• Tidak ada hasil yang ditemukan

ATHEISME NIETZCHE : DALAM PERSPEKTIF KETAUHIDAN ISLAM MENURUT KH.HASYIM ASY’ARI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ATHEISME NIETZCHE : DALAM PERSPEKTIF KETAUHIDAN ISLAM MENURUT KH.HASYIM ASY’ARI."

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Disusun Oleh:

Zeti Fitria Rahmawati NIM: E01212041

PRODI FILSAFAT AGAMA

JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Zeti Fitria Rahmawati. NIM. E01212041, 2016. Atheisme Niezche Dalam

Perspektif Ketauhidan KH. Hasyim Asy’ari. Program Studi Filsafat Agama.

Jurusan Pemikiran Islam. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Universitas Islam

Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Nietzche memang seorang pemikir ateis. Apakah Nietzche seorang ateis?

Penulis harus berhati-hati dalam menjawab pertanyaan ini. Sebab, di balik label

“ateis” dan label lain yang ada, tak pernah terucapkan: “ jahat”. Berbagai

pernyataan, juga keheranan tentang Nietzche biasanya terkait dengan kerangka

baik dan buruk ini, Atheisme bukan semata sebuah deskripsi melainkan sesuatu

yang sangat jauh dari itu, yaitu sebuah pemberian nilai. Tidak pernah ada seorang

fiolog pun yang berbicara sedemikian liris. Ia berbicara tentang dua dewa dalam

kesenian Yunani, yang dipuja oleh orang-orang Yunani Kuno.

Banyak juga pembahasan ini mengenai Atheisme Nietzche ini maka dari

beberapa pembahasan yang belum ditemukan yakni pada pembahasan ini di

padukan dengan teori yang digunakan.

Penelitian ini adalah kategori penelitian keperpustakaan (Library

research) yaitu suatu penelitian yang menjadikan sumber penelitiannya adalah bahan pustaka, tanpa melakukan survei maupun observasi. Dan sumber primer

dari penelitian ini adalah agar bagaimana tahu memahami tentang Atheisme

Nietzche bila di lihat dari kaca mata Ketauhidannya KH. Hasyim Asy’ari.

Kesimpulan dari permasalahan ini yakni Nietzche itu adalah memang

seorang pemikir ateis, tapi dibalik ateismenya itu, ada sesuatu yang lebih

mendasar dan sekaligus menunjukkan adanya dasar pemikiran yang tidak disadari

orang ateis, yaitu bahwa manusia bisa percaya pada Tuhan Pencipta Alam dia

(7)

DAFTAR ISI

G.Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 10

H.Sistematika Penulisan ... 11

BAB II FRIEDCRICH NIETZCHE DAN POKOK PEMIKIRAN A.Sejarah Kelahiran dan Karya Friedrich Nitetzche ... 13

B.Sejarah Pemikiran Friedrich Nietzche ... 19

C.Atheisme Dalam Pandangan Friedrich Nietzche ... 21

BAB III

KH.Hasyim Asy’ari Dan Pemikiran Ketauhidannya

... 39

A.Profil KH.Hasyim Asy’ari . ... 24

B.Konsep Ketauhidan KH.Hasyim Asy’ari ... 26

C.Pemikiran KH.Hasyim Asy’ari ... 37

(8)

BAB IV ANALISIS

A. Pemikiran Atheisme Nietzche dilihat dari sudut pandang KH.Hasyim

Asy’ari ... 37

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan ... 56 B.Saran ... 57

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Nietzsche dan Ateisme, adalah salah satu tema yang sering dilontarkan sehubungan dengan Nietzche dan karya-karyanya. Adapun yang ingin penulis

kemukakan pertama adalah keberaniannya, karena dia dianggap telah

menyatakan diri sebagai seorang ateis. Dalam tema “ Tuhan telah mati” diulang

-ulang sebagai bukti bahwa Nietzche memang seorang pemikir ateis. Apakah

Nietzche seorang ateis? Penulis harus berhati-hati dalam menjawab pertanyaan

ini. Sebab, di balik label “ateis” dan label lain yang ada,tak pernah terucapkan: “

jahat”. Berbagai pernyataan, juga keheranan tentang Nietzche biasanya terkait

dengan kerangka baik dan buruk ini, ateisme bukan semata sebuah deskripsi

melainkan sesuatu yang sangat jauh dari itu, yaitu sebuah pemberian nilai.1

Dalam bukunya Zarathustra Friedrich Nietzche menyatakan diri sebagai

orang yang tidak bertuhan , dan ini merupakan bukti dari Nietzche sendiri bahwa

dia memang ateis, tidak percaya pada suatu zat yang menciptakan jagat dan

isinya, termasuk manusia. Kutipan ini menunjukkan bahwa Zahrathustra atau

Nietzche tidak percaya bahwa dunia itu diciptakan. Ia percaya bahwa jagat

adalah sesuatu yang berulang kali ada dan berulang kali tiada secara

terus-menerus berkesinambungan. Maka, dari sisi ketertiban berbahasa, kita pantas

1

(10)

menyebut dia ateis. Tapi dibalik ateismenya itu, ada sesuatu yang lebih mendasar

dan sekaligus menunjukkan adanya dasar pemikiran yang tidak disadari orang

teis, yaitu bahwa manusia bisa percaya pada Tuhan Pencipta Alam dia harus

percaya terlebih dahulu bahwa jagat adalah ciptaan. Jadi, pada dasarnya,

ketidakpercayaan atau ateisme Nietzche dalam hal ini bukanlah sesuatu yang

tertuju pada Tuhan tapi tertuju pada konsep penciptaan jagat. Karena dia tidak

percaya bahwa jagat ini adalah ciptaan, dengan sendirinya dan dengan logis pula

ia bisa tidak percaya bahwa ada sesuatu yang bisa dikatakan sebagai

pencipta-Nya. Maka, kita harus mengkoreksi anggapan bahwa pemikiran Nietzche

didasarkan pada sikap anti Tuhan, termasuk pula pernyataan penulis di depan.

Perbedaannya bukan pada bidang teologis, tapi pada kosmologi.

Lalu, mengapa Nietzche bersikeras bahwa Tuhan telah mati? Dia

mengatakan bahwa kematian Tuhan itu disebabkan oleh rasa belas kasihan

melihat keburukan-keburukan manusia. Dia tidak mengatakan bahwa Tuhan itu

tidak ada. Dengan mengatakan bahwa Tuhan telah mati maka Nietzche tidak bisa

dikatakan menegasi keberadaan Tuhan saat itu disebabkan oleh manusia, maka

sebenarnya pernyataan ini lebih tertuju pada negasi terhadap eksistensi Tuhan

secara metafisik, tapi lebih tertuju pada tidak berperannya kepercayaan akan

Tuhan dalam kehidupan manusia pada umumnya. Pada poin terakhir ini, yaitu

bahwa memang di jaman modern ini manusia makin banyak yang “tersesat”,

banyak disetujui oleh orang teis. Bahwa ia mendeskripsikan situasi ini dengan

(11)

agama bukan dari dalam agama itu sendiri melainkan dari luar, ia memandang

agama sebagai sebuah obyek penelitian.2

Maka, baik “ tuhan” maupun “ Tuhan” dalam pemahaman Nietzche

adalah sebuah sistem yang diyakini, itu sebenarnya berasal dari

kegiatan-kegiatan kepenyairan di masa lalu. Keyakinannya ini membuat dia mengambil

sikap yang berbeda, dan karena perbedaan sikap ini berkenaan dengan sebuah hal

yang telah diyakini selama ribuan tahun, ia menjadi tampak seperti iblis. Namun

sebenarnya yang ada di balik ”ateisme” itu adalah sebuah pengamatan tentang

kesenjangan antara idealisme beragama dengan praktek kehidupan beragama.

Jika orang-orang ateis memandang situasi modern dari sudut internal agama

yaitu sebagai sebuah situasi yang makin lama makin menyeleweng dari jalan

yang lurus dan merupakan sebuah borok yang harus diobati, maka Nietzche

justru mengambil jalan sebaliknya, yaitu bahwa jika memang “kematian” Tuhan

-lah yang tergambar dalam perilaku manusia, maka lebih baik kematian itu

direngkuh dan dirayakan. Inilah obyektivitas Nietzche. Jika kaum teis

menganggap bahwa kesenjangan itu harus dijembatani, maka Nietzche lebih

memilih untuk menganggapnya sebagai “tanda-tanda cuaca”. Metafor “ tanda

cuaca” ini pun bukan ciptaan-Nya melainkan sebuah alusi yang merujuk pada

sabda-sabda itu yang dimau manusia, kalau memang manusia tidak mau lagi

menyerahkan nasibnya kepada Tuhan.3

2

Ibid,.hlm 8

3

(12)

Baik Inilah khotbah untuk telinga mereka! Aku Zarathustra yang tak bertuhan, bersabda: “Siapakah yang lebih tak bertuhan daripada diriku, supaya

aku dapat bersukacita dalam ajaran-Nya?”

Aku Zahrathustra yang tak bertuhan! Di mana akan kutemukan orang setara? Dan inilah orang yang setara denganku: yaitu dia yang memberikan Kehendak-Nya kepada diri-Nya sendiri dan menanggalkan semua penyerahan diri. Aku Zahrathustra yang tak bertuhan! Aku memasak semua kesempatan dalam periukku sendiri. Dan setelah matang barulah aku menerimanya sebagai makananku.

