BAB V
PENYAJIAN DAN ANALISA DATA
Perempuan merupakan representasi salah satu makhluk Tuhan yang pertama sekali menemani adam di muka bumi. Berbicara mengenai perempuan tidak cukup
hanya sekadar pada ruang lingkup bahwa ia merupakan salah satu makhluk Tuhan saja yang berbeda dari jenis yang satunya, tetapi berbicara tentang perempuan kita
harus mengetahui mulai dari peranan dan pengaruh perempuan di dalam kehidupan. Representasi Perempuan Menurut Karya Griselda Pollock, “What‟s Wrong with
Images of Women?” menunjuk tidak memadainya fokus terhadap “citra” dan stereotip perempuan dengan “citra mengenai perempuan dengan foto-foto “realis”
yang menggambarkan perempuan yang bekerja, ibu-ibu rumah tangga, perempuan
tua, dll. Perempuan merupakan suatu pesan yang dikomunikasikan dalam budaya patriarki. Perempuan “dituliskan” melalui pembentukan stereotip dan mitos bahwa ia
adalah suatu tanda yang dipertukarkan; begitulah akhirnya perempuan berfungsi dalam bentuk-bentuk budaya dominan. Karena itu, dalam bidang seni dan juga dalam teks film, representasi perempuan terutama bukanlah suatu tema atau persoalan
sosiologis, seperti sering dipikirkan, melainkan sebuah tanda yang sedang dikomunikasikan (Johnston,1975:124).
Bidang Perkawinan” bahwa citra perempuan pada Orde Baru tidak bisa dihilangkan.
Pada era itu ada ibuisme negara untuk melawan Gerwani. Sedangkan representasi di
dalam dunia media massa, tubuh perempuan masih dijadikan objek penarik hasrat. Perempuan yang baik adalah perempuan yang berada di wilayah domestik. Jika ada
citra perempuan bekerja maka dia digambarkan tetap bertanggung jawab sepenuhnya dalam hal kerumah tanggaan. Padahal rumah tangga adalah tanggung jawab suami dan isteri. Tamrin Amalgola mengkategorikan citra perempuan pada iklan di media
massa sebagai berikut:
1. Citra Pigura: Perempuan sebagai sosok yang sempurna dengan bentuk tubuh
ideal
2. Citra Pilar: Perempuan sebagai penyangga keutuhan dan penata rumah tangga 3. Citra Peraduan: Perempuan sebagai objek seksual
4. Citra Pinggan: Perempuan sebagai sosok yang identik dengan dunia dapur 5. Citra pergaulan: perempuan sebagai sosok yang kurang percaya diri dalam
pergaulan
Dan ketika penulis melihat Film Sang penari ini dan mengamatinya bahwa perempuan masih melekat atau bisa dibilang lebih dominan, dengan dibuktikan dalam
sebuah adegan atau peran. Dimana perempuan yang ada dalam film Sang penari ini melakukan adegan diantaranya seperti: perempuan selalu identik dengan menari
adanya budaya patriarki, serta kewajiban perempuan secara umum yang mempunyai peran sebagai ibu rumah tangga yang mempunyai pasangan hidup serta menghasilkan
keturuan (anak). Sehingga pada penelitian ini penulis mencoba untuk mengkategorisasikan menjadi empat pokok yaitu perempuan sebagai pekerja seni
(menari), perempuan sebagai pekerja sex komersial atau pelacur, perempuan sebagai ibu rumah tangga dan yang terakhir perempuan sebagai pihak yang tertindas.
Perempuan sebagai pekerja seni (penari), kemunculan perempuan yang
bekerja sebagai penari dalam konteks penari ronggeng, terjadi saat ritual penyambutan sang raja atau orang yang mempunyai jabatan yang tinggi di dalam
suatu desa tersebut selain itu perempuan yang bekerja seni juga dimunculkan pada acara pernikahan perempuan penari ini mempunyai fungsi untuk memeriahkan, menghibur penonton yang datang dalam acara tersebut, namun bisa di istilahkan
perempuan yang bekerja sebagai penari ini merupakan warisan secara turun dari kebudayaan atau adat istiadat saat perempuan tersebut bertempat tinggal.
Sehingga penulis mencoba untuk mengkategorisasikan perempuan yang bekerja sebagai penari dimana penulis mengamati banyak sekali hal-hal yang di tampilkan dalam film Sang Penari ini yang melihatkan perempuan yang menjadi
penari ronggeng ini bisa menimbulkan kesejahteraan pada desa tersebut dan apabila dalam suatu desa tersebut tidak mempunyai penari ronggeng maka akan berakibat
menor dan menarik, dan di iringi oleh musik-musik trandisional seperti gamelan. Sebagai contoh penjelasan dari ke empat kategorisasi dari penelitian ini sebagai
berikut:
Dalam kategorisasikan yang pertama melatar belakangi perempuan yang
bekerja sebagai pelacur ini terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi, seperti persoalan ekonomi, ketidakharmonisan dalam keluarga sehingga mengarah pada pergaulan bebas yang akan berakibat kepada penjualan diri, namun ada juga orang
yang bekerja sebagai pelacur ini tidak didasari oleh keinginannya sendiri melainkan karena kebudayaan yang menuntut untuk menjual kehormatannya sebagai
perempuan. Sehingga penulis mencoba untuk mengkategorisasikan perempuan sebagai pekerja komersial atau pelacur karena di dalam film Sang penari ini, perempuan bisa di bilang dijadikan sebagai pelacur karena perempuan ini menjadi
seorang penari ronggeng yang di haruskan untuk menjalankan ritual “buka klambu”.
