Skripsi
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Disusun Oleh:
Zeti Fitria Rahmawati NIM: E01212041
PRODI FILSAFAT AGAMA
JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Zeti Fitria Rahmawati. NIM. E01212041, 2016. Atheisme Niezche Dalam
Perspektif Ketauhidan KH. Hasyim Asy’ari. Program Studi Filsafat Agama.
Jurusan Pemikiran Islam. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Nietzche memang seorang pemikir ateis. Apakah Nietzche seorang ateis?
Penulis harus berhati-hati dalam menjawab pertanyaan ini. Sebab, di balik label
“ateis” dan label lain yang ada, tak pernah terucapkan: “ jahat”. Berbagai
pernyataan, juga keheranan tentang Nietzche biasanya terkait dengan kerangka
baik dan buruk ini, Atheisme bukan semata sebuah deskripsi melainkan sesuatu
yang sangat jauh dari itu, yaitu sebuah pemberian nilai. Tidak pernah ada seorang
fiolog pun yang berbicara sedemikian liris. Ia berbicara tentang dua dewa dalam
kesenian Yunani, yang dipuja oleh orang-orang Yunani Kuno.
Banyak juga pembahasan ini mengenai Atheisme Nietzche ini maka dari
beberapa pembahasan yang belum ditemukan yakni pada pembahasan ini di
padukan dengan teori yang digunakan.
Penelitian ini adalah kategori penelitian keperpustakaan (Library
research) yaitu suatu penelitian yang menjadikan sumber penelitiannya adalah bahan pustaka, tanpa melakukan survei maupun observasi. Dan sumber primer
dari penelitian ini adalah agar bagaimana tahu memahami tentang Atheisme
Nietzche bila di lihat dari kaca mata Ketauhidannya KH. Hasyim Asy’ari.
Kesimpulan dari permasalahan ini yakni Nietzche itu adalah memang
seorang pemikir ateis, tapi dibalik ateismenya itu, ada sesuatu yang lebih
mendasar dan sekaligus menunjukkan adanya dasar pemikiran yang tidak disadari
orang ateis, yaitu bahwa manusia bisa percaya pada Tuhan Pencipta Alam dia
DAFTAR ISI
G.Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 10
H.Sistematika Penulisan ... 11
BAB II FRIEDCRICH NIETZCHE DAN POKOK PEMIKIRAN A.Sejarah Kelahiran dan Karya Friedrich Nitetzche ... 13
B.Sejarah Pemikiran Friedrich Nietzche ... 19
C.Atheisme Dalam Pandangan Friedrich Nietzche ... 21
BAB III
KH.Hasyim Asy’ari Dan Pemikiran Ketauhidannya
... 39A.Profil KH.Hasyim Asy’ari . ... 24
B.Konsep Ketauhidan KH.Hasyim Asy’ari ... 26
C.Pemikiran KH.Hasyim Asy’ari ... 37
BAB IV ANALISIS
A. Pemikiran Atheisme Nietzche dilihat dari sudut pandang KH.Hasyim
Asy’ari ... 37
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan ... 56 B.Saran ... 57
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nietzsche dan Ateisme, adalah salah satu tema yang sering dilontarkan sehubungan dengan Nietzche dan karya-karyanya. Adapun yang ingin penulis
kemukakan pertama adalah keberaniannya, karena dia dianggap telah
menyatakan diri sebagai seorang ateis. Dalam tema “ Tuhan telah mati” diulang
-ulang sebagai bukti bahwa Nietzche memang seorang pemikir ateis. Apakah
Nietzche seorang ateis? Penulis harus berhati-hati dalam menjawab pertanyaan
ini. Sebab, di balik label “ateis” dan label lain yang ada,tak pernah terucapkan: “
jahat”. Berbagai pernyataan, juga keheranan tentang Nietzche biasanya terkait
dengan kerangka baik dan buruk ini, ateisme bukan semata sebuah deskripsi
melainkan sesuatu yang sangat jauh dari itu, yaitu sebuah pemberian nilai.1
Dalam bukunya Zarathustra Friedrich Nietzche menyatakan diri sebagai
orang yang tidak bertuhan , dan ini merupakan bukti dari Nietzche sendiri bahwa
dia memang ateis, tidak percaya pada suatu zat yang menciptakan jagat dan
isinya, termasuk manusia. Kutipan ini menunjukkan bahwa Zahrathustra atau
Nietzche tidak percaya bahwa dunia itu diciptakan. Ia percaya bahwa jagat
adalah sesuatu yang berulang kali ada dan berulang kali tiada secara
terus-menerus berkesinambungan. Maka, dari sisi ketertiban berbahasa, kita pantas
1
menyebut dia ateis. Tapi dibalik ateismenya itu, ada sesuatu yang lebih mendasar
dan sekaligus menunjukkan adanya dasar pemikiran yang tidak disadari orang
teis, yaitu bahwa manusia bisa percaya pada Tuhan Pencipta Alam dia harus
percaya terlebih dahulu bahwa jagat adalah ciptaan. Jadi, pada dasarnya,
ketidakpercayaan atau ateisme Nietzche dalam hal ini bukanlah sesuatu yang
tertuju pada Tuhan tapi tertuju pada konsep penciptaan jagat. Karena dia tidak
percaya bahwa jagat ini adalah ciptaan, dengan sendirinya dan dengan logis pula
ia bisa tidak percaya bahwa ada sesuatu yang bisa dikatakan sebagai
pencipta-Nya. Maka, kita harus mengkoreksi anggapan bahwa pemikiran Nietzche
didasarkan pada sikap anti Tuhan, termasuk pula pernyataan penulis di depan.
Perbedaannya bukan pada bidang teologis, tapi pada kosmologi.
Lalu, mengapa Nietzche bersikeras bahwa Tuhan telah mati? Dia
mengatakan bahwa kematian Tuhan itu disebabkan oleh rasa belas kasihan
melihat keburukan-keburukan manusia. Dia tidak mengatakan bahwa Tuhan itu
tidak ada. Dengan mengatakan bahwa Tuhan telah mati maka Nietzche tidak bisa
dikatakan menegasi keberadaan Tuhan saat itu disebabkan oleh manusia, maka
sebenarnya pernyataan ini lebih tertuju pada negasi terhadap eksistensi Tuhan
secara metafisik, tapi lebih tertuju pada tidak berperannya kepercayaan akan
Tuhan dalam kehidupan manusia pada umumnya. Pada poin terakhir ini, yaitu
bahwa memang di jaman modern ini manusia makin banyak yang “tersesat”,
banyak disetujui oleh orang teis. Bahwa ia mendeskripsikan situasi ini dengan
agama bukan dari dalam agama itu sendiri melainkan dari luar, ia memandang
agama sebagai sebuah obyek penelitian.2
Maka, baik “ tuhan” maupun “ Tuhan” dalam pemahaman Nietzche
adalah sebuah sistem yang diyakini, itu sebenarnya berasal dari
kegiatan-kegiatan kepenyairan di masa lalu. Keyakinannya ini membuat dia mengambil
sikap yang berbeda, dan karena perbedaan sikap ini berkenaan dengan sebuah hal
yang telah diyakini selama ribuan tahun, ia menjadi tampak seperti iblis. Namun
sebenarnya yang ada di balik ”ateisme” itu adalah sebuah pengamatan tentang
kesenjangan antara idealisme beragama dengan praktek kehidupan beragama.
Jika orang-orang ateis memandang situasi modern dari sudut internal agama
yaitu sebagai sebuah situasi yang makin lama makin menyeleweng dari jalan
yang lurus dan merupakan sebuah borok yang harus diobati, maka Nietzche
justru mengambil jalan sebaliknya, yaitu bahwa jika memang “kematian” Tuhan
-lah yang tergambar dalam perilaku manusia, maka lebih baik kematian itu
direngkuh dan dirayakan. Inilah obyektivitas Nietzche. Jika kaum teis
menganggap bahwa kesenjangan itu harus dijembatani, maka Nietzche lebih
memilih untuk menganggapnya sebagai “tanda-tanda cuaca”. Metafor “ tanda
cuaca” ini pun bukan ciptaan-Nya melainkan sebuah alusi yang merujuk pada
sabda-sabda itu yang dimau manusia, kalau memang manusia tidak mau lagi
menyerahkan nasibnya kepada Tuhan.3
2
Ibid,.hlm 8
3
Baik Inilah khotbah untuk telinga mereka! Aku Zarathustra yang tak bertuhan, bersabda: “Siapakah yang lebih tak bertuhan daripada diriku, supaya
aku dapat bersukacita dalam ajaran-Nya?”
Aku Zahrathustra yang tak bertuhan! Di mana akan kutemukan orang setara? Dan inilah orang yang setara denganku: yaitu dia yang memberikan Kehendak-Nya kepada diri-Nya sendiri dan menanggalkan semua penyerahan diri. Aku Zahrathustra yang tak bertuhan! Aku memasak semua kesempatan dalam periukku sendiri. Dan setelah matang barulah aku menerimanya sebagai makananku.
