• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PERENCANAAN STRU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA PERENCANAAN STRU"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Struktur Atap

Struktur atap adalah bagian bangunan yang menahan/mengalirkan beban-beban dari atap. Struktur atap terbagi menjadi rangka atap dan penopang rangka atap. Rangka atap berfungsi menahan beban dari bahan penutup atap sehingga umumnya berupa susunan balok – balok (dari kayu/bambu/baja) secara vertikal, horizontal dan diagonal kecuali pada struktur atap dak beton (Zikri,2016). Berdasarkan posisi inilah maka muncul istilah gording, kasau dan reng. Dalam strukur atap terdiri dari struktur kuda-kuda, gording, dan penutup atap.

2.2 Kuda-kuda Baja

Pada konstruksi kuda-kuda yang mempunyai jarak bentang yang besar akan terdapat gaya batang yang besar pula hingga konstruksi sambungan titik buhul pada kuda-kuda kayu akan sulit pemecahannya. Maka untuk mengatasi hal ini dibuatlah konstruksi kuda-kuda dari baja.

Untuk jarak kuda-kuda satu terhadap yang lain cukup besar misalnya 5,00 m sampai 6,00 m, balok gording dapat dibuat dari baja profil kanal atau baja profil L, sedangkan untuk jarak kuda-kuda yang lebih besar lagi, maka untuk menghemat balok gording dapat dibuat dari baja profil yang disusun (“construer”) (Sumargo, 2009).

Pada kuda-kuda baja yang besar, maka konstruksi tumpuan harus betul-betul dapat menjamin kebebasan kuda-kuda untuk bergerak akibat kembang susut baja karena perubahan temperatur. Pada kontruksi yang sederhana, agar kuda-kuda dapat bergerak dengan bebas maka lubang untuk angkur baut dapat dibuat bujur telur (“oval”) sedangkan pada konstruksi yang besar harus dibuat konstruksi khusus (Sumargo, 2009).

(2)

2.3 Baja

Bahan baja, sebagaimana kita ketahui dewasa ini, merupakan kreasi manusia modern. Pendahulu baja, yaitu besi cetak (cast iron, ditemukan di Cina pada abat ke IV sebelum masehi) dan besi tempa (wrought iron), telah banyak digunakan pada banyak gedung dan jembatan sejak pertengahan abad kedelapan belas sampai pertengahan abad kesembilan belas. Meskipun demikian, di Amerika Serikat, baja baru mulai dibuat pada tahun 1856 (Speigel,L.,& Limbrunner George,F.,1998). Baja konstruksi adalah alloy steels (baja panduan), yang umumnya mengandung lebih dari 98% besi dan biasanya kurang dari 1% karbon. Sekalipun komposisi aktual kimiawi sangat bervariasi untuk sifat-sifat yang diinginkan, seperti kekuatannya dan ketahanannya terhadap korosi, baja dapat juga mengandung elemen paduan lainnya, seperti silikon, magnesium, sulfur, fosfor, tembaga, krom, nikel, dalam berbagai jumlah. Baja tidak merupakan sumber yang dapat diperbarui (renewable), tetapi dapat mempunyai daur ulang (recycled), dan komponen utamanya besi sangat banyak. Salah satu keuntungan baja adalah keseragaman bahan dan sifat-sifatnya yang dapat diduga secara cukup tepat. Kestabilan dimensional, kemudahan pembuatan, dan cepatnya pelaksanaan juga merupakan hal-hal yang menguntungkan dari baja struktural ini. Kita dapat juga menuliskan kerugian-kerugiannya seperti mudahnya bahan ini mengalami korosi (kebanyakan baja, tidak semua jenis baja) dan berkurangnya kekuatan pada temperatur tinggi. Baja tidak mudah terbakar, tetapi harus antiapi (Speigel,L.,& Limbrunner George,F.,1998).

Sedangkan baja ringan adalah komponen berkualitas struktural dari lembaran baja yang dibentuk model tertentu dengan proses press-braking atau roll forming. Suhu tidak diperlukan dalam proses pembentukan (tidak seperti baja hot-rolled), oleh sebab itu disebut cold-formed. Biasanya baja cold-formed merupakan komponen tipis, ringan, mudah untuk diproduksi, dan murah dibandingkan baja hot-rolled (Mutawalli, 2010).

(3)

tahun 1949 atas dukungan AISI (American Iron and Steel Institute) (Wei-Wen Yu, 2000). Sejak dikeluarkan peraturan tersebut atau lebih dari lima dekade ini, maka pemakaian material baja canai dingin semakin berkembang untuk konstruksi bangunan, mulai struktur sekunder sampai struktur utama, misalnya untuk balok lantai, rangka atap dan dinding pada bangunan industri, komersial maupun rumah tinggal.

Proses pembebanan diluar elastic range menyebabkan perubahan dalam daktilitasnya yang berguna, jika digunakan dalam temperatur atmosfir. Proses semacam ini dikenal sebagai Cold Work (Oentoeng, 2000). Baja ringan atau light weight steel adalah komponen struktur baja dari lembaran atau pelat baja dengan proses pengerjaan dingin kemudian diproses kembali komposisi atom dan molekulnya (Irfan dkk., 2013). Karakteristik dari baja struktur dapat dilihat pada Tabel 2.1 Sifat Mekanis Baja Struktural:

Tabel 2.1 Sifat Mekanis Baja Struktural Jenis Baja Tegangan Putus

Sumber : Tata cara perencanaan struktur baja untuk bangunan gedung, SNI 03-1729-2002 halaman 11

Menurut Tata cara perencanaan struktur baja untuk bangunan gedung, SNI 03-1729-2002 halaman 9, tegangan putus dan leleh untuk perencanaan tidak boleh diambil melebihi nilai yang ada ditabel tersebut. Sifat-sifat mekanis baja lainnya yang ditetapkan sebagai berikut :

E (Modulus Elastisitas) = 200.000 MPa G (Modulus Geser) = 80.000 MPa µ (Nisbah Poisson) = 0,3

(4)

Menurut Tata Cara Perencanaan Struktur Baja Untuk Bangunan Gedung. SNI 03-1729-2002 halaman 27, untuk penampang yang mempunyai perbandingan lebar terhadap tebalnya lebih kecil dari pada nilai λr, daya dukung nominal

komponen struktur tekan dihitung sebagai berikut : Nn = Ag.fcr = Ag fy

w …..

