• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengket pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengket pdf"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa Asuransi oleh

Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia1

A. Pendahuluan

Konflik merupakan hal yang tidak dapat dihindari dan akan selalu ada dalam

kehidupan manusia. Hal ini karena pada dasarnya manusia sebagai makhluk sosial

(zoon politicon) yang mana hidupnya harus selalu berdampingan dengan orang lain.

Sehingga adanya berbagai kontak sosial yang setiap manusia lakukan bisa saja

menimbulkan perbedaan pendapat yang berujung pada konflik (sengketa).

Menurut Jandt, ada 2 alasan mengapa konflik diperlukan, yakni2:

1. Melalui konflik seseorang menjadi kreatif. (Through conflicts man is creative)

2. Suatu hubungan merupakan hasil dari intensita kreatifitas dengan perkataan lain,

denga adanya intensita dari kreatifitas maka timbullah suatu hubungan. (Such a

relationship may result in creativity because of its intensity)

Walaupun diperlukan, konflik juga dapat mengancam sistem sosial yang dibutuhkan

untuk menjamin keseimbangan dalam upaya penyelesaian, baik menyebabkan

perubahan secara teratur maupun mempertahankan aturan yang dibutuhkan/diinginkan.

Selain itu, konflik dapat menghabiskan energi dan sumber daya yang mubazir. Masih

banyak hal yang dapat ditimbulkan oleh konflik tersebut.

Setiap konflik (sengketa) yang ada dapat diselesaikan maupun dikelola. Ada

yang dikenal dengan Conflict Resolution dan Conflict Management. Berikut adalah

perbandingan keduanya menurut Jay Folberg dan Alison Taylor.

Conflict Resolution

Penyelesaian Konflik

Conflict Management

Pengelolaan Konflik

Model atau pola proses untuk menyesuaikan kembali tujuan, metode, tingkah laku.

Istilah umum untuk proses spesifik untuk mencapai keseimbangan kekuatan melalui

1

Oleh: Anak Agung Ayu Reditha Saras – 2014-050-104 / 12014001664 2

Prof. I Made Widnyana, S.H.,M.H., “Alternatif Penyelesaian Sengketa & Arbitrase”,

(2)

cara non-litigasi

proses yang sama, seperti pada conflict

resolution.

Setiap konflik (sengketa) tentu bisa diselesaikan. Umumnya, penyelesaian

sengketa dilakukan melalui litigasi. Litigasi merupakan penyelesaian sengketa di

pengadilan. Penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui litigasi, yaitu

melalui jalur pengadilan ataupun non-litigasi, yaitu melalui jalurdi luar pengadilan.

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan berpedoman pada Hukum Acara yang

mengatur persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu sengketa dapat

diajukan hingga upaya upaya hukum yang dapat dilakukan. Sedangkan penyelesaian

sengketa di luar pengadilan untuk dilakukannya penyelesaian sengketa harus dilakukan

berdasarkan kesepakatan para pihak, tidak berdasarkan adanya pemaksaan, dan

prosedur penyelesaian atas suatu sengketa diserahkan sepenuhnya kepada para pihak

yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan, pada umumnya ada beberapa

faktor kekurangan. diantaranya adalah faktor jangka waktu yang lama, Faktor biaya

yang besar dapat menjadi penghambat dalam penyelesaian sengketa. Pengadilan juga

harus menangani perkara yang harus diselesaikan bahkan sampai menumpuk

perkara-nya.3 Karena pada biasanya untuk menyelesaikan suatu kasus perdata di pengadilan

dapat membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan sengketa sampai pada

3

Sembiring, Jimmy Joses, S.H, M.Hum., “Cara Menyelesaikan Sengketa di luar

(3)

putusan hakim dibacakan. Tidak hanya itu, putusan yang telah keluar dari pengadilan

pun belum tentu memberikan rasa puas bagi para pihak yang bersengketa sehingga

mereka mengajukan upaya hukum seperti banding, kasasi atau peninjauan kembali.

Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain.

