ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iv
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah... 8
1.3 Tujuan Penelitian ... 9
1.4 Manfaat Penelitian ... 10
1.5 Definisi Operasional ... 11
1.6 Hipotesis Penelitian ... 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pembelajaran Model-Eliciting Activities ... 14
2.2 Representasi dan Representasi Matematis ... 23
2.3 Self-Efficacy ... 31
2.3.1 Pengertian Self-Efficacy ... 31
2.3.2 Self-efficacy dan Self-esteem ... 35
2.3.3 Self-efficacy dan Self-confidence ... 36
2.3.4 Self-efficacy dan Self-control ... 38
2.3.5 Self-efficacy dan Self-concept ... 39
2.3.6 Sumber-sumber Self-Efficacy ... 40
2.3.7 Fungsi dan Pengaruh Self-Efficacy ... 44
2.3.8 Dimensi-dimensi Self-Efficacy ... 46
halaman ix 2.4 Teori Belajar Pendukung ... 48
2.5 Penelitian yang Relevan ... 51
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode dan Desain Penelitian ... 56
3.2 Subjek Penelitian ... 57
3.3 Instrumen Penelitian ... 58
3.3.1 Lembar Tes Tertulis ... 58
3.3.2 Skala Self-Efficacy ... 59
3.3.3 Jurnal Siswa ... 61
3.3.4 Format Wawancara ... 62
3.4 Tahap Penelitian ... 62
3.4.1 Tahap Persiapan Penelitian ... 62
3.4.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 63
3.4.3 Tahap Analisis ... 66
3.5 Prosedur Penelitian ... 67
3.6 Waktu Penelitian ... 67
3.7 Teknik Analisis Instrumen ... 68
3.7.1 Instrumen Kemampuan Representasi Matematis ... 68
3.8 Teknik Analisis data ... 82
3.8.1 Data Hasil Tes Representasi Matematis ... 82
3.8.2 Data Hasil Skala Self-Efficacy ... 84
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 86
4.1.1 Hasil Penelitian tentang Kemampuan Representasi Matematis ... 86
4.1.2 Hasil Penelitian tentang Self-Efficacy ... 105
4.1.3 Jurnal Siswa ... 123
4.1.4 Tanggapan Siswa ... 126
4.2 Temuan dan Pembahasan ... 129
x 4.2.1 Pembelajaran Model-Eliciting Activities ... 129
4.2.2 Kemampuan Representasi Matematis ... 133
4.2.3 Self-Efficacy ... 145
4.3 Keterbatasan Penelitian ... 150
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 152
5.2 Saran ... 153
DAFTAR PUSTAKA ... 156
LAMPIRAN-LAMPIRAN LAMPIRAN A: INSTRUMEN PENELITIAN ... 163
LAMPIRAN B: ANALISIS HASIL UJI COBA INSTRUMEN ... 228
LAMPIRAN C: ANALISIS DATA HASIL PENELITIAN ... 253
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan proses globalisasi, terjadi transformasi sosial, ekonomi, dan
demografis yang mengharuskan sekolah dan perguruan tinggi untuk lebih
menyiapkan anak didik dengan keterampilan-keterampilan baru untuk bisa ikut
berpartisipasi dalam dunia yang berubah dan berkembang pesat (Lie, 2004).
Keterampilan-keterampilan tersebut tidak dapat ditularkan begitu saja tanpa
adanya proses pembelajaran di sekolah.
Proses pembelajaran merupakan suatu bentuk interaksi edukatif, yakni
interaksi yang bernilai pendidikan yang dengan sadar meletakkan tujuan untuk
mengubah tingkah laku dan perbuatan seseorang. Interaksi edukatif harus
menggambarkan hubungan aktif dua arah antara guru dan anak didik dengan
sejumlah pengetahuan sebagai mediumnya. Dalam interaksi edukatif unsur guru
dan anak didik harus aktif, tidak mungkin terjadi proses interaksi edukatif bila
hanya satu unsur yang aktif. Aktif dalam arti sikap, mental, dan perbuatan
(Djamarah, 2000).
Matematika merupakan ilmu yang kaya, menarik, banyak terkait dengan
kehidupan, memungkinkan banyak eksplorasi dan interaksi yang dapat dilakukan
siswa. Namun, dalam pembelajaran matematika interaksi yang sering terjadi
adalah pemberitahuan definisi dan aturan oleh guru kemudian dilanjutkan dengan
demonstrasi pemakaian definisi dan aturan tersebut dalam contoh dan latihan soal.
2
menyatakan bahwa siswa belajar dengan cara mendengar dan menonton guru
melakukan matematik, guru sering mencotohkan kepada siswa bagaimana
menyelesaikan soal dan memberikan soal latihan. Sejalan dengan hal tersebut,
Ruseffendi (Ansari, 2003) menyatakan bahwa bagian terbesar dari matematika
yang dipelajari siswa di sekolah tidak diperoleh melalui eksplorasi matematika,
tetapi melalui pemberitahuan. Pembelajaran yang demikian membuat siswa
kurang aktif karena kurang memberi peluang kepada siswa untuk lebih banyak
berinteraksi dengan sesama dan dapat membuat siswa memandang matematika
sebagai suatu kumpulan aturan dan latihan yang dapat berujung pada rasa bosan
dan bingung saat diberikan soal yang berbeda dengan soal latihan.
Hutagaol (2007) menyatakan bahwa terdapatnya permasalahan dalam
penyampaian materi pembelajaran matematika, yaitu kurang berkembangnya
kemampuan representasi siswa, khususnya pada siswa SMP, siswa tidak pernah
diberi kesempatan untuk menghadirkan representasinya sendiri. Lebih jauh
Hudiono (2005) menyatakan bahwa siswa yang mengerjakan soal matematika
yang berkaitan dengan kemampuan representasi, hanya sebagian kecil siswa dapat
menjawab benar, dan sebagian besar lainnya lemah dalam memanfaatkan
kemampuan representasi yang dimilikinya khususnya representasi visual.
Sullivan (1992) menyatakan bahwa peran dan tugas guru sekarang adalah
memberi kesempatan belajar maksimal pada siswa antara lain dengan jalan
melibatkan siswa secara aktif dalam eksplorasi matematika serta memberi
kebebasan berkomunikasi untuk menjelaskan idenya dan mendengar ide
bahwa tugas guru adalah: (1) melibatkan siswa dalam setiap tugas matematika; (2)
mengatur aktivitas intelektual siswa dalam kelas seperti diskusi dan komunikasi;
serta (3) membantu siswa memahami ide matematika dan memonitor pemahaman
mereka.