……… 2.1

fcr = fyw ……....….. 2.2

untuk λc ≤ 0,25 maka w = 1 untuk 0,25 < λc < 1,2 maka

w = 1,43

1,6−0,67λc …..….….. 2.3

untuk λc ≥ 1,2 maka w = 1,25 λc2

Konstruksi pendukung bangunan mempunyai suatu susunan batang-batang baja terdiri dari :

Rangka atap / Kuda-kuda a) Pembebanan

b) Gording c) Kuda-kuda

2.4 Beban

(5)

pada struktur tersebut. Besar beban yang bekerja pada suatu struktur diatur oleh peraturan pembebanan yang berlaku, sedangkan masalah kombinasi dari beban-beban yang bekerja telah diatur dalam SNI 03-1729-2002 pasal 6.2.2 yang akan dibahas kemudian.

2.4.1 Beban Mati

Beban mati adalah berat dari semua bagian dari suatu gedung yang bersifat tetap, termasuk segala unsur tambahan, penyelesaian-penyelesaian, mesin-mesin serta peralatan tetap yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gedung itu (Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung SNI 03-1727-1989). Termasuk dalam beban mati adalah berat rangka, berat gording, beban atap, dll.

Untuk merancang tentunya beban mati ini harus diperhitungkan untuk digunakan dalam analisa. Dimensi dan berat elemen struktur tidak diketahui sebelum analisa struktur selesai dilakukan. Berat yang ditentukan dari analisa struktur harus dibandingkan dengan berat perkiraan semula. Jika perbedaannya besar, perlu dilakukan analisa ulang dengan menggunakan perkiraan berat yang lebih baik.

Berat beberapa material yang biasa digunakan dalam struktur dalam dilihat dalam Peraturan Pembebanan Indonesia SNI 03-1729-1989 pada Tabel 2.2 Berat sendiri bangunan dari komponen gedung. Untuk material khusus, biasanya produsen telah memberikan data berat material berikut dimensi dan karakteristiknya.

(6)

Baja 7.850 kg/m3

Batu alam 2.600 kg/m3

Batu belah, batu bulat, batu gunung ( berat tupuk ) 1.500 kg/m3

Batu karang ( berat tumpuk) 700 kg/m3

Batu pecah 1.450 kg/m3

Besi tulang 7.250 kg/m3

Beton (1) 2.200 kg/m3

Beton bertulang (2) 2.400 kg/m3

Kayu (kelas) (3) 1.000 kg/m3

Kerikil, koral ( kering udara sampai lembab , tanpa diayak ) 1.650 kg/m3

Pasangan bata merah 1.700 kg/m3

Pasangan batu belah , batu bulat , batu gunung 2.200 kg/m3

Pasangan batu cetak 2.200 kg/m3

Pasangan batu karang 1.450 kg/m3

Pasir ( kering udara sampai lembab) 1.600 kg/m3

Pasir (jenuh air) 1.800 kg/m3

Pasir kerikil, koral ( kering udara sampai lembab) 1.850 kg/m3

Tanah , lempung dan lanau ( kering sampai lembab) 1.700 kg/m3

Tanah, lempung dan lanau ( basah) 2.000 kg/m3

Tanah hitam ( timbel ) 11.400kg/m3

Penggantung langit-langit (dari kayu), dengan bentang maksimum

5 m dan jarak s.k.s. minimum 0,80 m 7 kg/m

2

Penutup atap genting dengan reng dan usuk/kaso per m2 bidang

atap

50 kg/m2

Penutup atap sirap dengan reng dan usuk/kaso per m2 bidang atap 40 kg/m2

Penutup atap seng gelobang (BJLS-25) tanpa gording 10 kg/m2

Semen asbes gelombang (tebal 5 mm) 11 kg/m2

Sumber : SNI 03-1729-1989

(7)

Gording adalah balok atap sebagai pengikat yang menghubungkan antar kuda-kuda. Gording juga menjadi dudukan atau kasau dan balok jurai dalam. Struktur gording direncakan kekuatannya berdasarkan pembebanan beban mati dan beban hidup dan beban angin. Kombinasi pembebanan yang ditinjau adalah beban pada saat pemakaian yaitu beban mati ditambah beban air hujan, sedangkan beban sementara yaitu beban-beban mati ditambah beban pekerja pada saat pelaksanaan.

Dasar perhitungan yang digunakan adalah :

1) Peraturan Pembebanan Bangunan untuk Rumah dan Gedung SNI 03-1727-1989. Memuat dan menjelaskan mengenai ketetapan beban-beban yang harus diperhitungkan dalam perencanaan suatu bangunan.

2) Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI 03-1729-2002. Memuat dan menjelaskan mengenai syarat-syarat serta ketentuan dan standarisasi yang harus dipakai dalam perencanaan, khususnya perencanaan baja di Indonesia.

Struktur gording direncanakan kekuatannya berdasarkan pembebanan beban mati, beban hidup dan beban angin. Kombinasi pembebanan yang ditinjau adalah beban pada saat pemakaian yaitu beban mati ditambah air hujan, sedangkan beban sementara yaitu beban-beban mati ditambah beban pekerja pada saat pelaksanaan.

Apabila gording ditempatkan dibawah penutup atap, maka komponen beban atap dipindahkan tegak lurus ke gording, maka terjadi pembebanan sumbu ganda terjadi momen pada sumbu x dan y dalah Mx dan My.

