• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Berjuang di antara Peluang Studi pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong T2 092011004 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Berjuang di antara Peluang Studi pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong T2 092011004 BAB IV"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Empat

Tempat Jualan Pedagang M ama-mama

Asli Papua di Pasar Remu

Pengantar

Pasar menjadi pusat kegiatan ekonomi masyarakat dan merupa-kan tempat dimana terjadi pertemuan antara pembeli dan penjual. Kegiatan jual beli bisa berjalan dengan baik dan memberikan kenya-manan para penjual dalam proses perputaran barang dagangannya, harus didukung dengan fasilitas dan tempat yang layak untuk menem-patkan barang dagangannya. Kelayakan tempat yang gunakan akan berpengaruh terhadap pembeli dalam memilih jenis-jenis barang dagangan yang disediakan oleh para pedagang yang ada di lokasi pasar dan tempat berjualan.

Pasar Remu menjadi salah satu tempat mama-mama asli Papua melakukan kegiatan jual beli. Untuk kelancaran kegiatan jual beli mama asli Papua di pasar perlu didukung dengan tempat atau fasilitas yang baik dan tepat untuk menjajakan barang dagangannya. Tempat berjualan bagi pedagang menjadi faktor yang sangat menentukan dan memegang peran penting dalam proses kegiatan jual beli. Oleh sebab itu pada bagian ini penulis akan membicarakan tempat jualan yang digunakan mama-mama asli Papua dalam melakukan kegiatan jual beli di Pasar Remu.

(2)

Kondisi Pasar dan Tempat Berjualan

M usibah terbakarnya Pasar Remu pada tanggal 5 November 2011, menjadi awal dari perubahan kondisi kegiatan pasar yang kurang menguntungkan yang dirasakan oleh pedagang dalam melakukan kegiatan jual belinya. Secara umum peristiwa kebakaran itu meng-hanguskan ratusan kios dan menyebabkan beberapa pedagang tidak lagi mempunyai tempat berjualan. Untuk dapat melanjutkan aktivitas dagangnya, mereka membuat tempat berjualan darurat yang dibangun di depan dan di samping-samping Pasar Remu. Namun tempat ber-jualan darurat yang telah rampung dibangun oleh pemerintah, menim-bulkan persoalan baru bagi pedagang dalam penempatannya. Tujuan utama pembuatan tempat berjualan sementara lebih diperuntukkan bagi pedagang yang mengalami musibah kebakaran, namun kondisi itu memberikan peluang dan dimanfaatkan oleh pedagang lain dalam menempati tempat berjualan darurat yang ada. Pedagang dari dalam pasar pun kemudian pindah dan berjualan di situ, ada pula pedagang baru. Hal ini kemudian diungkapkan oleh Bapak Oktovianus Kalasuat1 sebagai kepala Pasar Remu bahwa:

Jadi itu begini, itu persoalannya waktu kebakaran itu, kita pindahkan penjagaan dari dalam, mereka itu bukan kewenangan kita tapi dari mereka sendiri ya mereka, kalau dari jalan itu saya bangun lapak-lapak sementara di depan, di jalur depan itu, sa siapkan oleh pemerintah. Jadi, terus kemudian ada pedagang-pedagang lain yang mereka berinisiatif untuk ketemu dengan pemerintah Kota, Kota DPR untuk mereka siapkan di depan jalan itu. Kemarin bulan maret (tahun 2013) kita sudah bongkar, kita sudah bongkar, apa namanya tempat-tempat yang ada di dalam itu terus eee kita suruh masuk mengisi tempat yang sudah disiapkan oleh pemerintah yang sudah dibangun selesai. Peda-gang-pedagang yang tadi mengalami musibah kebakaran disuruh masuk kembali, cuma di situ ada, sa taratau itu ada siapa yang di situ, bermain di situ, karna itu wilayah Kota ya, ada mama-mama Papua yang duduk di situ. Itu yang membuat sampe sekarang ini kita masih mengalami kendala, sehingga untuk kasih masuk mobil ke dalam tidak bisa, karna mobil kan tidak bisa masuk disitu sa sudah usaha ketemu Pak Lurah tapi sampe sekarang… sa juga tara bisa bikin apa-apa karna itu wilayahnya Kota. Ya tiap

1 W awancara dilakukan tanggal 9 September 2013, di Kantor Dinas Pendapatan Daerah

(3)

hari kita pasrah dengan keadaan kalau mereka mau bantu ya, kalau tidak ya kita ini tinggal menunggu saja.

M aksud informan tersebut ingin menjelaskan bahwa: Begini persoalannya, waktu kebakaran itu, kita (Dispenda

Kabu-paten Sorong) pindahkan penjagaan dari dalam. M ereka itu (pedagang yang berpindah dari bagian dalam pasar) bukan kewenangan kita, tetapi itu dari mereka sendiri. Kalau dari jalan itu saya (Dispenda Kabupaten Sorong) bangun lapak-lapak sementara di depan, di jalur depan itu, disiapkan oleh pemerin-tah. Kemudian ada pedagang-pedagang lain yang berinisiatif untuk ketemu dengan pemerintah Kota Sorong dan DPR Kota Sorong untuk mereka siapkan di depan jalan itu. Kemarin M aret 2013 kita (Dispenda Kabupaten Sorong) sudah bongkar tempat-tempat (lapak-lapak sementara yang dibangun paska kebakaran) yang berada di dalam, terus kita menyuruh pedagang-pedagang masuk untuk mengisi tempat yang sudah disiapkan, yang sudah dibangun oleh pemerintah hingga selesai. Pedagang-pedagang yang mengalami musibah kebakaran disuruh masuk kembali. Cuma (saya tidak tahu ada siapa yang bermain di situ, karena itu wilayah Kota Sorong), ada pedagang mama-mama asli Papua yang duduk berjualan di situ. Hal itu yang membuat kita sampai saat ini masih mengalami kendala, sehingga untuk kasih masuk mobil (angkutan umum) ke dalam (ke depan pasar) tidak bisa. M obil memang sampai saat ini tidak bisa masuk sampai ke depan pasar seperti dulu, saya sudah berusaha ketemu Pak Lurah Remu Selatan Sorong tetapi sampai sekarang saya juga tidak bisa bikin apa-apa karena itu wilayah Kota Sorong. Setiap hari kita pasrah dengan keadaan. Kalau mereka (Pak Lurah Remu Selatan Sorong dan pemerintah Kota Sorong) mau membantu ya, tetapi kalau tidak, ya kita hanya bisa menunggu saja.

(4)

tepat untuk mendapatkan tempat jualan dengan jalan pendekatan pada petinggi-petinggi berwenang. Pada hal perilaku itu secara tidak sadar telah menutup dan merugikan peluang pedagang yang lain untuk berkesempatan berjualan di lokasi pasar.

Dalam penuturan ini juga menginformasikan bahwa Pasar Remu mempunyai persoalan dengan hak pengelolaan, karena terdapat dua hak pengelolaan, baik Pemeritah Kota maupun Kabupaten dalam proses tersebut. Sekalipun dalam pembagian pengeloalaan antara pemerintah Kota dan Kabupaten secara jelas, tetapi dalam kegiatan jual beli yang dilakukan oleh pedagang masih bebas dan belum diatur secara tegas dalam menempati ruang pasar di antara dua hak penge-loalaan tersebut. Hal ini berakibat pada pengaturan kewajiban dan hak oleh pemerintah terhadap pedagang di pasar dan mempersulit bagian petugas di lapangan, khususnya Dinas Pendapatan Daerah.

(5)

ini membuat para pengelola lapangan sangat hati-hati dan segan untuk mengambil tindakan terhadap pedagang mama-mama asli Papua.

Pada sisi lain menguntungkan pedagang pendatang dalam hal memiliki tempat jualan dengan melakukan pendekatan pada pedagang mama-mama asli Papua yang masih memiliki tempat jualan yang kosong. Pendekatan yang dilakukan untuk mendapatkan tempat jualan tersebut melalui pembicaraan yang di dalamnya berhubungan dengan imbalan. Besar imbalan tergantung kesepakatan antara pedagang mama-mama asli Papua dan pedagang pendatang. Sekalipun penem-patan posisi tempat jualan berdekatan dengan pedagang mama-mama asli Papua. Tidak sulit membangun pendekatan dan mendapatkan tempat jualan dari pedagang mama-mama asli Papua karena pertim-bangan kemanusiaan dan kasih antara yang ada pada pedagang mama-mama asli Papua terhadap sesama manusia.

Kehadiran dan keterlibatan pedagang mama-mama asli Papua di Pasar Remu merupakan peluang dan keinginan pribadi untuk melaku-kan kegiatan jual beli. Peluang dan keinginan itu pun menjadi motivasi bagi pedagang mama-mama asli Papua untuk membuka diri dan bersaing dengan pedagang pendatang. Sekalipun dalam proses kegiatan jual beli, para pedagang mama-mama asli Papua ini diperhadapkan dengan kesulitan baik dari sisi persaingan maupun fasilitas atau tempat jualan yang memadai untuk menunjang proses usaha kegiatan jual beli yang ditekuni. Oleh sebab itu di awal kegiatannya, pedagang mama-mama asli Papua masih tetap berusaha sendiri dengan apa adanya untuk bisa melakukan kegiatan jual belinya. Bahkan sebagian besar dari pedagang mama-mama asli Papua menggelarkan barang dagangan-nya di bawah tanah beralas karung dan di ruang terbuka tanpa atap yang berhubungan dengan cuaca panas maupun hujan. Kondisi ini mereka jalani dengan rasa semangat dan motivasi karena dipacu oleh kebutuhan dan tanggung jawab keluarga.

