BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Terjadinya bencana alam di suatu wilayah merupakan hal yang tidak dapat
dihindarkan. Hal ini disebabkan karena bencana alam merupakan suatu gejala
alam yang tidak dapat diketahui secara pasti kapan akan terjadinya. Bencana alam
biasanya disebabkan oleh beberapa faktor seperti kondisi geografis, geologis,
hidrologis serta demografis. Dampak dari terjadinya suatu bencana akan
merugikan bagi seluruh umat manusia serta makhluk hidup lainnya. Kehilangan
akibat bencana akan semakin meningkat dan menimbulkan
konsekuensi-konsekuensi berat bagi kebertahanan hidup, martabat, dan penghidupan individu,
terutama bagi kaum miskin, dan bagi kemajuan pembangunan yang dicapai
dengan susah payah.
Besarnya resiko yang diakibatkan oleh bencana menjadi perhatian bagi
negara-negara dunia termasuk Indonesia dalam upaya pengurangan resiko
bencana. Sebagai wujud dari kepedulian negara-negara di dunia tersebut maka
pada 18-22 Januari 2005 diselenggarakan Konferensi Sedunia tentang Peredaman
Bencana (World Conference on Disaster Reduction) di Kobe, Hyogo, Jepang yang
kemudian mengadopsi Kerangka Kerja Aksi 2005-2015: Membangun Ketahanan
Bangsa dan Komunitas terhadap Bencana. Konferensi tersebut memberikan suatu
sistematis dalam meredam kerentanan dan resiko terhadap bahaya.
Indonesia juga merupakan salah satu negara di dunia yang rawan terhadap
bencana. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
menyatakan bahwa selama tahun 2014 tercatat 1567 kejadian bencana di
Indonesia. Kejadian bencana ini mengakibatkan korban meninggal dan hilang
sebanyak 568 jiwa, korban menderita dan mengungsi 2.680.133 jiwa serta
kerusakan pemukiman sebanyak 51.577 unit.Hal ini tentu saja menjadi
permasalahan yang serius, apalagi mengingat negara Indonesia merupakan negara
yang masih berkembang sehingga pembangunan menjadi terhambat akibat
tingginya permasalahan yang ditimbulkan oleh kejadian-kejadian bencana
tersebut
Salah satu contoh bencana yang sering terjadi di Indonesia yaitu letusan
gunung berapi. Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik
yang dikenal dengan istilah erupsi. Bencana erupsi gunung api tercatat sebanyak 5
kali sepanjang tahun 2014. Diantaranya yaitu erupsi Gunung Sinabung (13-9-2013
hingga sekarang), Gunung Kelud (13-2-2014), Gunung Sungeangapi (30-5-2014),
Gunung Slamet (13-9-2014), dan Gunung Gamalama (18-12-2014). Total dari
bencana erupsi gunung api tersebut adalah 24 orang tewas, 128.167 jiwa
mengungsi, dan 17.833 rumah rusak. Erupsi Gunung Kelud adalah yang paling
fenomenal dimana material dilontarkan ke angkasa hingga 7 km.
)
Letusan atau erupsi gunung api yang berbahaya akan berpengaruh secara
Bahaya langsungnya adalah bahaya yang diakibatkan oleh material yang keluar
dari letusan gunung api seperti aliran lava, batu kerikil, awan panas, lontaran batu
pijar dan hujan panas yang jika terkena akan mematikan kehidupan di sekitarnya
termasuk penduduk. Bahaya tidak langsungnya adalah aliran lahar atau banjir
lahar akibat bertumpuknya materi vulkanik di bagian lereng.
Salah satu gunung api aktif yang terdapat di Sumatera Utara yaitu Gunung
Sinabung yang sampai sekarang ini masih sering terjadi erupsi dan meluncurkan
awan panas. Gunung Sinabung yang terletak di Kabupaten Karo menggeliat
dengan letusan yang memiliki skala berbeda. Sejak 7 April 2010 Gunung
Sinabung sudah mulai menunjukkan aktivitasnya dengan semburan-semburan abu
vulkanik dalam skala yang kecil dan sampai kepada puncak letusannya pada 27
Agustus 2010. Berselang tiga tahun kemudian Gunung Sinabung semakin sering
lagi menunjukkan aktivitas vulkaniknya dengan mengeluarkan aliran lava, awan
panas, dan sebagainya. Bahkan baru-baru ini seperti yang dikutip dalam viva
news dimana pada hari Kamis 5 Maret 2015 tepatnya pukul 08.20 Gunung
Sinabung meletus dengan tinggi kolom abu letusan mencapai 2 hingga 2,5 km
dari puncak gunung. Saat meletus, dari pusat letusan juga meluncur awan panas
dengan jarak luncur mencapai 3,5 km dengan arah gerak luncuran ke selatan
Gunung Sinabung.
