• Tidak ada hasil yang ditemukan

pemecahan masalah draw A picture

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "pemecahan masalah draw A picture "

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis Siswa Melalui Pembelajaran Matematika

Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif

Tipe STAD (

Student Teams Achivement Divison

)

Pendidikan Matematika

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Negeri Singaperbangsa Karawang

(2)

PENGESAHAN

Proposal penelitian yang berjudul “ Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Melalui Pembelajaran Matematika Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) ” yang disusun oleh :

KETUA : Lusy Yusmaniar (1241172105138) ANGGOTA : Ai Herawati (1241172105075)

Nuryanah (1241172105076)

Fadhlah Mukhlisah (1241172105171)

Kelas : 5C

Program Studi : Pendidikan Matematika

Karawang, 23 Desember 2014 Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan

Dosen pengampuh,

(3)

PERNYATAAN

Bertanda tangan di bawah ini:

KETUA : Lusy Yusmaniar (1241172105138) ANGGOTA : Ai Herawati (1241172105075)

Nuryanah (1241172105076)

Fadhlah Mukhlisah (1241172105171) Prodi : Pendidikan Matematika

Fakultas : KIP ( Keguruan dan Ilmu Pendidikan )

Judul : Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Melalui Pembelajaran Matematika Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD)

Menyatakan bahwa Karya Ilmiah ini adalah hasil pekerjaan kami sendiri dan sepanjang pengetahuan kami tidak berisi materi yang dipublikasikan atau ditulis oleh orang lain atau telah digunakan sebagai persyaratan penyelesaian studi di Perguruan Tinggi lain kecuali pada bagian tertentu yang saya ambil sebagai acuan.

Apabila ternyata terbukti pernyataan ini tidak benar, sepenuhnya menjadi tanggung jawab kami.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyusun proposal penelitian dengan judul “Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Melalui Pembelajaran Matematika Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD (Student Teams Achivement Divison).

Penyusunan proposal penelitian ini diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) Metode Penelitian Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Singaperbangsa Karawang.

Penyusun sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan proposal penilitian ini. Penyusun menyadari bahwa proposal ini tidak akan tersusun tanpa adanya dukungan dari semua pihak. Semoga semua yang telah diberikan dapat bermanfaat.

Penyusun menyadari bahwa proposal penelitian ini tak luput dari kesalahan maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk masa mendatang. Dan semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN

PERNYATAAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang ... 1

I.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Batasan Masalah ... 3

I.4 Tujuan Penelitian ... 3

I.5 Manfaat Hasil Penelitian ... 4

I.6 Definisi Operasional ... 4

I.7 Hipotesis ... 5

BAB II. KAJIAN TEORI II.1 Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD (Student Teams Achivement Divison) ... 6

II.2 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 13

II.3 Kesulitan Materi Persamaan Garis Lurus ... 17

(6)

III.2 Populasi dan Sampel ... 20

III.3 Instrumen Penelitian ... 20

III.4 Instrumen TES ... 21

III.5 Instrumen NON TES ... 25

III.6 Prosedur Penelitian ... 25

III.7 Teknik Analisis Data (TES / NON TES) ... 26

III.7.1 Teknik Analisis Data TES ... 26

III.7.2 Teknik Analisis Data NON TES ... 31

III.8 Jadwal Penelitian ... 32

Daftar Pustaka ... 34

Lampiran 1 Jurnal Internasional ... 36

Lampiran 2 Jurnal Nasional ... 42

Lampiran 3 Instrumen TES ... 58

Lampiran 4 Instrumen Non Tes ... 61

Lampiran 5 Kisi – kisi Indikator Kemampuan ... 63

Lampiran 6 Kisi – kisi Indikator Materi Pelajaran ... 65

Lampiran 7 Hasil Uji Coba Instrumen ... 66

Lampiran 8 Nilai Validitas ... 68

Lampiran 9 Nilai Reliabilitas ... 71

Lampiran 10 Nilai Indeks Kesukaran ... 74

Lampiran 11 Daya Pembeda ... 75

Lampiran 12 Gejala Pusat (Mean, Median, Modus, Varians, Rentang, Standar Deviasi) ... 77

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Matematika adalah suatu disiplin ilmu yang sangat penting dalam kehidupan. Namun sebagian besar siswa beranggapan bahwa matematika itu sulit. Tidak sedikit diantar siswa menghindari pelajaran matematika. Bagi mereka matematika seperti suatu hal yang sangat menyeramkan dan menakutkan. Hal ini dikarenakan mereka selalu mendapatkan banyak kendala dalam mengerjakan soal-soal matematika, tak jarang pula mereka hampir tidak bisa mengerjakannya. Hal ini berarti kemampuan pemecahan masalah matematis sangatlah rendah bahkan kurang, karena jika siswa sudah memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik maka mereka tidak akan merasa kesulitan menjawab soal-soal matematika, meski soal-soal tersebut bukan merupakan soal yang standar.

(8)

menunjukkan bahwa kemampuan siswa SMPIT AL-Huda dalam memecahkan masalah matematika masih bisa ditingkatkan. Kurang mampunya siswa dalam memecahkan masalah, maka akan menimbulkan kesulitan bagi siswa dalam mempelajari matematika.

Pembelajaran matematika pada materi persamaan garis lurus dianggap sebagai sesuatu yang sulit bagi siswa SMPIT AL-Huda kelas VIII. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya dalam penggunaan model pembelajaran yang kurang sesuai sehingga kurangnya tingkat pemecahan masalah mereka pada materi tersebut. Maka dari itu model pembelajaran dipandang mempunyai peran strategi untuk membangun keberhasilan proses belajar mengajar. Berdasarkan hasil wawancara dengan Guru matematika SMPIT AL-Huda mengatakan bahwa beliau menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dalam menyampaikan materi persamaan garis lurus. Namun, hasil belajar para siswa masih dibawah rata-rata bahkan bisa dikatakan rendah.

Setelah mengetahui fakta tersebut peneliti menyimpulkan bahwa kesalahan tidak terletak pada siswa atau guru tetapi kurang sesuainya model pembelajaran yang membuat siswa merasa bosan sehingga peneliti ingin mencoba mengubah model pembelajaran yang digunakan pada materi persamaan garis lurus tersebut.

Menurut Zakylubis (2011), pelaksanaan pembelajaran kooperatif model STAD dengan penilaian unjuk kerja dianggap mampu meningkatkan hasil belajar siswa dan mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan persamaan garis lurus. Pembelajaran cooperative tipe STAD (Student Teams Achivement Divison) dikembangkan oleh Robert E. Slavin dimana pembelajaran tersebut mengacu pada belajar kelompok peserta didik. STAD (Student Teams Achivement Divison) merupakan salah satu metode atau pendekatan dalam pembelajaran cooperatif yang sederhana dan baik untuk guru yang baru mulai menggunakan pendekatan cooperative dalam kelas, STAD juga merupakan suatu metode pembelajaran cooperatif yang efektif.

(9)

matematis salah satunya yaitu model pembelajaran tipe STAD (Student Teams Achivement Divison). Oleh karena itu peneliti ingin mencoba melakukan penelitian yang berjudul ‘’Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis Siswa Melalui Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD (Student Teams Achivement Divison)”.

I.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah melakukan model pembelajaran cooperatif tipe STAD (Student Teams Achivement Divison)?

2. Bagaimanakah perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada penggunaan model berbasis masalah dengan model pembelajaran cooperatif tipe STAD (Student Teams Achivement Divison)?

I.3 Batasan Masalah

Agar penelitian ini tidak menyimpang dan jauh dari sasaran, maka peneliti melakukan penelitian pada tingkat SMP kelas VIII materi aljabar yang lebih difokuskan pada persamaan garis lurus.

