• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Penggunan Lahan Dan Perubahan Penggunaan Lahan Untuk Bahan Baku Biodiesel Kelapa Sawit Studi Kasus Di Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Penggunan Lahan Dan Perubahan Penggunaan Lahan Untuk Bahan Baku Biodiesel Kelapa Sawit Studi Kasus Di Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

ii

MODEL PENGGUNAAN LAHAN DAN PERUBAHAN

PENGGUNAAN LAHAN UNTUK BAHAN BAKU BIODIESEL

KELAPA SAWIT: STUDI KASUS DI KABUPATEN ROKAN

HILIR PROPINSI RIAU

LAURINCIANA SAMBUANGA SAMPEBATU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

iii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Penggunan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan untuk Bahan Baku Biodiesel Kelapa Sawit: Studi Kasus di Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Laurinciana S Sampebatu

(3)

iv

RINGKASAN

LAURINCIANA SAMBUANGA SAMPEBATU. Model Penggunan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan untuk Bahan Baku Biodiesel Kelapa Sawit: Studi Kasus di Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau. Dibimbing oleh YANDRA ARKEMAN, ERLIZA HAMBALI, VINCENT GASPERSZ DAN BAMBANG HERO SAHARJO

Penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan atau yang dikenal dengan land use and land use change (LULUC) merupakan suatu proses pilihan pemanfaatan ruang untuk memperoleh manfaat yang optimum. Perubahan penggunaan lahan yang baik adalah perubahan penggunaan lahan yang berkelanjutan, yaitu perubahan penggunaan lahan yang dimaksudkan untuk mengoptimalkan manfaat lahan di masa sekarang dengan cara-cara yang memastikan agar manfaat yang sama juga dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Dalam rangka pengembangan produksi bioenergi dilakukan sebuah proses perencanaan perubahaan penggunaan lahan yang memastikan dampak yang sekecil-kecilnya terhadap lingkungan. Perluasan kebun kelapa sawit untuk bioenergi, memiliki peluang memberi pengaruh baik atau juga buruk terhadap peningkatan jumlah emisi CO2, tergantung pada jenis tutupan lahan yang

dikonversi menjadi kebun kelapa sawit. Jika lahan yang digunakan untuk kelapa sawit berasal dari lahan dengan jumlah karbon stok yang tinggi, maka perubahan penggunaan lahan tersebut akan menyebabkan pelepasan CO2 yang besar ke

atmosfer. Sebaliknya, jika lahan asal yang digunakan untuk kelapa sawit adalah lahan dengan kandungan karbon yang rendah, maka perubahan menjadi kebun kelapa sawit akan meningkatkan serapan karbon, atau sering disebut dengan

carbon positif.

Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mengidentifikasi sumber emisi dari penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan akibat pengembangan kelapa sawit dan perhitungan perubahan penggunaan lahan akibat pengembangan kelapa sawit, 2) Menganalisis emisi gas CO2 akibat perubahan penggunaan lahan karena

pengembangan kelapa sawit dengan menggunakan REDD Abacus SP dan 3) Merancang model penggunaan dan perubahan penggunaan lahan berdasarkan emisi gas CO2 untuk pengembangan bahan baku biodiesel kelapa sawit. Penelitian

ini menggunakan beberapa metode dalam pencapaian tujuan penelitian. Identifikasi jenis penggunaan lahan dari peta penggunaan lahan tahun 2009 dan tahun 2011 di Propinsi Riau, luas dan letak kebun kelapa sawit menggunakan

Geographycal Information System (GIS). Perubahan kandungan karbon dan emisi

CO2 menggunakan metode Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCC)

dengan REDD Abacus SP. Sedangkan model penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan mengggunakan Algoritma Genetika.

(4)

v

kedua terdapat di daerah belukar sebesar 9.4%. Net Emisi CO2 akibat konversi

lahan menjadi kelapa sawit sebesar 7.1 juta ton CO2e/tahun.

Perancangan model Penggunan Lahan dan Perubahan penggunaan lahan (LULUC) untuk Agroindustri Biodiesel Kelapa Sawit Berkelanjutan merupakan model dengan minimasi emisi CO2 menggunakan algoritma genetika. Hasil

identifikasi tutupan lahan yang memiliki masing-masing nilai kandungan karbon menjadi data masukan dalam model yang dibangun. Optimasi dengan algoritma genetika ini, menggunakan kromosom yang berupa kromosom nilai yaitu simbol lahan. Satu kromosom atau satu individu dibangun dari matriks yang berukuran 13 x 13 sehingga diperoleh 169 gen. Seleksi dilakukan dengan menggunakan teknik seleksi cakram (Roulette wheel selection). Sedangkan untuk operator genetic meliputi pindah silang (crossover) yaitu dengan pindah silang satu titik (one-point crossover), mutasi dengan teknik random dan yang terpilih dalam proses mutasi akan digantikan dengan jenis lahan yang boleh ditanami kelapa sawit dan gen tidak bisa digantikan dengan daerah yang tidak bisa ditanami kelapa sawit yaitu moratorium (M), hutan lahan kering primer (Hp), pemukiman (Pm), Tambak (Tb), kebun kelapa sawit (Po), pelabuhan (Plb), tubuh air (A) dan transmigrasi (Tr). Berdasarkan hasil simulasi dengan model ini diperoleh nilai emisi CO2 minimum atau penyerapan karbon sebesar 0.06 ton CO2e/tahun. Solusi

yang dihasilkan adalah jenis lahan yang terdiri 68 gen tanah terbuka (T), 9 gen Pertanian lahan kering (Pt), 8 gen perkebunan (Pk), 38 gen semak/belukar (B), 41 gen belukar rawa (Br), 2 pertanian lahan kering campuran (Pc) , 1 gen hutan rawa primer (Hrp), 1 gen hutan rawa sekunder (Hrs), 1 gen hutan sekunder (Hs). Hasil ini diperoleh dari peluang crossover (Pc) = 0.95, peluang mutasi (Pm)=0.01, jumlah generasi =100 generasi, ukuran lahan= 169 gen dan jumlah populasi = 100.

Kata kunci: algoritma genetika, emisi CO2, penggunaan lahan, perubahan

(5)

vi

SUMMARY

LAURINCIANA SAMBUANGA SAMPEBATU. Land Use and Land Use Change Model for palm oil biodiesel feedstock : a case study at Rokan Hilir, Riau. Supervised by YANDRA ARKEMAN, ERLIZA HAMBALI, VINCENT GASPERSZ DAN BAMBANG HERO SAHARJO

Land use and land use change are a process of choosing land use to gain an optimum benefit. A good land use change is a continuous land use to optimize the usage of land today to ensure that our next generations will consume the same benefit as we now. So that, in the development of bioenergy production, a land use shifting process plan has to ensure lower effect to the environment. Palm oil field expansion for bioenergy has influence to the number of CO2 emission to the

air depends on the area conditions shifting into palm oil. The shifted area which deposit highly carbon will release a big number of CO2 to the atmosfhere.

Otherwise, if the area deposit lower carbon then the shifting area will increase the number carbon absorption known as positive carbon.

The purpose of this research is 1) to identify the use and land use shifting due to the development of palm oil, 2) to calculate the emission of CO2 as the

effect of land use change, 3) to design a sustainable model for land use and land use change based on the CO2 emission for the development of palm oil biodiesel

industrial.

This research uses some methods to fulfill its goal. This research applies

Geographical Information System (GIS) for land use identifications from land use map in the year 2009 and 2011, dimension and locations of palm oil plantation. The changes of carbon stock and CO2 emission use the Intergovernmental Panel

of Climate Change (IPCC) method while for land use change applies the genetics algorithm.

The identification of land usage shows 22 coverage area types. Land use change in Riau in 2009 and 2011 achieve the number 23.287%. For the land uase change due to the plam oil expansion is about 177.138 ha. Former type of the palm tree was mostly plantation for about 58% and shrub area for about 9.4%. The CO2 emissions because of the land use change to the palm oil plantation is

about 4.6 Mt CO2/year.

The model design of land use and land use change for sustainable palm oil biodiesel agro industrial is a model with minimum CO2 emission applying

genetics algorithm. Land coverage identification with number of carbon deposit is an input in the model design. Optimization with genetics algorithm use the chromosome value which symbolize the area. A chromosome is constructed from a matrix with the size of 13X13 which consis 169 gene. Selection evaluation using Roulette wheel selection. For genetics operator; crossover is a random mutation and the selected gene in the mutation replaced with allowable land type for palm tree plantation. While the gene cannot be replace by prohibited area for palm tree plantation is M, Hp, Pm, Tb, Po, Plb, Pm, A, Tr. Simulation results show a minimum CO2 emission or carbon absorption about sebesar 0.07 ton CO2/year.

(6)

vii

achieve from 0.95 crossover probability (Pc), 0.01 mutation probability (Pm), 100 generations, 169 gene for land dimensions and the number of populations is 100.