Istilah buka klambu ini sendiri mempunyai arti bahwa memperkejakan
seorang perempuan untuk melayani seorang laki-laki dalam berhubungan intim. Dari kejadian tersebut ketika penulis mengamatinya terjadi keanehan yang terjadi ketika perempuan yang dijadikan pelacur dengan perempuan yang dijadikan sebagai
pelacur, namun mempunyai satu kesamaan yakni di lihat dari material (uang) bahwa sama-sama masih mementingkan yang bersifat keuangan atau komersil dari
Menurut Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer di jelaskan bahwa Potret Perempuan yang mempunyai pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga disebut baboe (dibaca “babu“), sebuah istilah yang kini kerap digunakan sebagai
istilahkonotasi negatif untuk pekerjaan ini. Perempuan yang bekerja sebagai pelayan
memiliki tugas untuk mengurus pekerjaan rumah tangga seperti memasak serta menghidangkan makanan, mencuci, membersihkan rumah, dan mengasuh anak-anak. Di sisi lain terdapat problematika percintaan untuk menjalin hubungan yang serius
dan mempunyai komitmen dengan pasangan hidupnya (kekasihnya) merupakan suatu keinginan yang akan timbul dari setiap masing-masing invidu dari pihak laki-laki
maupun dari pihak perempuan itu sendiri.
Begitu hal yang di miliki oleh seorang perempuan yang bernama Srintil yang diceritakan dalam film Sang Penari, di dalam kisah percintaan Srintil dengan
pasangan kekasihnya Rasus mempunyai banyak sekali gejolak-gejolak dimana Srintil ingin sekali menjalin hubungan serius bahkan sampai berbicara tentang pernikahan,
namun di sisi lain kedua pasangan ini masih mempunyai perbedaan di dalam pekerjaan nya masing yang tidak bisa untuk di tinggalkan. Selain itu banyak sekali adegan-adegan yang menampilkan peran perempuan bahkan bisa di bilang kewajiban
perempuan yang memasak, membuat sarapan untuk keluarganya. Sehingga dari kejadian-kejadian yang coba di tampilkan oleh film Sang Penari ini sehingga penulis
Tindakan kekerasan terhadap perempuan seringkali dianggap suatu isu yang terbelakang atau bahkan dapat dikatakan tidak menarik. Padahal jika dilihat dari
kenyataan yang selama ini terjadi, tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan ancaman terus menerus bagi perempuan di manapun di dunia. Hal ini merupakan
akibat dari adanya pandangan di sebagian besar masyarakat yang menganggap kedudukan perempuan di sebagian dunia yang tidak dianggap sejajar dengan laki-laki. Terlebih lagi, rasa takut kaum perempuan terhadap kejahatan (fear of crime)
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan apa yang dirasakan kaum pria. Pernyataan ini berlaku di seluruh dunia, tanpa memandang batas wilayah maupun waktu. Walaupun
kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar korban kejahatan adalah laki-laki, akan tetapi dapat dipahami bahwa kerentanan wanita secara kodrati (dalam aspek
jasmaniah) membuat fear of crime mereka lebih tinggi.
Keberadaan perempuan yang seringkali digolongkan sebagai warga negara kelas dua (second class citizen) makin terpuruk dengan adanya berbagai peristiwa
kekerasan yang menimpa perempuan. Kondisi ini menciptakan korban perempuan baru dalam jumlah yang cukup banyak, baik secara fisik (misalnya perkosaan, perbuatan cabul), psikologis (pelecehan, teror) maupun ekonomis (di PHK).1
Sedangkan pada film Sang Penari ini perempuan selalu di sudutkan atau dapat di istilahkan perempuan nomor kedua bahkan perempuan juga dijadikan sebagai pihak
1http://underlaw98.tripod.com/tindak_kekerasan_terhadap_perempuan.htm. Di unduh pada tanggal 27
yang tertindas, maksutnya bahwa perempuan pada film ini adanya tindakan seperti kekerasan ketika pasukan keamanan menangkap seluruh penduduk yang di duga ikut
dalam tindakan partai komunis yang telah terjadi di Dukuh Paruk, sehingga penjaga memasukan dalam suatu ruangan bawah tanah dan mempenjarakan mereka namun
memisahkan antara kaun laki-laki dengan kaum perempuan itu. Sehingga dalam cerita ini perempuan dalam penjara justru dilakukan dengan seweng-wenang oleh penjaga keamanan tersebut, semisal perempuan di siksa, dianiaya dan bahkan terjadi
penjualan terhadap perempuan itu sendiri. Hal tersebut di buktikan ketika perempuan itu sehabis di siksa, dianiaya menampilkan exprsei kesedihan, penampilan yang
acak-acak di lihat dari wajah dan rambut dari perempuan itu sendiri.
Setelah mengkategorisasikan menjadi 4 kategorisasi, pada tahap selajutnya peneliti telah meng-capcure adegan-adegan yang sesuai dengan empat kategorisasi
yang penulis ingin teliti sehingga akan memperoleh gambar-gambar dari setiap scene pada film Sang Penari yang kemudian akan dianalis menggunakan teori semiotika
Roland Barthes. Dimana menjelaskan tentang level denotasi (dilihat dari segi dialog, costume, body languange, angle camera dan setting), yang kemudian dari level denotasi tersebut akan memperoleh pemaknaan lain (level konotasi) dan pada tahap
5.1. Perempuan Sebagai Pekerja Seni (Penari)
Gambar 5.1 Srintil Menari tanpa Penonton
Gambar 5.3 Srintil sewaktu menghibur
Masyarakat Dukuh Paruk
Gambar 5.4 Laki-laki yang tertarik untuk
berjoget dengan Srintil
Perempuan dan seni tari selalu berhubungan, gerakan lemah lembut saat
Hal tersebut jelas terlihat ketika perempuan melakukan adegan tari, terutama saat adegan tari ronggeng dalam film Sang Penari ini. Pada gambar pertama, kostum
penari menggunakan kemben, dimana pakaian tersebut jika dilihat oleh anak kecil masih terlihat seperti hal yang tabu atau belum wajar untuk ditonton karena bagian
dada depan perempuan seperti terbuka, selain itu lekukan tangan juga terlihat bahwa penari perempuan ini terlihat pintar dan mahir dalam melakukan gerakan tari
ronggeng.
Di dalam kebudayaan jawa yang penulis mengerti, apabila ada sebuah pementasan tari, di ibaratkan perempuan adalah sebagai objek dalam konteks penari
dan laki-laki sebagai penonton nya bahkan juga ikut dalam menari atau berjoget, namun bisa saja memberikan saweran kepada penari perempuan. Sehingga penulis mengamati, bahwa di dalam gambar pada salah satu scene di film saat perempuan
melakukan gerakan tari tidak jauh berbeda sesuai dengan kenyataan/realitas yang terjadia di jaman sekarang.