I.4 Tujuan Penelitian

Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah

(10)

2. untuk mengetahui bagaimana perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada penggunaan model berbasis masalah dengan model pembelajaran cooperatif tipe STAD (Student Teams Achivement Divison)

I.5 Manfaat Hasil Penelitian

1. Bagi siswa, diharapkan dapat memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap peningkatan kemampuan pemahaman pemecahan masalah siswa setelah melakukan model pembelajaran cooperatif tipe STAD (Student Teams Achivement Divison).

2. Bagi guru, dapat dijadikan sebagai alternatif dalam proses pembelajaran matematika di kelas sebagai upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

3. Bagi peneliti, dapat menambah pengetahuan peneliti tentang model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achivement Divison) yang dapat meningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

I.6 Definisi Operasional

1. Kemampuan pemecahan masalah adalah suatu tindakan untuk menyelesaikan masalah atau proses yang menggunakan kekuatan dan manfaat matematika dalam menyelesaikan masalah, yang juga merupakan metode penemuan solusi melalui tahap-tahap pemecahan masalah. Bisa juga dikatakan bahwa pemecahan masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan.

(11)

kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 atau 5 orang, dengan kelompok heterogen. Dalam pembelajaran kooperatif, setiap siswa yang berpretasi rendah, sedang, dan tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya.

I.7 Hipotesis

1. Terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah melakukan model pembelajaran cooperatif tipe STAD (Student Teams Achivement Divison)?

H0 : tidak terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa setelah melakukan model pembelajaran cooperatif tipe STAD (Student Teams Achivement Divison)?

H1 : terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa setelah melakukan model pembelajaran cooperatif tipe STAD (Student Teams Achivement Divison)?

2. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada penggunaan model berbasis masalah dengan model pembelajaran cooperatif tipe STAD (Student Teams Achivement Divison)?

H0 : tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan

masalah matematis siswa penggunaan model berbasis masalah dengan model pembelajaran cooperatif tipe STAD (Student Teams Achivement Divison)?

H1 : terdapat perbedaan peningkatan kemampuan kemampuan

(12)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

II.1 Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions)

Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pengelompokkan siswa yang didesain untuk meningkatkan partisipasi siswa. Salah satu keuntungan dari pembelajaran kooperatif adalah siswa dapat memperdalam pemahamannya saat mereka berdiskusi dan bertukar ide dengan anggota tim menurut Kennedy dkk (2008: 70-71) yang dikutip dalam Isti (2011). The end product of cooperative learning is higher achievements of individual as compared to competitive or individualistic efforts demonstrated by hundred of studies as revealed by Johnson, (2000) yang dikutip dalam Gul Nazir Khan (2011).

Menurut Anita Lee (2004: 29) yang dikutip dalam Isti (2011) Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok belajar yang di dalamnya menekankan kerjasama. Menurut Ibrahim dkk (2000 : 7) yang dikutip dalam Rosyadi (2011) tujuan penting pembelajaran kooperatif adalah untuk meningkatkan kemampuan individu dalam bidang akademik, penerimaan terhadap adanya keragaman individu dan mengembangkan keterampilan sosial. Sedangkan menurut Farid Makrup (2004) Pembelajaran kooperatif mempunyai tiga tujuan penting, yaitu: a. Hasil belajar akademik

(13)

b. Penerimaan terhadap keragaman

Model kooperatif bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai macam perbedaan latar belakang. Perbedaan tersebut antara lain perbedaan suku, agama, kemampuan akademik, dan tingkat sosial.

c. Pengembangan keterampilan sosial.

Model kooperatif bertujuan untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Keterampilan sosial yang dimaksud dalam pembelajaran kooperatif antara lain adalah: berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, memancing teman untuk bertanya, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok, dan sebagainya.

Menurut Iqbal (2010) yang dikutip dalam Gul Nazir Khan (2011) mentioned that, the cooperative learning is more successful as a teaching learning practice as compared to customary teaching method. Borrich (1996) yang dikutip dalam Gul Nazir Khan (2011), the outcomes of cooperative learning are, formation of attitude and values, provides model of pro-social behavior, presents alternative perspectives and viewpoints, build a coherent and integrated identity, and promotes critical thinking, reasoning, and problem-solving behavior.

Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif yang dikemukakan oleh Ibrahim dkk (2000:10) yang dikutip dalam Rosyadi (2011) dirangkum pada tabel berikut:

Tabel 01

Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif

Langkah Tingkah Laku Guru

Langkah – 1

Menyampaikan tujuan dan motivasi siswa

(14)

Langkah – 2

Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.

Guru mencari cara yang baik untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

Roger dan David Johnson yang dikutip dalam Subyakto (2009) mengatakan tidak semua kerja kelompok bisa dikatakan Cooperative Learning, untuk itu harus diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong royong yaitu :

(15)

Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan mereka.

2) Tanggung Jawab Perseorangan

Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran Cooperative Learning, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Pengajar yang efektif dalam model pembelajaran Cooperative Learning membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan.

3) Tatap Muka

Dalam pembelajaran Cooperative Learning setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan dan mengisi kekurangan.

4) Komunikasi Antar Anggota

Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai ketrampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Ketrampilan berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses panjang. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa.

5) Evaluasi Proses Kelompok.

(16)

Model STAD dipilih karena menurut Widyantini (2008) yang dikutip oleh Yosela (2013), materi-materi dalam Standar Isi yang diharapkan akan berhasil secara optimal dengan pembelajaran model STAD adalah materi-materi yang berkaitan denganpemecahan masalah. Dengan demikian, model STAD tepat digunakan pada penelitian ini untuk mengatasi kesulitan peserta didik dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah

Pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions) merupakan segala aktivitas belajar siswa untuk meningkatkan kemampuan yang telah dimiliki maupun meningkatkan kemampuan baru, baik kemampuan dalam aspek pengetahuan, sikap, maupun keterampilan, aktivitas pembelajaran tersebut dilakukan dalam kegiatan kelompok, sehingga antar peserta dapat saling membelajarkan melalui tukar pikiran, pengalaman, maupun gagasan-gagasan. Interaksi dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD berlangsung dapat meningkatkan motivasi serta memberikan rangsangan untuk berpikir, hal ini sangat berguna untuk proses pendidikan jangka panjang (Sanjaya, 2008) yang dikutip dalam nurmahni (2013).

(17)

Pembelajaran kooperatif tipe STAD terdiri lima komponen utama, yaitu penyajian kelas, belajar kelompok, kuis, skor pengembangan, dan penghargaan kelompok (Agus N cahyo:2012:289).

1) Presentasi Kelas

Materi dalam STAD pertama-tama diperkenalkan dalam presentasi di dalam kelas. Ini merupakan pengajaran langsung seperti yang sering dilakukan atau diskusi pelajaran yang dipimpin oleh guru, tetapi bisa juga memasukkan presentasi audiovisual.

2) Tim

Tim terdiri atas empat atau lima siswa yang mewakili seluruh bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras dan etnisitas. Fungsi utama dari tim adalah memastikan bahwa semua anggota tim benar-benar belajar dan mempersiapkan anggotanya untuk mengerjakan kuis dengan baik. 3) Kuis

Setelah guru memberikan presentasi dan praktik tim, para siswa akan mengerjakan kuis secara individual.

