• Tidak ada hasil yang ditemukan

2011 Ubaya SIW SUKSESI INTERNAL BISNIS KELUARGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "2011 Ubaya SIW SUKSESI INTERNAL BISNIS KELUARGA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

SUKSESI INTERNAL BISNIS KELUARGA UNTUK

PENGUATAN EKONOMI NASIONAL

MENGHADAPI PERSAINGAN BEBAS...

Conference Paper · June 2011

CITATIONS

0

READS

440

1 author:

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Now, my project is Crowdfunding in Muslim countries and/or Islamic CrowdfundingView project

Human Resource in Family BusinessView project Sentot Imam Wahjono

Technical University of Malaysia Malacca

48PUBLICATIONS 11CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Sentot Imam Wahjono on 31 January 2016.

(2)

Timur, 11 Juni 2011, ISBN no: 978-602-99352-0-2, pp: 16-35.

16

SUKSESI INTERNAL BISNIS KELUARGA

UNTUK PENGUATAN EKONOMI NASIONAL

MENGHADAPI PERSAINGAN BEBAS AFTA-CHINA.

Sentot Imam Wahjono

Universitas Muhammadiyah Surabaya

totim27@yahoo.com

Abstrak

Masuknya Cina sejak Januari 2010 dalam Perdagangan Bebas Asean meresahkan kalangan produsen di Indonesia. Cina mempunyai keunggulan komparatif terhadap Indonesia diantaranya: suku bunga, harga listrik, produktifitas tenagakerja, biaya pelabuhan, dan upah buruh. Diperlukan upaya sistematis untuk penguatan ekonomi nasional dengan menambah jumlah wirausaha dengan menjaga terjadinya suksesi kepemimpinan yang berhasil di bisnis keluarga yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia. Diperlukan pola suksesi internal yang sesuai untuk budaya usaha di Indonesia. Pola tersebut meliputi 3 tahapan suksesi lengkap dengan tolok ukurnya. Tahapan tersebut adalah: inisiasi proses suksesi, proses suksesi, proses pasca suksesi. Dengan beberapa tolok ukur seperti: sosialisasi dini, budaya keluarga dan kehormatan mutual, prosedur konflik manajerial yang diterima, semua kandidat bergabung dengan sukarela, pengalaman internal dan eksternal sangat bernilai, dewan keluarga, legowo dan tidak menarik diri, diterima oleh stake holder, dan temukan peran yang cocok untuk generasi tua.

Kata-kata kunci: perdagangan bebas Asean, penguatan ekonomi nasional, bisnis keluarga, suksesi internal.

Abstract

The entry of China since January 2010 under the Asean Free Trade among producers in Indonesia unsettling. China has a comparative advantage of Indonesia include: interest rates, electricity prices, labor productivity, port costs, and wages labor. Systematic efforts

are needed to strengthen the national economy by increasing the number of

entrepreneurs with the maintaining of a successful leadership succession in family

business which is very large in Indonesia. Required internal succession pattern

corresponding to the business culture in Indonesia. Pattern includes 3 stages of succession complete with its criterion. Stages are: the initiation process of succession,

succession process, post-succession process. With some benchmarkssuch

as: early socialization, culture, family and mutual respect, conflict management

procedures received, all the candidates join the voluntary, internal and external

experience is very valuable, family councils, legowo and not withdrawn, accepted by

stakeholders, and find the appropriate role for the older generation.

(3)

Latar Belakang

Penguatan ekonomi nasional menghadapi tantangan baru sejak bergabungnya Cina dalam perdagangan bebas Asean atau Asean Free Trade Area atau AFTA mulai 1 Januari 2010. Masuknya Cina dalam perdagangan bebas Asean ini meresahkan kalangan produsen dalam negeri, karena bisa dipastikan semua produk Cina bebas masuk ke pasar Asean, termasuk Indonesia. Para produsen pesimistis produk mereka akan mampu bersaing dengan produk Cina yang harganya jauh lebih murah. Selain produk dari luar negeri, Indonesia juga dibanjiri oleh para pekerja atau tenaga profesional dari luar negeri. Berbagai perusahaan besar di Jakarta, banyak yang menggunakan pekerja asing termasuk Cina.

Selama ini daya saing industri domestik sangat lemah, karena beberapa faktor. Pertama, tingginya suku bunga komersial yang mencapai 14 %, padahal di Cina hanya 6 %. Kedua, krisis energi yang sampai kini masih berlangsung di Indonesia, berdampak langsung pada mahalnya harga listrik. Ketiga masih rendahnya produktifitas ketenagakerjaan yang ada, Badan Tenaga Kerja PBB-ILO mencatat bahwa produktifitas kerja Indonesia berada di peringkat ke-59 dunia, sedangkan Cina di posisi ke-31. Ke-empat, tingginya biaya pelabuhan di Indonesia dan masih menggunakan mata uang dollar Amerika, padahal di negara pesaing, dapat menggunakan mata uang setempat. Ke lima, rata-rata upah buruh di China USD 2.000 an per tahun sedang di Indonesia USD 1.000 an per tahun, ini berarti rata-rata upah buruh di China dua kali rata-rata upah buruh di Indonesia.

Dibalik kelemahan komparatif Indonesia-Cina tersebut, Indonesia masih punya peluang untuk bersaing dengan Cina. Kinerja perdagangan Indonesia dengan 10 negara Asean selama ini menunjukkan, Indonesia masih memiliki kekuatan daya saing. Karena itu masuknya Cina dalam perdagangan bebas ini, harus dilihat dari dua sisi, ancaman juga sebagai peluang. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009 mencapai 4,4 %, yang merupakan peringkat ketiga dunia, dan meningkat lagi menjadi 6,1% di tahun 2010 (Badan Pusat Statistik, 2011). Demikian juga dengan inflasi, di mana pada Desember 2009 dapat dikendalikan pada angka 2,78% yang merupakan inflasi terendah dalam 10 tahun terakhir, meskipun angka itu merambat sampai pada angka 6,96% pada Desember 2010. Bursa Efek Indonesia, saat ini menjadi yang terbaik di antara negara-negara yang tergabung dalam G-20, bahkan yang terbaik se Asia Tengara, dan nomor dua se Asia Pasifik.

Seperti kita ketahui bersama kesepakatan AC-FTA ini mulai dirundingkan pada tahun 2003, pengesahan kesepakatan AC-FTA untuk perdagangan barang 29 November 2004 dan diamandemen 8 Desember 2006, pengesahan kesepakatan AC-FTA untuk perdagangan jasa 14 Januari 2007 serta pengesahan kesepakatan AC-FTA untuk investasi 15 Oktober 2009. Tujuan AC-FTA sendiri adalah penguatan dan peningkatan kerjasama ekonomi, perdagangan dan investasi, mendorong liberalisasi dan promosi pertukaran barang dan jasa serta menciptakan iklim investasi yang transparan dan bebas serta kondusif.

Agar kita dapat mengejar ketertinggalan secara komparatif dengan Cina maka diperlukan bukan hanya pembiakan wirausaha dengan jumlah yang cukup banyak namun pada saat yang sama diperlukan pemeliharaan wirausaha yang telah ada dan mempertahankannya dengan menjaga terjadinya suksesi kepemimpinan di perusahaan-perusahaan keluarga yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia.

Entrepreneurship sebagai Sokoguru Perekonomian Nasional

(4)

Ciputra mendukung pendapat itu, sehingga Indonesia memerlukan sekitar 4,4 juta jiwa wiraswastawan agar perekonomian negara menjadi lebih baik, kuat dan stabil (Warta Ekonomi, 03/XXI/2009: hal. 50).

Entrepreneurship atau kewiraswastaan mengemuka sejak tokoh ekonomi neo klasik,

Joseph Schumpeter (1934) menjabarkan perlunya suatu negara ditopang oleh banyak

wirausaha yang mempunyai sikap dan sifat sebagai seorang inovator yang

mengimplementasikan perubahan perubahan di dalam pasar melalui kombinasi-kombinasi baru. Menyusul kemudian Miami University of Ohio mendirikan Entrepreneurship Center untuk menumbuhkan dan menggalakkan jiwa wirausaha untuk penduduk muda Amerika Serikat. Proses penguatan kewirausahaan di Amerika Serikat ini ternyata membawa dampak pada penguatan ekonomi, sehingga pada tahun 2006 Kongres Amerika Serikat mengeluarkan resolusi nomor 699 yang menetapkan perlunya pendidikan entrepreneurship bagi generasi muda. Langkah ini tidaklah sia-sia karena pada tahun 2007 jumlah wirausaha di Amerika Serikat telah mencapai sekitar 34 juta orang atau 11,5% populasi Amerika Serikat.

