• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR DETERMINAN KEJADIAN SKIZOFRENIA PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT JIWA SAMBANG LIHUM KALIMANTAN SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FAKTOR DETERMINAN KEJADIAN SKIZOFRENIA PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT JIWA SAMBANG LIHUM KALIMANTAN SELATAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR DETERMINAN KEJADIAN SKIZOFRENIA PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT JIWA SAMBANG LIHUM KALIMANTAN SELATAN

Siti Vitalia Islami1, Rudi Fakhriadi2, Laily Khairiyati3

1Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru 2Departemen Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas

Lambung Mangkurat Banjarbaru

3Departemen Kesehatan Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru

Email: sitivitaliaislami@gmail.com

Abstrak

Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan pemikiran yang tidak saling berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang keliru, afek/ ekspresi datar atau tidak sesuai dan berbagai gangguan aktivitas motorik yang aneh. Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi skizofrenia di Kalimantan Selatan mencapai angka 1,4 per 1000 penduduk. Salah satu teori penyebab skizofrenia adalah diatesis-stress model yang menggabungkan antara faktor biologis, psikososial, dan lingkungan yang saling berkaitan secara dinamis secara khusus mempengaruhi diri seseorang sehingga dapat menyebabkan berkembangnya gejala skizofrenia. Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan faktor determinan kejadian skizofrenia di dalam sudut pandang metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif ini menggunakan metode grounded theory dengan 2 subjek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diathesis/ kerentanan yaitu riwayat keturunan, penyalahgunaan narkoba dan alkohol serta malnutrisi saat kehamilan mempengaruhi kejadian skizofrenia. Tipe kepribadian tertutup, pola asuh yang cenderung otoriter serta konflik internal dan eksternal yang terjadi berpotensi menjadi faktor stressor yang dapat mengaktifkan kerentanan/ diathesis yang dimiliki seseorang. Status ekonomi yang rendah dan status sebagai migran sangat berpotensi menjadi faktor stressor bagi seseorang dengan kemampuan self regulation yang rendah. Sedangkan fakta bahwa umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status perkawinan, serta tempat tinggal menjadi faktor pemberat dari kejadian skizofrenia pada penelitian ini.

Kata kunci: Skizofrenia, Biologi, Psikososial, Lingkungan Sosiokultural

Abstract

Schizophrenia is a psychotic disorder characterized by logically unrelated thoughts, false perceptions and concerns, flat or inappropriate affects / expressions and a variety of strange motor activity disorders. Basic Health Research in 2013 showed that the prevalence of schizophrenia in South Kalimantan reached 1.4 per 1000 population. One of the theories causing schizophrenia is the diathesis-stress model that combines biological, psychosocial, and environmental factors, which are dynamically interrelated specifically to affect one's self that can lead to the development of schizophrenia symptoms. The purpose of this study to explain the determinant factors of schizophrenia occurrence in the perspective of qualitative research methods. This qualitative research using grounded theory method with 2 subjects. The results showed that diathesis / susceptibility of hereditary history, drug and alcohol abuse and malnutrition during pregnancy affected the incidence of schizophrenia. Introvert personality types, authoritarian tendencies and internal and external conflicts that occur have the potential to become stressor factors that can activate a person's vulnerability / diathesis. Low economic status and migrant status are potentially a stressor factor for someone with low self regulation ability. While the fact that age, sex, education level, employment status, marital status, and residence become the weight factor of schizophrenia in this research.

(2)

PENDAHULUAN

Skizofrenia adalah salah satu bentuk perilaku abnormal berat atau gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama dalam pikiran, emosi dan perilaku. Individu yang mengalami skizofrenia memiliki pemikiran yang tidak saling berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang keliru, afek/ ekspresi yang datar atau tidak sesuai dan berbagai gangguan aktivitas motorik yang aneh. Penderita skizofrenia kehilangan kontak dengan kenyataan dan kesulitan membedakan hal yang nyata dengan yang tidak. Salah satu gejala dari skizofrenia adalah halusinasi dan delusi (1). Berdasarkan laporan WHO, gangguan jiwa merupakan salah satu kondisi yang menyumbangkan beban penyakit yang besar melalui kesakitan, kecacatan dan kematian dini terutama di negara yang sedang berkembang (2). Gangguan jiwa berat atau skizofrenia memiliki dampak yang sangat besar. Hal ini terjadi karena kebanyakan individu yang menderita skizofrenia tidak dapat sembuh sepenuhnya, mengalami penurunan fungsi ataupun ketidakmampuan dalam menjalani hidupnya, sangat terhambat produktivitasnya, nyaris terputus relasinya dengan orang lain dan harus memperoleh perawatan dalam jangka panjang (3).

