PENGARUH KOMITMEN DAN KEADILAN ORGANISASI
TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PEGAWAI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD
BADAN LAYANAN UMUM
PEKANBARU
TESIS
OLEH :
TRIO SAPUTRA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PENGARUH KOMITMEN DAN KEADILAN ORGANISASI
TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PEGAWAI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD
BADAN LAYANAN UMUM
PEKANBARU
OLEH:
TRIO SAPUTRA
1210247083
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Magister Ilmu Administrasi
Pada Program Pascasarjana Universitas Riau
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis
:Pengaruh Komitmen dan Keadilan Organisasi Terhadap
Kualitas Pelayanan Pegawai Rumah Sakit Umum
Daerah
Arifin
Achmad
Badan
Layanan
Umum
Pekanbaru
Nama
: TRIO SAPUTRA
Nomor Mahasiswa
: 1210247083
Program Pendidikan : MAGISTER
Program Studi
: Ilmu Administrasi
Kekhususan
: Administrasi dan Kebijakan Publik
Menyetujui
Komisi Pembimbing :
Dr. Meyzi Heriyanto, S.Sos.,M.Si
ketua
Drs.H. Zaili Rusli, M.Si
Anggota
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Riau
Prof. Dr. H.B. Isyandi, SE,.MS
Ketua Program Magister
Ilmu Administrasi
Dr. Meyzi Heriyanto, S.Sos.,M.Si
LEMBAR PENGESAHAN TESIS
Judul Tesis
:Pengaruh Komitmen dan Keadilan Organisasi Terhadap
Kualitas Pelayanan Pegawai Rumah Sakit Umum
Daerah
Arifin
Achmad
Badan
Layanan
Umum
Pekanbaru
Nama
: TRIO SAPUTRA
Nomor Mahasiswa
: 1210247083
Program Pendidikan : MAGISTER
Program Studi
: Ilmu Administrasi
Kekhususan
: Administrasi dan Kebijakan Publik
NO
NAMA PENGUJI
JABATAN
TANDA TANGAN
1
Dr. H. Seno Andri, M.Si
Ketua
2
Dra. Hj. Lena Farida, M.Si
Sekretaris Sidang
3
Drs. Endang Sutrisna, M.Si
Pembaca Ahli
4
Dr. Meyzi Heriyanto, S.Sos., M.Si
Ketua Pembimbing
5
Drs. H. Zaili Rusli, M.Si
Anggota Pembimbing
Mengetahui,
Ketua Program Studi.
LEMBARAN PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Karya tulis saya ini, tesis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (Sarjana, Magister, dan Doktor) baik di
Universitas Riau maupun perguruan tinggi lainnya.
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penilaian saya sendiri, tanpa
bantuan pihak manapun, kecuali arahan tim pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dalam naskah dengan
disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian
hari terdapat penyimpangan dan ketidak benaran dalam pernyataan ini,
maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar
yang telah diperoleh karena karya tulis saya ini, serta sanksi lainnya sesuai
dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Pekanbaru, 16 April 2014
Yang Membuat Pernyataan,
ABSTRACT
TRIO SAPUTRA , NIM . 1210247083 , The influence of Commitment and Justice
on the Quality of Service Employees District General Hospital Arifin Achmad
Public Services Agencies Pekanbaru , to be guided by the Meyzi Heriyanto and
Zaili Rusli .
The research aims to analyze and researching the exten to which influence of
variable commitment and organizational fairness together and partially to the quality
of service of the hospital employees arifin achmad public services agencies .
The method used in this research is survey , the collection of primary data
through questionnaires against 93 employees of general hospitals were arifin
achmad public service agencies pekanbaru , supported the analysis of primary and
secondary data through questionnaires and observation well as data hospital records
related to the problem under study .
The results showed that commitment positive and a significant effect on service
quality, organizational fairness positive and significant effect on service quality,
commitment and simultaneously organizational fairness positive and significant
impact on the quality service in general hospitals arifin achmad public services
agencies pekanbaru.
ABSTRAK
TRIO SAPUTRA, NIM. 1210247083, Pengaruh Komitmen Dan Keadilan
Organisasi Terhadap Kualitas Pelayanan Pegawai Rumah Sakit Umum Daerah
Arifin Achmad Badan Layanan Umum Pekanbaru,
Dibimbing oleh Meyzi Heriyanto dan Zaili Rusli.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan meneliti sejauh mana pengaruh
variabel komitmen dan keadilan organisasi secara bersama-sama dan parsial
terhadap kualitas pelayanan pegawai rumah sakit umum daerah arifin achmad
badan layanan umum pekanbaru.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survai, pengumpulan data
primer melalui kuisioner terhadap 93 pegawai rumah sakit umum daerah arifin
achmad badan layanan umum pekanbaru, analisis didukung data primer dan
skunder melalui kuisioner dan observasi serta data rumah sakit yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komitmen berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kualitas pelayanan, keadilan organisasi berpengaruh positif
terhadap kualitas pelayanan, secara simultan komitmen dan keadilan organisasi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas pelayanan di rumah sakit umum
daerah arifin achmad badan layanan umum pekanbaru.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat allah SWT atas rahmat dan karunianya
jualah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Penyusunan
tesis merupakan sebagi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada
Program Pascasarjanan Universitas Riau.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof.Dr. B. Isyandi, SE, MS selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Riau.
2. Bapak Dr.Meyzi Heriyanto,S.Sos.,M.Si selaku ketua Program Studi, yang
telah banyak membantu dalam mengarahkan dan membimbing penulis
selama menjadi mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi
Program Pascasarjana Universitas Riau.
3. Bapak Drs.H. Zaili Rusli,M.Si selaku anggota pembimbing, yang telah banyak
meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan penulis mulai dari awal
penelitian hingga selesainya penyusunan tesis ini.
4. Seluruh bapak dan ibu dosen yang telah memberikan ilmu dan
pengetahuannya kepada penulis selama menjadi mahasiswa di Program
Pascasarjana Universitas Riau.
5. Pegawai tata usaha Pascasarjana Program Studi Ilmu administrasi
Universitas Riau.
6. Kepada orang tua ku Purn. Efendi dan Tugina Amd. Keb dan kakak-kakaku
Deby Shinta Amd.Keb., SKM dan Indah Dwi Wahyuni S.St. yang telah
dengan sabar dan penuh semangat memberikan motivasi kepada penulis
mulai dari awal perkuliahan hingga selesainya penyusunan tesis ini.
7. Rekan-rekan mahasiswa angkatan XIX program studi ilmu administrasi
pascasarjana universitas riau.
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah
memberikan bantuan dalam menyusun tesis ini.
Akhir kata semoga karya akhir ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan
yang lain untuk kemajuan ilmu pengetahuan dimasa mendatang. Atas perhatian dan
bantuan seluruh pihak diucapkan terima kasih.
Pekanbaru, April 2014
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ...
i
LEMBAR PENGESAHAN KOMISI PENGUJI ...
ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ... iii
ABSTRACT ... iv
ABSTRAK ...
v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...