Untuk mengkomunikasikan ide-ide matematika dan berpikir secara
matematis seseorang perlu merepresentasikan ide-ide tersebut dalam cara tertentu.
Hal tersebut didukung oleh Hiebert (Dewanto, 2007) yang menyatakan bahwa
setiap kali mengkomunikasikan gagasan-gagasan matematika, gagasan tersebut
perlu disajikan dengan suatu cara tertentu. Hal ini sangat penting agar komunikasi
tersebut dapat berlangsung efektif. Komunikasi dalam matematika memerlukan
representasi eksternal yang dapat berupa simbol tertulis, gambar, ataupun objek
fisik. Ide-ide dalam matematika umumnya dapat direpresentasikan dengan satu
atau beberapa jenis representasi.
Representasi yang tepat dapat memberikan pemaknaan terhadap hubungan
yang mungkin terjadi di antara berbagai informasi. Penggunaan representasi yang
baik akan mampu mengaitkan informasi yang dipelajari dengan kumpulan
informasi yang sudah dimiliki siswa. Oleh karena itu, penggunaan representasi
mempunyai sumbangan yang sangat besar bagi terbentuknya pemahaman konsep.
Kemampuan representasi seseorang selain menunjukkan tingkat
pemahaman, juga terkait erat dengan kemampuan pemecahan masalah dalam
penyelesaian tugas matematika. Suatu masalah yang dianggap rumit dan
kompleks bisa menjadi lebih sederhana jika strategi dan pemanfaatan representasi
4
permasalahan menjadi sulit dipecahkan jika penggunaan representasinya keliru.
Penggunaan model matematika yang sesuai sebagai suatu bentuk representasi
akan membantu pemahaman konsep untuk mengemukakan ide/gagasan
matematika siswa.
Selain kemampuan respresentasi, terdapat aspek psikologis yang turut
memberikan kontribusi terhadap keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan
tugas dengan baik. Aspek psikologis tersebut adalah self-efficacy. Wilson & Janes
(2008) menyatakan bahwa self-efficacy merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan prestasi matematika seseorang. Banyak peneliti melaporkan
bahwa self-efficacy siswa berkorelasi dengan konstruksi motivasi, kinerja dan prestasi siswa. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Lane & Lane
(2001) yang menunjukkan bahwa prediksi self-efficacy mengatasi tuntutan intelektual dari program akademik sebesar 11,5%. Penelitian ini menyarankan
bahwa self-efficacy memiliki beberapa manfaat dalam program akademik. Namun,
berdasarkan pengetahuan penulis, di Indonesia belum banyak peneliti yang
memperhatikan self-efficacy tentang kemampuan matematis tertentu dalam bidang
akademik. Padahal, ketika bermatematika seseorang melakukan aktivitas berpikir
dan pada waktu berpikir, aku atau pribadi seseorang memegang peranan penting
dimana aku bukanlah faktor yang pasif melainkan faktor yang mengemudikan
perbuatan sadar (Aswald Kulpe dalam Hendriana, 2009).
Self-efficacy terkait dengan penilaian seseorang akan kemampuan dirinya
dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu. Penilaian kemampuan diri yang
menyatakan bahwa perasaan positif yang tepat tentang self-efficacy dapat
mempertinggi prestasi, meyakini kemampuan, mengembangkan motivasi internal,
dan memungkinkan siswa untuk meraih tujuan yang menantang. Perasaan negatif
tentang self-efficacy dapat menyebabkan siswa menghindari tantangan, melakukan
sesuatu dengan lemah, fokus pada defisiensi dan hambatan, dan mempersiapkan
diri untuk outcomes yang kurang baik. Seseorang yang salah menilai
kemampuannya akan bertindak dalam suatu cara tertentu yang akan merugikan
dirinya. Seseorang yang terlalu tinggi menilai kemampuannya akan melakukan
kegiatan yang tidak dapat diraih yang dapat berdampak pada kesulitan dan
kegagalan, sebaliknya seseorang yang menilai rendah kemampuannya akan
membatasi diri dari pengalaman yang menguntungkan.
Self-efficacy memiliki pengaruh dalam pemilihan perilaku, besar usaha dan ketekunan, serta pola berpikir dan reaksi emosional. Penilaian self-efficacy mendorong individu menghindari situasi yang diyakini melampaui kemampuannya
atau melakukan kegiatan yang diperkirakan dapat diatasinya. Dalam memecahkan
masalah yang sulit, individu yang mempunyai keraguan tentang kemampuannya
akan mengurangi usahanya, bahkan cenderung akan menyerah. Individu yang
mempunyai efficacy tinggi menganggap kegagalan sebagai kurangnya usaha, sedangkan individu yang memiliki efficacy rendah menganggap kegagalan berasal
dari kurangnya kemampuan.
Pengalaman awal efficacy seseorang terjadi dalam lingkungan keluarga. Pengalaman tersebut akan bertambah dalam lingkungan sosialnya. Teman
6
efficacy seseorang. Adanya model efficacy, informasi penilaian serta pembuktian efficacy, menjadikan teman sebaya menjadi agen utama dalam pengembangan dan validasi self-efficacy. Peranan teman sebaya dalam memperbaiki diri seseorang dapat dilihat dari dua hal yakni pengalaman pribadi
(life experiencing) dan duplicating (mencontoh dan mempelajari orang lain). Model efficacy teman sebaya dapat dihadirkan dalam pembelajaran dengan suasana belajar dan bekerja dalam kelompok kecil. Salah satu pembelajaran yang
menuntut adanya interaksi siswa dalam kelompok adalah pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs). Pembelajaran MEAs merupakan pembelajaran yang didasarkan pada situasi kehidupan nyata siswa, bekerja dalam kelompok kecil,
dan menyajikan sebuah model matematika sebagai solusi.