Selain itu gangguan jiwa juga berhubungan dengan bunuh diri, diantara penderita skizofrenia di seluruh dunia sekitar 20-50% telah melakukan percobaan bunuh diri dan 10% diantaranya meninggal karena bunuh diri. Angka kematian penderita skizofrenia ini 8 kali lebih tinggi daripada angka kematian penduduk pada umumnya (4). Skizofrenia tidak hanya berdampak pada individu tetapi juga pada keluarga dan negara. Pasien serta keluarganya sering mendapat penolakan sosial dari masyarakat, kerugian ekonomi minimal akibat masalah kesehatan jiwa mencapai 20 triliun rupiah (5). Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 bahwa prevalensi penduduk Indonesia yang mengalami skizofrenia sebanyak 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400 ribu jiwa dan prevalensi skizofrenia di Kalimantan Selatan mencapai angka 1,4 per 1000 penduduk. Angka tersebut menempatkan Kalimantan Selatan sebagai provinsi dengan penderita skizofrenia terbanyak di pulau Kalimantan (6).

Salah satu teori penyebab skizofrenia adalah diatesis-stress model. Teori ini menggabungkan antara faktor biologis, psikososial, dan lingkungan yang secara khusus mempengaruhi diri seseorang sehingga dapat menyebabkan berkembangnya gejala skizofrenia. Dimana ketiga faktor tersebut saling berkaitan secara dinamis. Faktor biologis yang dapat menyebabkan skizofrenia yaitu faktor keturunan, hipotesis dopamine, penyakit autoimun, komplikasi kelahiran, dan malnutrisi saat kehamilan. Faktor psikososial yang dapat menyebabkan skizofrenia yaitu tipe kepribadian, tipe pola asuh yang patogen, dan konflik keluarga. Sedangkan faktor lingkungan yang dapat menjadi faktor determinan dari skizofrenia adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status perkawinan, status ekonomi, tempat tinggal dan status migran (7).

Sementara itu Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum merupakan rumah sakit jiwa rujukan utama di provinsi Kalimantan Selatan yang memiliki fasilitas rawat jalan dan rawat inap, dan pasien dari berbagai kalangan yang memiliki latar belakang berbeda dan beragam. Sehingga perlu dikaji mendalam faktor apa saja yang ada pada dinamika perjalanan gangguan skizofrenia pada pasien rawat jalan.

METODE

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu mengemukakan gambaran atau pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas dapat terjadi. pada penelitian ini menggunakan metode pendekatan grounded theory yaitu metode penelitian yang intensif, terperinci, dan mendalam terhadap kasus yang dihubungkan dengan sebuah teori dalam rangka untuk mempelajari latar belakang masalah dan dinamika perjalanan suatu peristiwa tertentu (8). Subjek dalam penelitian ini adalah pasien penderita skizofrenia yang melakukan rawat jalan di rumah sakit jiwa sambang lihum. Informasi akan digali melalui keluarga terdekat/ keluarga inti pasien mengetahui dan dapat mewakili informasi mengenai pasien. Hal ini digunakan menurut konsep teori analogi. Analogi adalah penarikan kesimpulan berdasarkan kesamaan data atau fakta. Pada analogi biasanya membandingkan 2 hal yang memiliki karakteristik berbeda namun dicari persamaan yang ada di tiap bagiannya (9).