4) Skor Kemajuan Individual

Gagasan dibalik skor kemajuan individual adalah untuk memberikan motivasi kepada tiap siswa mengenai tujuan kinerja yang akan dapat dicapai apabila mereka bekerja lebih giat dan memberikan kinerja yang lebih baik daripada sebelumnya. Tiap siswa diberi skor “awal”, yang diperoleh dari rata-rata kinerja siswa tersebut sebelumnya. Siswa selanjutnya mengumpulkan poin untuk tim mereka berdasarkan tingkat kenaikan skor kuis mereka dibandingkan dengan skor awal mereka.

5) Rekognisi Tim

Slavin, Robert E, (2009: 143- 146) yang dikutip dalam Isti (2011) menyatakan bahwa tim akan mendapatkan sertifikat atau bentuk penghargaan yang lain apabila skor rata-rata mereka mencapai kriteria tertentu.

(18)

interdependence of group members, individual accountability, and peer pressure due to common learning goals, continuous assessment and performance rewards.

Ciri-ciri Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD. Menurut Slavin (2008: 10) yang dikutip dalam Kireyinha (2011) ciri-ciri model pembelajaran kooperatif tipe STAD yaitu:

1. Bahan pelajaran disajikan oleh guru dan siswa harus mencurahkan perhatiannya, karena hal itu akan mempengaruhi hasil kerja mereka dalam kelompok.

2. Anggota kelompok terdiri dari 4-5 orang siswa, mereka heterogen dalam berbagai hal seperti prestasi akademik dan jenis kelamin.

3. Setelah tiga kali pertemuan diadakan tes individu berupa kuis mengguan yang dikerjakan siswa sendiri-sendiri.

4. Materi pelajaran disiapkan oleh guru dalam bentuk lembar kerja siswa. Penempatan siswa dalam kelompok lebih baik ditentukan oleh guru daripada memilih sendiri.

Kelebihan dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD menurut Ibrahim dkk (2000) yang dikutip dalam Agus (2012) adalah sebagai berikut :

a. Dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dengan siswa lain.

b. Siswa dapat menguasai pelajaran yang disampaikan.

c. Dalam proses belajar mengajar siswa saling ketergantungan positif. d. Setiap siswa dapat saling mengisi satu sama lain.

Langkah-langkah penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD menurut Slavin (2009: 151-160) yang dikutip dalam Isti (2011) adalah:

1. Siswa mendapat penjelasan mengenai apa yang akan mereka pelajari dan mengapa hal itu penting.

(19)

3. Siswa dibagi ke dalam kelompok belajar yang terdiri dari empat atau lima siswa yang mewakili seluruh bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras, dan etnisitas.

4. Siswa bekerja dalam tim untuk menguasai materi dengan mendiskusikan lembar kegiatan.

5. Siswa mengerjakan kuis secara individual.

6. Setiap kelompok diberi penghargaan berdasarkan perolehan poin kemajuan individual dari skor awal ke skor kuis berikutnya.

II.2 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

(zulfikarmansyur: 2014) dalam Turmudi (2008) menyatakan pemecahan masalah artinya proses melibatkan suatu tugas yang metode pemecahannya belum diketahui lebih dahulu. Untuk mengetahui penyelesaiannya siswa hendaknya memetakan pengetahuan mereka, dan melalui proses ini mereka sering mengembangkan pengetahuan baru tentang matematik.

Menurut Polya (1985) dalam Ellisia (2011) pemecahan masalah diartikan sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan untuk mencapai suatu tujuan yang tidak secara mudah dapat dicapai. Dari definisi itu dapat dikatakan bahwa pemecahan masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran, yang digunakan untuk menemukan kembali (reinvention) dan memahami materi, konsep, dan prinsip matematika.

(Novian: 2011) Kemampuan pemecahan masalah adalah suatu tindakan untuk menyelesaikan masalah atau proses yang menggunakan kekuatan dan manfaat matematika dalam menyelesaikan masalah, yang juga merupakan metode penemuan solusi melalui tahap-tahap pemecahan masalah. Bisa juga dikatakan bahwa pemecahan masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan.

(20)

yang ingin diketahui. Kesenjangan itu perlu segera diatasi. Proses mengenai bagaimana mengatasi kesenjangan ini disebut sebagai proses memecahkan masalah.

Masalah dalam pembelajaran matematika merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon. Namun tidak semua pertanyaan otomatis akan menjadi masalah. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang sudah diketahui sipelaku.

Banyak faktor untuk dapat melihat tingkat kemampuan siswa dalam pemecahan masalah. (zulfikarmansyur: 2014), yang di kutip dari Sumarmo (Febianti, 2012:14) mengemukakan indikator pemecahan masalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang diperlukan.

2. Merumuskan masalah matematik atau menyusun model matematik.

3. Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau diluar matematika.

4. Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan awal.

5. Menggunakan matematika secara bermakna.

(21)

ini, aspek-aspek kemampuan matematika yang penting seperti penerapan aturan pada masalah tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian, komunikasi matematika dan lain-lain dapat dikembangkan secara lebih baik

Pentingnya pemecahan masalah juga ditegaskan dalam NCTM (2000: 52) yang menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan bagian integral dalam pembelajaran matematika, sehingga hal tersebut tidak boleh dilepaskan dari pembelajaran matematika. Hal ini sejalan dengan pendapat Ruseffendi (2006: 341) yang mengemukakan bahwa kemampuan pemecahan masalah penting dalam matematika, bukan saja bagi mereka yang di kemudian hari akan mendalami atau mempelajari matematika, melainkan juga bagi mereka yang akan menerapkannya dalam bidang studi lain dan dalam kehidupan sehari-hari

Menurut Nila (2009) Berdasarkan kenyataan di atas, siswa kita akan membuat kesalahan jika

diberikan soal non rutin. Itu berarti kemampuan pemecahan masalah siswa Indonesia masih kurang, padahal dalam pembelajaran matematika kemampuan pemecahan masalah sangat penting, sebagaimana dikemukakan oleh Branca (Gani, 2007) bahwa kemampuan pemecahan masalah sebagai jantungnya matematika. Kemampuan pemecahan masalah amatlah penting dalam matematika, yang dikemudian hari dapat diterapkan dalam bidang studi lain dan dalam kehidupan sehari-hari.

(22)

memahami materi, konsep, dan prinsip matematika. Pembelajaran diawali dengan penyajian masalah atau situasi yang kontekstual kemudian melalui induksi siswa menemukan konsep/prinsip matematika (Ellisia : 2011).

Salah satu tujuan pembelajaran matematika yang harus dicapai diantaranya adalah mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. Pada materi bangun ruang, peserta didik cenderung menghafal konsep maupun rumus-rumus. Alangkah lebih baik jika peserta didik dapat menemukan sendiri pengetahuannya sehigga lebih mudah untuk memahami materi yang disampaikan (Yosela : 2013).

Menurut zulfikarmansyur (2014) Kemampuan pemecahan masalah matematis sangat bergantung dengan adanya masalah yang ada di dalam matematika. Maka dari itu perlu adanya pembahasan mengenai masalah matematis. Suatu masalah adalah situasi yang mana siswa memperoleh suatu tujuan, dan harus menemukan suatu makna untuk mencapainya (Prabawanto,2009). Secara umum masalah adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengatasi persoalan yang dihadapinya. Sebagian besar ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab dan direspon. Mereka juga menyatakan bahwa tidak semua pertanyaan otomatis akan menjadi masalah. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan dengan suatun prosedur rutin yang sudah diketahui si pelaku. Menurut Polya (Andriatna, 2012:20) masalah dalam matematika terdapat dua macam, yaitu sebagai berikut.

