34 34

Dari tabel dapat dilihat bahwa pada kelas eksperimen skor rata-rata kemampuan komunikasi matematis 61,91176 dan kelas kontrol memperoleh rata-rata kemampuan komunikasi matematis 63,2353. Pada`hasil post-test yang diperoleh tampak mengalami kenaikan rata-rata skor kemampuan komunikasi matematis pada siswa pada kelas eksperimen dan kontrol. Dari tabel dapat dilihat skor rata-rata kemampuan komunikasi matematis menggunakan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik naik menjadi 71,9705. Tampak

juga pada kelas kontrol skor rata-rata kemampuan komunikasii matematis siswa menggunakan pendekatan konvensional (ekspositori) naik menjadi 63,4117.

Pembahasan

Berdasarkan hasil post-test pada tabel 4.1 dapat dilihat bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa kelas IV SD Negeri 118 Palembang untuk kelas

eksperimen yang mendapatkan

(13)

Sedang kelas kontrol yang mendapat pembelajaran konvensional (ekspositori) walaupun mengalami kenaikan skor rata-ratan kemampuan komunikasi matematis yaitu menjadi 63,41 namun tidak begitu signifikan bila dibandingkan dengan peningkatan skor rata-rata kemampuan komunikasi matematis kelas eksperimen.

Mencermati hasil penelitian di atas, menunjukkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik secara signifikan lebih baik dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional.

Kemampuan komunikasi matematis pada penelitian ini diungkap berdasarkan instrumen yang digunakan yang mencakup: kemampuan membaca dan menulis diukur melalui kemampuan siswa dalam merumuskan informasi yang diketahui dan yang ditanyakan, kemampuan siswa dalam pemodelan, baik model informal maupun model formal, menentukan strategi penyelesaian dan menyelesaikannya, membuat jawaban akhir, dan memberi penjelsan atas jawaban itu. Sedang kemampuan mendengar dan diskusi diukur melalui

kemampuan dalam mengajukan

pertanyaan, memberi penjelsan, dan mengemukakan pendapat pada kegiatan

diskusi kelas.

Dari hasil penelitian diatas juga dapat kita pahami karena dengan adanya masalah kontekstual sebagai titik awal proses pembelajaran, mampu menjadikan siswa lebih aktif dalam memproduksi dan megkonstruksi pengetahuannya melalui pembuatan model-model matematika. Model-model matematika tersebut sebagai bentuk representasi dari masalah yang diperlukan agar dapat mempermudah

dalam menyelesaikan masalah

kontekstual. Dengan model tersebut baik informal maupun formal, siswa dapat menemukan sendiri konsep ataupun

prosedur matematika yang dipelajari. Tahapan-tahaapan penyelesaian masalah tersebut merupakan bagian harus dialami siswa dalam proses pengembangan komunikasi matematis secara tertulis dan juga dalam proses pembelajaran dengan PMR.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa masalah kontekstual yang diberikan dapat dijadikan sebagai titik awal dalam mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa khususnya secara tertulis. Selanjutnya diskusi sebagai jembatan saling membantu antara siswa yang kurang dengan siswa yang lebih baik dalam memahami model yang diberikan. Sehingga pembelajaran dengan PMR sesuai untuk semua tingkatan kemampuan matematika siswa dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matemati.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahhwa Skor kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajar

dengan pendekatan pendidikan

matematika realistik lebih baik dari pada dengan pendekatan konvensional (ekspositori).

Saran

1. Guru diharapkan menerapkan pendekatan pendidikan matematika realistik dalam upaya meningkatkan komunikasi matematis siswa. Karena seperti telah diketahui bahwa PMR signifikan lebih baik untuk

meningkatkan kemampuan

komunikasi matematis dibandingkan dengan pendekatan konvensional (ekspositori)

(14)

seperti peningkatan kemampuan pemecahan masalah atau lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Cai, J., Lane, S., dan Jakabcsin, M.S. (1996). Assessing Students’ Mathematical Comunication. Official journal of The Science and Mathematic. 96(5) 238-246

Darhim. (2004). Pembelajaran

Matematika Kontekstual Terhadap Hasil Belajar dan Sikap Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal dalamMatematika. Disertasi PPs UPI Bandung. Tidak dipublikasikan.

Darhim dan Hamzah. (2005). Antara Realistic Mathematics Education dengan Matematika Modern (New Math). Jurnal Ilmu Pendidikan. Hal: 10-25.

Depdiknas. (2006). Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum TingkatSekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Media Pustaka

De lange, J. (1996). Using and Applying Mathematics Education. In A. J. Bishop (Ed). International Handbook of Mathematics Education. Dordrecnt : Kluwor Academics Publisher.

Frudenthal, H. (1991). Revisiting Mathematics Education. China Lectures. Dordrecht : Kluwer

Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistics Mathematics Education. Utrecht: CD-B press. Fruedenthal Institute.

Hadi, S. (2005). Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin : Tulip

Haji, S. (2005). Pengaruh Pendekatan Matematika Realistik terhadapa Hasil Belajar Matematika di Sekolah Dasar. Disertasi. PPs Unsri Bandung. Tidak di Publikasikan

Herawati. (2007). Mengembangkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Matematika Realisrik dalam Kelompok Kecil. Tsisi UPI Bandung. Tidak diPublikasikan.

Linquist, M dan Elliot, P. C. (1996). “Comunic tion n imper tive for change A Conversation with Mary Linquist” d l m “Comunication in Mathematics K-12 dan Bayment, 1996 Year Book. National Council of Teacher Matematika

Gambar

Tabel 4.1 Data Statistik Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Selain tampilan antar muka yang dibuat semenarik mungkin, aplikasi ini menampilkan pencarian kata dalam bahasa Indonesia dengan lebih mudah dan cepat, sehingga dapat

Piksel (terkecuali) yang dipertimbangkan sebagai sebuah impulse, nilai grayscale dalam piksel pada gambar yang difilter adalah sama dengan citra masukan.. Adaptive

Dengan itu penelitian ini meneliti kinerja perbankan dengan menggunakan metode Economic Value Added (EVA) untuk mengetahui seberapa besar nilai tambah yang mampu

Menurut Kaswad dari Bidang Pendidikan Keagamaan Depar- temen Agama Sulawesi Selatan, diharapkan lembaga pendidikan diniyah ke depan mampu melahirkan pendidikan bermutu yakni

Pengadaan Jasa Konsultansi dan Sertifikasi ISO 9001:2008 Lingkungan Peradilan Agama Wilayah I pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, perusahaan Saudara

Pengukuran kinerja portofolio saham dapat dipermudah dengan menggunakan suatu proksi yaitu saham LQ 45, merupakan saham likuid kapitalisasi pasar yang tinggi, memiliki

Hasil analisis terdiri dari tegangan dan deformasi yang terjadi pada model 3D CAD yang dirancang yang kemudian dianalisis melalui simulasi metode elemen hingga

Guna mendisain PLTU batubara skala kecil, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan yaitu: penetuan lokasi, disain batubara umpan dalam kaitannya pemilihan