Cara lain untuk menyelaikan sengketa melalui peradilan yakni dengan

metode negosiasi, mediasi dan arbitrase4. Tiga hal ini merupakan hal yang banyak

dilakukan (common) dalam penyelesaian sengketa diluar Pengadilan atau biasa

disebut dengan istilah Alternative Dispute Resolution (Alternatif Penyelesaian

Sengketa). Alternatif penyelesaian sengketa ini merupakan penyelesaian sengketa

melalui jalur non-litigasi. Adanya jalur non-litigasi ini ditempuh sebelum litigasidilakukan.

selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum

remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.5

Secara umum penyelesaian sengketa di luar proses pengadilan

di-equivalensi-kan dengan pemeriksaan sengketa oleh orang-orang yang ahli mengenai objek yang

disengketakan dengan waktu penyelesaian yang relatif cepat, biaya ringan dan

pihak-pihak dapat menyelesaikan sengketa tanpa publikasi yang dapat merugikan reputasi

dan lain sebagainya. Penyelesaian sengketa di luar proses pengadilan mempunyai

maksud untuk menyelesaikan sengketa bukan sekedar memutuskan perkara atau

perselisihan.

Badan atau lembaga yang menangani penyelesaian sengketa di luar pengadilan

ada sangat banyak. Secara umum, ada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

yang mana sebagai awal dari lembaga alternative penyelesaian sengketa di Indonesia.

Seiring perkembangan jaman, banyak lembaga alternative penyelesaian sengketa yang

bermunculan dengan “menjual” spesialisasi. Salah satu nya adalah Badan Mediasi dan

Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) yang bergerak di alternative penyelesaian

4Dalam Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang No. 30/1999 menentukan beberapa bentuk

penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Maka dari ketentuan tersebut bentuk-bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa yakni Negosiasi, Mediasi, Arbitrase, Konsultasi, Fasilitasi, Konsiliasi dan Penilaian Ahli. Namun dalam artikel ini hanya akan difokuskan pada Negosiasi, Mediasi dan Arbitrase.

5

Winarta, Herda Frans, S.H, M.H., “Hukum Penyelesaian Sengketa”, Jakarta : Sinar

(4)

sengketa bidang Asuransi. BMAI sendiri berdiri sejak tahun 2006 dan pada 2015 yang

lalu disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga alternative penyelesaian

sengketa antara konsumen dan lembaga jasa keuangan di sector perasuransian.

Dalam BMAI, ada 3 macam alternative penyelesaian sengketa yakni Mediasi,

Ajudikasi dan Arbitrase. Tentunya setiap metode mempunyai syarat yang berbeda-beda

dan prosedur yang berbeda juga. Selanjutnya kemudian akan dibahas mengenai segala

detail prosedur dari setiap metode BMAI dan perbedaan sengketa asuransi yang

diselesaikan dengan BMAI dan dengan badan atau lembaga lainnya.

B. Rumusan Masalah

Dari paparan diatas, dapat dirumuskan bahwa yang menjadi pokok bahasan

yakni Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam BMAI. Untuk itu, dilakukan

beberapa pertanyaan guna untuk menjawab dan menjabarkan pokok bahasan tersebut,

yakni.

1. Bagaimana Prosedur setiap metode alternative penyelesaian sengketa dalam

BMAI?

2. Apa yang menjadi perbedaan BMAI dengan badan atau lembaga alternative

penyelesaian sengketa?

C. Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia

Karena arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa bertujuan untuk

menyelesaikan sengketa secara efektif dan efisien, maka banyak lembaga yang dibuat

(5)

Gambar 1(sumber: Modul ADR oleh Rocky Marbun, S.H., M.H.)

Pada artikel ini yang akan dibahas yakni Penyelesaian Sengketa di bidang

Asuransi yang dilakukan oleh Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI)

dari sekian banyak lembaga alternatif penyelesaian sengketa.

BMAI sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa di bidang asuransi

memegang peranan penting dalam menyelenggarakan penyelesaian sengketa non

litigasi, yaitu melalui proses mediasi dalam rangka memperoleh kesepakatan antara

Pemohon dan perusahaan Asuransi. Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa berbunyi

Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang di dasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.”

Maksud dari Pasal tersebut adalah penyelesaian sengketa tidak harus didasarkan pada

putusan Pengadilan Negeri serta tidak harus dijalankan melalui HIR (Herziene

Indonesisch Reglement). Alternatif Penyelesaian Sengketa diselenggarakan melalui pranata mediasi yang dalam peranannya berfungsi menjadi tempat bertemunya para

(6)

secara musyawarah demi tercapainya win-win solution. Itulah yang menjadi peran BMAI

dalam menyelesaikan berbagai sengketa asuransi.