1. Masalah untuk menemukan, dapat teoritis atau praktis, abstrak atau konkret, termasuk teka-teki. Siswa berusaha untuk bisa menemukan variabel masalah serta mengkontruksi semua jenis objek yang bisa menyelesaikan masalah tersebut.

(23)

Namun Polya (Prabawanto, 2011) juga membedakan masalah ke dalam authentic problems danroutie problems. Routine problem didefinisikan sebagai suatu tugas yang dapat selesesaikan dengan cara mensubtitusikan data tertentu ke dalam penyelesaian umum yang dihasilkan sebelumnya, atau dengan mengikuti langkah demi langkah, tanpa menelusur originalitas masalahnya. Sebaliknya, authentic problem adalah suatu tugas di mana metode solusinya tidak diketahui sebelumnya. Hal serupa dikemukakan oleh Gilfeather & Regato (Prabawanto, 2011) membagi masalah menjadi dua jenis, yaitu masalah rutin dan masalah tidak rutin. dari kedua pendapat tersebut sama-sama memasukkan masalah matematis dalam masalah rutin dan tidak rutin yang berarti bahwa masalah adalah sesuatu yang harus dicari penyelesaiannya walaupun pada saat itu belum didapat penyelesaiannya.

II.3 Kesulitan Materi Persamaan Garis Lurus

(24)

termasuk didalamnya kurangnya kemampuan perencanaan (strategy knowledge) dan kurangnya kemampuan penyelesaian (algorithmic knowledge) yang ditunjukkan dengan tidak mengerjakan soal atau mengosongkan pekerjaan, kurang melanjutkan langkah penyelesaian soal yaitu kurang memasukkan nilai x,y ke dalam rumus umum persamaan garis, kurang memasukkan nilai x = 28 pada langkah selanjutnya dan kurangnya ketelitian siswa dalam mengerjakan yaitu keliru dalam memasukkan nilai x dan y ke dalam rumus umum persamaan garis (Retno dkk :2012).

Menurut Zakylubis (2011), Pelaksanaan pembelajaran kooperatif model STAD dengan penilaian unjuk kerja dianggap mampu meningkatkan hasil belajar siswa dan mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan persamaan garis lurus.

(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Metode Penelitian dan Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistic. dengan demikian metode kuantitatif ini diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrument penelitian, analisis data bersifat kuantitatif atau statistic, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (sugiyono 2014: 11)

Pada penelitian ini menggunakan true eksperiment design dalam desain ini, peneliti dapat mengontrol semua variable luar yang mempengaruhi jalannya eksperimen. ciri utama dalam desin ini adalah sampel yang digunakan untuk eksperimen maupun maupun sebagai kelompok control diambil secara random dari populasi tertentu. adapun jenis yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pretest-postest control group design karena dalam desain ini terdapat dua kelompok yang dipilih secara random kemudian diberi pretest untuk mengetahui keadaan awal adakah perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok control setelah itu kelompok eksperimen diberi pembelajaran menggunakan model yang peneliti jadikan penelitian yaitu model kooperatif tipe STAD sedangkan kelompok control diberi pembelajaran menggunakan model yang biasa di lakukan guru pada sekolah yang peneliti teliti, barulah pada akhirnya diberi posttest untuk melihat keadaan akhir dari kedua kelompok tersebut

Gambar pola pretest-postest control group design (sugiyono :2014:114)

R O1 x O2

(26)

III.2Populasi dan Sampel  Populasi

menurut Sugiyono (2014 : 119) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : obyek/subyek yang mempunyai kualitas atau karakteristik tertentu yang ditetapakan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi yang di ambil adalah seluruh kelas VIII di SMPIT Al-Huda yang berjumlah 216 Siswa.

 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono:2014:120).

Teknik pengambilan sampel yang diambil adalah probability sampling. Probability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel (sugiyono:2014:122).

Jenis probability yang di ambil adalah cluster sampling. Menurut Margono (2004: 127) dalam salah satu artikel, teknik cluster sampling digunakan bilamana populasi tidak terdiri dari individu-individu, melainkan terdiri dari kelompok kelompok individu atau cluster. Menurut peneliti jenis ini sangat cocok untuk pengambilan sampel pada tingkat sekolah. Dimana populasinya adalah siswa kelas VIII SMPIT Al-Huda, yang terdiri atas 4 kelas dapat di ambil secara random 2 kelas tersebut menjadi sampel.

III.3Instrument Penelitian

(27)

III.4Instrumen Tes

Instrumen Tes yang peneliti pilih adalah bentuk esai (uraian). Tes bentuk esai adalah sejenis tes kemajuan belajar yang memerlukan jawaban yang bersifat pembahasan atau uraian kata-kata (Arikunto :2013:177). Tes subjektif yang pada umumnya berbentuk esai (uraian). Alasan peneliti mengambil tes bentuk uraian adalah agar dapat mengetahui sejauh mana siswa mendalami suatu masalah yang diteskan.

Penyusunan tes diawali dengan pembuatan kisi-kisi soal yang mencakup pokok bahasan, kemampuan yang diukur, indikator , serta jumlah butir soal. Kemudian dilanjutkan dengan menyusun soal beserta kunci jawaban dan aturan pemberian skor untuk masing-masing butir soal.

Tes pemecahan masalah matematik siswa dalam penelitian ini terdiri dari bentuk uraian pada pokok bahasan persamaan garis lurus. Soal-soal yang digunakan untuk mengukur pemecahan masalah matematis siswa untuk tiap langkah terdiri dari kemampuan memahami masalah, merencanakan pemecahan dan menyelesaikan masalah. Penilaian untuk jawaban soal pemecahan masalah matematis siswa disesuaikan dengan keadaan soal dan hal-hal yang ditanyakan, adapun pedoman penelitian didasarkan pada pedoman penskoran rubric untuk kemampuan pemecahan masalah yang dikutip dari sumarmo (1994).

(28)

Indikator Materi Soal Indikator Kemampuan lebar 5m yang berisi ikan mas, di dalam kolam ikan besar terdapat kolam ikan kecil yang berukuran panjang 3m dan lebar 2m yang berisi benih ikan mas. Diantara dua kolam ikan tersebut dipasang jarring ikan. Tentukan kemiringan

(29)

Penilaian pada instrument tes menggunakan aturan penilaian holistic menurut sumarmo yang dimodifikasi sesuai dengan indikator.

Pedoman Penilaian

Aspek yang

dinilai Reaksi terhadap soal/masalah Skor

Memahami Masalah

Tidak memahami soal/tidak ada jawaban 0

Tidak memperhatikan syarat-syarat soal/cara

interpretasi soal kurang tepat 1

garis lurus melalui lebar 5m yang berisi ikan mas, di dalam kolam ikan besar terdapat kolam ikan kecil yang berukuran panjang 3m dan lebar 2m yang berisi benih ikan mas. Diantara dua kolam ikan tersebut dipasang jarring ikan. Tentukan kemiringan jarring ikan tersebut!