Maka kita lihat bahwa betapapun besarnya negasi yang timbul dari sikap

seperti ini terhadap keyakinan Tuhan, sebenarnya Nietzche tidak memandangnya

sebagai sebuah pemberontakan. Bukankah manusia sendiri yang telah bertingkah

begitu memuakkannya sehingga keyakinan terhadap Tuhan tidak lagi bisa

didapati di antara mereka? Ketika ribuan tahun telah berlalu dan kualitas moral

manusia masih tetap seperti itu-itu saja (yang terbukti dari masih perlunya

melaksanakan hukum-hukum yang telah diciptakan ribuan tahun yang lalu),

ketika manusia tetap melakukan pelanggaran-pelanggaran yang sama dengan

yang dilakukan di masa sebelum kemunculan Agama, maka sudah tiba saatnya

mengambil langkah maju dengan berani. Maju, dalam artian tidak lagi

memandang kewarisan masa lalu yang disebut Agama itu, melainkan

(13)

Nietzche memandang posisi manusia sekarang dalam hubungannya

dengan nilai-nilai dan kepercayaan-Nya seperti seseorang yang berjalan di atas

tali, dimana pilihan yang tersedia baginya hanya satu yaitu maju, dan bahaya

yang mengancam-Nya begitu besar, sebab setiap saat dia bisa terjatuh dan mati

seperti penari tali dalam Prolog. Mundur bukan pilihan sama sekali, sebab selain

bahayanya sama besarnya dengan maju, seandainya berhasil pun akan sia-sia:

apa gunanya berjalan di atas tali kalau cuma untuk mundur lagi. Maka tak heran

jika Zarathustra berkali-kali menyerukan dan memuji-muji keberanian.

Di antara banyak sekali naskah di mana Nietzche mengulangi kembali

ajaran itu, marilah dikemukakan yang berikut, yang dikutip dari “Also sprach

Zarathustra”. Segala sesuatu pergi, segala sesuatu datang kembali: berputarlah

roda hakikat itu secara abadi. Segala sesuatu itu mati, segala sesuatu itu

berkembang lagi, berlangsunglah rangkaian hakikat itu secara abadi. Segala

sesuatu hancur, segala sesuatu disusun kembali: berdirilah hakikat yang sama

secara abadi. Lingkaran hakikat tetap setia pada dirinya sendiri secara abadi.

Hakikat itu mulai pada setiap saat pusatnya adalah di mana-mana. Jalan

kekekalan itu berlingkar”.4

Alasan mengapa Nietzche menerima ajaran ini, diberikan kepada kita

dengan jelas, waktu ia menulis: “ Barang siapa menolak untuk percaya pada

suatu proses bulat alam semesta harus percaya kepada suatu Allah yang berdaulat

dengan mutlak”. Oleh karena Nietzche hendak menolak mutlak ide Allah Sang

Pencipta, maka ia dengan mutlak harus menolak suatu dunia yang mempunyai

4

(14)

permulaan dan yang berevolusi, dimana nampak timbulnya hal yang

sungguh-sungguh baru. Namun Santo Thomas sudah mengemukakan bawa, bahkan

seandainya dunia tidak mempunyai permulaan, hal itu tidak membuatnya

mandiri, dan bahwa dunia itu tetap memerlukan penciptaan sama seperti

seandainya ia mempunyai permulaan di dalam waktu. Tetapi dalam hipotesis

adanya suatu permulaan, maka penciptaan itu terbukti dengan lebih jelas lagi.

Nietzche telah melihatnya dengan baik. Itulah sebabnya maka ia menerima tesis

suatu dunia “abadi” dalam keadaan” kembalinya segala sesuatu”, dengan percaya

bahwa dengan demikian ia dapat menyangkal penterjemahan ciptaan Allah.

Menurut Friedrich Nietzche, paham Kristen merupakan suatu terjemahan

bagi rakyat dari tema-tema besar para penganut Plato. Itu merupakan suatu

tafsiran yang tidak benar sama sekali. Pikiran Kristen sama sekali berlainan,

dalam struktur dan kecenderungan konstitutifnya, dengan platonisme. Oleh

karena itu terdapat pertentangan antara keduanya mengenai hal-hal yang

demikian pokok seperti Allah dan dunia, kosmologi, materi dan apa yang dapat

di tangkap panca indra, hubungan antara yang tunggal dan yang mejemuk,

antropologi (jiwa, pengenalan, panca indra), masalah kejahatan, etika dan

lain-lain. Seluruh pikiran Kitab Suci yang dibahas kembali dan diperdalam oleh

guru-guru agung filsafat dan teologi, sama sekali berbeda dengan segala bentuk

platonisme.5

Dengan latar belakang yang telah dipaparkan di depan, mengingat

pentingnya dilakukan penelitian dengan memahami Agama secara komprehensif,

5

(15)

kedua pendekatan itu seharusnya saling melengkapi. Meskipun keduanya bisa

dibedakan, keduanya tidak terpisahkan. Adanya dua dimensi dalam Agama, itulah

sebenarnya bisa memberi peran khas pada Agama, yaitu dalam kebudayaan.

Dalam hal ini akan penulis jadikan analisis Tauhid dengan alat teori Atheisme

Friedrich Nietzche.

Maka penulis tertarik dengan teori Atheisme Friedrich Nietzsch,untuk

melakukan observasi, dan membahasnya melalui penulisan dengan judul :

“ATHEISME FRIEDRICH NIETZSCH Dalam Perspektif Ketauhidan

Islam Menurut KH.Hasyim Asy’ari .

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan paparan latar belakang di atas dapat di ketahui timbulnya

beberapa masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep Atheisme dalam pandangan Friedrich Nietzche ?

2. Bagaimana konsep Atheisme Friedrich Nietche ditinjau dari Ketauhidan

Islam dalam perspektif KH.Hasyim Asy’ari

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan Rumusan masalah yang di atas maka Tujuan penelitian

ini adalah:

(16)

2. Untuk mengetahui konsep Atheisme Friedrich Nietche ditinjau dari

Ketauhidan Islam Menurut KH.Hasyim Asy’ari

D. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara

teoritis, praktis, maupun secara akademik.

1. Secara Teoritis

Penelitian ini disamping sebagai salah satu upaya memenuhi tugas

akhir dalam program strata S1 jurusan Filsafat dan Agama Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat dan juga diharapkan mampu menambah,

pengungkapan dalam bidang ilmu filsafat secara mendalam.

2. Secara Praktis

Sebagai kontribusi ilmu pengetahuan, khususnya mengenai analisis

Atheisme Friendrich Nietzche (Dalam Perspektif Ketauhidan Islam Menurut

KH.Hasyim Asy’ari) bagi peneliti lainnya.

3. Secara Akademik

Sebagai masukan dan sebagai pembendaharaan perpustakaan untuk

kepentingan ilmiah selanjutnya dapat memberikan informasi atau gambaran

bagi umat Islam mengenai ATHEISME FRIENDRICH NIETZCHE Dalam

(17)

E. Penegasan Judul

Penulis memilih judul Atheisme Nietzche dalam Perspektif Ketauhidan

Islam menurut KH.Hasyim Asy’ari untuk menjadi topik pembahasan dalam

skripsi ini. Alasannya yang pertama adalah mengetahui pemikiran Friedrich

Nietzche di lihat dari Ketauhidan Islam Menurut KH.Hasyim Asy’ari. Jadi

pembahasan pemikiran Atheisme Nietzche dalam konsep pemikiran Nietzche di

analisis dengan Ketauhidannya KH.Hasyim Asy’ari.

F. Telaah Pustaka

Dalam penulisan ini tentunya penulis menggunakan sumber primer dan

sumber sekunder. Sejauh ini penulis berhasil mengetahui karya ilmiah yang

membahas tentang “ATHEISME FRIEDRICH NIETZSCH ”Dalam

Perspektif Ketauhidan Islam Menurut KH.Hasyim Asy’ari.

1. Dalam buku Aliran-Aliran besar Atheisme pengarang Prof. Dr. Louis

Leahy SJ di sini menjelaskan bahwa Messianisme menurut Nietzche adalah

keselamatan aristokratis, yang terarah kepada timbulnya ”manusia”

(Ubermensch), yang berkehendak akan kakuasaan yang tak mengenal ampun

terhadap yang lemah, miskin dan tertindas. Marilah dicatat bahwa bukanlah ide

manusia ”atas” itu sendiri yang bertentangan dengan pandangan dunia Kristen,

melainkan suatu doktrin tertentu tentang apa itu kodrat manusia dan dalam arti

manakah ia harus melampaui dirinya. Adapun tentang ide itu sendiri, semenjak St.

Irenaeus dari Lyon, yang telah menerangkan bahwa manusia telah diciptakan

(18)

sendiri, sampai pada Teilhard, ide suatu perkembangan terakhir manusia, suatu

penciptaan manusia yang terus menerus, bahkan pada tingkat alamiah, bukan saja

tidak asing bagi paham Kristen, melainkan bersifat pokok baginya. Dan ahli

biografi Andler memberikan memberikan komentar:” Selama kaum tuan tetap

berdarah murni dan waspada untuk tidak melakukan percampuran dengan

budak-budak belian, maka daya mereka tetap tinggal utuh, dan peradaban terjamin.6

2. Dalam buku Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern Nietzche

pengarang F.Budi Hardiman di sini menjelaskan bahwa Istilah Renaisance

(Prancis: Renaisance) secara harfiah berarti “kelahiran kembali”. Istilah yang

mendahului istilah Prancis itu adalah kata Italia rinascita. Yang lahir kembali

adalah kebudayaan Yunani dan Romawi Kuno, setelah berabad-abad dikubur oleh

masyarakat abad pertengahan di bawah pimpinan gereja. Di sini kita perlu

hati-hati agar tidak terjebak ke dalam simplifikasi: Kata “kelahiran kembali” atau

“kembali ke” kultur antik lebih merupakan slogan.

G. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Telah dikemukakan bahwa Atheisme lebih suka pada suatu konsepsi dunia

yang bersifat siklis, dan para ahli filsafat yang mendahului Socrates, yang

membela pandangan ini. Dan ini dapat dimengerti, sebab apabila orang yakin

bahwa dunia adalah satu-satunya hakikat yang ada yakni keseluruhan hakikat, dan

apabila selanjutnya dikonstatasikan bahwa ada suatu penciptaan yang sedang

terjadi dalam dunia, demikian halnya apabila ada hal yang baru dan apabila dunia

6

(19)

itu merupakan suatu proses yang tak dapat diulang lagi.7Orang berusaha dengan

segala sarana untuk mengingkari segala hal yang sungguh-sungguh baru dalam

dunia. Dengan demikian orang kembali pada pikiran para ahli filsafat Yunani

yang pertama. Sebagaimana dikatakan Porphyrus dan Kehidupan Pythagoras.

“Menurut siklus-siklus periodik, maka apa yang terjadi akan ,terjadi lagi pada

suatu hari. Sebab tidak ada hal yang sama sekali baru.

Nietzche telah menerima ajaran ini. Dalam bulan Agustus 1881 ia

menyatakan bahwa ia telah memperoleh “suatu ilham tentang kembalinya segala

sesuatu”. Telah diadakan penelitian tentang sumber-sumber yang dipergunakan

oleh Nietzsche: Anaximandros, Heraklitos, para penganut Stoa serta

sumber-sumber Iran. Ia juga telah mempelajari dengan penuh semangat Agama Budha.

Nietzche berpendapat bahwa ajaran ini telah dibenarkan oleh ilmu pengetahuan.

Andler menyatakan bahwa, biarpun nampak sebaliknya, namun kita harus tetap

berpegang pada ajaran “kembalinya segala sesuatu”. 8

H. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan disajikan dalam empat bab, dan dalam memberikan

gambaran yang sistematis dalam penelitian ini menggunakan sistematika

penulisan sebagai berikut:

7 Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat barat, 1989. 8

(20)

BAB I Pendahuluan, yang memaparkan Latar Belakang, Rumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Penegasan judul, Telaah Pustaka,

Pendekatan dan Kerangka Teoritik, Sistematika Penulisan.

BAB II Mengenal lebih khusus pemikirannya tentang Atheisme

KH.Hasyim Asy’ari, konsep Ketauhidan dalam Perspektif KH.Hasyim

Asy’ari,sebagai landasan teoritik.

BAB III Dalam bab ini menjelaskan tentang Nietzche dan biografi

intelektual Nietzche. Yang pertama menjelaskan biografi sejarah

Nietzche.Kelahirannya, keluarganya, masa kecilnya, dan perkembangannya

hingga dewasa. Yang kedua berisi tentang sejarah Intelektual pendidikan serta

pemikiran dan gagasannya yang ketiga berisi karya-karya yang pernah dihasilkan

selama hidupnya yang keempat berisi tentang tokoh yang mempengaruhi

pemikiran Nietzche

BAB IV : Analisis tentang pemikiran Atheisme Nietzche dari sudut

pandang pemikiran KH.Hasyim Asy’ari.Di amati dengan peninjauan terhadap

pikiran Atheisme Nietzche dianalisis berdasarkan konsep tauhid KH,Hayim

Asy’ari ditinjau dari pemikiran Atheisme menggunakan sudut pandang pemikiran

KH.Hasyim Asy’ari Atheisme menggunakan pandangan Ketauhidan KH.Hasyim

Asy’ari.

(21)

BAB II

FRIEDRICH NIETZCHE DAN POKOK PEMIKIRAN

A. Sejarah Kelahiran Dan Karya Friedrich Nietzche

Ayah Nietzche adalah seorang pendeta terkemuka. Garis panjang

kependekatan membentang pada keluarga ayahnya. Ibunya adalah seorang

penganut Kristen yang taat. Pola hidupnya lebih teratus ketimbang seprang

Immanuel Kant. Kematian ayahnya yang masih relatif muda, membuat ibunya

lebih dominan. Nietzche dididik dalam atmosfer yang penuh kehalusan dan

kelembutan seorang wanita, maka ia membenci anak-anak nakal tetangganya,

bermain tentara-tentaraan dan menceritakan kebohongan-kebohongan.

Teman-teman sekolah memanggilnya Nietzche,”pendeta cilik” dan beberapa di antara

mereka menggambarkannya sebagai” Seorang Jesus yang hidup kesepian di

Biara.” Hobinya adalah menyendiri dan membaca Bible, atau membacakannya

untuk orang lain agar mencucurkan air mata.

Dalam dirinya terdapat semangat, kehormatan. Dan kebanggaan ketika

rekan-rekan sekolahnya mencemooh dan meraguka kisah tentang Mutius

Scaevola, dengan sengaja ia membakar setumpuk korek api dalam genggaman

tangannya. Kejadian itu hanyalah di antar banyak insiden yang tipikal pada dia:

seluruh hidupnya dihabiskan untuk mencari “perlengkapan” fisikal dan

intelektual, agar maskulinitas yang diidealkannya semakin kokoh dan kuat.

Pada usia kedelapan belas ia kehilangan kepercayaan Tuhan, dan

(22)

tuhan yang baru dalam Manusia Unggul (Umbermach), seperti orang yang telah mempertaruhkan seluruh hidupnya pada dunia. Dulu agama merupakan sumsum

hidupnya dan sekarang hidup menjadi kosong dan tidak bermakna. Ia tiba-tiba

menjalani sesuatu periode pesta pora sensual bersama teman-teman perempuan

sekolahnya di Boondan Leipzig. Pada periode yang sama, ia pun menjalani

kehidupan yang penuh dengan symbol kejantanan seperti merokok dan

mabuk-mabukan. Namun, periode itu tidak berlangsung lama. Segerta ia menjadi benci

pada anggur, perempuan, dan tembakau: ia beraksi pada segenap Biermuthlichkeit

negeri dan jamannya; “orang yang minum birdan menghisap tembakau,”

katanya,” tidak memiliki persepsi yang jernih dan pikiran yang dalam.

Tahun 1865, ia menemukan karya Schopenhauer,” Dunia sebagai Kehendak dan Gagasan,” dan menemukan didalamnya” sebuah cermin yang

memantulkan dunia, kehidupan, dan hakikat diri sendiri.” Ia membaca dengan

teliti setiap kata dan ungkapan dalam buku itu, seperti orang yang sedang

kelaparan menemukan setumpuk makanan. Warna gelap filsafat Schopenhauer

menanamkan kesan mendalam pada jiwanya; dan bukan hanya ketika ia menjadi

pengikut setia “Schopenhauer sebnagai pendidi” (judul salah satu menderita).

Hanya Spinoza dan Goethe yang menyelamatkanya dari Schopenhauer. Tetapi

meski ia mengjajarkan aquanimitas dan amor fati, ia tidak pernah

mempraktikannya dalam kehidupan nyata. Keteduhan jiwa dari kebijaksanaan,

dan ketenangan hati dari roh yang seimbang tidak pernah terpantul dalam sikap

(23)

Pada usia keduapuluh tiga ia bergabung dengan angkatan bersenjata

untuk berperang. Akan tetapi, akibat jatuh dari kuda, yang buat ia terluka dan

tidak pernah sembuh, ia harus meninggalkan kesatuannya. Pengalaman yang

militernya yang begitu singkat meninggalkan jejak yang memerintah dan

mematuhi perintah, untuk memiliki daya tahan dan disiplin yang tinggi,

menyentuh imajinasinya. Ia memuja dan mengagung-agungkan para serdadu

karena kesehatannya tidak akan mengizinkannya untuk menjadi seperti

mereka.Dalam kehidupan militer yang keras ia lalu beralih ke kehidupan yang

berlawanan kehidupan akademis sebagai seorang ahli bahasa (filolog). Bukannya

menjadi pahlawan perang, ia malah menjadi seorang doktor filsafat.

Hari kelahiran Nietzche bertepatan dengan tanggal lahir atau ulang tahun

ke 49 raja Prusia yaitu Friedrich Nietzche Wilhelm IV. Karl Ludwig (Ayah

Nietzche) sangat mengagumi raja tersebut, untuk itulah nama sang raja

disandingkan pada Nietzche sebagai nama depan. Bagi Nietzche, hari

kelahirannya menjadi kebanggaan tersendiri sebagaimana ia ungkapkan dalam

Ecce Homo (H-15) bahwa betapa beruntungnya ia dilahirkan pada tanggal itu karena ulang tahunnya selalu menjadi hari yang dirayakan oleh umum.