1
B. Rumusan Masalah ... 17
C. Tujuan Penelitian ... 17
D. Manfaat Penelitian ... 18
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
A. Kualitas Pelayanan ... 19
1. Definisi Kualitas Pelayanan ... 19
2. Kualitas Pelayanan... 21
3. Dimensi Kualitas Pelayanan ... 23
4. Aspek-aspek Kualitas Pelayanan ... 26
B. Keadilan Organisasi ... 27
1. Definisi Keadilan Organisasi ... 27
2. Aspek-Aspek Keadilan Organisasi ... 30
C. Komitmen ... 32
1. Definisi Komitmen ... 32
2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi ... 35
3. Aspek-Aspek Komitmen ... 37
1. Evaluasi Input ... 39
2. Evaluasi Proses... 40
3. Evaluasi output ... 42
E. Penelitian Terdahulu ... 44
F. Kerangka Berpikir ... 46
1. Kerangka Berpikir ... 46
2. Hipotesis ... 51
G. Definisi Oprasional Variabel ... 52
1. Komitmen ... 52
2. Keadilan Organisasi ... 52
3. Kualitas Pelayanan... 53
H. Skala Pengukuran dan Instrumen Penelitian ... 53
BAB III: METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian ... 57
B. Desain Penelitian ... 57
C. Populasi dan Sampel ... 58
1. Populasi Penelitian ... 58
2. Sampel Penelitian ... 58
D. Teknik Pengumpulan Data ... 60
1. Studi Kepustakaan dan Dokumentasi ... 60
2. Studi Lapangan ... 60
E. Teknik Analisis Data ... 61
1. Deskripsi Data ... 61
2. Pengujian Prasyarat Analisis ... 62
3. Pengujian Hipotesis Penelitian ... 65
BAB IV: HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 67
1. Visi dan Misi ... 67
2. Tujuan ... 67
B. Sasaran ... 68
C. Status dan Letak Geografis ... 70
D. Sejarah Perkembangan ... 71
1. Jenis Kelamin ... 75
2. Umur ... 75
3. Tingkat Pendidikan ... 76
4. Pangkat/ Golongan ... 76
5. Masa Kerja ... 77
F. Deskripsi data ... 78
1. Komitmen (X
1) ... 78
2. Keadilan Organisasi (X
2) ... 83
3. Kualitas Pelayanan (Y) ... 89
G. Pengujian Persyaratan Analisis ... 96
1. Uji Validitas ... 96
2. Uji Realibilitas ... 100
3. Uji Normalitas ... 100
4. Uji Linearitas ... 102
5. Uji Heteroskedastisitas ... 103
6. Uji Multikolonieritas ... 104
7. Uji Hipotesis ... 105
A. Uji Regresi Linier Sederhana X
1-Y ... 105
B. Uji Regresi Linier Sederhana X
2-Y ... 107
C. Uji Regresi Linier Berganda X
1, X
2–Y ... 110
8. Uji T (t test) ... 112
9. Uji F (f test) ... 112
10. Koefisien Determinasi ... 113
H. Pembahasan Hasil Penelitian ... 114
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 119
B. Saran ... 120
DAFTAR PUSTAKA ... 121
LAMPIRAN ... 124
SURAT PENELITIAN
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 : Oprasionalisasi Variabel Dalam Indikator Perilaku ... 54
Tabel 3.2 : Interval Kategorisasi Tanggapan Responden... 62
Tabel 4.3 : Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 75
Tabel 4.4 : Distribusi Responden Berdasarkan Umur ... 76
Tabel 4.5 : Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 76
Tabel 4.6 : Distribusi Responden Berdasarkan Pangkat / Golongan ... 77
Tabel 4.7 : Distribusi Responden Berdasarkan Masa Kerja ... 77
Tabel 4.8 : Tanggapan Responden Terhadap Indikator Afektif ... 78
Tabel 4.9 : Tanggapan Responden Terhadap Indikator Normatif ... 79
Tabel 4.10: Tanggapan Responden Terhadap Indikator Kontinuen ... 81
Tabel 4.11: Hasil Rekap Tanggapan Responden Terhadap Komitmen ... 82
Tabel 4.12: Tanggapan Responden Terhadap Indikator Distributif ... 84
Tabel 4.13: Tanggapan Responden Terhadap Indikator Prosedural ... 85
Tabel 4.14: Tanggapan Responden Terhadap Indikator Interaksional ... 87
Tabel 4.15: Hasil Rekap Tanggapan Responden Terhadap Keadilan Organisasi .... 88
Tabel 4.16: Tanggapan Responden Terhadap Indikator Tangible ... 89
Tabel 4.17: Tanggapan Responden Terhadap Indikator Reliability ... 90
Tabel 4.18: Tanggapan Responden Terhadap Indikator Responsiveness ... 91
Tabel 4.19: Tanggapan Responden Terhadap Indikator Assurance ... 93
Tabel 4.20: Tanggapan Responden Terhadap Indikator Empaty ... 94
Tabel 4.21: Hasil Rekap Tanggapan Responden Terhadap Kualitas Pelayanan ... 95
Tabel 4.22: Hasil Uji Validitas Item Komitmen Organisasi (X
1)... 97
Tabel 4.23: Hasil Uji Validitas Item Keadilan Organisasi (X
2) ... 98
Tabel 4.24: Hasil Uji Validitas Item Kualitas Pelayanan (Y) ... 99
Tabel 4.25: Hasil Uji Reliabilitas ... 100
Tabel 4.26: Hasil Uji Normalitas Sebaran Data ... 102
Tabel 4.27: Hasil Uji Asumsi Linieritas X
1... 102
Tabel 4.29: Hasil Uji Asumsi Heteroskedastisitas ... 104
Tabel 4.30: Hasil Uji Asumi Multikolinieritas ... 105
Tabel 4.31: Hasil Analisis Regresi Linier Sederhana X
1-Y ... 105
Tabel 4.31: Hasil Analisis Regresi Linier Sederhana X
2-Y ... 108
Tabel 4.31: Hasil Analisis Regresi Linier Berganda... 110
Tabel 4.32: Hasil Analisis Uji F (f test) ... 112
Tabel 4.33: Hasil Analisis Determinasi X
1-Y ... 113
Tabel 4.34: Hasil Analisis Determinasi X
2-Y ... 113
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 : Tren kematian bayi dan balita beberapa Negara Asean
... 8
Gambar 1.2 : Indeks rata-rata penurunan indikator kesehatan seluruh provinsi
indonesia ... 9
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
LAMPIRAN A : Kuisioner
... 124
LAMPIRAN B : Analisis Butir
... 130
1.
Hasil Uji Reabilitas Skala Komitmen ... 130
2.
Hasil Uji Realibilitas Skala Keadilan Organisasi ... 131
3.
Hasil Uji Reabilitas Skala Kualitas Pelayanan ... 132
LAMPIRAN C : Hasil uji Asumsi... 134
1. Uji Lineeritas Hubungan Variabel ... 134
2. Uji Normalitas Sebaran Data ... 135
3. Uji Heterokedasitas ... 137
4. Uji Multikolonieritas ... 138
5. Uji Hipotesis Penelitian ... 139
6. Koefisien Determinasi ... 141
LAMIRAN D
: Sarana Fisik dan SDM RSUD Arifin Achmad Pekanbaru ... 142
1. Sarana Fisik ... 142
2. Jumlah Tempat Tidur Tiap Ruangan Yang Tersedia ... 143
3. Sarana Transportasi dan Alat Komunikasi... 143
4. Fasilitas Penyediaan Tenaga Listrik ... 144
5. Fasilitas Penyediaan Air Bersih ... 144
6. Fasilitas Penyediaan Gas Medis ... 144
7. Fasilitas Penyediaan Instalasi Pengolahan Limbah ... 144
8. Fasilitas Umum ... 145
9. Data Pegawai Medis ... 145
10. Data Pegawai Keperawatan dan Paramedis Non Keperawata .. 146
11. Data Pegawai Non Medis ... 147
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan dan kesehatan adalah dua isu yang akhir-akhir ini mendapat sorotan masyarakat luas, terutama karena besarnya biaya yang harus ditanggung oleh para pengguna jasanya. Mereka tidak dapat menawar dan kalau sudah memilih tidak dapat membatalkan begitu saja bila tidak suka. Baik masalah pendidikan maupun kesehatan merupakan masalah mayarakat yang menurut banyak pihak seharusnya ditanggung oleh pemerintah. Bahkan dalam Undang-undang No. 23 tahun 1992, tentang Kesehatan, disebutkan bahwa kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.
Rumah Sakit sebagai salah satu sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan sendiri adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat (Aditama, 2003). Rumah Sakit sebagai sebuah organisasi pelayanan jasa, yaitu jasa pelayanan kesehatan, pelanggan utamanya adalah pasien, yaitu orang sakit yang berobat karena ingin sembuh.
hal gaji para pegawai, sarana, prasarana, termasuk alat-alat medik berteknologi tinggi, obat-obatan serta alat-alat kesehatan habis pakai.
Berbeda dengan rumah sakit milik pemerintah, rumah sakit swasta memenuhi sendiri biaya operasionalnya dengan uang hasil melayani para pasien, sehingga agar segala kebutuhannya terpenuhi – atau dengan kata lain “dapat menghidupi diri mereka sendiri” - mereka selalu mengupayakan berbagai strategi bisnis untuk meningkatkan cakupan / jumlah pasiennya. Mereka senantiasa berjuang agar layanannya laku dan banyak konsumen yang menggunakan jasa pelayanan yang ditawarkan.