(30)

Memahami soal kurang baik tetapi sudah

memperhatikan syarat-syarat soal 2

Memahami soal cukup baik dan sudah memperhatikan syarat-syarat soal dengan baik 3

Memahami soal dengan baik 4

Menerapkan strategi pennyelesaian

Tidak ada rencana strategi penyelesaian 0

Stategi yang direncanakan kurang tepat 1

Menggunakan satu strategi tertentu tetapi mengarah

pada jawaban salah 2

Menggunakan satu strategi tertentu tetapi tidak

dapat dilanjutkan 3

Menggunakan beberapa strategi yang benar dan

mengarah pada jawaban yang benar 4

Merumuskan masalah atau menyusun model matematika

Tidak ada penyelesaian 0

Ada model matematika, tetapi prosedur tidak jelas 1

Menggunakan satu prosedur tertentu yang mengarah kepada jawaban yang benar 2

Menggunakan satu prosedur tertentu yang benar

tetapi salah dalam menghitung 3

Menggunakan prosedur tertentu yang benar dan

hasil benar 4

(31)

III.5Instrumen Non Tes

Instrumen Non Tes yang peneliti pilih adalah bentuk Kuesioner (Angket). Kuesioner (Angket) merupakan instrument untuk pengumpulan data, dimana partisipan atau responden mengisi pertanyaan atau pernyataan yang diberikan oleh peneliti. Peneliti dapat menggunakan kuisioner untuk memperoleh memperoleh data yang terkait dengan pemikiran, perasaan, sikap, kepercayaan, nilai, persepsi, kepribadian dan perilaku dari responden. Pada penelitian ini digunakan skala guttman untuk pengukuran angket. Skala guttman adalah skala pengukuran yang hanya terdapat dua alternatif jawaban, yaitu “ya-tidak”, “benar -salah”, “setuju-tidak setuju”. Jawaban dapat dibuat skor tertinggi satu dan terendah nol. Missal untuk jawaban “setuju” diberi skor 1 dan “tidak setuju” diberi skor 0.

III.6Prosedur Penelitian

Observasi

Penyusunan

Proposal

Instrumen

Uji

Pelaksanaan

penelitian

Pengolahan

Data

Analisis

Data

(32)

III.7Teknik Analisis Data

III.7.1 Teknik Analisis Data Tes

Analisis data dimaksudkan untuk melakukan pengujian hipotesis dan

menjawab rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini yaitu data

kuantitatif. Pengolahan data kuantitatif diperoleh dari hasil pretest dan posttest,

yang selanjutnya dianalisis apakah terdapat peningkatan kemampuan pemecahan

masalah matematis melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD. Analisis data

kuantitatif menggunakan;

1) Uji Normalitas

Uji normalitas untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji shapiro-wilk

dengan taraf signifikan 95%. Jika data berdistribusi normal, maka analisis data dilanjutkan dengan uji homogenitas varians untuk menentukan uji parametrik yang sesuai.

2) Uji Homogenitas Varians

Uji homogenitas varians dilakukan jika data berdistribusi normal. Uji homogenitas varians dilakukan untuk mengetahui apakah kedua kelompok data yang akan diuji memiliki variansi yang homogen atau tidak. Untuk menguji homogenitas varians dengan mengambil taraf signifikansi 95%.

3) Indeks Gain

(33)

konvensional, dilakukan perhitungan nilai indeks gain kedua kelas. Rumus yang digunakan adalah rumus gain ternormalisasi (N-Gain) yang dikembangkan oleh Meltzer (Latifah, 2012:42) yakni:

Indeks gain =

Kategori gain yang dinormalisasi sebagai berikut: Interpretasi Gain

Nilai Gain Normal (NG) Interpretasi

NG > 0,7 Gain tinggi

0,3 < NG 0,7 Gain sedang

NG 0,3 Gain rendah

a) Validitas

Menurut Suharsimi Arikunto (2013) sebuah tes dikatakan memiliki validitas jika hasilnya sesuai dengan kriterium, dalam arti memiliki kesejajaran antara hasil tes tersebut dengan kriterium.

Menurut Pearson, korelasi produk moment.

∑ ∑ ∑

√ ∑ ∑ ∑ ∑

Keterangan : = Koefisien antara variabel x dan variabel y

x = Jumlah skor tiap item dari seluruh responden uji coba.

y = Jumlah skor total seluruh item dari keseluruhan responden uji coba.

(34)

Tolak Ukur yang Dibuat Guildford (Arikunto,2013) Klasifikasi koefisien validitas

Besar r Hitung Interpretasi

0,800 ≤ r hitung ≤ 1,00 Validitas Sangat Tinggi

0,600 ≤r hitung ≤ 0,800 Validitas Tinggi

0,400 ≤ r hitung ≤ 0,600 Validitas Cukup

0,200 ≤ r hitung ≤ 0,400 Validitas Rendah

0,00 ≤ r hitung ≤ 0,200 Validitas Sangat Rendah

r hitung < 0,00 Tidak Valid

b) Reliabilitas

Menurut Sperman dan Brown (dalam Arikunto : 2013), dalam menghitung besarnya reliabilitas berhubungan dengan penambahan banyaknya butir.

Menurut Husen Umar menyatakan bahwa “reliabilitas adalah derajat ketepatan, ketelitian atau keakuratan yang ditunjukkan oleh instrumen pengukuran“ (1991 : 52), suatu alat ukur dikatakan reliabel bila alat tersebut dalam mengukur suatu gejala pada waktu yang berlebihan menunjukkan hasil yang sama.

Rumus Combach Alpha (Arikunto: 2013: 122)

Keterangan:

: koefisien reliabilitas

(35)

∑ : jumlah varians skor tiap-tiap item : varians skor total

Klasifikasi koefisien Reliabilitas

Besar Interpretasi

Reliabilitas sangat rendah Reliabilitas rendah Reliabilitas sedang Reliabiltas tinggi

Reliabilitas sangat tinggi

c) Daya Pembeda

Menganalisis kesukaran tes soal artinya mengkaji soal-soal tes dari segi kesulitannya, sehingga dapat diperoleh sol oal mana yang termasuk mudah, sedang dan sukar, sedangkan menganalisis daya pembeda artinya mengkaji soal-soal tes dari segi kesanggupan tes tersebut dalam kategori lemah atau rendah dan kategori kuat atau tinggi persentasinya. (Wayan, 1983:134)

̅ ̅

Keterangan : DP = Daya pembeda

̅ = rata – rata skor kelompok atas tiap butir soal

̅ = rata – rata skor kelompok bawah tiap butir soal

SMI = skor maksimum tiap item

(36)

Nilai Interpretasi

DP  0,00

0,00  DP  0,20

0,20  DP  0,40

0,40  DP  0,70

0,70  DP  1,00

Sangat Jelek

Jelek

Cukup

Baik

Sangat baik

d) Indeks Kesukaran

Indeks Kesukaran menunjukkan apakah suatu butir soal tergolong sukar, sedang, atau mudah. Butir soal tergolong sukrar, sedang, atau mudah. Butir soal yang baik adalah butir soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar.

̅

Keterangan : IK = Indeks Kesukaran

̅ = rata-rata skor

SMI = skor maksimum tiap item.

Klasifikasi IK menurut Eman Suherman dan sukjaya (1990:213)

Nilai Interprestasi

Ik = 0,00

0,00  IK  0,30

Soal terlalu sukar

Soal sukar

(37)

0,30  IK  0,70

0,70  IK  1,00

IK = 1,00

Soal mudah

Soal terlalu mudah

III.7.2 Teknik Analisis Data Non Tes 1). Validitas

Rumus yang cocok untuk uji validitas dengan skala Guttman yaitu rumus koefisien reprodusibilitas dan koefisien skalabilitas(effendi:2011) yang dikutip dalam febiola(2014).

 Rumus koefisien reprodusibilitas

Keterangan :

= Jumlah kesalahan / Nilai eror

= Jumlah pernyataan dikali jumlah responden

Syarat penerimaan nilai koefisien reprodusibiltas yaitu apabila koefisien reprodusibiltas memiliki nilai > 90.

 Rumus koefisien skalabilitas

Keterangan:

= Jumlah kesalahan / Nilai eror

= ({jumlah pernyataan dikali jumlah responden} – jumlah jawaban “ya”)

(38)

2). Reliabilitas

Rumus yang cocok untuk pengujian reliabilitas skala guttman adalah rumus Kuder Richardson 21 (KR 21), karena rumus ini cocok untuk pilihan jawaban yang sifat dikotomi(febiola:2014).