(6)

Cara untuk menghindari cuaca panas dan hujan pun sudah teratasi namun dari segi tempat jualan yang digunakan untuk menggelarkan barang dagangannya masih tetap seperti dulu, di atas tanah dan beralas karung. Hari demi hari pedagang mama-mama asli Papua menjalani rutinitas jual beli seperti biasa, namun muncul persoalan baru ketika hujan terjadi genangan air di sekitar barang dagangan, terutama yang masih menggelarkan barang dagangan mereka di bawah tanah. Untuk mengatasi kondisi tersebut para pedagang mama-mama asli Papua membuat tempat jualan yang aman seperti meja (mama-mama Papua menyebutnya para-para) yang bahannya dari kayu berbentuk papan, kemudian dipaku agar kuat dan bertahan dari goncangan atau tiupan angin, serta dilengkapi dengan atap yang berbahan terpal dan seng seadanya.

Pada umumnya tempat dan fasilitas yang digunakan oleh peda-gang mama-mama asli Papua adalah hasil usaha dan daya mereka sendiri dalam mempertahankan keberlanjutan kegiatan jual beli di pasar. Kemauan dan inisiatif ini pun sudah sejak dulu mereka mulai, yaitu berdagang di pasar dengan keadaan seadanya. Ketika terjadi desakan situasi membuat pedagang mama-mama asli Papua justru lebih kreatif untuk menata dan memperbaiki tempat jualannya. M enurut mama Saa2, salah satu pedagang mama-mama asli Papua di Pasar Remu mengatakan bahwa:

Kalo menurut kami di depan ini itu dulu, kami duduk di bawah tanah, di b’lakang ini, kami duduk kami pake payung yang besar, kami beli payung itu, orang yang pertama kali beli di depan itu saya, sa beli itu seratus ribu, itu di polsa, beli payung itu kami pake di b’lakang kami buka karung di bawah baru kami jualan sampe kemarin pasar dia terbakar, akhirnya dorang datang bikin bantuan untuk yang dong bangun sosial begitu, sosial bukan mo untuk kita, itu untuk orang-orang yang terbakar di dalam sana, kebakaran di dalam, bukan untuk kami, untuk orang yang kebakaran itu.

Informasi informan di atas menjelaskan bahwa:

Kalau menurut kami yang berjualan di depan pasar ini, dahulu kami berjualan di bawah tanah, di sebelah belakang ini kami

(7)

duduk dengan menggunakan payung yang besar. Orang yang pertama kali beli payung besar di depan sini adalah saya, dengan harga seratus ribu di polsa. Payung itu kami pakai di sebelah belakang, kami buka karung di bawah, setelah itu kami jualan. Ketika pasar Remu terbakar, barulah mereka datang memberi-kan bantuan sosial, tetapi bantuan yang mereka bangun itu bukan untuk kami pedagang mama-mama asli Papua, melainkan untuk pedagang-pedagang yang mengalami musibah kebakaran.

Keterangan informan di atas merupakan pengakuan tentang kondisi awal mereka menempati dan melakukan kegiatan jual beli di pasar, dalam berbagai kondisi yang dihadapi oleh pedagang mama-mama asli Papua. M ereka memulai kegiatan jual beli, melalui berbagai halangan maupun tantangan dari segi fasilitas yang dimiliki untuk menunjang kegiatan jual beli. Dengan kesadaran untuk melakukan suatu perubahan kehidupan yang lebih baik, harapan inipun tetap ada. M ereka mencari peluang dan kerja keras untuk mencapai kemandirian dengan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki demi menata kehidupan keluarga yang bermartabat dan bernilai positif bagi keber-lanjutan hidup keluarga.

Usaha dan motivasi yang dimiliki pedagang mama-mama asli Papua untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya tetap men-jadi fokus utama untuk memberikan semangat juang di tengah keman-diriannya, sekalipun tanpa dukungan dan perhatian pemerintah. Di tengah kondisi yang demikian melatih dan mengasah pedagang mama-mama asli Papua lebih kreatif berusaha mencari solusi dan mengatasi persoalan yang dihadapi. Dengan modal potensi semangat maupun jiwa juang yang dimiliki memberi sebuah harapan dan keyakinan dalam bertahan dan menggapai apa yang menjadi tujuan dalam melakukan kegiatan jual beli di pasar. Proses menuju perubahan yang lebih baik itu pun dirasakan oleh pedagang mama-mama asli Papua agak sulit, karena pendidikan dan pengalaman yang mereka miliki masih sangat kurang dibandingkan dengan pedagang pendatang. Selain itu, perhati-an pemerintah cenderung kepada pedagperhati-ang pendatperhati-ang.

(8)

pemerintah lebih mengutamakan bantuan bagi pedagang pendatang. Sikap dan perhatian pemerintah ini menimbulkan perasaan berbeda dari pedagang mama-mama asli Papua terhadap pedagang pendatang. Perlakuan pemerintah ini terasa semakin menyisihkan pedagang mama-mama asli Papua dari tanah kelahirannya dan mempersempit peluang-peluang mereka untuk memperbaiki kehidupannya. Apalagi mereka sedang berupaya menaikkan pendapatan yang selama ini jauh dari kecukupan untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari.

Sebenarnya langkah dan sikap pemerintah bisa dipahami karena pemerintah lebih mengutamakan pembangunan yang berorientasi pada konstribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga memposisikan pedagang pendatang lebih utama dibandingkan pedagang mama-mama asli Papua. Pada sisi lain kebakaran itu juga memberi peluang bagi sebagian pedagang pendatang menggunakan kesempatan dengan pen-dekatan pada pihak berwenang. M ereka umumnya mendekati keluarga-keluarga yang lebih dulu berjualan di dalam pasar untuk mendapatkan peluang dan kesempatan berjualan dan memiliki tempat jualan di dalam Pasar Remu.

M enurut pengamatan peneliti, di lokasi kebakaran terjadi penam-bahan tempat jualan dan pedagang baru. Penampenam-bahan pedagang baru terlihat pada kepadatan dan kepemilikan tempat jualan yang lebih banyak dikuasai oleh pedagang pendatang. Hal inipun nampak dari bergesernya tempat jualan yang semula adalah milik pedagang mama-mama asli Papua berubah tangan kepada pedagang pendatang dengan jalan menyewa atau membeli. Hal ini dilakukan oleh pedagang mama-mama asli Papua karena terdesak oleh tuntutan kebutuhan keluarga dan dalam jumlah yang besar, maka solusi terakhir yang ditempuh adalah menjual dan menyewakan tempat jualannya.

(9)

barang dagangan yang berbeda, baik sembakau, pakaian, komoditi kebun, ikan maupun rumah makan. Adapun pedagang mama-mama asli Papua hanya sedikit yang berjualan di bagian dalam pasar dengan konsentrasi barang dagangan lebih pada komoditi kebun yang juga di- jual oleh pedagang pendatang dan lebih banyak pedagang asli Papua berada di pinggiran pintu masuk pasar, baik di depan maupun di pintu belakang pasar. Satu hal yang menarik bagi peneliti adalah pedagang mama-mama asli Papua selalu membaca peluang dengan berjualan berpindah-pindah sebagai cara untuk lebih dekat dan menyambut pengunjung atau pembeli, dengan tujuan untuk menghabiskan barang dagangannya yang hanya bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu.

Dinamika kegiatan pasar merupakan persoalan yang kompleks dialami oleh setiap pedagang, dan pedagang mama-mama asli Papua pun mengalami hal yang sama walau sedikit berbeda dibandingkan dengan pedagang pendatang. Khusus pedagang mama-mama asli Papua mempunyai persoalan yang berkaitan dengan kepemilikan fasilitas pasar atau tempat jualan yang digunakan yang kondisinya tidak mengalami perubahan yang lebih baik. Untuk mengatasi kondisi terse-but pedagang mama-mama asli Papua berusaha sendiri dengan kemam-puan seadanya. Kondisi ini sering membuat pedagang mama-mama asli Papua mengeluh kepada pemerintah, namun hanya sebatas mengeluh dan tidak ada relalisasi nyata yang dirasakan oleh pedagang mama-mama asli Papua.

(10)

dan sebagian sudah di atas meja (para-para), namun pada umumnya sudah menggunakan meja sebagai tempat penjualan barang dagangan.

Pedagang mama-mama asli Papua yang menempati ruang dalam pasar pada umumnya adalah mereka yang sudah lama menggeluti jual beli di pasar dan rata-rata sudah berumur sekitar 40 sampai 60 tahun. Sebagi-an dari mereka ini tetap bertahan di dalam pasar karena ruang di bagian luar pasar sudah penuh. Sebagian lain berjualan di luar pasar pada waktu tertentu terutama pada sore hari, dengan tujuan mengha-biskan barang yang tidak habis terjual dari dalam pasar seperti sayur, tomat, cabe dan beberapa jenis komoditi lain yang tidak tahan lama.

Untuk pedagang mama-mama asli Papua yang berjualan di bagi-an luar pasar, baik di depbagi-an, samping maupun di belakbagi-ang, dari tiga posisi tempat jualan ini mereka tetap berjualan dan bertahan dengan melakukan adaptasi komoditi barang jualan yang sedikit berbeda. Pada umumnya adalah hasil kebun yang diperoleh dengan membeli kepada sesama orang Papua, hasil kebun usaha sendiri, maupun membeli dari pendatang. Yang berbeda pada kelompok ini adalah, sebagian besar dari mereka sudah menata, mengemas dan melakukan promosi barang jualan kepada pembeli. Hal lain yang mendukung dan membantu proses kelancaran penjualan barang dagangan, karena mereka menem-pati posisi yang sangat strategis, berdekatan dengan pintu masuk pasar dan angkutan pasar, maupun kendaraan lain para pembeli. Tempat jualan yang digunakan pun sebagian besar sudah menggunakan meja dan beralas karpet serta beratap terpal dan seng.