Dalam pembelajaran MEAs, kegiatan siswa bekerja dalam kelompok
memungkinkan terjadinya interaksi edukatif yang lebih tinggi antar siswa dan
antara siswa dengan guru. Pengalaman sosial ini diharapkan dapat menghadirkan
adanya model efficacy, informasi penilaian serta pembuktian efficacy sehingga
pengembangan self-efficacy dapat terjadi. Hal tersebut didasarkan pada Bandura
(Wilson & Janes, 2008) yang menyatakan bahwa model sosial merupakan salah
satu metode yang dapat digunakan untuk memperkuat self-efficacy. Selain itu, penyajian model matematis sebagai solusi dalam pembelajaran MEAs merupakan
salah satu bentuk representasi eksternal yang dapat dilakukan oleh siswa. Bekerja
dalam kelompok juga dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada
siswa untuk mengkomunikasikan ide/gagasan matematika ke dalam bentuk
Sabandar (Hasanah, 2004) menyatakan bahwa munculnya suatu representasi
tidaklah terjadi dengan sendirinya dalam situasi yang terisolasi dari situasi atau
masalah. Oleh karena itu, pemunculan suatu representasi sesungguhnya dapat
dipicu atau dirangsang dengan adanya situasi kontekstual, lebih disukai jika siswa
akrab dengan situasi tersebut, dan memungkinkan siswa menggunakan
pengetahuan yang diperolehnya secara informal maupun secara formal. Hal ini
sejalan dengan prinsip realitas pembelajaran MEAs yang menyatakan bahwa
skenario yang disajikan dalam MEAs sebaiknya realistis dan dapat terjadi dalam
kehidupan siswa. Kenyataan merupakan komponen penting dalam MEAs.
Menciptakan skenario realistis (berhubungan erat dengan siswa) dapat mencakup
konsep abstrak matematika dan meningkatkan rasa tertarik siswa akan masalah.
Masalah yang berbentuk word-problem, membutuhkan adanya interpretasi dan representasi dalam bentuk matematika. Proses interpretasi dan representasi ini
penting karena memberikan kesempatan untuk melakukan koneksi antar ide-ide
matematika terkait.
Pada penelitian ini selain faktor pembelajaran, kemampuan awal siswa
turut dilibatkan sebagai salah satu variabel (variabel kontrol) yang dikelompokkan
menjadi siswa kelompok atas, kelompok tengah dan kelompok bawah. Dasar
pengelompokan siswa adalah berdasarkan hasil belajar matematika sebelumnya
serta pengelompokan yang dilakukan oleh guru kelas. Hal ini dilakukan
berdasarkan hasil penelitian Usiskin (Ruseffendi, 1991) yang menyimpulkan
bahwa siswa dengan kemampuan matematika kurang atau lemah memperoleh
8
matematika baik (siswa pandai) terkorbankan. Ruseffendi (1991) juga
menegaskan bahwa, matematika modern lebih baik untuk siswa pandai tetapi
lebih jelek untuk siswa dengan kemampuan matematika lemah, sedangkan back to
basic lebih baik untuk siswa dengan kemampuan matematika lemah.
Dengan memperhatikan uraian di atas, penulis berupaya mengungkapkan
apakah pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) memberikan kontribusi terhadap kemampuan representasi matematis dan self-efficacy siswa. Penelitian ini
dirancang untuk melihat Pengaruh Pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) terhadap Kemampuan Representasi Matematis dan Self-Efficacy Siswa.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah: bagaimanakah pengaruh pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) terhadap kemampuan representasi matematis dan self-efficacy siswa? Masalah ini
disajikan lebih rinci menjadi:
1. Apakah kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran MEAs lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional?
2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis
yang signifikan antara siswa kelompok atas, kelompok tengah, dan
kelompok bawah pada siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs?
3. Apakah terdapat interaksi antara faktor pembelajaran yang diberikan dengan
representasi matematis siswa?
4. Bagaimanakah self-efficacy siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?
5. Bagaimanakah self-efficacy ditinjau dari setiap dimensi pada siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs dibandingkan dengan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional?
6. Bagaimanakah gambaran self-efficacy siswa ditinjau dari tingkatan kemampuan siswa (kelompok atas, kelompok tengah dan kelompok
bawah)?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan,
maka penelitian ini bertujuan untuk menelaah dan mendeskripsikan:
1. Kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran
MEAs dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional.
2. Perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis antara siswa
kelompok atas, kelompok tengah, dan kelompok bawah pada siswa yang
memperoleh pembelajaran MEAs.
3. Interaksi antara faktor pembelajaran yang diberikan dengan faktor kategori
kemampuan siswa terkait dengan peningkatan kemampuan representasi
matematis siswa.
10
5. Self-efficacy ditinjau dari setiap dimensi pada siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs dibandingkan dengan siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional.
6. Gambaran self-efficacy siswa ditinjau dari tingkatan kemampuan siswa (kelompok atas, kelompok tengah dan kelompok bawah).
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan masukan
yang berarti bagi peneliti, guru, dan siswa. Manfaat dan masukan tersebut antara
lain:
1. Untuk Peneliti
Memberi informasi tentang kemampuan representasi matematis dan self-efficacy siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs.
2. Untuk Guru
Memberi alternatif pembelajaran matematika yang dapat dikembangkan
menjadi lebih baik sehingga dapat dijadikan salah satu upaya untuk
meningkatkan hasil belajar siswa dan memberikan informasi tentang
pentingnya kemampuan representasi matematis dan self-efficacy siswa.
3. Untuk Siswa
Memberi pengalaman baru, mendorong siswa untuk lebih terlibat aktif
dalam pembelajaran di kelas, sehingga dapat meningkatkan kemampuan
representasi matematis, dan membuat belajar matematika menjadi lebih
1.5 Definisi Operasional
1. Kemampuan representasi matematis
Kemampuan representasi matematis yang dimaksud dalam penelitian ini
merupakan cara yang digunakan seseorang untuk menyajikan gagasan
matematika dalam melakukan komunikasi matematis yang meliputi
penerjemahan masalah atau ide-ide matematis ke dalam interpretasi berupa
gambar; ekspresi atau persamaan matematis; dan kata-kata.
2. Self-efficacy
Self-efficacy yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuannya melakukan tindakan-tindakan yang
diperlukan untuk menyelesaikan soal yang melibatkan kemampuan
representasi matematis dengan berhasil. Self-efficacy dalam penelitian ini diukur berdasarkan dimensi yang dinyatakan oleh Bandura yaitu dimensi
magnitude/level, dimensi strength, dan dimensi generality. 3. Pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs)
Pembelajaran MEAs merupakan pembelajaran yang didasarkan pada situasi
kehidupan nyata siswa, bekerja dalam kelompok kecil, dan menyajikan
sebuah model matematis sebagai solusi.
4. Pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
pembelajaran yang merupakan pembelajaran ekspositori (ceramah), diawali
dengan guru menjelaskan materi pelajaran, siswa mendengarkan dan
mencatat penjelasan yang disampaikan guru, kemudian siswa mengerjakan
12
5. Kemampuan siswa dalam penelitian ini dikategorikan menjadi kelompok
atas, kelompok tengah dan kelompok bawah. Pengelompokan siswa
didasarkan pada kemampuan matematika sebelumnya dengan ketentuan
27% siswa yang memiliki skor rerata kemampuan awal tertinggi termasuk
siswa kelompok atas, 27% siswa yang memiliki skor rerata kemampuan
awal terendah termasuk siswa kelompok bawah, dan sisanya termasuk siswa
kelompok tengah.
6. Peningkatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peningkatan
kemampuan representasi matematis siswa yang ditinjau berdasarkan gain ternormalisasi dari perolehan skor pretes dan postes siswa.
Gain ternormalisasi (g) =
Kategori gain ternormalisasi (g) menurut Hake (1999) adalah: g < 0,3 (rendah); 0,3 ≤ g < 0,7 (sedang); dan g 0,7 (tinggi).
1.6 Hipotesis Penelitian
Sejalan dengan masalah penelitian di atas, hipotesis penelitian ini adalah:
1. Kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran
MEAs lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional.
2. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa
kelompok atas, kelompok tengah, dan kelompok bawah pada siswa yang
memperoleh pembelajaran MEAs.
3. Terdapat interaksi antara faktor pembelajaran dengan kategori kemampuan
4. Self-efficacy siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs lebih baik daripada self-efficacy siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode dan Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi “Kuasi-Eksperimen”, sehingga subjek tidak
dikelompokkan secara acak, tetapi keadaan subjek diterima sebagaimana adanya.
Pemilihan studi ini didasarkan pertimbangan bahwa, kelas yang ada telah
terbentuk sebelumnya dan tidak mungkin dilakukan pengelompokan siswa secara
acak.
Pada penelitian ini digunakan dua kelas sebagai kelas eksperimen dan kelas
kontrol. Kepada kelas eksperimen diberikan pembelajaran dengan menggunakan
pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) dan kelas kontrol memperoleh
pembelajaran konvensional. Perlakuan yang diberikan berupa penerapan
pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) untuk dilihat pengaruhnya
terhadap aspek yang diukur yaitu kemampuan representasi matematis dan
self-efficacy siswa. Variabel bebas pada penelitian ini adalah pembelajaran
Model-Eliciting Activities (MEAs), variabel terikatnya adalah kemampuan representasi
matematis dan self-efficacy siswa dan variabel kontrolnya adalah kemampuan
awal siswa (siswa kelompok atas, kelompok tengah dan kelompok bawah).
Desain pada penelitian ini berbentuk:
Kelompok eksperimen O X O
Kelompok kontrol O O
Keterangan :
O : Tes yang diberikan untuk mengetahui kemampuan representasi matematis
siswa (pretes = postes)
3.2 Subjek Penelitian
Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 25 Bandarlampung pada semester II
(genap) tahun pembelajaran 2009/2010. Alasan pemilihan subjek penelitian pada
SMP Negeri 25 Bandarlampung, yaitu karena kemampuan representasi matematis
siswa SMP Negeri 25 Bandarlampung selama ini belum pernah mendapatkan
perhatian khusus. Sekolah ini juga memungkinkan untuk dilakukan pengujian
pembelajaran yang baru dan berada pada wilayah di sekitar tempat tinggal peneliti
sehingga memungkinkan peneliti untuk dapat berkomunikasi lebih baik dengan
subjek penelitian.
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 25 Bandarlampung
tahun pelajaran 2009/2010. Sampel pada penelitian ini terdiri dari dua kelompok
siswa kelas VIII yang berasal dari dua kelas yang dipilih secara purposive.
Pengambilan sampel secara purposive bertujuan untuk mendapatkan kelas yang
memiliki kemampuan awal representasi matematis yang tidak berbeda secara
signifikan. Alasan penelitian dilakukan terhadap siswa kelas VIII adalah:
a. Pada umumnya, siswa SMP kelas VIII masih berada pada masa remaja.
Pada masa ini terjadi proses pencarian jati diri dan pertumbuhan
self-efficacy.
b. Terdapat sejumlah materi yang diperkirakan cocok untuk penerapan
pembelajaran MEAs untuk melihat kemampuan representasi matematis dan
58
3.3 Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data dan informasi mengenai hal-hal yang ingin dikaji
dalam penelitian ini, maka dibuatlah seperangkat instrumen. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini berupa:
3.3.1 Lembar Tes Tertulis
Lembar tes tertulis yang digunakan berupa tes kemampuan representasi
matematis. Agar kemampuan representasi matematis siswa dapat terlihat dengan
jelas maka tes dibuat dalam bentuk uraian. Tes tertulis ini terdiri dari pretes dan
postes. Tes diberikan pada siswa setiap kelompok. Pretes diberikan untuk
mengetahui kemampauan awal siswa setiap kelompok dan digunakan sebagai
tolak ukur peningkatan prestasi belajar sebelum mendapatkan pembelajaran yang
akan diterapkan, sedangkan postes diberikan untuk mengetahui perolehan hasil
belajar dan ada tidaknya perubahan yang signifikan setelah mendapatkan
pembelajaran yang diterapkan.
Bahan tes diambil dari materi pelajaran matematika SMP kelas VIII
semester genap dengan mengacu pada Kurikulum 2006, pokok bahasan yang
diambil dalam penelitian ini adalah bangun ruang sisi datar. Tes yang digunakan
untuk mengukur kemampuan representasi matematis siswa terdiri dari 7 butir soal.