Secara resmi BMAI didirikan pada tanggal 12 Mei 2006 dan mulai beroperasi

pada tanggal 25 September 2006. Pendiriannya ini sejalan dengan Surat Keputusan

Bersama empat Menteri yaitu a) Menteri Koordinator Bidang Perekonomian

No.KEP.45/M.EKON/07/2006; b) Gubernur Bank Indonesia No.8/50/KEP.GBI/ 2006; c)

Menteri Keuangan No.357/KMK.012/2006; dan d) Menteri Negara Badan Usaha Milik

Negara No.KEP-75/MBU/2006 Tentang Paket Kebijakan Sektor Keuangan yang

ditetapkan di Jakarta tanggal 5 Juli 2006. Juga sejalan dengan ketentuan Lampiran III

Lembaga Keuangan Non-Bank poin - 3 program -3 tentang Perlindungan Pemegang

Polis dengan Penanggung Jawab Departemen Keuangan RI.

BMAI didirikan dengan tujuan untuk memberikan pelayanan yang profesional dan

transparan yang berbasis pada kepuasan dan perlindungan serta penegakkan hak-hak

Tertanggung atau Pemegang Polis melalui proses Mediasi dan Ajudikasi. BMAI

dibentuk dengan tujuan untuk memberikan representasi yang seimbang antara

Tertanggung dan/atau Pemegang Polis dan Penanggung (Perusahaan Asuransi).

Tertanggung atau Pemegang Polis yang tidak menyetujui penolakan tuntutan ganti rugi

atau manfaat polisnya oleh Penanggung (Perusahaan Asuransi) dapat meminta

bantuan BMAI untuk menyelesaikan sengketa antara mereka. Dasar dari penyelesaian

sengketa ini tentunya adalah Polis Asuransi.

Dengan terbitnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor:

1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di Sektor

Jasa Keuangan, BMAI harus mengadakan beberapa penyesuaian agar ia bisa diterima

(7)

kegiatannya dengan fungsi penyelenggara arbitrase dan mengubah namanya menjadi

Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia6.

Adapun syarat-syarat suatu sengketa dapat diterima BMAI yakni:

• Pemohon7 yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan

• Anggota8 yang terlibat dalam sengketa harus merupakan pihak yang tunduk pada

yurisdiksi BMAI karena masih terdaftar sebagai Anggota BMAI

• Sengketa yang timbul dari permasalah berkaitan dengan hubungan Pemohon

dengan Anggota

• Lingkup Sengketa yang diajukan harus berada dalam yurisdiksi BMAI sejak BMAI

didirikan

• Anggota tidak dapat menyelesaikan Sengketa secara langsung dengan Pemohon

sesuai dengan tuntutan Pemohon dalam waktu 30 hari sejak diampaikannya

keberatan oleh Pemohon kepada Anggota

• Nilai tuntutan ganti rugi atau manfaat polis yang dipersengketakan tidak melebihi dari

Rp500.000.000,00 untuk Asuransi Jiwa dan Rp750.000.000,00 untuk Asuransi

Kerugian (untuk Mediasi dan Ajudikasi).

BMAI juga mengalami perluasan kewenangan dimana tidak hanya

menyelesaikan sengketa antara Tertanggung dan/atau Pemegang Polis dengan

Perusahaan Asuransi (Anggota), namun juga sengketa antar Anggota.

Penyelesaian sengketa klaim (tuntutan ganti rugi/ manfaat) dilakukan oleh BMAI

dalam 3 (tiga) bagian yaitu: Tahap Mediasi, Tahap Ajudikasi, serta Tahap Arbitrase. 3

6Update: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan Badan Mediasi dan Arbitrase

Asuransi(BMAI) sebagai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) antara

konsumen dengan lembaga jasa keuangan di sektor perasuransian. Penetapan itu

dilakukan dalam daftar LAPS Nomor KEP-3/D.07/2015 tertanggal 24 November 2015

lalu.

7

Pemohon adalah a) Tertanggung dan/atau Pemegang Polis yang namanya tercantum

di dalam Polis; b) Perusahaan Asuransi; Perusahaan Reasuransi (Anggota) 8

Anggota adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi yang terdaftar dan

(8)

metode ini merupakan syarat untuk menjadi Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa

menurut OJK9.