(11)

terjual dan mempunyai harga yang berbeda bila dibandingkan dengan pedagang mama-mama asli Papua yang berjualan di bagian dalam pasar.

Fenomena yang sama pun terlihat di tempat pedagang mama-mama asli Papua berjualan ikan di Pasar Remu pada sore hari. M ereka ini berjualan hanya menggunakan meja saja tanpa penutup atap berupa terpal ataupun seng. Ketika sore tiba, mereka datang lalu menyiapkan meja jualannya dan berjualan di pinggiran jalan angkutan umum dekat pintu keluar Pasar Remu. M ereka ini mengalami kesulitan berjualan ketika hujan turun, mereka hanya bisa berlindung di bawah payung, menggunakan mantel atau plastik untuk menutupi kepala dari air hujan, ada pula yang berlindung di bawah atap bangunan terdekat sambil memantau barang dagangannya. M ereka tidak mendapatkan tempat jualan ikan di dalam Pasar Remu, sehingga setiap sore hari, sekitar jam tiga hingga jam setengah lima sore mereka datang menyiap-kan meja mereka dan berjualan di lahan yang tadinya merupamenyiap-kan tempat parkir motor dan pangkalan ojek.

(12)

Secara khusus kondisi pasar dan persoalan yang terjadi di Pasar Remu diutarakan oleh Bapak O. Kalasuat3. M enurutnya kondisi Pasar Remu saat ini dapat dilihat dari dua bagian yaitu sebagai berikut:

Pertama, kondisi pasar di mana-mana menjadi persoalan, apalagi ini merupakan pusat perekonomian, di situ terjadi persaingan yang sangat ketat sehingga kadang kita khususnya di Pasar Remu Pemerintah sudah memberikan kesempatan kepada peda-gang mama-mama Papua tetapi pada kenyataannya ketika mama-mama Papua berjualan, mungkin karena faktor jualan mereka yang tergantung dari hasil kebun yang sering ada dan sering juga tidak ada. Jadi mungkin faktor-faktor ini juga yang sangat mempengaruhi sehingga mereka ini kan berjualan rata-rata hasil produksi mereka punya di kebun-kebun seperti pisang, daun kasbi (singkong), keladi (ubi), petatas (ubi jalar), yang selamanya rutinitas ada pasti juga suatu saat kosong. Kedua, Faktor Kebutuhan dari anak-anak sekolah yang kadang-kadang butuh secara mendadak, ya terpaksa fasilitas yang ada (tempat jualan yang ada) bisa dikontrakkan dalam rangka memenuhi kebutuhan anak-anak sekolah.

Dari pernyataan informan tersebut di atas tersirat makna, bahwa pasar mempunyai posisi yang sangat sentral dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Posisi sentral itulah membuat berbagai pihak terlibat secara pribadi maupun secara kelompok dalam hal pemanfaatan dan peranan, baik antara pemerintah dan pedagang, maupun pedagang dengan masyarakat. Aktivitasnya pun selalu diperhadapkan dengan berbagai persoalan, pedagang mama-mama asli Papua secara khusus akan terlibat bersama dengan pendatang, di tempat yang sama merebut peluang yang sama, sehingga menuntut pedagang mama-mama asli Papua mampu bersaing dan menyiapkan diri secara baik dari segi pengalaman dan pengetahuan. Kegiatan jual beli pedagang mama-mama asli Papua yang selalu tergantung dan terfokus pada komoditi hasil kebun akan mempengaruhi ketahanan dan peluang dalam ber-aktivitas di ruang pasar secara maksimal. Sementara pendapatan pedagang mama-mama asli Papua yang bersumber dari hasil jualan dimaksimalkan untuk seluruh kebutuhan keluarga dan khususnya biaya pendidikan anak. Dengan klasifikasi kebutuhan itulah terkadang

3 W awancara dilakukan tanggal 9 September 2013, di Kantor Dinas Pendapatan Daerah

(13)

pilihan terakhir yang digunakan adalah harus menyewa atau menjual tempat jualan yang dimiliki.

Seperti itulah yang sering ditemukan oleh Bapak O. Kalasuat sebagai Kepala Pasar Remu. Kemudian Bapak O. Kalasuat juga pernah bertanya kepada pedagang mama-mama asli Papua, mengapa mengon-trakkan tempat jualannya? Jawab mereka, “Bapa, karena kita punya anak sekolah, maka begini, begini, begini...”. Bapak O. Kalasuat juga mengungkapkan bahwa tempat jualan pedagang mama-mama asli Papua itu tidak dijual, melainkan dikontrakkan, tergantung mereka yang atur, hal itu tidak diketahui pemerintah, itu di bawah meja (secara ilegal).

M enyewakan dan M enjual Tempat Jualan sebagai Pilihan

(14)

Sementara situasi yang dihadapi oleh pedagang mama-mama asli Papua yang berada di bagian luar pasar pun berbeda. Perbedaan yang dirasakan pedagang mama-mama asli Papua adalah aktivitas jual belinya berjalan lancar dengan harga barang jualannya yang cukup seimbang. M ereka berhadapan dengan banyak pengunjung dan pem-beli serta diperhadapkan dengan situasi yang kompetitif (bersaing) antar sesama orang Papua maupun dengan orang pendatang dalam merebut peluang situasi jual beli. Dari sisi penyediaan dan harga barang jualan agak sedikit lengkap dan mahal serta kurang memposisikan negosiasi sebagai bagian dari teknik atau strategi jual beli.

Pergeseran tempat jual beli dari pedagang mama-mama asli Papua kepada pihak lain pun terjadi, namun hanya dilakukan oleh pedagang mama-mama asli Papua tertentu yang diperhadapkan dengan persoalan kebutuhan keluarga yang mendadak dan membutuhkan uang dalam jumlah yang banyak serta keberlanjutan aktivitas jual beli yang kurang didukung oleh persediaan sumber komoditi (hasil kebun). Persoalan inilah yang menyebabkan pedagang mama-mama asli Papua dengan terpaksa menyewakan dan menjual tempat jualannya kepada pihak lain sekalipun dengan harga yang kurang memuaskan. M enurut mama Salomi Sesa4 salah satu informan pedagang mama-mama asli Papua seperti berikut ini:

Ada yang kasih sewa begitu terus, ada yang bayar kontrak, tapi itu milik orang Amber5. Dong ada yang keluar ke M aybrat, ada

yang tinggal di sini tapi keluar itu yang jual jualan di situ saja. M ulai dari sini di luar sana itu, yang lorong sana itu s’karang orang amber dong jual pakaian, jual sepatu. Tong punya masyarakat dong pu meja disitu sudah tapi dong jual - jual, dong kasih kontrak orang begitu. Ada yang keluar saja begitu itu s’karang cari jalan jual di luar saja. Tapi kita yang punya meja tetap tidak bisa keluar, kalo kita jual (maksudnya jual tempat jualan) baro bisa keluar, tapi ini kita tidak jual jadi tidak bisa keluar dari tempat, kita tetap jual saja di dalam sini. M ama torang su lama di sini jadi... di dalam sini, jadi tidak bisa keluar, orang yang tau, yang tinggal-tinggal saja di rumah sana itu yang baru-baru dong datang, dong jualan di situ, dong kasih bebas itu

4

Wawancara dilakukan tanggal 17 September 2013, di Pasar Remu.

5 Amber merupakan istilah dari bahasa Biak yang berarti menggambarkan seseorang

(15)

untuk dong jualan itu yang... dong itu masih baru saja masuk sini, tapi kami ini yang su lama dapat meja di dalam, tara bisa keluar. Penuh tapi di luar itu orang yang baru, yang tinggal-tinggal saja di rumah ka itu yang turun jualan di luar, kalo kita yang dulu tinggal di sini tidak. Ada yang dulu itu dong jualan di dalam sini, tapi dong jual-jual dong pu meja itu yang dong keluar di luar, jual sama orang-orang amber dorang.

M aksud informan tersebut adalah bahwa:

(16)

orang-orang pendatang kemudian mereka keluar untuk berjualan di bagian luar pasar (maksudnya di bagian depan pasar, di bagian belakang pasar dan di bagian samping pasar).

Informan tersebut di atas mengisahkan tentang masalah yang dihadapi oleh pedagang mama-mama asli Papua yang beraktivitas jual beli di Pasar Remu. Ketersediaan tempat jualan bagi pedagang mama-mama asli Papua menjadi suatu peluang untuk membantu kelancaran kegiatan jual beli sekaligus memberikan keberlanjutan dan perubahan pada pendapatan keluarga. Akan tetapi kondisi dan peluang yang dimiliki dihadapkan dengan persoalan dan perkembangan kegiatan jual beli oleh pedagang mama-mama asli Papua itu sendiri. Pada bagian ini salah satu informan mengisahkan tentang kondisi pedagang mama-mama asli Papua di Pasar Remu. Kisah informan ini bisa peneliti pahami bahwa terdapat beberapa masalah yang dihadapi oleh pedagang mama-mama asli Papua. Yang pertama, pemerintah kurang mengako-modasi keluhan dan keperluan pedagang pribumi yang lebih terfokus pada kekurangan dan kemampuan yang dimiliki; Kedua, mempunyai dua posisi tempat jualan dengan aktivitas yang berbeda di dalam dan di luar pasar; Ketiga, kurangnya kontrol pemerintah terhadap perkem-bangan penambahan pedagang baru secara ilegal masuk dan berjualan di dalam pasar; Keempat, antara desakan kebutuhan dan ketersediaan yang dimiliki pedagang mama-mama asli Papua. Selain dari keempat masalah tersebut di atas, masalah norma yang selalu dihadapi oleh setiap pedagang adalah persaingan yang selalu terjadi.

