Jurnal Studi Desain (2018) Volume 1 No.1: 15-21
JURNAL STUDI DESAIN
https://journals.an1mage.net/index.php/ajsdLaporan Riset
PEMANFAATAN MEDIA ANIMASI DENGAN SIMULASI KOMPUTER
EFEK VISUAL UNTUK MENDUKUNG ADEGAN
Frans Santoso*
Visual Communication Design, School of Design, Bina Nusantara University
Info Artikel Abstrak
Sejarah artikel:
Dikirim 18 Desember 2017 Direvisi 28 Desember 2017 Diterima 9 Januari 2018
Kata Kunci: 3D Animasi Efek visual Simulasi Komputer Teknologi
Compositing
1.PENDAHULUAN
Hampir dalam semua media berbasis media/video, seringkali pembaca menemukan efek visual dan digital compositing dihasilkan dengan software dan komputer. Semua dilakukan untuk mendukung dalam pembuatan aset visual yang digunakan untuk mengomunikasikan gagasan yang ingin disampaikan.
Penelitian ini menunjukkan bagaimana proses alur kerja disimulasikan dengan menggunakan software komputer untuk mendapatkan visual efek yang terlihat nyata. Aset lain yang akan dibahas adalah penggunaan green screen.
Aset ini juga semakin banyak ditemukan dalam pembuatan film atau video karena akan memudahkan menghasilkan adegan visual efek. Penjelasannya akan dilakukan melalui tahapan proses, yang dibahas secara rinci dalam penelitian ini.
Selain itu, peran sinematografi juga akan dijelaskan dalam penelitian ini dan hubungannya dengan visual efek, karena banyak aturan dan aspek sinematografi yang juga digunakan dalam software pada komputer. Pengetahuan tentang Sinematografi cukup diperlukan untuk melakukan adegan efek visual, oleh karena itu dalam penelitian ini, penulis memperluas pembahasan ke aspek sinematografi.
Masalah yang sering ditemukan adalah aplikasi visual efek yang salah dan dianggap kurang sesuai dan selaras dengan aspek sinematografi. Hal ini akan menyebabkan output hasil karya terlihat kurang nyata. Hal lain yang sering terlihat adalah hasil pengomposisian yang tidak optimal karena unsur pencampuran memiliki kualitas yang buruk.
Produksi efek visual kini sudah sangat umum ditemukan. Hampir semua movie, pada umumnya telah menggunakan efek visual. Teknologi komputer telah membuat sesuatu yang tadinya sangat sulit untuk dilakukan, sekarang menjadi mudah, dan bahkan dapat dipelajari seseorang dalam waktu yang relatif singkat.
Dengan menggunakan teknologi perangkat lunak komputer, efek visual dapat diperoleh dengan cara menyimulasikan adegan dengan perangkat lunak tiga dimensi atau 3D. Melanjutkan penelitian yang secara garis besarnya membahas pada tahap praproduksi yang telah penulis lakukan sebelumnya, kali ini penulis membahas tahapan selanjutnya yaitu tahapan simulasi. Di samping itu, penulis juga membahas produksi efek visual dari dalam negeri, yaitu efek visual dalam produksi sinetron, sebagai studi banding.
© 2018 Komunitas Studi Desain Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.
2.METODE
Beberapa metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah, studi pustaka, komparasi dengan produksi sinetron, dan penulis menjabarkan alur kerja dalam pembuatan visual efek. Adapun software yang jadi acuan adalah Adobe Premiere CS 6.0, Adobe After Effect CS 6.0, dan Maxon Cinema 4D. Metode komparasi adalah suatu metode yang membandingkan dua objek yang memiliki kesamaan dan perbedaan [1].
Proses produksi 1. Praproduksi
Tahap perencanaan dan pencarian ide, di mana akan dilakukan brainstorming dan pencarian secara acak tentang ide dan premis cerita.
2. Ide dan konsep
Setelah melalui tahap brainstorming ide dikerucutkan dengan memilih hanya ide-ide yang baik dan menarik saja. Kemudian konsep menyusul beriring dengan visual style awal untuk prediksi hasil akhir dari visual efek.
3. Designing
Tahap ini dimulai ketika ide dan konsep telah muncul. Tiap-tiap elemen akan didesain sesuai mood dan style yang telah dibahas dalam konsep.