Entrepreneurship adalah soal mindset, bukan soal modal atau uang. Cerita sukses

Larry Page dan Sergey Brin dalam mendirikan Google adalah jawaban lugas tentang mindset

tersebut. Belum lagi cerita tentang Bill Gates yang mendirikan dan mengawal Microsoft sampai menjadi raksasa bisnis dunia saat ini (Warta Ekonomi, 03/XXI/2009: hal. 51). Bill Gates telah menjadikan merek Microsoft sebagai best brand global terbesar ketiga dunia dengan nilai USD 56,647 juta (Swa, no. 15 Juli 2010, hal. 84). Sikap mental yang berani mengambil risiko dan berusaha menjadi inovator secara terus menerus menjadikan seorang wirausahawan senantiasa berada di depan untuk menjawab tantangan-tantangan bisnis dan ekonomi. Oleh karena itu entrepreneur jangan semata-mata dihubungkan dengan pedagang. Wirausahawan tidak sekedar pedagang yang berani mengambil risiko untuk mendapatkan keuntungan, tetapi pedagang plus plus, karena wirausahawan harus juga seorang inovator, bervisi dan kreatif dalam mencapai target.

Begitu penting dan vitalnya entrepreneurship bagi perekonomian suatu negara sehingga masalah kewirausahaan ini menempati posisi strategis yang harus mendapatkan perhatian utama. Terdapat 2 konsep dasar untuk menambah jumlah wirausahawan dalam suatu negara, yaitu: pertama melalui pendidikan berjenjang dan berkesimbangunan, yang kedua adalah dengan menjaga keberlanjutan usaha keluarga wiraswastawan.

Menjaga Keberlanjutan Usaha Keluarga Wiraswastawan.

Makalah ini tidak membahas konsep menambah jumlah wirausawan melalui pendidikan berjenjang dan berkesinambungan, namun lebih menitikberatkan pada bagaimana cara menjaga keberlanjutan usaha keluarga wiraswastawan. Hal ini dikarenakan pendidikan di Indonesia kurang kondusif dengan entrepreneurship, buktinya sebagian besar rakyat Indonesia masih berpandangan bahwa ijazah adalah satu-satunya bekal untuk hidup, oleh karenanya banyak lulusan sekolah yang berlomba-lomba mencari pekerjaan bukan menciptakan pekerjaan (Jawapos, 11 September 2007). Berbeda dengan Indonesia, warga Amerika Serikat, Eropa dan Asia Timur termasuk Jepang, Cina, Korea, Taiwan dan Singapura mempunyai jiwa wiraswasta yang cukup tinggi. Bermula dari pedagang, sekarang banyak warga negara-negara Asia Timur yang telah berbisnis dengan budaya entrepreneurship yang tinggi. Sehingga sekarang mereka bukan lagi sebagai pedagang tetapi telah berangsur menjadi industriawan.

(5)

(Jawapos, 28 Agustus 2010). Pabrikan komputer Acer dari Taiwan dalam dua tahun terakhir telah menjadi produsen Laptop nomer satu di dunia bahkan mengalahkan Dell, HP-Compaq dan Toshiba (Kompas, 15 Juli 2010).

Konsep dasar ke-dua untuk menambah jumlah wirausahawan dalam suatu negara adalah dengan menjaga keberlanjutan usaha keluarga wiraswastawan, sayangnya banyak bisnis keluarga tidak berhasil dalam hal suksesi, bahkan sedikit sekali yang mampu melewati 3 generasi (Widyasmoro, 2008). Kondisi umum yang demikian juga terjadi di dalam masyarakat Indonesia.

Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Family Firm Institute untuk the

Family Business Review (Hall, 2008), diketahui bahwa hanya 30% dari keseluruhan

perusahaan yang dimiliki oleh keluarga bisa bertahan pada masa transisi antar generasi pada generasi ke-dua, sementara itu hanya 12% mampu bertahan pada generasi ke-tiga dan hanya 3% saja yang mampu berkembang sampai pada generasi ke-empat dan seterusnya. Hal ini

yang membuat bertumbuh suburnya idiom dalam perusahaan keluarga bahwa: “Generasi Pertama Membangun, Generasi Kedua Menikmati, dan Generasi Ketiga Menghabisi” (Swa sembada, No. 10/XIX/13-27 Mei 2003).

Pentingnya Perusahaan Keluarga

Beberapa penelitian tentang perusahaan keluarga telah mencatatkan peran yang sangat signifikan dari perusahaan keluarga atas pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Perusahaan keluarga telah memberi kontribusi yang sangat besar bagi kegiatan ekonomi. Berbeda dengan perusahaan-perusahaan bukan keluarga yang mengalami pasang surut pertumbuhan, perusahaan keluarga justru menunjukkan kinerja yang stabil dan cenderung meningkat. Sebagai dampak dari itu, perusahaan keluarga mampu memberi sumbangan antara 45% sampai 70% dari Produk Domestik Kotor (GDP) dan banyak menyerap tenaga kerja di banyak Negara (Glassop dan Waddell, 2005).

Meskipun terdapat perbedaan antar Negara, persentase sumbangan perusahaan keluarga di suatu Negara secara rata-rata adalah di atas 60%. Jadi, secara umum perusahaan keluarga menempati posisi utama khususnya di Negara-negara yang menganut system ekonomi pasar. Dengan kata lain, di Negara-negara dengan system pasar, keberadaan perusahaan keluarga sangat menonjol dan mempunyai derajat keberlanjutan (sustainability) yang tinggi.

Berdasarkan data dari International Family Enterprise Research Academy (2003), perusahaan keluarga menempati posisi penting dalam perekonomian suatu Negara-negara di dunia. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, dimana diperkirakan 96 persen dari keseluruhan perusahaan adalah perusahaan keluarga. Sedangkan di Italy jumlah itu sedikit lebih kecil yaitu 93%. Sementara itu di Chili, 75% dari keseluruhan perusahaan dapat digolongkan sebagai perusahaan keluarga, di Belgia sebanyak 70%, di Spanyol sebanyak 75%, sedangkan di Australia bagian perusahaan keluarga adalah 75% dari keseluruhan unit bisnisnya.

Selain itu, perusahaan keluarga memberikan sumbangan yang besar terhadap pembentukan Produk Nasional Kotor (GNP). Di Amerika Serikat 40% dari GNPnya disumbangkan oleh perusahaan keluarga. Perusahaan keluarga di Brazil dan Portugal menyumbangkan 65% GNP, sedangkan perusahaan keluarga di Australia menyumbangkan 50% GNP. Di Indonesia, sumbangan perusahaan keluarga terhadap pembentukan GNP adalah sebesar 80% (Casillas, Acedo and Moreno, 2007: 22-24).

(6)

Definisi dan Karakteristik Perusahaan Keluarga

Tracey (2001: 3-4) menyatakan bahwa “A business is a family business if its owners think it is

and want it to be”. Pernyataan ini terlihat sangat sederhana namun mengandung arti yang

sangat dalam. Dikatakan bahwa suatu perusahaan tergolong sebagai perusahaan keluarga manakala pemiliknya berfikir dan menginginkan perusahaannya sebagai perusahaan keluarga. Hal ini dapat terlihat dalam budaya bisnis di beberapa Negara. Di Australia kebanyakan perusahaan dimiliki oleh keluarga, tetapi hanya sedikit yang betul-betul dikelola oleh keluarga primer.

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak definisi perusahaan keluarga disampaikan, kebanyakan dari usulan definisi itu berfokus pada beberapa faktor yang melingkupi perusahaan keluarga seperti kepemilikan, kendali, manajemen dan keinginan untuk melestarikan suksesi antar generasi atau masalah-masalah budaya. Keterlibatan keluarga dalam perusahaan lah yang membuat perusahaan keluarga menjadi berbeda dibanding dengan perusahaan non keluarga (Miller dan Rice, 1967). Pendapat senada juga dikemukakan oleh Bernard (1975: 42) bahwa perusahaan keluarga dikendalikan oleh anggota keluarga tunggal khususnya dalam proses pengambilan keputusan bisnis yang penting.

Beberapa peneliti mengintepretasikan keterlibatan keluarga dalam hal kepemilikan dan manajemen (Handler, 1989). Sementara itu Churchill dan Hatten (1987) lebih cenderung menambahkan faktor keberadaan keluarga pada saat terjadinya suksesi yang berasal dari dalam anggota keluarga.

Ciri-ciri perusahaan keluarga pada umumnya adalah bahwa perusahaan keluarga: (1) dimiliki oleh kelompok keluarga tunggal yang dominan dengan jumlah kepemilikan saham lebih dari 50% (2) dirasakan sebagai perusahaan, (3) dikelola oleh orang-rang yang berasal dari keluarga pemilik mayoritas saham (Westhead, 1997). Sementara itu definisi keluarga sendiri belum ditarik garis tegas. Apakah yang dimaksud adalah keluarga kecil yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak, ataukah keluarga menengah yang terdiri dari dua (2) tingkat keluarga kecil dalam arti seluruh anggota keluarga kecil ditambah seluruh anggota keluarga suami dan istri, ataukah keluarga besar yang terdiri dari tiga (3) tingkat keluarga kecil dalam arti seluruh anggota kelaurga kecil ditambah seluruh anggota keluarga kecil suami dan istri dan ditambah seluruh anggota menengah ipar.