Namun disini penulis mengamati, apakah pesan yang ingin disampaikan (ideologi) Sutrada ini akan menggiring manusia pada kondisi skizofrenia yang mengaburkan realitas. Dimana apakah benar kehidupan seperti adanya unsur hidup
mewah, sex, bahkan kekerasan terhadap kaum perempuan jika menjadi penari ronggeng. Namun tidak di pungkiri bahwa peran film di jaman sekarang merupakan
disengaja. Dan pada gambar di bawah ini merupakan gambar dari kelanjutan pada gambar di atas, dimana menjelaskan hal-hal apa saja yang yang berhubungan dengan
seorang perempuan yang bekerja menjadi penari ronggeng.
Gambar 5.5 Penari dan Dukun Ronggeng
Gambar 5.6 Keris Penari Ronggeng
Pada gambar 5.5 menjelaskan bahwa, saat pementasan tari ronggeng. Laki-laki juga mempunyai peran juga sebagai dukun tari ronggeng yang bertujuan salah
satunya untuk memeriahkan karena ikut dalam menari dan berjoget bersama bahkan jarak dukun dengan perempuan penari sangat dekat. Dan jika berbicara tentang dukun
ronggeng tentunya pasti tidak jauh keluar dari hal-hal yang berbau mistis seperti adanya ritual dengan keris yang dipercayai sebagai pelengkap atau persyaratan yang
harus dimiliki jika ingin menjadi seorang penari ronggeng.
Menurut pengalaman penulis yang pahami bahwa di jaman dahulu masyarakat masih mempercayai tentang keberadaan dukun beranggapan bahwa dukun hampir
disamakan dengan dokter yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit, termasuk keinginan untuk mempercepat memperoleh kekayaan (pesugihan). Dan penulis rasa keberadaan dukun tari ronggeng juga masih di ragukan antara ada dan
tidak ada kah pada jaman sekarang.
5.1.1. Level Denotasi
a. Dialog
Rasus : Sri, kau tetep dadi ronggeng ?
Srintil : Kamu mbok tahu, aku dari dulu paling seneng kalau joget.
aku mau membalas kebajikan, kebajikane eyang secamenggala sing uwes jogo Dukuh Paruk Seisinya.
Sakum : Dukuh Paruk duwe ronggeng maning (sambil bernyanyi). Pantes ya kang, tadi pagi itu ada burung prenjak ganter-ganter deket rumah saya (sambil tertawa dengan teman sekelompok musik pengiring tari ronggeng), sepertinya Dukuh Paruk bakal punya ronggeng baru.
Ngegol maning, geol maning, ngegol maning geol maning (sambil tertawa)
Kertarajasa (Dukun Ronggeng Dukuh Paruk) : “ Sedulur-sedulurku kabeh, Srintil di pilih dadi ronggen.
Salam bagi ki secamenggala, kami sekeluarga menghaturkan nasi putih.
Sebagai rasa cinta dan bakti kami kepada yang terhormat ki secangmenggala, dengan harapan, semoga cucu kami Srintil diijinkan jadi ronggeng Dukuh Paruk.
Salam-salam kicau perkutut, datang dari mana, datang dari tanah seberang. Makanmu apa, makanmu apa? Lebah, manis madu rumah lebah. Tidak lebih manis dari cucuku Srintil
b. Kostum
Kostum yang di gunakan Srintil pada gambar adalah kemben
yang dianggap penting2. Saat pementasan ronggeng , dengan mengkalungkan selendang kuning dan ujung selendang yang berwarna
oranye. Di tambah pada gambar kedua ada sesosok laki-laki tua memakai pakaian hitam.
c. Body language
Dari keseluruhan gambar diatas, gerak tubuh Srintil sedang memainkan selendang yang dikenakan nya, dan pada gambar 5.6
Srintil sedang menurunkan kepala dan pandangan mata mengarah kepada benda melengkung kecil. Sedangkan pada gambar 5.5 terlihat
sesosok laki-laki yang dengan mengegam tangan kanan sambil diarahkan keatas sedangkan tangan kiri digerakan kebawah.
d. Aksesoris
Pada gambar pertama saat pementasan tari ronggeng, Srintil tidak begitu memakai aksesoris terlalu banyak, hanya selendang dan
sedikit make-up, jepit rambut dengan dihiasi bunga berwarna putih, serta di samping pinggang sebelah kiri Srintil juga memakai keris yang di yakini warisan dari penari tari ronggeng sebelumnya namun terlihat
seperti bias karena posisi kamera lebih fokus ke bagian atas muka penari.
2http://kaikanika.blogspot.com/. Di unduh pada tanggal 25 April 2013 jam 20.41 WIB. Tentang arti
e. Angle Camera
Angle camera dilakukan dengan cara pengambilan dari jarak sedang, jika objeknya orang maka yang terlihat hanya separuh badannya saja (dari perut/pinggang keatas). Sedangkan pada gambar
kedua pengambilan gambar dilakukan secara hampir sama dengan objeknya orang dan diambil dari dada keatas.
f. Setting
Setting tempat berada di halaman belakang rumah dukun tari ronggeng yang cukup luas dan saat pementasan tari ronggeng ini
dilakukan pada malam hari dengan menggunakan obor api sebagai alat penerangan sekaligus terlihat indah. Sehingga yang menonton pun
terlihat banyak mulai dari anak kecil, remaja, ibuk rumah tangga dan bapak-bapak, maupun yang sudah lanjut usia.
5.1.2. Level konotasi
Penari ronggeng selalu identik dengan gerakan tangan, selendangnya, dan senyum mengoda, sensual dan memakai pakaian seksi, dimana pakaian tersebut harusnya dilihat oleh orang dewasa karena
terlihat bagian dada depan perempuan seperti terbuka.
Dilihat dari segi gerak tubuh pada gambar gerakan selendang
ronggeng sebagai pemaknaan konotasi dan adegan tangan kanan yang mengepal keatas dan meloncat-loncat dapat diartikan sebagai gerakan tari
kegembiraan dari seorang dukun ronggeng, karena kehadiran penari ronggeng yang baru. Sedangkan benda kecil yang dilihat pada gambar 5.6
yaitu keris, dimana mempunyai arti sebagai warisan penari ronggeng sebelumnya.