 Rumus KR 21

{

}

(Sugiyono:2014:180) Keterangan:

= jumlah item dalam instrument = mean skor total

= varians total

III.8Jadwal Penelitian

No Kegiatan

Bulan / minggu ke-

Oktober November Desember Januari

I II III IV I II III IV I II III IV V I II III IV

1 Penyusunan Proposal

2 Pengajuan Koordinasi

3 Pembuatan Instrumen

4 Pelaksanaan Uji Coba

(39)

Pretest

6

Pelaksanaan Pembelajara

n

7 Pelaksanaan Postest

8 Pengolahan data

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2001.Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan.Jakarta : PT Bumi Aksara.

Arikunto, Suharsimi. 2013. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Cahyo, Agus N. 2013. Panduan Aplikasi Teori-teori Belajar MengajarTeraktual dan Terpopuler.Yogyakarta:Diva Press.

http://febiolaestalina.blogspot.com/2014/07/yuk-kenalan-sama-skalaguttman.html

diakses pada 24 Desember 2014.

http://zulfikarmansyur.wordpress.com/2014/01/07/13/ diakses pada 12 Desember 2014.

http://file.upi.edu/Direktori/SPS/PRODI...IPA/.../Pertemuan_5_HOUT.pdf

diakses pada 13 November 2014.

http://zakylubismy.blogspot.com/2011/11/pembelajaran-kooperatif-model-stad

pada.html diakses pada 29 Oktober 2014

http://nhingz-anwar.blogspot.com/2013/05/makalah-model-pembelajaran

kooperatif.html diakses pada 27 Oktober 2014.

Kesumawati, Nila.2009. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP Melalui Pendekatan Matematika Realistik.

Palembang:Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika.

Khan, Gul Nazir.2011. Effect Of Student’s Team Achivement Division (STAD) on

(41)

Kumalasari, Ellisia. 2011. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Smp Melalui Pembelajaran Matematika Model Core.

Bandung : Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung.

Maharani, Dkk. Keefektifan Model Student Teams-Achievement Division Berbantuan Cd Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah.Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Riduwan. 2013. Metode dan Teknik Menyusun Proposal Penelitian. Bandung: ALFABETA.

Riduwan.2013. Dasar-Dasar Statistika. : Bandung : ALFABETA.

Sugiyono.2002.Statistika Untuk Penelitian.Bandung: CV ALFABETA.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). Bandung: ALFABETA.

Subyakto. 2009. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Jgsaw dan STAD (Student Teams Achivement Division) Terhadap Prestasi Belajar IPA Ditinjau

Dari Motivasi Belajar Siswa Kelas VIII Sekolah Menengah Pertama Negeri

Se Wilayah Ngawi Timur.Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Tanjungsari, Retno Dewi. 2012. Diagnosis Kesulitan Belajar Matematika SMP Pada Materi Persamaan Garis Lurus. Semarang: Unnes Journal of Mathematics Education.

(42)

Lampiran 1

Effect of Student’s Team Achievement Division

(STAD) on Academic Achievement of

Students

Gul Nazir Khan

PhD Scholar, Institute of Education & Research, University of Peshawar, Pakistan E-mail: gulnazir515198@gmail.com

Dr. Hafiz Muhammad Inamullah

Assistant Professor, Institute of Education & Research, University of Peshawar, Pakistan

Received: May 19, 2011 Accepted: July 11, 2011 Published: December 1, 2011 doi:10.5539/ass.v7n12p211 URL: http://dx.doi.org/10.5539/ass.v7n12p211

Abstract

Due to the increasing diverse nature of the world’s education system, it is important that learning strategies are beneficial in educating a wide variety of students. For the retention and comprehension of the subject matter taught in the classrooms, teachers must engage students and provide them with the proper social skills needed to succeed beyond the classroom environment. The focus of the present study investigated the effect of a form of cooperative learning instruction that is students’ team achievement division (STAD) with that of traditional lectures method. The population of the study was all the students studying chemistry at higher secondary level in Khyber Pukhtunkhwa (Pakistan). 30 students of chemistry grade 12 in government higher secondary school Jamrud were selected as a convenient sample of the study. The students were divided into two groups one was called control group and the other was experimental group based on stratified random sampling techniques. The true experimental design of the posttest only control group design was applied in this study. The control group was taught with the traditional lecture method while the experimental group with the cooperative learning instruction STAD. Students academic achievements were find out by teacher made test composed of multiple choice questions, short questions and long questions. The credit of the test was of 50 marks, the posttest consist of multiple choice questions of 16 marks, short questions of 24 marks and one long question of two subsections having 10 marks. Student ttest of non-dependent sample was used to analyze the data. The result showed that the students’ achievements of both the groups were not significant. The implications were discussed.

Keywords: STAD, Jamrud, Khyber Pukhtunkhwa, Pakistan, Chemistry 1. Introduction

(43)

approach.

In cooperative learning, students work in pairs, to maximize their own and other learning. In addition, cooperative learning frequently new ideas and their solution i.e. process gain, develop high level of reasoning and transfer of information and knowledge from one situation to another situation i.e. group to individual transfer than any type of other learning, (Roger & Johnson, 1994) .

The end product of cooperative learning is higher achievements of individual as compared to competitive or individualistic efforts demonstrated by hundred of studies as revealed by Johnson, (2000).

The present study investigated the effect of a form of cooperative learning instruction that is students’ team achievement division (STAD) with that of traditional lectures method in chemistry. Chemistry occupies the central position among the science subjects. It is a central subject in medicines, textiles, agriculture, chemical engineering; etc students ignore the subjects in spite of its scope in various fields of life. One of the greatest causes of students’ anxiety towards chemistry is poor teaching methods, (Jegede, 2007).

STAD (Students team achievement division) according to Rai (2007) is one of the many strategies in cooperative learning, which helps promote collaboration and self-regulating learning skills. The reason for the selection of STAD is good interaction among students, improve positive attitude towards subject, better self-esteem, increased interpersonal skills. STAD also add an extra source of learning with in the groups because some high achievers act as a role of tutor, which result in high achievements. Finally, it enables the students according to the requirements of the modern society by teaching them to work with their colleagues competently and successfully as explained by Balfakih (2003). The findings of Balfakih (2003) have indicated that in teaching 10th grade chemistry, students team achievements division (STAD) is a more effective teaching method than the traditional-teaching method.

Kinney (1989) conducted a similar study, by studying the effects of cooperative learning on the achievement of ninth-grade students in a diverse cultural general biology class. The experimental group having the combination of both black and white students had a significant increase on the academic achievement scores. Face to face, interaction in the classroom has an intense effect on the societal, cognitive, and scholarly development of students. .According to Kagan, (1994) the learning process in which the interaction of students occur led to aquision of skills development of language and social skills. As Iqbal (2010) mentioned that, the cooperative learning is more successful as a teaching learning practice as compared to customary teaching method. The structural approach to cooperative learning is based on the construction, investigation, and orderly use of structures, or content free ways of organizing social interaction in classroom as revealed by Kagan (1994)

Being the option for teachers in the teaching learning process cooperative learning as an instructional methodology is presently the least regularly used, (Johnson & Johnson 1991). Lecture method or competition contribute to more than 85% of the instruction in schools in which students are isolated from one an other and forbidden to interact, (Johnson, Johnson , Holubec , & Roy,1984). In addition, Goodlad ,(1984) reported that teacher engaged most of the time in the classrooms, while only small fraction of time (about one percent) in the classroom is spared for students activities like reasoning and expressing their opinions.