Tugiman (1995: 7) mengemukakan karakteristik perusahaan keluarga dalam konteks usaha kecil adalah (1) posisi kunci dipegang keluarga, (2) keuangan perusahaan cenderung berbaur dengan keuangan keluarga, (3) tidak adanya mekanisme pertanggung jawaban yang ketat, (4) motivasi kerja tinggi, (5) tidak adanya kekhususan dalam manajemen. Memang dengan karakteristik ini, perusahaan keluarga sangat lentur terhadap perubahan lingkungan. Hal inilah yang menjadi alasan utama sebuah perusahaan keluarga cepat beradaptasi dan menemukan bentuk bisnis yang cocok dan dengan segera dapat meraih peluang dan sekaligus dapat menampik kendala yang ada. Keluwesan dan kecepatan menyesuaikan dengan lingkungan yang berubah itu menyebabkan keberhasilan dan sekaligus kegagalan perusahaan keluarga. Seringkali keluwesan itu menyebabkan tumpang tindih tugas dan peran yang justru merupakan sumber konflik (Lansberg, 1999).

(7)

dengan karyawan yang lain apapapun jabatannya, sehingga menimbulkan komitmen yang lebih kuat.

Suksesi dalam Perusahaan Keluarga.

Hal yang krusial dalam perusahaan keluarga adalah pergantian pucuk pimpinan (suksesi). Banyak perusahaan yang tidak siap dengan pergantian kepemimpinan sehingga perusahaan tersebut harus terhenti di generasi pertama saja, seperti dalam kasus Surabaya Post, harian terkemuka yang terbit di Surabaya dengan cakupan wilayah edar seluruh Jawa Timur. Meskipun putra-putri pendiri (R. Abdul Azis dan istrinya) bersekolah tinggi di Amerika Serikat dengan gelar doktor ekonomi, tetapi tidak bisa menyelematkan perusahaan sehingga harus di pailitkan oleh Pengadilan Niaga di tahun 2002.

Berbeda dengan Surabaya Post, Thayeb Mohammad Gobel, pendiri PT Gobel Dharma Nusantara dahulu PT. National Gobel, menyiapkan Rachmat Gobel, anak ke-lima dan anak lelaki tertua. Gobel tua telah menyiapkan Rachmat sejak usia 8 tahun dengan sesering mungkin dilibatkan dalam suasana kantor dan pabrik di kawasan Cawang, Jakarta. Selain itu Rachmat juga disekolahkan bisnis di Jepang (Chuo University) juga menjalani kerja magang di perusahaan keluarganya sendiri. Selepas dari kuliahnya di Jepang, Rachmat harus menjalani masa 6 tahun dengan bekerja mulai dari bawah sampai akhirnya memegang tampuk Direktur pada tahun 1990. Keputusan menyekolahkan Rachmat ke Jepang adalah visi cemerlang Gobel tua. Belakangan muncul banyak perusahaan baru hasil patungan dengan perusahaan raksasa elektonik Jepang, Matsushita (tabloit bisnis Kontan, edisi 42/XI, 16 Juli 2007).

Rhenald Kasali (Suara Pembaharuan, 27 November 2008) juga menguatkan pendapat Gobel. Seperti yang terjadi dalam proses pergantian kepemimpinan perusahaan yang sukses di PT Mustika Ratu, Tbk, dari BRA Mooryati Soedibyo ke anaknya Putri Koeswisnu Wardani juga didahului dengan mekanisme pemagangan yang sungguh-sungguh. Proses pemagangan itu dijalaninya selama 5 tahun, dengan melibatkan pada pekerjaan yang berbeda-beda. Mulai dari bekerja di bagian pemasaran, kemudian pindah ke bagian keuangan, dengan perlakuan yang sama dengan karyawan biasa yang lain. Untuk menghindari terjadi tumpang tindih peran, dan adanya kemungkinan “gangguan” dari anggota keluarga Putri yang lain, maka sang

Ibu memberikan “mainan lain” kepada anak-anak yang tak kebagian tongkat suksesi. Ada yang mengelola spa, untuk perawatan kecantikan tubuh, juga ada yang mengelola kontruksi yang sesuai dengan bakat dan pendidikan anak. Sedang anak yang lain yang tidak kebagian jabatan eksekutif tetap dilibatkan dalam menjaga bendera perusahaan dengan menempatkannya dalam jabatan komisaris.

Bagi pendiri perusahaan keluarga, keberhasilan suksesi adalah ujian akhir kejayaannya (Tracey, 2001: 115-116). Adalah sulit untuk memahami mengapa suksesi seringkali merupakan isu yang sensitif, khususnya bagi perusahaan keluarga generasi pertama. Orang yang mendirikan dan membesarkan, merasa sedih untuk mati, dan kegagalan membuat rencana suksesi merupakan hal yang egois dan tolol. Adalah hal yang tak bisa diacuhkan apabila karena penanganan suksesi yang buruk tersebut membuat pesaing mendapat keuntungan yang signifikan. Menurut Alan Carsrud, konsultan perusahaan keluarga dari Amerika dalam Brännback, dkk (2006) menyarankan beberapa hal untuk rencana suksesi yang berhasil (golden rules for succession-planning) yaitu:

1. Susun harapan tentang tugas dan peran secara jernih.

2. Gaji berbasis kinerja actual, bukan berdasar kebutuhan personal.

3. Atur untuk supervisi, pemantauan, dan saran bagi mentor yang bukan keluarga.

4. Sediakan tanggung jawab yang sesungguhnya atas kinerja yang sesungguhnya.

(8)

6. Sediakan prosedur tertulis bagi anggota keluarga yang ingin meninggalkan perusahaan keluarga.

Beberapa telaah atas pustaka tentang perusahaan keluarga, seperti yang dikemukakan oleh Neubauer and Lank (1998: 133) yang menyarankan konklusi sebagai berikut:

1) Suksesi CEO sejauh ini merupakan isu yang paling sering dibicarakan.

2) Faktor kritis yang menentukan apakah suatu perusahaan keluarga dapat bertahan adalah kemampuan mengelola proses suksesi.

Sementara itu Moores and Barrett (2002: 6) menyatakan bahwa “sustainability of

Family Business depends on success of succession”. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa

masa depan perusahaan keluarga tergantung pada keberhasilan suksesi. Sehingga tidak salah manakala Moores and Barrett (2002) mendefinisikan suksesi adalah peralihan kepemilikan perusahaan keluarga kepada suksesor dari pemilik sebelumnya. Perusahaan keluarga seringkali mempunyai masalah dalam pengelolaan suksesi ketika pendiri bisnis atau generasi pengelola saat ini telah begitu lama mengelola perusahaan keluarganya dan mendekati masa pensiun. Jika generasi sesudahnya mengambil alih manajemen, ada kemungkinan terdapat kesenjangan antara kepemilikan dengan kemampuan mengendalikan bisnis yang memerlukan ketrampilan dan kerja keras dalam memelihara dan mempertanggung jawabkan perusahaan keluarganya. Disisi lain, generasi tua sulit untuk menerima kenyataan bahwa ketuaannya dan dominansi patriarchal sudah tidak bisa diterima atau tidak sesuai lagi.

Ketika pengelola dan pemilik awal pensiun, terdapat dua isu terpisah, yaitu: 1. Pensiun dari menjalankan bisnis atau

2. Pensiun sebagai pemilik dan pengendali utama.

Yang kedua seringkali seakan-akan berjalan dengan baik setelah kejadian yang pertama terjadi. Beberapa hal yang terjadi seperti permohonan saran dari generasi yang lebih muda adalah hal yang menyenangkan. Hal ini menyadarkan generasi tua bahwa roda bisnis sekarang telah beralih ke tangan generasi yang lebih muda. Meskipun demikian, selama kepemilikan masih berada di tangan generasi yang lebih tua, perasaan gundah dari generasi tua bisa diminimalisir. Perasaan inilah yang membuat banyak orang merasa nyaman untuk mencoba menjalankan bisnis meskipun mereka tidak memiliki kendali mutlak. Merujuk pada permasalahan kepemilikan dan pengendalian, Connolly and Jay, (1996: 177) merekomendasikan sejumlah 30% dari kepemilikan yang dipindahkan kepada generasi yang lebih muda agar generasi yang lebih muda bersemangat dalam mengelola dan memajukan perusahaan keluarga namun bagai generasi yang lebih tua merasa aman dan tanpa rasa khawatir atas kelajutan bisnisnya di perusahaan keluarga.

Dalam hubungannya dengan suksesi, Craight (2003) dalam studinya menemukan beberapa hal, yaitu:

(a) Generasi pendiri mempunyai derajat individualitas dan kepercayaan (self-belief) yang lebih tinggi dibanding generasi kedua atau ketiga dari perusahaan keluarga. (b) Generasi pendiri berbeda secara signifikan dengan generasi ketiga (tapi tidak

dengan generasi kedua) pada masalah-masalah pelaksanaan (direction) dan perencanaan (planning).

(9)

Model Suksesi dalam Perusahaan Keluarga.

Terdapat beberapa rujukan model yang dapat digunakan oleh perusahaan keluarga di Indonesia dalam melakukan suksesi. Khususnya untuk perusahaan keluarga yang tergolong pada skala kecil dan menengah. Contoh model itu adalah: Mooryati model, Lansberg model, Lombardi model, dan Gobel model. Dalam mengaplikasikan model suksesi terdapat beberapa hal yang perlu dijadikan pertimbangan, yaitu:

1. Perbedaan budaya Indonesian dan barat (American-European), 2. Perbedaan etika kerja,

3. Perbedaan situasi dan peluang kerja antar Negara, 4. Perbedaan tanggungan keluarga (family bond), 5. Perbedaan tata nilai dalam memandang konflik, 6. Perbedaan antar generasi (generational gap), 7. Perbedaan perhatian dalam berkonflik.