Secara konotatif dari perkataan/dialog yang dikatakan Srintil,
peneliti menangkap adanya keinginan yang kuat pada diri Srintil untuk menjadi penari ronggeng di Dukuh Paruk dan ada tujuan yang lain juga
membalas kecerobohan yang dilakukan oleh kedua orang tua nya yang mengakibatkan kematian penari ronggeng sebelumnya dan penduduk yang
memakan tempe bongkrek. Penari ronggeng yang di anggap bahwa (stereotipe) penari ronggeng tidak jauh dengan unsur seksi, penggoda, dan dapat di istilahkan lain bahwa perempuan yang bekerja sebagai penari
ronggeng juga dapat di artikan sebagai perempuan pekerja sex saat adegan ritual buka klambu pada film Sang Penari ini.
Dilihat dari kostum Srintil pada gambar 1, bahwa kostum yang dipakai penari menggunakan pakaian seksi yang tepat berada dibagian dada agar terlihat seksi karena jelas terlihat bagian depan belahan dada
sedikit terlihat, sehingga membuat orang yang menonton terutama kaum laki-laki tak heran jika ingin mendekatinya dan bahkan ikut dalam
Moenawar Chalil dalam masalah berpakaian dia menganggap yang harus dikenakan oleh perempuan adalah pakaian yang menutupi aurat
perempuan (Amelia Fauzia, 2004: 208).
Dari aksesoris perempuan penari ronggeng ini memakai selendang
dan jepit rambut berwarna putih saat menari, fungsi lain dari selendang yang penulis amati ketika penari ronggeng saat menari di film Sang Penari bahwa selendang ini mempunyai fungsi ketika perempuan ini istilahnya
mengkalungkan dan mengajak kepada laki-laki untuk menari bersama dengan adegan genit dan cantik merayu, namun laki-laki yang dipilih ini
tidak laki-laki sembarangan, bisa di lihat dari jabatan laki-laki itu di desanya, misal sebagai kepala desa atau laki-laki yang mempunyai sawah
dan harta banyak.
Angle camera pada gambar 1 yang dilakukan secara Medium Shoot (MS) ingin melihatkan objek pada sesosok Srintil terlihat sedang menari dan gerakan “seblak” dengan menggunakan selendangnya.
Sedangkan pengambilan gambar yang kedua dilakukan secara Medium
Setting di lakukan saat hari sudah gelap konon nya kegiatan yang dilakukan saat hari sudah gelap dan bisanya kegiatan di saat gelap bisa
menimbulkan perbuatan yang tidak di inginkan. Dalam kebiasaan atau adat yang berlaku di Jawa, bahwa perempuan tidak di perbolehkan keluar
saat hari sudah gelap, karena kejadian seperti tindakan kriminal sering terjadi di malam hari., yaitu pengambilan gambar sebatas kepala hingga pinggang. Fungsinya memperlihatkan sosok objek secara jelas. Fungsinya
memperlihatkan Srintil dan dukun ronggeng Dukuh Paruk beserta masyarakat sekitar yang menyaksikan terlihat secara jelas.
5.1.3. Mitos
Keinginan menjadi perempuan yang bertumbuh secara dewasa serta kewajiban untuk bersekolah secara umum yang di lakukan sebagian
wanita di jaman sekarang sudah tidak terjadi atau di alami oleh penari ronggeng, karena separuh hidupnya dan kehormatannya dia abdikan untuk
dukuh paruk sebagai seorang yang mempunyai jiwa penari yakni sebagai penari ronggeng, kehormatan sebagai kaum perempuan pun akan hilang saat ritual buka klambu harus dilakukan jika sudah menjadi penari
ronggeng. Selain itu perempuan yang menjadi penari ronggeng juga mempunyai banyak harta, gaya hidup mewah secara cepat tanpa harus
5.2. Perempuan dijadikan sebagai Pelacur
Gambar 5.7 Expresi Gelisah menjelang Ritual “ Buka Klambu”
Gambar 5.9 Srintil melakukan ritual “Buka Klambu”
Gambar 5.10 Expresi Kesedihan setelah
“Buka Klambu”
Perempuan yang sudah menjadi penari ronggeng harus melakukan ritual “buka klambu” . Istilah buka klambu bisa diartikan sebagai hubungan intim yang
bahwa orang yang melakukan ritual tersebuat khususnya laki-laki harus mempunyai status/ jabatan yang tinggi dan jelas mempunyai harta (uang) karena apabila ingin
melakukan hubungan intim dengan perempuan penari ronggeng tersebut. Perempuan yang melakukan hubungan intim tanpa didasari dengan keinginan sendiri akan
berakibat banyak sekali yang akan terjadi, seperti salah satunya dampak psikologis/kejiwaan dan tak heran bisa berakibat terhadap perempuan tersebut
menjadi depresi yang menyebabkan menjadi gila.
Menurut pengalaman penulis, orang yang dapat melakukan hubungan intim adalah orang sudah resmi menikah baru dapat melakukan hubungan intim, karena
menurut adat istidat yang berlaku di Jawa bahwa hubungan intim jika dilakukan diluar menikah maka tidak diperbolehkan karena akan mendapatkan dosa. Menurut perspektif pandangan Islam, tujuan berhubungan intim antara suami istri adalah
merupakan bagian dari ibadah bila diniatkan untuk beribadah dan juga melanjutkan keturunan.3
Jika penulis berada dalam posisi tersebut tentunya akan timbul perasaan bersalah atau penyesalan yang terjadi di dalam perempuan itu sendiri, namun jika kita melihat perempuan yang bekerja menjadi pelacur di jaman sekarang tentunya
perempuan tersebut akan dikucilkan, dihina dilingkungan masyarakat dimana dia bertempat tinggal. Berbeda cerita dengan keadaan saat perempuan dalam konteks
3 http://askep-net.blogspot.com/2013/04/adab-berhubungan-suami-istri.html. di unduh pada tanggal 4
penari ronggeng ini, bahwa derajat perempuan tersebut justru akan tinggi dibandingkan dengan perempuan-perempuan yang lain dan hal tersebut dapat
dibuktikan dalam film Sang Penari.