In the light of the above discussions, the overall purpose of the proposed study was to investigate the effect of STAD on student’s academic achievement. To achieve the objective of the study the following hypothesis were developed.

(44)

degree of freedom is 23. 2. Methodology

The population of the study was all the students studying chemistry at higher secondary level in Khyber Pukhtunkhwa (Pakistan). 30 students of chemistry grade- 12 in government higher secondary school Jamrud were taken as a sample study. These students were divided into two groups one was called control group and the other was experimental group based on stratified random sampling techniques. The true experimental design of the posttest only control group design was applied in the study Gay (2000). The reason behind this experimental design was that, the duration of the study was limited only to two weeks. In this type of design, both the groups were randomly selected. The control group was taught with the conventional lecture method while the experimental group with the cooperative learning instruction STAD, developed by the Slavin (1996). The main reason of selecting students’ team-achievement division (STAD) was to look into the overuse of lecture method and to develop innovation in teaching learning process.

The researcher himself taught both the groups for two-week duration due to time constraints. The contents of the two methods that is STAD and traditional method were the selected topics of inorganic chemistry grade 12 belong to unit 1, 2 & 3. After two weeks instruction, posttest was administered to both groups. The test composed of multiple choice questions, short questions and long questions. The credit of the test was of 50 marks, the posttest consist of multiple choice questions of 16 marks, short questions of 24 marks and one long question of two subsections having 10 marks. In the STAD method, new materials were presented to the students in the form of discussion or lecture method. Work sheet consists of problems or questions/answers were provided. After the process, students worked in pairs and thoroughly discussed the problems and quizzing each other. Sufficient time was given to the students.

Finally, individual quiz was administered, in which students were not allowed to cooperate with each other. Tests were marked immediately and formed individual scores into team scores by averaging all. The role of individual student was determined by how much each student’s quiz score exceeded his past score average or preset score based on students learning history. This way the entire group received a score based on each individual member’s performance, (Borrich, 1996) After the experimentation process, a teacher prepared posttest was then administered to both the groups. Two independent chemistry teachers, having equal experiences in the teaching of chemistry scored the test.

At the conclusion of the posttest, the score of the groups by examiner 1, examiner 2 and the difference between the mean test scores of the experimental group with the control group were subjected to a test of statistical significance, a student’s t-test, (Gay, 2000).

3. Discussion

The correlation coefficient between the score of the two groups by the two examiners was very high that is 0.88.

The mean of the two groups in the posttest for the two examiners indicated that the experimental groups taught with the STAD method performed better in the test than the control group taught with traditional lecture method. Since the calculated t-test, value that is 0.72904 is lower than the table value, which is 2.07 therefore the result showed that the difference in achievements between the two groups taught by traditional lecture method and cooperative learning method was not significant.

(45)

measuring effect on students achievements, with 41(61%) reporting higher achievements level in cooperative than in control classes. Twenty five (37%) found no difference and only one study the control group have higher level of achievements than cooperative learning

The no significant result of the two groups might because the researcher was the instructor of the course. Specifically this threat that is termed as experimenter/research effect (Gay & Airasian, 2000), might have biased the findings of the study to some degree. However, keeping in mind that inter-rater reliability between the two examiner of the posttest was extremely high (i.e. 88%). A threat to internal validity was of instrumentation. Due to open-ended nature, more than 60% of the posttest assessment of internal consistency was not difficult. Similarly, another threat to internal validity is that of experimental mortality. At the beginning of the study the total students in both the groups were 30 , however it drops to 25 with 15 in the experimental group and 10 in the control group. Only pretest can controlled this threat. (Farooq, 2001). Due to lack of pre-test heterogeneous nature in both the groups were also not established which is core point of cooperative learning.

As Johnson (1992) explained that, there were marked difference between simply classifying students to learn and cooperative group processing among students. Although the cooperative learning group in this study were highly heterogeneous and structured in which the participants stayed together during the entire study duration, the findings suggest that even greater cooperative structured is needed in the course.

Similarly, the time and the location constraints, as mentioned by the Onwuegbuzie (2001) also affect the results of the two groups. Only fifteen minutes were available for the students STAD activities, which is too short for the mastery of the topic. Likewise, the location and space was not enough there not enough space for students to openly discussed their topic.

Many of the characteristics of STAD a form of cooperative learning as explained by Iqbal, (2010) are mutual interdependence of group members, individual accountability, and peer pressure due to common learning goals, continuous assessment and performance rewards. One of the reasons is the presence of continuous assessments in the non-experimental group due to which the result of the two groups are almost similar.

One of the prime important limitation of this study was that the result were obtained from relatively small , geographically limited sample of students, thus the extent to which the generalize ability of the findings of the present study to other students is a question requiring further research both qualitative and quantitative analysis techniques, (Onwuegbuzie,2001).

4. Conclusion

The findings of the study revealed that the difference between the groups in term of their performance in the posttest was not significant. The non significant result might be due to lack of pretest which is the base for the random assignment of students to both experimental and control groups. Similarly in both the groups.

heterogeneousity in all respects were not maintained. Besides the mean of the score indicated that the experimental group outnumbered control group in their posttest. According to Borrich (1996), the outcomes of cooperative learning are, formation of attitude and values, provides model of pro-social behavior, presents alternative perspectives and viewpoints, build a coherent and integrated identity, and promotes critical thinking, reasoning, and problem-solving behavior. As a result, student team achievement division (STAD) a cooperative learning ought to be used as an instructional technique for teaching of chemistry to grade -12, regardless of the students’ grades as envisaged by Rai, (2007).

References

(46)

http://scholar.lib.vt.edu/ejournals/JVTE/v13n2/Abu.html

Balfakih, M.A. N. (2003). The effectiveness of students-team achievement division (STAD) for teaching high school chemistry in the United Arab Emirates. International Journal of Science Education 25(5), 605-624. http://dx.doi.org/10.1080/09500690110078879

Borich, G.D. (1996). Effective teaching methods (3rd ed.). Engle-wood cliffs, New Jercy: Columbus, Ohio.

Courtney, D.P., Courtney, M., & Nicholson, C. (1992). The effect of cooperative Learning as an instructional practice at the college level. College Students Journal, 28(4), 471-477. [Online] Available: http://psycnet.apa.org/psycinfo/1995-27045-001

Farooq, R.A. (2001). Understanding Research in Education (.p-104). University Institute of Education and Research University of Arid Agriculture, Rawalpindi: (Pakistan).

Gay, L.R., & Airasian, P.W. (2000). Educational research: competencies for Analysis and application (6th ed.) Englewood Cliffs, N.J, Printice Hall.

Gay, L.R. (1996). Educational research: competencies for analysis and Application (5th ed.), p-37. National book foundation Islamabad Pakistan.

Goodlad, J.I. (1984). A place called school. New York: McGraw Hill.

Jegede, S.A. (2007). Student’s anxiety towards the learning of Chemistry in some Nigerian secondary schools.2

Johnson, D.W. (1992). Cooperative learning: increasing college faculty international Productivity. (ERIC Document Reproduction service NO ED 343465)

Johnson, D.W., & Johnson, R.T. (1991). Joining together: Group theory and Group Skills. Boston: Allyn & Bacon.

Johnson, D.W., Johnson, R.T., Holubec, R.J., & Roy, P. (1984). Circles of learning: Cooperation in the classrooms. Alexandria, VA: Association for supervision and Curriculum development. Johnson, D. W., & Johnson, R. T. (1999a) . Making cooperative learning work. (Electronic version) Theory in Practice, 38 (2), 67-73. [Online] Available: http://www.jstor.org/pss/1477225 Johnson, D. W. & Johnson, R. T& Stanne M.B. (2000). Cooperative learning Method: a Meta analysis exhibit-b.