4. Produksi
Tahap ini akan digunakan untuk memproduksi aset. Sesi fotografi juga digunakan untuk membuat live shot. Untuk bagan alur kerjanya seperti citra 01.
Citra 01. Alur produksi standar untuk suatu proyek efek visual. Foto pribadi
Dari bagan di atas, merupakan alur yang biasanya ditempuh dalam pembuatan visual effect ini:
1. Brainstorming
Difase ini akan dilakukan peneluran ide sebanyak-banyaknya. Visual effect artis akan banyak melihat,
membaca, dan mencari tahu akan suatu ide yang bisa dijadikan visual effect movie.
2. Mind mapping
Ketika ide dan premis muncul maka akan dibuat semacam mind map untuk melakukan pengelompokan, pembuatan alur cerita, dan konsep
3. Research
Konsep yang telah disepakati akan dilakukan riset lebih jauh mengenai atribut, elemen, dan mood visual.
4. Story
Suatu proyek visual efek memerlukan sepenggal cerita untuk membangun mood dan kekuatan visual.
5. List of Shot
Setelah story ditentukan mulai dilakukan pengelompokan shot serta kebutuhan apa saja yang akan digunakan dalam pembuatan visual efek.
6. VFX Test
Sebelum proses produksi berjalan akan dilakukan test terlebih dahulu agar mendapat gambaran apakah visual effects (VFX) shot akan berhasil atau tidak. Jika dalam proses test terdapat kesalahan maka dapat diantisipasi sebelum proses produksi berjalan.
7. Previsual
Proses pembuatan dummy untuk visual efek. Merupakan kelanjutan dari test visual efek yang merupakan guide untuk proses produksi.
8. Production
Proses produksi akan dilakukan dalam studio green screen yaitu pembuatan shot.
Tahapan perencanaan pembuatan aset VFX 1. Proses studi literatur
Proses ini dilakukan untuk memperoleh landasan teori yang digunakan dalam ilmu sinematografi untuk pembuatan animasi.
2. Observasi lapangan
Penentuan studi lapangan untuk pembuatan modul live shoot.
3. Perumusan masalah
4. Pengolahan data
Hasil data dari rumusan masalah yang berupa data praproduksi untuk digunakan sebagai standar pembuatan modul shooting dan modul animasi.
5. Pembuatan modul shooting
Proses produksi shooting dan fotografi yang hasil akhirnya berupa footage atau potongan-potongan hasil shoot.
6. Mastering Data
Pembuatan satu modul utuh yang disesuaikan dengan bahasannya berupa data teks digital (pdf format) dan DVD format untuk menampilkan contoh klipnya.
3.DISKUSI
Alur produksi atau pipeline yang digunakan adalah alur standar yang sering kali digunakan dalam dunia shooting. Alur ini adalah alur standar yang digunakan di dalam maupun di luar negeri, secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian, yaitu praproduksi, produksi, dan pascaproduksi.
Untuk menghasilkan suatu karya visual efek yang baik, diperlukan juga persiapan yang matang. Pada tahap praproduksi seorang director hendaknya sudah mempunyai cerita yang matang, yang siap untuk diproduksi. Dalam penelitian ini, penulis telah membuat storyboard yang menggambarkan keseluruhan adegan yang akan diproduksi seperti pada citra 02.
Citra 02. Format Storyboard. Foto koleksi pribadi
Produksi
Tahap produksi selanjutnya adalah membuat aset yang diperlukan.
Digital Sculting
Adalah tahap menciptakan karakter tambahan, dalam penelitian ini penulis telah merancang karakter monster yang akan bertarung dengan karakter utama seperti pada citra 03.
Citra 03. Digital Sculting karakter monster. Foto pribadi
Perbandingan dengan sinetron
Hadirnya tayangan yang menampilkan visual effects secara penggabungan gambar digital yang dibuat dengan cara CGI (Computer Generated Imagery) dan hasil
shooting yang ditayangkan dalam televisi
memperlihatkan adanya ketidakutuhan dan tidak adanya pembauran aspek-aspek elemen visual yang terdapat dalam satu scene yang sama secara natural.