Keywords : carbon stock, CO2 emission, genetics algorithm, land use, land use

change

(7)

viii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

(8)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

MODEL PENGGUNAN LAHAN DAN PERUBAHAN

PENGGUNAAN LAHAN UNTUK BAHAN BAKU BIODIESEL

KELAPA SAWIT: STUDI KASUS DI KABUPATEN ROKAN

HILIR PROPINSI RIAU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof (Riset).Dr. Ir. Fahmuddin Agus Dr. Eng. Taufik Djatna, STP, MSi

(10)

Judul Disertasi : Model Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan untuk Bahan Baku Biodiesel Kelapa Sawit Berkelanjutan di kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau

Nama : Laurinciana Sambuanga Sampebatu NIM : F361100201

Disetujui oleh :

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng Ketua

Prof. Dr. Erliza Hambali Anggota

Prof. Dr. Vincent Gaspersz Anggota

Prof. Dr. Bambang Hero Saharjo, M.Agr Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Teknologi Industri Pertanian

Prof. Dr. Ir. Machfud, MS.

Dekan Sekolah Pascasarjana

(11)

PRAKATA

Terimakasih kepada Tuhan atas segala karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah model penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan untuk agroindustri biodiesel kelapa sawit berkelanjutan. Model ini diperlukan untuk melakukan perencanaan penggunaan lahan untuk kebun kelapa sawit yang akan digunakan untuk pengembangan agroindustri biodiesel kelapa sawit yang berkelanjutan.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng, Prof. Dr. Erliza Hambali, Prof. Dr. Vincent Gaspersz dan Prof. Dr. Bambang Hero Saharjo, M.Agr yang telah banyak membimbing, memberikan masukan dan saran dalam penyusunan tulisan ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Romli, Dr. Ir. Hartisari, Prof. Dr. Mahfud atas masukan-masukan dan saran saat penulis melakukan ujian prelim lisan.

Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Prof (Riset) Dr. Fahmuddin Agus dan Dr Eng. Taufik Djatna, STP. M.Si. atas kesediaan menjadi penguji pada ujian tertutup serta memberikan masukan untuk perbaikan tulisan. Juga kepada Dr.Ir Ai Dariah, MSi dan Dr Eng. Taufik Djatna, STP. M.Si sebagai penguji pada ujian promosi Ucapan terimakasih pula disampaikan pula kepada Arif Purnomo, SKom, M.Kom, Gibtha Laxmi, SKom, M.Kom, Ir. Hermawan Prasetya, MT yang menyediakan waktu dan kesempatan untuk berdikusi dalam penggunaan GIS dan pembuatan program. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada rekan-rekan TIP 2010 serta rekan-rekan-rekan-rekan CIGARIS. Tak terkecuali ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Suami Antonius Sulistyo dan anak Immaculata Audrey Sulistyo atas doa, kesabaran dan pengorbanannya. Serta kedua orang tua Papa Hendrik Sampebatu dan mama Tabitha Sanda, ibu mertua MT Sukimi yang tak henti-hentinya berharap dengan berdoa. Tak lupa pula mengucapkan terimakasih kepada kakak dan adik-adik, sangat khusus kepada Adinda Limbran Sampebatu yang memberikan perhatian dan dukungan untuk penyelesaian studi ini.

Semoga tulisan ini memberikan manfaat untuk keperluaan ilmu pengetahuan.

Bogor, Agustus 2015

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

RINGKASAN iv

SUMMARY vi

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvii

DAFTAR LAMPIRAN xviii

1. PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

Kerangka Pikir Penelitian 5

Pelaksanaan Penelitian 7

2. TINJAUAN PUSTAKA 9

Kelapa Sawit 9

Biodiesel Kelapa Sawit 10

Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan 12 Emisi CO2 pada Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan dan

Efek Rumah Kaca 17

Perencanaan Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

Menggunakan Pendekatan Genetic Algorithm 20

Penelitian Sebelumnya dan Klaim Kebaruan Penelitian 21 3. IDENTIFIKASI SUMBER EMISI DARI PENGGUNAAN LAHAN

DAN PERHITUNGAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

AKIBAT PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT 23

Pendahuluan 23

Metode Penelitian 23

Hasil dan Pembahasan 25

Identifikasi sumber emisi zone pemanfaatan lahan 25

Konversi lahan untuk kebun kelapa sawit 28

Simpulan 30

Saran 31

4. PERHITUNGAN EMISI CO2 AKIBAT PERUBAHAN

PENGGUNAAN LAHAN UNTUK KEBUN KELAPA SAWIT 32

Pendahuluan 32

(13)

Hasil dan Pembahasan 36 Perubahan karbon stok penggunaan lahan di Propinsi Riau 36 Perbandingan karbon stok penggunaan lahan dan konversi kelapa sawit di

Kabupaten Rokan Hilir 48

Simpulan 48

Saran 49

5. MODEL PENGGUNAAN LAHAN DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN INDUSTRI BIODIESEL

KELAPA SAWIT YANG BERKELANJUTAN 50

Pendahuluan 50

Metode 52

Pengembangan model 53

Pencarian solusi dengan GA 55

Pengukuran kemiripan solusi jenis lahan 59

Hasil dan Pembahasan 59

Probabilitas pindah silang (Ps) dan probabilitas mutasi (Pm) 59

Kedekatan (Similarity) 66

Simpulan 67

6. VALIDASI DAN IMPLEMENTASI MODEL 68

Verifikasi 68

Validasi Model 69

Implementasi Model 69

PEMBAHASAN UMUM 77

SIMPULAN DAN SARAN 78

Simpulan 78

Saran 79

DAFTAR PUSTAKA 80

LAMPIRAN 88

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perbandingan tingkat produksi bahan baku biodiesel per hektar

(Sumathi et al. 2008) 11

Tabel 2 Katagori penutupan lahan dalam penafsiran citra satelis optis resolusi sedang (SNI 2010, Ditjen Planologi Kehutanan 2012) 15 Tabel 3 Perubahan luasan zone pemanfaatan ruang/tutupan lahan tahun

2009-2011 di Propinsi Riau 25

Tabel 4 Matriks penutupan lahan dan transisi penutupan lahan pada masing-masing tipe tutupan lahan tahun 2009-2011 (ribu ha) di Propinsi

Riau 26

Tabel 5 Perubahan lahan menjadi kelapa sawit tahun 2009 dan Tahun 2011

di Propinsi Riau 29

Tabel 6 Faktor emisi (cangan karbon) di atas permukaan tanah yang direkomendasikan untuk inventarisasi emisi dari perubahan penggunaan lahan (Ditjenplan Kemenhut 2012, Fahmuddin 2013) 35 Tabel 7 Emisi, penyerapan (sekuestrasi) dan net emisi CO2 karena konversi

lahan menjadi kelapa sawit tahun 2009-2011 di Propinsi Riau 37 Tabel 8 Matriks sekuestrasi tahun 2009-2011 dari biomas akibat perubahan

penutupan lahan (juta ton CO2e/tahun) di Propinsi Riau 37 Tabel 9 Matriks total emisi tahun 2009-2011 dari biomas akibat perubahan

penutupan lahan (juta ton CO2e/tahun) di Propinsi Riau 38 Tabel 10 Matriks net emisi tahun 2009-2011 dari biomas akibat perubahan

penutupan lahan (juta ton CO2e/tahun) di Propinsi Riau 38 Tabel 11 Total nilai kandungan karbon lahan awal dan lahan konversi kebun

kelapa sawit di Propinsi Riau tahun 2009 (ribu ton) 41 Tabel 12 Total nilai kandungan karbon lahan awal dan lahan konversi

kebun kelapa sawit di Propinsi Riau tahun 2011 (ribu ton) 42 Tabel 13 Perubahan kandungan karbon tahun 2009 dan tahun 2011 di

Propinsi Riau 43

Tabel 14 Perbandingan total emisi, penyerapan (sekuestrasi) dan net emisi CO2 karena konversi lahan menjadi kelapa sawit tahun 2009 dan

tahun 2011 45

Tabel 15 Total emisi, penyerapan (sekuestrasi) dan net emisi CO2 karena konversi lahan menjadi kelapa sawit tahun 2009-2011 45 Tabel 16 Perubahan nilai kandungan karbon untuk konversi kelapa sawit di

Kabupaten Rokan Hilir tahun 2009-2011 46 Pm=0.01, Ukuran lahan=9, populasi=15 dan generasi=50 62 Tabel 20 Solusi matriks lahan hasil algoritma genetika dengan ukuran

(15)

Tabel 21 Rerata emisi CO2 min (fitness) dan kemiripan solusi matriks lahan

hasil running program algoritma genetika 66

Tabel 22 Hasil perhitungan emisi CO2 tanpa menggunakan algoritma

genetika 68

Tabel 23 Validasi model penggunaan lahan dan perubahan penggunaan

lahan untuk bahan baku kelapa sawit 69

Tabel 24 Nilai emisi, jarak dan lokasi di Peta pada Pc=0.09, Pm=0.01 hasil

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Penelitian 7

Gambar 2 Tahapan penelitian 8

Gambar 3 Proses Pembuatan biodiesel (Sumathi et al. 2008) 12 Gambar 4 Diagram alir identifikasi penggunaan lahan 24 Gambar 5 Perubahan luasan tutupan lahan tahun 2009 dan 2011 di

Propinsi Riau 28

Gambar 6 Luasan kelapa sawit tahun 2009 dan 2011 di Propinsi Riau 30 Gambar 7 Diagram alir perhitungan nilai emisi CO2 34

Gambar 8 Emisi CO2 dari perubahan tutupan lahan 39

Gambar 9 Perkembangan emisi CO2 dan target penurunan emisi 26%

pada tahun 2020 40

Gambar 10 Emisi CO2 dari perubahan tutupan lahan menjadi kelapa sawit

di Propinsi Riau 44

Gambar 11 Diagram alir pemodelan 52

Gambar 12 Struktur umum Algoritma Genetika (Goldberg, 1989) 55 Gambar 13 Populasi yang digunakan dalam algoritma genetika 56