Beberapa butir soal diadaptasi dari instrumen representasi matematis yang
dikembangkan oleh Nursyam (2008). Dalam penyusunan soal tes, diawali dengan
penyusunan kisi-kisi soal yang dilanjutkan dengan menyusun soal beserta
alternatif kunci jawaban masing-masing butir soal. Secara lengkap, kisi-kisi dan
memberikan penilaian yang objektif, kriteria pemberian skor untuk soal tes
kemampuan representasi matematis berpedoman pada Holistic Scoring Rubrics
yang dinyatakan oleh Cai, Lane, dan Jakabscin (Hutagaol, 2007) pada Tabel 3.1
berikut:
Tabel 3.1 Pedoman Pemberian Skor Kemampuan representasi
Skor Mengilustrasikan/ menjelaskan Menyatakan/ Menggambar Ekspresi Matematis
0 Tidak ada jawaban, kalaupun ada hanya memperlihatkan ketidakpahaman tentang konsep sehingga informasi yang diberikan tidak berarti apa-apa
1 Hanya sedikit dari penjelasan yang benar
Hanya sedikit dari gambar, diagram, yang benar
Hanya sedikit dari model matematika yang benar
2 Penjelasan secara matematis masuk akal namun hanya sebagian lengkap dan benar
Melukiskan, diagram, gambar, namun kurang lengkap dan benar
Menemukan model matematika dengan benar, namun salah dalam mendapatkan solusi
3 Penjelasan secara matematis masuk akal dan benar, meskipun tidak tersusun secara logis atau terdapat sedikit kesalahan bahasa
Melukiskan, diagram, gambar, secara lengkap dan benar
Menemukan model matematika dengan benar, kemudian melakukan perhitungan atau mendapatkan solusi secara benar dan lengkap
4 Penjelasan secara matematis masuk akal dan jelas serta tersusun secara logis dan sistematis
Melukiskan, diagram, gambar, secara lengkap, benar dan sistematis
Menemukan model matematika dengan benar, kemudian melakukan perhitungan atau mendapatkan solusi secara benar dan lengkap serta sistematis.
3.3.2 Skala Self-Efficacy
Skala self-efficacy digunakan untuk mengukur keyakinan siswa terhadap
kemampuannya melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk
menyelesaikan soal yang melibatkan kemampuan representasi matematis dengan
berhasil. Skala self-efficacy diberikan kepada masing-masing kelompok siswa
setelah perlakuan pembelajaran selesai diterapkan. Self-efficacy siswa sebelum
60
siswa subjek penelitian berada pada taraf perkembangan mental yang sama dan
belum mendapatkan pembelajaran yang dapat mempengaruhi self-efficacy
sehingga self-efficacy awal siswa kelompok eksperimen dan siswa kelompok
kontrol dapat diasumsikan tidak berbeda. Pengukuran self-efficacy mencakup tiga
dimensi yaitu dimensi Magnitude/level untuk mengukur taraf keyakinan dan
kemampuan dalam menentukan tingkat kesulitan soal representasi matematis yang
dihadapi, dimensi Strength atau kekuatan untuk mengukur taraf keyakinan
terhadap kemampuan dalam mengatasi masalah atau kesulitan yang muncul akibat
soal representasi matematis dan dimensi Generality untuk mengukur taraf
keyakinan dan kemampuan dalam menggeneralisasikan tugas dan pengalaman
sebelumnya. Ketiga dimensi tersebut kemudian diturunkan menjadi
indikator-indikator dan selanjutnya dibuat pernyataan-pernyataan untuk mengukur
self-efficacy siswa. Dimensi dan indikator self-efficacy yang digunakan dalam
penelitian ini diadaptasi dari dimensi dan indikator self-efficacy yang
dikembangkan oleh Sudrajat (2008). Penyusunan pernyataan skala self-efficacy
dilakukan dengan memperhatikan panduan dari Bandura (2006) antara lain:
a. Menurut Bandura (2006), skala self-efficacy adalah unipolar, berkisar dari 0
hingga keyakinan maksimum. Skala bipolar dengan derajat negatif yang
berarti seseorang tidak mampu melakukan aktivitas yang diharapkan
merupakan hal yang tidak masuk akal.
b. Item-item pernyataan dalam skala self-efficacy harus dapat
merepresentasikan konstruk yang ingin diukur.
c. Item skala self-efficacy adalah item-item pernyataan yang dibuat atau
disesuaikan dengan area-area spesifik atau tugas-tugas spesifik dari
d. Format respon skala Likert umumnya menggunakan lima pernyataan sikap.
Namun, Bandura (2006) menyatakan bahwa skala self-efficacy lebih baik
menggunakan 11 respon skala dengan interval 0-10 atau 0-100. Hal ini
didukung oleh Panjares, Hartley, & Valiante (Bandura, 2006) yang
menyatakan bahwa format respon 0-100 merupakan prediktor yang lebih
baik daripada skala self-efficacy dengan format respon 1-5.
Pada penelitian ini digunakan format respon skala self-efficacy yang
diadaptasi dari skala respon yang digunakan oleh Compeau & Higgins (1995) dan
merujuk pada skala respon yang dikemukakan oleh Bandura (2006) yaitu
100-point scale yang peneliti sederhanakan menjadi:
Tidak Begitu
Yakin Yakin
Sangat Yakin
Ya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak
Pada format skala respon tersebut, pilihan “tidak” memiliki nilai nol. Peneliti
memilih format respon tersebut dikarenakan angka nol hingga sepuluh lebih
dikenal untuk memberikan gambaran nilai dari sesuatu dalam lingkungan siswa
SMP. Sebelum diujicobakan, dibuat kisi-kisi skala self-efficacy terlebih dahulu
kemudian disusun pernyataan skala self-efficacy dengan revisi dan saran
pembimbing serta pakar self-efficacy di UPI.
3.3.3 Jurnal Siswa
Jurnal yang digunakan dalam penelitian ini berupa karangan singkat yang
dibuat oleh siswa sebelum dan setelah pelaksanaan satu pembelajaran MEA.
self-62
efficacy yang dimiliki siswa. Jurnal pada akhir pembelajaran MEA diberikan
untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap pembelajaran MEA yang diberikan.
3.3.4 Format wawancara
Format wawancara merupakan pedoman untuk melakukan wawancara
terkait dengan respon siswa terhadap pembelajaran MEAs dan self-efficacy yang
dimiliki siswa. Wawancara dilakukan untuk memperjelas data self-efficacy siswa
yang telah diperoleh melalui skala self-efficacy.