Selain itu dapat dilihat bahwa Srinthil mengeluarkan air mata dan menangis,
hal ini berarti bahwa ia sedang berada dalam kondisi sedih. Menurut pengalaman penulis perasaa sedih bisa memicu timbulnya air mata. Penulis memahami benar bahwa Srinthil berada dalam kondisi yang terpaksa dan ia tidak bisa lari dari
kenyataan yang terjadi. Di satu sisi ia harus menjalankan kewajibannya sebagai seorang penari, di sisi lain ia ingin melakukan “buka klambu” dengan orang yang
benar-benar ia sayangi. Hal inilah yang membuat dia merasa sedih, tersayat, perasaannya sangat terpukul, akan tetapi ia tidak bisa berbuat banyak dan akhirnya meneluarkan air mata karena ia sudah tidak tahan atau ia tidak bisa memendam
perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya.
5.2.1. Level Denotasi a. Dialog
Sakarya: terus kapan kita mau buka klambu kang?
Kertarajasa: kalau menurut perhitungan ya besok malam jumat manis.
Kertarajasa: ya itu harga yang pantas, boleh apa saja asal nilai nya sama.
Sakarya: tapi kalau kemahalan apa malah gak nyalahin aturan itu kang
Kertarajasa: hehehe (tertawa) “ heh karya, kemahalanan? Apa pernah ada ronggeng yang cantiknya seperti cucu sampean? Hehehe (sambil tertawa)
Nyi Kertarajasa : ronggeng itu tidak cuma urusan tarian, tapi juga urusan kasur, urusan menemani, urusan sumur, hingga sampai urusan ritual dan doa.
Peminat buka klambu 1 : kulo nuhun
Kertarajasa : iya ya saya sudah mengerti (tujuan), masih lima hari lagi.
Peminat buka klambu 1: ow iya ya, masih lima hari lagi ya?
Kertarajasa: ya di kasih disana (hewan kerbau), nah, di beri tanda dan tandanya dibedakan dari yang lain ya !
Srintil: Sus ? (sambil berteriak menghampiri Rasus), kamu katanya di bawa ke markas?
Sus, bentar lagi aku buka klambu sus, aku takut.
Rasus: ya kamu kan ta hu, kalau mau jadi ronggeng harus “buka
Kalau gak mau „buka klambu‟ ya nggak usah jadi ronggeng! (dengan
nada yang tinggi expresi marah/kecewa)
Kertarajasa: wes wes buka klambu tidak bisa dilihat (berbicara dengan warga yang ada didepan rumah dukun ronggeng/Sakarya) Nyi kertarajasa: tenang saja lah, anak cantik. Ronggeng itu memang harus bisa menngerti laki-laki, tidak apa-apa tenang saja (Srintil sambil menangis)
Kertarajasa : aduh heh, duduk duduk „berbicara dengan tamu
peminat buka klambu‟ (terdengar suara bertengkar)
Peminat buka klambu 2: lah gimana aku mau duduk, orang banci kalen ini belum pergi (berbicara dengan peminat buka klambu 1) Peminat buka klambu 1: heh, sampean juga jangan suruh aku duduk!
Kertarajasa : apa-apa?
Peminat buka klambu 1: kerbau aku itu juga lebih mahal daripada orang ini.
Nyi kertarajasa: oalah bocah-bocah bagus, duduk-duduk dulu ya, nanti Srintil jadi takut kalau kalian bertengkat seperti ini. Soalnya Srintil itu gak bisa sama yang kasar-kasar, masuk dulu sana anak cantik.
b. Kostum
Srintil menggunakan pakaian tipis yang berwarna biru muda
saat menutupi bagian dadanya dan menggunakan bawahan jarik yang bermotifkan batik berwarna cokelat.
c. Body Language
Di dalam adegan Srintil yang seorang penari ronggeng yang ingin melakukan ritual “buka klambu” memperlihatkan bahasa
tubuhnya yang sedang tiduran serta ada perasaan gelisah bahkan terlihat ingin menangis, yang menjelaskan bahwa Srintil melakukan
adegan tersebut tanpa adanya rasa kesenangan dari dirinya sendiri melainkan karena adanya unsur terpaksa karena dia ingin menjadi
penari ronggeng.
d. Angle Camera
Angle camera dilakukan dengan cara pengambilan gambar secara objek dari kepala hingga lutut. Sedangkan pada gambar kedua teknik pengambilan yang tidak diarahkan langsung ke objeknya tetapi dari cermin/air yang dapat memantulkan bayangan objek.
e. Setting
Srintil sedang berada diatas tempat tidur besi dan
Selain itu tempat tidur yang dipakai Srintil menggunakan klambu, klambu dapat di artikan penutup disekitar tempat tidur.
5.2.2. Level Konotasi
Dalam makna konotatif perempuan tari ronggeng adalah
perempuan yang bersedia kehormatan,keperawanan nya di jual dan bahkan bisa disebut sebagai perempuan pelacur. Karena melakukan hubungan intim tanpa ada keinginan dari pihak perempuan melainkan
karena materi/uang jika ingin melakukan hubungan intim tersebut. Expresi bahasa tubuh sedih Srintil juga terlihat mempunyai makna kontasi yaitu
kesakitan karena keperawanan nya diberikan dengan orang yang tidak Srintil sukai.
Kostum yang digunakan srintil adalah pakaian setengah telanjang,
dan setting ini dilakukan di kamar dukun ronggeng sedang melakukan hubungan intim melebihi satu orang laki-laki, dan dilakukan secara
bergiliran sesuai dengan nomor urutan masuk kamar yang dibuat oleh istri dari dukun ronggeng.
pada gambar kedua terlihat kameraman menggunakan teknik pengambilan yang tidak diarahkan langsung ke objeknya tetapi dari cermin/air yang
dapat memantulkan bayangan objek dapat dimaknai teknik Reflection Shot dimana pengambilan gambar ini dilakukan agar expresi wajah Srintil
menunjukan adanya kesedihan setelah tubuh Srintil di jual dengan seorang pengusaha.