Gambar 14 Contoh penyilangan satu titik 58

Gambar 15 Hasil running untuk populasi awal: Ps=0.95, Pm=0.01, Ukuran lahan=9, populasi=15 dan generasi=50 61 Gambar 16 Hasil running untuk populasi akhir: Ps=0.95, Pm=0.01,

Ukuran lahan=9, populasi=15 dan generasi=50 61 Gambar 17 Contoh pindah silang pada gen k3 dan gen ke 15 63

Gambar 18 Kromosom anak yang dihasilkan 63

Gambar 19 Contoh mutasi pada gen ke-4 64

Gambar 20 Contoh hasil running model 64

Gambar 21 Hasil running program GA dengan Nilai Pc= 0.95, Pm = 0.01, Generasi= 100, Ukuran lahan 169 dan jumlah populasi =100. 65

Gambar 22 Tampilan Aplikasi LULUC-SPOB 70

Gambar 23 Tampilan output solusi jenis lahan yang dihasilkan 71 Gambar 24 Contoh solusi matriks lahan yang dihasilkan 71 Gambar 25 Lokasi lahan berbentuk grid matriks yang bisa ditanami kelapa

sawit 72

Gambar 26 Peta Kabupaten Rokan Hilir A: tanpa Grid, B: dengan Grid 72 Gambar 27 Matriks tipe tutupan lahan, moratorium dan lahan kelapa sawit

tahun 2011 dalam bentuk matriks dan contoh matriks 13x13 73 Gambar 28 Letak lokasi jenis lahan pada peta penggunaan lahan yang

memiliki kemiripan dengan solusi pada baris 48-69 74 Gambar 29 Letak lokasi jenis lahan pada peta penggunaan lahan yang

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Luas wilayah per kabupaten di Propinsi RIAU tahun 2009 89 Lampiran 2 Luas wilayah per kabupaten di Propinsi RIAU tahun 2011 90 Lampiran 3 Luas lahan kelapa sawit di Propinsi RIAU tahun 2009 91 Lampiran 4 Luas lahan kelapa sawit di Propinsi RIAU tahun 2011 92 Lampiran 5 Luas lahan kebun kelapa sawit dan tutupan lahan di

Kabupaten Rokan Hilir (ha) 93

Lampiran 6 Data hasil pengulangan pada Pm 0.2 (Ket: a=Emisi CO2

min (Fitness), b = Generasi (Iterasi), c = Jarak (kemiripan) 94 Lampiran 7 Data hasil pengulangan pada Pm 0.1 (Ket: a=Emisi CO2

min (Fitness), b = Generasi (Iterasi), c = Jarak (kemiripan) 95 Lampiran 8 Data hasil pengulangan pada Pm 0.01 (Ket: a=Emisi CO2

min (Fitness), b = Generasi (Iterasi), c = Jarak (kemiripan) 96 Lampiran 9 Kandungan karbon tutupan lahan dan kelapa sawit tahun

2009 97

Lampiran 10 Kandungan karbon tutupan lahan dan kelapa sawit tahun

2011 98

Lampiran 11 Perubahan kandungan karbon akibat konversi kelapa sawit 99

Lampiran 12 Inisialisasi Populasi 100

Lampiran 13 Evaluasi individu (Fungsi Finess) 101

Lampiran 14 Operator genetik 101

Lampiran 15 Hitung similarity 104

Lampiran 16 Prosedur mapping 105

(18)

Lampiran 24 Hasil running untuk generasi (iterasi) 15-16 dengan Ps=0.95, Pm=0.01, Ukuran lahan=9, jumlah populasi 15 dan jumlah

generasi =50 113

Lampiran 25 Hasil running untuk generasi (iterasi) 17-18 dengan Ps=0.95, Pm=0.01, Ukuran lahan=9, jumlah populasi 15 dan jumlah

generasi =50 114

Lampiran 26 Hasil running untuk generasi (iterasi) 19-20 dengan Ps=0.95, Pm=0.01, Ukuran lahan=9, jumlah populasi 15 dan jumlah

generasi =50 115

Lampiran 27 Hasil running untuk generasi (iterasi) 21-22 dengan Ps=0.95, Pm=0.01, Ukuran lahan=9, jumlah populasi 15 dan jumlah

generasi =50 116

Lampiran 28 Hasil running untuk generasi (iterasi) 23 dan generasi ke24-50 dengan Ps=0.95, Pm=0.01, Ukuran lahan=9, jumlah populasi

(19)
(20)

1

1.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Energi merupakan salah kebutuhan yang sangat penting bagi aktivitas manusia. Konsumsi energi di dunia terus bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Di perkirakan jumlah permintaan energi dunia antara tahun 2008 hingga tahun 2035 akan terus bertumbuh hingga kurang lebih 36%, dan hingga tahun 2035, sumber energi fosil masih akan menjadi sumber energi utama (Castiblanco et al. 2015) meskipun terdapat kekhawatiran masyarakat dunia terhadap perubahan iklim dan keamanan energi. Saat ini, berkembang beberapa persoalan terkait dengan penggunaan energi fosil sebagai sumber energi dunia, yaitu semakin berkurangnya sumber bahan energi fosil, fluktuasi harga, dampak terhadap kerusakan lingkungan dan isu perubahan iklim. Beberapa persoalan tersebut kemudian mendorong masyarakat global untuk mencari sumber energi alternatif dengan resiko yang lebih kecil dari penggunaan energi fosil (Acevedo et al. 2015). Beberapa persoalan tersebut juga mendorong para peneliti untuk menemukan sumber energi yang dapat menggantikan sumber energi berbasis fosil. Sumber energi alternatif yang dimaksud diharapkan adalah sumber energi yang secara teknis mudah diproduksi, secara ekonomi menguntungkan, ramah lingkungan dan mudah didapatkan (Meher et al. 2006). Dalam kontek ini, biodiesel adalah salah satu jenis sumber energi potensial yang memenuhi kriteria-kriteria untuk dikembangkan.

Penggunaan biodiesel sebagai salah satu sumber energi alternatif terus berkembang karena berbagai pertimbangan dan kebijakan terkait dengan pengurangan emisi gas karbon dioksida yang menjadi penyebab terjadinya pemanasan global dan efek gas rumah kaca (Abdullah et al. 2009). Hal lain yang juga mendorong pertumbuhan biodiesel sebagai sumber energi alternatif yang semakin mendesak dan penting adalah karena semakin mahalnya harga bahan baku energi fosil terkait dengan semakin menurunnya jumlah persediaan (Abdullah et al. 2009). Berbagai kebutuhan bahan baku biodiesel oleh karenanya juga terus dibutuhkan dan dikembangkan, dan diantara yang ada saat ini, kelapa sawit merupakan sumber bahan baku yang paling menarik dan potensial (Sani, 2009).

Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang menghasilkan kelapa sawit terbesar di dunia bersama dengan Malaysia dan Papua New Geunea. Luas lahan kelapa sawit di Indonesia bertumbuh 7% setiap tahun selama lebih dari dua dekade, yaitu dari luasan 3,5 juta hektar di tahun 1990 menjadi kurang lebih 13.1 juta hektar di tahun 2010 (Gunarso et al. 2013). Data dari Kemenperin (2011) menunjukkan bahwa pada tahun 2010, luas kebun kelapa sawit mencapai 8,1 juta hektar dengan pertumbuhan luas kebun rata-rata per tahun mencapai 11,8%. Pada tahun 2009, produksi kelapa sawit mencapai 20,2 juta ton dengan rata-rata peningkatan produksi 12% per tahun. Diperkirakan pada tahun 2020, produksi kelapa sawit akan mencapai 40 juta ton.

(21)

2

berpotensi untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit melalui program revitalisasi perkebunan. Lahan tersebut terdiri atas lahan mineral dan lahan gambut dengan tutupan lahan mulai dari hutan primer sampai semak belukar dan padang alang-alang. Namun, pemanfaatan hutan primer, terutama hutan gambut, akan menyebabkan tingginya dampak negatif terhadap lingkungan.

Wilayah-wilayah di Indonesia yang diperkirakan memiliki paling banyak potensi perluasan kebun kelapa sawit, menurut Kementrian Kehutanan Indonesia, adalah Kalimantan (10.3 juta hektar), Sumatra (7.2 juta hektar) dan Papua (6.3 juta hektar) (USDA 2009). Indonesia adalah salah satu negara yang secara ekonomis terbantu oleh pertumbuhan perkebunan kelapa sawit. Meski demikian, peluang perolehan pendapatan dari sektor ini diperhadapkan pada biaya lingkungan yang juga substansial.