(3)

pengambilan subjek penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum, Kalimantan Selatan. Dan wawancara mendalam dilakukan di rumah keluarga subjek.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pembahasan Kasus Subjek 1 (SH)

Latar belakang keluarga subjek SH yang memiliki tingkat ekonomi menengah kebawah serta adanya keluarga yang memiliki riwayat skizofrenia sejak awal telah menimbulkan resiko pada subjek SH dari segi faktor biologi. Kenyataan bahwa keluarga yang memiliki riwayat skizofrenia berasal dari derajat pertama yaitu bapak kandung bahkan membuat subjek SH beresiko 7%-16% untuk menderita skizofrenia. Dari segi ekonomi subjek SH juga memiliki faktor stressor yang kuat, karena perekonomian keluarga subjek yang berada pada taraf menengah kebawah memungkinkan subjek SH beresiko skizofrenia sebesar 6 kali lebih besar. Pada masa kehamilan ibu subjek mengalami hipertensi serta tidak pernah melakukan antenatal care. Selain itu ibu subjek juga jarang memakan makanan bergizi selama kehamilan karena ekonomi yang sulit.

Subjek SH dilahirkan saat kehamilan ibunya berumur 10 bulan, menurut penelitian bahwa bayi yang lahir saat usia kandungan melebihi normal akan beresiko mengalami gangguan otak, gangguan gizi dan asfiksia. Dilahirkan dirumah dengan bantuan bidan subjek SH lahir dalam keadaan normal. Dimasa kecilnya subjek SH hampir setiap bulan mengalami sakit demam dan flu, hal itu mengindikasikan bahwa subjek memiliki fisik yang lemah. Selama masa pertumbuhan dan perkembangannya subjek SH jarang sekali mendapatkan asupan gizi yang cukup dikarenakan keadaan ekonomi keluarganya yang tidak memungkinkan membeli makanan yang bergizi. Di masa kanak-kanaknya subjek SH sangat di sayangi oleh bapaknya. Ibunya cenderung pemarah namun tidak pernah sampai memukul karena bapak subjek akan marah apabila anaknya dipukul. Dari pola asuh orang tua pada subjek tidak ada faktor stressor yang dapat menjadi resiko skizofrenia. Pola asuh yang diterapkan cenderung demokratis. Selain itu subjek termasuk anak yang pintar, ia sering mendapatkan rangking di kelas. Orang tuanya sering memberikan pujian, namun subjek tidak pernah mendapatkan hadiah karena orang tuanya tidak memiliki uang. Keadaan ini membuat subjek kecewa terhadap keadaan ekonomi keluarganya. Jika kekecewaan ini berlarut-larut dapat menjadi sebuah stressor ringan yang beresiko kepada subjek. Sejak kelas 4 sekolah dasar subjek telah menujukkan keadaan psikologis yang lemah, jika subjek bertengkar dengan temannya ia cenderung mengalah dan memendam amarahnya sendiri. Keadaan itu mengganggu psikologis subjek hingga mengalami kejang. Keadaan itu terus berlanjut dan mulai hilang saat subjek beranjak ke sekolah menengah pertama.

Dimasa SMP hingga SMA, pertumbuhan dan perkembangan subjek SH cenderung normal namun keadaan ekonomi keluarganya masih sangat sulit. Konflik yang ada pada diri subjek pada keadaan ekonomi keluarganya semakin diperparah karena cita-cita subjek yang ingin menjadi seorang tentara harus pupus dan kandas karena keadaan fisiknya yang memang sejak kecil lemah. Kekecewaan itupun coba dihilangkan oleh subjek dengan mengalihkan tujuannya dari tentara menjadi seorang guru. Alhasil subjek yang pintar lulus seleksi dan diangkat menjadi seorang guru di suatu sekolah dasar yang letaknya sangat jauh dari tempat tinggalnya. Lokasi kerja yang jauh menyebabkan subjek sering kelelahan setiap selesai bekerja dan di tempat kerjanya itu juga subjek mengenal seorang wanita yang juga berprofesi sebagai guru. Setiap subjek pulang ke rumahnya di daerah martapura wanita itupun sering ikut dengan alasan ingin mengunjungi keluarganya di sana. Karena kebaikan subjek yang suka membantu, lama-kelamaan wanita itupun suka dan ingin menikah dengan subjek. Namun subjek yang tidak tertarik dengan wanita itu, menolak dan hanya bermaksud membantu. Selama satu tahun bekerja bersama wanita tersebut, terjadi ketidaknyamanan terhadap psikologis subjek. Tidak adanya perbaikan kondisi di lingkungan dan kurangnya sarana untuk melakukan self-regulation, membuat subjek SH semakin tertekan. Subjek SH berada dalam kondisi disequilibrium yang panjang. Pada akhirnya, Subjek SH mengalami deteriorasi karena emosinya semakin tidak mampu bertoleransi terhadap konflik yang dihadapi. Konflik batin yang dialami oleh Subjek SH tidak dapat diungkapkan karena subjek memang cenderum memendam dan tidak tega kepada orang.