5.2.3. Mitos
Perempuan yang menjadi penari ronggeng adalah perempuan yang sama hal nya, perempuan yang bekerja menjadi seorang pelacur atau
dengan sebutan perempuan pekerja sex komersial. Namun perbedaannya jika perempuan tari ronggeng melakukan adegan buka klambu sebagai suatu adat/persyaratan jika sudah siap menjadi penari ronggeng dan tanpa
didasari keinginan untuk menjual dirinya sendiri, dan selain itu konon yang ada di film Sang Penari juga menceritakan bahwa melakukan
hubungan intim dengan penari ronggeng maka kesuburan pada seorang laki-laki untuk memperoleh keturunan akan terjadi jika laki-laki tersebut belum mempunyai keturunan dengan istrinya. Selain itu perempuan yang
bekerja sebagai penari ronggeng akan mempunyai banyak harta, hidup mewah dan dihargai di lingkungan dia bertempat tinggal.
Gambar 5.11 Perempuan sedang tempe “bongkrek”
Gambar 5.13 Perempuan yang menatap
seorang anak kecil
Gambar 5.14 Menggendong Anak Kecil
Sekelompok perempuan yang mejadi ibu rumah tangga dan sedang
bukanlah perkara mudah. Tidak bisa pungkiri, mengurusi keluarga, mulai dari merawat anak, menyiapkan menu makanan yang bergizi, hingga mendidik anak
bukanlah perkara mudah. Belum lagi tanggung jawab yang mesti diemban para ibu yang bakal mewarnai seperti apa keluarga yang akan dibentuk.
Menurut pengalaman dari penulis, ketika melihat betapa beratnya tugas dan tanggung jawab dari seorang perempuan yang ingin menjadi ibu rumah tangga, dimana saat menjalankan tugas-tugas mereka sebagai ibu rumah tangga bisa di bilang
unik karena di sela-sela kegiatannya mengurusi rumah tangga, perempuan juga mempunyai pekerjaan yang lain yaitu menyempatkan diri untuk bekerja diluar
lingkungan keluarga semisal menjadi sebagai wanita yang ingin berkarier.
Keinginan untuk menjalin hubungan serius dalam suatu pasangan merupakan hal wajar yang dimiliki oleh setiap perempuan maupun laki-laki. Namun banyak hal
yang mempengaruhi dan mencoba untuk menyatukan prinsip sehingga bisa menjadi dalam suatu ikatan pernikahan. Menurut pengalaman dari sudut pandang laki-laki
secara umunya, bahwa seorang laki-laki mempunyai sifat egois yang tinggi dimana agar perempuan yang sudah menikah dengannya tidak diperbolehkan untuk bekerja.
Penghasilannya dalam bekerja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan anak dan istrinya. Apabila penulis berada diposisi tersebut tentu penulis mempunyai pemikiran tersendiri bahwa seorang perempuan juga layak mempunyai karir dan
anak-anak karena tidak bisa dipungkiri bahwa seorang anak-anak lebih menyukai kasih sayang
dari seorang ibunya.
Keinginan perempuan untuk memperoleh seorang anak dari seorang laki-laki yang dicintai nya. Namun latar belakang pengalaman kebudayaan yang membuat
perempuan yang bekerja sebagai penari ronggeng tidak diwajibkan untuk menikah bahkan tidak diperbolehkan untuk melahirkan seorang anak. Jika penulis berada di dalam peristiwa tersebut sungguh sangat mengerikan karena kodrat secara umumnya
seorang perempuan adalah menikah dan mempunyai seorang anak.
5.3.1. Level Denotasi
a. Dialog:
Srintil: kamu ngilang sejak kejadian malam itu ning mburi omah sus. Rasus: semalam itu kamu jadi ronggeng, aku gak pernah balik disini. Aku gak punya uang.
Srintil: bener kamu mikirnya seperti itu. Rasus: iyo, kenapa?
Srintil: semalam itu aku juga tidak minta uang dari kamu sus.
Rasus: kamu dan aku sekarang sudah beda sri. Kamu ronggeng aku tentara. Ya kalau kamu mau menghendaki kita BERSAMA ya berhentilah meronggeng, kamu kan bisa ikut bersama aku.
Srintil: maksumu apa sih? Sudah jadi tentara , tidak pantas lagi jadi orang kampung?
Sus ronggeng ki duniaku, wujud dharma baktiku untuk dukuh paruk, ya kalau kamu emang begitu ya lungo bae lah. Sana pergi!
Nyi Kertarajasa: jeng nganten, yang mau nanggap ronggeng udu wong pere-pere (tidak orang sembarangan), kepala perkebuna n karet wanakeling, duit e akeh. Bisa tuku dukuh paruk seisi-isine kabeh. Kita yang cuma turunan orang kecil, nggak pantes lah kalau menolak permintaan pak Marsusi, ayo lah berangkat sajalah
Srintil: hanya diam tidak berbicara sepatah katapun dan sambil tiduran di tempat tidur (seakan-akan malas untuk menjadi ronggeng lagi semenjak bertemu Rasus dan ingin untuk hidup bersama dengan Rasus)
Nyi Kertarajasa: oalah tobas tobas, si anak penjual tempe bongkrek yang sudah bunuh orang sekampung. Saiki wani nolak Marsusi !! keterlaluan sekali ! dasar coro kamu.
Nyi Kertarajasa: biar, sekali ini dia harus diberi pelajaran. Lama -lama anak Santayib itu seperti naik pohon bawa senjata. Aku akan coba putuskan tali asmara yang mengikat mereka.
Srintil : (bangun dari tempat tidur dan mendengar suara anak balita
dan menggendongnya sambil bernyanyi untuk anak balita itu). “neng
nang neng nung anakku sing bagus rupane, la le lo le lo” sambil
mencium anak balita tersebut.
b. Kostum
Pada gambar 5.11 dan 5.12 sekelompok perempuan yang sedang
memakai pakaian lengan panjang yang bercorak/dengan motif bunga-bunga dan pada gambar selanjutnya Srintil memakai pakaian lengan panjang bewarna biru putih dan ada motif bunga-bunga seperti
kelihatan pakaian batik. Terlihat anak balita yang sedang diselimuti oleh selendang.
c. Body languange
Pada gambar 5.11 dan 5.12 sekelompok perempuan sedang berbincang-bincang dalam mempersiapkan tempe bongkrek.