Pada usia yang ke-18, Nietzche mulai kehilangan akan pegangannya

dalam Agama Kristen yaitu Tuhan. Kenyataan inilah yang cukup jangkal, sebab ia

adalah keturunan pendeta atau keturunan keluarga yang shaleh. Orang-orang

sekelilingnya mengira bahwa kejanggalan ini hanyalah gejala anak remaja yang

bersifat sementara. Namun, kepercayaan akan Tuhan dalam agama Kristen itu

(24)

Pada tanggal 2 Mei 1879, Nietzche mengjukan petisi untuk dibebaskan

dari tugas mengajar di universitasnya: tanggal 14 juni ia memperoleh pensiun.

Bersama kota Bren, kemudian ke Zurich, lalu sendirian ke St. Moritz. Di kota itu

Nietzche menyelesaikan Sang pengelana dan Bayang-bayangnya (supleman

kedua untuk manusia terlalu manusiawi) di bulan September.1

Mereka yang hanya tahu karya-karyanya tanpa mengetahui riwayat hidupnya

akan terkejut, sebab filsuf yang yang lahir pada tanggal 15 Oktober 1844 di

Rocken di wilayah Sachen ini adalah seorang anak laki-laki berperangai hulus dari

sebuah keluarga Protestan Lutheran yang sangat shaleh.2

Pada tahun 1854, Nietzche masuk Gymnasium di kota Naumburg, namun

empat tahun kemudian ibunya memintanya belajar di sebuah sekolah asrama

Lutheran yang sangat termasyur di kota Pforta. Di sana, dia sudah membaca

karya-karya para sastrawan dan pemikir besar sperti: Schiller, Holderlin, dan

Byron, dan dia sangat kagum pada kejeniusan kebudayaan Yunani kuno, maka

saat itu juga meminati Plato dan Aeschylus. Pada tahun 1864, dia studi di

Universitas Bonn bersama temannya dari pforta yang kemudian juga termasyhur

sebagai pemikir dan filsuf, Paul Deussen mengatakan, bahwa do’a hanyalah ilusi

belaka, dia menjawab: “Itu salah satu dari kedugaan Feurbach. Pada tahun 1865,

dia belajar filogi di kota Leipzig, di bawah bimbingan Profesor Ritschl. Di kota

inilah, secara kebetulan di tukang loak, dia menemukan buku Schopenhauer, Die

Welt als Wille und Vorstellung. Di kota ini pula, dia meninggalkan agamanya.

1

Hollingdale, xlix-1 2

(25)

Hampir semua karya Nietzche tidak dituangkan dalam sebuah uraian

sistematis, seperti kita jumpai dalam sebagian besar filsuf modern yang sudah kita

bahas, khususnya Kant dan Hegel. Pikiran-pikirannya ia tuangkan dalam bentuk

aforisme-aforisme. Tidak sulit membaca aforisme-aforisme itu, sebab barupa

kalimat-kalimat pendek yang mudah dibaca secara harfiah. Dalam hal ini,

Nietzche adalah filsuf yang paling sukar dipahami sepanjang sejarah filsafat

modern. Kalau Nietzche meneliti masa silam Yunani, penelitiannya itu tidak sama

dengan penelitian sejarah biasa.3

Bersama Nietzche, filsafat kembali menjadi sangat berbahaya, kali ini dengan

sesuatu yang berbeda. Dalam abad-abad sebelumnya, filsafat hanya berbahaya

bagi para filsuf. Ditangan Nietzche, filsafat menjadi berbahaya bagi semua orang.

Pada akhirnya, Nietzche sendiri menjadi gila. Kegilaan ini begitu jelas terlihat

dalam tulisan-tulisannya yang terakhir Namun, gagasan-gagasannya yang

berbahaya telah dimulai jauh sebelum ia menjadi gila, dan hal ini tak ada

urusannya dengan kegilaan klinis yang dialaminya.Tulisan-tulisan itu memberikan

pertanda akan adanya suatu kegilaan kolektif yang meluas dan mengerikan di

Eropa pada paruh pertama abad kedua puluh. Kegilaan yang tampaknya bangkit

kembali saat ini di sana. Sulit sekali memberi label bagi gagasan-gagasan filosofis

Nietzche yang begitu luas itu. Entah ketika ia berbicara tentang manusia

super(superman), kehidupan abadi (eternal recurrence, gagasan bahwa kita

terus-menerus menjalani lagi hidup kita selamanya), atau tentang satu-satunya tujuan

3

(26)

peradaban (yakni untuk menghasilkan”manusia-manusia hebat”seperti Goethe,

Napoleon, dan dirinya sendiri).4

Karya Nietzche tentang Theognis meyakinkan Ritschl bahwa Nietzche adalah

mahasiswa paling maju ukuran anak-anak muda seumurannya yang pernah ia ajar,

dan pada tanggal 24 Februari diberitahukannya penilaian tersebut kepada

Nietzche, sesudah itu Ritschl menjadi pelindung Nietzche. Nietzche dipertobatkan

menjadi pengagum Wagner setelah menyaksikan pertunjukan awal Tristan dan

Meistersinger pada tanggal 28 Oktober. Sebelas hari kemudian ia bertemu dengan sang composer untuk pertama kalinya di rumah ipar Wagner, Herman Backhous,

Nietzche menjadi tahu bahwa Wagner pun adalah pengagum Schopenhauer. Kini

Wagner dan Schopenhauer menjadi kombinasi yang akan membentuk apa yang

secara “emosional adalah Agama baru”Nietzche.5

Akibat seluruh sentiment profetik yang mencegangkan itu, Nietzche pun

muncul sebagai seorang Schopenhauerian. Pada saat itu, ketika Nietzche tak

memiliki apapun yang bisa ia percaya, ia membutuhkan pesimisme dan

ketersaingan yang terdapat dalam ajaran Schopenhauer. Menurut Schopenhaueuer,

dunia hanyalah sebuah representasi yang ditopang oleh segala kehendak jahat

yang mengalir ke mana-mana.Kehendak ini buta, dan sama sekali tak peduli akan

segala hal yang menyangkut kemanusiaan. Pesimisme Schopenhauer tak

sepenuhnya sesuai dengan karakter Nietzche, akan tetapi ia dengan segera melihat

kejujuran dan kekuatan yang ada di dalam pandangan Schopenhauer. Nietzche

4

Paul Strathern :90 Menit bersama NIETZCHE.hlm 3-4 5

(27)

memang memiliki ketetapan hati yang kuat, tapi secara fisik ia sangat lemah dan

rentan. Nietzche sendiri mulai kehilangan rasa tertariknya atas filologi dengan

“seluruh ketidakpedulian ilmu itu akan masalah hidup yang sebenarnya.” Ia tidak

tahu apa yang harus dilakukannya.6

B. Sejarah Pemikiran Friendrich Nietzche

Hidup sebagai sejarah pemikirannya Nietzche, yang semula waktu kecil

adalah sosok paling taat akan perintah Agama. Tatkala umurnya yang ke-18, ia

mulai membuang apa yang sebelumnya ia yakini. Padahal garis kependekatan

membentang pada keluarga ayahnya. Jika diperhatikan dari latar belakang

keluarganya yang taat, Nietzche merupakan anti teis dari pernyataan bahwa” buah

jatuh tidak jauh dari pohonnya”.

Sebelumnya Nietzche telah mendapatkan inspirasi dari pemikiran Arthur

Shcopenhauer melalui karyanya Die Welt als Wille und Vor-stellung. Dalam

pandangan Schopenhauer dunia menampakkan diri pada kita sebagai suatu

representasi namun sifat dasarnya adalah kehendak. Kehendak itu adalah

keinginan yang sederhana serta mengarahkan segala sesuatu unsur negatif dalam

perkembangan pribadi seorang

Penghayatan hidup melalui jalur seni merupakan jawaban Nietzche untuk

membebaskan orang dari kungkungan moral. Pendekatan moral dikritik Nietzche

6

(28)

sejauh dilandasi keyakinan akan adanya hukum moral universal dan nila-nilai

moral yang absolut.7

Sejarah Nietzche yang dilakukan dalam zaman modern mengandaikan bahwa

peristiwa-peristiwa masa silam tak mungkin terulang, karena sudah lewat dan

menjadi “fakta sejarah”. Demikianlah yang dilakukan oleh aliran sejarah atau

historisisme. Penelitian sejarah macam itu memiliki asumsi bahwa ilmu

pengetahuan lebih penting daripada kehidupan. Nietzche membalikkan asumsi itu,

bahwa kehidupan bukan hanya lebih penting dari pada ilmu sejarah, tapi juga

memiliki kekuatan yang lebih menentukan daripada pengetahuan kita. Jika

demikian, penelitian sejarah harus mengabdi pada kehidupan. Artinya, studi

sejarah harus menghasilkan kebahagiaan manusia.