Oleh karenya, diperlukan model suksesi yang sesuai dengan kondisi perusahaan keluarga di Indonesia, khususnya untuk kelas ekonomi kecil dan menengah. Model suksesi juga diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti:

1. Kapan waktu yang paling tepat dalam melakukan suksesi, 2. Bagaimana proses dan tahapan suksesi berlangsung, 3. Apa yang perlu disiapkan,

4. Siapa yang harus berpartisipasi saat perencanaan suksesi berlangsung dan diimplementasikan,

5. Bagaimana komposisi saham diantara anggota keluarga.

Model Mooryati, seperti yang ditulis dalam disertasi Soedibyo (2007), suksesi direncanakan dengan sangat mendalam dan memakan waktu yang lama. Pengumuman

(announcement) tentang siapa yang ditetapkan sebagai suksesor baru dilakukan 25 tahun

setelah proses suksesi berlangsung. Pengumuman itu baru dilakukan pada hari Rabu 12 Januari 2011. BRA Mooryati Soedibyo menyerahkan tampuk pimpinan perusahaannya, PT Mustika Ratu, kepada anak keduanya, Putri Kuswisnu Wardani. (Jawa Pos, 14 Januari 2011, hal. 1).

Hal ini mengindikasikan beberapa hal, diantaranya adalah bahwa: Penyerahan tampuk kepemimpinan (suksesi) perusahaan keluarga menjadi berita utama karena disajikan di halaman 1 media cetak dengan oplah terbesar di Indonesia di luar Jakarta, Suksesi (penyerahan tampuk kepemimpinan) terjadi di perusahaan keluarga di Indonesia dengan melalui proses pengumuman (announcement), Penyerahan tampuk kepemimpinan (suksesi) perusahaan keluarga merupakan proses yang terkadang memakan waktu lama, dalam hal ini 25 tahun, Penerima tampuk kepemimpinan (suksesor) adalah seorang perempuan yaitu Putri Kuswisnu Wardani bukan lelaki.

Proses suksesi di PT Mustika Ratu ini terjadi di dalam perusahaan keluarga yang kental dengan budaya Jawa, pemiliknya BRA Mooryati Soedibyo, adalah bangsawan dari keraton Surakarta. menemukan dalam penelitiannya, bahwa terdapat lima fakta penting dalam proses suksesi di perusahaan keluarga, yaitu:

1. Persiapan suksesi adalah sangat penting, itulah sebabnya persiapan suksesi harus dikerjakan secara bersama-sama antara generasi tua dan generasi penerus. Keberlanjutan perusahaan keluarga tergantung pada kualitas persiapannya.

2. Generasi muda yang kompeten adalah prasyarat untuk memelihara dan

(10)

3. Mutu suksesi ditentukan oleh variable yang dapat mengkomunikasikan konsep dan filosofi kepada generasi muda.

4. Penanaman nilai-nilai keluarga adalah sangat penting untuk dilakukan bersama. Untuk menghindari konflik, diperlukan pernyataan yang jelas atas hak dan kewajiban masing-masing anggota keluarga sejak dini. Konsep unit entity (pembedaan antara milik sendiri dan milik perusahaan) harus betul-betul dipahami dengan jelas diantara anggota keluarga.

5. Faktor lain yang menentukan keberhasilan suksesi adalah semangat, pamrih

(intention), kejujuran, dan honesty, and ketulusan (sincerity) dalam melakukan

bisnis. Konflik antara generasi tua dan muda berasal dari perlakuan yang berbeda dalam memandang bagaimana melanjutkan perusahaan keluarga.

Model Lansberg, suksesi berjalan dengan perencanaan yang matang dengan melibatkan konsultan perusahaan keluarga. Proses suksesi berjalan dalam tempo yang panjang (15 tahun) bahkan saat anak-anak Lansberg senior masih belum dewasa. Keterlibatan konsultan sangat intens, bukan hanya pada penyiapan anak-anak dalm menjalankan bisnis tetapi juga pada perencanaan strategi keuangan setelah suksesi. Namun ternyata pada saat suksesi itu diperlukan karena Lansberg senior meninggal dunia, anak pertama Lansberg, Tony, memilih untuk tidak menerima tongkat estafet perusahaan keluarga. (Lansberg, 1999). Berbeda pada model suksesi perusahaan keluarga Lansberg dan Mooryati, dimana suksesi direncanakan dalam waktu yang panjang, pada perusahaan keluarga Lombardi (Lansberg, 1999) suksesi berjalan secara spontan. Ketika Paul Lombardi Senior mengalami kecelakaan dan diputuskan untuk opname di rumah sakit selama 2 tahun. Setelah masa pemulihan selama 1 tahun kemudian, dia kembali ke kantornya, dia merasa heran bahwa perusahaan keluarganya masih berjalan dengan baik, bahkan bertambah besar, terkelola dengan baik dan berkelanjutan. Kemudian dia tahu bahwa anak tertuanya, Paul Jr, mengambil alih manajemen tapi tidak kepemilikan. Keberlanjutan perusahaan keluarga Lombardi ini disebabkan kapabilitas manajemen dari anaknya-anaknya yang dipimpin oleh Paul junior dan dukungan seluruh anggota keluarganya termasuk istri Paul senior, Anna, yang berfungsi sebagai pasak penjaga di poros roda (linchpin) dari budaya keluarga. Rangkuman dari model suksesi perusahaan keluarga Lombardi adalah sebagai berikut:

1. Suksesi adalah perjalanan (a journey), dengan pilihan tujuan yang ditentukan oleh gabungan mimpi keluarga (family’s share dreams).

2. Kunci untuk memahami dimana kekuasaan sesungguhnya adalah terletak pada kepemilikan (ownership) perusahaan keluarga.

3. Suksesi digerakkan sesuai dengan jam biologis (biological clock).

4. Pembagian kepemimpinan hanya dapat bekerja dibawah kondisi yang benar.

5. Tawaran perpindahan kepemimpinan untuk mereformulasi arah perusahaan dan memperbarui energy perusahaan.

6. Upaya untuk mengendalikan kepemilikan dan pengambilan keputusan secara ketat

merupakan benih yang dapat merusak keberlanjutan perusahaan keluarga.

Akhirnya, keberlanjutan perusahaan keluarga tergantung pada penanaman rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa melayani (sense of stewardship) pada setiap generasi.

(11)

energik yang masih menganggap dirinya kuat untuk memimpin perusahaan, meskipun mereka sadar bahwa usia sudah lanjut. Hal ini merupakan fenomena dimana para pendiri perusahaan keluarga masih betah bertahan mengurus bisnisnya meskipun usianya sudah sangat lanjut.

Para pendiri perusahaan yang sekarang sudah beranjak tua tersebut pada umumnya sudah menyadari bahwa perusahaan yang dulu dirintisnya dan sekarang sudah berkembang itu memerlukan pelanjut bisnis, tetapi mereka mengalami beberapa kesulitan. Kesulitan melakukan suksesi dalam perusahaan keluarga itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Di Lebanon dilaporkan, bahwa perusahaan keluarga yang telah melakukan suksesi adalah kurang dari 40% (Fahed-Sreih dan Djoundourian, 2006). Di Inggris, Westhead (2003) menemukan dari hasil penelitiannya, bahwa hanya 41% pemimpin perusahaan keluarga yang memikirkan perlunya suksesi.

Meskipun demikian, pada umumnya para pemimpin perusahaan keluarga itu sudah menyiapkan pengganti kepemimpinan perusahaan (suksesor) dari anak-anak mereka. Langkah yang lazim ditempuh adalah mendorong dan menyekolahkan anak-anak mereka untuk menimba ilmu di perguruan tinggi, universitas atau sekolah bisnis terkenal di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang.

Upaya mencarikan sekolah-sekolah bisnis di tempat-tempat terbaik di dunia adalah dalam rangka meningkatkan aspek kognitif. Penempaan aspek kognitif ini dengan harapan dapat meningkatkan pemahaman teori dan filosofi manajemen dan bisnis. Para pelanjut bisnis keluarga yang masih muda usia itu diharapkan dapat mengetahui dan memahami ragam teori manajemen dan bisnis mulai dari yang klasik sampai yang paling modern. Dengan lingkungan sekolah bisnis yang berstandar kualitas tinggi, para orangtuanya berharap, anak-anak mereka akan bertemu dengan banyak teman sebaya dengan kualitas yang tinggi pula, sehingga anak-anaknya dapat memperoleh teman diskusi yang sepadan. Apalagi ditunjang dengan ketersediaan dosen dan profesor dengan jam terbang praktek tinggi di beberapa perusahaan kelas dunia di berbagai belahan dunia akan dapat menambah derajat kebijaksanaan (wisdom) yang universal dan bervariatif. Pengembangan aspek kognitif di sekolah-sekolah bisnis internasional itu dapat meningkatkan selera (taste) keputusan yang bijak, sehingga hasil keputusan para calon suksesor itu nantinya tidak picik dan berspektrum luas.