Maka kita lihat bahwa betapapun besarnya negasi yang timbul dari sikap
seperti ini terhadap keyakinan Tuhan, sebenarnya Nietzche tidak memandangnya
sebagai sebuah pemberontakan. Bukankah manusia sendiri yang telah bertingkah
begitu memuakkannya sehingga keyakinan terhadap Tuhan tidak lagi bisa
didapati di antara mereka? Ketika ribuan tahun telah berlalu dan kualitas moral
manusia masih tetap seperti itu-itu saja (yang terbukti dari masih perlunya
melaksanakan hukum-hukum yang telah diciptakan ribuan tahun yang lalu),
ketika manusia tetap melakukan pelanggaran-pelanggaran yang sama dengan
yang dilakukan di masa sebelum kemunculan Agama, maka sudah tiba saatnya
mengambil langkah maju dengan berani. Maju, dalam artian tidak lagi
memandang kewarisan masa lalu yang disebut Agama itu, melainkan
Nietzche memandang posisi manusia sekarang dalam hubungannya
dengan nilai-nilai dan kepercayaan-Nya seperti seseorang yang berjalan di atas
tali, dimana pilihan yang tersedia baginya hanya satu yaitu maju, dan bahaya
yang mengancam-Nya begitu besar, sebab setiap saat dia bisa terjatuh dan mati
seperti penari tali dalam Prolog. Mundur bukan pilihan sama sekali, sebab selain
bahayanya sama besarnya dengan maju, seandainya berhasil pun akan sia-sia:
apa gunanya berjalan di atas tali kalau cuma untuk mundur lagi. Maka tak heran
jika Zarathustra berkali-kali menyerukan dan memuji-muji keberanian.
Di antara banyak sekali naskah di mana Nietzche mengulangi kembali
ajaran itu, marilah dikemukakan yang berikut, yang dikutip dari “Also sprach
Zarathustra”. Segala sesuatu pergi, segala sesuatu datang kembali: berputarlah
roda hakikat itu secara abadi. Segala sesuatu itu mati, segala sesuatu itu
berkembang lagi, berlangsunglah rangkaian hakikat itu secara abadi. Segala
sesuatu hancur, segala sesuatu disusun kembali: berdirilah hakikat yang sama
secara abadi. Lingkaran hakikat tetap setia pada dirinya sendiri secara abadi.
Hakikat itu mulai pada setiap saat pusatnya adalah di mana-mana. Jalan
kekekalan itu berlingkar”.4
Alasan mengapa Nietzche menerima ajaran ini, diberikan kepada kita
dengan jelas, waktu ia menulis: “ Barang siapa menolak untuk percaya pada
suatu proses bulat alam semesta harus percaya kepada suatu Allah yang berdaulat
dengan mutlak”. Oleh karena Nietzche hendak menolak mutlak ide Allah Sang
Pencipta, maka ia dengan mutlak harus menolak suatu dunia yang mempunyai
4
permulaan dan yang berevolusi, dimana nampak timbulnya hal yang
sungguh-sungguh baru. Namun Santo Thomas sudah mengemukakan bawa, bahkan
seandainya dunia tidak mempunyai permulaan, hal itu tidak membuatnya
mandiri, dan bahwa dunia itu tetap memerlukan penciptaan sama seperti
seandainya ia mempunyai permulaan di dalam waktu. Tetapi dalam hipotesis
adanya suatu permulaan, maka penciptaan itu terbukti dengan lebih jelas lagi.
Nietzche telah melihatnya dengan baik. Itulah sebabnya maka ia menerima tesis
suatu dunia “abadi” dalam keadaan” kembalinya segala sesuatu”, dengan percaya
bahwa dengan demikian ia dapat menyangkal penterjemahan ciptaan Allah.
Menurut Friedrich Nietzche, paham Kristen merupakan suatu terjemahan
bagi rakyat dari tema-tema besar para penganut Plato. Itu merupakan suatu
tafsiran yang tidak benar sama sekali. Pikiran Kristen sama sekali berlainan,
dalam struktur dan kecenderungan konstitutifnya, dengan platonisme. Oleh
karena itu terdapat pertentangan antara keduanya mengenai hal-hal yang
demikian pokok seperti Allah dan dunia, kosmologi, materi dan apa yang dapat
di tangkap panca indra, hubungan antara yang tunggal dan yang mejemuk,
antropologi (jiwa, pengenalan, panca indra), masalah kejahatan, etika dan
lain-lain. Seluruh pikiran Kitab Suci yang dibahas kembali dan diperdalam oleh
guru-guru agung filsafat dan teologi, sama sekali berbeda dengan segala bentuk
platonisme.5
Dengan latar belakang yang telah dipaparkan di depan, mengingat
pentingnya dilakukan penelitian dengan memahami Agama secara komprehensif,
5
kedua pendekatan itu seharusnya saling melengkapi. Meskipun keduanya bisa
dibedakan, keduanya tidak terpisahkan. Adanya dua dimensi dalam Agama, itulah
sebenarnya bisa memberi peran khas pada Agama, yaitu dalam kebudayaan.
Dalam hal ini akan penulis jadikan analisis Tauhid dengan alat teori Atheisme
Friedrich Nietzche.
Maka penulis tertarik dengan teori Atheisme Friedrich Nietzsch,untuk
melakukan observasi, dan membahasnya melalui penulisan dengan judul :
“ATHEISME FRIEDRICH NIETZSCH Dalam Perspektif Ketauhidan
Islam Menurut KH.Hasyim Asy’ari .
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan paparan latar belakang di atas dapat di ketahui timbulnya
beberapa masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep Atheisme dalam pandangan Friedrich Nietzche ?
2. Bagaimana konsep Atheisme Friedrich Nietche ditinjau dari Ketauhidan
Islam dalam perspektif KH.Hasyim Asy’ari
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan Rumusan masalah yang di atas maka Tujuan penelitian
ini adalah:
2. Untuk mengetahui konsep Atheisme Friedrich Nietche ditinjau dari
Ketauhidan Islam Menurut KH.Hasyim Asy’ari
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara
teoritis, praktis, maupun secara akademik.
1. Secara Teoritis
Penelitian ini disamping sebagai salah satu upaya memenuhi tugas
akhir dalam program strata S1 jurusan Filsafat dan Agama Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat dan juga diharapkan mampu menambah,
pengungkapan dalam bidang ilmu filsafat secara mendalam.
2. Secara Praktis
Sebagai kontribusi ilmu pengetahuan, khususnya mengenai analisis
Atheisme Friendrich Nietzche (Dalam Perspektif Ketauhidan Islam Menurut
KH.Hasyim Asy’ari) bagi peneliti lainnya.
3. Secara Akademik
Sebagai masukan dan sebagai pembendaharaan perpustakaan untuk
kepentingan ilmiah selanjutnya dapat memberikan informasi atau gambaran
bagi umat Islam mengenai ATHEISME FRIENDRICH NIETZCHE Dalam
E. Penegasan Judul
Penulis memilih judul Atheisme Nietzche dalam Perspektif Ketauhidan
Islam menurut KH.Hasyim Asy’ari untuk menjadi topik pembahasan dalam
skripsi ini. Alasannya yang pertama adalah mengetahui pemikiran Friedrich
Nietzche di lihat dari Ketauhidan Islam Menurut KH.Hasyim Asy’ari. Jadi
pembahasan pemikiran Atheisme Nietzche dalam konsep pemikiran Nietzche di
analisis dengan Ketauhidannya KH.Hasyim Asy’ari.
F. Telaah Pustaka
Dalam penulisan ini tentunya penulis menggunakan sumber primer dan
sumber sekunder. Sejauh ini penulis berhasil mengetahui karya ilmiah yang
membahas tentang “ATHEISME FRIEDRICH NIETZSCH ”Dalam
Perspektif Ketauhidan Islam Menurut KH.Hasyim Asy’ari.
1. Dalam buku Aliran-Aliran besar Atheisme pengarang Prof. Dr. Louis
Leahy SJ di sini menjelaskan bahwa Messianisme menurut Nietzche adalah
keselamatan aristokratis, yang terarah kepada timbulnya ”manusia”
(Ubermensch), yang berkehendak akan kakuasaan yang tak mengenal ampun
terhadap yang lemah, miskin dan tertindas. Marilah dicatat bahwa bukanlah ide
manusia ”atas” itu sendiri yang bertentangan dengan pandangan dunia Kristen,
melainkan suatu doktrin tertentu tentang apa itu kodrat manusia dan dalam arti
manakah ia harus melampaui dirinya. Adapun tentang ide itu sendiri, semenjak St.
Irenaeus dari Lyon, yang telah menerangkan bahwa manusia telah diciptakan
sendiri, sampai pada Teilhard, ide suatu perkembangan terakhir manusia, suatu
penciptaan manusia yang terus menerus, bahkan pada tingkat alamiah, bukan saja
tidak asing bagi paham Kristen, melainkan bersifat pokok baginya. Dan ahli
biografi Andler memberikan memberikan komentar:” Selama kaum tuan tetap
berdarah murni dan waspada untuk tidak melakukan percampuran dengan
budak-budak belian, maka daya mereka tetap tinggal utuh, dan peradaban terjamin.6
2. Dalam buku Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern Nietzche
pengarang F.Budi Hardiman di sini menjelaskan bahwa Istilah Renaisance
(Prancis: Renaisance) secara harfiah berarti “kelahiran kembali”. Istilah yang
mendahului istilah Prancis itu adalah kata Italia rinascita. Yang lahir kembali
adalah kebudayaan Yunani dan Romawi Kuno, setelah berabad-abad dikubur oleh
masyarakat abad pertengahan di bawah pimpinan gereja. Di sini kita perlu
hati-hati agar tidak terjebak ke dalam simplifikasi: Kata “kelahiran kembali” atau
“kembali ke” kultur antik lebih merupakan slogan.