Dalam hubungan dengan itu, Nietzche membedakan antara sikap “historis”

(geschichtlicht) dan “tidak historis” (ungeschictlicht).untuk bertahan hidup, manusia harus menggunakan memorinya, maka sikap historis itu perlu. Namun,

terkadang sejarah atau memori itu justru menghalangi kebahagiaan, maka sama

perlunya dengan sikap historis adalah bersikap tidak historis, yakni kemampuan

untuk melupakan. Sikap ketiga yang dianut Nietzche dalam filsafat

kebudayaannya adalah “suprahistoris” (ubergeschichtlich). Baginya, masa silam

bisa mengajarkan sesuatu bagi masa kini, bahkan menjadi nubuat bagi masa

depan. Dengan kata lain, ada makna-makna yang melampaui perubahan sejarah.8

7

Albert Camus, Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurdita, ter. Apsanti D, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Umum, 1999),122

8

(29)

C. Atheisme Dalam Pandangan Friedrich Nietzche

Bagi Friedrich Nietzche Agama merupakan Agama hanya mementingkan jiwa

manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Di luar persoalan tersebut dianggap

tidak penting sakral sehingga perlu di jauhi. Hal inilah yang menurut pandangan

Nietzche terjadi pada Agama Kristen. Sehingga (Kristen) telah menumbuhkan dan

menanmkan suatu budaya yang bertentangan dengan kodrat manusia. Agama

menurutnya melawan alam dan membuat dunia menjadi tempat yang sengsara,

tanpa nafsu, tanpa hidup, Nietzche berpendapat kepercayaan pada Tuhan terikat

pada perasaan dan kecendrungan saja. Untuk itu manusia harus berusaha untuk

maju dengan memperjuangkan kekuatan dan kehendak untuk berkuasa, kebebasan

intelektual dan kejujuran hidup di dunia ini. Manusia tidak perlu mempunyai

kewajiban apapun, terhadap siapa pun selain dari dirinya sendiri. Manusia harus

kuat dan mampu menjadi pengganti Tuhan dalam menciptakan semua nilai dalam

aturan hidup.

Namun, kalau kita membaca betul Nietzche, solusi mencari Tuhan lain tidak

berbeda dengan pencarian pegangan baru. Artinya dengan demikian positivitas

nihilism tidak pernah dilampaui. Memang kalau kita mampu mempercayai tafsir,

kita bisa menemukan dalam teks Nietzche bahwa resah dan bingung manusia

menghadapi hilangnya pegangan. Tetapi kebingungan dan rasa membentur

tembok bukanlah yang terakhir. Ada dua catatan untuk teks di depan.

Catatan pertama, teks ini adalah kematian Tuhan dari tahun 1882 saat GS

edisi pertama diterbitkan. Pada waktu selanjutnya, nada keresahan ini akan lerem

(30)

terbit tahun 1886. Dengan demikian, ada dua sikap Nietzche: yang satu adalah

resah, sementara yang lainnya penuh pengembalian jarak.GS 4 menguraikan

adanya tiga macam sikap di depan warna kematian Tuhan. Yang satu tidak peduli,

menganggap kematian Tuhan hanya nggelamnya sejenis matahari belaka.

Terhadap kabar bahwa Tuhan yang kuno sudah mati, kita, para filsuf yang

lain, para roh bebas yang lain, kita merasa disentuh oleh berkas-berkas sinar fajar.

Menafsir kematian Tuhan hanya dengan perspektif GS 125 akan memunculkan

pesimisme dan disorientasi total manusia. Padahal yang diperlukan adalah

memperlakukan Nietzche sesuai dengan kompleksitas teks yang ia ajukan: disatu

sisi ada keresahan, di sisi lain ada ketentraman.

Catatan kedua untuk teks GS.125 adalah penunjukan kata kita sebagai para pembunuh Tuhan. Nietzche tidak membunuh Tuhan sendirian. Ia mengajak

zamannya untuk merenung: kita sendirilah para pembunuh-Nya. Orang Eropa

yang baik contohnya adalah Schopenhauer. Kemenangan Aufklarung dalam

bentuk saintisme yang membuang segala bahasa agamis dan metafisis tentang

Tuhan di bawa Schopenhauer ke ujung ekstremnya: Atheisme koheren. Sayang,

meskipun begitu, bagi Nietzche, Schopenhauer masih kanak-kanak sejauh ia

hanya mengafirmasi kebalikan dari apa yang ia tolak. Kristianisme yang melihat

dunia secara positif ia ganti dengan pandang negatife dan pesimistik tentang

dunia. Bagi Nietzche, Eropa adalah tradisi platonico-kristiani, yang dari

obsesinya ajkan kebenaran yang sebenar-benarnya, akhirnya melahirkan

pencerahan dan positivisme saintik.dua hal inilah dengan sendirinya meruntuhkan

(31)

Kaum fanarik ada di mana-mana. Pembengkalan sudut pandang dan sentivitas

lebihan dalam cara rasa-merasa bisa ditemukan di semua lini kehidupan: agama,

ilmu pengetahuan, ideologi politik, sampai ke Atheisme. Semakin orang fanatik

pada sebuah kepercayaan, hal itu menjadi simtom parahnya keterserakan

kehendak. Dan berkaitan dengan tingkat-tingkat kebutuhan kehendak, ia sama

sekali tidak berkaitan dengan tingkat-tingkat kebutuhan kehendak, ia sama sekali

(32)

BAB III

KH.Hasyim Asy’ari Dan Pemikiran Ketauhidannya

A.

Profil KH.Hasyim Asy’ari

Kiai Hasyim Asy’ari merupakan seorang tokoh besar yang menjadi panutan

umat, tidak hanya pada zamannya, tetapi sikap dan pemikiran beliau masih selalu

menjadi rujukan masyarakat hingga sekarang ini. Pertama, beliau mewariskan

NU organisasi besar yang terus berkembang hingga saat ini, di saat organisasi

lain telah surut bahkan bubar, sementara organisasi yang dibentuk Kiai Hasyim

Asy’ari semakin besar.

Dari NU juga muncul tokoh besar dan berpengaruh. Kedua, diantara para NU

yang berpengaruh itu adalah nasab dan atau keturunan langsung dari Kiai

Hasyim. Hal itu menunjukkan bahwa beliau memiliki dua kekuatan sekaligus,

yaitu kekuatan genetik memiliki nasab tangguh. Dengan kekuatan genetik itu

beliau mampu menurunkan karakter pada anak-anaknya sehingga memiliki

karakter mirip dengan beliau.

Tidak banyak tokoh yang mampu menurunkan karakternya hingga tiga

generasi sebegitu kuat seperti Kiai Hasyim. Selain beliau memiliki anak-anak

yang memiliki jiwa kepemimpinan dan kepeloporan seperti Kiai Wahid Hasyim,

KH.Choliq Hasyim dan KH.Yusuf Hasyim dan banyak yang lainnya. Tetapi

(33)

seperti Misalnya KH.Abdurrahman Wahid, KH.Salahudin Wahid, KH.Hasyim

Wahid dan sebagainya.

Itulah garis nasab Mbah Hasyim Asy’ari yang disebut dengan anak biologis,

tetapi juga sekaligus anak ideologis, karena mampu mewarisi aqidah dan

ideologi sebagaimana digariskan oleh KH.Hasyim Asy’ari. Dengan ada dua

kemampuan itu nasab KH.Hasyim Asy’ari ini mendapatkan penghormatan

tersendiri dari masyarakat. Sejalan dengan perkembangan zaman, kapasitas

seseorang tidak lagi bisa disandarkan pada nasab, tetapi pada kemampuan dan

kualitas diri, maka keluarga ini memiliki posisi penting di NU dan masyarakat.

Tetapi mereka itu menjadi NU bukan karena faktor biologis, sebagaimana di

alami KH.Wahid Hasyim, untuk masuk NU beliau harus berpikir selama empat

tahun, setelah menimbang secara obyektif, jauh dari pengaruh perasaan, sentiment

dan keturunan, barulah masuk NU tahun 1938. Disamping memiliki faktor

biologis, beliau ini betul-betul menjadi NU ideologis, yang mewarisi spirit

perjuangan NU. Sementara dengan kekuatan ideologisnya, KH.Hasyim Asy’ari

mampu mewariskan NU ini pada generasi penerusnya hingga masa satu abad. Di

tangan generasi kedua dan ketiga bahkan hingga keempat organisasi ini terus dan

berkembang, melampaui organisasi yang lain. Sepeninggal KH.Hasyim Asy’ari

tahun 1947, NU berhasil mengatasi berbagai rintangan baik dari Orde Baru

dengan milterisasinya. NU mampu mengatasi berbagai rintangan baik dari

colonial, dari tekanan maha berat dari Orde Baru dengan milterasinya. NU

mampu mengatasi rintangan itu dan keluar zaman Orde Baru dengan penuh

(34)

Ini menunjukkan bahwa NU memiliki kader yang handal yang ahli strategi

dalam setiap generasi, seperti KH.Wahab Hasbullah Djunaidi dan lain sebagainya.

Mereka adalah anak-anak ideologis KH.Hasyim Asy’ari, yang sanad keilmuan

dan perjuangannya nyambung dengan beliau. Setelah itu muncul generasi baru

yang mampu mengatasi berbagai persoalan reformasi dan gelombang globalisasi.

Kemampuan organisasi NU ini mengatasi kesulitan terbukti walaupun dalam

tekanan Orde Baru tetapi bisa keluar tidak hanya selamat tetapi mampu

memimpin dan mengendalikan keadaan sehingga salah satu tokoh NU bernama

Abdurrahman Wahid yang tidak lain adalah cucu dinobatkan sebagai Presiden RI.

Beliau ini tidak hanya sebagai anak biologis dari KH.Hasyim, tetapi juga

sekaligus anak ideologis Sang Kiai.