Kebun kelapa sawit di Asia Tenggara khususnya, telah diidentikkan dengan berbagai persolan besar sebagai dampak peningkatan produksi tanaman bioenergi seperti penebangan hutan hujan tropis alami, perusakan ekologi dan konflik sosial yang sampai saat ini menjadi perdebatan (Wicke et al. 2008). Kelapa sawit diduga sebagai penyebab utama terjadinya deforestrasi di Indonesia (Carlson et al. 2012) yang berkontribusi terhadap terjadinya emisi karbon sebesar kurang lebih 7-14% dari total emisi global (Harris et al. 2013). Ekspansi kelapa sawit yang tidak terkendali dianggap sebagai ancaman serius terhadap biodiversitas di kawasan Asia Tenggara (Fitzherbert et al. 2008; Koh dan Wilcove 2008), sehingga saat ini terdapat kampaye untuk melawan penanaman kelapa sawit di Asia Tenggara (Greenpeace 2007). Oleh karena itu, estimasi yang akurat terhadap potensi emisi yang disebabkan perubahan penggunaan lahan untuk keperluan perluasan area perkebunan kelapa sawit adalah sesuatu yang sangat penting untuk memastikan pola perluasan kebun kelapa sawit dengan jumlah emisi karbon sekecil-kecilnya.

(22)

3

Pengetahuan tentang pola perubahan penggunaan lahan dalam hubungannya dengan potensi emisi karbon yang ditimbulkannya sangatlah penting bagi pemerintah, swasta dan masyarakat dalam menentukan kebijakan dan keputusan tindakan yang tepat terkait dengan rencana perluasan lahan kelapa sawit, terutama terkait dengan apa yang disebut dengan pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan (sustainable development).

Terkait dengan isu kebelanjutan (sustainability), peningkatan luasan produksi kelapa sawit selama lebih dari 30 tahun belakangan ini menguatkan alasan tentang perlunya untuk memberikan perhatian pada LUC sebagai salah satu indikator keberlanjutan produksi kelapa sawit. Estimasi yang dilakukan oleh Koh and Wilcove (2008) mengindikasikan bahwa semua kebun kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia, antara tahun 1990 dan 2005, sekurangnya 50% adalah berasal dari konversi hutan alam tropis. Di Selangor Malaysia ditemukan bahwa perluasan kelapa sawit adalah kontributor utama terjadinya perusakan area hutan gambut tahun 1966-1995 (Abdullah dan Nakagoshi 2007). Negara bagian Sabah Malaysia, penyebab terjadinya kerusakan hutan bukan lagi logging melainkan perkebunan kelapa sawit (McMorrow dan Talip 2001). Temuan ini membantu untuk memahami bahwa kompleksitas dan dinamika penyebab terjadinya kerusakan hutan di masa lampau dapat diantisipasi dengan mencegah terjadinya perubahan taga guna lahan (LUC) yang tidak benar di masa mendatang.

Beberapa pendapat menyampaikan bahwa kecenderungan ketidaberlanjutan pengembangan kebun kelapa sawit di Indonesia terjadi oleh karena pola perubahan penggunaan lahan (Land Use Change/LUC) yang juga tidak berkelanjutan. Pola perubahan penggunaan lahan (LUC) termasuk untuk keperluan kebun kelapa sawit yang dilakukan dengan perencanaan yang tidak tepat, telah mengakibatkan berbagai dampak lingkungan dan sosial yang serius, seperti kehilangan keanekaragaman hayati, emisi gas rumah kaca dari perubahan biomasa (carbon stock) dan tanah, kebakaran hutan, gangguan pernafasan karena kebakaran hutan, kesuburan tanah dan persoalan-persoalan yang terjadi karena konflik sosial (Wakker 2004; Colchester et al. 2006; Gibbs et al. 2008; Wilcove and Koh 2008; Wicke et al. 2008). Dari hasil berbagai penelitian ini dapat dimaknai bahwa berbagai dampak buruk karena perluasan penggunaan lahan bagi kelapa sawit di masa lampau dapat diantisipasi dengan mencegah terjadinya pola perubahan taga guna lahan (LUC) yang tidak tepat di masa mendatang.

Peningkatan permintaan minyak kelapa sawit yang menjanjikan sebagai sumber bahan makanan, bahan kimia dan industri energi mendorong para pengusaha untuk terus melakukan ekspansi kebun kelapa sawitnya. Keadaan ini berpotensi untuk mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan (LUC) dengan dampak lanjutan terhadap lingkungan dan sosial. Dalam kontek keberlanjutan, penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan adalah salah satu dari indikator yang harus diperhatikan demi keberlanjutan bioenergi. Indikator penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan (LULUC) adalah salah satu indikator dari 8 indikator lingkungan dari keberlanjutan bioenergi yang didorong oleh kesepakatan internasional GBEB (The Global Bioenergy Patnership).

(23)

4

Change) secara ekologis bagi peruntukan kebun kelapa sawit diperlukan suatu model yang digunakan untuk meminimumkan emisi CO2 dari penggunaan lahan

dan perubahan penggunaan lahan. Dalam pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan untuk pengembangan biodiesel, sangat penting untuk memperhatikan pola penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan yang berkelanjutan. Pola penggunaan lahan dan perubahan lahan yang berkelanjutan yang dimaksud sekurangnya harus memperhatikan beberapa pilar keberlanjutan yaitu keuntungan ekonomi, keadilan sosial dan kelestarian lingkungan (Cao et al.

2011). Penelitian ini memfokuskan pada pilar keberlanjutan lingkungan/ekologi, selain karena cadangan karbon dan profitabilitas pada berbagai sistem penggunaan lahan merupakan faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan penggunaan lahan (WAC, 2014). Kriteria keberlanjutan untuk bioenergi yaitu sekurang-kurangnya 35% penurunan emisi GRK 2017dari penggunaan bioenergi dan ditingkatkan menjadi 50% mulai 1 Januari serta biosolar tidak boleh dihasilkan dari lahan gambut atau lahan rawa (European Union 2011). US-EPA menetapkan standar minimum penurunan emisi untuk minyak sawit sebagai bahan dasar biosolar sebesar 20% pada tahun 2022. Saat ini Indonesia dan Malaysia menurut perhitungan awal US-EPA belum lolos kriteria karena penurunan emisi yang dicapai Indonesia sebesar 17% dan Malaysia 11%. Sumber utama emisi tersebut adalah dari perubahan penggunaan lahan dan dekomposisi gambut yaitu sebesar 46 kg CO2-e/mmBTu (US-EPA 2012). Indonesia menggunakan standar

RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Dalam RSPO belum ditetapkan standar penurunan emisi namun anggota dari RSPO harus menerangkan langkah-langkah perusahaan dalam penurunan emisi, sedangkan dalam ISPO ditetapkan standar lingkungan untuk perkebunan kelapa sawit sesuai dengan Permentan No. 19 tahun 2011 yaitu pengelolaan usaha perkebunan harus mengidentifikasi sumber emisi GRK, menyediakan rekaman alih fungsi lahan dan mendokumentasikan usaha egurangan emisi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi sumber emisi dari penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan akibat pengembangan bahan baku kelapa sawit dan perhitungan perubahan penggunaan lahan akibat pengembangan bahan baku kelapa sawit

2. Menganalisis emisi gas CO2 akibat perubahan penggunaan lahan karena

pengembangan bahan baku kelapa sawit dengan menggunakan REDD Abacus SP.

3. Merancang model penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan berdasarkan emisi gas CO2 untuk pengembangan bahan baku biodiesel kelapa

(24)

5

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, model ini dapat dimanfaatkan untuk menjadi rujukan dalam pengambilan keputusan perencanaan tata ruang dan tata wilayah, terutama terkait dengan alokasi lahan bagi pengembangan biodiesel kelapa sawit yang berkelanjutan. 2. Bagi masyarakat umum, hasil dari penelitian ini dapat menjadi wacana

untuk mengetahui pola pendekatan yang baik dan berkelanjutan dalam perencanaan pengembangan biodiesel kelapa sawit.

3. Bagi akademisi dan peneliti, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan rujukan bagi pengembangan keilmuan dan penelitian berikutnya.

4. Bagi perusahaan kelapa sawit swasta dan PTPN, model ini dapat digunakan sebagai rujukan untuk perencanaan pengembangan lahan pengusahaan kelapa sawit yang berkelanjutan.

Ruang Lingkup Penelitian

Dalam rangka mencapai tujuan penelitian ini, terdapat beberapa batasan ruang lingkup yang menjadi asumsi dalam penelitian ini, sebagai berikut :

1. Perubahan penggunaan lahan yang dikaji meliputi jenis-jenis lahan yang ditetapkan pemerintah sesuai dengan ketentuan Kementrian Kehutanan Republik Indonesia.

2. Perhitungan jumlah emisi CO2 dilakukan dengan menggunakan analisa

komparasi data spasial historis dan data-data default nilai kandungan karbon dari beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya.

3. Model penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan bagi pengembangan biodiesel kelapa sawit berkelanjutan mencakup aspek ekologi yang difokuskan pada jumlah emisi CO2.

4. Lokasi yang dipilih sebagai studi kasus aplikasi model adalah Kabupaten Rokan Hilir di Provinsi Riau yang merupakan salah satu daerah dengan percepatan perluasan lahan kelapa sawit terbesar di Indonesia.

Kerangka Pikir Penelitian

Salah satu isu besar yang saat ini menjadi perhatian banyak lembaga di tingkat internasional, regional maupun nasional adalah tentang perubahan iklim. Fenomena perubahan iklim banyak menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi berbagai kepentingan manusia. Oleh karena itu, berbagai pihak saat ini melakukan berbagai upaya untuk mengurangi laju perubahan iklim yang lebih ektrim (mitigasi) dan di sisi lain juga mengupayakan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan untuk mengurangi resiko akibat perubahan iklim (adaptasi). Pengurangan emisi CO2 adalah salah satu mitigasi yang saat ini

(25)

6

berkembang juga diserukan agar mendorong kebijakan yang sedemikian rupa dapat mengurangi produksi emisi gas rumah kaca tersebut.