G. Pendekatan dan Kerangka Teoritik
Telah dikemukakan bahwa Atheisme lebih suka pada suatu konsepsi dunia
yang bersifat siklis, dan para ahli filsafat yang mendahului Socrates, yang
membela pandangan ini. Dan ini dapat dimengerti, sebab apabila orang yakin
bahwa dunia adalah satu-satunya hakikat yang ada yakni keseluruhan hakikat, dan
apabila selanjutnya dikonstatasikan bahwa ada suatu penciptaan yang sedang
terjadi dalam dunia, demikian halnya apabila ada hal yang baru dan apabila dunia
6
itu merupakan suatu proses yang tak dapat diulang lagi.7Orang berusaha dengan
segala sarana untuk mengingkari segala hal yang sungguh-sungguh baru dalam
dunia. Dengan demikian orang kembali pada pikiran para ahli filsafat Yunani
yang pertama. Sebagaimana dikatakan Porphyrus dan Kehidupan Pythagoras.
“Menurut siklus-siklus periodik, maka apa yang terjadi akan ,terjadi lagi pada
suatu hari. Sebab tidak ada hal yang sama sekali baru.
Nietzche telah menerima ajaran ini. Dalam bulan Agustus 1881 ia
menyatakan bahwa ia telah memperoleh “suatu ilham tentang kembalinya segala
sesuatu”. Telah diadakan penelitian tentang sumber-sumber yang dipergunakan
oleh Nietzsche: Anaximandros, Heraklitos, para penganut Stoa serta
sumber-sumber Iran. Ia juga telah mempelajari dengan penuh semangat Agama Budha.
Nietzche berpendapat bahwa ajaran ini telah dibenarkan oleh ilmu pengetahuan.
Andler menyatakan bahwa, biarpun nampak sebaliknya, namun kita harus tetap
berpegang pada ajaran “kembalinya segala sesuatu”. 8
H. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan disajikan dalam empat bab, dan dalam memberikan
gambaran yang sistematis dalam penelitian ini menggunakan sistematika
penulisan sebagai berikut:
7 Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat barat, 1989. 8
BAB I Pendahuluan, yang memaparkan Latar Belakang, Rumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Penegasan judul, Telaah Pustaka,
Pendekatan dan Kerangka Teoritik, Sistematika Penulisan.
BAB II Mengenal lebih khusus pemikirannya tentang Atheisme
KH.Hasyim Asy’ari, konsep Ketauhidan dalam Perspektif KH.Hasyim
Asy’ari,sebagai landasan teoritik.
BAB III Dalam bab ini menjelaskan tentang Nietzche dan biografi
intelektual Nietzche. Yang pertama menjelaskan biografi sejarah
Nietzche.Kelahirannya, keluarganya, masa kecilnya, dan perkembangannya
hingga dewasa. Yang kedua berisi tentang sejarah Intelektual pendidikan serta
pemikiran dan gagasannya yang ketiga berisi karya-karya yang pernah dihasilkan
selama hidupnya yang keempat berisi tentang tokoh yang mempengaruhi
pemikiran Nietzche
BAB IV : Analisis tentang pemikiran Atheisme Nietzche dari sudut
pandang pemikiran KH.Hasyim Asy’ari.Di amati dengan peninjauan terhadap
pikiran Atheisme Nietzche dianalisis berdasarkan konsep tauhid KH,Hayim
Asy’ari ditinjau dari pemikiran Atheisme menggunakan sudut pandang pemikiran
KH.Hasyim Asy’ari Atheisme menggunakan pandangan Ketauhidan KH.Hasyim
Asy’ari.
BAB II
FRIEDRICH NIETZCHE DAN POKOK PEMIKIRAN
A. Sejarah Kelahiran Dan Karya Friedrich Nietzche
Ayah Nietzche adalah seorang pendeta terkemuka. Garis panjang
kependekatan membentang pada keluarga ayahnya. Ibunya adalah seorang
penganut Kristen yang taat. Pola hidupnya lebih teratus ketimbang seprang
Immanuel Kant. Kematian ayahnya yang masih relatif muda, membuat ibunya
lebih dominan. Nietzche dididik dalam atmosfer yang penuh kehalusan dan
kelembutan seorang wanita, maka ia membenci anak-anak nakal tetangganya,
bermain tentara-tentaraan dan menceritakan kebohongan-kebohongan.
Teman-teman sekolah memanggilnya Nietzche,”pendeta cilik” dan beberapa di antara
mereka menggambarkannya sebagai” Seorang Jesus yang hidup kesepian di
Biara.” Hobinya adalah menyendiri dan membaca Bible, atau membacakannya
untuk orang lain agar mencucurkan air mata.
Dalam dirinya terdapat semangat, kehormatan. Dan kebanggaan ketika
rekan-rekan sekolahnya mencemooh dan meraguka kisah tentang Mutius
Scaevola, dengan sengaja ia membakar setumpuk korek api dalam genggaman
tangannya. Kejadian itu hanyalah di antar banyak insiden yang tipikal pada dia:
seluruh hidupnya dihabiskan untuk mencari “perlengkapan” fisikal dan
intelektual, agar maskulinitas yang diidealkannya semakin kokoh dan kuat.
Pada usia kedelapan belas ia kehilangan kepercayaan Tuhan, dan
tuhan yang baru dalam Manusia Unggul (Umbermach), seperti orang yang telah mempertaruhkan seluruh hidupnya pada dunia. Dulu agama merupakan sumsum
hidupnya dan sekarang hidup menjadi kosong dan tidak bermakna. Ia tiba-tiba
menjalani sesuatu periode pesta pora sensual bersama teman-teman perempuan
sekolahnya di Boondan Leipzig. Pada periode yang sama, ia pun menjalani
kehidupan yang penuh dengan symbol kejantanan seperti merokok dan
mabuk-mabukan. Namun, periode itu tidak berlangsung lama. Segerta ia menjadi benci
pada anggur, perempuan, dan tembakau: ia beraksi pada segenap Biermuthlichkeit
negeri dan jamannya; “orang yang minum birdan menghisap tembakau,”
katanya,” tidak memiliki persepsi yang jernih dan pikiran yang dalam.
Tahun 1865, ia menemukan karya Schopenhauer,” Dunia sebagai Kehendak dan Gagasan,” dan menemukan didalamnya” sebuah cermin yang
memantulkan dunia, kehidupan, dan hakikat diri sendiri.” Ia membaca dengan
teliti setiap kata dan ungkapan dalam buku itu, seperti orang yang sedang
kelaparan menemukan setumpuk makanan. Warna gelap filsafat Schopenhauer
menanamkan kesan mendalam pada jiwanya; dan bukan hanya ketika ia menjadi
pengikut setia “Schopenhauer sebnagai pendidi” (judul salah satu menderita).
Hanya Spinoza dan Goethe yang menyelamatkanya dari Schopenhauer. Tetapi
meski ia mengjajarkan aquanimitas dan amor fati, ia tidak pernah
mempraktikannya dalam kehidupan nyata. Keteduhan jiwa dari kebijaksanaan,
dan ketenangan hati dari roh yang seimbang tidak pernah terpantul dalam sikap
Pada usia keduapuluh tiga ia bergabung dengan angkatan bersenjata
untuk berperang. Akan tetapi, akibat jatuh dari kuda, yang buat ia terluka dan
tidak pernah sembuh, ia harus meninggalkan kesatuannya. Pengalaman yang
militernya yang begitu singkat meninggalkan jejak yang memerintah dan
mematuhi perintah, untuk memiliki daya tahan dan disiplin yang tinggi,
menyentuh imajinasinya. Ia memuja dan mengagung-agungkan para serdadu
karena kesehatannya tidak akan mengizinkannya untuk menjadi seperti
mereka.Dalam kehidupan militer yang keras ia lalu beralih ke kehidupan yang
berlawanan kehidupan akademis sebagai seorang ahli bahasa (filolog). Bukannya
menjadi pahlawan perang, ia malah menjadi seorang doktor filsafat.
Hari kelahiran Nietzche bertepatan dengan tanggal lahir atau ulang tahun
ke 49 raja Prusia yaitu Friedrich Nietzche Wilhelm IV. Karl Ludwig (Ayah
Nietzche) sangat mengagumi raja tersebut, untuk itulah nama sang raja
disandingkan pada Nietzche sebagai nama depan. Bagi Nietzche, hari
kelahirannya menjadi kebanggaan tersendiri sebagaimana ia ungkapkan dalam
Ecce Homo (H-15) bahwa betapa beruntungnya ia dilahirkan pada tanggal itu karena ulang tahunnya selalu menjadi hari yang dirayakan oleh umum.