(8)

a. Pembebanan akibat beban mati (q)

qy q qx

Gambar 2.1 Uraian Beban Gording Akibat Beban Mati

Beban pada sumbu x, qx = q cos α ….………. 2.4

Beban pada sumbu y, qy = q sin α ….………. 2.5 Beban Merata (q)

Gambar 2.2 Beban Merata Gording Momen pada sumbu x, Mx = 1

8 x qx x λ2 …….

……. 2.6

Momen pada sumbu y, My = 18 x qy x λ2 .…………. 2.7

b. Pembebanan akibat beban hidup

(9)

Gambar 2.3 Uraian Beban Gording Akibat Beban Hidup

Beban pada sumbu x, Px = P Cos α .…………. 2.8

Beban pada sumbu y, Py = P Sin α .…………. 2.9 Beban Terpusat (P)

Gambar 2.4 Beban Terpusat (P) Gording

Momen pada sumbu x, Mx = 14 x Px x λ ………… 2.10

Momen pada sumbu y, My =

1

4 x Py x λ ………… 2.11

Momen-momen akibat beban hidup merata q, dan terpusat P diambil yang berpengaruh terbesar. (akibat q atau akibat P).

c. Pembebanan akibat beban angin

Wx Kg/m'

a

Wx b

Gambar 2.5 Pembebanan Akibat Beban Angin

Wx = c . b . tekanan angin kg/m2 ……..….. 2.12

(10)

Dimana : c adalah koefisien angin

Momen yang diakibatkan oleh beban angin adalah :

Mxw = 18 Wy λ2 ….…..

…. 2.14

Myw = 0 .…....…... 2.15

Beban angin yang harus diperhitungkan pada kombinasi pembebanan adalah beban angin tekan. Sedangkan beban angin hisap digunakan untuk perhitungan kekuatan kait.

d. Kontrol Terhadap Tegangan Mx

Wx+ My Wy ≤ σ

………… 2.16 e. Kontrol Terhadap Lendutan

Lendutan izin = L/250 Lendutan terjadi f =

fx2+fy2

(

f´= L

250

)

→Gording ……..….. 2.17

(11)

{

f= 5

385× q . λ4

E . I → Lendutan akibat beban merata

F= 1 48×

P . λ3

E . I → Lendutan akibat beban terpusat

………… 2.18

fg=5

384 q.L^4/E.l

fg=1 P.L^3/E.l

L P

x fy

x fx

y f

Gambar 2.6 Lendutan Pada Gording

2.4.2 Beban Hidup

(12)

hidup dapat termsuk bebean berasal dari air hujan, baik akibat genangan maupun akibat tekanan jatuh (energy kinetik) butiran air. Ke dalam beban hidup tidak termasuk beban angin, beban gempa dan beban khusus yang disebut dalam ayat (2.4.3) dan (2.4.4) (Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung SNI 03-1727-1989). Beban hidup pada atap gedung adalah :

a. Beban hidup pada atap dan/atau bagian atap serta pada stuktur tudung (canopy) yang dapat di capai dan dibebani oleh orang, harus diambil minimum sebesar 100 kg/m2 bidang datar.

b. Beban hidup pada atap dan/atau bagian atap yang tidak dapat dicapai dan dibebani oleh orang, harus diambil yang paling menentukan diantara dua macam beban berikut :

 Beban terbagi rata per m2 bidang datar berasal dari beban air hujan sebesar

(40-0,8α) kg/m2

Dimana α adalah sudut kemiringan atap dalam derajat, dengan ketentuan bahwa beban tersebut tidak perlu ditinjau bila kemiringan atapnya adalah lebih besar dari 50º.

 Beban terpusat berasal dari seorang pekerja atau seorang pemadam kebakaaran dengan peralatannya sebesar minimum 100 kg

c. Pada balok tepi atau gording tepi dari atap yang tidak cukup ditunjang oleh dinding atau penunjang lainnya dari pada kantilever harus ditinjau kemungkinan adanya beban hidup terpusat sebesar minimum 200 kg. d. Beban hidup pada atap gedung tinggi yang diperlengkapi dengan landasan

helikopter (helipad) harus diambil sebesar minimum 200 kg/m2 diluar

daerah landasan, sedangkan pada daerah landasannya harus diambil beban berasal dari helikopter sewaktu mendarat dan mengangkasa.

2.4.3 Beban Angin

(13)

Penentuan beban angin ditentukan dengan menganggap adanya tekanan positif dan tekanan negative (angin hisap) yang berkena tegak lurus pada bidang-bidang yang ditinjau. Besarnya tekanan positif dan tekanan negative ini dinyatakan dalam kg/m2, ditentukan dengan mengalikan angin tekan yang ditentukan pada butir (I),

(II), (III), dan (IV) berikut, dengan ketentuan nilai angin tekan yang harus diambil adalah sebagai berikut :

a. Angin tekan harus diambil minimum 25 kg/m2, kecuali yang ditentukan

dalam ayat-ayat (b), (c), dan (d).

b. Angin tekan dilaut dan ditepi laut sampai sejauh 5 km dari pantai harus diambil minimum 40 kg/m2, kecuali ditentukan dalam ayat-ayat (c), dan

(d).

c. Untuk daerah-daerah di dekat laut dan daerah-dearah lain tertentu, di mana terdapat kecepatan-kecepatan angin yang mungkin menghasilkan angin tekan yang lebih besar dari pada yang ditentukan dalam ayat-ayat (a), dan (b), angin tekan (p) perlu dihitung dengan rumus :

P = V

2

16 (Kg/m

2) …..……. 2.19

Di mana V adalah kecepatan angin dalam m/det., yang harus ditentukan oleh instansi berwenang.

d. Pada cerobong, angin tekan dalam kg/m2 harus ditentukan dengan rumus

(42,5 + 0,6 h), di mana h adalah tinggi cerobong seluruhnya dalam meter, diukur dari lapangan yang berbatasan.