Kagan, S. (1994). Cooperative learning. San Juan Capistrano, CA: Kagan Cooperative Learning. Majuka,M,I.,Dad,M ,H., & Mehmood, T. (2010). Students Team Achievement Division (STAD) as an Active Learning Strategy:Empirical Evidence from Mathematics classroom. Journal of Education and Sociology,16-20.

Onwuegbuzie, A .J & DaRos-Voseles, D.A. (2001). The role of cooperative Learning in research methodology courses: A Mixed-Method Analysis. Research in the Schools, 8(1), 61-75.

Onwuegbuzie A.J, Collins M T K, & Elbedour S. (2003). Aptitude by Treatment Interactions & Mathew Effect in Graduate-Level Cooperative learning groups. The Journal of Educational Research, 96(4). http://dx.doi.org/10.1080/00220670309598811

Panitz, T. (1996). A Definition of Collaboration vs. Cooperative Learning. [Online] Available: http://www.psy.gla.ac.uk/~steve/pr/ted.orig

Rai, N., & Samsuddin,S. (2007). STAD Vs Traditional teaching, Redesigning Pedagogy –crpp conference 2007. [Online] Available: http://conference.nie.edu.sg/2007/paper/papers/STU349.pdf Roger., & Johnson. (1994). An overview of cooperative learning, creativity and Collaborative learning. Brookes press Baltimore.

(47)

what we know, what we need to know?, Contemporary Educational Psychology, 21, 43-69. http://dx.doi.org/10.1006/ceps.1996.0004

Slavin, R.E. (1990). Cooperative learning: theory research and practice. Englewood cliffs, NJ Prentice Hall.

Smialek. Boburka, T. Reiter .R. (2006). The effect of Cooperative learning exercises on The critical listening skills of college music-appreciation students, Journal of Research in Music Education, 54(1), 57-72. http://dx.doi.org/10.1177/002242940605400105

Zakaria, E., Chin, C.L., & Daud.Y. (2010). The Effect of Cooperative Learning on Students Mathematics Achievements and Attitude towards Mathematics. Journal of Social Sciences, 6(2): 272-275. http://dx.doi.org/10.3844/jssp.2010.272.275

The results of both the groups were the following: Students’ scores (mean)

Group detail Number Mean Standard deviation Students ttest Experimental 15 20.1666 7.4322

0.72904

Control 10 18.5 9.559

The students test value 0.72904 is greater than the table value 2.07, which shows that the difference between the two groups in achievement was not significant.

Students test score examiner-1

Group detail Number Mean Standard deviation Students ttest

Experimental 15 22.733 8.42 0.58336

Control 10 20.6 9.257

The table reveals that the difference between the two groups was insignificant in achievement.

Students test score examiner 2

Group detail Number Mean Standard deviation ttest

Experimental 15 17.6 6.874 0.74904

Control 10 16.4 8.9839

Again, the analysis of score obtained by the two different groups showed that the disparity between two groups in achievements was insignificant.

(48)

Lampiran 2

PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA DITINJAU

DARI TINGKAT KEMAMPUAN DASAR MATEMATIKA

Widya Septi Prihastuti, Bambang Hudiono, dan Ade Mirza Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Untan

Email: wwidyasp@yahoo.com

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa kelas IX SMP Bumi Khatulistiwa menggunakan strategi pemecahan masalah matematis dalam menyelesaikan soal kubus dan balok ditinjau dari tingkat kemampuan dasar matematika. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan bentuk penelitian berupa studi kasus. Sampel penelitian ini adalah 21 siswa. Hasil analisis data menunjukkan bahwa kemampuan siswa kelompok atas menggunakan strategi pemecahan masalah matematis dalam menyelesaikan soal kubus dan balok adalah 76,40 % yang tergolong dalam kategori sedang, kemampuan siswa kelompok menengah adalah 66,67 % yang tergolong dalam kategori sedang, dan kemampuan siswa kelompok bawah adalah 55,45 % yang tergolong dalam kategori rendah.

Kata kunci: Strategi, Tingkat Kemampuan Dasar

Abstract:This study aimed to determine the ability of grade IX SMP Bumi Khatulistiwa uses mathematical problem-solving strategies in solving the cube and beam in terms of the level of basic math skills. The method used is descriptive research is a form of case studies. The sample was 21 students. Results of data analysis showed that the ability of the group of high students use mathematical problem-solving strategies in solving the cube and the block is 76.40% which is classified in the category of moderate, middle-ability group of students is 66.67% which is classified in the category of being, and the ability of student groups below is 55.45% which is classified in the low category.

Keywords: strategy, Level of Basic Skills

K

emampuan pemecahan masalah matematis merupakan salah satu keterampilan matematika yang perlu dikuasai siswa. Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika di antaranya adalah mengembangkan kemampuan:

(1) Komunikasi matematis, (2) penalaran matematis, (3) pemecahan masalah matematis, (4) koneksi matematis, dan (5) representasi matematis (NCTM, 2000:7). Selain itu, dalam Standar Isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(49)

Sekolah Menengah Pertama (SMP) bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan berikut:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Dilihat dari tujuan pembelajaran matematika dan standar isi KTSP tersebut, pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang cukup penting dalam proses pembelajaran matematika. Kemampuan ini sangat berguna bagi siswa pada saat mendalami matematika maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Soedjadi (2000: 36) mengatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah suatu keterampilan pada peserta didik agar mampu menggunakan kegiatan matematis untuk memecahkan masalah dalam matematika, masalah dalam ilmu lain, dan dalam masalah kehidupan sehari-hari. Pemecahan masalah menurut Suherman (2001 : 93) merupakan bagian dari kurikulum matematik yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Melalui kegiatan ini, aspek-aspek kemampuan matematika yang penting seperti penerapan aturan pada masalah tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian, komunikasi matematika dan lain-lain dapat dikembangkan secara lebih baik

Gambar

Tabel 01
Tabel 1 Skor Jawaban Siswa Soal Nomor 1
Tabel 2 Skor Jawaban Siswa Soal Nomor 2
Tabel 3 Sebaran Strategi Aljabar Siswa
+5

Referensi

Dokumen terkait

1) Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika melaui strategi problem solving tipe draw a picture.. 2) Siswa diharapkan

strategi pemecahan masalah draw a picture lebih tinggi dari rata-rata kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika siswa yang dalam. pembelajarannya menggunakan

serta mampu mengkomunikasikan gagasan atau ide-ide matematika. 52) menyatakan pentingnya pemecahan masalah dalam mengem- bangkan pengetahuan matematika. Pendapat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diterapkan model pembelajaran Konstruktivisme dan model

Saran-saran yang dapat diberikan terhadap pengembangan perangkat pembelajaran khususnya dalam matematika yaitu: (1) perangkat pembelajaran berbasis masalah

Berdasarkan data dalam tabel 4 di atas, dapat disimpulkan bahwa secara multivariat matrik data kemampuan pemecahan masalah Matematika (Y1) dan kemampuan

Berdasarkan data dalam tabel 4 di atas, dapat disimpulkan bahwa secara multivariat matrik data kemampuan pemecahan masalah Matematika (Y1) dan kemampuan

Pemecahan masalah merupakan aktivitas yang memberikan tantangan bagi kebanyakan siswa, dan pemecahan masalah matematika akan dapat memotivasi minat siswa dalam belajar