Pada usia yang ke-18, Nietzche mulai kehilangan akan pegangannya
dalam Agama Kristen yaitu Tuhan. Kenyataan inilah yang cukup jangkal, sebab ia
adalah keturunan pendeta atau keturunan keluarga yang shaleh. Orang-orang
sekelilingnya mengira bahwa kejanggalan ini hanyalah gejala anak remaja yang
bersifat sementara. Namun, kepercayaan akan Tuhan dalam agama Kristen itu
Pada tanggal 2 Mei 1879, Nietzche mengjukan petisi untuk dibebaskan
dari tugas mengajar di universitasnya: tanggal 14 juni ia memperoleh pensiun.
Bersama kota Bren, kemudian ke Zurich, lalu sendirian ke St. Moritz. Di kota itu
Nietzche menyelesaikan Sang pengelana dan Bayang-bayangnya (supleman
kedua untuk manusia terlalu manusiawi) di bulan September.1
Mereka yang hanya tahu karya-karyanya tanpa mengetahui riwayat hidupnya
akan terkejut, sebab filsuf yang yang lahir pada tanggal 15 Oktober 1844 di
Rocken di wilayah Sachen ini adalah seorang anak laki-laki berperangai hulus dari
sebuah keluarga Protestan Lutheran yang sangat shaleh.2
Pada tahun 1854, Nietzche masuk Gymnasium di kota Naumburg, namun
empat tahun kemudian ibunya memintanya belajar di sebuah sekolah asrama
Lutheran yang sangat termasyur di kota Pforta. Di sana, dia sudah membaca
karya-karya para sastrawan dan pemikir besar sperti: Schiller, Holderlin, dan
Byron, dan dia sangat kagum pada kejeniusan kebudayaan Yunani kuno, maka
saat itu juga meminati Plato dan Aeschylus. Pada tahun 1864, dia studi di
Universitas Bonn bersama temannya dari pforta yang kemudian juga termasyhur
sebagai pemikir dan filsuf, Paul Deussen mengatakan, bahwa do’a hanyalah ilusi
belaka, dia menjawab: “Itu salah satu dari kedugaan Feurbach. Pada tahun 1865,
dia belajar filogi di kota Leipzig, di bawah bimbingan Profesor Ritschl. Di kota
inilah, secara kebetulan di tukang loak, dia menemukan buku Schopenhauer, Die
Welt als Wille und Vorstellung. Di kota ini pula, dia meninggalkan agamanya.
1
Hollingdale, xlix-1 2
Hampir semua karya Nietzche tidak dituangkan dalam sebuah uraian
sistematis, seperti kita jumpai dalam sebagian besar filsuf modern yang sudah kita
bahas, khususnya Kant dan Hegel. Pikiran-pikirannya ia tuangkan dalam bentuk
aforisme-aforisme. Tidak sulit membaca aforisme-aforisme itu, sebab barupa
kalimat-kalimat pendek yang mudah dibaca secara harfiah. Dalam hal ini,
Nietzche adalah filsuf yang paling sukar dipahami sepanjang sejarah filsafat
modern. Kalau Nietzche meneliti masa silam Yunani, penelitiannya itu tidak sama
dengan penelitian sejarah biasa.3
Bersama Nietzche, filsafat kembali menjadi sangat berbahaya, kali ini dengan
sesuatu yang berbeda. Dalam abad-abad sebelumnya, filsafat hanya berbahaya
bagi para filsuf. Ditangan Nietzche, filsafat menjadi berbahaya bagi semua orang.
Pada akhirnya, Nietzche sendiri menjadi gila. Kegilaan ini begitu jelas terlihat
dalam tulisan-tulisannya yang terakhir Namun, gagasan-gagasannya yang
berbahaya telah dimulai jauh sebelum ia menjadi gila, dan hal ini tak ada
urusannya dengan kegilaan klinis yang dialaminya.Tulisan-tulisan itu memberikan
pertanda akan adanya suatu kegilaan kolektif yang meluas dan mengerikan di
Eropa pada paruh pertama abad kedua puluh. Kegilaan yang tampaknya bangkit
kembali saat ini di sana. Sulit sekali memberi label bagi gagasan-gagasan filosofis
Nietzche yang begitu luas itu. Entah ketika ia berbicara tentang manusia
super(superman), kehidupan abadi (eternal recurrence, gagasan bahwa kita
terus-menerus menjalani lagi hidup kita selamanya), atau tentang satu-satunya tujuan
3
peradaban (yakni untuk menghasilkan”manusia-manusia hebat”seperti Goethe,
Napoleon, dan dirinya sendiri).4
Karya Nietzche tentang Theognis meyakinkan Ritschl bahwa Nietzche adalah
mahasiswa paling maju ukuran anak-anak muda seumurannya yang pernah ia ajar,
dan pada tanggal 24 Februari diberitahukannya penilaian tersebut kepada
Nietzche, sesudah itu Ritschl menjadi pelindung Nietzche. Nietzche dipertobatkan
menjadi pengagum Wagner setelah menyaksikan pertunjukan awal Tristan dan
Meistersinger pada tanggal 28 Oktober. Sebelas hari kemudian ia bertemu dengan sang composer untuk pertama kalinya di rumah ipar Wagner, Herman Backhous,
Nietzche menjadi tahu bahwa Wagner pun adalah pengagum Schopenhauer. Kini
Wagner dan Schopenhauer menjadi kombinasi yang akan membentuk apa yang
secara “emosional adalah Agama baru”Nietzche.5
Akibat seluruh sentiment profetik yang mencegangkan itu, Nietzche pun
muncul sebagai seorang Schopenhauerian. Pada saat itu, ketika Nietzche tak
memiliki apapun yang bisa ia percaya, ia membutuhkan pesimisme dan
ketersaingan yang terdapat dalam ajaran Schopenhauer. Menurut Schopenhaueuer,
dunia hanyalah sebuah representasi yang ditopang oleh segala kehendak jahat
yang mengalir ke mana-mana.Kehendak ini buta, dan sama sekali tak peduli akan
segala hal yang menyangkut kemanusiaan. Pesimisme Schopenhauer tak
sepenuhnya sesuai dengan karakter Nietzche, akan tetapi ia dengan segera melihat
kejujuran dan kekuatan yang ada di dalam pandangan Schopenhauer. Nietzche
4
Paul Strathern :90 Menit bersama NIETZCHE.hlm 3-4 5
memang memiliki ketetapan hati yang kuat, tapi secara fisik ia sangat lemah dan
rentan. Nietzche sendiri mulai kehilangan rasa tertariknya atas filologi dengan
“seluruh ketidakpedulian ilmu itu akan masalah hidup yang sebenarnya.” Ia tidak
tahu apa yang harus dilakukannya.6
B. Sejarah Pemikiran Friendrich Nietzche
Hidup sebagai sejarah pemikirannya Nietzche, yang semula waktu kecil
adalah sosok paling taat akan perintah Agama. Tatkala umurnya yang ke-18, ia
mulai membuang apa yang sebelumnya ia yakini. Padahal garis kependekatan
membentang pada keluarga ayahnya. Jika diperhatikan dari latar belakang
keluarganya yang taat, Nietzche merupakan anti teis dari pernyataan bahwa” buah
jatuh tidak jauh dari pohonnya”.
Sebelumnya Nietzche telah mendapatkan inspirasi dari pemikiran Arthur
Shcopenhauer melalui karyanya Die Welt als Wille und Vor-stellung. Dalam
pandangan Schopenhauer dunia menampakkan diri pada kita sebagai suatu
representasi namun sifat dasarnya adalah kehendak. Kehendak itu adalah
keinginan yang sederhana serta mengarahkan segala sesuatu unsur negatif dalam
perkembangan pribadi seorang
Penghayatan hidup melalui jalur seni merupakan jawaban Nietzche untuk
membebaskan orang dari kungkungan moral. Pendekatan moral dikritik Nietzche
6
sejauh dilandasi keyakinan akan adanya hukum moral universal dan nila-nilai
moral yang absolut.7
Sejarah Nietzche yang dilakukan dalam zaman modern mengandaikan bahwa
peristiwa-peristiwa masa silam tak mungkin terulang, karena sudah lewat dan
menjadi “fakta sejarah”. Demikianlah yang dilakukan oleh aliran sejarah atau
historisisme. Penelitian sejarah macam itu memiliki asumsi bahwa ilmu
pengetahuan lebih penting daripada kehidupan. Nietzche membalikkan asumsi itu,
bahwa kehidupan bukan hanya lebih penting dari pada ilmu sejarah, tapi juga
memiliki kekuatan yang lebih menentukan daripada pengetahuan kita. Jika
demikian, penelitian sejarah harus mengabdi pada kehidupan. Artinya, studi
sejarah harus menghasilkan kebahagiaan manusia.