Menurut SNI 03-1727-1989, koefisien angin (c) untuk gedung tertutup untuk bidang-bidang luar, koefisien angin (+ berarti tekanan dan – berarti hisapan), adalah sebagai berikut :

I. Dinding vertikal :

Di pihak angin + 0,9

Di belakang angin - 0,4

Sejajar dengan arah angin - 0,4

(14)

Di pihak angin : α < 65° (0,02 α – 0,4) 65° < α >< 90° + 0,9 Di belakang angin untuk semua α - 0,4 III. Atap lengkung dengan sudut pangkal β

β < 220° : Untuk bidang lengkung di pihak angin : Pada seperempat busur pertama - 0,6 Pada perempat busur kedua - 0,7 Untuk bidang lengkung dibelakang

angin pada seperempat busur pertama - 0,5 Pada seperempat busur kedua - 0,2 β > 22° : Untuk bidang lengkung dipihak angin:

Pada seperempat busur pertama - 0,5 Pada seperempat busur kedua - 0,6 Untuk bidang lengkung dibelakang

angin :

Pada seperempat busur pertama - 0,4 Pada seperempat busur terakhir - 0,2

catatan : Sudut pangkal adalah sudut antara garis penghubung titik pangkal dengan titik puncak dan garis horizontal.

IV. Atap segitiga majemuk :

Untuk bidang-bidang atap pihak angin :

α < 65° (0,2 α - 0,4)

65° < α < 90° + 0,9

Untuk semua bidang atap di belakang angin, kecuali yang vertikal menghadap angin,

untuk semua α - 0,4

Untuk semua bidang atap vertikal bi belakang

angin yang menghadap angin + 0,4

(15)

Beban khusus ialah semua beban yang bekerja pada gedung atau bagian gedung yang terjadi akibat selisih suhu, pengangkatan dan pemasangan, penurunan fondasi , susut, gaya-gaya tambahan yang berasal dari beban hidup seperti gaya rem yang berasal dari keran, gaya sentrifugal dan gaya dinamis yang berasal dari mesin-mesin, serta pengaruh-pengaruh khusus lainnya (Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung SNI 03-1727-1989).

2.4.5 Beban Kombinasi

Menurut Peraturan Baja Indonesia, SNI 03-1729-2002 pasal 6.2.2 mengenai kombinasi pembebanan, dinyatakan bahwa dalam perencanaan suatu struktur baja haruslah diperhatikan jenis-jenis kombinasi pembebanan berikut ini : 1,4 D

1,2 D + 1,6 L + 0,5 (Lr or S or H)

1,2 D + 1,6 (Lr or S or R) + (0.5 L or 0,8 W) 1,2 D + 1,3 W + 0.5 L + 0,5 (Lr or S or R) 1,2 D ± 1,0 E + 0.5 L + 0.2 S

0,9 D ± (1,3 W or 1,0 E)

(Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD, Agus Setiawan, hal. 11-12) Dengan :

D adalah beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen, termasuk dinding, lantai atap, plafond, partisi tetap, tangga, dan peralatan layan.

L adalah beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung, termasuk kejut, tetapi tidak termasuk beban lingkungan seperti angin, hujan dan lain-lain.

Lr adalah beban hidup diatap yang ditimbulkan selama perawatan oleh pekerja, peralatan, dan material atau selama penggunaan biasa oleh orang dan benda bergerak.

R adalah beban hujan, tidak termasuk diakibatkan genangan air. W adalah beban angin.s

S adalah beban salju.

(16)

Bila L < 5 kPa, dan γL = 1 bila ≥ 5 kPa. Faktor beban untuk L harus sama dengan

1,0 untuk garasi parker, daerah untuk pertemuan umum dan semua daerah yang memikul beban hidup lebih besar dari 5 kPa.

2.5 Konsep Dasar LRFD

Dua filosofi yang sering digunakan dalam perencanaan struktur baja adalah perencanaan berdasarkan tegangan kerja/working stress design (Allowable Stress Design/ASD) dan perencanaan kondisi batas/limit states design (Load and Resistance Factor Design/LRFD). Metode ASD dalam perencanaan struktur baja telah digunakan dalam kurun waktu kurang lebih 100 tahun. Dan dalam 20 tahun terakhir prinsip perencanaan struktur baja mulai beralih ke konsel LRFD yang jauh lebih rasional dengan berdasarkan pada konsep probabilitas (Setiawan, 2008). Peraturan LRFD AISC adalah berdasarkan model probabilistic atau model kemungkinan/peluang, kalibrasi dengan peraturan ASD AISC tahun 1978, dan evaluasi menggunakan pertimbangan dan pengalaman terbaru/terkini sepanjang dilakukannya pengembangan metode struktur oleh lembaga terkait (Novan, 2009). Meskipun telah terbitnya SNI 03-1729-2002, kesulitan yang dihadapi oleh perancang struktur baja Indonesia masih cukup besar yaitu tidak tersedianya alat bantu praktis untuk merancang berupa kurva dan tabel yang dapat mempersingkat waktu perhitungan. Hal ini tidak terjadi pada peraturan AISC-LRFD di Amerika Serikat yang telah cukup lengkap menyediakan alat bantu perancangan. Untuk hal-hal lain yang tidak tercakup dalam SNI 03-1729-2002, penulis mengacu pada peraturan AISC-LRFD. Hal ini dengan pertimbangan bahwa pengkayaan wawasan mengenai berbagai peraturan selain SNI juga perlu dilakukan mengingat di dunia kerja dimungkinkan untuk tidak selalu menggunakan SNI.

(17)

sedangkan pada LRFD faktor keamanan atau faktor beban yang lebih kecil diberikan untuk beban mati karena beban mati dapat ditentukan dengan lebih pasti dibandingkan beban hidup. Akibatnya perbandingan berat yang dihasilkan ASD dan LRFD akan tergantung pada rasio beban hidup terhadap beban mati (Sumargo,2009).