Beberapa cara yang dilakukan untuk menarik konsumen antara lain: terus meningkatkan mutu layanan, membina hubungan baik dengan pelanggan dan melakukan efisiensi serta promosi. Di sisi lain, rumah sakit pemerintah karena semua kebutuhannya dipenuhi, maka kurang memikirkan hal-hal rumah sakit tersebut. Semua yang dilakukan hanya berorientasi pada pembelanjaan anggaran yang diberikan, tanpa memikirkan kualitas layanan, sehingga tidak mengherankan bila masyarakat yang mampu secara finasial cenderung memilih rumah sakit swasta dibanding rumah sakit negeri ketika membutuhkan layanan kesehatan.
Kenyataan ini sesuai dengan data yang berhasil dihimpun peneliti terkait masih rendahnya kualitas pelayanan yang di Rumah Sakit milik pemerintah, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad Pekanbaru misalnya, beberapa keluhan masyarakat yang berhasil diliput media menunjukkan indikasi kualitas pelayanan yang masih belum sesuai harapan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad Pekanbaru.
Terkait program Jamkesda dan Jamkesmas yang dicanangkan pemerintah bagi masyarakat miskin juga belum dapat sepenuhnya dilaksanakan oleh pihak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad Pekanbaru, selaku rumah sakit yang menerima rujukan untuk pasien jamkesda dan jamkesmas dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten/Kota.
“Selama ini sejumlah pasien yang datang berobat ke Rumah Sakit Umum darah (RSUD) Arifin Achmad Pekanbaru sering tidak tertampung karena banyaknya pasien yang datang berobat dan ditambah masih minimnya peralatan yang dimiliki. Hal ini tidak seimbang dengan jumlah orang yang datang berobat setiap harinya, hal ini juga karena Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad satu-satunya rumah sakit yang menampung pasien Jamkesda dan Jamkesmas rujukan dari Rumah Sakit Umum Darah Kabupaten/Kota di Riau” (TribunPekanbaru.com, Edisi Selasa 19 Maret 2013)
Selanjutnya, Koran Tribun Pekanbaru online juga melaporkan tentang penelantaran oleh pihak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad Pekanbaru yang mengakibatkan seorang pasien meninggal dunia di ruang Instalasi Gawat Darurat.
“Pasien bernama Ganda Simanjuntak, bocah malang yang berusia 2,5 tahun
penderita Leukimia akut akhirnya menghembuskan napas terakhirnya di ruang rawat inap Merak RSUD Arifin Achmad Pekanbaru setelah enam jam ditelantarkan di ruang Instalasi Gawat Darurat” (TribunPekanbaru.com, Edisi Selasa 19 Maret 2013)
Keluhan masyarakat yang berhasil di ekspos media ini merupakan gambaran umum evaluasi masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit, khususnya Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad Pekanbaru. Dengan tujuan melakukan klarifikasi temuan data pra-riset penulis melakukan wawancara dengan masyarakat pengguna layanan atau minimal punya pengalaman terhadap pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad Pekanbaru. Hasil wawancara dengan seorang pasien rawat jalan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad Pekanbaru menunjukkan relevansi dengan data yang di ekspos media,
“Menurut saya kemungkinan karena beberapa perubahan kebijakan pasca otonomi
daerah memaksa pengelola RSUD Arifin Achmad membuktikan RSUD bisa mandiri
perubahan ini mengabaikan banyak hal, ya salah satunya kualitas pelayanan
itu…yang diutamakan bagaimana meningkatkan profit….sah-sah aja sich…cuma kan
ini gak bisa diabaikan bahwa ada misi kemanusiaan di jasa pelayanan medis seperti
ini….” (Wawancara.AM.7Juli2013)
Penegasan tentang misi sebuah lembaga penyedia jasa layanan kesehatan seperti rumah sakit juga menjadi inti keberadaan sebuah rumah sakit, utamanya rumah sakit miliki pemerintah.
“Terkadang ironis memang, pemerintah yang membuat program yang bertujuan
membantu kesulitan masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan tapi justru di
rumah sakit pemerintah masyarakat di persulit. Kan ada tu program Jampersal atau
apa satu lagi itu….yang saya pernah dengar bagi masyarakat yang kurang mampu
yang mau melahirkan trus butuh operasi bisa katanya gratis dengan modal surat
rujukan dari Bidan Bersalin trus KTP…nyatanya orang-orang begini biasanya kurang
diperhatikan, prioritas tetap orang-orang berduit…” (Wawancara. JP.08Juli2013)
Sebagai upaya membuat keseimbangan data, penulis juga melakukan klarifikasi data dengan melakukan wawancara pra penelitian dengan pegawai Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Pekanbaru bagian Humas. Ditegaskan dengan sangat hati-hati bahwa pihak rumah sakit mengakui masih banyak kendala yang dihadapi rumah sakit Umum Daerah Arifin Achmad Pekanbaru dalam memaksimalkan pelayanan ; masalah sarana seperti daya tampung yang tidak memadai mengingat peningkatan kebutuhan layanan kesehatan yang terus meningkat setiap tahun,
kebutuhan terhadap sumber daya manusianya yang juga terus meningkat, peralatan
medis. Ini kan rumah sakit milik pemerintah jadi segala sesuatunya tidak bisa
diputuskan sendiri oleh internal manajemen rumah sakit, ada otoritas diluar
manajemen yang membuat pertimbangan dan keputusan dalam skalabilitas yang lebih
luas menyangkut fungsi pemerintahan daerah menyangkut fungsi tanggungjawabnya
terhadap masyarakat (Wawancara. Rs.29Oktober2013)
Jadi pemberitaan miring dan keluhan masyarakat saya rasa masih dalam batas
kewajaran jika melihat kebutuhan layanan itu dalam kacamata mereka yang
ekspektasinya lebih baik mengingat milik pemerintah…dan maaf untuk
membahasanya…saya tidak berhak memberikan wacana. Apapun itu tetap jadi
masukan bagi rumah sakit untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
bagi masyarakat secara luas (Wawancara. Rs.29Oktober2013)
Adanya Reformasi di Indonesia telah memberikan dampak yang luas dalam hal kebebasan, keterbukaan, dan keterlibatan masyarakat untuk ikut menentukan kebijakan publik. Dengan adanya Undang-undang nomor 22 tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah, telah mengubah pola pemerintahan yang sentralistik, menjadi desentralistik, yaitu adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam hal pelayanan kesehatan, pemerintah telah mengalihkan kewenangan pengelolaan Rumah Sakit kepada daerah.
Mulai tahun 2000, Kantor Wilayah Departemen Kesehatan yang berada di tiap Provinsi dan Kantor Departemen Kesehatan yang berada di tiap Daerah Tingkat II dihapus, diganti dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota. Dinas Kesehatan berada dibawah Gubernur atau Bupati / Walikota, dan mempunyai kewenangan dalam pengelolaan rumah sakit daerah di wilayahnya. hal ini menjadi masalah bagi rumah sakit milik pemerintah pusat yang ada di daerah, karena biaya operasional rumah sakit tidak sedikit, tidak semua biaya bisa ditanggung oleh pemerintah daerah. Dalam rangka penerapan otonomi inilah maka subsidi pemerintah pada rumah sakit makin lama makin berkurang, dan rumah sakit diharapkan makin dapat menghidupi dirinya sendiri dengan penghasilan yang didapatnya dari pelayanan kepada pasien. Rumah sakit dituntut untuk dapat mandiri dan memiliki otonomi dalam pengelolaan keuangannya.
rumah sakit dipenuhi oleh pemerintah. Bila berubah menjadi BLU, maka orientasi harus berubah pula menjadi ‘sosial ekonomi’. Kecuali tetap harus melayani pasien miskin, rumah sakit juga harus lebih efisien dan mampu bersaing dengan swasta agar dapat bertahan dan berkembang.