Hal ini terlihat seperti tempelan dalam pembagian latarnya, latar depan (foreground) akan sangat jelas berbeda kondisi penggambaran elemen visualnya dengan kondisi penggambaran latar belakang (Background), sehingga secara konteks penggambaran scene secara keseluruhan akan hilang unsur estetikanya. Salah satu contohnya seperti citra 04 adalah produksi tayangan sinetron lokal, sering penulis melihat dalam kaca mata digital compositing terlepas dari kaidah-kaidah sinematografi.
Dalam sinematografi [2] ada beberapa aspek yang menjadi cakupannya. Cakupan berikut berdasarkan runtutan sejarah sinematografi itu sendiri yaitu:
1. aspek kamera dan lensa; 2. aspek lighting;
3. aspek warna;
4. aspek grain emulsi film; 5. aspek komposisi;
6. aspek staging and blocking.
Dari aspek-aspek di atas dapat dikaji dalam efek visual penggunaan metode Digital Compositing mempunyai kesalahan aspek penggabungan. Dari aspek kamera dan lensa terlihat pendekatan penggabungan visual yang mengacu sifat kamera yang mempunyai grain, jarak fokal, pengolahan manipulasi jarak kedalaman ruang ataupun efek distorsi diameter lensa yang kurang sesuai.
Dalam aspek pencahayaan (lighting) sangat sering terlihat antara penempatan hi-light, midtones, ataupun shadow tidak tepat arahnya dan besaran kontras dengan elemen di latar yang lain [3].
Pencahayaan juga berpengaruh terhadap warna, yang terkait dengan temperatur warna yang digunakan untuk mengembangkan sebuah scene, sebagai contoh terkait dengan kesan psikologis yang dihasilkan dari penggabungan elemen visual secara keseluruhan, apakah terlihat cold atau warm, sehingga elemen visual pembentuk akan diterapkan pendekatan temperatur warna yang saling mendekati, pengaruh-memengaruhi ataupun saling menyesuaikan.
Dari citra 04 di atas terlihat secara staging and blocking, latar depan yaitu aktris dan naga terkomposisi dengan latar belakangnya seakan-akan terbang, karena secara penempatan dan perspektif menggambarkan seperti itu, tetapi dalam penggabungannya secara gestur tidak menunjukkan hal tersebut, sehingga secara komunikasi visual tidak dapat tersampaikan dengan baik penggambaran penceritaan dalam scene tersebut.
● Image Based Lighting (IBL)
Dalam lingkup CGI, pembuatan gambar still ataupun gerak (sequences), pencahayaan di manfaatkan dengan sumber gambar digital beresolusi tinggi dan mempunyai kedalaman data warna (chrominance) ataupun terang gelap (luminance) yang tinggi, biasanya mempunyai kedalaman 16 ataupun 32 bit per channel (bpc).
Istilah teknik ini sering disebut dengan nama Image Based Lighting (IBL) [3] dengan sumber gambar yang
dijadikan sumber cahaya dan refleksi yang memanfaatkan dasar proses render rays-tracing global illumination atau pencahayaan secara global.
Di bawah ini seperti pada citra 05 merupakan contoh penerapan pencahayaan secara global dengan menggunakan perangkat lunak Maxon Cinema 4D dengan rendering engine Maxwell Render plug-in.
Citra 05. Perbandingan gambar 3D modeling dan gambar hasil render menggunakan Maxon Cinema 4D dan Maxwell render. Foto pribadi
● Maxon Cinema 4D dan Maxwell Render Dalam praktek pembuatannya, secara umum melalui proses modeling, texturing dan penggunaan material shaders, penentuan framing dan sudut pandang dengan memanfaatkan kamera secara digital dalam perangkat lunak tersebut. Apabila pembaca akan menggunakan sistem tertentu, korelasi antara shading material untuk 3D objek, sistem pencahayaan dan rendering sudah disediakan dalam integrasi sistem yang sama.
Apabila pembaca memilih menggunakan sistem standar ataupun sistem render pihak ketiga, aspek shaders, lighting dan rendering akan mengikuti sistem yang dipilih [4].
Sekilas tentang Maxon Cinema 4D, perangkat lunak produksi pengembang Maxon Computer dari Jerman yang meliputi 3D modeling, motion graphic dan aplikasi rendering ini sejak tahun 1990 sampai sekarang perkembangannya sangat memengaruhi industri animasi dan pertelevisian.