Untuk gedung biasa rasio beban hidup terhadap beban mati sekitar 0,25 s.d 4,0 atau sedikit lebih besar. Untuk bangunan baja tingkat rendah, perbandingan tersebut akan sedikit diatas rentang ini. Dalam ASD kita menggunakan faktor keamanan yang sama untuk beban mati dan beban hidup tanpa melihat rasio beban. Jadi dengan ASD akan dihasilkan profil yang lebih berat dan faktor keamanan akan lebih naik dengan berkurangnya rasio beban hidup terhadap beban mati (Sumargo, 2009)

Untuk rasio L/D lebih kecil dari 3, akan terdapat penghematan berat profil berdasarkan LRFD atau sekitar 1/6 untuk elemen tarik dan kolom dan 1/10 untuk balok. Sebaliknya jika rasio L/D sangat tinggi maka hampir tidak ada penambahan penghematan berat baja yang dilakukan berdasarkan LRFD dibandingkan ASD (Sumargo, 2009)

.

2.6 SAP 2000

2.6.1 Sistem Koordinat

Setiap model struktur menggunakan koordinat yang berbeda untuk menentukan joint dan arah beban, displacement, gaya dalam dan tegangan. Pengetahuan tentang sistem koordinat ini sangat penting bagi pengguna, karena untuk menentukan model dan mengterprestasikan hasil-hasil keluaran dari program, pengguna harus memahami sistem koordinat ini. Semua sistem koordinat ditunjukkan dengan sumbu tiga dimensi, menggunakan aturan tangan kanan dan menggunakan sistem cartesius (segiempat).

(18)

Sistem koordinat Global X-Y-Z digunakan untuk memberikan lokasi dua titik, sepasang sudut, atau dengan memberikan arah koordinat. SAP 2000 selalu mengasumsikan sumbu Z arahnya vertikal, dengan Z+ arah ke atas.

2.6.1.2 Sistem Koordinat Lokal

Sistem koordinat Lokal 1-2-3 digunakan untuk menentukan potongan property, beban dan gaya-gaya keluaran. Untuk menentukan sistem koordinat lokal elemen yang umum dapat menggunakan orientasi default dan sudut koordinat elemen frame, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Sumbu lokal 1 arah selalu memanjang arah sumbu elemen, arah positif ialah dari ujung i ke ujung j.

2. Orientasi default sumbu lokal 2 dan 3 ditentukan oleh hubungan diantara sumbu 1 dan sumbu global Z sebagai berikut :

a. Jika sumbu lokal 1 arahnya horisontal, maka bidang 1-2 dibuat sejajar dengan sumbu Z.

b. Jika sumbu lokal 1 arahnya ke atas (Z+) maka arah sumbu lokal 2 sejajar dengan sumbu X+.

c. Sumbu lokal 3 arahnya selalu horisontal sumbu bidang X-Y.

2.6.2 Material Property

1. Modulus Elastisitas e1, untuk kekakuan aksial dan lentur. Berdasarkan SKSNI 3.1.5 Ec = 4700√fc’ atau non pratekan Ec = 20000 Mpa. Untuk baja E = 210 000 kN/m2 (21 Mpa).

2. Modulus geser g12 untuk kekakuan torsi dan kekakuan geser melintang, yang dihitung dari e1 dan angka Poison u12.

3. Kerapatan massa per-unit volume m untuk menghitung massa elemen, ambil rumus m = w/9,81 dimana w berat sendiri per unit.

(19)

2.6.3 Beban Pada Struktur

Beban yang bekerja pada struktur ada beberapa macam diantaranya ialah berat sendiri struktur, beban yang bekerja pada elemen, beban yang bekerja pada gempa dan beban dinamik.

2.6.3.1 Berat Sendiri

Besarnya beban berat sendiri sama dengan berat volume w dikalikan dengan luas penampang d. Berat sendiri arahnya selalu ke bawah, searah dengan sumbu –Z. Berat sendiri ini dikalikan dengan faktor skala yang ditentukan untuk seluruh struktur.

2.6.3.2 Beban Terpusat pada Elemen

(20)

Gambar 2.7 Menentukan Beban Terpusat Elemen

2.6.3.3 Beban Merata pada Elemen

Beban merata pada elemen digunakan untuk menentukan gaya dan momen yang bekerja pada sepanjang elemen frame. Intensitas beban dapat berupa beban merata atau trapesium (Santoso, 2008) seperti Gambar 2.8 Menentukan Beban Merata pada Elemen dan Gambar 2.9 Menentukan Beban Trapesium pada Elemen berikut.

(21)

Gambar 2.9 Menentukan Beban Trapesium pada Elemen

2.7 Perhitungan Profil Kuda-kuda 2.7.1 Batang Tarik

1. Kelelehan dari penampang kotor (gross area) dari elemen yang jauh dari titik sambungan.

2. Keruntuhan fraktur dari area bersih (not area) disambungan 3. Kegagalan blok geser fraktur dilubang baut sambungan

Batang tarik dapat dijumpai pada jembatan, rangka atap, tower, ikatan angin, sistem pengaku, dll. Pemilihan penampang batang tarik sangat sederhana karena tidak ada bahaya tekuk (buckling) sehingga untuk mendapat luas penampang yang diperlukan cukup menghitung beban terfaktor yang dipikul oleh batang luas penampang yang diperlukan (Sumargo,2009).