Seluruh komponen rumah sakit harus mau bekerja keras untuk dapat menjalankan rumah sakit, membiayai sendiri seluruh kebutuhan operasional rumah sakit. Ini berarti bahwa rumah sakit harus meningkatkan efisiensi di segala bidang, baik dalam pelayanan, pengelolaan keuangan, maupun pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM). Mental pegawai yang kurang efisien, etos kerja dan komitmen rendah serta hanya berorientasi pada anggaran, harus berubah menjadi bekerja lebih efisien, berkomitmen tinggi, serta berorientasi pada kualitas pelayanan, dengan demikian akan dapat dicapai kinerja yang optimal yang pada akhirnya akan memuaskan pelanggan.
Pelanggan yang puas akan menjadi pelanggan loyal, yang dampaknya pada peningkatan cakupan rumah sakit, berarti penghasilan pun meningkat, sehingga kesejahteraan karyawanpun akan meningkat pula. Sudah lama disadari bahwa tugas utama suatu organisasi adalah melayani dan memuaskan pelanggannya. Dengan diberlakukannya Undang-undang No.8 Tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen, memberikan peluang dan tantangan bagi pelaku bisnis untuk melakukan perubahan sesuai dengan tuntutan masyarakat pengguna produk atau jasa yang dihasilkan.
Pelayanan yang diberikan harus mengarah pada pelayanan prima dengan memberikan pelayanan yang berorientasi pada kualitas pelayanan dengan memberikan pelayanan sesuai standar, atau bahkan jika mungkin melebihi standar yang sudah ditentukan. Dilain sisi UU ini juga merupakan ancaman yang serius bila pelayanan yang diberikan tidak berubah dan hanya melakukan pelayanan sekedarnya saja (Subanegara, 2003).
sosial tradisonal. Meskipun Indonesia sejak tahun 1990 telah melakukan upaya yang jauh lebih baik dalam menurunkan angka kematian bayi dan balita, akan tetapi dalam beberapa tahun terakhir penurunan angka kematian bayi baru lahit tampaknya terhenti, jika tren ini berlanjut kemungkinan Indonesia tidak dapat mencapai target penurunan angka kematian anak pada tahun 2015.
Gambar. 1.1
Di Indonesia telah dicanangkan tanggal 4 September sebagai Hari Pelanggan Nasional yang didasari keyakinan bahwa kita memerlukan revolusi tentang kualitas pelayanan. Gagasan ini disokong oleh kementerian BUMN yang menyatakan bahwa pelanggan merupakan alasan keberadaan suatu perusahaan, sementara pelanggan loyal pada kualitas dan bukan pada perusahaan. Dalam hal Rumah Sakit, pelanggan eksternal yang paling penting tentunya adalah pasien, dan karena itu, segala upaya perlu dilakukan untuk membuat pasien terlayani dengan puas.
Gambar. 1.2
Globalisasi juga sudah menyentuh Rumah Sakit. Perkembangan teknologi yang sangat cepat telah menyebabkan arus informasi dengan cepat diterima dan membuat orang dengan cepat mengetahui perkembangan yang terjadi di luar negeri. Dalam hal pelayanan kesehatan, diberitakan bahwa pemerintah Singapura berusaha menekan biaya perawatan rumah sakit agar dapat menarik pasien Indonesia berobat ke Singapura. Hal serupa juga dilakukan oleh Rumah Sakit besar di Thailand yang berusaha menarik pasien dari Negara-negara Asia Tenggara dengan Pelayanan Prima dan biaya lebih murah. Ini merupakan ancaman bagi rumah sakit di Indonesia, karena pasien-pasien yang tidak puas dengan layanan rumah sakit di Indonesia akan lebih memilih berobat di luar negeri, apalagi jika biaya yang harus dikeluarkan tidak jauh berbeda, namun layanannya sangat memuaskan (Tjong, 2004).
Menghadapi kenyataan-kenyataan yang terjadi di seputar pelayanan kesehatan di Indonesia, maka sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa paradigma lama tentang pelayanan Rumah Sakit yang tidak tepat harus segera dirubah dengan paradigma baru seiring dengan perkembangan zaman. Cara pandang lama yang tidak tepat itu adalah : 1) produk dipisahkan dari servis 2) satu ukuran dipakai untuk semua 3) data base pelanggan tak ada gunanya 4) menomor duakan kualitas demi biaya 5) menempatkan konsumen pada posisi lemah (Tjong, 2004).
Sejalan dengan pandangan ini (Mulyadi, 1998) mengemukakan bahwa dengan adanya pergeseran teknologi ke “smart technology”- yaitu yang menjadikan computer sebagai teknologi intinya – telah memicu perubahan pesat di lingkungan bisnis yang dihadapi oleh manajemen. Perubahan lingkungan bisnis ini menuntut pergeseran paradigma yang digunakan oleh manajemen didalam menjalankan organisasi untuk memasuki lingkungan rumah sakit tersebut.
Pergeseran paradigma manajemen yang sejalan dengan lingkungan global mengakibatkan perubahan besar prinsip-prinsip manajemen lama yang selama ini digunakan untuk menjalankan organisasi. Manajemen baru yang digunakan sangat berbeda dengan prinsip lama. Paradigma baru yang disarankan adalah paradigma Pelayanan Prima (Service Excellent). Pelayanan prima adalah pelayanan yang bermutu sesuai standar, etis dan memuaskan pelanggan.
Layanan Prima merupakan perbuatan atau tindakan yang memberikan kepada pelanggan apa (yang lebih daripada) yang mereka harapkan pada saat mereka membutuhkan dengan cara yang mereka inginkan (Tjong, 2004). Dengan paradigma baru terumah sakit tersebut berarti seluruh pegawai rumah sakit harus bekerja keras untuk dapat memberikan pelayanan kepada pelanggannya agar tercipta pelanggan yang loyal, sehingga akan kembali membeli produk-produk yang ditawarkan rumah sakit, atau bahkan menyampaikan kepuasannya kepada orang lain yang dampaknya pelanggan rumah sakit bertambah.
Menurut Subanegara, dalam artikelnya pada Jurnal Manajemen & Administrasi
Rumah Sakit, vol 4, no1, 2003, yang berjudul “Hospital Building Strategy dalam Service
Excellent”, konsumen rumah sakit saat ini dan masa mendatang dapat dikategorikan
menjadi tiga, yaitu :
2) Angkuh atau tinggi hati, yaitu kelompok konsumen yang dalam mengambil keputusan mengutamakan kualitas dan pelayanan seperti hotel berbintang. Bisa disebut sebagai segmen pasar menengah keatas.
3) Pandai, yaitu kelompok konsumen yang dalam mengambil keputusan mengutamakan nilai tanpa peduli pada biaya. Nilainya paling tinggi dan biasanya konsumen ini sangat sensitif terhadap apapun yang ia lihat dan rasakan. Konsumen ini sangat ingin dimanjakan bagai raja. Bisa disebut sebagai segmen pasar kelas atas.
Untuk menangkap segmen pasar terumah sakit tersebut, masing - masing membutuhkan strategi bisnis yang berbeda. Untuk memenuhi kepuasan segmen pasar menengah ke bawah dibutuhkan strategi bisnis fungsi, dimana seluruh pelayanan sesuai standar minimal, bangunan dan peralatan standar yang lebih ekonomis, baik dari sisi pemeliharaan maupun pengadaannya. Untuk menangkap pasar kelas menengah diperlukan strategi bisnis servis berupa pelayanan sesuai standar, namun gedung, peralatan atau akomodasi seperti hotel berbintang.
Konsumen kelas menengah ini masih mempertimbangkan biaya yang murah namun mampu membeli servis dan kenyamanan pada saat dilayanai, oleh karena itu sah saja bila rumah sakit memungut biaya servis yang memadai. Pasar kelas atas dilayani dengan strategi bisnis pengalaman. Pelayanan pada konsumen kelas atas yang menginginkan pelayanan yang berbeda, tidak biasa saja, dengan tidak mempertimbangkan biaya yang akan dikeluarkannya ini harus bermutu tinggi, fasilitas sangat memadai, dan unit yang mampu memberikan kebanggaan dan kenyamanan yang berbeda juga memberikan pelayanan yang mampu memberikan kesan mendalam pada pasien yang dilayani.