Melihat pengalaman ke belakang sekitar 10 tahun yang lalu, penulis banyak menjumpai perangkat lunak ini banyak digunakan di kalangan industri broadcasting di Indonesia.
Sedangkan Maxwell Render dikembangkan dari tahun 2004 oleh Next Limit Technologies di Madrid, Spanyol. Render Engine ini merupakan alternatif dari pihak ketiga yang digunakan dalam produksi movie, animasi, efek visual, arsitektural dan desain produk.
secara algoritma berdasarkan keunggulan secara fisik (Physically-based).
Penerapan dalam bahasan ini menggunakan material dan shaders dari Maxwell render, sehingga material shader yang diperlukan diterapkan dengan sistem yang Maxwell render tentukan, sebagai contoh dapat dilihat dari citra 06 bahwa material yang ditentukan untuk kaca di tentukan berdasarkan sifat bahan seperti yang ada di dunia nyata.
Citra 06. Pendekatan material kaca yang dibuat mengikuti sifat bahan dalam Maxwell render. Foto pribadi
Sedangkan teknik lighting memanfaatkan sumber dari gambar, dapat dilihat dari citra 07, gambar lahan parkir sebelah kanan merupakan bukaan secara spherical dari pemetaan gambar yang dibuat datar. Untuk citra 07 sebelah kiri merupakan pengaturan parameter yang disesuaikan untuk mengkondisikan pendekatan pencahayaan, temperatur warna, dan refleksi untuk suatu
scene dalam lingkup permodelan 3D modeling dan
rendering.
Citra 07. Parameter dan foto yang dijadikan sumber cahaya dan refleksi dalam scene. Foto pribadi
Dari pembuatan suasana dan objek mobil yang dikembangkan dengan menggunakan 3D editor, khususnya Maxon Cinema 4D dan Maxwell render untuk proses renderingnya, dapat disimpulkan bahwa intensitas
cahaya yang memengaruhi objek mobil sesuai dengan kondisi gelap dan terang gambar, temperatur hasil rendering mencakup keseluruhan intensitas warna yang terkandung di dalam foto HDRI (High Density Range Image).
Hasil yang dicapai akan seperti hasil foto, melalui visi dalam fotografi digital dan penerjemahan dari CGI melalui perkembangan teknologi komputer yang menghasilkan citra fotorealistis.
● Photorealistic rendering
Dari pemanfaatan hasil produksi yang fotorealistis mampu memberikan respons visual terhadap pemirsa untuk lebih percaya layaknya hasil dari foto yang dianggap ditangkap dari realitas. Mengingat dan memahami pengertian realisme dalam lingkup komputer grafis menurut Margaret Hagen [5] yang membagi menjadi 3 jenis pemahaman, yaitu:
1. Physical realism
Citra memberikan simulasi visual seperti suasana nyata.
2. Photo realism
Gambar yang terproduksi mampu untuk memberikan respons visual yang sama dengan scene/suasana.
3. Functional realism
Yang mencakup lingkup gambar yang mampu memberikan informasi visual yang sama seperti dalam scene.
Pemaparan Margaret Hagen [5] dan berkembangnya diskursus tentang mengapa foto menjadi representasi realistis, serta telah menjadi topik yang bergulir lebih dari satu abad terutama dalam bidang psikologi memberikan kesimpulan bahwa citra yang dihasilkan terukur secara fotometry. Ukuran ini menjadi respons mata terhadap energi cahaya. Dari pemahaman di atas citra harus memberikan respons visual yang sama dengan scene apabila hasil desain gambar rendering dikatakan/dianggap photo realism.
● Catatan penulis tentang bahasan
Citra 08. Blueprint untuk patokan objek dan seting dalam scene.
Sumber: Akses dari halaman
https://www.the-blueprints.com/blueprints/cars/honda/66324/view/honda_mobi lio__2014_/ dan pribadi
Pemberian material dari Maxwell Render dilakukan terhadap elemen-elemen 3D model, misalnya untuk bagian kaca, penggunaan AGS (architectural Glass
System) dari Maxwell Render mempunyai index
pembiasan, caustic, ataupun transparansi yang berada dalam sifat bahan secara fisik yang akurat dan bekerja dalam paradigma berlapis.