B. Konsep Ketauhidan KH.Hasyim Asy’ari

KH.Hasyim Asy’ari menulis mengenai Ahlus-sunnah wal jamaah dalam

kitabnya Ar-Risalah at-Tauhidiyah (kitab tentang tauhid) dan Al-Qalaid fi Bayan

ma Yajib min al-‘Aqaid (Syair-syair dalam menjelaskan mengenai

Kewajiban-kewajiban menurut aqidah). Menurut KH.Hasyim Asy’ari, merujuk pada

Ar-Risalah al-Qusyairiyyah, kitab tasawuf yang di tulis oleh al-Qusyairi, dan

komentar kitab ini, ada tiga tingkatan dalam mengartikan keesaan Tuhan (tauhid):

tingkatan pertama adalah pujian terhadap keesaan Tuhan: tingkatan kedua

meliputi pengetahuan dan pengertian mengenai keesan Tuhan: sementara

tingkatan ketiga tumbuh dari perasaan terdalam (dzawq) mengenai Hakim Agung

(35)

oleh ulama’biasa (ahl-az-zahir), sedangkan yang ketiga dimiliki oleh para sufi

yang telah sampai ke tingkatan pengetahuan pada Tuhan (ma’rifah) dan

mengetahui esensi Tuhan (haqiqah).1

Mengenai doktrin ini, KH. Hasyim Asy’ari juga mengutip sabda Rasul bahwa

iman adalah perbuatan yang paling di cintai Tuhan dan menyekutukan Tuhan

adalah kebalikan dari iman.2

Selain itu dengan mengutip, beberapa ulama’KH.Hasyim Asy’ari telah

mengatakan bahwa percaya kepada keesaan Tuhan membutuhkan iman dan siapa

saja yang tidak memiliki iman tidak akan percaya kepada keesaan Tuhan.3

Oleh karena itu, beliau mencela komunisme dalam pidato beliau di Muktamar

NU ke-17 pada 24 Mei 1947, sebagaimana berikut ini:

Materialisme historis mengembangkan pendapat bahwa kebahagiaan tidak

dapat di capai kecuali dengan materi (uang dan benda). Filsafat ini tidak

mempercayai adanya ruh (jiwa yang di bimbing Tuhan), dan tidak percaya pada

alam ghaib (seperti Tuhan, Malaikat,Jin, dan Syaitan) dan hari kemudian.

Kepercayaan ini sangat berbahaya bila tertanam pada jiwa anak-anak kita karena

dapat merusak kepercayaan mereka pada Islam.4

1

Asy’ari, Ad-durar, hlm.16-17 :Nurcholish Madjid,”Islam, Iman dan Ihsan sebagai

(36)

Menurut madzhab Jabariyah, semua perbuatan manusia terwujud hanya

dengan qudrah Allah semata. Sebaliknya, menurut mazhab Mu’tazilah, manusia

memiliki qudrah atau daya yang dengan dayanya itulah ia melakukan

perbuatan-perbuatannya. Sedangkan menurut madzhab Asy’ariyah, manusia memang

memiliki qudrah atau daya, tetapi tidak efektif. Allahlah yang menjadikan atau

menciptakan perbuatan manusia itu. Kaitannya dengan perbuatan manusia

(disebut sebagai perbuatan manusia), karena manusia tempat terjadinya perbuatan

itu. Dan karena bersamanya qudrah manusia yang tidak efektif itu dengan qudrah

Allah yang efektif dalam terjadinya perbuatan.

Para pendukung “Madzhab al-Asy’ari, setelah menetapkan konsep ajarannya

yang berpikir sesuai dengan undang-undang alam, mewajibkan pula bagi

orang-orang yang mempercayai ajaran itu, untuk meyakinkan kebenaran jalan pikiran

yang demikian dengan segala konklusinya, sebagaimana ia harus yakin kepada

akidah-akidah iman. Karena mereka berpendapat, bahwa tanpa adanya dalil,

menunjukkan kepada tidak adanya barang yang dibuktikan. Begitulah keadaan

berjalan, sampai datang imam al-Ghazali, Imam Al-Razi, dan orang-orang yang

sependirian dengan keduanya. Tokoh-tokoh ulama ini menentang madzhab

al-Asy’ari tentang jalan pikiran mereka.5

Aliran Asy’ariyah yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari berpendapat

bahwa membedakan pahamnya dengan paham jabariyah, al-Asy’ari menggunakan

5

(37)

kata al-kasb atau acquisition. Menurut Al-Asy’ari, semua perbuatan manusia

adalah makhluk atau diciptakan oleh Allah.6

Tidak ada yang menciptakan dan tidak ada yang melakukan serta tidak ada

yang menentukan suatu perbuatan, termasuk kasb manusia, selain dari Allah,

tegas al-Asy’ari. Selanjutnya beliau mengatakan: “Semua perbuatan mestilah ada

yang membuatnya. Tidak ada suatu perbuatan yang tidak ada pelakunya. Pelaku

atau fa’il itu tidak lain hanyalah Allah. Demikian juga, suatu perbuatan mesti ada

muktasib yaktasibuh. Dan karena perbuatan atau al-fi’il itu adalah kasb, maka

muktasibnya tidak lain adalah Allah juga.7

Dalam kitabnya Maqalat al-Islamiyyin, al-Asy’ari mengatakan bahwa iktisab

mempunyai arti bahwa segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang

diciptakan Tuhan pada manusia. Sedangkan kasb adalah suatu yang timbul dari

al-muktasib dengan perantaraan daya yang diciptakan itu. Dengan kata lain, iktisab

ialah terjadi sesuatu dengan qudrah muhdatsah. Maka sesuatu itu merupakan kasb

bagi seorang, sesuatu itu terjadi dengan qudrah-nya.8

Menurut al-Asy’ari, daya atau kemampuan yang ada pada manusia itu,

bukanlah miliknya, tetapi datang dari luar dirinya, tegasnya dari Tuhan. Buktinya,

manusia itu kadang-kadang mampu, kadang-kadang tidak mampu seperti juga ia

kadang tahu, kadang tidak tahu, kadang bergerak,

6

(38)

kadang tidak bergerak. Kalaulah kemampuan itu miliknya sendiri, tentu ia akan

terus selalu mampu selamanya. Kenyataannya tidaklah demikian. Maka dengan

begitu jelaslah bahwa istitha’ah itu bukanlah milik manusia.9

Kata al-Asy’ari, manusia mampu melakukan sesuatu dengan kemampuan yang

bukan miliknya sendiri. Alasannya, karena kadang ia mampu dan

kadang-kadang tidak mampu. Manakala ia pada kenyataannya sekali mampu dan pada

kali yang lain tidak mampu, maka nyatalah bahwa kemampuan itu bukan miliknya

sendiri.10

Teologi ini berakar kuat di kalangan umat Islam Indonesia, terbukti di

pondok-pondok pesantren masih diajarkan kitab-kitab Ummul Barahim, Aqidatul

Awwam, Sanusiyah,dan Kifayatul Awwam. Kitab-kitab tersebut merupakan karangan yang baik dalam ilmu tauhid, tetapi kemajuan dan perkembangan zaman

membuat buku-buku tersebut menjadi out date.11

Secara lebih jauh teologi tradisional tersebut berakar pada teologi Asy’ariyah

sebagai teologi Islam yang pertama kali masuk Indonesia.12 Menurut Harun

Nasution, teologi Asy’ariyah selain bersifat tradisional dan cenderung pada aliran

Jabariyah, juga lambat dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu

M. Rasjidi, Kata Pengantar, dalam Harun Nasution, Teologi Islam, Penerbit UI, Jakarta, 1986, hlm.vii

12

(39)

pengetahuan dan tekhnologi karena kelemahan manusia menurut paham tersebut

banyak bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan13.

Argumen ini dilandasi dengan Surah Al -Insan: 30, “ Kamu tidak dapat

menghendaki kecuali Allah yang menghendaki”. Ayat tersebut oleh Asy’ariyah

diartikan bahwa manusia tidak dapat menghendaki, kecuali jika Allah

menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu.14

Pemahaman tersebut membawa konsekuensi bahwa seseorang tidak dapat

pintar,kaya, naik pangkat, dan maju, kecuali jika Tuhan menghendaki ke arah

tersebut bukanlah daya manusia, melainkan daya Tuhan.15

Paham tersebut tidak menutup kemungkinan membawa sikap budaya statis

dan konsumtif di kalangan umat Islam, seperti adanya fenomena mangan ora

mangan kumpul, ono dino ono upo, anak nggowo rezeki dhewe-dhewe. Akibatnya, para pengikut Asy’ariyah (tradisional) kurang memiliki sikap inovatif kea rah

pengembangan diri yang bersifat rasional atau adanya era mitologis.

Paham ini diwakili oleh aliran Mu’tazilah yang ingin memahami hubungan

Tuhan, manusia, dan alam atas dasar wahyu dan akal. Mereka menempatkan akal

pada posisi yang tinggi. Akal sebagai sumber pengetahuan dan keraguan

dipandangnya sebagai salah satu metode dalam mencari kebenaran.

13

Harun Nasution, Teologi Islam, UI, Jakarta, 1986, hlm. 106-107. 14

Abdul Malik Al-Juwaini, Luma’ Al- Adillah, Kairo, 1965, hlm. 57. 15

(40)

Manusia ditempatkan dalam posisi yang penting dalam kehidupan di dunia

karena memiliki akal pikiran. Dengan akal itu, manusia dibebani tanggung jawab

besar dalam memakmurkan dunia sepadan dengan daya kemampuan akal

pikirannya meskipun akalnya serba terbatas. Oleh karena itu, sikap lekas

menyerah pada nasib, fatalisme, dan tawakal yang membuat keadaanya menjadi

statis tidak ada dalam aliran ini.

Menurut aliran ini kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak bersifat mutlak.