Dari sekian masalah tersebut, peneliti mengkategorikan hanya satu yang menjadi kunci utama untuk membantu dan memberikan peluang yang lebih luas bagi pedagang mama-mama asli Papua dalam melanjutkan aktivitas jual belinya di pasar. Kunci tersebut adalah keseriusan dan ketelitian pemerintah dalam melihat kesulitan dan persoalan yang dihadapi pedagang mama-mama asli Papua dalam kegiatan jual beli di pasar.

(17)

jualan melalui pembicaraan dan kesepakatan antara pemilik tempat dengan pengguna atau penyewa. Kesepakatan yang terjadi berhubung-an dengberhubung-an proses pembberhubung-angunberhubung-an, berhubung-antara penyewa dberhubung-an pemilik tempat. Proses pembangunan yang dimaksud oleh peneliti adalah tempat jualan berupa fisik atau bangunan yang dibangun oleh penyewa, sedangkan lahan atau tempat jualan disediakan oleh pedagang mama-mama asli Papua.

Harga yang disepakati pun berbeda tergantung pada besaran dan jumlah tempat yang disewa atau digunakan. Harga per bulan berkisar pada jumlah ratusan ribu rupiah, sedangkan pada kesepakatan kontrak dihitung per enam bulan sekali bayar dalam tahun berjalan yang berkisar empat sampai lima jutaan dari beberapa tempat jualan atau petak (lapak) yang disepakati. Dua perbedaan harga sewa yang dilaku-kan oleh pedagang mama-mama asli Papua bersama pedagang penda-tang ini apabila dibandingkan dari segi harga sewa bagi orang Papua sudah cukup menguntungkan, namun bila dibandingkan dengan biaya kebutuhan hidup di Papua yang semakin hari semakin berubah atau naik, maka perbandingan harga sewa dan biaya kebutuhan hidup sama atau seimbang. Pada posisi demikian menguntungkan pihak penyewa (pedagang pendatang), sebagaimana penuturan mama M anakori6 berikut ini: …”Sewa per bulan 500 ribu, di sebelah itu sa kasih kontrak. Di sebelah lapak itu, sa kasih kontrak enam – enam bulan harga 5 juta. (sambil menunjukkan). 6 bulan 5 juta”...

Keterangan informan di atas menjelaskan tentang kerja keras dan pemanfaatan peluang serta kesempatan dalam mengelola tempat jualan untuk menambah pendapatan keluarga dengan cara menyewakan ataupun mengontrakkan pada pedagang lain yang membutuhkan tempat jualan. Peluang ini dimanfaatkan untuk mengatasi tuntutan ekonomi keluarga, sehingga membantu sekaligus mensejajarkan mere-ka dengan pedagang pendatang yang menekuni kegiatan jual beli di pasar. Bahkan mereka mempunyai posisi yang berbeda bila dibanding-kan dengan pedagang mama-mama asli Papua yang lain.

6

(18)

Peneliti juga menemukan salah satu pedagang mama-mama asli Papua menekuni kegiatan ekonomi jual beli di pasar bermodalkan kerja keras. Hal ini ia lakukan seorang diri karena menghidupi tujuh orang anak tanpa seorang ayah, namun dengan kerja keras dan kesungguhan-nya ia mampu menghidupi dan menyekolahkan anak-anakkesungguhan-nya sampai perguruan tinggi, bahkan sebagian dari anak-anaknya sudah menyele-saikan studi di perguruan tinggi. Beban tanggungjawab ia jalani dengan penuh kesabaran dan ketekunan dengan memanfaatkan sumber daya atau modal yang ada untuk mengisi dan mempertahankan kegiatan jual belinya, cepat membuka diri serta memanfaatkan peluang-peluang pasar. Pagi dan sore hari merupakan waktu yang ia gunakan untuk menjual barang dagangannya dan terlihat selalu sibuk melayani pem-beli sekalipun dengan komoditi yang ada. Sikap kesungguhan ini pun hanya ditemui pada beberapa pedagang mama-mama asli Papua yang sedang berjualan di Pasar Remu.

Lebih lanjut mama Salomi Sesa juga mengungkapkan bahwa pedagang mama-mama asli Papua yang dulu mempunyai tempat jualan di dalam sini, mereka menjual dan mengkontrakkan tempat jualannya kepada orang lain, kemudian mereka keluar cari-cari tempat jualan di luar pasar. M ama Salomi Sesa tidak bisa keluar jualan di depan pasar, kecuali kalau ia menjual tempat jualannya yang ada di dalam pasar barulah ia dapat keluar. Hal itu karena mama Salomi Sesa sudah merasa nyaman berjualan di dalam Pasar, meskipun sepi dari pembeli.

Kembali lagi kepada setiap pribadi pedagang mama-mama asli Papua. Apakah mereka bisa mempertahankan tempat jualannya sampai anak, cucu, dan cece mereka? M eskipun sudah disiapkan tempat jualan sampai 1000 pun, tetapi kalau cara mereka seperti itu, tentunya tidak memberi solusi. M ereka menyewakan tempat jualan kepada pedagang pendatang itu juga tanpa sepengetahuan pemerintah. Tahu-tahu tempat jualan yang semula ditempati oleh pedagang mama-mama asli Papua, sudah ditempati pedagang pendatang, seperti yang diutarakan oleh Bapak O. Kalasuat7 bahwa:

7

(19)

Kembali kepada pribadi kita pu mama-mama dorang, ko siapkan tempat sampe 1000 pun, tapi kalo mereka dengan cara seperti begitu, tidak bisa atasi mereka dari tahun ke tahun. M isalnya orang Papua 1000, kita siapkan tempat 1000, apakah bisa mereka bertahan sampe anak cucu, sampe cece sampe ini, bisa ka tidak. Ini baru dua bulan tiga bulan empat bulan kaget begini Moi jadi Buton, Ayamaru jadi Jawa, ini kan persoalan. Ini yang Kaka hadapi di sana itu yang sa bicara.

Informan di atas hendak menjelaskan bahwa:

Kembali lagi kepada setiap pribadi pedagang mama-mama asli Papua mereka, meskipun sudah menyiapkan tempat jualan sampai 1000 pun, tetapi kalau mereka pakai cara yang seperti begitu (maksudnya menjual dan menyewakan tempat jualannya kepada orang lain), tentu saja tidak bisa atasi mereka dari tahun ke tahun. M isalnya, orang Papua 1000, kita siapkan tempat jualan 1000, apakah mereka bisa mempertahankan tempat jualan itu sampai anak, cucu, cece mereka? Apakah bisa atau tidak? Ini baru dua, tiga, empat bulan kemudian, kaget begini Moi jadi Buton, Ayamaru jadi Jawa, ini kan persoalan. Inilah yang Kaka (Bapak O. Kalasuat) hadapi disana, yang Kaka bicara.

Apabila suatu saat tempat jualan yang di depan dan di samping pasar itu digusur untuk difungsikan kembali seperti semula sebagai tempat parkir angkutan umum dan jalan raya, maka para pedagang ini harus dipindahkan masuk ke bagian dalam pasar. Akan tetapi mereka sudah tidak bisa lagi masuk ke bagian dalam pasar, karena tempat jualan mereka yang ada di bagian dalam sudah dijual kepada pedagang lain, apalagi kondisi Pasar Remu saat ini sudah tidak bisa lagi menam-pung para pedagang. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri bagi pemerintah daerah setempat.

(20)

mama-mama asli Papua menjual tempat jualannya kepada pedagang penda-tang, disebabkan oleh beberapa faktor.

Faktor itu di antaranya adalah: Pertama, faktor kebutuhan mendesak. Kebutuhan mendesak itu di antaranya seperti kebutuhan anak sekolah, biaya rumah sakit anak, bayar denda (meliputi: bayar denda perkara laki-laki dan perempuan, bayar denda darah) menga-kibatkan pedagang mama-mama asli Papua melepaskan atau menjual tempat jualan mereka kepada pedagang Pendatang; Kedua, faktor pembeli. Pengaruh pembeli sangat kuat, dimana ada keramaian dengan pembeli maka mereka pun pindah ke sana yakni di emperan, di pinggir jalan, dan di depan kios atau toko. Akibatnya, tempat jualan yang mereka miliki di bagian dalam pasar, kini mereka jual kepada pedagang pendatang dan ada pula yang diberikan kepada keluarga sendiri untuk dipakai; Ketiga, karena rasa kasih orang asli Papua yang besar dan gampang untuk dibujuk, maka orang-orang pendatang datang bernego, berbicara baik-baik untuk mendapatkan tempat jualan. Jadi orang pendatang datang kemari bilang: ...“Ibu bisa kasih sa tempat sedikit sa jualan, biar nanti sa bayar uang sewa”...; Keempat, mempunyai sifat menjual hanya untuk makan hari ini saja, urusan besok nanti cari lagi (tidak mencari kekayaan). Kecuali jika mereka keluar dari tanah Papua, di negeri lain baru mungkin mereka bisa mencari dan berusaha untuk menyimpan uang. Namun ada di antara mereka yang telah mempunyai tabungan di Bank.

(21)

M ereka mendapatkan ikan dengan cara membelinya dari nelayan di Pasar Ikan Jempur atau biasa dikenal dengan nama Jembatan Puri. Di Jembatan Puri terlihat ramai di pagi hari, berkisar jam empat pagi hingga jam 8 pagi. Tetapi jika ingin mendapatkan ikan yang jauh lebih segar, maha harus datang lebih awal, agar bisa langsung beli pada nelayan yang baru saja pulang mencari ikan di laut. Selain itu mereka juga membeli ikan dari para nelayan.