Pencahayaan yang digunakan dengan metode IBL, dengan memanfaatkan dari gambar HDRI, diharapkan secara illumination dan reflection memengaruhi scene. Perhitungan algoritma rendering terhadap pencahayaan secara global mampu untuk hasil yang sangat realistik.
Dalam proses modeling, pendekatan perbandingan yang sebenarnya dengan patokan gambar biru (blueprint), dilakukan guna memberikan bentuk yang diharapkan dipercaya merepresentasikan dengan objek sebenarnya.
Dalam prosesnya dari catatan penulis mengamati tentang ukuran skala scene dan ukuran skala objek, kedua aspek tersebut memengaruhi pencahayaan yang dihasilkan oleh
rendering engine, secara ukuran pencahayaan yang
tampak pada hasil rendeing dirasakan tidak natural.
Skala juga berpengaruh di dalam aspek kamera, secara prinsip pengaruh dalam hasil akhir rendering adalah depth of field, seperti citra 09 bagian kanan pengaruh depth of field sangatlah besar sehingga jarak kedalaman ruang sangat pendek, hal ini terjadi ketika satu kamera menggunakan lensa dengan diagfragma besar, tetapi
menjadi sangat tidak lazim diaplikasikan untuk scene mobil, sehingga dengan pendekatan visual yang mempunyai jarak seperti itu seakan-akan terlihat seperti mobil mainan/miniatur.
Dari hasil akhir render yang diharapkan dapat merepresentasikan scene secara aspek sinematografi, sehingga kreasi dapat lebih memberikan hasil visual yang dapat diterima meskipun bukan tangkapan realitas kamera dan objek secara nyata, tetapi merupakan hasil dari 3D editor yang secara proses memanfaatkan teknologi.
Dalam proses renderingnya yang memanfaatkan perangkat lunak pihak ketiga yaitu Maxwell Render, akan menampilkan antar muka yang dapat disesuaikan antara parameter sampling level dan time limit, dalam artian secara kualitas dengan nilai yang tinggi dan batasan waktu yang lama berdasarkan batas waktu yang ditentukan lebih lama akan menghasilkan kualitas render yang lebih baik.
Pendekatan Progressive rendering yang menggunakan teknik render untuk menampilkan hasil secara cepat yang meningkat (citra 10) berdasarkan pembagian sampling. Dari citra 11 dapat dilihat hasil akhir dari proses renderingnya.
Citra 09. Antar muka Maxwell render, penggunaan kontrol kualitas berdasarkan sampler dan time limit ataupun feature kontrol cahaya yang secara individu dapat disetel. Foto pribadi
4.KONKLUSI
Dalam suatu karya simulasi visual efek dan animasi, diperlukan pemahaman akan beberapa aspek, yaitu aspek sinematografi, dan aspek pengetahuan komputer.
Diperlukan pemahaman alur kerja dan jam terbang yang tinggi untuk membuat karya yang baik. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam silmulasi visual efek adalah pemahaman tehnik kamera seperti ditangkap dari alam nyata.
Hal tersebut dikarenakan oleh parameter yang ada di dalam kedua hal hal tersebut secara garis besar sama. Maka dari itu, hendaknya praktisi animasi harus mempelajari terlebih dahulu teknis kamera secara baik di alam nyata, sebelum terjun ke dunia komputer dan perangkat lunak.
REFERENSI
[1] Ratna, K.N. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[2] Himawan, P. 2008. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian pustaka.
[3] Debevec, P. 2005. “Image based lighting”. In ACM SIGGRAPH Annual Conference Course. Los Angeles, USA. (p. 3).
[4] Kerlow, Issac V. 2014. Computer Animation and Effects. Hoboken - New Jersey : John & Sons Inc.
[5] Hagen, M. 1986. Varieties of Realism. Cambridge University Press.
[6] Deathtk. 2016. “Indosiar, Y U No Bikin Naga yang Bagus” Retrieved May 20, 2016 from http://1cak.com/256197
[7] Saranga. Dr, Dan. 2014. The Blue Prints of Honda Mobilio. Retrieved May 20, 2016 from