Dalam hubungan dengan itu, Nietzche membedakan antara sikap “historis”
(geschichtlicht) dan “tidak historis” (ungeschictlicht).untuk bertahan hidup, manusia harus menggunakan memorinya, maka sikap historis itu perlu. Namun,
terkadang sejarah atau memori itu justru menghalangi kebahagiaan, maka sama
perlunya dengan sikap historis adalah bersikap tidak historis, yakni kemampuan
untuk melupakan. Sikap ketiga yang dianut Nietzche dalam filsafat
kebudayaannya adalah “suprahistoris” (ubergeschichtlich). Baginya, masa silam
bisa mengajarkan sesuatu bagi masa kini, bahkan menjadi nubuat bagi masa
depan. Dengan kata lain, ada makna-makna yang melampaui perubahan sejarah.8
7
Albert Camus, Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurdita, ter. Apsanti D, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Umum, 1999),122
8
C. Atheisme Dalam Pandangan Friedrich Nietzche
Bagi Friedrich Nietzche Agama merupakan Agama hanya mementingkan jiwa
manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Di luar persoalan tersebut dianggap
tidak penting sakral sehingga perlu di jauhi. Hal inilah yang menurut pandangan
Nietzche terjadi pada Agama Kristen. Sehingga (Kristen) telah menumbuhkan dan
menanmkan suatu budaya yang bertentangan dengan kodrat manusia. Agama
menurutnya melawan alam dan membuat dunia menjadi tempat yang sengsara,
tanpa nafsu, tanpa hidup, Nietzche berpendapat kepercayaan pada Tuhan terikat
pada perasaan dan kecendrungan saja. Untuk itu manusia harus berusaha untuk
maju dengan memperjuangkan kekuatan dan kehendak untuk berkuasa, kebebasan
intelektual dan kejujuran hidup di dunia ini. Manusia tidak perlu mempunyai
kewajiban apapun, terhadap siapa pun selain dari dirinya sendiri. Manusia harus
kuat dan mampu menjadi pengganti Tuhan dalam menciptakan semua nilai dalam
aturan hidup.
Namun, kalau kita membaca betul Nietzche, solusi mencari Tuhan lain tidak
berbeda dengan pencarian pegangan baru. Artinya dengan demikian positivitas
nihilism tidak pernah dilampaui. Memang kalau kita mampu mempercayai tafsir,
kita bisa menemukan dalam teks Nietzche bahwa resah dan bingung manusia
menghadapi hilangnya pegangan. Tetapi kebingungan dan rasa membentur
tembok bukanlah yang terakhir. Ada dua catatan untuk teks di depan.
Catatan pertama, teks ini adalah kematian Tuhan dari tahun 1882 saat GS
edisi pertama diterbitkan. Pada waktu selanjutnya, nada keresahan ini akan lerem
terbit tahun 1886. Dengan demikian, ada dua sikap Nietzche: yang satu adalah
resah, sementara yang lainnya penuh pengembalian jarak.GS 4 menguraikan
adanya tiga macam sikap di depan warna kematian Tuhan. Yang satu tidak peduli,
menganggap kematian Tuhan hanya nggelamnya sejenis matahari belaka.
Terhadap kabar bahwa Tuhan yang kuno sudah mati, kita, para filsuf yang
lain, para roh bebas yang lain, kita merasa disentuh oleh berkas-berkas sinar fajar.
Menafsir kematian Tuhan hanya dengan perspektif GS 125 akan memunculkan
pesimisme dan disorientasi total manusia. Padahal yang diperlukan adalah
memperlakukan Nietzche sesuai dengan kompleksitas teks yang ia ajukan: disatu
sisi ada keresahan, di sisi lain ada ketentraman.
Catatan kedua untuk teks GS.125 adalah penunjukan kata kita sebagai para pembunuh Tuhan. Nietzche tidak membunuh Tuhan sendirian. Ia mengajak
zamannya untuk merenung: kita sendirilah para pembunuh-Nya. Orang Eropa
yang baik contohnya adalah Schopenhauer. Kemenangan Aufklarung dalam
bentuk saintisme yang membuang segala bahasa agamis dan metafisis tentang
Tuhan di bawa Schopenhauer ke ujung ekstremnya: Atheisme koheren. Sayang,
meskipun begitu, bagi Nietzche, Schopenhauer masih kanak-kanak sejauh ia
hanya mengafirmasi kebalikan dari apa yang ia tolak. Kristianisme yang melihat
dunia secara positif ia ganti dengan pandang negatife dan pesimistik tentang
dunia. Bagi Nietzche, Eropa adalah tradisi platonico-kristiani, yang dari
obsesinya ajkan kebenaran yang sebenar-benarnya, akhirnya melahirkan
pencerahan dan positivisme saintik.dua hal inilah dengan sendirinya meruntuhkan
Kaum fanarik ada di mana-mana. Pembengkalan sudut pandang dan sentivitas
lebihan dalam cara rasa-merasa bisa ditemukan di semua lini kehidupan: agama,
ilmu pengetahuan, ideologi politik, sampai ke Atheisme. Semakin orang fanatik
pada sebuah kepercayaan, hal itu menjadi simtom parahnya keterserakan
kehendak. Dan berkaitan dengan tingkat-tingkat kebutuhan kehendak, ia sama
sekali tidak berkaitan dengan tingkat-tingkat kebutuhan kehendak, ia sama sekali
BAB III
KH.Hasyim Asy’ari Dan Pemikiran Ketauhidannya
A.
Profil KH.Hasyim Asy’ariKiai Hasyim Asy’ari merupakan seorang tokoh besar yang menjadi panutan
umat, tidak hanya pada zamannya, tetapi sikap dan pemikiran beliau masih selalu
menjadi rujukan masyarakat hingga sekarang ini. Pertama, beliau mewariskan
NU organisasi besar yang terus berkembang hingga saat ini, di saat organisasi
lain telah surut bahkan bubar, sementara organisasi yang dibentuk Kiai Hasyim
Asy’ari semakin besar.
Dari NU juga muncul tokoh besar dan berpengaruh. Kedua, diantara para NU
yang berpengaruh itu adalah nasab dan atau keturunan langsung dari Kiai
Hasyim. Hal itu menunjukkan bahwa beliau memiliki dua kekuatan sekaligus,
yaitu kekuatan genetik memiliki nasab tangguh. Dengan kekuatan genetik itu
beliau mampu menurunkan karakter pada anak-anaknya sehingga memiliki
karakter mirip dengan beliau.
Tidak banyak tokoh yang mampu menurunkan karakternya hingga tiga
generasi sebegitu kuat seperti Kiai Hasyim. Selain beliau memiliki anak-anak
yang memiliki jiwa kepemimpinan dan kepeloporan seperti Kiai Wahid Hasyim,
KH.Choliq Hasyim dan KH.Yusuf Hasyim dan banyak yang lainnya. Tetapi
seperti Misalnya KH.Abdurrahman Wahid, KH.Salahudin Wahid, KH.Hasyim
Wahid dan sebagainya.
Itulah garis nasab Mbah Hasyim Asy’ari yang disebut dengan anak biologis,
tetapi juga sekaligus anak ideologis, karena mampu mewarisi aqidah dan
ideologi sebagaimana digariskan oleh KH.Hasyim Asy’ari. Dengan ada dua
kemampuan itu nasab KH.Hasyim Asy’ari ini mendapatkan penghormatan
tersendiri dari masyarakat. Sejalan dengan perkembangan zaman, kapasitas
seseorang tidak lagi bisa disandarkan pada nasab, tetapi pada kemampuan dan
kualitas diri, maka keluarga ini memiliki posisi penting di NU dan masyarakat.
Tetapi mereka itu menjadi NU bukan karena faktor biologis, sebagaimana di
alami KH.Wahid Hasyim, untuk masuk NU beliau harus berpikir selama empat
tahun, setelah menimbang secara obyektif, jauh dari pengaruh perasaan, sentiment
dan keturunan, barulah masuk NU tahun 1938. Disamping memiliki faktor
biologis, beliau ini betul-betul menjadi NU ideologis, yang mewarisi spirit
perjuangan NU. Sementara dengan kekuatan ideologisnya, KH.Hasyim Asy’ari
mampu mewariskan NU ini pada generasi penerusnya hingga masa satu abad. Di
tangan generasi kedua dan ketiga bahkan hingga keempat organisasi ini terus dan
berkembang, melampaui organisasi yang lain. Sepeninggal KH.Hasyim Asy’ari
tahun 1947, NU berhasil mengatasi berbagai rintangan baik dari Orde Baru
dengan milterisasinya. NU mampu mengatasi berbagai rintangan baik dari
colonial, dari tekanan maha berat dari Orde Baru dengan milterasinya. NU
mampu mengatasi rintangan itu dan keluar zaman Orde Baru dengan penuh
Ini menunjukkan bahwa NU memiliki kader yang handal yang ahli strategi
dalam setiap generasi, seperti KH.Wahab Hasbullah Djunaidi dan lain sebagainya.
Mereka adalah anak-anak ideologis KH.Hasyim Asy’ari, yang sanad keilmuan
dan perjuangannya nyambung dengan beliau. Setelah itu muncul generasi baru
yang mampu mengatasi berbagai persoalan reformasi dan gelombang globalisasi.