Sedangkan bahasa tubuh Srintil terlihat dengan pandangan tajam mengaraj kepada anak kecil yang sedang bersama ibunya, dan pada
menggendong anak kecil dan menyanyikan untuk anak kecil tersebut
dengan tersenyum.
d. Angle Camera
Angle camera pada gambar diatas dilakukan pengambilan
gambar secara objek dari kepala hingga lutut, pengambilan gambar kedua dilakukan dengan cara pengambilan dari jarak sedang, jika objeknya orang maka yang terlihat hanya separuh badannya saja (dari
perut/pinggang keatas).
e. Setting
Pada gambar sekelompok perempuan setting adegan tersebut dilakukan di dalam rumah dengan suasana pencahayaan alami pada pagi hari. Sedangkan pada gambar selanjutnya Srintil berada di depan
halaman rumah dukun ronggeng, dan bagian belakang Srintil terlihat sekumpulan perempuan ibu-ibu sedang melihat Srintil menggendong
anak balita.
5.3.2. Level Konotasi
Perempuan dan laki-laki sedang berada di dalam kamar dengan posisi sedang tiduran dapat dimaknai sedang melakukan hal yang negatif seperti bermesra-mesraan serta dapat diartikan sedang bercinta.
[image:34.612.101.534.174.596.2]mempunyai anak kecil/balita dari kekasih yang dicintai nya, namun di sisi lain keinginan tersebut bisa tidak terwujud karena disebabkan oleh
pekerjaan Srintil sebagai penari ronggeng yang mempunyai syarat tidak boleh menikah atau mempunyai seorang anak.
Dilihat dari level konotasi dialog tersebut terdapat makna bahwa Srintil ingin hidup bersama dengan Rasus (kekasihnya), namun masih banyak perbedaan yang mereka alami, salah satunya perbedaan
pola pikir dalam bekerja. Bahwa Rasus ingin Srintil untuk tidak bekerja sebagai penari ronggeng. Sedangkan Srintil tidak bisa lepas
dengan pekerjaannya sebagai penari ronggeng dikarenakan Srintil ingin mengabdikan jiwa dan raganya untuk Dukuh Paruk. Sehingga
hal tersebut yang membuat mereka tidak bisa untuk hidup bersama.
Kostum pada gambar sekelompok perempuan yang berada di dalam rumah dan sedang berbincang mereka menggunakan pakaian
batik dan bawahan jarik, dimana mempunyai arti untuk menonjolkan pakaian ciri khas yang dimiliki oleh indonesia dan lebih menunjukan kepada keaslian pakaian tradisional dalam pedesaan. Pada gambar
srintil yang menggendong anak kecil menggunakan warna putih dan masih bersifat pakaian batik, namun warna pakaian yang dipakai oleh
terlihat penampilan seperti orang tua pada gambar sekelompok ibu-ibu
rumah tangga.
Dilihat dari bahasa tubuh sekelompok ibu-ibu yang berada didapur yang sedang menyiapakan hidangan untuk sarapan suami dan
anak-anak nya dengan lauk tempe bongkrek, Sedangkan pada srintil melihat dan menggendong anak kecil dengan expresi senyum Srintil. Mempunyai bahwa adanya keinginan dari lubuk hati yang paling
dalam bahwa Srintil ingin mempunyai seorang anak dari rahimnya. Secara pengambilan gambar yang terjadi pada gambar diatas
dilakukan dengan cara Knee Shot (KS) karena ingin memfokuskan adegan kemesraan Srintil dengan Rasus di tempat tidur. dan kedua dilakukan secara Medium Shot (MS) menunjukan adegan dimana Srintil menggendong anak kecil dengan expresi kegembiraan karena didalam hati seorang perempuan yang secara umum dapat mempunyai
seorang keturunan/anak. Setting pada gambar pertama, tempat gelap adalah tempat dimana untuk bermesra-mesraan antara perempuan dan laki-laki. sedangkan pada gambar kedua, terlihat di luar rumah dengan
5.3.3. Mitos
Menjadi sebagai ibu rumah tangga adalah sebuah pilihan. Ada
banyak hal yang melatar belakangi seorang wanita untuk menikah dan mempunyai seorang keturunan atau anak, mau tak mau pada akhirnya
hakekat perempuan untuk menjatuhkan pilihan menjadi seorang Ibu rumah tangga. Keinginan untuk harus mengikuti suami adalah sebuah pilihan, hingga tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan/sang
istri tidak bisa menata karir pekerjaannya yang dia sukai. Hal tersebut yang sering kali menjadi konflik dalam berumah tangga, karena
keinginan perempuan untuk mendapatkan karir/cita-cita yang dia inginkan dari sejak kecil dan tidak hanya berfokus pada mengasuh
5.4. Perempuan sebagai pihak yang tertindas
Gambar 5.15 Penjaga dan tawanan
Gambar 5.8 Penyiksaan terhadap Perempuan
Gambar 5.18 Perempuan dipenjara dan dianiaya
Kekerasan, penindasan, pelecehan seksual, bahkan tindakan pemerkosaan, sering terjadi kepada perempuan. Di Indonesia saat masa penjajahan Belanda,
perempuan yang mempunyai pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga disebut baboe (dibaca “babu“), sebuah istilah yang kini kerap digunakan sebagai
memiliki tugas untuk mengurus pekerjaan rumah tangga seperti memasak serta menghidangkan makanan, mencuci, membersihkan rumah, dan mengasuh
anak-anak.4
Dari hal tersebut dapat mempengaruhi pengalaman cara berpikir yang selama
ini diwariskan secara turun temurun dalam masyarakat kita. Ketika perempuan diberikan beban untuk „menjaga dirinya', sementara kita lupa mengajarkan
perempuan bahwa ia punya hak atas tubuhnya, punya hak atas rasa aman, bahwa yang
seharusnya malu adalah pelaku kekerasan,pelecehan seksual, dan yang hina adalah para pemerkosa, yang sekali lagi mayoritas bahkan hampir 100% adalah laki-laki.
Jika dilihat di jaman sekarang masalah tentang kekerasan, penindasan, pelecehan seksual, sampai tindakan terhina seperti pemerkosaan terhadap perempuan tidak hanya bisa diselesaikan melalui kebijakan dan peraturan perundang-undangan.