Gambar 2 Skema Tahapan BMAI

1. Mediasi

Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan konflik atau sengketa di mana

pihak luar atau pihak ketiga yang tidak memihak (impartial) bekerja sama dengan pihak

yang bersengketa atau konflik untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian

dengan memuaskan. Alternatif penyelesaian sengketa melalui negosiasi ini memiliki

beberapa kelebihan, yakni diantaranya adalah Keputusan yang hemat dan

Penyelesaian secara cepat. Menurut ketentuan BMAI, mediasi merupakan proses

9Pasal 4 huruf aPeraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tahun 2014

Tahap 1 – Mediasi: Permohonan Penyelesaian Sengketa Klaim Asuransi

yang diterima BMAI akan ditangani oleh Mediator yang akan berupaya agar Tertanggung atau Pemegang Polis dan Penanggung (Perusahaan

Asuransi) dapat mencapai kesepakatan untuk menyelesaian sengketa secara damai dan wajar bagi kedua belah pihak. Mediator akan bertindak

sebagai penengah antara Tertanggung atau Pemegang Polis (Pemohon) dan Penanggung atau Perusahaan Asuransi (Termohon).

Tahap 2 – Ajudikasi: Bila Sengketa Klaim (tuntutan ganti rugi atau

manfaat) tidak dapat diselesaikan melalui Mediasi (Tahap 1), maka Pihak Pemohon dapat mengajukan permohonan kepada Ketua BMAI agar sengketanya dapat diselesaikan melalui proses Ajudikasi. Sengketa akan

diputuskan oleh Majelis Ajudikasi yang ditunjuk oleh BMAI.

Tahap 3 – Arbitrase: Atas sengketa klaim yang tidak dapat diselesaikan

pada proses Mediasi atau Ajudikasi dan yang nilai sengketanya melebihi Batas Nilai Tuntutan Ganti Rugi dilakukan proses Arbitrase. Sengketa

(9)

penyelesaian sengketa melalui upaya musyawarah dan mufakat antara Pemohon dan

termohon (Anggota) yang di fasilitasi oleh Mediator. Mediator setelah menerima

permohonan penyelesaian sengketa dari Pemohon yang melampirkan kronologis

timbulnya sengketa dari Pemohon yang melampirkan kronologis timbulnya sengketa

beserta bukti-bukti pendukungnya (polis asuransi, kwitansi, dll) akan menghubungi

Termohon guna mendapatkan keterangan terkait sengketa yang diajukan Pemohon, lalu

mengadakan investigasi dan mengetahui duduk perkara. Setelah itu, Mediator

mengadakan pertemuan bersama dengan para pihak dan berupaya memberikan

masukan agar proses negosiasi menjadi lebih mudah untuk mencapai kesepakatan di

antara para pihak. Setelah pertemuan dan negosiasi, para Pihak diharapkan

mempunyai kesamaan pendapat yaitu apakah Termohon mengubah keputusan

penolakan klaim dan dengan demikian membayar klaim ataukah Pemohon dapat

menerima alasan penolakan klaimnya oleh Termohon dan dengan demikian tiak

mendapat pembayaran atas klaimnya.

Dalam proses Mediasi, keputusan akhir ada di tangan para pihak dan bukan

Mediator. Mediator hanya berfungsi sebagai fasilitator untuk memudahkan para pihak

bernegosiasi untuk mengambil keputusan. Jika mediasi berhasil dan tercapai

kesepakatan antara para pihak, maka akan dibuat Perjanjian Mediasi yang berisi semua

hal yang disepakati Pemohon dan Termohon. Namun apabila tidak berhasil, maka

Pemohon dapat mengajukan Permohonan ke Ketua BMAI untuk melanjutkan ke tingkat

Ajudikasi atau memilih upaya hukum lain (Arbitrase atau Pengadilan). Apabila memilih

Ajudikasi, maka Pemohon harus mengisi formulir permohonan ajudiasi yang diajukan

kepada Ketua BMAI (lihat lampiran 1).