Salah satu hal yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam rangka mengupayakan pengurangan jumlah emisi adalah dengan membuat kebijakan energi terbarukan sebagai pengganti kebijakan energi fosil. Salah satu sumber energi terbarukan yang dirancang adalah biodiesel, yaitu sumber energi yang berasal dari kelapa sawit. Pemerintah menerbitkan Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang kebijakan penurunan emisi termasuk kebijakan terkait dengan bioenergi,

berdasarkan Pepres No. 5 Tahun 2006, Permen ESDM No 32 Tahun 2008 tentang

penyediaan pemanfaatan dan tata niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain, Permen ESDM No. 25 Tahun 2013 tentang perubahan atas peraturan menteri energi dan sumberdaya mineral No 32 tahun 2008 tentang penyediaan, pemanfaatan dan tata niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain, Permen ESDM No. 20 Tahun 2014 tentang perubahan kedua atas peraturan menteri energi dan sumberdaya mineral No 32 tahun 2008 tentang penyediaan, pemanfaatan dan tata niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain.

Terkait dengan pengusahaan kelapa sawit untuk kepentingan biodiesel, Indonesia menghadapi sebuah persoalan baru terkait dengan konversi lahan yang dipergunakan bagi pengusahaan kelapa sawit itu sendiri. Konversi lahan dengan cadangan karbon yang tinggi menjadi kebun kelapa sawit justru diduga juga sangat berpotensi menimbulkan emisi gas yang sangat. Perlu sebuah pendekatan yang terpadu dari setiap tahapan pengusahaan kelapa sawit agar pengurangan emisi yang diharapkan sungguh terjadi. Perencanaan penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan, merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam perencanaan pengusahaan kelapa sawit supaya jumlah emisi yang timbul dari proses perubahan lahan juga dapat ditekan seminimum mungkin.

Model yang disusun dalam penelitian ini adalah model yang ditujukan untuk membantu proses perencanaan penentuan jenis dan lokasi lahan yang paling minimum menghasilkan emisi karbon. Proses penyusunan model ini dilakukan dengan melakukan identifikasi terhadap berbagai jenis lahan yang selama ini dikonversi menjadi lahan kelapa sawit. Kemudian dilakukan perhitungan terhadap potensi emisi karbon yang ditimbulkan oleh masing-masing lahan tersebut.

(26)

7

Strategi Pengembangan bahan baku biodiesel kelapa sawit

Perencanaan LU/LUC bahan baku biodiesel kelapa sawit Kebijakan Pengurangan

Emisi Peppres No. 61 Tahun

2011

Kebijakan Biodiesel: Peppres No. 5 Tahun 2006 Permen ESDM No. 32/2008 Permen ESDM No. 25/2013

Permen ESDM No.20/2014

Identifikasi ketersediaan lahan

Model Perencanaan LU/LUC Isu Perubahan Iklim Global

Penentuan Jenis Lahan, Lokasi yang sesuai

Perhitungan Emisi CO2

Gambar 1 Kerangka Penelitian

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini terdiri tiga kegiatan meliputi 1) Identifikasi sumber emisi dari penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan yang digunakan untuk pengembangan bahan baku biodiesel kelapa sawit, 2) Analisis emisi gas CO2

(27)

8

Identifikasi Perubahan Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan

Awal

Penggunaan

Lahan saat ini Identifikasi Jenis dan Ketersediaan Lahan

Jenis dan Luasan Lahan Menghitung Stok

Karbon

Menghitung Emisi CO2

dari Perubahan Lahan

Identifikasi Kebutuhan Model

Perancangan Model

Validasi

Simulasi Model

Alternatif Penggunaan Lahan

Solusi tipe lahan dengan Emisi CO2

minimum OK

Belum OK Mulai

Selesai

(28)

9

2.

TINJAUAN PUSTAKA

Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tumbuhan perkebunan yang dikenal sebagai penghasil minyak nabati. Tanaman ini berbentuk pohon yang dapat mencapai ketinggian 24 meter. Selain itu juga terdapat beberapa akar napas yang tumbuh mengarah ke samping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi. Seperti jenis palma lainnya, daun kelapa sawit tersusun majemuk menyirip. Daun berwarna hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Penampilannya agak mirip dengan tanaman salak, hanya saja dengan duri yang tidak terlalu keras dan tajam. Batang tanaman diselimuti bekas pelepah hingga umur 12 tahun. Setelah umur 12 tahun pelapah yang mengering akan terlepas sehingga penampilan menjadi mirip dengan kelapa (Dirjenbun, 2013).

Bunga jantan dan betina terpisah namun berada pada satu pohon (monoecious diclin) dan memiliki waktu pematangan berbeda sehingga sangat jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan memiliki bentuk lancip dan panjang sementara bunga betina terlihat lebih besar dan mekar. Tanaman sawit dengan tipe cangkang pisifera bersifat female steril sehingga sangat jarang menghasilkan tandan buah dan dalam produksi benih unggul digunakan sebagai tetua jantan. Buah sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam, ungu, hingga merah tergantung bibit yang digunakan. Buah bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelapah. Minyak dihasilkan oleh buah. Kandungan minyak bertambah sesuai kematangan buah. Setelah melewati fase matang, kandungan asam lemak bebas (FFA, free fatty acid) akan meningkat dan buah akan rontok dengan sendirinya.

Tanaman cocok di daerah dengan penyinaran matahari rata-rata 5 - 7 jam/hari, curah hujan tahunan 1.500 – 4.000 mm, temperatur optimal 24-28 0C dan di ketinggian ideal 1 – 1500 m dpl (di atas permukaan laut). Tanaman kelapa sawit akan tumbuh optimal di tanah yang banyak mengandung lempung, beraerasi baik dan subur, pH tanah 4-6 dan tanah tidak terlalu berbatu. Secara umum, daerah-daerah tropsi memiliki kondisi iklim mikro yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan kelapa sawit.

(29)

10

Hingga menjelang pendudukan Jepang, Hindia Belanda merupakan pemasok utama minyak sawit dunia. Semenjak pendudukan Jepang, produksi merosot hingga tinggal seperlima dari angka tahun 1940. Usaha peningkatan pada masa Republik dilakukan dengan program Bumil (buruh-militer) yang tidak berhasil meningkatkan hasil, dan pemasok utama kemudian diambil alih Malaya (lalu Malaysia). Baru semenjak era Orde Baru perluasan areal penanaman digalakkan, dipadukan dengan sistem PIR Perkebunan. Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif.

Biodiesel Kelapa Sawit

Biodiesel adalah campuran dari minyak Metil Ester (Fatty Acid Methyl Ester – FAME) yang diproduksi dengan cara transesterifikasi trigliserida melalui katalis dan alkohol (Lee et al. 2011). biodiesel memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan disel dari bahan baku fosil, diantaranya bersifat ramah lingkungan, dapat diperbarui (renewable), dapat terurai (degradable), memiliki sifat pelumasan terhadap mesin piston karena termasuk kelompok minyak yang tidak mengering (non drying oil), mampu mengeliminasi efek rumah kaca dan kemudahan penyediaan bahan baku. biodiesel adalah bahan bakar ramah lingkungan karena menghasilkan gas buang yang bersifat ramah lingkungan dibandingkan disel dari bahan baku fosil, yaitu bebas sulfur, dan angka setana (cetane number) berkisar antara 57-62 sehingga pembakaran dapat terjadi dengan lebih baik, terbakar sempurna (clean burning) dan tidak menghasilkan racun (non toxic) (Hambali 2006). Senada dengan hal tersebut, Meher et al. (2006), menyebutkan bahwa biodiesel memiliki beberapa kelebihan antara lain: (1) mengurangi ketergantungan terhadap minyak mentah, (2) dapat diperbaruhi

(renewable), (3) pengurangan emisi gas rumah kaca, (4) pengurangan emisi jenis gas berbahaya, (5) bisa diurai (biodegradable) dan (7) lebih aman.

Pemanfaatan ester dari minyak nabati yang kemudian disebut sebagai “biodiesel” adalah merupakan sesuatu yang sangat menjanjikan sebagai pengganti disel dari bahan bakar fosil (Ma & Hanna, 1999). Pertumbuhan produksi disel dunia oleh karenanya meningkat pesat. Pada tahun 2007, produksi biodiesel dunia kurang lebih 8.4 juta ton dan bertambah lebih dari dua kali lipat menjadi 20 juta ton di tahun 2010. Produksi biodiesel diproyeksikan terus bertambah hingga 150 juta ton pada tahun 2020 (Agra CEAS Consulting 2010). Di Eropa, jumlah produksi biodiesel tahun 2008 bertumbuh sangat dramatis hingga mencapai 180% dibandingkan jumlah produksi di tahun 2007 (Lozada et al. 2010). Gambaran tersebut di atas menunjukkan bahwa telah terjadi lonjakan produksi biodiesel yang signifikan di dunia sebagai hasil dari penerapan berbagai kebijakan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan di berbagai negara (Abdullah et al. 2009).