Namun penulis lebih mengubah kepada paradigma masyarakat dalam melihat bagaimana posisi perempuan, baik terhadap laki-laki, terhadap masyarakat, maupun
terhadap negara. Terutama budaya kita yang harus diubah, dan lebih menghargai perempuan sebagaimana mestinya, sehingga semua itu bisa dilakukan mulai dari diri
kita sendiri.
4
5.4.2. Level Denotasi a. Dialog
Srintil: Saya tidak tahu, saya cuma penari. Saya cuma ngertinya tentara yang bernama Rasus.
Teman Rasus: Permisi pak, saya mau membawa perempuan yang bernama Srintil
Anggota keamanan: sia pa yang akan jamin.
Teman Rasus: Saya pak. Besok jam segini akan saya kembalikan tepat waktu pak.
Anggota keamanan: benar? Teman Rasus: benar pak. Anggota keamanan: oke.
Teman rasus: (Sambil mengendarai mobil membawa Srintil). Tenang bae Sri, aku gak bakal mukuli kamu. Wong satu kampung kok ya, apalagi teman dari kecil. Justru aku ingin menolong kamu untuk bertemu dengan Rasus kan !? eh sri?
Srintil: dengan tanpa bicara sepatahpun, cuma meanggukan kepala sebagai tanda iya.
Pengusaha: ya diatur saja yang penting jangan bikin malu.
b. Kostum
Pada gambar penjaga dan tawanan, menjelaskan bahwa penjaga
tersebut berjenis kelamin laki laki-laki yang memakai pakaian bewarna abu-abu tua, dan terlihat perempuan berambut panjang
memakai pakaian abu-abu muda seperti pakaian nya tidak rapi atau kotor. Sedangkan pada gambar Perempuan dalam penjara terlihat perempuan memakai pakian berwarna putih namun pakaian putih
tersebut terlihat bewarna gelap karena akibat berada dalam penjara , Srintil memakai baju batik yang berantakan atau tidak rapi.
c. Body languange
Pada gambar penjaga dan tawanan, laki-laki membungkukan
sedikit badannya, dan gerak tubuh perempuan yang sedang menyembah meminta untuk pergi/lepas. Pada gambar perempuan yang berada dalam penjara, perempuan tersebut gerak tubuhnya sedang
duduk diatas kursi dengan keadaan badan sudah kotor dan berantakan. Pada gambar penyiksaan, dimana tokoh Srintil terlihat membungkuk
d. Angle Camera
Pada gambar diatas dilakukan pengambilan dari atas objek
sehingga mengesankan objek jadi terlihat kecil. Namun pada gambar kedua terlihat jelas kejadian kekerasan yang terjadi oleh Srintil,
sehingga juru kamera/kameraman mengambil dari sudut pengambilan gambar sejajar dengan tujuan ingin memperlihatkan tangkapan pandangan mata seseorang. Teknik ini tidak memiliki kesan dramatis
melainkan kesan wajar.
e. Setting
Di lihat dari setting pada gambar diatas berada didalam ruangan bawah tanah dan ada juga yang berada di terowongan yang sedikit pencahayaan. Sedangkan pada gambar penyekapan didalam ruangan
khusus dan hanya terdapat Srintil dan petugas di tambah pencahayaan yang cukup terang.
5.4.3. Level Konotasi
Pada gambar penjaga dan tawanan, mempunyai makna lain yaitu perempuan yang sedang meminta kebebasan ingin pergi dari tempat
penyekapan/penjara tersebut. Namun ada juga perempuan yang sedang berada didalam ruangan khusus penjara yaitu Srintil dan Nyai Dukun
[image:43.612.102.532.177.597.2]berbeda dengan perempuan yang lain nya, dengan motif atau tujuan untuk memperoleh informasi dari seputar hal partai komunis yang telah terjadi di
Dukuh Paruk
Pada dialog diatas, bahwa penulis mengamati ada makna konotasi
terhadap teman Rasus yang patah hati dengan Srintil karena Srintil lebih memilih Rasus daripada laki-laki tersebut. Sehingga berniat membalas dendam kepada Srintil dengan cara menjual Srintil kepada seorang
pengusaha yang haus akan sex.
Dari segi kostum, laki-laki tersebut adalah anggota keamanan atau
[image:44.612.100.532.172.594.2]kalau dijaman sekarang orang menyebut dengan nama Satpol PP, dan perempuan tersebut gadis remaja di Dukuh Paruk. Sedangkan pada gambar Srintil dan Nyai Dukun jelas terlihat masih menggunakan kostum
pakaian batik namun pakaian tersebut sudah sangat berantakan karena adanya tindakan kekerasan bahkan pelecehan seksual yang terjadi pada
Srintil.
Gerak tubuh terhadap pemaknaan konotasi nya pada gambar
penjaga dan tawanan adalah meminta ampunan atau belas kasihan kepada penjaga untuk melepaskan perempuan tersebut. Sedangkan bahasa tubuh pada gambar Srintil dan Nyai Kertarajasa menunjukan badan perempuan
terlihat didalam expresi wajah kedua wanita ini mengalami kesakitan,
tubuh menjadi lemas dan pasrah terhadap petugas keamanan tersebut.
Dan posisi pengambilan gambar diatas dilakukan dengan cara High Angle, dimana memfokuskan pada seorang perempuan yang sedang memohon belas kasihan terhadap seorang petugas keamanan yang memakai baju abu-abu. Sedangkan pengambilan pada gambar ainnya dilakukan secara Eye level agar dapat memperlihatkan tangkapan
pandangan mata seseorang, karena didalam gambar yang kedua berada disuatu ruangan dan sedang di introgasi
Setting yang terjadi pada gambar penjaga dan tawanan, terletak di sekitar luar kamar penjara dengan keadaan pencahayaan gelap yang mempunyai arti peristiwa tersebut dilakukan saat malam hari . Sedangkan
pada gambar Srintil dan Nyai Kertarajasa berada di ruang eksekusi dan secara umumnya orang yang berada di ruang tersebut adalah seorang yang
diduga berperan penting dalam suatu kasus/masalah.
5.4.4. Mitos
Perempuan yang sedang di sekap dalam penjara akan mengalami tindakan