2. Ajudikasi

Ajudikasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar arbitrase dan

peradilan umum yang disepakati oleh para pihak untuk diselesaikan melalui BMAI

dengan maksimum nilai klaim asuransi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan dan

Prosedur Ajudikasi BMAI. Jika Ketua BMAI meluluskan permohonan Pemohon untuk

melanjutkan penyelesaian sengketa ke tingkat ajudikasi, maka akan ditunjuk 3

(10)

Pemohon sebagai Majelis Ajudikasi. Salah satu dari majelis ini akan mejadi Ketua

Majelis dan berfungsi mengatur dan mengawasi persidangan. Terhadap penunjukkan

Ajudikator, Pemohon maupun Termohon dapat mengajukan Hak Ingkar dengan

alasan-alasan tertentu yang sah dan dapat diterima Ketua BMAI. Proses persidangan ajudikasi

di BMAI memang dibuat sesuai prinsipnya yakni cepat dan murah (lihat lampiran 2).

Pemeriksaan sengketa dilakukan secara tertulis yaitu dokumen Permohonan Pemohon

dan Jawaban Penanggung, masing-masing berikut buktinya. Pemeriksaan secara lisan

atau tatapmuka dapat dilakukan apabila perlu. Tidak ada replik maupun duplik atau

kesimpulan, maka dari itu disebut “arbitrase mini”. Setiap pemeriksaan dilakukan secara

tertutup dan kehadiran pihak lain harus sesuai persetujuan majelis serta para pihak.

Hukum yang berlaku adalah hukum tempat ajudikasi dilakukan. Bahasa yang digunakan

adalah Bahasa Indonesia dan bahasa lain yang disetujui oleh Majelis.

Berbeda dengan putusan ajudikasi dan arbitrase pada umumnya (final dan

binding bagi seluruh pihak), putusan majelis ajudkasi BMAI hanya mengikat

Penanggung saja, artinya jika pemohon menerima putusan tersebut maka penanggung

harus melaksanakan putusan tersebut. Sebaliknya jika Pemohon tidak menerima

putusan majelis ajudikasi, artinya ketika tuntutannya diputuskan ditolak oleh majelis

ajudikasi, maka pemohon bebas mencari upaya hukum lain. Ketentuan ini dibuat karena

Penanggung adalah anggota BMAI yang wajib terikat pada putusan perhimpunannya,

sementara Pemohon adalah pihak lain yang tidak merupakan bagian dari BMAI dan

oleh karena itu mereka tidak dapat diwajibkan untuk terikat pada Putusan BMAI.

Pemohon perorangan wajib mengikuti sendiri semua proses penyelesaian

sengketa yang diselenggarakan BMAI melalui Mediasi dan Ajudikasi dan tidak

diperkenankan menunjuk orang lain untuk mewakilinya. Pemohon boleh didampingi oleh

paling banyak 2 orang dan para pendamping tidak mempunyai hak berbicara di dalam

pertemuan mediasi dan persidangan Ajudikasi kecuali atas izin mediator atau majelis.

Pemohon yang berstatus badan usaha wajib menunjuk, dengan surat kuasa khusus,

seorang atau maksimal 3 karyawannya dengan menyebutkan possi jabatan di

(11)

3. Arbitrase

Sebagai badan yang menyelenggarakan Arbitrase, BMAI mempunyai

Peraturan dan Prosedur sendiri yang pada prinsipnya sesuai dan tidak bertentangan

dengan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Syarat agar arbitrase bisa dilakukan

yakni dengan membuat perjanjian arbitrase yang berisi klausula arbitrase. Perjanjian

Arbitrase menurut Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah suatu kesepakatan berupa

kausual arbitrase yang terantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak

sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para

pihak setelah timbul sengketa. Pada dasarnya, klausul arbitrase tersebut harus memuat

pernyataan mengenai penyelesaian sengketa secara arbitrase, pilihan hukum (untuk

internasional), serta mengenai lembaga arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa

yang dipilih oleh para pihak. Apabila para pihak sudah membuat perjanjian arbitrase,

maka Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah

terikat dalam perjanjian arbitrase.10

Hal ini juga berlaku, di BMAI. Arbitrase dapat dilakukan apabila ada

Perjanjian Arbitrase diantara Para PIhak yang bersangkutan. Dalam perjanjian tersebut,

harus disebutkan secara tegas mengenai penunjukkannya atas forum Arbitrase BMAI.