(4)

diri sendiri (tidak makan dan tidak tidur), keinginan bunuh diri. Jadi dapat kejadian skizofrenia pada subjek SH ini berawal dari adanya kerentanan/ diathesis berupa riwayat keturunan skizofrenia dan diperparah dengan malnutrisi saat kehamilan, diathesis tersebut berinteraksi dengan faktor stressor utama yaitu ekonomi yang sulit dan konflik internal maupun eksternal yang tidak dapat diatasi dengan self regulation oleh subjek SH karena subjek berkepribadian tertutup.

Subjek 2 (SM)

Jika dilihat dari segi latar belakang keluarga, subjek SM lahir dari keluarga yang berkecukupan tidak nampak adanya resiko skizofrenia dikeluarganya. Kedua orang tuanya tidak memiliki riwayat skizofrenia, namun setelah didalami kenyataannya keluarga dari bapaknya memiliki riwayat depresi akibat perceraian yaitu neneknya, saudara tiri satu ibu dari bapaknya juga menderita skizofrenia selain itu saudara nenek dan sepupu sepupunya banyak yang mengalami skizofrenia. Walaupun kedua orang tua subjek tidak mengalami skizofrenia namun bapak sujek membawa gen resesif yang memungkinkan anak-anaknya mengalami skizofrenia sebesar 7%.

Pada masa kehamilan, ibu subjek tidak mengalami suatu hambatan yang berarti, dan subjek SM lahir dalm keadaan normal di rumah sakit. Selama masa kecilnya subjek SM dan saudara-saudaranya jarang mendapatkan asuhan dari kedua orang tuanya. Subjek SM diasuh oleh pembantu rumah tangga, karena bapaknya sibuk bekerja dan ibunya lebih suka bepergian kerumah keluarganya selma berbulan-bulan. Subjek SM tumbuh menjadi anak yang perfectionis, ia tidak suka bermain hal-hal yang kotor, harus berpenampilan rapi, bersih, dan teratur. Subjek tidak ingin melakukan kesalahan apapun karena ia tahu jika melakukan kesalahan maka akan mendapat hukuman. Dari keadaan ini masih belum terlihat adanya faktor stressor yang dapat mengaktifkan gen resesif yang dimiliki subjek.

Orang tua subjek sering membedakan anak laki-laki dan perempuannya dalam hal kasih sayang. Semua anak laki-laki termasuk subjek sangat disayangi dan dimanja, dikarenakan orang tuanya yang jarang berada dirumah, ketika orang tuanya pulang subjek akan langsung berlomba dengan saudara-saudaranya untuk mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Bahkan subjek terkadang menganggap saudaranya adalah musuhnya dalam mendapatkan hal yang ia inginkan. Namun, kasih sayang itu diiringi rasa khawatir yang berlebihan hingga cenderung membentuk pola asuh yang terlalu menuntut, mengekang dan membatasi. Pola asuh yang cenderung patogen ini berbenturan dengan sifat subjek yang perfectionis, apapun keinginannya harus tercapai. Dari keadaan ini mulai terlihat kecenderungan adanya faktor stressor dari segi pola asuh.

Selain pola asuh yang patogen, faktor stressor yang kuat muncul dari seringnya konflik antar orang tua yang terjadi dihadapan subjek sendiri. Dan terkadang subjek berusaha mencari solusi dari permasalahan yang dialaminya, namun kondisi di lingkungan keluarganya yang tidak mendukung subjek untuk mendapatkan pemecahan masalah memaksa subjek untuk terus diam tanpa tahu harus berkeluh kesah kepada siapa. Setelah subjek lulus sederajat SMA, subjek tidak dapat melanjutkan ke perguruan tinggi karena stigma yang dimiliki bapaknya bahwa anaknya tidak boleh melampaui pendidikan orang tuanya. Sehingga subjekpun harus bekerja bersama bapaknya menjadi pedagang kayu. Lingkungan keluarga yang tidak kondusif, membuat subjek SM merasa lebih nyaman dan bebas ketika berhubungan dengan teman-temannya. Dan karena pergaulan tanpa kendali orang tua ini pun menyebabkan subjek SM terjerat narkoba jenis sabu.