Dalam praktek penjualan, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana konsumen bisa mendapatkan informasi tentang produk rumah sakit tersebut, bagaimana kepercayaan dibentuk, dan kriteria apa yang ditentukan oleh konsumen sebagai produk atau layanan pilihan. Dalam membeli suatu produk atau layanan, konsumen terlibat dalam pengambilan keputusan, namun ketika seleksi dilakukan tidak dapat dijelaskan seluruhnya secara rasional karena faktor-faktor afektif harus juga dipertimbangkan, termasuk reaksi-reaksi subyektif dari konsumen terhadap produk atau layanan rumah sakit tersebut (Solomon, 2003).
Karakteristik yang diinginkan konsumen adalah produk terbaik yang paling sesuai. Konsumen akan memilih produk atau layanan yang memberikan nilai tertinggi bagi mereka (Kottler dalam Simamora, 2003). Pengalaman membeli yang memuaskan, menjadi salah satu alasan seseorang untuk tetap tertarik pada produk atau layanan rumah sakit tersebut, dan ingin mengulang membeli produk yang sama. Menurut American Medical Association bisnis Rumah Sakit dapat bertahan karena loyalitas pelanggan yang kembali untuk membeli dan membeli lagi dikarenakan mereka puas terhadap pelayanan yang diberikan.
Menurut Woodside dan Babaskus dalam Hizrani et al (2003) pengalaman sangat mempengaruhi minat dan perilaku mereka selanjutnya terhadap jasa pelayanan yang telah diberikan oleh petugas rumah sakit. Kalau mereka puas, mereka akan kembali, dan sebaliknya bila mereka tidak puas, tidak akan datang lagi dan justru akan memberitahukan kepada orang lain tentang pengalamannya yang tidak memuaskan rumah sakit tersebut.
Studi yang dilakukan oleh Rockefeller Foundation dan The Technical Assistance
Research Program (TARP) menemukan bahwa 65% pelanggan akan berhenti membeli jasa
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Hizrani et al, (2003), di sebuah rumah sakit di Jakarta, didapatkan hasil yang signifikan pada hubungan antara kepuasan konsumen terhadap layanan rumah sakit dengan minat beli ulang, dan faktor dokter merupakan faktor yang sangat dominan, disamping perawat, petugas gizi dan petugas lain.
Pelayanan prima identik dengan pelayanan yang berorientasi pada pelanggan. Pelayanan yang berorientasi pada pelanggan yang dilakukan oleh pegawai suatu organisasi merupakan suatu perilaku yang tidak terjadi dengan sendirinya. Beberapa penelitian dan pendapat menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan pada pelanggan, antara lain adalah :
1) Komitmen, menurut penelitian, pegawai yang berkomitmen cenderung memiliki usaha yang lebih tinggi untuk menolong pelanggan dan membuat para pelanggan senang lebih sering dari pada yang tidak. Sedangkan komitmen akan berkembang bila pegawai dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, ada pendelegasian dan diikutkan training atau pelatihan, serta adanya komunikasi yang baik tentang tujuan organisasi (Herscovitch & Meyer, 2002).
2) Kesejahteraan karyawan, yaitu terpenuhinya hak dan kewajiban pegawai secara seimbang akan membuat pegawai mampu melayani pelanggan dengan sikap dan perilaku yang menghargai perasaan dan martabatnya (Dewi, 2004).
3) Sikap pemimpin , yaitu selalu menjaga suasana kerja yang kondusif, selalu melakukan pembinaan dan pengembangan SDM, serta melibatkannya dalam proses pengambilan keputusan (Widayat, 2002) Terpenuhinya hak dan kewajiban pegawai dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan merupakan kriteria dari keadilan organisasi.
Keadilan juga dikenal dalam Good Governance atau Good Corporate Governance yang mulai diterapkan dalam institusi pemerintah dalam era modernisasi dan demokratisasi ini. Yang dimaksud adalah prinsip korporasi yang sehat yang perlu diterapkan dalam pengelolaan perusahaan, yang dilaksanakan semata-mata demi menjaga kepentingan perusahaan dalam rangka mencapai tujuannya.
Good Corporate Governance pada dasarnya mengharapkan adanya komitmen,
aturan main, serta praktek penyelenggaraan pemerintahan atau bisnis yang sehat dan beretika; prinsip-prinsipnya adalah: 1) Akuntabilitas, 2) Transparansi, 3) Keterbukaan, 4) Berdasarkan Hukum, 5) Keadilan, serta 6) Partisipasi (Astuti & Monzona, 2004).
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa ada pengaruh positif antara komitmen dan keadilan organisasi dengan kualitas pelayanan pegawai. Pegawai yang diperlakukan secara adil akan mempunyai komitmen yang tinggi, selanjutnya, pegawai dengan komitmen tinggi akan bertingkah laku sesuai dengan tujuan organisasi. Tujuan organisasi yang utama adalah memuaskan pelanggan.
Beberapa penelitian yang berhasil dikumpulkan yang mendukung pernyataan ini antara lain : Penelitian yang dilakukan oleh Susskind, Kacmar dan Borchgrevink (2003) menemukan bahwa kualitas pelayanan berhubungan sangat signifikan dengan perilaku yang berorientasi pelanggan, dan berhubungan secara signifikan dengan pemberian pelayanan standard, dukungan pegawai dan pengawas.
Dalam penelitian rumah sakit tersebut dijelaskan kualitas pelayanan terhadap pelayanan berhubungan dengan tingkat orientasi pelanggan dari para pegawai. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberi pelayanan yang berkomitmen terhadap pelanggan cenderung membuat para pelanggannya senang lebih sering dibandingkan dengan yang tidak berkomitmen pada pelanggan (Cohen, 1991)
Snape & Redman (2003) meneliti komitmen dihubungkan dengan lama kerja dan
outcome organisasi (yaitu: absensi, turnover, kinerja) serta intensi untuk tetap atau
dengan keadilan organisasi dan perilaku prososial, penelitian ini menggunakan sampel para mahasiswa dan dosen di beberapa perguruan tinggi.
Sementara Herscovitch dan Meyer (2002) meneliti tentang tiga model komponen komitmen, yang dilakukan pada para perawat rumah sakit. Meskipun sudah ada beberapa yang meneliti hubungan antara komitmen dengan keadilan organisasi, namun belum ada yang secara spesifik menghubungkan dengan kualitas pelayanan, terutama pada pelanggan Rumah Sakit. Untuk itulah penulis tertarik untuk mengadakan penelitian ini, dengan judul:
Pengaruh Komitmen dan Keadilan Organisasi Terhadap Kualitas Pelayanan Pegawai
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad Badan Layanan Umum Pekanbaru.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad Pekanbaru, yaitu :
1. Bagaimana pengaruh komitmen terhadap kualitas pelayanan pegawai Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad badan layanan umum Pekanbaru.
2. Bagaimana pengaruh keadilan organisasi terhadap kualitas pelayanan pegawai Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad badan layanan umum Pekanbaru.
3. Bagaimana pengaruh komitmen dan keadilan organisasi terhadap kualitas pelayanan pegawai Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad badan layanan umum Pekanbaru.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tiga tujuan, yaitu :
1) Untuk mengetahui pengaruh komitmen terhadap kualitas pelayanan pegawai Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad badan layanan umum Pekanbaru.
3) Untuk mengetahui pengaruh komitmen dan keadilan organisasi terhadap kualitas pelayanan pegawai Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad badan layanan umum Pekanbaru.
C. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan
sumbangan terhadap pengembangan teori pengembangan sumber daya manusia. Setidaknya sumbangan berupa data empirik tentang rumah sakit persepsi keadilan organisasi dan komitmen dalam pengaruhnya dengan kualitas pelayanan pegawai. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi peneliti lain untuk mengembangkan masalah rumah sakit tersebut secara lebih mendalam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kualitas Pelayanan
1. Definisi Pelayanan
Pelayanan adalah usaha yang dilakukan oleh seseorang atau suatu pihak untuk kepentingan orang atau pihak lain. Usaha ini dapat berwujud penyediaan barang atau jasa (Dewi, 2004). Dalam pengertian tersebut terkandung suatu kondisi dari pihak yang melayani yaitu keterampilan dan keahlian dibidang tertentu. Berdasarkan keahlian dan keterampilan tersebut pihak yang melayani memiliki posisi atau nilai tertentu sehingga mampu memberikan bantuan dalam menyelesaikan suatu keperluan dari pihak yang dilayani.