Kemampuan organisasi NU ini mengatasi kesulitan terbukti walaupun dalam
tekanan Orde Baru tetapi bisa keluar tidak hanya selamat tetapi mampu
memimpin dan mengendalikan keadaan sehingga salah satu tokoh NU bernama
Abdurrahman Wahid yang tidak lain adalah cucu dinobatkan sebagai Presiden RI.
Beliau ini tidak hanya sebagai anak biologis dari KH.Hasyim, tetapi juga
sekaligus anak ideologis Sang Kiai.
B. Konsep Ketauhidan KH.Hasyim Asy’ari
KH.Hasyim Asy’ari menulis mengenai Ahlus-sunnah wal jamaah dalam
kitabnya Ar-Risalah at-Tauhidiyah (kitab tentang tauhid) dan Al-Qalaid fi Bayan
ma Yajib min al-‘Aqaid (Syair-syair dalam menjelaskan mengenai
Kewajiban-kewajiban menurut aqidah). Menurut KH.Hasyim Asy’ari, merujuk pada
Ar-Risalah al-Qusyairiyyah, kitab tasawuf yang di tulis oleh al-Qusyairi, dan
komentar kitab ini, ada tiga tingkatan dalam mengartikan keesaan Tuhan (tauhid):
tingkatan pertama adalah pujian terhadap keesaan Tuhan: tingkatan kedua
meliputi pengetahuan dan pengertian mengenai keesan Tuhan: sementara
tingkatan ketiga tumbuh dari perasaan terdalam (dzawq) mengenai Hakim Agung
oleh ulama’biasa (ahl-az-zahir), sedangkan yang ketiga dimiliki oleh para sufi
yang telah sampai ke tingkatan pengetahuan pada Tuhan (ma’rifah) dan
mengetahui esensi Tuhan (haqiqah).1
Mengenai doktrin ini, KH. Hasyim Asy’ari juga mengutip sabda Rasul bahwa
iman adalah perbuatan yang paling di cintai Tuhan dan menyekutukan Tuhan
adalah kebalikan dari iman.2
Selain itu dengan mengutip, beberapa ulama’KH.Hasyim Asy’ari telah
mengatakan bahwa percaya kepada keesaan Tuhan membutuhkan iman dan siapa
saja yang tidak memiliki iman tidak akan percaya kepada keesaan Tuhan.3
Oleh karena itu, beliau mencela komunisme dalam pidato beliau di Muktamar
NU ke-17 pada 24 Mei 1947, sebagaimana berikut ini:
Materialisme historis mengembangkan pendapat bahwa kebahagiaan tidak
dapat di capai kecuali dengan materi (uang dan benda). Filsafat ini tidak
mempercayai adanya ruh (jiwa yang di bimbing Tuhan), dan tidak percaya pada
alam ghaib (seperti Tuhan, Malaikat,Jin, dan Syaitan) dan hari kemudian.
Kepercayaan ini sangat berbahaya bila tertanam pada jiwa anak-anak kita karena
dapat merusak kepercayaan mereka pada Islam.4
1
Asy’ari, Ad-durar, hlm.16-17 :Nurcholish Madjid,”Islam, Iman dan Ihsan sebagai
Menurut madzhab Jabariyah, semua perbuatan manusia terwujud hanya
dengan qudrah Allah semata. Sebaliknya, menurut mazhab Mu’tazilah, manusia
memiliki qudrah atau daya yang dengan dayanya itulah ia melakukan
perbuatan-perbuatannya. Sedangkan menurut madzhab Asy’ariyah, manusia memang
memiliki qudrah atau daya, tetapi tidak efektif. Allahlah yang menjadikan atau
menciptakan perbuatan manusia itu. Kaitannya dengan perbuatan manusia
(disebut sebagai perbuatan manusia), karena manusia tempat terjadinya perbuatan
itu. Dan karena bersamanya qudrah manusia yang tidak efektif itu dengan qudrah
Allah yang efektif dalam terjadinya perbuatan.
Para pendukung “Madzhab al-Asy’ari, setelah menetapkan konsep ajarannya
yang berpikir sesuai dengan undang-undang alam, mewajibkan pula bagi
orang-orang yang mempercayai ajaran itu, untuk meyakinkan kebenaran jalan pikiran
yang demikian dengan segala konklusinya, sebagaimana ia harus yakin kepada
akidah-akidah iman. Karena mereka berpendapat, bahwa tanpa adanya dalil,
menunjukkan kepada tidak adanya barang yang dibuktikan. Begitulah keadaan
berjalan, sampai datang imam al-Ghazali, Imam Al-Razi, dan orang-orang yang
sependirian dengan keduanya. Tokoh-tokoh ulama ini menentang madzhab
al-Asy’ari tentang jalan pikiran mereka.5
Aliran Asy’ariyah yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari berpendapat
bahwa membedakan pahamnya dengan paham jabariyah, al-Asy’ari menggunakan
5
kata al-kasb atau acquisition. Menurut Al-Asy’ari, semua perbuatan manusia
adalah makhluk atau diciptakan oleh Allah.6
Tidak ada yang menciptakan dan tidak ada yang melakukan serta tidak ada
yang menentukan suatu perbuatan, termasuk kasb manusia, selain dari Allah,
tegas al-Asy’ari. Selanjutnya beliau mengatakan: “Semua perbuatan mestilah ada
yang membuatnya. Tidak ada suatu perbuatan yang tidak ada pelakunya. Pelaku
atau fa’il itu tidak lain hanyalah Allah. Demikian juga, suatu perbuatan mesti ada
muktasib yaktasibuh. Dan karena perbuatan atau al-fi’il itu adalah kasb, maka
muktasibnya tidak lain adalah Allah juga.7
Dalam kitabnya Maqalat al-Islamiyyin, al-Asy’ari mengatakan bahwa iktisab
mempunyai arti bahwa segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang
diciptakan Tuhan pada manusia. Sedangkan kasb adalah suatu yang timbul dari
al-muktasib dengan perantaraan daya yang diciptakan itu. Dengan kata lain, iktisab
ialah terjadi sesuatu dengan qudrah muhdatsah. Maka sesuatu itu merupakan kasb
bagi seorang, sesuatu itu terjadi dengan qudrah-nya.8
Menurut al-Asy’ari, daya atau kemampuan yang ada pada manusia itu,
bukanlah miliknya, tetapi datang dari luar dirinya, tegasnya dari Tuhan. Buktinya,
manusia itu kadang-kadang mampu, kadang-kadang tidak mampu seperti juga ia
kadang tahu, kadang tidak tahu, kadang bergerak,
6
kadang tidak bergerak. Kalaulah kemampuan itu miliknya sendiri, tentu ia akan
terus selalu mampu selamanya. Kenyataannya tidaklah demikian. Maka dengan
begitu jelaslah bahwa istitha’ah itu bukanlah milik manusia.9
Kata al-Asy’ari, manusia mampu melakukan sesuatu dengan kemampuan yang
bukan miliknya sendiri. Alasannya, karena kadang ia mampu dan
kadang-kadang tidak mampu. Manakala ia pada kenyataannya sekali mampu dan pada
kali yang lain tidak mampu, maka nyatalah bahwa kemampuan itu bukan miliknya
sendiri.10
Teologi ini berakar kuat di kalangan umat Islam Indonesia, terbukti di
pondok-pondok pesantren masih diajarkan kitab-kitab Ummul Barahim, Aqidatul
Awwam, Sanusiyah,dan Kifayatul Awwam. Kitab-kitab tersebut merupakan karangan yang baik dalam ilmu tauhid, tetapi kemajuan dan perkembangan zaman
membuat buku-buku tersebut menjadi out date.11
Secara lebih jauh teologi tradisional tersebut berakar pada teologi Asy’ariyah
sebagai teologi Islam yang pertama kali masuk Indonesia.12 Menurut Harun
Nasution, teologi Asy’ariyah selain bersifat tradisional dan cenderung pada aliran
Jabariyah, juga lambat dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu
M. Rasjidi, Kata Pengantar, dalam Harun Nasution, Teologi Islam, Penerbit UI, Jakarta, 1986, hlm.vii
12
pengetahuan dan tekhnologi karena kelemahan manusia menurut paham tersebut
banyak bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan13.
Argumen ini dilandasi dengan Surah Al -Insan: 30, “ Kamu tidak dapat
menghendaki kecuali Allah yang menghendaki”. Ayat tersebut oleh Asy’ariyah
diartikan bahwa manusia tidak dapat menghendaki, kecuali jika Allah
menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu.14
Pemahaman tersebut membawa konsekuensi bahwa seseorang tidak dapat
pintar,kaya, naik pangkat, dan maju, kecuali jika Tuhan menghendaki ke arah
tersebut bukanlah daya manusia, melainkan daya Tuhan.15
Paham tersebut tidak menutup kemungkinan membawa sikap budaya statis
dan konsumtif di kalangan umat Islam, seperti adanya fenomena mangan ora
mangan kumpul, ono dino ono upo, anak nggowo rezeki dhewe-dhewe. Akibatnya, para pengikut Asy’ariyah (tradisional) kurang memiliki sikap inovatif kea rah
pengembangan diri yang bersifat rasional atau adanya era mitologis.