(5)

B. Pembahasan kedua subjek menurut teori Diathesis stress model

Teori Diathesis-Stress menyatakan bahwa teori ini menggabungkan antara faktor biologis, psikososial, dan lingkungan yang secara khusus mempengaruhi diri seseorang sehingga dapat menyebabkan berkembangnya gejala Skizofrenia Model (7). Dimana ketiga faktor tersebut saling berpengaruh secara dinamis. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka teori Diathesis-Stress Model lebih tepat untuk menerangkan tentang penyebab munculnya Skizofrenia. Teori ini menyatakan bahwa Skizofrenia dapat disebabkan oleh pengaruh keadaan fisik, psikis, dan lingkungan yang kurang kondusif di dalam kehidupan seseorang (10).

Teori Diathesis-Stress Model dapat diterangkan dalam dua bagian, yaitu : Diathesis Model, yang menyatakan bahwa penyebab Skizofrenia didasarkan pada faktor genetik sebagai predisposisi biologis. Ada beberapa hipotesis yang berkaitan dengan ketidakberfungsian sistem biologis, seperti : kerusakan struktur otak, ketidakmampuan menerima dan mengorganisasikan informasi yang kompleks, kekacauan sistem regulasi neurotransmitter (7). Dilihat dari perspektif diathesis atau kerentanan yang dimiliki, kedua subjek pada penelitian ini sama-sama memiliki kerentanan yang berasal dari riwayat keturunan skizofrenia pada keluarga derajat ke 1 ataupun ke 2. Subjek SH memiliki kerentanan yang lebih besar dikarenakan ada keluarga derajat ke 1 yaitu bapaknya pernah memiliki riwayat skizofrenia, selain itu keluarga derajat ke 2 yaitu kakek dan saudara kakeknya juga memiliki riwayat skizofrenia. Dibandingkan dengan subjek SM yang hanya memiliki keluarga derajat ke 2 dengan riwayat skizofrenia. Selain riwayat keturunan, masing-masing subjek memiliki diathesis atau kerentanan lainnya seperti malnutrisi saat kehamilan yang terjadi saat subjek SH masih dalam kandungan, dan penyalahgunaan narkoba oleh subjek SM. Menurut penelitian Tunjung 2013 bahwa secara umum dapat dikatakan semakin dekat hubungan genetic pasien dengan penderita skizofrenia sebelumnya, maka semakin besar pula kemungkinan untuk menderita gangguan tersebut. Hal ini disebut concodant, yaitu anak dari penderita gangguan skizofrenia memiliki kemungkinan tiga sampai enam kali lebih tinggi menderita gangguan skizofrenia dibandingkan anak dari bukan penderita skizofrenia (11).

Sedangkan Stress Model, berhubungan dengan kemampuan seorang individu untuk mengatasi permasalahan dengan jalan keluar yang tepat. Stresor dari lingkungan dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu yang bersifat fisik dan bersifat psikologis (10). Dohrenwend dan Nuechterlein memaparkan bahwa dari hasil beberapa penelitian, menyatakan bahwa onset dan kambuhnya Skizofrenia dapat disebabkan oleh suasana kehidupan yang negatif, seperti kesulitan mendapatkan pekerjaan, dan rusaknya hubungan sosial karena adanya ketegangan dalam pola interaksi keluarga (10).