Pelayanan dalam arti luas adalah setiap usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kepuasan pelanggan. Memberikan pelayanan kepada pelanggan sangat penting sehingga ada ungkapan yang menyatakan bahwa pelanggan adalah raja, dan kepuasan pelanggan adalah nomor satu. Menurut Astuti & Monzana (2004) pelayanan merupakan suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan.
Pelayanan publik yang profesional artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan dengan ciri sebagai berikut: 1. Efektif, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran. 2. Sederhana, mengandung arti prosedur atau tatacara pelayanan diselenggarakan secara
mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.
3. Kejelasan, dan kepastian atau transparan, mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai:
a. Prosedur atau tata cara pelayanan
b. Persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif, c. Unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan
pelayanan,
d. Rincian biaya atau tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya, e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
4. Keterbukaan, mengandung arti prosedur atau tatacara persyaratan, satuan kerja atau pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu atau tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan, wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.
5. Efisiensi, mengandung arti:
a. Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan,
b. Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja atau instansi pemerintah lain yang terkait.
7. Responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menaggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayani.
8. Adaptif, cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang.
2. Kualitas Pelayanan
Dengan memperhatikan pentingnya pelayanan kepada para pelanggan sebagai salah satu pencapaian tujuan organisasi maka perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari kualitas pelayanan. Secara etimologi tidak mudah mendefinisikan atau memberikan pengertian mengenai kualitas. Namun demikian ada beberapa definisi umum yang diberikan oleh beberapa pakar kualitas. Dikemukakan oleh Mjuran dalam Supriyantoro (2003) bahwa kualitas adalah kecocokan untuk pemakaian. Definisi ini menekankan orientasi pada pemenuhan harapan pelanggan.
Berkualitas mempunyai makna memuaskan kepada yang dilayani baik secara internal maupun secara eksternal dalam arti optimal terhadap pemenuhan atas tuntutan atau persyaratan pelanggan atau masyarakat (Supriyantoro, 2003). Kata kualitas memiliki banyak definisi yang berbeda-beda dan bervariasi. Dari konvensional sampai yang strategik. Definisi kualitas secara konvensional biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk seperti kinerja (performance), keandalan (reliability), mudah dalam penggunaan (easy to use), estetika (asthetics), dan sebagainya. Sedangkan definisi secara strategik yaitu segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the
needs of customer).
tergantung pada kemampuan pemberi jasa pelayanan dalam memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten.
Berdasarkan pendapat beberapa pakar tersebut, peneliti menarik kesimpulan bahwa kualitas pelanggan dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan sehingga pelanggan merasa terpuaskan keinginan atau persepsi terhadap apa yang dirasakan oleh pelanggan atas apa yang telah diberikan oleh pemberi jasa.
Menurut Brata dalam Hizrani, et al (2003) terdapat tiga konsep yang harus dijalankan oleh pihak yang melayani dalam pemberian jasa layanan yang prima, yaitu:
1. Pelayanan prima berdasarkan konsep sikap (attitude) yaitu suatu layanan kepada pelanggan dengan menonjolkan sikap yang baik dan menarik.
2. Pelayanan prima berdasarkan konsep perhatian (attention) yaitu suatu layanan kepada pelanggan.
3. Pelayanan prima berdasarkan konsep tindakan (action) yaitu serangkaian perbuatan nyata yang dilakukan untuk mewujudkan pemberian layanan yang terbaik bagi pelanggan.
Dari ketiga konsep pelayanan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap (attitude) dan perhatian (attention) dalam melakukan pelayanan yang baik adalah dasar bagi pemberi layanan yang memberikan pelayanan secara nyata akan dapat terwujud menjadi suatu kesatuan bentuk pelayanan yang baik ketika kita mampu melakukan berbagai tindakan (action) terbaik untuk melayani pelanggan.
3. Dimensi Kualitas Pelayanan
Ada beberapa dimensi dan ukuran untuk membangun pelayanan yang berkualitas dikemukakan oleh (Tjiptono, 1997) dalam bukunya “Prinsip-prinsip Total Quality
Service”, antara lain:
2. Daya tanggap (Responsiveness), adalah respon atau kesediaan pegawai dalam membantu pelanggan atau memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap, yang meliputi kesigapan pelanggan, kecepatan pegawai menangani transaksi dan penanganan keluhan pelanggan.
3. Empaty, adalah perhatian secara individual yang diberikan perusahaan kepada pelanggan seperti kemudahan untuk menghubungi perusahaan, kemampuan pegawai untuk berkomunikasi dengan pelanggan dan usaha perusahaan untuk memahami keinginan dan kebutuhan pelanggan.
4. Jaminan (Assurance), yaitu meliputi kemampuan pegawai atas pengetahuan terhadap produk secara tepat, kualitas keramahtamahan, perhatian dan kesopanan dalam memberikan keamanan dalam memanfaatkan jasa yang ditawarkan dan kemampuan dalam menanamkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan.
5. Bukti langsung (Tangible), yaitu penampilan fisik seperti gedung dan ruangan
front office, tersedianya tempat parkir, kebersihan, kerapian dan kenyamanan
ruangan, kelengkapan alat komunikasi dan penampilan karyawan.
Dalam waktu lain, Zeithaml et. al dalam Herdiyansyah (2011) telah berhasil mengidentifikasikan sepuluh dimensi kualitas pelayanan, yaitu:
1. Realibility, mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependability). Misalnya menyampaikan jadwalnya sesuai dengan jadwal yang disepakatinya.
2. Responsiveness, yaitu kemauan dan kesiapan para pegawai untuk memberikan jasa yang dibutuhkan pelanggan.
4. Access, yaitu meliputi kemudahan untuk dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti lokasi, fasilitas jasa yang mudah dijangkau, waktu menunggu yang tidak terlalu lama, saluran komunikasi mudah untuk dihubungi.
5. Courtesy, yaitu meliputi sikap yang sopan santun, resfect, perhatian, dan keramahan para contant personel (seperti resepsionis, operator telepon, dll). 6. Communication, artinya memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa
yang dapat dipahami, serta selalu mendengarkan saran keluhan pelanggan. 7. Credibility, yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya, kredibilitas mencakup nama
perusahaan, reputasi perusahaanm karakteristik contact personal dan interaksi dengan pelanggan.
8. Security, yaitu aman dari bahaya, resiko, keragu-raguan, aspek ini meliputi keamanan secara fisik, keamanan secara finansial serta kerahasiaan.
9. Understanding knowing the costumer, yaitu usaha untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
10. Tangible, yaitu bukti fisik dari jasa yang bisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang digunakan, dan respresentasi fisik dari jasa.
Dari sepuluh dimensi kualitas pelayanan tersebut, kemudian Zeithaml et. al dalam Herdiyansyah (2011) menyederhanakan menjadi lima dimensi yaitu dimensi SERVQUAL (kualitas pelayanan) meliputi, realibility, responsiveness, empaty,
assurance, dan tangible.
4. Aspek-aspek Kualitas Pelayanan
Menurut Lupyardi dan Hamdani dalam Suryawati (2002) menguraikan aspek-aspek kualitas pelayanan sebagai berikut:
1. Kinerja (performance).
Kinerja disini termasuk pada karakteristik produksi inti yang meliputi merek, atribut yang dapat diukur, dan aspek-aspek kinerja individu.
Dapat berbentuk produk tambahan dari suatu produk dan yang dapat menambah nilai suatu produk.
3. Keandalan (reliability).
Keandalan suatu produk yang menandakan tingkat kualitas sangat berarti bagi konsumen dalam memilih produk.
4. Kesesuaian (comformance).
Kesesuaian produk dengan standar dalam industrinya, kesesuaian produk dalam industri jasa diukur dari tingkat akurasi dan waktu penyelesaian termasuk juga perhitungan kesalahan yang terjadi, keterlambatan yang tidak dapat diantisipasi dan beberapa kesalahan lain.