3.4 Tahap Penelitian
Penelitian dalam penerapan pembelajaran Model-Eliciting Activities
(MEAs) dilaksanakan dengan beberapa tahapan, yaitu:
3.4.1 Tahap Persiapan
Pada tahap ini diadakan persiapan-persiapan yang dipandang perlu antara
lain: melakukan studi kepustakaan tentang kemampuan representasi matematis,
self-efficacy, serta pembelajaran Model-Eliciting Activities dan merancang
perangkat pembelajaran serta instrumen pengumpulan data. Kemudian memohon
izin melakukan penelitian kepada Rektor UPI dan Kepala SMP Negeri 25
Bandarlampung, melakukan uji coba instrumen penelitian dan menganalisis hasil
uji coba tersebut, mengobservasi pembelajaran di sekolah dan berkonsultasi
dengan guru matematika untuk menentukan waktu dan teknis pelaksanaan
penelitian, serta meminjam nilai hasil ulangan siswa untuk membuat
pengelompokan di kelas eksperimen. Lalu memilih sampel secara purposif dan
3.4.2 Tahap Pelaksanaan
Pada tahap ini dilakukan penerapan pembelajaran Model-Eliciting
Activities (MEAs) pada kelompok eksperimen dan pembelajaran konvensional
pada kelompok kontrol. Penerapan pembelajaran dilakukan oleh peneliti,
dengan pertimbangan untuk lebih terjaminnya pelaksanaan pembelajaran MEAs.
Sebelum dilaksanakan pembelajaran MEAs di kelas eksperimen diadakan
sosialisasi dengan memberikan penjelasan mengenai aturan-aturan yang
ditetapkan dalam pembelajaran MEAs.
Kelompok eksperimen dan kelompok kontrol mendapat perlakuan yang
sama dalam hal jumlah jam pelajaran, penyampaian materi, serta sumber
pembelajaran dari buku LKS. Kelas eksperimen mendapatkan lembar
permasalahan MEAs, sedangkan kelas kontrol mendapatkan soal-soal latihan dari
buku LKS dan buku paket yang dimiliki guru. Jumlah pertemuan pada kelas
eksperimen dan kontrol masing-masing 13 kali pertemuan.
Secara garis besar langkah-langkah yang digunakan dalam pembelajaran
MEAs pada penelititan ini adalah sebagai berikut:
1. Pendahuluan
a. Guru menjelaskan tentang pembelajaran yang akan dilakukan yaitu
pembelajaran Model-Eliciting Activities serta tujuan pembelajaran yang
harus dicapai oleh siswa dan materi apa yang akan dipelajari.
b. Guru memberikan apersepsi dengan mengajukan pertanyaan kepada
siswa untuk menggali kemampuan awal yang berkaitan dengan konsep
64
c. Guru memotivasi siswa dengan memberi penjelasan tentang pentingnya
mempelajari materi ini dan agar siswa belajar bersama dalam
kelompok.
2. Kegiatan Pembelajaran Model-Eliciting Activities
a. Siswa diberikan stimulus berupa pemberian materi oleh guru mengenai
konsep yang akan dipelajari. Kemudian antara Siswa dan guru
mendiskusikan materi tersebut.
b. Guru mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok yang heterogen.
c. Guru membagikan bahan ajar berupa lembar permasalahan MEA
kepada setiap kelompok. Siswa membaca permasalahan yang diberikan
dan siap-siaga menghadapi pertanyaan berdasarkan lembar
permasalahan.
d. Guru memberikan pertanyaan kepada siswa terkait dengan
permasalahan MEA dan memastikan setiap kelompok mengerti apa
yang ditanyakan. Bagian ini merupakan bagian pertanyaan siap-siaga.
Pada bagian ini guru membantu siswa mengawasi cara berpikirnya.
e. Siswa mengumpulkan data yang diperlukan untuk menyelesaikan
permasalahan MEA. Guru memberikan petunjuk kepada siswa jika
diperlukan. Kegiatan ini merupakan tahap pengumpulan data oleh
siswa.
f. Guru memerintahkan siswa untuk menyelesaikan permasalahan yang
diberikan. Kemudian guru berkeliling kelas dan memberikan feedback
pada kesalahan yang dibuat dan guru dapat langsung memberikan
arahan agar siswa dapat langsung mengoreksi sendiri kesalahan yang
dibuatnya. Kegiatan ini merupakan tahap tugas pemecahan masalah.
g. Kelompok siswa terpilih mempresentasikan hasil pekerjaannya di depan
kelas. Guru dan siswa lainnya mengajukan pertanyaan kepada
kelompok penyaji. Kegiatan ini merupakan tahap kegiatan presentasi.
Pada tahap ini, hasil pekerjaan siswa dikoreksi, dikomentari, dinilai,
dan didiskusikan dalam diskusi kelas.
3. Akhir kegiatan pembelajaran
a. Guru bersama-sama siswa menyimpulkan hasil diskusi.
b. Guru memberikan evaluasi menyeluruh terhadap hasil kegiatan siswa.
c. Guru memberikan ulasan dan penekanan pada konsep utama serta
membimbing siswa membuat kesimpulan.
Sedangkan langkah-langkah pembelajaran matematika dengan pembelajaran
konvensional adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan Pendahuluan
a. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan materi yang akan dipelajari
b. Guru memberikan apersepsi dengan cara tanya jawab serta mengingatkan
kembali pelajaran yang telah lalu yang berhubungan dengan materi yang
akan dipelajari.
2. Kegiatan inti
a. Guru menjelaskan kepada siswa tentang materi pelajaran
66
c. Guru bertanya kepada siswa apakah siswa sudah mengerti atau belum, jika
belum, guru akan kembali menjelaskan pada bagian yang siswa belum
begitu memahaminya.
d. Guru memberikan latihan-latihan soal, siswa diminta mengerjakannya
secara individu.
e. Guru meminta beberapa orang siswa untuk mengerjakan soal yang telah
diberikan guru.
3. Penutup
a. Guru menyimpulkan mengenai pembelajaran yang telah dilakukan
b. Guru memberikan pekerjaan rumah.
Setelah seluruh kegiatan pembelajaran selesai, sebelum dilakukan postes
pada kelompok eksperiman dan kelompok kontrol, kedua kelompok siswa
diberikan skala self-efficacy. Kemudian kedua kelompok ini diberikan soal postes
yang sama dengan soal pretes, hal ini dilakukan untuk mengetahui besarnya
peningkatan kemampuan representasi matematis siswa. Pelaksanaan tes
representasi matematis selama 80 menit baik pada kelompok eksperimen maupun
pada kelompok kontrol. Selain postes, pada kelompok eksperimen dilakukan
wawancara terhadap beberapa siswa yang dipilih secara acak mewakili tingkat
kemampuan siswa.