Paham ini diwakili oleh aliran Mu’tazilah yang ingin memahami hubungan
Tuhan, manusia, dan alam atas dasar wahyu dan akal. Mereka menempatkan akal
pada posisi yang tinggi. Akal sebagai sumber pengetahuan dan keraguan
dipandangnya sebagai salah satu metode dalam mencari kebenaran.
13
Harun Nasution, Teologi Islam, UI, Jakarta, 1986, hlm. 106-107. 14
Abdul Malik Al-Juwaini, Luma’ Al- Adillah, Kairo, 1965, hlm. 57. 15
Manusia ditempatkan dalam posisi yang penting dalam kehidupan di dunia
karena memiliki akal pikiran. Dengan akal itu, manusia dibebani tanggung jawab
besar dalam memakmurkan dunia sepadan dengan daya kemampuan akal
pikirannya meskipun akalnya serba terbatas. Oleh karena itu, sikap lekas
menyerah pada nasib, fatalisme, dan tawakal yang membuat keadaanya menjadi
statis tidak ada dalam aliran ini.
Menurut aliran ini kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak bersifat mutlak.
Kekuasaan Tuhan dibatasi oleh keadilan-Nya dan sunnatullah. Apabila ketentuan
itu dilanggar, Tuhan dapat bersifat tidak adil bahkan zalim. Sifat ini mustahil bagi
Allah.16 Menurut Abduh, kehendak Tuhan tidak pernah berkaitan dengan
pembatalan sunah-Nya dalam mengatur ciptaan-Nya. Jadi, menurutnya orang
yang berdo’a agar Tuhan menurunkan rezeki dari langit adalah orang yang
bodoh,17 dengan alasan orang tersebut tidak mengikuti hukum sebab akibat.18
Sunah atau hukum alam sebagai ciptaan Tuhan adalah kehendak Tuhan,
sedangkan manusia dalam mengikuti sunah Tuhan itu pada hakikatnya mengikuti
kehendak-Nya. Oleh karena itu, orang yang mengikuti sunnatullah pada
hakikatnya mengungkapkan kehendak illahi.19
Teori rasionalistik ini masuk ke Indonesia pada saat masuknya ide
pembaharuan Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad Abduh, dan Ibnu Taimiyah
16
Harun Nasution, op. cit., hlm. 119. 17
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Asy-Syahir bi Tafsir Al-Manar, II, Dar Al-Manar, Kairo, 1967, hlm. 480.
18
Muhammad Abduh, Risalah At-Tuhid, Al-Manar, Kairo, 1958, hlm. 62 19
lewat para pembaru Indonesia yang belajar di Timur Tengah khususnya Mekah
dan Kairo.
Masuknya teologi tersebut diperkirakan disebabkan oleh adanya kesadaran
dari pembaru akan pentingnya pengembangan masyarakat untuk mengatasi
keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan. Bagi mereka, pembaruan mutlak
diperlukan karena pintu ijtihad di pandanganya senantiasa terbuka.20
Berkaitan dengan teologi rasionalistik, menurut Kuntowijoyo, selain ajarannya
memuat nilai-nilai yang dinamis, juga dapat melahirkan sikap individualistik dan
hubungan dalam masyarakat yang bersifat kontraktual.21
Teologi mereka yang bersifat rasionil dan liberal itu begitu menarik bagi kaum
inteligensia yang terdapat dalam lingkungan pemerintahan Kerajaan Islam
Abbasiah dipermulaan abad ke-9 M sehingga Khalifah Al-M’mun (813-833M),
kaum Mu’tazilah mulai bersikap menyiarkan ajaran-ajaran mereka secara
paksa,terutama faham mereka bahwa al-Qur’an bersifat makhluq dalam arti
diciptakan dan bukan bersifat qadim dalam arti kekal. Perlawanan ini kemudian
mengambil bentuk aliran teologi tradisionil yang disusun oleh Abu al-Hasan
Al-Asy’ari (935 M). Al-asy’ari sendiri pada mulanya adalah seorang Mu’tazilah,
tetapi kemudian, menurut riwayatnya setelah melihat dalam mimpi bahwa
ajran-ajaran Mu’tazilah dicap Nabi Muhammad sebagai ajran-ajaran-ajaran yang sesat,
20
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta, 1980, hlm. 325
21
Asy’ari meninggalkan ajaran ajaran-ajaran itu dan membentuk ajaran-ajaran baru
yang kemudian terkenal dengan nama teologi Al-Asy’ariyah atau al-Asya’irah.
Disamping aliran Asy’ariyah timbul pula di Samarkand suatu aliran yang
bermaksud juga menantang aliran Mu’tazilah dan didirikan oleh Abu Mansur
Muhammad al-Maturidi (w.944 M). Aliran ini kemudian terkenal dengan nama
teologi al-Maturidiyah, yang sebagai mana akan terlihat nanti tidaklah bersifat se-
tradisionil aliran Asy’ariyah, akan tetapi tidak pula bersifat se liberal Mu’tazilah.
sebenarnya aliran ini terbagi dalam dua cabang Samarkand yang bersifat agak
liberal dan cabang Bukhara yang bersifat tradisionil.
Selain dari Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi ada lagi
seorang teolog dari Mesir yang juga bermaksud untuk menentang ajaran-ajaran
kaum Mu’tazilah. Teolog itu bernama al-Tahawi (w.933 M) dan sebagai mana
halnya dengan al-Maturidi ia juga pengikut dari Abu Hanifah, Imam dari Mazhab
Hanafi dalam lapangan hukum Islam. Tetapi ajaran-ajaran al-Tahawi tidak
menjelma sebagai aliran teologi dalam Islam.
Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah
aliran Khawarij,Murji’ah,Mu’tazilah, Asy’ariyah dan al-Maturidiyah.Aliran-aliran
khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah tak mampu mempunyai wujud lagi kecuali
dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran-aliran Asy’ariyah dan
Maturidiyah dan keduanya disebut Ahl Sunnah wa al-Jamaa’ah. Aliran
Maturidiyah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedang
masuknya kembali faham rasionalisme ke dunia Islam, yang masuknya itu melalui
kebudayaan Barat modern, maka ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali,
terutama sekali di kalangan kaum intelegensia Islam yang mendapat pendidikan
Barat. Kata neo-Mu’tazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam.22
Sebagai akibat dari perbedaan faham yang terdapat dalam aliran-aliran teologi
Islam mengenai soal kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuasaan
manusia atas kehendak dan perbuatannya, terdapat pula perbedaan faham tentang
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Bagi aliran yang berpendapat bahwa akal
mempunyai daya daya besar dan manusia bebas dan berkuasa atas kehendak dan
perbuatannya, kekuasaan dan kehendak Tuhan pada hakekatnya tidak lagi bersifat
mutlak semutlak-mutlknya. Bagi aliran yang berpendapat sebaliknya, kekuasaan
dan kehendak Tuhan tetap bersifat mutlak. Dengan demikian bagi kaum
Asy’ariyah, Tuhan berkuasa dan berkehendak mutlak, sedang bagi kaum
Mu’tazilah, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak lagi mempunyai sifat mutlak
semutlak-mutlaknya. Dalam menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak
Tuhan ini, al-Asy’ari menulis dalam Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada
siapapun: diatas Tuhan tidak ada suatu zat lain yang boleh dibuat dan apa yang
tidak boleh di buat Tuhan.
Bagi kaum Asy’ariyah, Tuhan memang tidak terikat kepada apapun, tidak
terikat kepada janji-janji, kepada norma-norma keadilan dan sebagainya.
Berlainan dengan faham kaum Asy’ariyah ini, kaum Mu’tazilah berpendapat
22
bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Sebagai
terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan mutlak Tuhan telah diberikan kepada
manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan.23
Salah satu pendekatan yang digunakan umat beragama untuk memahami
agamanya secara mendalam adalah mengkaji tentang ilmu teologi atau dalam
Islam di sebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Teologi Islam. Ilmu teologi lebih khusus
memfokuskan dalam pembahasan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan wilayah
ketuhanan dan bagaimana kita mengimami dan bersikap terhadap keberadaban
dan pengabdian terhadap Tuhan. Berbagai persoalan umat ini menimbulkan
kontroversi sehingga memecah ke dalam berbagai golongan. Di antara persoalan
kalam yang terkenal adalah masalah sifat Tuhan, status al-Qur’an, penciptaan
dunia, kausalitas, takdir, dan kehendak bebas.24
Teologi Islam menurut Ibnu Khaldun (1332-1402), seorang sejarawan muslim
terkemuka, bertolak dari rukun iman yang harus dipercayai oleh setiap muslim
agar memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. Rukun iman ini yang utama
ini perlu dibuktikan secara logis. Bukti-bukti itu ditemukan dalam al-Qur’an,
hadits-hadits Nabi SAW dan sumber tradisional lainnya. Para sarjana berusaha
menunjukkan bagaimana pembuktian itu dicapai dan bagaimana mengujinya.
Namun kemudian, muncul perbedaan pendapat tentang rinciannya, terutama
23
Le Systeme Philosophique des Mu’tazilah, (selanjutnya disebut Le Systeme) Beyrouth, Les Letters Orientales, 1956, hlm. 82.