5. Ketahanan atau daya tahan (durability).
Ukuran ketahanan suatu produk melipiti segi ekonomis maupun teknis, secara teknis ketahanan suatu produk didefinisikan sebagai sejumlah kegunaan yang diperoleh seseorang sebelum mengalani penurunan kualitas, secara ekonomis, ketahanan diartikan sebagai usia ekonomis suatu produk dilihat dari jumlah kegunaan yang diperoleh sebelum terjadi kerusakan dan keputusan untuk mengganti produk.
6. Kemampuan pelayanan (serviceability).
Kemampuan pelayanan bisa juga disebut dengan kecepatan, kompetensi, kegunaan, dan kemudahan produk untuk diperbaiki.
7. Estetika (aesthetics).
Estetika suatu produk dilihat dari bagaimana suatu produk terdengar oleh konsumen, bagaimana penampilan luas suatu produk, rasa maupun bau.
8. Kualitas yang dipersepsikan (perceived quality). Konsumen tidak selalu memiliki informasi yang lengkap mengenai atribut-atribut jasa, secara tidak langsung. Misalnya melalui merk, nama dan Negara produsen.
yaitu: kinerja (performance), keragaman produk (features), keandalan (reliability), kesesuaian (comformance), ketahanan atau daya tahan (durability), kemampuan pelayanan (serviceability), estetika (aesthetics) dan kualitas yang dipersepsikan (perceived quality).
B. Keadilan Organisasi
1. Defenisi Keadilan Organisasi
Perhatian terhadap keadilan telah meningkat secara nyata dalam dunia ilmu sosial pada tiga dekade terakhir ini (Colquitt, 2001). Studi tentang keadilan (“justice” atau “fairness”) sudah menjadi topik dalam dunia filsafat sejak jaman Plato dan Socrates (Elovainio, et al, 2001) khususnya bidang etika. Dalam pembicaraan sehari-hari istilah “keadilan” (“justice”) digunakan untuk konotasi “seharusnya” (“oughtness”) atau “kebenaran/keadilan” (“righteousness”).
Keadilan dikenal sangat penting bagi perasaan dan tindakan individu dalam interaksi sosial. Sebagai contoh, keadilan berhubungan dengan kepuasan pada penerimaan terhadap suatu keputusan, merasakan keabsahan penguasa, penampilan tugas, keanggotaan organisasi, kepuasan kerja, komitmen pada organisasi (Greenberg, 1996)
“Keadilan Organisasi” dalam berbagai penelitian diistilahkan sebagai suatu persepsi pegawai terhadap perlakuan organisasi dimana dia bekerja, dan akan mempengaruhi sikap dan perilakunya terhadap organisasi maupun pelanggan (Ambrose & Schminke, 2003). Keadilan organisasi adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menerangkan peran keadilan sebagai sesuatu yang secara langsung berhubungan dengan tempat kerja (Pillai, et al, 1999).
sosial. Suatu tindakan dianggap adil hanya bila kebanyakan individu merasakan hal itu berdasarkan penelitian empiris (Greenberg, 1996).
Dalam seting organisasi, keadilan dapat dijelaskan sebagai penekanan pada
antesenden dan konsekuensi dari dua tipe persepsi subyektif, yaitu : a). keadilan tentang
pembagian hasil atau alokasi b). keadilan tentang prosedur yang digunakan untuk menentukan pembagian hasil atau alokasi. Bentuk keadilan ini secara tipikal disebut sebagai keadilan distributif dan keadilan prosedural (Colquitt., Conlon., Porter & Yee Ng, 2001).
Penelitian baru-baru ini diarahkan perluasan maksud dari keadilan (Robbin, 2006) mengemukakan 3 model keadilan, yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional. Keadilan distributif adalah keadilan tentang hasil. Studi tentang keadilan distributif mula-mula hanya melihat hubungan antara penghasilan saja, seperti membandingkan antara penghasilan dirinya dengan penghasilan orang lain, dengan aspek-aspek penghasilan yang didapat seseorang, atau dengan penghasilan seseorang yang dianggap pantas menurut standar lain yang dipakai sebagai acuan.
Keadilan distributif berkembang bila ada konsistensi pada norma-norma dan keseimbangan pembagian hasil. Keadilan procedural berkembang melalui pengaruh selama proses pengambilan keputusan atau pengaruh diluar hasil (Masterson, 2001) atau dengan mengikuti kriteria proses yang adil, seperti : konsistensi, tidak memihak, ketelitian, keterwakilan, ketepatan, dan etika.
Keadilan prosedural mula-mula dipelajari dalam hubungannya dengan aspek-aspek prosedur, seperti ketepatan dan konsistensi penerapan prosedur (Simons & Roberson, 2003), atau penghargaan yang ditunjukkan pada individu sebagai subyek prosedur. Bila suatu prosedur dirasakan adil, individu akan bereaksi secara lebih positif terhadap penghasilan dari pada merasa tidak adil. Proses yang adil sangat penting sebab hal itu akan memuaskan orang untuk terlibat bahkan bila penghasilannya tidak memuaskan.
determinan kunci dari persepsi individu tentang keabsahan penguasa dan kemauannya untuk tunduk pada aturan dan keputusan kelompok (Simons & Roberson, 2003).
Keadilan Interaksional didefinisikan sebagai perlakuan interpersonal yang diterima berdasarkan prosedur yang berlaku (Masterson, 2001). Keadilan Interaksional berkembang bila pengambil keputusan memperlakukan orang-orang dengan menghargai, peka dan menerangkan keputusan-keputusan rasional sepenuhnya (Colquitt, 2001). Pegawai yang diperlakukan secara adil akan merasa lebih punya rasa memiliki dan mengidentifikasikan dirinya sebagai pemilik organisasi, dan pada akhirnya memiliki komitmen yang tinggi Lind & Tyler dalam Masterson (2001).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keadilan organisasi adalah persepsi pegawai terhadap perlakuan organisai tempat dia bekerja, baik tentang pembagian hasil (disebut keadilan distributif), tentang prosedur yang digunakan untuk membagi hasil (disebut keadilan prosedural) maupun tentang perlakuan organisasi terhadap dirinya (disebut keadilan interaksional); persepsi tersebut akan mempengaruhi sikap dan perilaku pegawai terhadap organisasi maupun pelanggan.
2. Aspek-aspek Keadilan Organisasi
Berdasarkan berbagai literatur tentang keadilan, Greenberg (1996) menawarkan kriteria umum dari keadilan, yaitu perlakuan hormat, sopan dan menghargai. Colquitt (2001) mengatakan bahwa keadilan prosedural mempunyai kriteria :
a) Konsisten, yaitu prosedur diterapkan secara konsisten terhadap semua orang dan waktu b) Tidak memihak, yaitu pengambil keputusan bersifat netral
c) Informasi yang akurat, yaitu prosedurdidasarkan pada informasi yang akurat
d) Korektabilitas, yaitu prosedur yang diberlakukan untuk memperbaiki hasil yang buruk e) Keterwakilan, yaitu semua sub kelompok dalam populasi mempunyai peran dalam
pembuatan keputusan
1) Aturan yang seimbang, yaitu satu aturan normatif yang diberlakukan bahwa hadiah dan sumberdaya didistribusikan sesuai dengan kontribusi masing-masing atau proporsi antara hasil dan biaya (nilai intrinsik) dan kontribusinya terhadap aset dan tanggung jawabnya (Schminke, et al, 2000)
2) Persamaan hak, yaitu ketepatan pembagian hasil sesuai dengan kontribusi yang diberikan (Colquitt, 2001).
Kriteria Keadilan Interaksional, menurut Schminke, et al (2000) tanggung jawab managerial berhubungan dengan jaminan keadilan dalam menerapkan prosedur pembuatan keputusan dalam organisasi, termasuk memberi perhatian yang tepat terhadap pandangan-pandangan karyawan, tak ada penindasan, penerapan keputusan yang diambil secara konsisten terhadap semua karyawan, memberikan umpan balik setelah keputusan diambil secara tepat waktu, memberikan dasar untuk suatu keputusan, bisa dipercaya dalam komunikasi, dan memperlakukan pegawai dengan sopan dan santun.