Selain itu, para pendiri bisnis keluarga, biasanya juga berupaya mengembangkan aspek psikomotorik atau skill para calon suksesornya. Para calon pewaris bisnis keluarga itu sering diikutkan dalam berbagai pelatihan bisnis dan manajemen baik di dalam maupun di luar negeri. Para pendiri bisnis keluarga seringkali menasehati para calon suksesor nya untuk tidak malas menghadiri berbagai seminar, lokakarya maupun diskusi yang mengupas aneka studi kasus tentang keberhasilan atau kegagalan suatu perusahaan.

Untuk melengkapi aspek kognitif dan psikomotorik, para pendiri juga berusaha mengembangkan aspek afektif atau ketrampilan emosional anak-anaknya. Para calon suksesor itu pada umumnya disiapkan secara spartan. Selesai kuliah atau menempuh pendidikan bisnis, mereka tidak otomatis mendapat jabatan strategis di perusahaan orangtuanya. Mereka diarahkan untuk merintis jabatan dari bawah, seperti halnya karyawan lain yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan. Rahman Halim, putera pendiri pabrik rokok Gudang Garam di Kediri yang mempunyai 46.000 karyawan, mengawali kariernya di PT Gudang Garam sebagai pengawas bangunan pabrik, setelah sebelumnya selalu diajak bapaknya untuk mengawasi bangunan pabrik baru selepas sekolah. Baru setelah dianggap cukup, Rahman masuk dalam jajaran direksi (Kompas, 28 Juli 2008).

Bahkan, beberapa orang tua melarang anaknya langsung bekerja di perusahaannya. Sukamdani Sahid Gitosarjono, pemilik dan pendiri jaringan 18 hotel Sahid Group. Anak-anak Sahid yang berjumlah lima orang itu, selepas sekolah sampai dapat gelar S2, bekerja di luar

perusahaan yang dimiliki bapaknya. Yanti mengembangkan asuransi dan money changer dan

(12)

dalam perusahaan travel dan restoran. Anak keempat terjun dalam perusahaan tekstil dengan pasar sasaran ekspor dan lokal. Sedang anak kelima menggeluti perusahaan percetakan (Swa sembada, no. 23/XXI/10-23 November 2005, hal. 44).

Dengan bekerja di luar perusahaan orang tuanya, atau dengan bekerja dari bawah, para calon suksesor itu dilatih dan ditempa secara emosional untuk berempati dan bersimpati dengan karyawan lainnya. Mereka dilatih merasa sebagai karyawan sebelum merasakan

menjadi “bos” atau juragan. Setelah bisa membuktikan diri mampu bekerja di tempat lain, atau bekerja di tempat terbawah, barulah anak-anak itu diperkenankan bekerja di perusahaan bapaknya atau diangkat menjadi pimpinan perusahan.

Meskipun telah banyak persiapan yang dilakukan oleh para pendiri perusahaan keluarga dalam menyiapkan calon penggantinya, namun kenyataannya para pendiri perusahaan keluarga tetap saja enggan melakukan suksesi kepemimpinan kepada anak-anaknya. Keadaan inilah yang memacu sindrom Pangeran Charles di perusahaan-perusahaan keluarga di Indonesia (Swa, no. 23/XXI/10-23 November 2005, hal. 29). Sindrom Pangeran Charles mengacu pada kasus Pangeran Charles di kerajaan Inggris Raya yang sampai saat ini masih sebagai pangeran meski usianya sudah 62 tahun. Hal ini dikarenakan ibunya, Ratu Elizabeth (84) masih enggan melepas mahkota ratunya, sebagai kepala negara Inggris Raya.

Jika sindrom Pangeran Charles ini dibiarkan berlarut, besar kemungkinan akan berubah menjadi penyakit kronis di perusahaan keluarga, misalnya hilangnya semangat dan gairah atau passion sang anak untuk memimpin perusahaan dengan baik. Sementara itu, para pendiri juga akan kehilangan ketepatan dan kebijakan dalam pengambilan keputusannya karena penurunan kemampuan fisik dan psikis akibat penuaan usia. Menarik untuk disimak kasus kebangkrutan koran terkemuka di Surabaya dan Indonesia Timur di era 1970an-1990an yaitu Surabaya Post. Suksesor yang sudah dipersiapkan yaitu Indra Azis, seorang doktor ekonomi lulusan Amerika Serikat tidak bisa menahan kebangkrutan koran tersebut pada tahun 2000. Semenjak kematian pak Azis, pendiri Surabaya Post tahun 1986, kepemimpinan koran tersebut beralih kepada istrinya, Tuty Azis. Sebenarnya Indra sudah dipersiapkan oleh ibunya, bu Azis juga sering mengajak Indra dalam kegiatan-kegiatan bisnis SP dengan intensitas yang cukup tinggi, namun tidak cukup memberi ruang untuk mengambil keputusan dan terlibat secara intens dalam masalah-masalah pelik perusahaan. Hal ini dikarenakan rasa terlalu sayang seorang ibu kepada anak bungsunya. Sehingga pada saat genting, Indra tak bisa menyelamatkan SP dari jurang kebangkrutan. Indra terlambat dikenalkan dengan bisnis keluarga. (Arifin, 2009). Indra Azis sudah kehilangan passionnya.

Agar tidak kehilangan passion, bagaimana sebaiknya yang harus dilakukan oleh suksesor? Apa langkah pendiri perusahaan untuk mengantisipasi hal itu? Majalah Swa sembada edisi 05/XXIV/6-18 Maret 2008 melaporkan secara khusus masalah persiapan suksesor dalam meneruskan bisnis orang tuanya. Dalam edisi ini dilaporkan 84 suksesor dengan segala problem yang dihadapi dan cara menghadapi masalah suksesi. Lima belas (15) orang diantaranya menggunakan mentor untuk membimbing atau seseorang yang dijadikan tempat bertanya. Mentor adalah figur khusus yang dijadikan pola untuk ditiru atau dirujuk. Di perusahaan A Latif corporation, Medina dan Dipo sebagai penerus perusahaan keluarga masih menempatkan figur sang ayah, Abdul Latif (pendiri toko Sarinah Jaya), sebagai mentor. Bagi Dipo, ayahnya adalah visioner. Adapun anak-anaknya hanya eksekutor saja. “kami cuma

modal sekrup, bagaimana kami harus mengencangkan sekrupnya. Itulah yang kami lakukan”.

(13)

belajar dari Hiramsyah Thayib, karyawan senior yang bekerja sejak kakeknya-Bakrie- memulai usaha, juga dari kedua orang tuanya, dan kakak kakak nya yang lebih senior.

Selain menggunakan mentor, para suksesor itu juga menggunakan pengalaman manajemen yang dia peroleh sendiri. Dari hasil pengamatan empirik, tujuh orang mengaku berusaha dengan bisnis sendiri, meskipun modal masih dibantu orang tua. Sembilan orang mencari pengalaman manajemen dari dalam perusahaan orang tuanya, dan lima orang berusaha mencari pengalaman manajemen dari luar perusahaan orang tuanya. Sebagai contoh, Michael, putra Hermawan Kertajaya, pendiri dan pemilik Mark Plus, Inc. merasa mendapat banyak pengalaman manajemen justru pada saat membantu ayahnya mengurus operasional kantor konsultan pemasaran tersebut. Dia merasa mendapat pengakuan prestasinya karena sejak dia dipercaya menjadi Chief Operation Officer (COO) Mark Plus tahun 2006, dalam setahun berhasil mencatatkan pertumbuhan sampai 100% di tahun 2007.

Peran Suksesi terhadap Kinerja Perusahaan Keluarga.

Mengingat pentingnya perencanaan (planning) suksesi, namun tidak menjamin keberhasilan

suksesi yang berdampak pada peningkatan kinerja perusahaan keluarga, maka dalam penelitian ini saya berusaha menjadikan perencanaan suksesi (succession planning) sebagai salah satu faktor dalam in-depth interview dalam melihat dampak suksesi dengan kinerja. Apakah kinerja perusahaan keluarga menjadi meningkat manakala terdapat perencanaan suksesi?

Survei di Kanada menunjukkan bahwa banyak perusahaan keluarga tidak begitu banyak memperhatikan untuk mengidentifikasi kandidat dan membangun kriteria bagi suksesor. (Sharma et al., 2000). Dalam penelitiannya pada 143 perusahaan keluarga di Tulungagung, Tuhardjo (2008) menemukan bukti bahwa pengusaha yang menggantikan kepemilikan bisnis

dengan lebih direncanakan (more planned succession) tidak selalu memiliki kinerja bisnis yang lebih

baik.

Mengingat banyaknya faktor dan pertimbangan yang terlibat dalam suksesi di perusahaan keluarga, maka jelas bahwa suksesi adalah suatu rangkaian proses bukan suatu kejadian atau event yang berhenti di suatu saat saja (Cale, 2008). Oleh karena suatu proses maka diperlukan waktu yang panjang untuk melakukan suksesi. Perencanaan suksesi adalah penting, karena tidak banyak perusahaan keluarga yang sukses dalam menyelenggarakan suksesi.