24
menyangkut ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat yang bermakna ganda). Lama
kelamaan perbedaan pendapat tersebut mengarah pada perdebatan sengit, bahkan
permusuhan. Maka argument logika pun ditambahkan kepada sumber-sumber
pokok agama tersebut. Dengan cara inilah teologi dialektik muncul.25
C. Pemikiran KH.Hasyim Asy’ari
Pemikiran KH.Hasyim Asy’ari, memiliki pengaruh cukup kuat dalam
diskursus Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah di lingkaran ulama’ pesantren. Penting
dicatat bahwa, di kalangan ulama’pesantren, kredibilitaas intelektualnya Kyai
Hasyim tidak diragukan lagi. Kredibilitas inilah yang membawanya berada dalam
puncak otoritas di kalangan ulama pesantren, bahkan hingga saat ini. Paling tidak,
terdapat dua indikasi penting atas kuatnya pengaruh Kyai Hasyim di kalangan
Muslim tradisional. Belum satu pun ulama dari kalangan pesantren terutama yang
tergabung dalam organisasi NU yang mendapatkan status atau gelar kultural
sebagai Hadrat al-Shaykh.26
D. Hubungan Tuhan dengan akal
1. Manusia
Manusia terhubung dan menghubungkan diri dengan Tuhan melalui dosa.
Dalam do’a seorang dan menyampaikan seluruh suka-dukanya dalam menjalani
hidup. Baik orang beriman, umur dan hidup adalah amanah dan anugerah
sehingga sangat logis jika Tuhan menjadi sandaran terakhir tempat mengadu.
Dalam islam, salah satu forum untuk mengadu adalah shalat wajib dan kalau
25
Mulyadi Kertanegara, Ibid, hlm. 117. 26
dirasa kurang puas, shalat sunnah. Banyak sekali forum shalat sunnah yang
diajarkan Rasulullah SAW. Dalam berbagai hadis disebutkan, Allah senantiasa
menunggu hamba-Nya yang mau datang beraudiensi dan bersujud pada-Nya.
Pintu-Nya senantiasa terbuka mengingat Allah adalah Maha mendengar, Maha
Penerima Tobat, dan sumber semua kedamaian hidup sebagaimana tersurat dan
BAB IV
ANALISIS
Pemikiran Atheisme Nietzche di lihat dari sudut pandang KH.Hasyim
Asy’ari
Persatuan umat Islam merupakan konsekuensi logis adanya konsep
persaudaraan yang dibangun berdasar atas keyakinan/iman (ukhuwah Islamiyah).
Atas dasar ini, Rasulullah SAW, melakukan integrasi antara kaum Ansor
(penduduk pribumi Madinah) dengan kaum imigran (Muhajirin) melalui konsep
ukhuwah yang dibangun atas iman. Persaudaran berasas Iman ini mengikat
kelompok-kelompok berbeda di Yatsrib hingga mereka menjadi satu kesatuan tak
terpisahkan mengalahkan persaudaraan yang berasas pada garis darah. Di
kemudian hari, integrasi berdasar iman tersebut mampu membawa masyarakat
Madinah menjadi masyarakat beradab melampaui masyarakat lain di saat itu.
Dalam konteks berbeda, identitas berdasar Agama (Islam) diyakini
memberikan kontribusi signifikan dalam proses pembangunan identitas
keindonesiaan. Berawal dari identitas keislaman, masyarakat kepulauan
Nusantara yang terpisah secara geografis, kultural, suku, kerajaan dan bahasa
berhasil bersatu membentuk identitas bersama yang di kemudian hari kita sebut
sebagai Indonesia. Namun bukan berarti konsep ukhuwah Islam atau persatuan
Muslim menjadi tantangan bagi penerapan konsep ideal itu. Dalam konteks
Indonesia kekinian, keragaman pemikiran, praktik ritual, partai, dan kepentingan
turut membuat umat Islam saat ini tampak tidak bersatu dan terkesan bercerai.
Persoalan ini akan semakin rumit ketika pihak luar (theother) turut bermain
dengan segala macam hiden agendas-nya.
Popularitas Kiai Usman menjadi faktor daya tarik bagi banyak santri. Asy’ari,
seorang santri asal Demak yang cerdas dan luhur budi pekertinya, dijadikan
sebagai menantunya, yang kemudian hari mempunyai anak bernama Muhammad
Hasyim. Kendati terlahir dalam tradisi tarekat Naqsabandiyah, KH. Hasyim
Asy`ari tidak mengikuti jejak kakeknya dan bahkan bersikap kritis terhadap
eksistensi tarekat, dan terlibat polemik dengan Kiai Khalil dari Pesantren Darul
Ulum, pendiri tarekat Naqsabandiyah Rejoso, karena mendakwakan kewalian
dirinya.1
Sikap tersebut tidak berarti KH. Hasyim Asy`ari menolak sufisme
(taShawwuf) dan tarekat. Dalam epilog Sirâj al-Thâlibîn, SyarhMinhâj al-‘Âbidîn
ilâ Jannat Rabb al-’Âlamîn al-Ghazâlî karya Ihsan Muhammad Dahlan
Jampes-Kediri. KH.Hasyim Asy`ari memandang tasawuf sebagai pokok ilmu pengetahuan
Agama yang mensucikan hati dan mengarahkan Muslim mengenal Tuhan.8
Melalui karyanya yang berjudul al-Durar al-Muntathirah, Hasyim Asy`ari
mengafirmasi bahwa tarekat yang terlarang adalah tarekat yang berlawanan secara
1
diametral dengan al-Qur’an dan hadis karena tarekat semacam tidak lebih
merupakan tarekat yang menyimpang.2
Hasyim Asy`ari memperkenankan mengikuti tarekat yang sesuai dengan
tuntunan Nabi Muhammad, dengan beberapa catatan, antara lain: qasd Shahîh
(tujuan baik), artinya mengikuti tarekat harus disertai tujuan ibadah yang ikhlas,
bukan karena atas dasar keuntungan material dan karâmah; shidq sharîh (percaya
sepenuhnya kepada mursyid), artinya murid memiliki kepercayaan bahwa
mursyid-nya mampu mengantarkannya dekat dengan Tuhan; adâb mardhiyah
(tatakarama yang diridhai) artinya menjadi anggota tarekat tidak berarti lantas
bersikap egoistik, tetapi konsisten welas asih dan menghargai orang lain; ahwâl
zakiyah (tingkah laku yang bagus) artinya tarekat mengandaikan munculnya
perbuatan yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad; hifz al-hurmah
(menjaga kehormatan); husn al-khidmah (pelayanan) artinya memasuki tarekat
berarti memberikan pelayanan kepada guru dan kaum muslim; raf’u al-himmah
(meluhurkan kemauan), tarekat bukan tempat untuk merengkuh dunia, melainkan
sarana ma’rifat.; dan nufudh al-’azimah (melestarikan niat) membangun
kontinuitas memasuki tarekat untuk ma’rifat.
KH. Hasyim Asy`ari juga menegaskan beberapa koridor yang harus
dilakukan jika seseorang ingin diklasifikasikan sebagai pengikut tarekat yaitu, 1);
mempunyai sikap kasih sayang kepada orang lain 2) memuliakan orang lain; 3)
bersikap adil; dan 4) tidak mementingkan diri sendiri. Selain itu ahli tarekat harus:
1) menjauhi orang yang berbuat kedzaliman; 2) memuliakan orang ahli akhirat; 3)
2
menolong orang lain; dan 4) melaksanakan shalat lima waktu berjama’ah dan
tepat waktu.
Sejak kecil KH. Hasyim Asy`ari mempunyai semangat kaum pedagang.
Tujuh tahun sebelum NU berdiri, KH. Hasyim Asy`ari menjabat ketua Nahdlatul
Tujjar (1918), sebuah badan usaha berbentuk koperasi yang didirikan oleh KH.
Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Syansuri. Tidak mengherankan kiranya, pada
akhir hayatnya KH. Hasyim Asy`ari mewariskan dua hektar lahan pemukiman
dan sembilan hektar sawahnya kepada pesantren Tebuireng sebaga wakaf untuk
digunakan pusat pengembangan pendidikan agama.3
Latar belakang sosial keagamaan KH. Hasyim Asy`ari tidak ditempatkan
dalam ‘sangkar emas’ pesantren dengan masyarakat petani desa sebagai basis
sosialnya.Semangat dagang menjadikan KH. Hasyim Asy`ari sebagai golongan
santri menengah yang mempunyai padangan kosmopolitan dan tidak
terkungkung dalam pandangan keagamaan yang konservatif, di samping karena
ditunjang jaringan intelektual yangpanjang selama beberapa tahun di Makkah.4
Akan tetapi, pembaharuan yang dilakukan KH. Hasyim Asy`ari tidak
seradikal seperti yang dilakukan golongan Islam reformis lainnya. Watak budaya
Jawa telah membentuk karakter lunak KH. Hasyim Asy`ari yang selalu
menghargai dan melakukan perubahan secara gradual. Pembaharuan pemikiran
keagamaan KH. Hasyim Asy`ari juga merambah ke ranah pendidikan. Sejak tahun
3
Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 102
4