Kekuasaan Tuhan dibatasi oleh keadilan-Nya dan sunnatullah. Apabila ketentuan

itu dilanggar, Tuhan dapat bersifat tidak adil bahkan zalim. Sifat ini mustahil bagi

Allah.16 Menurut Abduh, kehendak Tuhan tidak pernah berkaitan dengan

pembatalan sunah-Nya dalam mengatur ciptaan-Nya. Jadi, menurutnya orang

yang berdo’a agar Tuhan menurunkan rezeki dari langit adalah orang yang

bodoh,17 dengan alasan orang tersebut tidak mengikuti hukum sebab akibat.18

Sunah atau hukum alam sebagai ciptaan Tuhan adalah kehendak Tuhan,

sedangkan manusia dalam mengikuti sunah Tuhan itu pada hakikatnya mengikuti

kehendak-Nya. Oleh karena itu, orang yang mengikuti sunnatullah pada

hakikatnya mengungkapkan kehendak illahi.19

Teori rasionalistik ini masuk ke Indonesia pada saat masuknya ide

pembaharuan Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad Abduh, dan Ibnu Taimiyah

16

Harun Nasution, op. cit., hlm. 119. 17

Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Asy-Syahir bi Tafsir Al-Manar, II, Dar Al-Manar, Kairo, 1967, hlm. 480.

18

Muhammad Abduh, Risalah At-Tuhid, Al-Manar, Kairo, 1958, hlm. 62 19

(41)

lewat para pembaru Indonesia yang belajar di Timur Tengah khususnya Mekah

dan Kairo.

Masuknya teologi tersebut diperkirakan disebabkan oleh adanya kesadaran

dari pembaru akan pentingnya pengembangan masyarakat untuk mengatasi

keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan. Bagi mereka, pembaruan mutlak

diperlukan karena pintu ijtihad di pandanganya senantiasa terbuka.20

Berkaitan dengan teologi rasionalistik, menurut Kuntowijoyo, selain ajarannya

memuat nilai-nilai yang dinamis, juga dapat melahirkan sikap individualistik dan

hubungan dalam masyarakat yang bersifat kontraktual.21

Teologi mereka yang bersifat rasionil dan liberal itu begitu menarik bagi kaum

inteligensia yang terdapat dalam lingkungan pemerintahan Kerajaan Islam

Abbasiah dipermulaan abad ke-9 M sehingga Khalifah Al-M’mun (813-833M),

kaum Mu’tazilah mulai bersikap menyiarkan ajaran-ajaran mereka secara

paksa,terutama faham mereka bahwa al-Qur’an bersifat makhluq dalam arti

diciptakan dan bukan bersifat qadim dalam arti kekal. Perlawanan ini kemudian

mengambil bentuk aliran teologi tradisionil yang disusun oleh Abu al-Hasan

Al-Asy’ari (935 M). Al-asy’ari sendiri pada mulanya adalah seorang Mu’tazilah,

tetapi kemudian, menurut riwayatnya setelah melihat dalam mimpi bahwa

ajran-ajaran Mu’tazilah dicap Nabi Muhammad sebagai ajran-ajaran-ajaran yang sesat,

20

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta, 1980, hlm. 325

21

(42)

Asy’ari meninggalkan ajaran ajaran-ajaran itu dan membentuk ajaran-ajaran baru

yang kemudian terkenal dengan nama teologi Al-Asy’ariyah atau al-Asya’irah.

Disamping aliran Asy’ariyah timbul pula di Samarkand suatu aliran yang

bermaksud juga menantang aliran Mu’tazilah dan didirikan oleh Abu Mansur

Muhammad al-Maturidi (w.944 M). Aliran ini kemudian terkenal dengan nama

teologi al-Maturidiyah, yang sebagai mana akan terlihat nanti tidaklah bersifat se-

tradisionil aliran Asy’ariyah, akan tetapi tidak pula bersifat se liberal Mu’tazilah.

sebenarnya aliran ini terbagi dalam dua cabang Samarkand yang bersifat agak

liberal dan cabang Bukhara yang bersifat tradisionil.

Selain dari Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi ada lagi

seorang teolog dari Mesir yang juga bermaksud untuk menentang ajaran-ajaran

kaum Mu’tazilah. Teolog itu bernama al-Tahawi (w.933 M) dan sebagai mana

halnya dengan al-Maturidi ia juga pengikut dari Abu Hanifah, Imam dari Mazhab

Hanafi dalam lapangan hukum Islam. Tetapi ajaran-ajaran al-Tahawi tidak

menjelma sebagai aliran teologi dalam Islam.

Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah

aliran Khawarij,Murji’ah,Mu’tazilah, Asy’ariyah dan al-Maturidiyah.Aliran-aliran

khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah tak mampu mempunyai wujud lagi kecuali

dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran-aliran Asy’ariyah dan

Maturidiyah dan keduanya disebut Ahl Sunnah wa al-Jamaa’ah. Aliran

Maturidiyah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedang

(43)

masuknya kembali faham rasionalisme ke dunia Islam, yang masuknya itu melalui

kebudayaan Barat modern, maka ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali,

terutama sekali di kalangan kaum intelegensia Islam yang mendapat pendidikan

Barat. Kata neo-Mu’tazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam.22

Sebagai akibat dari perbedaan faham yang terdapat dalam aliran-aliran teologi

Islam mengenai soal kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuasaan

manusia atas kehendak dan perbuatannya, terdapat pula perbedaan faham tentang

kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Bagi aliran yang berpendapat bahwa akal

mempunyai daya daya besar dan manusia bebas dan berkuasa atas kehendak dan

perbuatannya, kekuasaan dan kehendak Tuhan pada hakekatnya tidak lagi bersifat

mutlak semutlak-mutlknya. Bagi aliran yang berpendapat sebaliknya, kekuasaan

dan kehendak Tuhan tetap bersifat mutlak. Dengan demikian bagi kaum

Asy’ariyah, Tuhan berkuasa dan berkehendak mutlak, sedang bagi kaum

Mu’tazilah, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak lagi mempunyai sifat mutlak

semutlak-mutlaknya. Dalam menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak

Tuhan ini, al-Asy’ari menulis dalam Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada

siapapun: diatas Tuhan tidak ada suatu zat lain yang boleh dibuat dan apa yang

tidak boleh di buat Tuhan.

Bagi kaum Asy’ariyah, Tuhan memang tidak terikat kepada apapun, tidak

terikat kepada janji-janji, kepada norma-norma keadilan dan sebagainya.

Berlainan dengan faham kaum Asy’ariyah ini, kaum Mu’tazilah berpendapat

22

(44)

bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Sebagai

terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan mutlak Tuhan telah diberikan kepada

manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan.23

Salah satu pendekatan yang digunakan umat beragama untuk memahami

agamanya secara mendalam adalah mengkaji tentang ilmu teologi atau dalam

Islam di sebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Teologi Islam. Ilmu teologi lebih khusus

memfokuskan dalam pembahasan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan wilayah

ketuhanan dan bagaimana kita mengimami dan bersikap terhadap keberadaban

dan pengabdian terhadap Tuhan. Berbagai persoalan umat ini menimbulkan

kontroversi sehingga memecah ke dalam berbagai golongan. Di antara persoalan

kalam yang terkenal adalah masalah sifat Tuhan, status al-Qur’an, penciptaan

dunia, kausalitas, takdir, dan kehendak bebas.24

Teologi Islam menurut Ibnu Khaldun (1332-1402), seorang sejarawan muslim

terkemuka, bertolak dari rukun iman yang harus dipercayai oleh setiap muslim

agar memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. Rukun iman ini yang utama

ini perlu dibuktikan secara logis. Bukti-bukti itu ditemukan dalam al-Qur’an,

hadits-hadits Nabi SAW dan sumber tradisional lainnya. Para sarjana berusaha

menunjukkan bagaimana pembuktian itu dicapai dan bagaimana mengujinya.

Namun kemudian, muncul perbedaan pendapat tentang rinciannya, terutama

23

Le Systeme Philosophique des Mu’tazilah, (selanjutnya disebut Le Systeme) Beyrouth, Les Letters Orientales, 1956, hlm. 82.

24

(45)

menyangkut ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat yang bermakna ganda). Lama

kelamaan perbedaan pendapat tersebut mengarah pada perdebatan sengit, bahkan

permusuhan. Maka argument logika pun ditambahkan kepada sumber-sumber

pokok agama tersebut. Dengan cara inilah teologi dialektik muncul.25

C. Pemikiran KH.Hasyim Asy’ari

Pemikiran KH.Hasyim Asy’ari, memiliki pengaruh cukup kuat dalam

diskursus Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah di lingkaran ulama’ pesantren. Penting

dicatat bahwa, di kalangan ulama’pesantren, kredibilitaas intelektualnya Kyai

Hasyim tidak diragukan lagi. Kredibilitas inilah yang membawanya berada dalam

puncak otoritas di kalangan ulama pesantren, bahkan hingga saat ini. Paling tidak,

terdapat dua indikasi penting atas kuatnya pengaruh Kyai Hasyim di kalangan

Muslim tradisional. Belum satu pun ulama dari kalangan pesantren terutama yang

tergabung dalam organisasi NU yang mendapatkan status atau gelar kultural

sebagai Hadrat al-Shaykh.26

D. Hubungan Tuhan dengan akal

1. Manusia

Manusia terhubung dan menghubungkan diri dengan Tuhan melalui dosa.