Dilihat dari faktor stessor psikososial, kedua subjek sama-sama memiliki kepribadian pendiam dan tertutup, menurut penelitian Agung wahyudi 2015, menyatakan bahwa kepribadian yang pendiam dan tertutup lebih rentan 14 kali beresiko skizofrenia dibandingkan kepribadian terbuka, karena kepribadian ini cenderung memendam permasalahan yang dimilikinya tanpa ada solusi. Jika masalah yang ada sejak kecil dipendam dan berkumpul dengan maslaah-masalah lainnya, psikologis seseorang akan terganggu. Bahkan kepribadian introvert ini dikatakan kepribadian schizoid (12). Sejalan dengan penelitian Kinros (2010) di London, kepribadian introvert memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya skizofrenia. Kinros mengungkapkan 87% dari penderita skizofrenia memiliki kepribadian yang introvert sebelum sakit dan diketahui 46% diantaranya memiliki kepribadian pemalu (13).

Pola asuh yang diterapkan setiap orang tua akan berbeda-beda, sama halnya dengan kedua subjek dalam penelitian ini. Subjek SH diasuh dengan pola asuh demokratis, jika subjek melakukan kesalahan ibunya akan marah namun tidak sampai memukul dan jika subjek benar ia akan dipuji. Berbeda dengan Subjek SH, subjek SM sejak kecil diasuh dengan pola asuh cenderung mengekang/ otoriter. Walaupun orang tua subjek sangat memanjakan SM, namun untuk melakukan sebuah hal subjek harus mendapatkan persetujuan orang tua terlebih dahulu. Sehingga timbul rasa minder atau tidak percaya diri dari subjek SM hingga hilangnya keinginan hidup mandiri. Dari kedua tipe pola asuh yang diterapkan pada kedua subjek, pola asuh keluarga subjek SM lah yang berpotensi menjadi faktor stressor psikososial karena menurut penelitian pemaksaan dalam proses penanaman nilai akan berimbas buruk terhadap diri seseorang, karena krisis nilai akan menyebabkan munculnya krisis identitas. Pada akhirnya dapat berakibat fatal di mana seseorang menjadi tidak tahu fungsi, peran, dan posisinya di lingkungannya (14).

(6)

cenderung memendam, akan merekam semua konflik itu didalam otaknya, hal itu menjadi suatu tekanan psikososial yang jika berlarut-larut dapat menggangu perkembangan mental seseorang dan mengakibatkan hilangnya rasa aman didalam keluarga. Hal itu termanifestasi pada tipe skizofrenia yang diderita subjek SM yaitu paranoid (15).

Selain dari aspek psikososial, faktor stressor yang dapat mengaktifkan kerentanan yang ada pada diri kedua subjek adalah aspek lingkungan sosiokultural, dari segi umur kedua subjek sama-sama memperlihatkan gejala skizofrenia pada umur 25 tahun atau dewasa muda. Namun dari penjabaran kedua kasus yang dialami subjek, umur bukanlah faktor stressor yang menyebabkan kedua subjek mengalami skizofrenia, namun pada saat umur dewasa muda itulah terjadi peralihan dari remaja ke dewasa. Dan di umur tersebut, faktor diathesis atau kerentanan yang telah dimiliki kedua subjek berinteraksi dengan faktor stressor yang telah menumpuk sejak subjek kecil. Dan keadaan tersebut termanifestasikan menjadi gangguan skizofrenia. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Erlina 2010 bahwa gangguan skizofrenia pada laki-laki rata-rata akan muncul pada usia dewasa muda karena banyaknya faktor stress yang memungkinkan seseorang tidak dapat mengendalikan keadaan psikologisnya yang berdampak pada kesehatan mental (16).