Tahap pengecekan kapasitas tarik aksial penampang siku ganda adalah sebagai berikut:

1. Kapasitas leleh penampang gross : Pny = t . Fy . Ag 2. Penampang netto : An = Ag – 1 . tp . ( b + 2 mm) 3. Penampang efektif : Ueff = 1 - Cx

(22)

4. Pengecekan kapasitas block shear : Pnf = nf . Fu . Ae Dimana : t = Faktor Tahanan Tarik

Fy = Tegangan Leleh Ag = Luas area fraktur An = Penampang Netto tp = Tebal Pelat

b = Diameter Baut

nf= Faktor Tahanan Tarik Fu = Tegangan Ultimate

Ae = Luas area efektif = U . An U = Koefisien reduksi

Tahap pengecekan kapasitas baut penampang siku ganda adalah sebagai berikut : 1. Luas penampang baut : Agb = 0.25.π. b2

2. Kapasitas geser 1 baut : Rvb = fb . (0.5 . Fub) . mf . Agb

3. Kapasitas geser pelat siku 1 baut : Rvps = fb . 1,2 . Lc . (2.ts) . Fub

4. Kapasitas geser pelat buhul 1 baut : Rvpg = fb . 1,2 . Lc . tp . Fub

5. Kapasitas tumpuan pelat sikut 1 baut : Rbps = 2 . fb . [2,4 . Fu . ( b + 2 mm).ts]

6. Kapasitas tumpuan pelat buhul 1 baut : Rbpg = fb . [2,4. Fu . ( b +

2 mm). tp

7. Kapasitas baut desain : Rbd = min(Rvb, Rvps, Rvpg, Rbps, Rbpg)

8. Jumlah baut butuh : nb = ceil (RbdPu )

Dimana : fb = Faktor tahanan geser baut (0.75)

Fub = Mutu baut (370 MPa)

mf = Jumlah bidang geser

Lc = s1 ( jarak tengah baut dengan tengah baut lainnya)

(23)

2.7.2 Batang Tekan

Jika beban berusaha untuk menekan atau membuat pendek suatu batang, tegangan yang dihasilkan disebut tegangan tekan dan batangnya disebut batang tekan (Sumargo,2009). Secara umum ada tiga ragam keruntuhan dari batang tekan yaitu tekuk lentur (flexural buckling), tekuk local (local buckling), dan tekuk torsional (torsional buckling). Berikut ini adalah penjelasan dari ragam tersebut.

1. Tekuk lentur yang disebut juga tekuk Euler adalah jenis keruntuhan tekuk yang paling sering terjadi dan akan banyak dibahas dalam bab ini. Elemen yang mendapat lentur akan menjadi tidak stabil.

2. Tekuk local terjadi jika beberapa bagian penampang dari suatu kolom menekuk akibat terlalu tipis sebelum ragam tekuk lain terjadi. Ketahanan suatu kolom terhadap tekuk local diukur dari rasio lebar-tebal bagian penampang.

3. Tekuk torsional dapat terjadi pada kolom dalam susunan penampang tertentu. Kolom seperti ini akan runtuh oleh tekuk torsi atau kombinasi tekuk torsi dan lentur.

Ada dua perbedaan utama antara batang tarik dan tekan, yaitu:

1. Gaya tarik menyebabkan batang lurus sedangkan gaya tekan menyebabkan batang melentur ke luar bidang gaya tersebut bekerja dan ini merupakan kondisi berbahaya.

2. Lubang baut atau rivet dalam batang tarik akan mereduksi luas penampang, sedangkan pada batang tekan seluruh luas penampang dapat menahan beban.

Analisis dilakukan sebagai berikut : 1. Jarak antar baut kopel : ac = Lds

4

2. Torsional inersia : Jo = 13 . (hs .ts3 + bs . ts3) Jg = 2. Jo

3. Inersia gabungan : Ix = 2. Ixo Iy = 2.Iyo + 2 . [As1 . (0.5 .tgp + Cx)2]

(24)

5. Untuk syarat batas flange : λpf = 0.45

E

Fy 6. Syarat penampang kompak : λf ≤ λpf

Pengecekan kapasitas tekan aksial penampang siku ganda adalah sebagai berikut : 1. Faktor kelangsingan spesifikasi : Fex =

π2. E

3. Syarat kapasitas tekan aksial Pu Pn

≤1 Pn = Øc . Ag . Fcrd

Dimana ; Ld = Panjang Batang

KLrm = Modifikasi Faktor Kelangsingan

bs/hs = Panjang Kaki Profil

ts = Tebal Kaki Profil

Fex = Faktor Kelangsingan Spesifikasi

Øc = Faktor Tahanan untuk Elemen Tekan (0,9)

2.8 Sambungan

Sambungan terdiri dari komponen sambungan (pelat pengisi, pelat buhul, pelat pendukung, dan pelat penyambung) dan alat pengencang (baut dan las). Sambungan tipe tumpu adalah sambungan yang dibuat dengan menggunakan baut yang dikencangkan dengan tangan, atau baut mutu tinggi yang dikencangkan untuk menimbulkan gaya tarik minimum yang disyaratkan, kuat rencananya disalurkan oleh geser pada baut dan tumpuan pada bagian-bagian yang disambungkan (SNI 03-1729-2002).

Sambungan tipe friksi adalah sambungan yang dibuat dengan menggunakan baut mutu tinggi yang dikencangkan untuk menimbulkan tarikan baut minimum yang disyaratkan sedemikian rupa sehingga gaya-gaya geser rencana disalurkan melalui jepitan yang bekerja dalam bidang kontak dan gesekan yang ditimbul antara bidang-bidang kontak (SNI 03-1729-2002).

(25)

gaya yang ditimbulkan dalam komponen sambungan hanya gaya geser. Pengencang tanpa slip adalah pengencang yang tidak memungkinkan terjadinya slip antara pelat atau unsur yang dihubungkan, sedemikian rupa sehingga kedudukan relatifnya tidak berubah. Pengencang tanpa slip dapat berupa sambungan tipe friksi dari baut mutu tinggi atau las (SNI 03-1729-2002).