(30)

11

Diantara sumber bahan baku tersebut, kelapa sawit adalah jenis bahan baku yang dapat memproduksi minyak dalam jumlah yang paling banyak, yaitu rata-rata 4.6 ribu hingga 5.7 ribu liter minyak per hektar per tahun. Jumlah ini 10 kali lipat dari jumlah minyak yang dapat diproduksi dengan bahan baku kedelai atau 6 kali lipat dari jumlah minyak yang dapat diproduksi oleh bunga matahari (Basiron & Kheong 2009). Abdullah et al. (2009) mengatakan bahwa jumlah produksi minyak dari bahan baku kelapa sawit 27 kali lipat lebih besar dari bahan baku kedelai.

Data lengkap perbandingan produksi bahan baku minyak ditampilkan pada Tabel 1. Kemudian, analisa siklus hidup (Life Cycle Analysis) terhadap beberapa jenis bahan baku biodiesel menunjukkan bahwa biodiesel dari bahan baku kelapa sawit menghasilkan pengurangan emisi yang paling besar, yaitu 62% dibandingkan minyak kedelai (40%) dan minyak bunga matahari (58%) (Sani 2009). Oleh karena berbagai kelebihan yang dimiliki inilah, kelapa sawit menjadi sumber bahan baku yang paling banyak dikembangkan di negara-negara tropis terutama di Indonesia dan Malaysia.

Tabel 1 Perbandingan tingkat produksi bahan baku biodiesel per hektar (Sumathi

et al. 2008)

No Jenis Bahan Baku Produktifitas (ton/ha)

1 Biji Alpukat 1.4

2 Biji Kapas 0.2

3 Kacang tanah 0.7

4 Babassu (sejenis kacang di Brasil) 0.2

5 Kelapa 1.6 transesterifikasi meliputi dua tahap. Transesterifikasi I yaitu pencampuran antara kalium hidroksida (KOH) dan metanol (CH30H) dengan minyak sawit. Reaksi

(31)

12

karena gliserol yang terbentuk relatif sedikit dan akan larut melalui proses pencucian.

Pencucian hasil pengendapan pada transesterifikasi II bertujuan untuk menghilangkan senyawa yang tidak diperlukan seperti sisa gliserol dan metanol. Pencucian dilakukan pada suhu sekitar 55°C. Pencucian dilakukan tiga kali sampai pH campuran menjadi normal (pH 6,8-7,2). Tahap selanjutnya adalah pengeringan. Pengeringan bertujuan untuk menghilangkan air yang tercampur dalam metil ester. Pengeringan dilakukan sekitar 10 menit pada suhu 130°C. Pengeringan dilakukan dengan cara memberikan panas pada produk dengan suhu sekitar 95°C secara sirkulasi. Ujung pipa sirkulasi ditempatkan di tengah permukaan cairan pada alat pengering.

Filtrasi Tahap akhir dari proses pembuatan biodiesel adalah filtrasi. Filtrasi bertujuan untuk menghilangkan partikel-partikel pengotor biodiesel yang terbentuk selama proses berlangsung, seperti karat (kerak besi) yang berasal dari dinding reactor atau dinding pipa atau kotoran dari bahan baku. Filter yang dianjurkan berukuran sama atau lebih kecil dari 10 mikron.

Crude Palm Oil

Transesterifikasi

NaOH Metanol

Metoxide

Setling

Waste Crude Biodiesel

Washing

Drying

Crude Glycerine

Biodiesel Air, sisa katalis,

FFA Glycerine

Gambar 3 Proses Pembuatan biodiesel (Sumathi et al. 2008)

Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

(32)

13

memanfaatkan lahan, manusia seringkali perlu memodifikasinya dalam berbagai cara, dan hal ini telah terjadi sejak beribu tahun yang silam (Briassoulis 2000). Marsh (1965), telah mulai melakukan penelitian tentang berbagai aktifitas manusia dalam memodifikasi lahan-lahan. Dalam bukunya, peneliti ini menuliskan tentang berbagai cara yang dilakukan manusia merubah lahan dan segala sesuatu yang ada di atasnya demi pemenuhan kebutuhan mereka. Beberapa penelitian lanjutan mulai dilakukan dengan memperhatikan berbagai dampak yang timbul atas berbagai inisiatif perubahan lahan yang dilakukan manusia. Hal ini mulai menarik perhatian dunia untuk mencermatinya hingga kemudian muncul sebuah konsep baru yang disebut dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustaianable development) (Brundland Report 1987). Konsep ini mendorong agar penggunaan lahan dilakukan dengan cara-cara yang berkelanjutan melalui dukungan peraturan dan kebijakan yang memadai, dan tidak lagi dilakukan secara semena-mena.

Lahan, oleh FAO (1995) didefinisikan sebagai sebuah luasan permukaan bumi yang meliputi semua atribut biosfer yang ada di atas dan di bawahnya, termasuk iklim permukaan, tanah, hidrologi, tumbuhan dan hewan, perumahan, dan semua penampakan fisik yang dihasilkan oleh aktifitas manusia pada masa lampau maupun saat ini. Sedangkan tutupan lahan didefinisikan sebagai kondisi biofisik permukaan dan sub permukaan lahan (Turner et al. 1990). Definisi ini mengacu pada jenis tanaman yang menutupi permukaan lahan dan hal fisik lain yang ada di permukaan lahan seperti tanah, keragaman hayati, air, bangunan, pavling dan lain-lain. Penggunaan lahan (land use) oleh FAO (1995) didefinisikan sebagai aktifitas manusia yang langsung berhubungan dengan lahan, memanfaatkan sumberdaya yang ada dan menyebabkan dampak tertentu atasnya. Tutupan lahan (land cover) dan penggunaan lahan (land use), oleh karenanya adalah sesuatu yang berbeda (Meyer & Turner 1994). Tutupan lahan mengacu pada kondisi permukaan secara fisik, kimia dan biologis, sedangkan penggunaan lahan (land use) mengacu pada tujuan dari tutupan tersebut. Satu jenis penggunaan lahan, sangat mungkin diwakili oleh satu jenis tutupan lahan, misalnya penggunaan lahan untuk perkebunan akan ditandai dengan satu jenis tutupan lahan dari tanaman perkebunan tersebut. Tetapi, satu jenis tutupan lahan bisa juga mewakili berbagai peruntukan lahan. Misalnya tutupan berupa pepohonan bisa merupakan penampakan tutupan untuk jenis penggunaan lahan sebagai hutan, tempat rekreasi, konservasi, dan lain sebagainya. Dalam berbagai kepentingan praktis, pembedaan antara tutupan lahan dan penggunaan lahan tidak banyak dipersoalkan mengingat banyak data yang juga tidak membedakan secara jelas antara tutupan lahan dan penggunaan lahan (Briassoulis 2000).

Perubahan tutupan lahan dapat terjadi sebagai akibat dari konversi lahan yaitu perubahan dari satu tipe tutupan ke tipe yang lain atau modifikasi tanah yang merupakan perubahan fungsi struktur penggunaan lahan. Serupa dengan hal tersebut, perubahan penggunaan lahan terjadi oleh karena konversi atau pun modifikasi. Perubahan tutupan dan perubahan penggunaan lahan sangat terkait satu dengan yang lain. Hampir setiap perubahan penggunaan lahan selalu berdampak pada perubahan tutupan lahan.

(33)

14

tidak dapat dideteksi dengan pendekatan spasial tingkat tinggi. Misalnya, perubahan 10 ha lahan di dalam kawasan hutan yang sangat luas, tidak dapat dipilah dengan analisa spasial skala nasional. Begitu pula, perubahan pola perubahan penggunaan lahan dalam jangka panjang tidak dapat diamati dalam kurun waktu yang singkat. Analisa terhadap perubahan penggunaan lahan, pada umumnya menyoal tentang dua hal, yaitu hal apa yang menyebabkan terjadinya perubahan lahan dan apa dampak yang ditimbulkan oleh terjadinya perubahan lahan tersebut.

Perubahan penggunaan lahan yang baik adalah perubahan penggunaan lahan yang berkelanjutan, yaitu perubahan penggunaan lahan yang dimaksudkan untuk mengoptimalkan manfaat lahan di masa sekarang dengan cara-cara yang memastikan agar manfaat yang sama juga dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang (WCED, 1987). Perubahan penggunaan lahan yang berkelanjutan adalah perubahan yang mempertimbangkan keseimbangan aspek-aspek tertentu yaitu pengembangan ekonomi, perlindungan lingkungan dan keadilan sosial (Cao

et al. 2012). Lecesse & McCormick (2000) mendeskripsikan perencanaan penggunaan lahan yang berkelanjutan dengan menekankan pada proses pengembangan lahan, perlindungan terhadap lingkungan, dan kohesi geografis lokal. Chandramouli et al. (2009) mendefinisikan perencanaan penggunaan lahan yang berkelanjutan sebagai keseimbangan antara ketersediaan lahan hijau dengan kebutuhan penggunaan lahan untuk keperluan lainnya.