3.4.3 Tahap Analisis
Setelah implementasi pembelajaran selesai, data yang telah terkumpul
dianalisis dan diolah secara statistik untuk data kuantitatif dan secara deskriptif
3.5 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini dirancang untuk memudahkan dalam pelaksanaan
penelitian. Selanjutnya prosedur penelitian ini dapat dilihat dalam bentuk diagram
berikut:
Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian
3.6 Waktu penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan Oktober 2009 sampai dengan Juni 2010.
Jadwal rencana kegiatan penelitian dapat dilihat dalam Tabel 3.2 berikut:
Pemberian Pretes
a. Perlakuan pada kelas kontrol (pembelajaran konvensional)
b. Skala self-efficacy
c. Pemberian postes
Kesimpulan Pengidentifikasian
masalah & tujuan penelitian
Penyusunan instrumen dan bahan ajar
Penguji coba instrumen
Analisis hasil uji coba
Perbaikan instrumen
Analisis Data
a. Perlakuan pada kelas eksperimen (pembelajaran MEAs)
b. Jurnal Siswa c. Skala self-efficacy
68
Tabel 3.2 Jadwal Rencana Kegiatan Penelitian
No Kegiatan Bulan
Okt-Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun
1. Pembuatan Proposal
2. Seminar Proposal
3. Menyusun Instrumen
Penelitian dan bahan ajar
4. Pelaksanaan KBM di
kelas Eksperimen
5. Pengumpulan Data
6. Pengolahan Data
7. Penyelesaian Tesis
3.7 Teknik Analisis Instrumen
3.7.1 Instrumen Kemampuan Representasi Matematis
Alat pengumpul data yang baik dan dapat dipercaya adalah alat pengumpul
data yang valid dan reliabel. Oleh karena itu, sebelum instrumen tes digunakan
terlebih dahulu dilakukan uji coba instrumen pada siswa yang telah mendapatkan
materi yang akan disampaikan. Sebelum dilakukan ujicoba, dilakukan uji
keterbacaan kepada beberapa orang siswa yang sudah pernah memperoleh materi
ini dan diukur kecukupan waktu siswa dalam menjawab soal tes. Hasilnya adalah
beberapa soal yang ada perlu diperbaiki dan dibuang karena tidak mudah
dipahami dan terlalu banyak menghabiskan waktu. Setelah uji coba, dilakukan
analisis untuk mengetahui tingkat validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan
daya pembeda instrumen tersebut.
1. Analisis validitas tes
Validitas merupakan salah satu syarat penting yang harus dipenuhi oleh
instrumen penelitian. Suherman dan Sukjaya (1990) menyatakan bahwa suatu
istrumen dinyatakan valid (absah dan sahih) bila instrumen itu mampu
hendaknya dilihat dari berbagai aspek. Dalam penelitian ini, analisis validitas
yang dilakukan meliputi validitas isi, validitas muka, dan validitas butir soal.
Validitas isi berkenaan dengan ketepatan materi yang dievaluasikan.
Dengan kata lain, materi yang dipakai sebagai alat evaluasi merupakan sampel
representatif dari pengetahuan yang harus dikuasai siswa (Suherman dan Sukjaya,
1990). Validitas muka atau validitas tampilan, yaitu keabsahan susunan kalimat
atau kata-kata dalam soal sehingga jelas pengertiannya atau tidak menimbulkan
tafsiran lain (Suherman.dkk, 2003), termasuk juga kejelasan gambar dalam soal.
Penilain validitas isi dan validitas muka dilakukan oleh rekan mahasiswa
Pendidikan Matematika Pascasarjana UPI dan guru matematika SMP Negeri 25
Bandarlampung yang hasilnya dikonsultasikan kepada dosen pembimbing.
Validitas isi dan validitas muka yang dinilai adalah kesesuaian antara butir tes
dengan kisi-kisi soal, penggunaan bahasa atau gambar dalam soal, dan kebenaran
materi atau konsep.
Validitas butir soal digunakan untuk mengetahui dukungan suatu butir soal
terhadap skor total. Hasil perhitungan validitas ini dapat digunakan untuk
menyelidiki lebih lanjut butir-butir soal yang mendukung dan yang tidak
mendukung. Dukungan setiap butir soal dinyatakan dalam bentuk korelasi. Karena
tes yang digunakan berupa uraian, maka untuk mendapatkan validitas butir soal
digunakan rumus korelasi Product Moment Pearson. Hasil perhitungan koefisien
korelasi diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi koefisien validitas
70
Berdasarkan hasil uji coba pada siswa kelas IX SMP Negeri 25
Bandarlampung, dilakukan perhitungan validitas butir soal yaitu dengan
menghitung korelasi antara butir-butir soal dengan skor total soal secara
keseluruhan. Hasil perhitungan korelasi validitas antar butir tes kemampuan
[image:30.612.159.470.237.428.2]representasi matematis dapat dilihat pada Tabel 3.3 berikut ini.
Tabel 3.3 Validitas Instrumen Kemampuan Representasi Matematis
Nomor Soal Besarnya Interpretasi
1 0,66 Validitas tinggi
2a 0,70 Validitas tinggi
2b 0,77 Validitas tinggi
3 0,82 Validitas sangat tinggi
4a 0,91 Validitas sangat tinggi
4b 0,70 Validitas tinggi
5a 0,72 Validitas tinggi
5b 0,84 Validitas sangat tinggi
6a 0,65 Validitas tinggi
6b 0,78 Validitas tinggi
7a 0,68 Validitas tinggi
7b 0,68 Validitas tinggi
Berdasarkan Tabel 3.3 diketahui bahwa nilai koefisien korelasi butir-butir
soal dengan skor total soal secara keseluruhan berada pada rentang nilai 0,66
hingga 0,91. Dari 12 butir soal yang digunakan untuk menguji kemampuan
representasi matematis, berdasarkan interpretasi validitas tes diperoleh sembilan
soal mempunyai validitas tinggi dan tiga soal memiliki validitas sangat baik.
Artinya, semua soal mempunyai validitas yang baik.