Para pihak yang telah terikat tersebut dianggap telah sepakat dan meniadakan proses

pemeriksaan perkara melalui Pengadilan Negeri dan/atau lembaga alternative

penyelesaian sengketa lainnya. Adanya klausula arbitrase dalam suatu perjanjian pokok

harus diperlakukan sebagai sebuah perjanjian terpsah dari perjanjian pokok yang

bersangkutan.11

Di BMAI, sengketa diperiksa dan diadili oleh seorang Arbiter Tunggal atau

sebuah Majelis Arbiter yang terdiri dari 3 orang Arbiter (lihat lampiran 3). Pemilihan

Arbiter Tunggal dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak. Sementara untuk

Majelis Arbitrase, masing-masing pihak memilih sendiri Arbiter dan satu Arbiter yang

berdasarkan pemilihan dua arbiter tersebut untuk bertindak sbagai Ketua Majelis yang

10

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ttg Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

11

(12)

mana bertugas untuk memimpin dan mengatur jalannya persidangan dan tidak

bertindak sebagai wasit. Ketiga arbiter tersebut mempunyai hak yang sama dalam

menetapkan putusan perkara dan keputusan majelis diambil berdasarkan pendapat

suara terbanyak yaitu pendapat dua atau tiga arbiter. Putusan Majelis Arbitrase bersifat

Final and Binding. Putusan tersebut didaftarkan BMAI ke panitera Pengadilan Negeri

tempat Pemohon berasa. Para Arbiter harus dipilih oleh para pihak dari nama-nama

orang yang tercantum dalam Daftar Arbiter BMAI. Orang-orang yang namanya tidak

terdaftar di BMAI tidak boleh ditunjuk, kecuali jika tidak terdapat keahlian pada arbiter

terdaftar untuk memeriksa perkara yang disengketakan. Dalam pelaksanaannya, ada

beberapa biaya yang harus ditanggung yakni:

a) Biaya Pendaftaran: ditanggung Pemohon

b) Biaya Pemeriksaan (sewa ruang sidang, penggandaan dokumen, konsumsi

persidangan, dll): ditanggung masing-masing pihak sebesar 50%

c) Biaya Arbiter: dihitung berdasarkan nilai sengketa dengan skala tariff biaya yang

sudah ditetapkan dengan pembayaran dimuka sebelum proses persidangan dimuka

sebelum proses persidangan arbitrase dimulai sebesari 50% oleh masing-masing pihak

dan ditanggung oleh pihak yang kalah yang akan ditetapkan dengan putusan.

d) Biaya Pelaksaan Putusan Arbiter: ditanggung oleh masing-masing pihak sesuai

dengan ketentuan yang berlaku pada masing-masing Pengadilan Negeri.

Walaupun secara sekilas Ajudikasi dan Arbitrase terlihat sama, namun keduanya

mempunyai sebuah perbedaan. Hal tersebut terletak pada batas nilai tuntutan ganti rugi

atau manfaat polis yang dipersengketakan. Dalam BMAI, dikenal adanya batas nilai

tuntutan ganti rugi. Batas tersebut yakni maksimal Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima

puluh juta rupiah) per klaim untuk asuransi kerugian/umum dan maksimal

Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per klaim untuk asuransi jiwa atau Asuransi

(13)

D. Eksistensi Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia

BMAI sebagai sebuah lembaga alternative penyelesaian sengketa asuransi

merupakan lembaga yang juga menjadi sarana perlindungan konsumen khususnya di

sector Asuransi. Eksistensi BMAI oleh perusahaan Asuransi di Indonesia tentu sudah

dikenal karena sekitar lebih dari 100 perusahaan asuransi dan reasuransi menjadi

anggota dari BMAI. Sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2014, sudah ada 527 kasus

yang masuk ke BMAI.

Kasus yang masuk cukup banyak dan lebih dari 50% kasus tersebut dinyatakan

selesai, baik melalui mediasi maupun ajudikasi. Hal ini dirasa BMAI masih kurang eksis

di dalam alternative penyelesaian sengketa. Dari sekian banyak polis asuransi di

Indonesia, adanya 527 kasus di selesaikan melalui BMAI dirasa kurang. Hal ini mungkin

karena penyelesaian sengketa dengan hasil akhir yang kurang mengikat dan pasti.

Seperti yang diketahui, bahwa ini memang salah satu kekurangan dari alternative

penyelesaian sengketa secara umum. Selain itu, banyaknya kasus diluar juridikasi yang

masuk dapat mengindikasikan bahwa kurangnya sosialisasi syarat-syarat untuk

menyelesaikan sengketa melalui BMAI.