Perdebatan diantara para ahli dan peneliti masih terus terjadi terkait dengan keberlanjutan perubahan penggunaan lahan untuk keperluan bioenergi. Kontribusi positif bioenergi terhadap pengurangan gas rumah kaca masih dipertanyakan karena pada awalnya emisi yang ditimbulkan oleh karena terjadinya perubahan penggunaan lahan tidak diperhitungkan. Hal ini dianggap mengabaikan kenyataan bahwa proses perubahan lahan untuk produksi bioenergi juga menyebabkan terjadinya pelepasan karbon karena perubahan karbon stok yang terjadi karena perubahan penggunaan lahan (Lange 2011) sementara UN REDD (2009) menyebutkan bahwa perubahan penggunaan lahan karena deforestrasi, degradasi hutan untuk keperluan ekspansi pertanian, pembangunan infrastruktur, penebangan liar dan pembakaran menyumbang kurang lebih 20% dari produksi gas rumah kaca dunia. Indonesia dan Brasil, adalah dua negara yang dianggap memiliki peningkatan produksi bahan baku bioenergi yang sangat besar, tetapi pada saat bersamaan juga penyumbang emisi tertinggi karena perubahan penggunaan lahan, yaitu 61% dari emisi CO2 dunia karena perubahan

penggunaan lahan (Le Quere et al. 2009).

Oleh karena itu, sangat di sarankan agar dalam rangka pengembangan produksi bioenergi, dilakukan sebuah proses perencanaan perubahaan penggunaan lahan yang memastikan dampak yang sekecil-kecilnya terhadap lingkungan. Proses pengalokasian berbagai aktifitas atau penggunaan lahan (untuk pertanian, industri, perkebunan, dan lain-lain) ke dalam unit-unit khusus di suatu kawasan sejauh mungkin harus mempertimbangkan seluruh aspek keberlanjutan (Fonseca

et al. 2006)

(34)

15

dirumuskan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagaimana dirumuskan juga oleh Kementrian Kehutanan dan Kementrian Pertanian Republik Indonesia (Agus

et al. 2013). Rincian jenis tutupan dan keterangannya ditampilkan dalam Tabel 2. Tabel 2 Katagori penutupan lahan dalam penafsiran citra satelis optis resolusi

sedang (SNI 2010, Ditjen Planologi Kehutanan 2012) No Katagori/ gangguan eksploitasi oleh manusia, yang dasar hutannya tidak pernah terendam air baik secara kerusakan/perubahan pada tumbuhan hutan yang pertama. Hutan teah mengalami gangguan eksploitasi oleh manusia, biasanya ditandai adanya jaringan jalan ataupan jaringan sistem eksploitasi. Bekas hutan tebas bakar, bekas kebakaran yang tumbuh dan bekas tanah terdegradasi juga dimasukkan dalam kelas ini. menampakkan bekas tebangan, termasuk hutan sagu dan hutan rawa bekas terbakar dan sudah mengalami suksesi.

5 Hutan mangrove primer

Hmp Hutan yang tumbuh di sekitar pantai atau muara yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (bakau, nipah, dan nibung yang berada di sekitar pantai,) yang belum menampakkan bekas tebangan. Pada beberapa lokasi, hutan mangrove berada lebih ke pedalaman.

6 Hutan mangrove sekunder

Hms Hutan yang tumbuh di sekitar pantai atau muara yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (bakau, nipah, dan nibung yang berada di sekitar pantai), yang telah menampakkan bekas tebangan dengan pola alur, bercak dan genangan atau bekas terbakar.

7 Semak/belukar B Hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali (mengalami suksesi) namun belum/tidak optimal, atau lahan kering dengan liputan pohon jarang (alami) atau lahan kering dengan dominasi vegetasi rendah (alami). 8 Hutan

tanaman

(35)

16

reboisasi dan hutan tanaman industri.

9 Perkebunan Pk Perkebunan/kebun adalah lahan bertumbuhkan pepohonan yang dibebani hak milik atau hak lainnya dengan penutupan tajuk didominasi pohon buah atau tanaman industri.

10 Belukar rawa Br Hutan rawa/mangrove yang tumbuh kembali (mengalami suksesi) namun belum/tidakoptimal, atau bekas hutan rawa/mangrove dengan liputan pohon jarang (alami), atau bekas hutan rawa/mangrove dengan dominasi vegetasi rendah (alami).

11 Rumput S Hamparan non hutan alami berupa padang rumput kadang-kadang dengan sedikit semak atau pohon. 12 Pertanian

lahan kering

Pt Aktifitas pertanian lahan kering seperti tegalan dan lading biasanya tidak menggunakan pematang. Khusus sawah musiman di daerah rawa disebut dengan sawah sonor, penanaman padi di area rawa yang sedang kering dengan melakukan pembakaran dan di awal musim kemarau kemudian memanen sebelum area tersebut tergenang air.

15 Tambak Tm Lahan dengan aktifitas perikanan darat atau penggaraman yang dicirikan dengan pola pemarang, tergenang dan berada di tepi pantai.

16 Pemukiman Pm Lahan yang dipergunakan untuk pemukiman, baik perkotaan, pedesaan, fasilitas umum dll dengan memperlihatkan bentuk yang jelas.

17 Transmigrasi Tr Lahan yang digunakan untuk area pemukiman pedesaan (transmigrasi) beserta pekarangan sekitarnya. 18 Tanah terbuka T Lahan terbuka tanpa vegetasi (singkapan batuan, puncak gunung, puncak bersalju, kawah vulkan, pasir pantai, endapan sungai), dan lahan terbuka bekas kebakaran. Lahan terbuka bekas pertambangan dimasukkan dalam katagori pertambangan. Lahan terbuka dalam kontek rotasi tanam sawah tetap dimasukkan dalam kelas sawah.

19 Pertambangan Tb Lahan terbuka yang digunakan untuk aktifitas pertambangan terbuka (seperti batubara, timah, tembaga, dll), serta lahan pertambangan tertutup skala besar yang dapat diidentifikasi dari berdasar asosiasi kenamapan obyeknya, termasuk penimbunan limbah pertambangan.

(36)

17

Emisi CO2 pada Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan dan

Efek Rumah Kaca

Efek rumah kaca adalah sebuah proses di mana radiasi termal dari permukaan bumi diserap oleh gas rumah kaca dan dipantulkan kembali ke segala arah. Pemantulan radiasi ini menimbulkan peningkatan suhu di bumi. Radiasi sinar matahari dalam frekuensi cahaya tampak, dalam jumlah besar melewati atmosfere untuk memanasi permkaan bumi. Radiasi ini kemudian dipancarkan kembali dalam bentuk radiasi sinar infra merah yang kemudian diserap oleh gas-gas rumah kaca dan dikembalikan lagi ke bumi ke lapisan atmosfer yang lebih rendah. Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini

disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak, batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk menyerapnya. Keberadaan efek rumah kaca ini pertama kali disampaikan oleh Joseph Fourier pada tahun 1824, kemudian diperkuat oleh Claude Pouillet pada tahun 1827 dan 1838. Kemudian diperkuat oleh hasil penelitian John Tyndall pada tahun 1859, dan Svante Arrhenius pada tahun 1896 (Held & Soden 2000).

Efek rumah kaca merupakan sebuah fenomena yang banyak menyita perhatian banyak kalangan di bumi oleh karena dampak yang ditimbulkannya. Menurut perhitungan simulasi, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu rata-rata bumi 1-5 °C. Bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5 °C sekitar tahun 2030. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka

akan semakin banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat. Meningkatnya suhu permukaan bumi akan mengakibatkan adanya perubahan iklim yang sangat ekstrim di bumi. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya hutan dan ekosistem lainnya, sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbon dioksida di atmosfer. Pemanasan global mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut. Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga air laut mengembang dan terjadi kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan negara kepulauan akan mendapatkan pengaruh yang sangat besar.

Perluasan kebun kelapa sawit untuk bioenergi, memiliki peluang memberi pengaruh baik atau juga buruk terhadap peningkatan jumlah emisi CO2,

(37)

18

disebut dengan emisi positif. Sebaliknya, jika lahan asal yang digunakan untuk kelapa sawit adalah lahan dengan kandungan karbon yang rendah, misalnya lahan rumput, maka perubahan menjadi kebun kelapa sawit akan meningkatkan serapan karbon, atau sering disebut dengan emisi negatif. Emisi CO2-eq tertinggi ditemukan dari hutan bekas tebangan untuk kelapa sawit yang berusia lebih dari 20 tahun yang terkait dengan perubahan stok karbon dari penggunaan lahan transformasi yang berbeda dari perkebunan kelapa sawit (Akhir et al.2014).

Lahan gambut (peat land) adalah salah satu jenis lahan yang dianggap memiliki karbon stok yang sangat tinggi yaiu berkisar antara 355 Mt y−1 and 855 Mt y−1 sehingga tidak disarankan untuk mengkonversinya menjadi kebun kelapa sawit. Konversi dan pengeringan lahan gambut akan menyebabkan pelepasan karbon dalam jumlah yang sangat besar (Wösten et al. 2008; Hooijer et al. 2010; Parish et al. 2007). Komponen utama yang menyebabkan terjadinya pelepasan emisi dari lahan gambut adalah karena proses pembakaran ketika pembukaan lahan baru dan proses dekomposisi aerobik yang dilakukan oleh mikroba. Terdapat beberapa jenis lahan lain yang memiliki potensi untuk menghasilkan pelepasan karbon ketika dikonversi menjadi kebun kelapa sawit. Untuk itu perlu dilakukan perhitungan estimasi emisi CO2 yang potensial dilepaskan ke udara dari

proses perubahan penggunaan lahan untuk keperluan produksi kelapa sawit. Lange (2011), menghitung jumlah karbon yang dihasilkan dari proses pengusahaan bioenergi dengan cara menambahkan jumlah karbon yang dihasilkan oleh perubahan penggunaan lahan dan jumlah karbon yang dihasilkan dari proses produksi bioenergi itu sendiri. Hasil perhitungan yang dilakukannya kemudian di bandingkan dengan target pengurangan karbon, yaitu 35% dari jumlah karbon yang diproduksi oleh bahan bakar fosil. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa: (1) konversi lahan alami (lindung) untuk bioenergi tidak akan pernah memenuhi target penurunan emisi sebesar 35% dan bahkan dalam beberapa kasus tertentu lebih tinggi dari emisi yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil; (2) Beberapa pengecualian terjadi di Brasil dan Asia Tenggara, yaitu ketika Brasil menggunakan lahan rerumputan untuk produksi bioetanol tebu (berhasil menurunkan emisi sebesar 80%) dan ketika Asia Tenggara menggunakan lahan bekas hutan (kosong) untuk produksi biodiesel kelapa sawit (berhasil menurunkan emisi 131%), dan (3) kecuali produksi biodiesel kedelai di Brasil, hampir semua konversi lahan rumput menjadi kebun tanaman bioenergi berkontribusi terhadap pengurangan emisi lebih dari 35% dari target pengurangan.