Setelah membeli ikan langsung di perahu nelayan, ada di antara mereka yang langsung menjualnya di Jembatan Puri. Tetapi jika tidak habis terjual, mereka menyimpan ikan itu di dalam coldbox dan ketika sore tiba, mereka membawanya untuk dijual di Pasar Remu. Apabila tidak habis terjual di Pasar Remu, mereka akan menyimpannya kem-bali ke dalam coldbox untuk dijual esok harinya, entah di Jembatan Puri atau di Pasar Remu.

Karena pedagang mama-mama asli Papua ini tidak mendapatkan tempat jualan ikan di dalam pasar, maka tempat parkir yang di luar ini sepenuhnya menjadi milik mereka. Tidak ada pedagang lain lagi selain pedagang Papua yang boleh datang berjualan di situ. Apabila ada yang ingin datang berjualan, sudah ditegur dan dimarah-marahi oleh tukang parkir yang menjaga tempat itu, katanya tempat jualan ini khusus untuk orang Papua. Berikut ini merupakan salah satu pernyataan dari tukang parkir, Bapak Antonius Kodei8 di wilayah itu:

Biasa itu kalo dari dalam datang, dari dalam macam mau bawa ikan begini, keluar begini baro mau jualan, baro Bugis, M akassar ka tong tegur dorang, tong marah-marah dorang, ini khusus untuk orang Papua saja.

Keterangan informan diatas menjelaskan bahwa;

Biasanya itu kalau ada pedagang pendatang (pedagang Bugis dan M akassar) yang berasal dari bagian dalam pasar yang kemudaian datang untuk berjualan ikan di luar sini, kami (tukang parkir) sudah tegur mereka, kami marah-marah mereka, karena tempat jualan ini khusus untuk pedagang mama-mama asli Papua.

(22)

Seperti itulah yang terjadi, tidak ada satu orang pun pedagang pendatang yang bisa datang berjualan di situ. Saat pagi hari pembeli masuk ke dalam pasar untuk membeli ikan untuk hidangan makan siang, itu pun tidak menutup kemungkinan kalau sore hari ada pembeli yang masuk ke dalam pasar dan membeli ikan di dalam pasar. Sedang-kan pedagang mama-mama asli Papua mempunyai jatah berjualan di depan pasar dan hanya di sore hari.

Hal ini dilakukan karena pedagang mama-mama asli Papua ini sudah merasa terpinggirkan di tanah mereka sendiri, dimana mama-mama pedagang Papua tidak mendapatkan tempat jualan yang baik di Pasar Remu. M ereka seakan-akan tidak diperhatikan oleh pemerintah yang juga merupakan orang asli Papua. M ereka hanya diberikan tempat jualan, tetapi itu hanya berupa lokasi saja, mengenai fasilitas di lokasi itu seperti apa (misalnya atap, meja dan kursi yang baik), itu dibuat sendiri oleh pedagang yang menempati tempat jualan itu dengan menggunakan biaya sendiri (swadaya). Pemerintah hanya tahu setiap hari datang menagih retribusi Rp 2.000,- per hari untuk pedagang sayur dan buah-buahan dan Rp 3.000,- per hari untuk pedagang kelon-tong dll. Namun mengenai fasilitas pasar, mereka tidak memperhatikan dengan baik.

Jangan mau saling lempar kepengurusan Pasar Remu dengan alasan status kepemilikan pasar yang tak hendak diserahkan dari Pemerintah Kabupaten Sorong kepada Pemerintah Kota Sorong, para pedagang dan pembelilah yang menjadi korban. Hal ini tampak ketika mama Salomi Sesa ingin menghadap ke W alikota Sorong. M ereka merasa seakan dilempar ke sana ke mari, berikut pernyataan dari mama Salomi Sesa9:

Pernah mama ini menghadap ke W alikota, di pu Asisten, kemarin saja, kemarin itu satu minggu kemarin, baru menghadap ke Asisten, Asisten bilang Pasar Remu ini belum di serahkan kepada W alikota, nanti suruh kita bilang kita ke kabupaten, sekarang kita ke Kabupaten, mereka bilang, nanti kita mau serahkan pasar itu buat W alikota, jadi kami ini macam

(23)

di tolak b’lakang begitu saja. Kesana, dong bilang kesini, kesini sana, itu saja.

M aksud Informan tersebut di atas adalah bahwa:

Sekitar satu minggu lalu, mama pernah menghadap Asisten W alikota Sorong. M enurutnya, Pasar Remu ini belum diserah-kan kepada W alikota Sorong, sehingga ia menganjurdiserah-kan untuk ketemu dengan pemerintah Kabupaten Sorong. Namun saat kami (pedagang mama-mama asli Papua) pergi ketemu peme-rintah Kabupaten Sorong, mereka berkata bahwa, nanti kita mau serahkan pasar itu kepada pemerintah W alikota Sorong. Jadi kami ini seperti ditolak ke sana kemari begitu saja. Kesana mereka bilang ke sini, ke sini mereka bilang ke sana.

Lebih lanjut, mama Salomi Sesa juga mengungkapkan bahwa ia pernah pergi menghadap Asisten W alikota Sorong. Lalu Asisten W alikota Sorong itu pun berkata bahwa nanti dia akan menelepon Lurah Remu Selatan untuk mengurus tempat jualan buat ibu-ibu Bugis yang berjualan di pinggir-pinggir jalan raya (jalan raya dimana angkut-an umum lewat sebelum masuk ke depangkut-an pasar). Satukangkut-an penjual pakaian di satu tempat, agar ada satu tempat jualan khusus untuk pedagang mama-mama asli Papua. Namun sampai saat ini belum terjawab. M emang sudah ada mandat begitu, tetapi di dinas sini belum turun tangan untuk menanganinya.

(24)

kosong untuk melanjutkan berjualan. Berikut ini adalah pernyataan mama Salomi Sesa10:

Jadi kami sendiri kesana itu Asisten bilang nanti dia angkat HP sama Lurah yang disini, ee apa, Remu Selatan itu, karna dia punya wilayah, dia harus urus tempat buat ibu-ibu yang jualan di jalan-jalan, di pinggir jalan, jalan raya, taksi punya itu, suruh supaya orang bugis tuu yang sudah jual pakaian di dalam sini s’karang dia sudah pele pakaian lagi di luar too, suruh mereka harus masuk, pakaian di satukan di satu tempat, supaya tempat satu khusus ibu–ibu Papua, sampe hari ini belum terjawab. M emang disuruh disana begitu tapi di dinas sini belum turun, tidak terjawab, saya bilang saya bangkit buat saya punya teman– teman ibu-ibu Papua yang sekarang berjualan berke-liaran di luar, kalo untuk mama sudah punya meja, mama punya sertifikat ini. Tapi mama mau berusaha supaya mama teman– teman, ibu-ibu Papua yang lain itu harus jualan seperti saya bajual begini lagi. Tempat yang baik-baik. Di pinggir sana, luar sana itu kan air too, air tergenang, kasihan mereka tuu mau lari ke depan toko, nanti dari orang yang punya toko tuu datang buka toko su suruh mereka angkat jualan keluar, keluar dong jalan hanya cari-cari dimana tempat yang kosong. Jam 6 pagi tuu mereka jualan, kalo setengah 8, mereka su buka, su suruh mereka pikul jalan pergi dari depan toko. Begitu. Kami ibu–ibu Papua ini rasa tersisih. Ini mama punya mengadu ke W alikota. Jadi bagaimana, jangan tutup mama, tutup telinga, ibu–ibu Papua yang kini menderita di pecek, di air yang tergenang.

Informan di atas menjelaskan bahwa:

Jadi kami (pedagang mama-mama asli Papua) sendiri yang ke sana (Kantor W alikota Sorong) itu Asisten berkata bahwa nanti dia akan telepon Bapak Lurah Remu Selatan Kota Sorong, karena dialah yang mempunyai wilayah itu, untuk supaya Bapak Lurah harus segera mengurus tempat jualan bagi Ibu-ibu Papua yang berjualan di pinggir-pinggir jalan raya, tempat taksi (angkutan umum) mangkal itu. Agar Bapak Lurah menyuruh orang Bugis yang sudah jualan pakaian di situ untuk masuk ke bagian dalam pasar, karena sekarang orang Bugis itu sudah keluar berjualan menutupi tempat yang di luar lagi. Bapak Lurah menyuruh mereka (orang Bugis) untuk masuk ke bagian dalam pasar dan menyatukan pakaian jualan mereka itu di satu tempat jualan, supaya ada satu tempat jualan khusus untuk Ibu-ibu Papua. Namun sampai saat ini belum ada jawaban. Memang

10

(25)

di sana menyuruhnya demikian, tetapi karena di dinas (dispenda Kabupaten Sorong) belum turun tangan, jadi tidak terjawab. Saya bangkit ini untuk teman-teman saya Ibu-ibu Papua yang sekarang berjualan berkeliaran di luar, kalau untuk saya sendiri sudah memiliki meja (tempat jualan) yang bersertifikat. Tetapi saya mau berusaha supaya saya punya teman-teman Ibu-ibu Papua yang lain itu juga harus berjualan di tempat yang sama seperti saya. Di tempat jualan yang baik. Di luar, dipinggiran sana, ada air yang tergenang, kasihan mereka itu harus jalan mencari-cari tempat mana yang kosong yang dapat digunakan untuk berjualan. M ereka yang berjualan di depan toko, ketika pemilik toko tersebut membuka tokonya, maka mereka harus berpindah lokasi untuk berjualan. Jam 6 pagi mereka sudah mulai berjualan, ketika sudah jam setengah 8 pagi, pemilik toko sudah membuka tokonya, maka mereka disuruh pergi pindah dari depan toko sehingga membuat kami Ibu-ibu Papua merasa tersisih. Hal inilah yang menjadi keluhan pedagang mama-mama asli Papua kepada W alikota Sorong. Kami berharap pemerintah jangan tutup mata dan telinga, karena Ibu-ibu Papua menderita berjualan diantara becek dan air yang ter-genang.