Oleh karenanya, suksesi bukanlah masalah individual atau upaya kelompok kecil saja. Suksesi memerlukan investasi yang terus menerus dalam hal waktu, sumber daya dan memerlukan dukungan dari keseluruhan komponen perusahaan. Hal ini tentu saja memerlukan banyak saran dari para ahli keuangan dan legal atau hukum. Tetapi meskipun perencanaan suksesi telah dibuat secara formal, dikembangkan dan diimplementasikan, hal itu hanya akan meningkatkan kemungkinan untuk suksesi yang berhasil namun tidak menjamin. (Ip and Gabriel, 2006).

Banyak perusahaan keluarga yang gagal saat menentukan suksesor dalam proses

perencanaan. Penelitian Huang’s (1999) di Taiwan gagal menerapkan rencana suksesi karena

tidak memiliki Departemen Perencanaan Suksesi atau tidak mempunyai personel yang mengurusi tugas itu, yang menaruh perhatian terhadap potensi dampak negatif nya, dan skala organisasinya terlalu kecil. Pendiri dan pemilik perusahan kelurga mungkin saja menolak perencanaan suksesi karena takut kehilangan kontrol, kehilangan identitas atau kehilangan kekuasaan (Harveston, et al., 1997).

(14)

ke-duanya, Iwan Setiawan Lukminto. Di tangan Iwan, pasar Sritex menggurita ke manca negara. (Jawa Pos, 6 Oktober 2010, hal. 6).

Iwan berhasil menjawab salah satu isu krusial dalam proses suksesi, yaitu pasca suksesi apakah kinerja perusahaan keluarganya dapat dipertahankan atau bahkan dikembangkannya. Kriteria pertumbuhan dan penjualan meningkat dapat dibuktikan dengan baik. Sejak dipimpin Iwan, nilai penjualan Sritex meningkat lima kali lipat. Persentase ekspornya meningkat dua

kali lipat. “Akhir tahun 2010 ini kami tergetkan meningkat 40-50 persen. Tahun ini kami

melakukan ekspansi untuk memperluas produksi”. (Jawa Pos, 6 Oktober 2010, hal. 6).

Kriteria kinerja yang lain adalah tidak ada penurunan penjualan dan laba selama masa ekonomi sulit dibuktikan pada saat krisis moneter melanda Indonesia tahun 1998 dan

dampaknya berlanjut hingga 2003. “waktu itu, kerja saya sebagai duta dari Sritex, yaitu harus

pergi ke luar negeri selama dua bulan agar buyer tidak lari ke produsen lain. Tujuan saya ke negera-negera Eropa seperti Jerman, Inggris dan Amerika. Saya harus datang agar buyer

yakin bahwa kami masih eksis”. Karena berhasil memelihara buyers utamanya, maka banyak

buyers lain mengikuti sehingga saat ini Sritex menjadi produsen pakaian militer terbesar di

dunia dengan kualitas premium. (Jawa Pos, 6 Oktober 2010, hal. 6).

Kriteria lain dari kinerja perusahaan keluarga adalah adanya inovasi, dijawab dengan sangat baik oleh Iwan, yaitu melakukan inovasi di berbagai bidang, baik dalam bidang produksi dengan selalu melakukan product development dan market development, melakukan diversifikasi pasar dengan memasuki pasar wisata dan perhotelan. Saat ini Sritex sedang membangun hotel tertinggi di kota Surakarta yaitu di jantung kota Surakarta di jalan Slamet Riyadi. (Jawa Pos, 6 Oktober 2010, hal. 6).

Tuhardjo (2008) setelah melakukan penelitian di sentra industry kecil Onix dan Marmer di Tulungagung dengan mengambil sampel sebanyak 143 pengusaha Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di tiga kecamatan (Campurdarat, Besuki dan Pakel) dari populasi sebanyak 260 pengusaha menyimpulkan bahwa: Suksesi bisnis berpengaruh signifikan terhadap kinerja bisnis, tidak terbukti.

Berbeda dengan temuan Tuhardjo, majalah bisnis Swasembada (No. 12/XXIII – 4-13

Juni 2007) melaporkan banyak perusahaan keluarga yang justru mendapatkan peningkatan kinerja setelah berhasil melakukan suksesi, seperti yang terjadi di AJBS Swalayan yang merupakan singkatan dari Anak Jaya Bapak Sejahtera dari Surabaya dengan penerus dari generasi kedua yaitu Sutikno Adi dan Andrianto Suhartono. Bergerak di penjualan produk-produk teknik di AJBS Swalayan dan AJBS Fastech. Perusahaan keluarga ini didirikan tahun 1968, berupa toko mur baut tradisional. Kini AJBS adalah pemimpin bisnis swalayan perkakas teknik di Indonesia, memiliki 7 gerai: 4 di Surabaya, masing-masing satu di Krian, Sidoarjo dan Gresik. Demikian pula Grup Bakrie yang didirikan oleh Achmad Bakrie kemudian diteruskan oleh anak-anaknya generasi kedua (Aburizal, Nirwan, dan Indra Bakrie), dan sekarang oleh cucunya yaitu Anindya Bakrie. Usaha awalnya adalah agen perdagangan kopi, lada, cengkeh, daun sirih, tapioka, pepaya yang didirikan tahun 1942. Di tangan generasi ke-2 bisnis keluarga ini merambah ke bererapa bidang. Generasi ke-3 dibawah payung grup Kalila, mendirikan Capital Management Asia yang berbasis di Singapura. Berkongsi dengan Rupert Murdoch pemilik Star TV untuk menghidupkan AnTV yang dibelinya. Kalila juga aktif di sektor gas dan minyak bumi, diantaranya yang mengeksplorasi minyak dan gas bumi di Porong dibawah bendera PT Lapindo. Saat ini usaha bakrie grup telah meliputi berbagai bidang diantaranya: telekomunikasi, property, infrastruktur, energy & pertambangan, perbankan, jasa keuangan dan media.

Demikian pula yang terjadi di Djarum Kudus Grup. Perusahaan keluarga yang core

business nya pabrik rokok ini didirikan oleh Oei Wie Gwan di tahun 1951, saat ini oleh

(15)

Hartono, Martin Basuki Hartono, dan Arman Budi Hartono. Djarum adalah pemain rokok terbesar ketiga setelah Sampoerna dan Gudang Garam, pada saat Indonesia mengalami krisis, Djarum tidak. Dengan kekuatan cashflow nya, Djarum bersinergi dengan Farallon Capital membentuk investment banker dan membeli 51% saham BCA senilai Rp 5,3 trilyun pada 2003. Juga membangun super blok WTC di kawasan Mangga Dua Jakarta melalui anak usahanya PT Cipta Karya Bumi Indah. Saat ini Djarum selain sebagai produsen rokok, juga bergerak di bidang perdagangan, perkebunan, kehutanan, elektronik (Politron), hotel, restoran, tekstil, kertas, baja, properti dan konstruksi, transportasi, jasa keuangan dan periklanan.

Demikian pula, peningkatan kinerja perusahaan keluarga juga dilaporkan terjadi di beberapa perusahaan seperti: Trakindo Grup, Ultra Jaya Milk Industry, Wings Grup, Lippo Grup, Salim Grup, dan Gunung Sewu Grup.

Di Konimex Grup, perusahaan farmasi dan obat-obatan ini didirikan oleh Djoenaedi Joesoef dan istrinya di tahun 1970-an di Solo. Perusahaan keluarga ini berkembang berkat pengembangan divisi riset yang dikembangkan oleh anaknya yaitu Edijanto Joesoef (generasi kedua) sehingga laboratorium Konimex saat ini sudah sejajar dengan laboratorium perusahaan farmasi kelas dunia. Saat ini Edijanto telah menerima tampuk suksesi sebagai Direktur Utama.

Di Sosro Grup, kinerja perusahaan keluarga justru berkembang dengan baik setelah terjadi suksesi yang berhasil. Perusahaan yang didirikan tahun 1953 oleh Sosrodjojo di Slawi Jawa Tengah ini termasuk yang fenomenal. Pada saat orang kebanyakan menganggap minuman teh adalah minuman orang awam di warung-warung nasi dengan harga sangat murah bahkan seringkali teh disajikan secara gratis. Sosrodjojo mengenalkan teh dalam botol dan dijual dengan harga yang relatif mahal saat itu, hampir sama dengan harga bensin. Karena jiwa entrepreneurship Sosrodjojo akhirnya bisa diterima oleh masyarakat sebagai minuman dalam botol alternatif sebagai pendamping softdrink. Saat ini Sosro Grup mengoperasikan beberapa merek dagang yang sudah familiar seperti teh botol Sosro, teh Poci, S-tee, Fruit Tea, Prim-A, dan lain-lain. Generasi kedua yang terdiri dari Soemarsono Sosrodjojo, Soegiharto Sosrodjojo, Soetjipto Sosrodjojo, Surjanto Sosrodjojo melanjutkan usaha perusahaan keluarga ini dengan melakukan inovasi dengan teh siap minum dan mendistribusikannya secara nasional. Tahun 1990-an memasuki generasi ketiga yaitu Peter Soekianto Sosrodjojo (CEO Sinar Sosro) dan Joseph Soewito Sosrodjojo mulai mendistribusikan secara internasional dengan variasi produk bermacam.