Agus et al. (2013) menghitung jumlah emisi karbon dari proses produksi kelapa sawit untuk daerah-daerah di Indonesia (Kalimantan dan Sumatra), Malaysia (Peninsular, Sabah dan Serawak) dan Papua serta Papua New Guinea dengan menggunakan data historis citra satelit dalam beberapa periode waktu, yaitu tahun 1990 – 2000, 2001-2005, dan 2006-2010. Pada setiap area dibagi menjadi beberapa unit matrik yang ditentukan berdasarkan beberapa atribut tertentu, pola geometris dan bentangan. Jumlah matrik-matrik ini kemudian dikalikan dengan faktor emisi. Dalam uraian hasil penelitiannya, Agus et al. (2013) menyebutkan bahwa rata-rata jumlah emisi karena penggunaan lahan untuk kelapa sawit berkisar antara 33 Tg CO2 per tahun pada periode pertama,

kemudian 40 Tg CO2 per tahun pada periode kedua dan Tg CO2 per tahun di

(38)

19

New Guinea kurang lebih 0.5 Tg CO2 per tahun pada periode tahun1990-2000 dan

0.6 Tg CO2 per tahun pada periode tahun 2010. Sumber-sumber emisi yang

dilaporkan dalam penelitian ini terdiri dari emisi dari pelepasan karbon stok karena perubahan penggunaan lahan, pembakaran lahan gambut dan oksidasi lahan gambut. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Lange (2011), penelitian ini tidak mengkonfrontasikan hasil penghitungan dengan sebuah standar tertentu terkait dengan jumlah emisi karbon yang dihasilkan.

Cara penghitungan jumah emisi karbon juga dapat dilakuan dengan menggunakan analisa siklus hidup (life cycle analysis=LCA) terhadap bahan bakar terbarukan. Analisis LCA tersebut umumnya mengacu pada ISO 14044/2006 di mana LCA didefinisikan sebagai kompilasi dan evaluasi dari input, output dan dampak lingkungan potesial dari suatu sistem produk selama siklus hidupnya. Siangjaeo et al. (2011) menggunakan metode ini untuk menghitung dampak perubahan jumlah gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktifitas produksi biodiesel melalui tiga skenario perubahan tata guna lahan, yaitu dari lahan karet, singkong dan tanah terlantar, masing–masing di daerah Krabia, Chonburi, Pathumthani dan Thailand. Studi menunjukkan bahwa setelah melalui analisa siklus hidup emisi gas rumah kaca, dihasilkan bahwa produksi dan penggunaan biodiesel masih jauh lebih kecil dari jumlah gas rumah kaca yang dihasilkan oleh produksi dan penggunaan bahan bakar disel dari bahan bakar fosil. Studi ini menunjukkan bahwa pengurangan gas rumah kaca dapat dilakukan dengan melakukan konversi penggunaan bahan bakar fosil ke bahan bakar yang bersumber dari biomasa serta dengan melakukan penerapan skenario penggunaan lahan yang benar. Secara umum, pendekatan penghitungan emisi karbon dapat dikatagorikan ke dalam dua pola besar, yaitu penghitungan langsung terhadap aliran gas rumah kaca dan melalui perhitungan data-data perubahan karbon stok (Schrier-Uijl et al. 2013).

Di Indonesia, jumlah emisi gas rumah kaca diperkirakan sebesar 3000 Mt atau 3 Giga ton (Gt) CO2-e per tahun, sekitar 2000 Mt dari total emisi tersebut

(39)

20

Perencanaan Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

Menggunakan Pendekatan Genetic Algorithm

Perencanaan penggunaan lahan adalah sebuah metode alokasi sumberdaya yang didefinisikan sebagai sebuah proses untuk mengalokasikan beragam aktifitas atau penggunaan lahan (misalnya perumahan, industri, perkebunan, dll) ke dalam unit-unit khusus lahan dalam konteks geospasial (Cao et al. 2012). Proses ini melibatkan beragam kepentingan yang bahkan seringkali saling berkonflik satu dengan yang lain. Proses perencanaan penggunaan lahan menjadi sebuah proses yang cukup komplek karena selain menentukan jenis peruntukan aktifitasnya, juga termasuk dalam proses ini adalah penentuan berapa banyak lahan yang harus disediakan dan di mana lahan tersebut perlu disediakan. Beberapa persoalan perencanaan penggunaan lahan hingga saat ini banyak yang diatasi dengan menggunakan program linier (linear programming, LP), terutama untuk jenis perencanaan tujuan tunggal (single objective). LP juga dapat dimanfaatkan untuk persoalan-persoalan multi-obyektif dengan cara melakukan pembobotan pada beberapa variabel tujuan yang diharapkan (Arthur & Nalle 1997). Persoalan yang muncul kemudian adalah kesulitan pada proses penentuan nilai pembobotan dari masing-masing tujuan dan apalagi jika tujuan-tujuan dari sebuah proses perencanaan memiliki hubungan yang tidak linier. Dalam rangka menghindari kesulitan dalam penentuan pembobotan pada beragam tujuan yang berbeda dan kecenderungan preferensi pada salah satu tujuan, metode “Pareto Front based method” merupakan salah satu metode yang dapat digunakan (Xiao et al. 2002). Metode ini cukup dapat membantu dalam menentukan nilai kepentingan relatif dari masing-masing tujuan dan populer digunakan untuk memecahkan persoalan multi obyektif terutama pada aplikasi sistem spasial. Secara umum proses optimasi, termasuk dalam perencanaan penggunaan lahan didasarkan pada kedua metode tersebut di atas.

Algoritma genetika (genetic algorithm, GA) adalah sebuah teknik pencarian yang berbasis pada teknik seleksi alam dan genetika. Algoritma genetika merupakan salah satu algoritma yang sesuai untuk menyelesaikan masalah optimasi yang kompleks dan sulit dilakukan. Metode ini pertama kali dikenalkan oleh Holland (1975). Algoritma genetika merupakan teknik pencarian dan teknik optimasi yang cara kerjanya meniru proses evolusi dan perubahan struktur genetik pada makhluk hidup. Algoritma genetika mulai bekerja pada calon-calon solusi yang telah dikodekan dalam bentuk kromosom. Bagian terkecil dari kromosom adalah gen yang menggambarkan unit informasi yang terkandung dalam ruang pencarian. Kumpulan gen membentuk sebuah kromosom yang kemudian akan menggambarkan solusi masalah yang lengkap (Arkeman et al. 2012).

Gambar

Gambar 3  Proses Pembuatan biodiesel (Sumathi et al. 2008)
Tabel 2  Katagori penutupan lahan dalam penafsiran citra satelis optis resolusi
Gambar 4 Diagram alir identifikasi penggunaan lahan
Tabel 3 Perubahan luasan zone pemanfaatan ruang/tutupan lahan tahun 2009-2011
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial kelas V Sekolah Dasar Negeri

“Stasiun Televisi Swasta di Makassar” adalah sebuah tempat yang di lengkapi dengan instalasi elektronik yang menyelenggarakan suatu sistem penyajian gambar dan

Adapun biaya manufkatur yang dikeluarkan dalam proses pembuatan kendaraan bermotor roda tiga sebagai alat transportasi jarak jauh bagi penyandang disabilitas adalah seperti

Tujuan dari penyusunan Tugas Akhir ini adalah untuk memperoleh sistem kontrol tracking fuzzy berbasis performa robust untuk mengatur gerak Quadrotor sesuai lintasan

Penduduk Australia lainnya adalah migran atau keturunan migran yang tiba di Australia dari sekitar 200 negara sejak Inggris mendirikan pemukiman Eropa yang pertama di Sydney Cove

1 Sebuah pema- haman atau penafsiran terhadap teks (dalam arti luas teks meliputi teks verbal dan nonverbal; tertulis dan tidak tertulis) tidak bisa dipaksakan adanya

o Keputusan Bupati Bantaeng Nomor 140/273/V/2015 Tentang Penetapan Hari dan Tanggal Pelaksanaan Pemungutan Suara Pemilihan Kepala Desa Metode E-Voting Di Kabupaten Bantaeng o

Selain itu pengaruh kebijakan dan strategi organisasi adalah faktor – faktor lingkungan baik didalam maupun diluar organisasi mengakibatkan ketidakpastian lingkungan