Colquitt (2001) ada 4 kriteria keadilan interaksional, yaitu : ada dasar, yaitu menjelaskan dasar dari suatu keputusan, bisa dipercaya, yaitu figur otoritas jujur dan tidak bohong, menghargai, yaitu sopan dan tidak kasar, sopan, yaitu menahan diri dari ucapan maupun pernyataan yang tidak pantas. (Colquitt, 2001).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan kriteria yang dikemukakan oleh (Simons & Roberson, 2003) untuk keadilan prosedural, yaitu konsisten, tidak memihak, informasi yang akurat, keterwakilan dan etis. Kriteria keadilan distributif menggunakan kriteria yang dikemukakan oleh (Colquitt, 2001), yaitu aturan seimbang dan persamaan hak. Untuk keadilan interaksional digunakan kriteria yang dikemukakan oleh Schminke, et al (2000), yaitu ada dasar, bisa dipercaya, menghargai dan sopan.
C. Komitmen
1. Definisi Komitmen
lainnya. “Komitmen” - atau juga sering disebut “komitmen organisasi” atau “komitmen kerja” atau “komitmen karyawan” - banyak dihubungkan dengan suatu kegiatan kelompok yang mengarah pada suatu tujuan tertentu, dimana dalam pencapaian tujuan tersebut memerlukan dukungan banyak orang.
Dalam manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) yang modern di suatu organisasi, komitmen merupakan suatu hal yang sangat penting. Tanpa komitmen dari semua pihak, maka konsep sebagus apapun tidak akan bisa dilaksanakan (Meyer., Allen., dan Smith, 1993). Sesuai dengan keadaan dunia saat ini yang setiap saat berubah, organisasipun mengalami perubahan setiap waktu. Hal ini menuntut para pekerja juga harus senantiasa siap berubah.
Menurut Conner & Patterson dalam Herscovitch & Meyer (2002), faktor umum yang berkontribusi pada kegagalan suatu proyek perubahan adalah kurangnya komitmen (Muchiri, 2002) memasukkan komitmen sebagai komponen sentral kedalam model tentang implementasi inovasi yang efektif di tempat kerja. Bahkan Rhoades., Eisenberger & Armeli (2001) memasukkan komitmen sebagai variabel kunci ke dalam model teori mereka tentang system kesiapan terhadap perubahan.
Ada beberapa bukti bahwa komitmen organisasi yang tinggi dapat membantu menahan dampak dari stress yang berhubungan dengan perubahan sehingga pegawai tetap sehat dan sejahtera (Herscovitch & Meyer, 2002). Dalam dunia organisasi, komitmen sering disebut dengan istilah “komitmen organisasi”, dan telah mendapat banyak perhatian dalam bidang perilaku organisasi.
Ketiganya berhubungan dengan perkembangan kelekatan individu terhadap organisasi. Pegawai secara emosional terikat pada organisasi dimana dia bergabung / bekerja dianggap sebagai determinan penting tentang dedikasi dan loyalitas. Hal ini akan nampak pada rasa memiliki dan pengenalan, yang akan meningkatkan keterlibatan mereka pada aktivitas organisasi, keinginan untuk mencapai tujuan organisasi dan keinginan mereka untuk tetap tinggal dalam organisasi tersebut (Meyer., Allen & Smith, 1993). Lebih lanjut disebutkan bahwa komitmen sebagai keadaan psikologis (psychological state), atau pola pikir yang meningkatkan kemungkinan seorang pegawai akan memelihara keanggotaannya di dalam suatu organisasi.
Komitmen afektif ditunjukkan dengan keinginan pegawai untuk tetap tinggal di organisasi dengan datang bekerja secara teratur, menampilkan tugas dan tanggung jawab terbaik sesuai kemampuannya dan melakukan tugas ekstra untuk menolong orang lain. Komitmen normatif ditunjukkan dengan perasaan wajib untuk tinggal di organisasi dan merasa berharga tinggal di organisasi, berbuat demikian juga untuk hal-hal yang dipandang sebagai bagian dari tugas. Komitmen kontinuen ditunjukkan dengan sikap menghindari kerugian; merasa rugi bila pergi meninggalkan organisasi, melakukan sedikit lebih dari yang disyaratkan untuk memelihara keanggotaannya (Herschovitch & Meyer, 2002).
Menurut Yukl (1994), komitmen mengandung penjelasan mengenai suatu sikap setuju seseorang terhadap suatu target, baik terhadap keputusan maupun tuntutannya, dan melakukan usaha besar untuk menjalankan keputusan atau tuntutan tersebut secara efisien. Komitmen sangat dibutuhkan untuk menjalankan tugas yang kompleks dan sukar agar berhasil. Jewell & Siegall (1998) mengatakan bahwa komitmen kerja adalah keadaan psikologis yang diyakini berkaitan dengan tinggal dipekerjaan.
2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi
Miner (1988) dalam bukunya “Organizational Behavior - Performance and
Productivity”, mengatakan bahwa komitmen organisasi adalah suatu sikap kerja yang
banyak berhubungan dengan kepuasan kerja, sebagai kekuatan relatif dari pengenalan individu dan keterlibatannya dalam suatu organisasi tertentu. Secara konseptual dapat digolongkan paling sedikit menjadi 3 faktor, yaitu :
a) Kepercayaan dan penerimaan yang kuat pada tujuan dan nilai-nilai organisasi; b) Kemauan untuk berusaha dengan sangat keras atas nama organisasi
c) Keinginan yang kuat untuk memelihara keanggotaannya dalam organisasi.
Komitmen dianggap lebih tinggi daripada loyalitas pada organisasi karena lebih memberikan kontribusi aktif. Sebagai suatu sikap, komitmen organisasi lebih “mengglobal” daripada kepuasan kerja sebab berimbas pada organisasi secara keseluruhan, tidak hanya pada pekerjaan saja, dan ini lebih stabil, sebab kejadian-kejadian sehari-hari di tempat kerja tidak mungkin dipisahkan. Lebih lanjut Miner menjelaskan bahwa komitmen yang tinggi akan berdampak baik bagi organisasi, yaitu :
1) Absensi pegawai rendah
2) Produktivitas meningkat, baik dari segi kuantitas maupun kualitas 3) Turnover rendah, pegawai tidak mudah meninggalkan organisasi
4) Meningkatnya waktu kerja karyawan, mereka menginvestasikan lebih banyak waktu untuk bekerja
5) Meningkatnya usaha pegawai untuk meningkatkan kinerja untuk mencapai tujuan organisasi yang mungkin sulit dicapai. Mereka cenderung terus berusaha sampai akhir 6) Bertanggung jawab atas keputusan yang diambil.
Dalam laporan penelitiannya yang berjudul “Commitment to Organizational Change :
Extension of a Three-Component Model” Herschovitch & Meyer (2002) mendapatkan bahwa
secara kooperatif dengan orang lain, memberikan usaha ekstra untuk mencapai tujuan perubahan atau berperan sebagai pejuang perubahan.
Morris & Sherman dalam Jewell & Siegall (1998) menemukan usia dan pendidikan (faktor demografi), rasa mampu (faktor psikologik), dan perilaku supervisi (keadaan kerja) adalah faktor-faktor yang menentukan tinggi rendahnya komitmen kerja. Secara umum Miner menyatakan bahwa tinggi rendahnya komitmen pegawai dipengaruhi oleh kepuasan kerja, tujuan, kohesi kelompok, kepercayaan pada manajemen, usia dan lama kerja. Sesuai dengan pendapat Miner, Mowday, dkk dalam Cohen dkk (1991) yang mengatakan bahwa komitmen berkembang selama periode awal individu mulai bekerja /berkarir, makin lama makin tinggi, juga berhubungan dengan usia individu.
Dari uraian di atas dapat diambil suatu kesimpulan yang akan mendasari pembuatan skala dalam penelitian ini, yaitu komitmen adalah suatu sikap setuju seseorang terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, adanya kemauan kuat untuk memberikan usaha ekstra untuk keuntungan organisasi, serta keinginan yang kuat untuk tetap tinggal dan memelihara keanggotaannya di organisasi, terlibat dalam kegiatan organisasi dan melakukan semuanya itu dengan efisien.
3. Aspek-aspek Komitmen