Demikian pula yang terjadi pada perusahaan yang sedang mempersiapkan suksesi, seperti Dexa Medica. Perusahaan farmasi yang didirikan tahun 1969 di Palembang Sumatra Selatan oleh Rudy Soetikno, pada mulanya hanya mampu memasok kebutuhan obat di Palembang dan sekitarnya. Tahun 1984 sudah mampu menjangkau seluruh Indonesia. 1994 saat Fery Soetikno (generasi kedua) bergabung dengan Dexa, penjualan domestik tumbuh lebih tinggi dari rata-rata industri farmasi di Indonesia. Saat ini, Dexa merupakan pemain farmasi terbesar di Indonesia bersama Kalbe Farma dan Sanbe Farma.

(16)

Peran Perencanaan Suksesi terhadap Kinerja Perusahaan Keluarga.

Terdapat fenomena menarik yang diangkat Jawa Pos akhir-akhir tentang suksesi di perusahaan keluarga. Di Jawa Pos tanggal 4 Oktober 2010 diangkat kisah tentang perempuan dalam perusahaan keluaarga. Sementara itu di Jawa Pos tanggal 6 Oktober 2010 diangkat kisah tentang suksesi yang berhasil di PT Sritex.

Diceritakan bagaimana pasangan Hermanto Tanoto dan Sanderawati Joesoef sebagai pemilik perusahaan keluarga Avian Grup merencanakan suksesi kepada anak-anak perempuannya. Adalah Belinda dan Melisa kedua anak perempuannya itu dikenalkan pada

bisnis sejak kecil. “Kalau libur sekolah, anak-anak lain diajak berlibur, sedangkan kami diajak main ke pabrik. Jadi kami ikut pekerja ngaduk cat. Kadang kami bikin campuran sendiri, terus dipakai untuk kuteks, buat ngecat jari saya”. “Kami juga sering dilibatkan untuk mengawasi

pembukuan atau memeriksa kas perusahaan cat milik papa”. Sekarang Belinda berhasil menjadikan merek Cleo sebagai air minum dalam kemasan beroksigen nomor satu di Indonesia. (Jawa Pos, 4 Oktober 2010, hal. 43).

Iwan Setiawan Lukminto (35) adalah lulusan Sufolk University of Business

Administration di Boston, AS. Dia tidak seperti ayahnya, HM Lukminto pendiri PT Sritex

Surakarta, yang memulai bisnis dari nol dengan keluar masuk pasar Klewer dan akhirnya membuka pabrik tekstik kecil di Baturono, Solo. Iwan memang direncanakan untuk melanjutkan bisnis keluarganya. Dengan bekal pendidikan tingginya itu Iwan berhasil mempertahankan dan bahkan meluaskan buyers nya di luar negeri dan saat ini Iwan berhasil menjadikan Sritex sebagai produsen baju militer kelas premium nomor satu di dunia. (Jawa Pos, 6 Oktober 2010, hal. 6).

Westhead et al. (2002) dalam penelitian nya terhadap 169 UKM yang dikontrol oleh perusahaan keluarga di Inggris (UK) dengan melakukan analisis statistik mendalam berbasis

stratified randomly selected sample menemukan bukti bahwa perencanaan suksesi

berpengaruh positif terhadap profitability ratios dan growth ratios (hal. 77). Dalam discussion di jurnal tersebut, Wang menyebutkan bahwa pada umumnya perusahaan keluarga yang diteliti menggunakan service provider dalam berbagai bentuk seperti supporting agencies,

counsellors and consultants. Secara khusus, service provider itu menyiapkan pendidikan dan

latihan yang tailor made, dibuat khusus dengan karakteristik perusahaan keluarga itu dan disesuaikan dengan ciri-ciri pendahulu dan kandidat suksesornya.

Pada umumnya peneliti perusahan keluarga setuju bahwa kinerja perusahaan keluarga dipengaruhi oleh perencanaan suksesi yang baik. Miller dan Isabelle (2005) menyatakan bahwa suksesi bisnis yang efektif merupakan indikator yang valid terhadap kinerja bisnis. Dalam masa perpindahan bisnis keluarga akan terjadi dengan lancar bila suksesor telah disiapkan dengan lebih baik. Persiapan tersebut diantaranya dengan mempersiapkan suksesor dengan ramah (affable) dan diikutkan dalam proses perencanaan suksesi termasuk didalamnya adalah proses perpindahan kekayaan dan hak kepemilikan serta hal-hal yang berpotensi mendatangkan kekayaan (wealth-transfer).

Sebelumnya, Miller dan Isabelle (2005) menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan perencanaan dan pengendalian yang terdiri dari: perencanaan suksesi, perencanaan pajak sehubungan dengan suksesi, penggunaan dewan petencana dan pengendalian dari luar perusahaan (outside board), penggunaan konsultan dan advisor perusahaan keluarga, serta penciptaan dewan keluarga (family council) berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan keluarga.

(17)

bisnis di usia dini (early age) dan mereka diajak untuk ikut bekerja secara full-time dalam bsinis keluarga sejak usia dini.

Soedibyo (2007) menemukan bukti bahwa Persiapan suksesi sangat penting, karenanya harus dilakukan bersama antara pendahulu dan penerus. Kemampuan perusahaan keluarga untuk bertahan hingga beberapa generasi akan sangat tergantung pada persiapan suksesi yang dilakukan. Kemampuan yang dimiliki penerus merupakan salah satu prasarat untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan kinerja perusahaan di masa mendatang. Semakin tinggi kualitas alih kepemimpinan (suksesi), semakin baik kinerja organisasi, dan akhirnya semakin tinggi kinerja individu, semakin baik kinerja organisasi.

Meskipun perencanaan suksesi bukanlah hal yang mudah, terbukti di Amerika Serikat saja, hanya 28 persen perusahaan keluarga yang mempunyai perencanaan suksesi (Susanto et al., 2008: 317). Tetapi mengingat pentingnya perencanaan suksesi untuk mempertahankan dan mengembangkan standard of exc ellence dari performansi perusahaan serta kompetensi yang dimiliki, serta menjawab kebutuhan persiapan eksekutif masa depan, maka perencanaan suksesi sepertinya kebutuhan yang tak terelakkan.

Kerangka Pola Suksesi Internal.

Berdasar paparan makalah di atas, maka dapatlah disusun pola suksesi yang mendorong keberhasilan kinerja perusahaan keluarga dalam jangka panjang, seperti yang tertera dalam gambar 1 di bawah ini.

(18)

Kerangka pengembangan pola suksesi internal ini bisa dipergunakan untuk membahas dan sekaligus merencanakan suksesi dengan memperhatikan beberapa tahapan suksesi (inisisasi proses suksesi, proses suksesi, dan proses pos/pasca suksesi). Dalam kerangka pengembangan pola suksesi internal ini juga mengusulkan beberapa tolok ukur yang bisa digunakan dalam setiap tahapan suksesi. Sementara itu rentang nilai yang digunakan untuk mengukur setiap tolok ukur digunakan skala Likert dari nilai 1 sampai 5, dimana nilai satu diartikan sangat jelek dan nilai lima diartikan sangat baik. tidak ada nilai nol, karena semua tolok ukur yang dipakai adalah tolok ukur kinerja yang diyakini dapat dan akan dikerjakan.

Tahap pertama adalah Inisiasi Proses Suksesi, pada tahap ini pendahulu mengenalkan pokok pokok bisnis dan cara-cara untuk mempertahankan dan mengembangkan bisnis kepada para calon suksesor. Pendahulu mulai mengarahkan penguasaan ketrampilan dan keahlian suksesor sesuai dengan bakat dan kemampuan. Jalur pendidikan biasanya dipilih selain jalur pemagangan. Untuk mengukur tahapan inisiasi proses suksesi ini dengan cara mengetahui kadar inisiasinya, apakah dilakukan secara spontan dan tiba-tiba atau direncanakan dengan baik. Dilakukan secara spontan biasanya kalau terjadi situasi dan kondisi yang mendadak seperti kematian atau perceraian.

Tahap kedua adalah Proses Suksesi. Pada tahap ini pendahulu menyiapkan infrastruktur suksesi seperti penyiapan jenjang suksesi bagi calon-calon suksesor, pengenalan bisnis dan situasi-situasi kritis bisnis kepada para suksesor, pemberian tugas dan tanggung jawab yang meningkat kadar manajerialnya, pemberian wewenang yang lebih spesifik dan terakhir adalah pengumuman suksesi berupa penetapan calon suksesor menjadi suksesor. Pengumuman ini sebaiknya dilakukan secara terbuka dan seremonial.

Untuk mengukur tahap kedua ini bisa dilakukan dengan serangkaian tolok ukur sebagai berikut: sosialisasi dini, budaya keluarga dan kehormatan mutual, prosedur konflik manajerial yang diterima, semua kandidat bergabung dengan sukarela, pengalaman internal dan eksternal sangat bernilai, peran Dewan Keluarga dalam mengambil keputusan atas multiple input, penentuan kandidat dalam daftar yang diperpendek.