Walaupun kasus hanya 527 dalam kurun waktu 8 tahun, namun hal ini

mengindikasikan bahwa banyaknya orang yang sadar akan pentingnya asuransi dan

(14)

ada sebuah klaim macet atau bermasalah, maka mereka tahu bahwa hal tersebut harus

diselesaikan dan dicari tahu penyebab serta dicari keadilannya.

Selain itu, adanya kesadaran bahwa setiap sengketa tidak harus diselesaikan di

pengadilan langsung. Ini merupakan hal yang bagus karena adanya orang yang

percaya dengan metode alternative penyelesaian sengketa dan mau untuk menjalani

metode tersebut dalam mencari keadilan. Lebih banyak kasus yang diselesaikan melalui

mediasi juga berarti mediasi yang dilakukan oleh BMAI cukup baik karena tidak banyak

yang melanjutkan ke ajudikasi. Perlu diketahui dalam mediasi ini pihak yang paling

berperan besar yakni mediator sebagai pihak ketiga. Hal ini dikarenakan peranan yang

penting dan menentukan dalam penyelesaian suatu sengketa. Walaupun demikian, di

dalam mediasi tetap para pihak yang berperan menghasilkan kesepakatan. Sehingga

untuk berhasilnya mediasi perlu 2 hal yakni: (1) Para pihak yang mempunyai keinginan

serta saling percaya mempercayai untuk melakukan mediasi; (2) Mediator yang

handal.12 Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa mediasi dalam BMAI cukup

terpercaya dan handal dalam menyelesaikan masalah.

Kemudian eksistensi dari BMAI juga bergantung dari ciri khas yang ditonjolkan. Ciri

khas yakni tentunya kekhususan dalam bidang Asuransi. Setiap mediator, ajudikator

dan arbiter merupakan orang-orang yang memang berkecimpung di bidang asuransi

sehingga ada jaminan bahwa setiap perkara dapat diselesaikan dengan baik. Karena

dengan adanya orang yang mengerti dan paham betul dengan asuransi, maka

diharapkan kasus asuransi dapat diselesaikan berdasarkan pengetahuan dan keahlian

di bidang asuransi sehingga hasilnya akan jauh lebih baik. Hal ini tentunya menjadi

kelebihan disbanding dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Karena

apabila melalui pengadilan, hakim belum tentu menguasai asuransi sepenuhnya.

Sehingga penyelesaian kasus kurang memperhatikan teknis asuransi sesungguhnya.

Prosedur dalam BMAI juga menjadi ciri khasnya sendiri. Yakni adanya “jenjang”

penyelesaian. Jenjang ini maksudnya setiap kasus yang tidak berhasil diselesaikan

dengan mediasi, maka dapat dilanjutkan melalui ajudikasi. Ajudikasi yang sebagai “mini

arbitrase” mempunyai sifat memutus dan putusan dilakukan berdasarkan pemeriksaan

12

(15)

pihak ketiga dalam hal ini ajudikator. Perbedaan dengan arbitrase tentu ada di batas

nilai tuntutan ganti rugi yakni maksimal Rp750.000.000 untuk asuransi umum dan

maksimal Rp500.000.000 untuk asuransi jiwa.

Syarat tersebut juga menjadi perbedaan atau ciri khas tersendiri dari BMAI dalam

menyelesaikan kasus di bidang asuransi. Karena apabila nilai tuntutan ganti rugi atau

nilai manfaat polis melampaui batas maksimal, maka berbeda metode yang harus

dilalui. Hal ini dirasa perlu dilakukan karena apabila nilai manfaat polis besar, maka

diperlukan sebuah putusan yang lebih pasti dan mengikat. Dengan arbitrase, putusan

tersebut lebih terasa final and binding. Hal ini dikarenakan putusan tersebut di daftarkan

di Pengadilan Negeri.

E. Penutup

Pada perkembangan zaman ini, kasus sengketa klaim Asuransi semakin marak.