Sama halnya dengan umur, jenis kelamin bukanlah sebuah faktor stressor yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan skizofrenia. Hanya kapan dan pada siapa, faktor stressor berinteraksi dengan faktor kerentanan/ diathesis yang telah dimiliki. Hal itu dapat diketahui apabila melihat kedua subjek yang keduanya berjenis kelamin laki-laki sedangkan menurut penelitian Soewadi dkk 2010 menyatakan bahwa wanita lebih rentan menderita stress psikologik dibandingkan dengan laki-laki (16). Sedangkan dari segi tingkat pendidikan, status pekerjaan, status ekonomi, dan status migran kedua subjek memiliki perbedaan. Subjek SH berpendidikan tinggi, telah bekerja, status ekonomi menengah kebawah, dan bukan seorang migran. Subjek SM berpendidikan menengah, tidak bekerja, status ekonomi menengah keatas, dan sedang menjadi seorang migran. Dari perbedaan-perbedaan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebuah atau beberapa kerentanan/ diathesis tidak akan muncul sebagai gangguan skizofrenia apabila faktor stressor dapat dikendalikan terutama dengan self regulation yang dibentuk dari tipe kepribadian yang terbuka. Kedua subjek kasus mengalami kesulitan dalam menyelaraskan diri dengan keadaan yang ada, karena tidak ada suasana interaksi yang mendukung proses perkembangan kepribadian subjek kasus. Seperti pernyataan Arif 2006 yang menyatakan bahwa kepribadian seorang anak akan berkembang dengan optimal, apabila lingkungan keluarganya mampu menyediakan holding environment dan centered relating yang memadai (17). Sejalan dengan penelitian Damabrata 2003 skizofrenia merupakan hasil dari interaksi beberapa faktor resiko seperti faktor keturunan dan pada fase berikutnya apabila dikenai stress sosio-ekonomi dan psikososial seperti status ekonomi yang rendah, gagal dalam mencapai cita-cita, konflik yang berlarut, kematian keluarga yang dicintai dan sebagainya dapat menjadi faktor pencetus berkembangnya skizofrenia (18).

SIMPULAN

1. Faktor biologi. Dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa riwayat keturunan, penyalahgunaan narkoba dan alkohol serta malnutrisi saat kehamilan mempengaruhi kejadian skizofrenia. Faktor-faktor kerentanan/ diathesis inilah yang akan diaktifkan oleh faktor stressor dari psikososial dan lingkungan sosiokultural.

2. Faktor psikososial. Fakta pada penelitian ini bahwa tipe kepribadian tertutup sangat beresiko menimbulkan stress pada seseorang karena kurangnya kemampuan self regulation. Selain tipe kepribadian tertutup, pola asuh yang cenderung otoriter serta konflik internal dan eksternal yang terjadi berpotensi menjadi faktor stressor yang dapat mengaktifkan kerentanan/ diathesis yang dimiliki seseorang.

3. Faktor lingkungan sosiokultural. Status ekonomi yang rendah dan status sebagai migran sangat berpotensi menjadi faktor stressor bagi seseorang dengan kemampuan self regulation yang rendah. Sedangkan fakta bahwa umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status perkawinan, serta tempat tinggal menjadi faktor pemberat dari kejadian skizofrenia pada penelitian ini.

SARAN

(7)

masalah yang sedang dihadapinya. Dan orang tua harus berusaha membentuk pola asuh yang nyaman dan tepat bagi kepribadian anak agar tidak menjadi sebuah maslah baru bagi psikologis anak.

2. Instansi Kesehatan perlu meningkatkan usaha bidang kesehatan mental di lingkungan keluarga, melalui pola pengasuhan yang sehat. Program tersebut antara lain : family gathering, layanan konseling keluarga, dan penyuluhan tentang kesehatan mental. Program tersebut sangat penting karena keluarga sebagai lembaga sosialisasi primer, sehingga dapat menjadi tempat pencegahan terjadinya gangguan mental. Selain itu, keluarga adalah lingkungan terdekat bagi mantan pasien gangguan mental, sehingga keluarga harus mendukung proses rehabilitasi dan mencegah terjadinya kekambuhan. Oleh karena itu, diperlukan berbagai informasi yang dapat membantu orang tua untuk mewujudkan usaha peningkatan bidang kesehatan mental, melalui pola pengasuhan yang sehat di lingkungan keluarganya.

3. Untuk Peneliti Selanjutnya. Pada penelitian ini, tentulah masih banyak kekurangan dan kelemahannya, seperti : subjek kasus pada penelitian ini semuanya adalah laki-laki. Berpengaruh juga pada kemungkinan perempuan memiliki faktor determinan lainnya. Selain itu mengapa apa pengaruh kejang saat kecil terhadap kemungkinan skizofrenia dimasa dewasa.Berbagai pertanyaan inilah yang harus dijawab untuk para peneliti dan melakukan penelitian lanjutan di masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

1. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders fifth edition. Washington DC: American psychiatric publishing, 2013.