Itulah yang menjadi bahan mengadu mama Salomi Sesa kepada W alikota Sorong. M ama Salomi Sesa hanya bisa berharap agar peme-rintah tidak menutup mata dan telinga melihat kesulitan pedagang mama-mama asli Papua mencari tempat jualan. Hal demikian kemu-dian ditanggapi oleh Kepala Pasar Remu, Bapak O. Kalasuat. M enu-rutnya, “...banyak pedagang dan pembeli yang sudah datang mengeluh kepada saya, kemudian saya menjelaskan bahwa saya pun sudah mela-porkan kepada Bapak Lurah Remu Selatan, tetapi tidak ada tanggapan karena beda pemerintahan...”. Untuk lebih jelasnya berikut pernyataan dari Bapak O. Kalasuat11:

Banyak juga pedagang yang datang, pembeli yang datang mengeluh ke saya, tapi saya bilang jelaskan sama-sama. Sa su lapor sama Pak Lurah tapi Pak Lurah tidak ada tanggapan karna mungkin beda pemerintahan too. M akanya begitu sudah. Itu yang bikin sampe sekarang akhirnya mereka numpuk-numpuk disitu bikin, kita tidak bikin apa-apa, mulai, pedagang mulai bangun buat dia punya ini sendiri-sendiri lagi. Hal itu kan kita mau rencana mau siapkan lapak, lapak didepan itu supaya semua

11 W awancara dilakukan tanggal 9 September 2013, di Kantor Dinas Pendapatan

(26)

orang yang jualan di bawah kita angkat naik, depan, depan kalau dulu jalur H masuk situ, itu maksud saya dulu tuu kami dari pemerintah Kabupaten mau siapkan lapak di situ, sepanjang itu baru supaya orang-orang yang duduk di bawah itu mereka naik ke atas meja. Nah, sa rencanakan seperti itu.

Keterangan informan di atas menjelaskan bahwa:

Ada banyak pedagang dan pembeli yang datang mengeluh ke-pada saya, kemudian saya jelaskan bahwa saya sudah melaporkan hal ini kepada Bapak Lurah Remu Selatan tetapi Beliau tidak ada tanggapan dengan alasan karena mungkin beda pemerintahan, jadi begitu sudah. Hal ini yang menyebabkan sampai sekarang mereka (para pedagang) akhirnya bertumpukkan di situ memba-ngun lapak. M elihat kita (pemerintah) tidak berbuat apa-apa, pedagang mulai membangun lapaknya sendiri-sendiri lagi. Hal ini sebenarnya kita mau merencanakan untuk menyiapkan lapak di depan itu, supaya semua pedagang yang berjualan di bawah, kita naikan ke atas. Di depan, tempat angkutan umum jalur H masuk itu, kami dari pemerintah Kabupaten mau menyiapkan lapak di situ, di samping jalan itu agar pedagang yang duduk berjualan di bawah itu mereka naik berjualan di atas. Yang saya rencanakan seperti itu.

M elihat pemerintah kabupaten tidak berbuat apa-apa, akhirnya para pedagang mulai berjualan di situ. Lalu para pedagang mulai bangun tempat jualannya sendiri-sendiri. Sebenarnya pemerintah sudah ada rencana untuk siapkan lapak di depan pasar itu, agar peda-gang-pedagang yang berjualan di pinggiran dapat berjualan dengan lebih nyaman. Namun rencana tinggal rencana, realisasinya hingga sekarang belum ada.

Pengalaman Pedagang M ama-mama Asli Papua dalam Kebijakan Pemerintah di Pasar Remu

(27)

keter-kaitan dan tanggungjawab masing-masing dalam pengaturan dan pengelolaan aktivitas pasar. Posisi pemerintah sebagai pengelola dan pemilik seluruh fasilitas pasar, baik secara bangunan fisik maupun lokasi atau tanah, dan pedagang sebagai pengguna fasilitas pasar. Antara pemerintah dan pedagang mempunyai hak dan kewajiban masing-masing.

Pemerintah berkewajiban menyediakan fasilitas pasar berupa tempat jualan, kebersihan dan keamanan maupun bantuan-bantuan yang lain, namun juga berhak menarik retribusi kepada setiap peda-gang dan pengguna jasa pasar. Begitupun kewajiban yang harus ditaati dan diperhatikan oleh para pedagang adalah membayar retribusi, mentaati ketentuan berupa peraturan pemerintah yang mengatur tentang penggunaan fasilitas pasar tersebut.

Hak dan kewajiban antara pemerintah dan pedagang merupakan sebuah ketentuan yang harus ditaati dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh kedua belah pihak. Apabila ketentuan ini disadari secara bersama dalam posisi masing-masing, maka akan melahirkan sebuah kerjasama yang saling menguntungkan terutama bagi pedagang dan juga pemerintah. Namun terkadang kesadaran kebijakan dalam proses-nya tidak sejalan dengan apa yang diharapkan secara bersama. Pada akhirnya lewat kebijakan-kebijakan itu pula menimbulkan persoalan yang mengganggu proses aktivitas pasar itu sendiri. Pemerintah sebagai kekuatan pemegang kebijakan dan kekuasaan lebih memposisikan haknya sebagai fokus perhatian dan pengontrol terhadap para pedagang di pasar dan kurang memposisikan hak pedagang. Kondisi hak dan kewajiban antara pemerintah dan pedagang dalam pengelolaan kegiatan pasar yang dirasakan dan yang dialami oleh pedagang mama-mama asli Papua adalah sebagai berikut:

(28)

menjadi tempat jualan ikan pedagang mama-mama asli Papua. Harga sewa yang disepakati adalah sebesar Rp. 5000,- per meja per hari. M eja yang dipakai lebih dari satu, sebagimana penuturan salah satu informan pengelola parkir yakni Bapak Antonius Kodei bahwa: ...”per meja satu orang jualan itu 5 ribu. Untuk orang yang mungkin angkat meja taruh ka tarada”...

M enurut informan ini, tempat jualan ikan di bagian dalam pasar sudah penuh, sehingga pedagang mama-mama asli Papua mengguna-kan areal parkir pasar untuk kegiatan jual beli imengguna-kan. Untuk membayar penggunaan areal parkir tersebut, pedagang mama-mama asli Papua, tidak membayar retribusi, melainkan membayar uang meja kepada tukang parkir, dengan tujuan mendekatkan barang jualan pada pembeli.

Kurangnya tempat berjualan ikan menyebabkan ada pedagang mama-mama asli Papua yang mengantri untuk menjualkan ikannya, bahkan ada sebagian pedagang mama-mama asli Papua yang terlihat berjalan mencari-cari tempat jualan yang masih kosong.

Penarikan Retribusi

Dalam proses pemberlakuan kebijakan retribusi terhadap peda-gang sebagai pengguna fasilitas pasar, baik pada pedapeda-gang mama-mama asli Papua maupun pedagang pendatang mempunyai jumlah besaran restribusi yang berbeda tergantung fasilitas atau tempat jualan yang digunakan. Untuk pedagang pendatang pada umumnya menempati lapak (los) yang berskala kios yang dibangun pemerintah, sehingga pedagang pendatang berkewajiban membayar retribusi per bulan Rp.170.000,- yang terbagi atas retribusi tempat jualan Rp.120.000,- dan Rp.50.000,- sebagai retribusi kebersihan pasar. Penuturan informasi salah satu pedagang pendatang yaitu Pak Salma12 seperti berikut ini: …”Retribusi bulanan yang kami harus bayar 170 sudah semuanya itu. Kan 120 dan uang keamanan dan sampah (kebersihan) 50”...

(29)

Demikianlah beban kewajiban retribusi yang harus dibayar peda-gang pendatang kepada pemerintah setiap bulan dengan pembagian retribusi yang berhubungan dengan kondisi dan fasilitas pasar. Pembagian retribusi yang dimaksudkan mencakup bagian-bagian yang mempunyai peranan dan tugas terhadap fasilitas pasar seperti menjaga keamanan dan kebersihan pasar. Berkaitan dengan pengaturan dan penarikan retribusi para pedagang, langsung ditangani oleh pihak pemerintah dalam hal ini dinas terkait.

Pedagang pendatang juga mempunyai kewajiban lain yang harus dibayar, yaitu penyetoran pajak setiap bulan pada pemerintah sebesar Rp.100.000,- diwajibkan untuk seluruh kios dan toko yang berada di lokasi Pasar Remu, berupa pajak yang berkaitan dengan bumi dan bangunan. M enurut informan pedagang mama-mama asli Papua, mama Saa13 sebagai berikut:

Pajak yang dorang bayar seratus berapa per bulan sama saja, kita kalo itu perhari bayar dua ribu to, maksudnya dorang itu kan biasa bayar pajak itu kan seratus yang punya toko–toko ini, setiap bulan to. Kalo kita ini kan setiap hari dua dua ribu yang dong kasih karcis.

M aksud informan tersebut adalah bahwa:

Pajak yang mereka bayar seratus ribu sekian per bulan sama saja, kalau kita bayar dua ribu per hari, maksudnya, mereka itu yang punya toko-toko biasanya bayar pajak seratus ribu sekian per bulan. Kalau kita setiap hari dua-dua ribu yang mereka kasih karcis.

M enurut informan di atas, ada perbedaan pembayaran kewajiban retribusi antara pedagang pendatang dan pedagang mama-mama asli Papua. Pedagang pendatang yang menempati lapak dengan kegiatan kios dan toko membayar retribusi pajak dan retribusi bulanan pasar, proses pembayarannya dilakukan pada setiap bulan. Sdangkan peda-gang mama-mama asli Papua membayar retribusi setiap hari dengan kegiatan jual beli yang lebih pada komoditi hasil kebun.