Pembebanan tidak sebidang adalah pembebanan yang gaya atau momen lentur rencananya menghasilkan gaya yang arahnya tegak lurus bidang sambungan. Gaya ungkit adalah gaya tarik tambahan yang timbul akibat melenturnya suatu komponen pada sambungan yang memikul gaya tarik sehingga terjadi gaya ungkit di ujung komponen yang melentur. Kencang tangan adalah kekencangan baut yang diperoleh dengan kekuatan penuh seseorang yang menggunakan alat pengencang standar atau dengan beberapa pukulan alat pengencang impak (SNI 03-1729-2002).

Kuat rencana setiap komponen sambungan menurut SNI 03-1729-2002 tidak boleh kurang dari beban terfaktor yang dihitung. Perencanaan sambungan harus memenuhi persyaratan berikut:

a. Gaya-dalam yang disalurkan berada dalam keseimbangan dengan gaya-gaya yang bekerja pada sambungan;

b. Deformasi pada sambungan masih berada dalam batas kemampuan deformasi sambungan;

c. Sambungan dan komponen yang berdekatan harus mampu memikul gaya-gaya yang bekerja padanya.

2.8.1 Jenis Sambungan

Menurut Diktat Sambungan oleh Novan A tahun 2009, Secara umum berdasarkan posisi jalur gaya, konfigurasi elemen, dan geometrisnya sambungan dapat dikelompokkan atas 2 jenis yaitu:

(26)

b. Sambungan Eksentris (Eccentric Connection), adalah gaya yang bekerja pada sambungan tidak melalui titik berat sambungan tersebut dan mempunyai eksentrisitas atau lengan gaya.

Sambungan merupakan bagian paling kritis pada sebuah struktur baja. Banyak kegagalan terjadi bukan pada elemen utamanya (balok atau kolom) namun mayoritas terjadi pada elemen sambungan.

Sambungan tipe lama seperti Rivet (paku keliling, Fy=190 MPa s/d 260 MPa) sudah lama ditinggalkan sejak tahun 1951 (Peninggalan revolusi industry dan perang dunia I-II). Rivet ditinggalkan karena rumit dalam pengerjaan (ereksi), memerlukan 4 orang tenaga terlatih untuk melaksanakan penyambungannya, sedangkan baut bisa memakai 2 tenaga tidak terlatih untun pekerjaan yang sama. Konsep desain dan analisis Rivet sama dengan baut hanya berbeda material.

Las sederhana dalam konsep, persyaratan dan visualisasi sambungannya. Namun las membutuhkan tenaga las terlatih dan pengawasannya sangat ketat serta memakan biaya yang lebih besar dibandingkan baut. Kekurangan las bisa diatasi dengan melakukan pengelasan di WorkShop atau dengan mengkombinasikan dengan sambungan baut (Novan, 2009).

Sambungan bisa menerima 1 jenis gaya atau kombinasi sejumlah gaya (Aksial+Momen+Shear)

2.8.2 Perencanaan Baut 2.8.2.1 Jenis Baut

(27)

Perencanaan umumnya akan menggunakan baut biasa untuk sambungan dan bukan baut mutu tinggi. Kekuatan dan kelebihan dari baut biasa telah sejak lama tidak diperhatikan. Analisa dan perencanaan sambungan dengan baut A307 diperlakukan sama seperti sambungan Rivet kecuali dalam hal tegangan ijin (Sumargo,2009).

Baut mutu tinggi dibuat dari karbon medium baja yang dipanaskan dan dari baja alloy dengan kekuatan tarik dua kali atau lebih dari baut biasa. Pada dasarnya ada dua jenis baut mutu tinggi, baut A325 (dari karbon medium yang dipanaskan) dan baut A490 dengan kekuatan yang lebih tinggi (dari baja alloy yang dipanaskan). Baut mutu tinggi digunakan pada seluruh jenis bangunan mulai dari bangunan kecil hingga bangunan tingkat tinggi serta jembatan. Baut jenis ini dikembangkan akibat kelemahan tarik pada leher baut biasa setelah proses pendinginan. Gaya tarik yang dihasilkan tidak cukup kuat untuk membuat baut dalam posisi semua/diam akibat beban getaran. Baut mutu tinggi harus dikencangkan lebih kuat hingga mempunyai tegangan tarik bagian disambung terikat kuat antara kepala baut dan ‘nuts’, dan beban ditransfer oleh gesekan.

Kadang-kadang baut mutu tinggi dibuat dari baja A449 untuk ukuran yang lebih besar dari 1 ½ in diameter baut A325 dan A490. Baut dengan ukuran lebih besar digunakan pula sebagai baut angkur mutu tinggi dan batang berulir dengan diameter yang bervariasi (Sumargo,2009).

Untuk baut mutu tinggi, baut dan semua kelengkapannya harus memenuhi persyaratan sesuai dengan JIS, AISC, atau persyaratan lain yang setara atau dapat dilihat pada Tabel 2.3 Baut Mutu Tinggi Berdasarkan JIS,AISC.

Tabel 2.3 Baut Mutu Tinggi berdasarkan JIS, AISC

(28)

M20

Untuk kondisi beban sementara, gaya-gaya ijin di atas bisa ditingkatkan sebesar 30%. Politeknik Negeri Bandung oleh Sumargo tahun 2009, Kelebihan dari baut mutu tinggi adalah :

1. Pekerja lebih sedikit dibandingkan dalam pemasangan sambungan Rivet. 2. Dibandingkan sambungan Rivet, untuk memberikan kekuatan yang sama

diperlukan baut mutu tinggi lebih sedikit.

3. Sambungan yang baik dengan baut mutu tinggi tidak memerlukan tenaga yang dilatih terlalu tinggi dibandingkan dengan sambungan baut atau Rivet dengan mutu sambungan yang sama. Cara pemasangan baut mutu tinggi yang baik dapat dipelajari hanya dalam beberapa jam.