Letusan Gunung Sinabung telah menyebabkan kerugian besar bagi
masyarakat di Kabupaten Karo. Sebelumnya Gunung Sinabung menyebabkan
2443 jiwa (795 KK) mengungsi di 7 titik dan sebanyak 1.212 jiwa (370 KK)
harus direlokasi karena tempat tinggal semula sudah tidak memungkinkan lagi
warga yang berada dekat dengan Gunung Sinabung juga tidak dapat lagi dijadikan
sebagai tempat mata pencaharian. Dari total luas 12.399,16 Ha lahan pertanian
yang rusak menyebabkan kerugian yang dicapai sebesar Rp 898.893.186.541,34.
Hal ini merupakan kerugian yang cukup besar bagi masyarakat Karo.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan suatu kebijakan dalam hal
penanggulangan bencana yaitu Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Melalui undang-undang tersebut maka lembaga dan
sistem penanggulangan bencana telah mendapatkan posisi yang lebih kuat
sehingga diharapkan dapat berfungsi lebih efektif dalam melaksanakan berbagai
tahap penanggulangan bencana. Dalam undang-undang tersebut, kegiatan
koordinasi merupakan salah satu fungsi unsur pelaksana penanggulangan
bencana. Unsur pelaksana melaksanakan fungsi komando dan sebagai pelaksana
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Pada pasal 5 dari undang-undang tentang Penanggulangan Bencana di atas
menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Melihat lembaga teknis daerah
Kabupaten Karo yang sudah gemuk, pembentukan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Kabupaten Karo menjadi terhambat. Padahal pada pasal 18 dari
undang-undang tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa pemerintah
daerah wajib membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah pada tingkat
provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Namun yang terjadi di Kabupaten Karo
terlaksana pada awal tahun 2014 silam. Hal ini tentu saja menjadikan penanganan
penanggulangan bencana Sinabung berjalan kurang terkoordinasi.
Salah satu pernyataan sebagai bukti dari kurangnya koordinasi
penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung yaitu oleh Syamsul Ma’arif
kepala BNPB menyorot kinerja tim penanggulangan bencana Gunung Sinabung
tidak tanggap dan kurang koordinasi. Masing-masing tim tidak tahu tugas dan
fungsi secara jelas dan berjalan sendiri-sendiri sehingga hasil yang dicapai tidak
maksimal. Ujung-ujungnya masyarakat korban erupsi Sinabunglah yang
memperoleh dampak negatifnya seperti keterlambatan pengadaan logistik pangan,
pengadaan air bersih dan MCK serta kebutuhan lainnya.
Koordinasi yang ideal dalam hal penanggulangan bencana adalah
koordinasi yang mampu menjalin kerja sama dan komunikasi yang baik antara
seluruh unit organisasi baik secara internal maupun secara eksternal sehingga
masing-masing unit organisasi mampu melaksanakan fungsi dan tugasnya
masing-masing guna mencapai efektivitasnya pelaksanan penanggulangan
bencana. Koordinasi sangat penting dalam penanggulangan bencana karena dalam
pelaksanaan penanggulangan bencana, satu unit organisasi tidak akan mampu
berjalan sendiri tanpa terkait dengan unit-unit organisasi lainnya.
Untuk menanggulangi bencana Gunung Sinabung serta mencegah
jatuhnya korban pasca erupsi, perlu dilakukan berbagai upaya dari semua sektor.
Upaya-upaya tersebut dilaksanakan oleh pemerintah dan juga non pemerintah.
Upaya yang bertujuan memberikan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat
berjalan sendiri tanpa ada ikatan atau keterkaitan satu dengan yang lainnya. Oleh
karena itu semua upaya yang dilakukan harus dikoordinasikan agar berjalan
sinergi dan berdampak maksimal bagi korban bencana. Penanggulangan bencana
erupsi Gunung Sinabung dilaksanakan oleh beberapa instansi dalam Pemerintahan
Daerah Kabupaten Karo, diantaranya BPBD Kabupaten Karo, beberapa instansi
dinas terkait seperti Dinas Kesehatan Kabupaten Karo, Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja Kabupaten Karo, Dinas Koperasi, Industri dan Perdagangan Kabupaten
Karo, Dinas Pendidikan Kabupaten Karo, dan dinas-dinas atau badan yang lain,
TNI/Polri Kabupaten Karo, pihak swasta dan lain-lain. Oleh karena itu diperlukan
sekali kesatuan masing-masing sektor dalam upaya penanggulangan bencana
tersebut agar tidak terjadi masalah-masalah yang dapat menghambat percepatan
penanganan bencana.