(30)

Berdasarkan pengamatan peneliti di lokasi pasar, para petugas penarik retribusi menggunakan karcis sebagai bukti pembayaran yang sah dan umumnya diperuntukkan bagi pedagang pendatang, terutama pedagang pendatang yang menggunakan lapak kios dan toko maupun beberapa tempat jualan lainnya yang masuk katagori retribusi dan pajak.

Dalam pengelolaan terhadap aktivitas dan fasilitas pasar, pena-rikan retribusi pasar dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabu-paten Sorong dan Dinas Pendapatan Daerah Kota Sorong. Hal ini dibagi atas kesepakatan bersama bahwa batas got ke dalam pasar, itu adalah areal penarikan retribusi Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sorong, sedangkan batas got ke luar, itu adalah areal penarikan retribusi Dinas Pendapatan Daerah Kota Sorong.

Untuk retribusi angkutan umum pun dibagi berdasarkan batas got pula. Pemerintah Kabupaten Sorong hanya menagih angkutan umum berjalur E dan angkutan umum jurusan Kabupaten Sorong, sedangkan Pemerintah Kota Sorong menagih angkutan umum yang berjalur A, jalur B, jalur H serta angkutan umum jurusan Kabupaten M akbon.

(31)

Gambar 1

Contoh Retribusi Pasar Harian di Pasar Remu

Ada salah satu pedagang mama-mama asli Papua di Pasar Remu yang tidak mau membayar retribusi harian pasar. M enurutnya, ia tidak mau membayar retribusi kepada pemerintah dengan alasan pemerintah tidak membangun meja tempat mereka berjualan. Mereka membangun sendiri meja tempat jualan itu dengan menggunakan biaya sendiri. Hal ini terungkap melalui pernyataannya sebagai berikut:

Pemerintah yang bangun meja kasih kami jualan kah? Ini kami punya tenaga, punya usaha sendiri, jadi kalo mau boleh kami di jalur-jalur pemerintah bangun sediakan di sana. Kalo mau tagih untuk kami, kami tidak ada. Sa tidak bayar karcis itu.

Informasi di atas menjelaskan bahwa:

Apakah pemerintah yang membangun meja (tempat jualan) untuk kami (pedagang mama-mama asli Papua) berjualan? Tetapi ini kami yang mempunyai tenaga dan usaha sendiri untuk membangun tempat jualan. Jadi kalau boleh kami di jalur-jalur yang pemerintah bangun yang disediakan disebelah sana. Sehingga kalau mau tagih (retribusi) kepada saya, saya tidak mau membayar karcis itu.

(32)

seperti itu, melainkan hampir sebagian besar pedagang di Pasar Remu juga merasakan fenomena itu. M eskipun demikian mereka tetap mem-bayar retribusi sebagai kewajibannya kepada pemerintah. Setiap pedagang yang menggunakan fasilitas pasar, baik yang setengah permanen maupun yang permanen wajib untuk membayar retribusi sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh pemerintah daerah.

Selain retribusi yang harus dibayar oleh para pedagang, pemba-yaran lainnya berupa uang keamanan sebesar Rp 10.000,- per hari. Biasanya pihak keamanan pasar datang menagihnya ketika menjelang sore hari. Pihak keamanan itu berasal dari anak-anak yang tinggalnya tidak jauh dari Pasar Remu, yakni di kompleks rumah papan, sehingga barang dagangan yang tidak habis terjual, dapat ditutup, disimpan dengan baik dan ditinggalkan di pasar, tanpa perlu repot–repot mem-bawa pulang. Ketika esok harinya para pedagang dapat memmem-bawa barang dagangan yang baru untuk berjualan karena sudah ada kea-manan yang menjaga pada waktu malam hari. Pernah terjadi kecurian di Pasar Remu, namun pencurinya berhasil ditangkap karena di setiap sudut kios atau toko Pasar Remu sudah dipasang kamera CCTV.

Bantuan Pemerintah dalam Kegiatan Pedagang M ama-mama Asli Papua

(33)

pedagang mama-mama asli Papua asal suku M oi yang terletak di sisi kanan depan Pasar.

Kelompok pedagang mama-mama asli Papua ini mendapat bantuan dari pemerintah Kabupaten Sorong dalam bentuk uang senilai Rp 50.000.000,- untuk membangun tempat jualan berupa atap seng, meja dan kursi untuk duduk para pedagang. Bantunan yang diperoleh melalui usaha keras dan negosiasi dalam jangka waktu yang cukup lama, namun realisasinya belum semua terlaksana dengan baik karena lokasi tempat jualan mereka tidak disemen dan masih tampak becek. Bantuan ini juga diberikan karena pedagang mama-mama asli Papua asal suku M oi pergi berdemo untuk meminta ketegasan dari Pemerin-tah Daerah Kabupaten Sorong. M elalui tuntutan tersebut barulah diberikan bantuan bagi pedagang mama-mama asli Papua asal suku M oi. Lewat tuntutan ini pula para pedagang asal suku moi mengingat-kan pemerintah agar jangan hanya karena ada kepentingan tertentu saja baru memberikan bantuan kepada pedagang mama-mama asli Papua asal suku M oi.

W alaupun pedagang mama-mama asli Papua asal suku M oi sudah mendapat bantuan pembangunan berupa bangunan atap seng, meja, dan kursi dari pemerintah, tetapi belum semua pedagang Papua asal suku M oi mendapatkannya. M asih ada di antara mereka yang berjualan di bawah tanah beralas karung. Hal itu dapat kita jumpai di belakang pasar, dan di samping pasar. Selama ini pedagang mama-mama asli Papua tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah. Tempat jualan yang mereka miliki, mereka sendirilah yang memba-ngunnya. Dimulai dari meja, kursi beserta atap tenda/seng, mereka sendirilah yang membangunnya dengan menggunakan biaya sendiri (swadaya), padahal setiap hari mereka harus membayar retribusi harian pasar.

(34)

proposal tersebut, namun tidak ada jawaban dari pemerintah sampai saat ini. Hal ini kemudian diungkapkan oleh mama Saa. M enurutnya14 ;

Sampe yang ada ini. Kalo mungkin untuk orang lain dong harap, tapi kalo untuk diri saya, sa su macam pamalas, yang penting sa mencari apa adanya saja, dari pada kita buang waktu too.

M aksud informan tersebut adalah bahwa:

Sampai saat ini, kalau mungkin untuk orang lain (pedagang lain), mereka berharap untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah, tetapi untuk diri saya sendiri, saya sudah malas, sekarang yang terpenting adalah saya bisa mencari apa adanya, dari pada kita buang-buang waktu.

Kejadian serupa juga diungkapkan oleh mama Tina W akum salah satu pedagang mama-mama asli Papua. M enurutnya15, tidak ada bantu-an dari pemerintah untuk pedagbantu-ang mama-mama asli Papua. M ereka sudah membuat proposal dan sudah diberikan kepada pemerintah, tetapi tidak ada jawaban dari pemerintah. M ama Tina W akum ingin agar pemerintah memperhatikan tempat jualan yang mereka miliki, bukan memberikan mereka uang. Baginya yang terpenting adalah tempat jualan mereka. Berikut ini ungkapannya:

Tidak ada bantuan untuk ibu–ibu Papua, apalagi mau bilang proposal, mau bikin kasih masuk, tidak ada jawaban. M aksudnya ya coba dorang ya perhatikan tempat, tidak usah kasih uang buat kita, yang penting kita pu tempat jualan ini.

M aksud informan di atas bahwa:

Tidak ada bantuan kepada Ibu-ibu Papua, apalagi proposal, sudah dibuat dan dimasukkan kepada pemerintah, namun tidak ada jawabannya. Keinginan kami (pedagang mama-mama asli Papua) dari pemerintah adalah pemerintah memperhatikan tempat jualan kami. Tidak usah berikan kami uang, yang terpenting adalah tempat jualan kami.

(35)

Lebih lanjut M ama Tina W akum juga mengungkapkan bahwa kalau ada yang mau mencalonkan diri untuk DPR, Bupati, barulah datangi kami di pasar. Tetapi kalau sudah senang, kami dilupakan, ibarat kacang yang lupa kulitnya. Kami menggunakan swadaya untuk mengganti atap yang bocor dan juga menimbun jalan yang becek. Untuk lebih jelasnya, berikut ini merupakan pernyataan mama Tina W akum yaitu:

Tidak ada sama s’kali, kita ini kalo, kalo dong maju DPR ka, maju Bupati baru dong turun cari kita di Pasar. Kalo datang dong su senang ya sudah, dong lupa kita too begitu. Kita pu orang–orang disini kan begitu too, makan kacang dan lupa... makan isi, lupa kulit ka... orang bilang. Dong su tara ingat mama–mama di Pasar ini. Ini tong cari sendiri, swadaya. Sedangkan Ade (peneliti) sementara ini kitong jualan nii, kita baru timbun ini, sementara diatas nii kalo hujan tuu basah. Bocor, bocor, ini bisa basah ini, ini semua.

M enurut informan di atas adalah bahwa;

Tidak ada bantuannya sama sekali, kalau mereka mencalonkan diri sebagai DPR dan Bupati, barulah mereka datang menemui kami di pasar. Tetapi kalau mereka sudah senang, ya sudah mereka melupakan kami. Kami punya orang-orang asli Papua di sini begitu, orang bilang ‘kacang yang lupa kulitnya’. M ereka sudah tidak ingat lagi kepada pedagang mama-mama asli Papua yang di pasar ini. Ini (fasilitas di tempat jualannya berupa meja, kursi dan atap) kami cari sendiri dengan menggunakan biaya sendiri. Tempat jualan ini kami sendirilah yang menimbunnya. Dan apabila hujan, sebagian besar tempat jualan ini basah karena banyak terdapat bocor di atapnya.