4. Tidak diperlukan baut bantu pelaksanaan (erektion bolt) dan harus dilepaskan kembali (tergantung peraturan yang digunakan) dibandingkan pada sambungan las.

5. Kebisingan yang ditimbulkan tidak seperti pada sambungan Rivet.

6. Peralatan yang diperlakukan untuk membuat sambungan baut lebih murah. 7. Tidak menimbulkan bahaya kebakaran atau terlemparnya Rivet yang masih

(29)

8. Sambungan dengan baut mutu tinggi memberikan kekuatan fatik yang lebih tinggi dibandingkan sambungan Rivet dan las.

9. Jika perlu perubahan bentuk struktur akan lebih mudah hanya dengan membuat baut dibandingkan dengan sambungan las dan Rivet.

2.8.2.3 Tata Letak Baut

Jarak antar pusat lubang pengencang tidak boleh kurang dari 3 kali diameter nominal pengencang atau dapat dilihat pada Gambar 2.7 Tata Letak Baut.

Gambar 2.10 Tata Letak Baut

Sumber : Perencanaan Struktur Baja Dengan Metode LRFD Berdasarkan SNI 03-1729-2002, Agus Setiawan)

A. Jarak Tepi Minimum

Jarak minimum dari pusat pengencang ke tepi pelat atau pelat sayap profil harus memenuhi spesifikasi dalam Tabel 2.4 Jarak Tepi Minimum.

Tabel 2.4 Jarak Tepi Minimum Tepi dipotong dengan

tangan

Tepi dipotong dengan mesin

Tepi profil bukan hasil potongan

1,75 db 1,50 db 1,25 db

Sumber : SNI 03-1729-2002

Dengan db adalah diameter nominal baut pada daerah tak berulir.

(30)

Jarak antara pusat pengencang tidak boleh melebihi 15t p (dengan tp adalah tebal pelat lapis tertipis didalam sambungan), atau 200 mm. Pada pengencang yang tidak perlu memikul beban terfaktor dalam daerah yang tidak mudah berkarat, jaraknya tidak boleh melebihi 32t p atau 300 mm. Pada baris luar pengencang dalam arah gaya rencana, jaraknya tidak boleh melebihi (4t p + 100 mm) atau 200 mm.

C. Jarak Tepi Maksimum

Jarak dari pusat tiap pengencang ke tepi terdekat suatu bagian yang berhubungan dengan tepi yang lain tidak boleh lebih dari 12 kali tebal pelat lapis luar tertipis dalam sambungan dan juga tidak boleh melebihi 150 mm.

2.8.2.4 Lubang Baut

Sambungan sering memperlemah elemen, faktor ini merupakan fungsi daktilitas material, spasi baut, konsentrasi tegangan pada lobang, prosedur pabrikasi yang disebut Fenomena “Shear Lag” atau kelebihan tegangan.

Fenomena ini terjadi jika sejumlah penampang lintang dari elemen ada yang tidak tersambung (salah satu kaki dari profil siku yang dibaut atau dilas ke gusset plate [pelat buhul]). Akibatnya bagian yang tersambung mengalami “Overload” dan yang tidak mengalami “Kelebihan Tegangan”. Reduksi efek ini bisa dilakukan dengan memperpanjang area sambungan. Penelitian Mussed dan Chesson (1963) menyarankan Shear Lag dihitung dengan menggunakan reduksi atau area efektif (Novan, 2009).

Untuk sambungan baut (Luas bersih efektif) : Ae = An.U ...……… 2.20 Untuk sambungan las (Luas efektif) : Ae = Ag.U ...….…… 2.21 U : faktor reduksi untuk kedua jenis sambungan.

U=1−X´

I 0.9 …….……2.22

I : Panjang Sambungan

An : Luas Bersih (Netto) Penampang Ag : Luas Kotor (Gross) penampang

´

(31)

2.8.2.5 Kekuatan Baut

Beberapa tahap ntuk menghitung kapasitas tarik dan sambungan type bearing adalah sebagai berikut :

1. Ulir diluar bidang geser : An = Ag – 2 (Øb + 2 mm) .tp

2. Menghitung kapasitas tarik elemen pelat : Fnp = Øt . Fy . A

3. Menghitung kapasitas geser 1 baut : Rnb = Øfb.(0.5.Fub).mf.Ab

4. Kapasitas tarik sambungan yang menentukan : Rnco1 = min(Rnpd,Rnbd)

5. Ulir didalam bidang geser , kapasitas geser 1 baut : Rnb1 = Øfb.(0.4

Fub).mf.Ab

Gambar

Tabel 2.1 Sifat Mekanis Baja Struktural
Gambar 2.1 Uraian Beban Gording Akibat Beban Mati
Gambar 2.4 Beban Terpusat (P) Gording
Gambar 2.6 Lendutan Pada Gording
+5

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan kriteria diterima atau ditolaknya hipotesis maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa menerima hipotesis yang diajukan terbukti atau dengan kata lain variabel

[r]

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan sesuai dengan ketentuan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

SISTEM INFORMASI PENJADWALAN MATA PELAJARAN DI SD 101882 TANJUNG MORAWA MENGGUNAKAN.. METODE

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mempelajari sonogram organ hati dan kantung empedu serta ukuran atau lebar organ hati, ketebalan dinding kantung empedu, dan

mengoptimalkan hal tersebut, pemerintah Jateng dapat mengawinkan tren pariwisata syari’ah dengan basis pariwisata religi.. Namun realitasnya, walaupun kuantitas okupasi

Mohon Bapak/Ibu/Saudara untuk memberikan pendapat terhadap pernyataan- pernyataan dibawah ini sesuai dengan yang dirasakan atau dialami Bapak/Ibu/Saudara di tempat kerja

Selain meningkatkan nilai pihak internal, Good Corporate Governance juga meningkatkan nilai melalui penerapan dengan para pemegang saham diantaranya menyediakan laporan