2. World Health Organization (WHO). World health statistic; (Online), (http://www.who.int/gho/publications/world_health_statistics/en_whs2013_full.pdf, diakses pada tanggal 12 Februari 2017).

3. Oltmanns TF & Emery RE. Psikologi abnormal. Terjemahan oleh Helly Prajitno Soetjipto & Sri Mulyani Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

4. Hawari D. Skizofrenia edisi ketiga pendekatan holistik (BPSS) biopsikososial spiritual. Jakarta: Universitas Indonesia, 2012.

5. Suryani. Mengenal gejala dan penyebab gangguan jiwa. Bandung: Universitas Jendral Achmad Yani, 2013.

6. Riset kesehatan dasar 2013; (Online), (http://www.litbang.depkes.go.id, diakses pada tanggal 12 Februari 2017).

7. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis psikiatri jilid satu. Tanggerang: Bina Rupa Aksara, 2010. 8. Hsieh HF & Shannon SE. Three approaches to qualitative content analysis. Qualitative Health

Research, 2005; 15(9): 1277-1288.

9. Ramdani Y. pengembangan instrumen dan bahan ajar untuk meningkatkan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis dalam konsep integral. Jurnal Penelitian Pendidikan, 2012; 13(1): 44-52.

10. Kendall, P. C. & Constance H. Abnormal Psychology : Understanding Human Problem. Boston : Houghton mifflin Company, 1998.

11. Utomo, Tl. Hubungan Antara Faktor Somatik, Psikososial, Dan Sosio-Kultur Dengan Kejadian Skizofrenia Di Instalasi Rawat Jalan Rsjd Surakarta. Skripsi. Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan, 2013.

12. Agung W & Arulita IF. Faktor resiko terjadinya skizofrenia(studi kasus di wilayah kerja Puskesmas Pati II). Public Health Perspective Journal, 2016; 1(1): 1-12.

13. Kinros, Jess, dkk. The Neurodevelopmental Theory Schizophrenia Evidence form Studies of Early Onset Cases. Isr J PsychiatruRealtion Science Journal, London, 2010; 47 (2).

14. Jatman, D. Psikologi Jawa. Yogyakarta : Bentang, 1997.

15. Prabowo. HP. Interaksi Keluarga Pada Remaja Penderita Skizofrenia Tinjauan Psikokultural Jawa. Skripsi. Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro,2007.

16. Soewadi E & Pramono D. Determinan terhadap timbulnya skizofrenia pada pasien rawat jalan di Rumah Sakit Jiwa Prof. Hb Saanin Padang Sumatera Barat. Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat (BKM), 2010; 26(2): 71-80.

(8)

Referensi

Dokumen terkait

Dilihat dari beberapa tahun dilaksanakannya Peraturan Daerah Kabupaten Purwakarta Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Larangan Pelacuran dan Minuman Keras, masih ada

Dengan ditetapkannya perubahan pengesahan pasangan calon kepala daerah Kabupaten Batang sebagaimana tersebut diatas, maka DPP Partai GOLKAR mencabut dan menyatakan

1) Syirkah dalam Perbankan Syariah. Karena sifatnya yang merupakan pedoman maka produk atau usaha yang dikembangkan bebas, tidak harus sama dengan konsep yang

Kemudian yang menjadi faktor penghambat dalam meningkatkan pembangunan desa adalah sumber dana (sarana dan prasarana) serta rendahnya kualitas (SDM) dan tekhnologi yang

Pada penderita penyakit arteri perifer, kadar IL-6 yang tinggi secara persisten dihubungkan dengan penurunan fungsional yang lebih cepat bila dibandingkan dengan penderita yang

Jepang pada dasawasa 20 dan 30 abad ke-20 sudah mempunyai perhatian sangat besar terhadap Hindia Belanda karena menganggap potensi yang dimiliki wilayah ini sangat

Hal ini dapat ditempuh dengan menerapkan model pembelajaran CTL dimana model ini berupaya membawa pemikiran peserta didik untuk lebih memahami makna dari suatu

Bias dan MSE penaksir rasio regresi linear untuk rata-rata populasi pada sampling acak sederhana tanpa pengembalian dijelaskan untuk setiap penaksir berikut... JOM