M enurut Bapak O. Kalasuat, selama ini bantuan dari pemerintah daerah adalah dengan cara bekerjasama dengan pihak perbankan untuk memberikan simpan pinjam kepada para pedagang. Namun untuk bantuan ini, mereka harus membuat aturan yang jelas dan paling tidak harus dikoordinasikan dengan baik. Kalau pemerintah mau bantu secara langsung bisa, tetapi harus dibicarakan apa yang mau dibantu. Berikut ini pernyataan dari Bapak O. Kalasuat bahwa:

(36)

apalagi kalau bantuan dari pemerintah daerah paling tidak harus kita koordinasi dengan baik. Tapi sa selalu kita minta dari teman-teman yang dari perbankan. Teman-teman dari perbankan mereka selalu sa buka peluang bagi mereka untuk masuk dalam pasar, jadi mereka mungkin mereka berikan simpan pinjam. Jadi sa biasa berikan peluang kepada perbank-an, kita kerjasama. Biasanya Bank yang datang ke saya tuu Bank BNI, Bank Danamon, kalau M andiri belum pernah, Bank Papua juga belum pernah. Jadi mereka datang, sosialisasi mereka punya produk apa begitu baru sa selalu siapkan ruang mereka sambil sa undang masyarakat, ayo kalian datang, kalau memang bisa yaa silakan kalian kredit modal usaha. Kalau itu kan jalurnya perbankan kan lebih pas. Secara langsung, mereka berhubungan langsung dengan perbankan pasti semua tuu ada tuu. Kita punya modal usaha sendiri, tapi pemerintah kan eee tidak seperti itu, karena kita harus berpikir harus ada perangkat hukum yang jelas karna eee pemerintah kan tidak bisa berwenangan memberikan simpan pinjam untuk mereka. Kalau membantu secara langsung, ya oke, tapi kan harus dibicarakan apa yang mau dibantu, harus jelas to.

M aksud informan tersebut adalah bahwa:

M engenai bantuan, kita harus membuat aturannya yang jelas, apalagi kalau bantuan itu berasal dari pemerintah daerah paling tidak kita harus koordinasi dengan baik. Tetapi kita ada kerja-sama dengan perbankan. Saya selalu memberikan peluang ke-pada teman-teman perbankan mereka untuk masuk ke dalam pasar memberikan simpan pinjam. Bank yang datang bertemu dengan saya adalah Bank BNI dan Danamon, sedangkan Bank M andiri dan Bank Papua belum pernah. Jadi mereka datang untuk memsosialisasi produk mereka kepada masyarakat yang saya undang datang di suatu ruangan yang sudah saya siapkan sebelumnya. Kalau memang pedagang mama-mama asli Papua bisa kredit modal usaha ya silakan. Jadi pedagang mama-mama asli Papua berhubungan secara langsung dengan pihak per-bankan, jadi lebih pas, karena pasti semua jenis kredit modal itu ada. Pemerintah mempunyai modal usaha sendiri, tetapi pemerintah tidak seperti itu, karena kita harus berpikir harus ada perangakat hukum yang jelas. Sebab pemerintah tidak bisa berwenang memberikan simpan pinjam untuk pedagang, kalau membantu secara langsung, ya oke, tetapi harus dibicarakan terlebih dahulu tentang apa yang mau dibantu, agar lebih jelas.

(37)

mereka yang mengalami musibah kebakaran. Dengan cara menyiapkan tempat bangunan yang baru dengan fasilitas yang disiapkan seperti biasa pula. Upaya pemerintah untuk memfasilitasi pedagang mama-mama asli Papua agar mampu bersaing adalah berupa pinjaman uang melalui bank-bank yang ada di kota itu. Namun untuk memperoleh pinjaman uang dari Bank, pedagang mama-mama asli Papua harus mendatangi Bank itu dan diproses sesuai dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan. Sementara mereka maunya yang praktis-praktis, mereka tidak mau dipersulit dengan urusan administrasi Bank, ikeh sebab itu mereka lebih memilih untuk meminjam uang pada koperasi simpan pinjam.

M engenai koperasi simpan pinjam, mama Salomi Sesa bercerita16 bahwa selama ini mereka juga menggunakan jasa tersebut. Hal itu dilakukan apabila ada kebutuhan mendadak seperti kebutuhan untuk membayar uang sekolah anak (uang semester) dan juga untuk membeli (memborong) barang dagangan, sehingga mereka terus berusaha meminjam kepada koperasi simpan pinjam, dan setiap hari mereka menyetornya selama 30 hari. Terkadang mereka sampai pusing kalau dagangan mereka tidak laku (laris) karena harus membayar utang di koperasi. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh mama Salomi Sesa sebagai berikut:

Itu ada koperasi simpan pinjam yang orang pendatang dong punya yang cari uang putar–putar di pasar. Itu yang mama tong ambil, kalo ada kebutuhan mendadak ya, apalagi ade–ade yang sekolah, mama punya anak, punya uang sekolah, anak– anak punya uang semester, kalo mendadak ya kita harus ambil di Koperasi, untuk anak–anak dong pake kuliah, terus yang lain itu kita pake borong, borong kangkung, keladi, sagu terus kita terus berusaha pinjam. Baro tiap hari kita stor 40 ribu perhari. Kita nii jualan juga ada pikir utang. Utang karna orang punya uang yang kita ambil too. Tadi uang pinjaman koperasi itu.

Keterangan informan di atas menjelaskan bahwa:

Itu ada koperasi simpan pinjam milik orang pendatang yang bekerja mengelilingi pasar untuk memberikan pinjaman

(38)

pada para pedagang. M elalui orang pendatang itulah kami pedagang mama-mama asli Papua mengambil pinjaman kepa-danya. Kami mengambil pinjaman apabila, ada kebutuhan mendadak, ada kebutuhan biaya sekolah anak (uang semester dan uang kuliah), dan yang lainnya kami gunakan untuk membeli barang dagangan untuk dijual kembali seperti memborong sayur kangkung, keladi dan sagu. Kemudian setiap hari kami stor 40 ribu. Kami jualan seperti ini juga ada pikir utang yang kami pinjam di koperasi.

Selama ini pedagang mama-mama asli Papua hanya mengguna-kan swadaya (biaya sendiri) untuk membuat meja (para-para17), mema-sang atap tenda/seng. M ereka sendiri mengumpulkan uang (patungan) sebesar Rp 200.000,- per orang untuk membeli papan, seng dan membayar ongkos kerja kuli bangunan. M ereka juga mengumpulkan uang Rp 1.000.000,- untuk membeli batu dan menimbun yang becek. Jika tempat berjualan sangat becek pembeli tidak mau datang membeli barang dagangan yang mereka jual. Hal ini seperti yang diceritakan oleh mama Tina W akum18 yaitu sebagai berikut:

Swadaya sendiri. Kita masyarakat sendiri kumpul uang, ibu– ibu kumpul uang. Satu orang begitu, macam mama (mama Salomi Sesa) yang ketua too dia tarik satu kepala itu 200 ribu, setiap ibu–ibu yang datang jualan too... Baru beli papan, beli seng, terus untuk bayar ongkos tukang yang kerja. Terus b’rapa bulan yang kemarin ini lumpur ini, pecek semua, air sampe penuh, orang tara bisa lewat untuk b’lanja disini terus sampe disana kalo hujan. Kita swadaya lagi, kita kumpul uang sampe, uang sampe 800 ribu, 1 juta sudah, baru kita timbun batu dari sana sampe di ini semua, kita beli batu ini, mama ini pergi beli, dong pergi beli batu ini di kampung cengkeh, di kampung baru.

17 Para-para: Pagu menurut Badudu (1994) dalam kamus umum bahasa Indonesia

adalah tempat menyimpan alat-alat dapur seperti kuali dan belanja, atau barang-barang lain seperti jagung terbuat dp bilah-bilah bambu atau kayu digantungkan di atas tungku. Dalam konteks di pasar, para-para merupakan tempat duduk yang menyerupai panggung mini. Umumnya di Papua, para-para biasanya dibuat dari papan atau bambu yang terletak di bawah pohon, di depan atau di pinggir rumah yang berfungsi sebagai tempat duduk.

Gambar

Gambar 1  Contoh Retribusi Pasar Harian di Pasar Remu

Referensi

Dokumen terkait

Pilih kom ponen Com Por t 1 dan isikan kode pr ogr am di baw ah ini pada Event s OnAft er Open.. Pilih kom ponen Com Por t 1 dan isikan kode pr ogr am di baw ah ini pada Event

[r]

Dari berbagai perkembangan tersebut di atas, maka para ahli epidemiologi mulai mengembangkan apa yang sekarang dikenal dengan metode epidemiologi, yakni suatu

Perhitungan Cash Ratio pada tahun 2006 sampai dengan 2007 menunjukkan hasil tidak mampu mengukur pembayaran hutang dengan harus segera dipenuhi dengan kas yang

Opini Wajar Tanpa Pengecualian ( Unqualified Opinion ), pendapat wajar tanpa pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperikasa. menyajikan secara

Berdasarkan keadaan tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana Pengaturan Mengenai Izin Mendirikan Bangunan di Kota Medan serta Peraturan

Azhar Arsyad (2013:2) mengemukakan bahwa media adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses belajar mengajar demi tercapainya tujuan pendidikan pada umumnya

Packet Tracer adalah simulator alat-alat jaringan Cisco yang sering digunakan sebagai media pembelajaran dan pelatihan, dan juga dalam bidang penelitian simulasi jaringan