Akhir dari tahap kedua atau tahap Proses Suksesi adalah pengumuman

(announcement). Ini adalah titik kritis dari proses suksesi internal. Manakala semua kandidat

dan stake holder perusahaan keluarga dapat menerima keputusan yang diumumkan tersebut secara legowo dan memutuskan tidak menarik diri meskipun keputusan tersebut tidak cocok. Sementara itu mutlak diperlukan tempat dan peran yang cocok bagi pendahulu secara terhormat dan bermartabat.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

---, Badan Pusat Statistik, 2011. http://www.bps.go.id/brs_file/pdb_banner.pdf Berita Resmi Statistik No. 12/02/Th. XIV, 7 Februari, diunduh tanggal 19 April 2011.

---, Jawa Pos, 28 Agustus 2007. ---, Jawa Pos, 11 September 2007. ---, Jawa Pos, 4 Oktober 2010. ---, Jawa Pos, 6 Oktober 2010. ---, Jawa Pos, 14 Januari 2011. ---, Kompas, 15 Juli 2007. ---, Kompas, 28 Juli 2008.

---, Kontan, edisi 42/XI. 16 Juli 2007.

---, Suara Pembaharuan, 27 November 2008.

---, Swa sembada, No. 10/XIX/13-27 Mei 2003. Matinya Bisnis Keluarga, Generasi Pertama Membangun, Kedua Menikmati, Ketiga Menghabisi. Itu Dogma Lama Yang

Harus Dibuang. Dogma Baru?.

---, Swa sembada, No. 23/XXI/10-23 November 2005. Sindrom Suksesi “Pangeran Charles”.

---, Swa sembada, No. 12/XXIII/4-13 Juni 2007. Menjawab Misteri dan Tabu Suksesi Bisnis Keluarga. Apa saja Persiapan yang Harus Dilakukan Owner dan Penerus?.

Bagaimana Proses Mapping, Shadowing dan Mentoring?.

---, Swa sembada, No. 05/XXIV/6-18 Maret 2008. Apa Siapa Pengendali Bisnis Masa

Depan

---, Swa sembada, No. 15/XXVI/15 - 28 Juli 2010. Indonesia Best Brand 2010. ---, Warta Ekonomi, 03/XXI/2009.

Arifin, Zaenal. 2009. Kebangkrutan Surabaya Post.. Transliterasi Interview. Surabaya 24 Agustus 2009.

Bernard, B. 1975. The development of organization structure in the family firm. Journal of

General Management. Autumn, 42-60.

Brännback M., Carsrud, A. L., Hudd, I., Nordberg, L. & Renko, M. 2006. Perceived Success Factors In Start Up And Growth Strategies: A Comparative Study Of Entrepreneurs, Managers, And Students. Journal of Applied Psychology.

Cale, Priscilla. 2008. Family Business Succession – A Process … Not an Event. Connecticut: University of Connecticut Family Business Program. Electronic resources download: Thursday, March 5th, 2009. At: http://www.business.uconn.edu/ FamilyBusiness/E-newsletter/July2008/SuccessionProcess.asp.

Casillas, Jose C., Fransisco J. Acedo and Ana M. Moreno. 2007. International

Entrepreneurship in Family Business, Northampton: Edward Elgar Publishing, Inc.

Connolly, Graham and Christopher Jay. 1996. The Private World of Family Business. Melbourne: FT Pitman Publishing.

Craig, Justin B.L. 2003. An Investigation and Behavioural Explanation of Family Businesser

Functioning. A Dissertation submitted to the School of Health Sciences for the Degree

of Doctor of Philosophy. Gold Coast: Bond University.

Fahed-Sreih, J dan Djoundourian, S. 2006. Determinants of Longevity and Success in Lebanese Business: An Exploratory Study. Family Business Review 19(3): 225-234. Glassop, Linda and Dianne Waddel. 2005. Managing the Family Business. Heidelberg:

Heidelberg Press.

(20)

Handler, W. C. 1989. Methodological issues and considerations in studying family businesses. Family Business Review, 2(3), 257-276.

Harianto, F., 1997, Business Linkages and Chinese Entreprenuers in Southeast Asia, in T. Brook and H.V. Luong (eds) Culture and Economy: The Shaping of Capitalism in

Eastern Asia, The University of Michigan Press, Ann Arbor.

Harveston, Paula D., Peter S. Davis and Julie A. Lyden. 1997. Succesion Planning in family Business: The Impact of Owner Gender. Family Business Review. Dec v10 i4 p373, Family Firm Institute, Inc.

Huang, Tung Chun. 1999. Who Shall Follow?: Factors Affecting the Adoption od Succession Plans in Taiwan, Long Range Planning. 32(6): 609-615.

Ip, Bary, and Gabriel Jacobs. 2006. Business Succession Planning: a review of evidence.

Journal of Small Business and Enterprise Development. Vol. 13 No. 3: 326-350.

Kaslow, Florence Whiteman. 2006. Handbook of Family Business and Family Business

Consultation: a Global Perspective. Birmingham: International Business Press.

Lansberg, Ivan. 1999. Succeeding Generations: Realizing the Dream of Families in Business. Boston, Massachusetts: Harvard Business School Press.

Lansberg, Ivan. 2007. The Test of Prince. Harvard Business Review. September.

McClelland, D. C. (1987) Characteristics of successful entrepreneurs. Journal of Creative

Behavior, 21(3), 219-233.

Miller, Danny and Isabelle Le Breton-Miller. 2005. Managing for the long run: lessons in

competitive advantage from great family businesses. Boston: Harvard Business

School Press.

Miller, E. J., & Rice, A. K. 1967. Systems of organizations. London: Tavistock.

Molly, Vincent, Eddy Laveren, and Moore Deloof. 2010. Family Business Succession and its Impact on Financial Structure and Performance. Family Business Review. Vol. 23, No. 2, pp. 131-147

Moores, Ken and Mary Barrett. 2002. Learning Family Business, Paradoxes and Pathways. Aldeshot, Hampshire: Ashgate Publishing Limited.

Neubauer, Fred and Alden G. Lank. 1998. The Family Business, Its Governance for

Sustainability, London: MacMillan Press, Ltd.

Perry, Martin. 2000. Small Firm and Networks Economices, edisi bahasa Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sharma, P., Chua, J. H. And Chrisman, J. J. 2000. Perception About the Extent of Succession Planning in Canadian Family Firms. Canadian Journal of Administrative Sciences 17(3): 233-244.

Soedibyo, Moorjati. 2007. Kajian terhadap Suksesi Kepemimpinan Puncak (CEO) Perusahaan Keluarga Indonesia - menurut Perspektif Penerus. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia,Jakarta.

Susanto, AB, Sujanto, F.X., Himawan Wijanarko, Patricia Susanto, Suwajuhadi Mertosono, Wagiono Ismangil. 2008, A Strategic Management Approach Corporate Culture &

Organization Culture, Divisi Penerbitan The Jakarta Consulting Group, Jakarta.

Tracey, Denis. 2001. Family Business – Stories from Australian family business and the

people who operate them, the volatile mix of love, power and money, Melbourne:

Information Australia.

Tugiman, 1995, Peranan Usaha kecil dan Koperasi dalam Memanfaatkan Sisa Laba BUMN,

Penerbit Eresco, Bandung.

(21)

Van Auken, H., & J. Werbel. 2006. Family Dynamic and Family Business Financial Performance: Spousal Commitment. Family Business Review. 19 (1): 49-63.

Westhead, P., 2003, Succession Decisionmaking Outcomes Reported by Private Family Companies. International Small Business Journal. 21(4): 369-401.

Westhead, P., C. Howorth, & M. Cowling. 2002, Ownership and Management Issues in First generation and Multi-Generation Family Firms. Entrepreneurship & Regional

Development, 14: 247-259.

Westhead, P., 1997, Ambitions, external environment and strategic factor differences between family and non-family companies, Entrepreneurship and Regional Development 9(2): 127-158.

Widyasmoro, T. Tjahjo. 2008. Bisnis Keluarga - Suksesi atau cukup 3 Generasi. Majalah Intisari. April.

Gambar

gambar 1 di bawah ini.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu, berdasarkan dari hasil penelitian pendahuluan tersebut, hal yang dilakuan dalam pelaksanaan pengabdian ini sebagai upaya meningkatkan kemampuan literasi

pembahasan sebelumnya, akhirnya penulis memberikan kesimpulan bahwa tradisi Pakande-kandea adalah tradisi yang sudah dilaksanakan turun temurun dari nenek moyang

Na samom kraju rada dokazali smo jedan od najljepˇsih teorema geometrije trokuta: Feuerbachov te- orem koji govori da Feuerbachova kruˇznica dira upisanu kruˇznicu danog

Mahasiswa mengungkapkan gagasannya di dinding toilet agar semua mahasiswa dapat melihatnya, tentu terjadi interaksi yang menarik di dalam toilet tersebut karena tanggapan gagasan

PROPRIOCEPTIVE EXERCISE TERHADAP KESEIMBANGAN STATIS DAN DINAMIS PADA REMAJA USIA 15-18 TAHUN DI ASRAMA SMA MTA SURAKARTA. (Dibimbing oleh Dr. Umi Budi Rahayu, S.Fis.,

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan Feng Shui interior Klenteng Zhen Ling Gong Yogyakarta meliputi : elemen pembentuk ruang, elemen estetis

Menjaga keselarasan antara yang dipikirkan dengan yang dikatakan dan yang dilakukan dengan selalu menjunjung tinggi moral, etika, dan kemanusiaan.. Jujur, Disiplin