Hal ini dikarenakan masyarakat yang mulai menyadari pentingnya asuransi dan “melek

hukum”. Belum lagi adanya Polis Asuransi dan Perusahaan Asuransi yang terkadang

membuat sulit klaim asuransi. Dengan adanya Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi

Indonesia (BMAI) ini, dapat membuat adanya sebuah wadah untuk penyelesaian di

bidang Asuransi menjadi lebih pasti serta efisien. Hal ini karena Asuransi bukanlah

bidang yang mudah sehingga dengan adanya BMAI yang membantu dalam alternatif

penyelesaian sengketa, dapat membuat penyelesaian sengketa menjadi lebih mudah.

Hal ini karena setiap Mediator, Ajudikator maupun Arbiter sudah pasti mengetahui seluk

beluk asuransi sehingga tidak lagi ada keraguan maupun kurangnya pengalaman

diantara mereka.

Saran untuk penyelesaian sengketa di bidang Asuransi dan BMAI yakni adalah

semoga dilakukan sosialisasi lebih luas lagi sehingga setiap masyarakat yang

mengalami sengketa Asuransi dapat mendapat bantuan dalam penyelesaian sengketa.

Tentunya apabila Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi tidak menanggapi

keluhan kita dengan tidak baik. Selain itu, dengan melalui BMAI maka perkara yang kita

lewati bisa tetap ‘rahasia’ dan proses penyelesaian yang lebih kekeluargaan serta lebih

(16)

Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor: 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga

Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS)

Keputusan OJK Nomor KEP-3/D.07/2015 tentang Daftar lembaga Alternatif

Penyelesaian Sengketa di Jasa Keuangan

BMAI. Peraturan dan Prosedur Mediasi.

BMAI. Peraturan dan Prosedur Ajudikasi.

BMAI. Peraturan dan Prosedur Arbitrase.

Bryan A. Garner, editor in chief, “Black’s Law Dictionary” West Group-St, 1999.

Folberg, Jay and Taylor, Allison. 1984. Mediation A Comprehensive Guide to Resolving

(17)

Goldberg, Stephen B., Frank E. Sander, Nancy H. Rogers & Sarah Rudolph Cole.

Dispute Resolution: Negotiation Mediation & Other Processes (Aspen 6th ed. forthcoming).

Muhammad, Prof. Abdulkadir, S.H.. 2006. Hukum Asuransi Indonesia, Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti.

Sendra, Dr. Ketut, S.pd,S.H.,M.M.,AAIJ,QIP,CLU,CRGP, dkk. 2016. Badan Mediasi dan

Arbitrase Asuransi Indonesia: 10 Tahun Berkiprah dan Tantangannya ke Depan. Jakarta: Lembaga Penerbit Pustaka Perasuransian.

Sembiring, Jimmy Joses, S.H, M.Hum..2011. “Cara Menyelesaikan Sengketa di luar

Pengadilan”. Jakarta : Transmedia Pustaka,

Widnyana, Prof. I Made, S.H.,M.H., 2014. “Alternatif Penyelesaian Sengketa &

Arbitrase”. Jakarta: PT. Fikahati Aneska,

Winarta, Herda Frans, S.H, M.H..2012.“Hukum Penyelesaian Sengketa”, Jakarta : Sinar

(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)

Gambar

Gambar 1(sumber: Modul ADR oleh Rocky Marbun, S.H., M.H.)
Table 1 Rekapitulasi Sengketa BMAI periode 2006 - 2014

Referensi

Dokumen terkait

Alternatif penyelesaian sengketa atau Alternative Dispute Resolution(ADR) dapat diartikan sebagai penyelesaian sengketa yang dilaksanakan baik oleh pihak ketiga, di luar

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelessaian sengketa Umum, Pasal 1 angka 10, merumuskan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa

Maria Kaban, 2011, Bahan Ajar Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Medan.Anggreany Arief, 2009, Skripsi Mediasi Sebagai. Alternatif Penyelesaian Perkara Perdata

Namun demikian, dalam praktek seringkali para pihak sepakat bahwa penyelesaian sengketa perdata yang disepakati dengan musyawarah mufakat (melalui mediasi), akan

Dalam Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa sengketa atau beda pendapat perdata dapat

Kata “Pertemuan langsung” sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) UUAAPS menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa atau beda pendapat dilakukan melalui

30 Tahun 1999 Pasal 6 ayat 3 yaitu “Dalam hal sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak dapat diselesaikan, maka atas

30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diatur beberapa hal menyangkut tata cara alternatif penyelesaian sengketa, yaitu: 1 Sengketa atau beda pendapat