Namun yang terjadi pada masa pasca bencana sekarang ini sepertinya
terjadi kesenjangan-kesenjangan antar stakeholders yang berkepentingan sehingga
yang terjadi adalah keterlambatan penanganan bencana. Masing-masing
stakeholders sepertinya hanya saling menuduh ketidaksiagaan stakeholders yang
lain dalam menangani bencana erupsi Gunung Sinabung. Salah satu contohnya
yaitu mengenai pelaksanaan relokasi pengungsi Sinabung yang dianggap lamban
tahap pelaksanaannya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Wakil Ketua
DPRD Karo, Ferianta Purba, SE bahwa persoalan relokasi pengungsi Sinabung
pada dasarnya tidak akan dapat diselesaikan sendiri oleh BPBD, butuh
keterlibatan banyak pihak, termasuk DPRD Karo. Namun, yang dilihat sekarang
ini adalah sama sekali tidak pernah ada komunikasi yang kontinu. Padahal
lebih luas lagi penanganan bencana daerah
27 Maret 2015)
Sugandha (1991) menyatakan bahwa koordinasi sangat penting
dilaksanakan untuk menghindari kecenderungan pemisahan diri dari unit-unit
yang dibentuk sebagai akibat adanya spesialisasi fungsi (pembagian tugas menjadi
fungsi-fungsi) di dalam organisasi. Hal ini senada dengan yang tercantum dalam
UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana bahwa BPBD dalam
melaksanakan upaya penanggulangan bencana harus terkoordinasi, terencana dan
terpadu baik secara internal maupun eksternal. Melihat bunyi undang-undang
tersebut maka pelaksanaan upaya penanggulangan bencana hendak dilaksanakan
oleh berbagai sektor yang saling terkait satu dengan yang lain. Permasalahannya
adalah bagaimana BPBD Kabupaten Karo mampu melaksanakan fungsi
koordinasinya secara internal dan juga dengan instansi lain yang terkait dalam
upaya penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung. Apalagi melihat usia
pembentukan BPBD Kabupaten Karo yang masih cukup baru yaitu kurang lebih
satu tahun.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk melihat
sejauh mana koordinasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Kabupaten Karo dalam penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung.
I.2. Fokus Masalah
Dilihat dari latar belakang di atas, maka yang menjadi fokus masalah
(BPBD) Kabupaten Karo dalam upaya penanggulangan bencana erupsi Gunung
Sinabung dengan instansi-instansi terkait lain yang tergabung dalam satuan tugas
penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung. Selain itu peneliti juga tertarik
untuk mengetahui apakah BPBD Kabupaten Karo dalam melakukan koordinasi
penanggulangan bencana tersebut mengalami hambatan serta bagaimana strategi
BPBD Kabupaten Karo dalam mengatasi hambatan dalam koordinasi tersebut
pada saat bencana erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo.
Perlu diketahui bahwa fokus peneliti mengenai koordinasi yang
dilaksanakan oleh BPBD Kabupaten Karo yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah koordinasi yang dilakukan sejak BPBD Kabupaten Karo ditetapkan
sebagai koordinator dan pelaksana dalam penanggulangan bencana erupsi Gunung
Sinabung yaitu pada tanggal 24 Mei 2014.
I.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan
masalah penelitian ini adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Koordinasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Karo dalam Penanggulangan Bencana Erupsi Gunung Sinabung?”.
Untuk menjawab rumusan masalah utama diatas maka dirumuskan
rumusan masalah sebagai berikut yaitu :
1. Apakah yang menjadi hambatan dalam koordinasi pada tahapan upaya
internal maupun organisasi eksternal yang berkaitan dalam upaya
penaggulangan bencana?
2. Bagaimana strategi BPBD Kabupaten Karo dalam mengatasi hambatan
yang terjadi pada saat dilaksanakannya koordinasi dalam upaya
penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung?
I.4. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui koordinasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kabupaten Karo dalam Upaya Penanggulangan Bencana Erupsi
Gunung Sinabung.
2. Untuk mengetahui apakah yang menjadi hambatan dalam koordinasi pada
tahapan upaya penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung, baik
dalam organisasi internal maupun organisasi eksternal yang berkaitan
dalam upaya penaggulangan bencana.
3. Untuk mengetahui strategi BPBD Kabupaten Karo dalam mengatasi
hambatan pada saat dilaksanakannya koordinasi dalam upaya
penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung.
I.5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini
1. Secara akademis, penelitian ini merupakan salah satu syarat penyelesaian
program studi sarjana Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Secara praktis, sebagai masukan/sumbangan pemikiran bagi Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo dan pemerintahan daerah
Kabupaten Karo.
3. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan
penulis dan pembaca tentang Peranan Koordinasi Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Karo dalam Penanggulangan Bencana
Erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo.
I.6. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian nantinya akan dilaporkan dengan sistematika penulisan
sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari Latar Belakang Masalah, Fokus Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan
Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini memuat tentang teori-teori yang dipakai, seperti koordinasi
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan
penelitian, teknik pengumpulan data,dan teknik analisis data.
BAB IV TEMUAN PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang gambaran umum dari daerah
penelitian yang meliputi keadaan geografis, kependudukan, sosial,
karakteristik pemerintahan berupa sejarah singkat, visi dan misi,
tugas pokok, fungsi dan struktur organisasi serta hasil penelitian
yang diperoleh dari lapangan dan dokumentasi yang dianalisis.
BAB V ANALISA TEMUAN
Bab ini membahas tentang kajian dan analisa data-data yang
diperoleh dari lokasi penelitian.
BAB VI PENUTUP
Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian yang
dilakukan dan saran-saran yang dianggap perlu sebagai bahan