Dalam do’a seorang dan menyampaikan seluruh suka-dukanya dalam menjalani

hidup. Baik orang beriman, umur dan hidup adalah amanah dan anugerah

sehingga sangat logis jika Tuhan menjadi sandaran terakhir tempat mengadu.

Dalam islam, salah satu forum untuk mengadu adalah shalat wajib dan kalau

25

Mulyadi Kertanegara, Ibid, hlm. 117. 26

(46)

dirasa kurang puas, shalat sunnah. Banyak sekali forum shalat sunnah yang

diajarkan Rasulullah SAW. Dalam berbagai hadis disebutkan, Allah senantiasa

menunggu hamba-Nya yang mau datang beraudiensi dan bersujud pada-Nya.

Pintu-Nya senantiasa terbuka mengingat Allah adalah Maha mendengar, Maha

Penerima Tobat, dan sumber semua kedamaian hidup sebagaimana tersurat dan

(47)

BAB IV

ANALISIS

Pemikiran Atheisme Nietzche di lihat dari sudut pandang KH.Hasyim

Asy’ari

Persatuan umat Islam merupakan konsekuensi logis adanya konsep

persaudaraan yang dibangun berdasar atas keyakinan/iman (ukhuwah Islamiyah).

Atas dasar ini, Rasulullah SAW, melakukan integrasi antara kaum Ansor

(penduduk pribumi Madinah) dengan kaum imigran (Muhajirin) melalui konsep

ukhuwah yang dibangun atas iman. Persaudaran berasas Iman ini mengikat

kelompok-kelompok berbeda di Yatsrib hingga mereka menjadi satu kesatuan tak

terpisahkan mengalahkan persaudaraan yang berasas pada garis darah. Di

kemudian hari, integrasi berdasar iman tersebut mampu membawa masyarakat

Madinah menjadi masyarakat beradab melampaui masyarakat lain di saat itu.

Dalam konteks berbeda, identitas berdasar Agama (Islam) diyakini

memberikan kontribusi signifikan dalam proses pembangunan identitas

keindonesiaan. Berawal dari identitas keislaman, masyarakat kepulauan

Nusantara yang terpisah secara geografis, kultural, suku, kerajaan dan bahasa

berhasil bersatu membentuk identitas bersama yang di kemudian hari kita sebut

sebagai Indonesia. Namun bukan berarti konsep ukhuwah Islam atau persatuan

(48)

Muslim menjadi tantangan bagi penerapan konsep ideal itu. Dalam konteks

Indonesia kekinian, keragaman pemikiran, praktik ritual, partai, dan kepentingan

turut membuat umat Islam saat ini tampak tidak bersatu dan terkesan bercerai.

Persoalan ini akan semakin rumit ketika pihak luar (theother) turut bermain

dengan segala macam hiden agendas-nya.

Popularitas Kiai Usman menjadi faktor daya tarik bagi banyak santri. Asy’ari,

seorang santri asal Demak yang cerdas dan luhur budi pekertinya, dijadikan

sebagai menantunya, yang kemudian hari mempunyai anak bernama Muhammad

Hasyim. Kendati terlahir dalam tradisi tarekat Naqsabandiyah, KH. Hasyim

Asy`ari tidak mengikuti jejak kakeknya dan bahkan bersikap kritis terhadap

eksistensi tarekat, dan terlibat polemik dengan Kiai Khalil dari Pesantren Darul

Ulum, pendiri tarekat Naqsabandiyah Rejoso, karena mendakwakan kewalian

dirinya.1

Sikap tersebut tidak berarti KH. Hasyim Asy`ari menolak sufisme

(taShawwuf) dan tarekat. Dalam epilog Sirâj al-Thâlibîn, SyarhMinhâj al-‘Âbidîn

ilâ Jannat Rabb al-’Âlamîn al-Ghazâlî karya Ihsan Muhammad Dahlan

Jampes-Kediri. KH.Hasyim Asy`ari memandang tasawuf sebagai pokok ilmu pengetahuan

Agama yang mensucikan hati dan mengarahkan Muslim mengenal Tuhan.8

Melalui karyanya yang berjudul al-Durar al-Muntathirah, Hasyim Asy`ari

mengafirmasi bahwa tarekat yang terlarang adalah tarekat yang berlawanan secara

1

(49)

diametral dengan al-Qur’an dan hadis karena tarekat semacam tidak lebih

merupakan tarekat yang menyimpang.2

Hasyim Asy`ari memperkenankan mengikuti tarekat yang sesuai dengan

tuntunan Nabi Muhammad, dengan beberapa catatan, antara lain: qasd Shahîh

(tujuan baik), artinya mengikuti tarekat harus disertai tujuan ibadah yang ikhlas,

bukan karena atas dasar keuntungan material dan karâmah; shidq sharîh (percaya

sepenuhnya kepada mursyid), artinya murid memiliki kepercayaan bahwa

mursyid-nya mampu mengantarkannya dekat dengan Tuhan; adâb mardhiyah

(tatakarama yang diridhai) artinya menjadi anggota tarekat tidak berarti lantas

bersikap egoistik, tetapi konsisten welas asih dan menghargai orang lain; ahwâl

zakiyah (tingkah laku yang bagus) artinya tarekat mengandaikan munculnya

perbuatan yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad; hifz al-hurmah

(menjaga kehormatan); husn al-khidmah (pelayanan) artinya memasuki tarekat

berarti memberikan pelayanan kepada guru dan kaum muslim; raf’u al-himmah

(meluhurkan kemauan), tarekat bukan tempat untuk merengkuh dunia, melainkan

sarana ma’rifat.; dan nufudh al-’azimah (melestarikan niat) membangun

kontinuitas memasuki tarekat untuk ma’rifat.

KH. Hasyim Asy`ari juga menegaskan beberapa koridor yang harus

dilakukan jika seseorang ingin diklasifikasikan sebagai pengikut tarekat yaitu, 1);

mempunyai sikap kasih sayang kepada orang lain 2) memuliakan orang lain; 3)

bersikap adil; dan 4) tidak mementingkan diri sendiri. Selain itu ahli tarekat harus:

1) menjauhi orang yang berbuat kedzaliman; 2) memuliakan orang ahli akhirat; 3)

2

(50)

menolong orang lain; dan 4) melaksanakan shalat lima waktu berjama’ah dan

tepat waktu.

Sejak kecil KH. Hasyim Asy`ari mempunyai semangat kaum pedagang.

Tujuh tahun sebelum NU berdiri, KH. Hasyim Asy`ari menjabat ketua Nahdlatul

Tujjar (1918), sebuah badan usaha berbentuk koperasi yang didirikan oleh KH.

Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Syansuri. Tidak mengherankan kiranya, pada

akhir hayatnya KH. Hasyim Asy`ari mewariskan dua hektar lahan pemukiman

dan sembilan hektar sawahnya kepada pesantren Tebuireng sebaga wakaf untuk

digunakan pusat pengembangan pendidikan agama.3

Latar belakang sosial keagamaan KH. Hasyim Asy`ari tidak ditempatkan

dalam ‘sangkar emas’ pesantren dengan masyarakat petani desa sebagai basis

sosialnya.Semangat dagang menjadikan KH. Hasyim Asy`ari sebagai golongan

santri menengah yang mempunyai padangan kosmopolitan dan tidak

terkungkung dalam pandangan keagamaan yang konservatif, di samping karena

ditunjang jaringan intelektual yangpanjang selama beberapa tahun di Makkah.4

Akan tetapi, pembaharuan yang dilakukan KH. Hasyim Asy`ari tidak

seradikal seperti yang dilakukan golongan Islam reformis lainnya. Watak budaya

Jawa telah membentuk karakter lunak KH. Hasyim Asy`ari yang selalu

menghargai dan melakukan perubahan secara gradual. Pembaharuan pemikiran

keagamaan KH. Hasyim Asy`ari juga merambah ke ranah pendidikan. Sejak tahun

3

Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 102

4

Referensi

Dokumen terkait

Unit Kontrol Dasar OptionButton – Contoh txtHasil Name Caption TextBox1 txtAsli 0 Name Caption TextBox1 lblHasil Hasil Convert Name Caption Label1 lblAsli Nilai Asli Name Caption

Sedangkan humor yang bersifat negatif memiliki kecenderungan untuk menceritakan lelucon dengan mengolok-olok spontan untuk menghibur, mengurangi ketegangan interpersonal

toilet , kemampuan anak menyiram toilet setelah buang air kecil, dan kemampuan anak mencuci dan mengeringkan tangan setelah buang air kecil di toilet. Dari kesimpulan umum di

‘ tuan ’ atau ‘ puan ’, kata ganti nama ‘ saya ’, ‘ awak ’, ‘ aku ’ dan ‘ kau ’, sebagai kata sapaan menunjukkan terdapat perbezaan umur antara orang yang

Sistem Online Focus Group Discussion adalah salah satu tool yang digunakan dalam menyampaikan pendapat dalam sebuah diskusi di mana terdapat peran seorang Moderator yang

Berdasarkan uraian di atas telah dilaksanakan penelitian melalui suatu percobaan yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh penggunaan tepung kulit kopi

Akan tetapi perihal yang hendak saya sampaikan saat ini, adalah, penyebab kemalangan besar bagi mereka yang tidak beriman, bahwa karena alasan duniawi, atau karena takut

Pulau Buru dan khususnya Kabupaten Buru memiliki potensi kekayaan sumberdaya alam yang sekiranya sangat besar, mulai dari kandungan emas hingga potensi panas bumi,