2. Analisis Reliabilitas
Suatu alat evaluasi dikatakan reliabel jika hasil evaluasi tersebut relatif tetap
jika digunakan untuk subjek yang sama pada waktu yang berbeda (Suherman dan
konsisten walaupun dikerjakan oleh siapapun (dalam level yang sama), kapanpun
dan di manapun berada. Untuk tes berbentuk uraian perhitungan reliabilitas tes
dapat digunakan rumus Cronbach’s Alpha. Hasil derajat reliabilitas soal kemudian
diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi derajat reliabilitas yang
dikemukakan oleh Suherman dan Sukjaya (1990).
Berdasarkan hasil uji coba reliabilitas butir soal secara keseluruhan
diperoleh nilai r11 = 0,922. Instrumen peneitian dengan koefisien reliabilitas 0,922
diinterpretasikan memiliki reliabilitas yang sangat tinggi, sehingga instrumen
kemampuan representasi matematis tersebut reliabel untuk digunakan sebagai alat
ukur.
3. Analisis Daya Pembeda
Daya pembeda (discriminatory power) suatu butir soal menyatakan
seberapa jauh kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan antara siswa
yang dapat menjawab soal dan siswa yang tidak dapat menjawab soal (Suherman
dan Sukjaya, 1990). Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda disebut
indeks diskriminasi (DP) yang berkisar antara 0,00 – 1,00. Daya pembeda
dihitung dengan membagi siswa kedalam dua kelompok, yaitu: kelompok atas
(the higher group) – kelompok siswa yang tergolong pandai dan kelompok bawah
(the lower group) – kelompok siswa yang tergolong rendah. Hasil perhitungan
daya pembeda diinterpretasikan dengan menggunakan kriteria penafsiran menurut
Suherman dan Sukjaya (1990).
Berdasarkan hasil uji coba, dilakukan perhitungan daya pembeda setiap
butir soal yang secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran B.2. Hasil perhitungan
daya pembeda tes kemampuan representasi matematis disajikan dalam Tabel 3.4
72
Tabel 3.4 Daya Pembeda Tes Representasi Matematis Nomor Soal Besarnya DP Interpretasi
1 0,56 Baik
2a 0,50 Baik
2b 0,42 Baik
3 0,69 Baik
4a 0,47 Baik
4b 0,56 Baik
5a 0,44 Baik
5b 0,58 Baik
6a 0,42 Baik
6b 0,69 Baik
7a 0,28 Cukup
7b 0,33 Cukup
Berdasarkan Tabel 3.4 diketahui bahwa indeks daya pembeda butir-butir
soal secara keseluruhan berada pada rentang nilai 0,28 hingga 0,69. Indeks daya
pembeda sebesar 0,28 menandakan bahwa butir soal memiliki daya pembeda
dengan interpretasi cukup. Sedangkan indeks daya pembeda sebesar 0,69
menandakan bahwa butir soal memiliki daya pembeda dengan interpretasi baik.
Dari 12 butir soal yang digunakan untuk mengukur kemampuan representasi
matematis terdapat dua butir yang mempunyai daya pembeda yang cukup, dan
sisanya mempunyai daya pembeda yang baik. Oleh karena itu, instrumen tersebut
dapat digunakan untuk membedakan antara siswa yang pandai dengan siswa yang
kurang pandai.
4. Analisis Indeks Kesukaran
Arikunto (2005) menyatakan bahwa “soal yang baik adalah soal yang tidak
terlalu mudah atau tidak terlalu sukar”. Soal yang terlalu mudah tidak dapat
merangsang siswa berusaha memecahkannya, dan soal yang terlalu sukar dapat
Bilangan yang menunjukkan sukar dan mudahnya suatu soal disebut indeks
kesukaran (Arikunto, 2005). Analisis indeks kesukaran setiap butir soal dihitung
berdasarkan jawaban seluruh siswa yang mengikuti tes. Pada penelitian ini
digunakan rumus untuk menghitung indeks kesukaran menurut Hutabarat (2009).
Hasil perhitungan indeks kesukaran diinterpretasikan dengan menggunakan
kriteria penafsiran menurut Suherman dan Sukjaya (1990).
Dari hasil perhitungan, diperoleh tingkat kesukaran tiap butir soal tes
[image:33.612.190.445.318.504.2]kemampuan representasi matematis yang terangkum dalam Tabel 3.5 berikut ini:
Tabel 3.5 Indeks Kesukaran Tes Representasi Matematis Nomor Soal Besarnya IK Interpretasi
1 0,61 Sedang
2a 0,31 Sedang
2b 0,32 Sedang
3 0,54 Sedang
4a 0,57 Sedang
4b 0,44 Sedang
5a 0,50 Sedang
5b 0,35 Sedang
6a 0,46 Sedang
6b 0,46 Sedang
7a 0,28 Sukar
7b 0,25 Sukar
Dari Tabel 3.5 diketahui bahwa indeks kesukaran butir-butir soal tes
kemampuan representasi matematis secara keseluruhan berada pada rentang nilai
0,25 hingga 0,61. Indeks kesukaran sebesar 0,25 menandakan bahwa butir soal
memiliki tingkat kesukaran dengan interpretasi sukar. Sedangkan indeks
kesukaran sebesar 0,61 menandakan bahwa butir soal memiliki tingkat kesukaran
dengan interpretasi sedang. Dari 12 butir soal yang digunakan untuk mengukur
kemampuan representasi matematis terdapat dua butir yang mempunyai indeks
74
Oleh karena itu, instrumen tersebut dapat digunakan untuk membedakan antara
siswa yang pandai dengan siswa yang kurang pandai.
Rekapitulasi dari semua perhitungan analisis hasil uji coba tes kemampuan
[image:34.612.132.508.229.492.2]representasi matematis disajikan secara lengkap dalam Tabel 3.6 berikut ini:
Tabel 3.6 Rekapitulasi Analisis Hasil Uji Coba Soal Tes Kemampuan Representasi Matematis Nomor Soal Interpretasi Validitas Interpretasi Tingkat Kesukaran Interpretasi Daya Pembeda Interpretasi Reliabilitas
1 Tinggi Sedang Baik
Sangat Tinggi
2a Tinggi Sedang Baik
2b Tinggi Sedang Baik
3 Sangat Tinggi Sedang Baik
4a Sangat Tinggi Sedang Baik
4b Tinggi Sedang Baik
5a Tinggi Sedang Baik
5b Sangat Tinggi Sedang Baik
6a Tinggi Sedang Baik
6b Tinggi Sedang Baik
7a Tinggi Sukar Cukup
7b Tinggi Sukar Cukup
Berdasarkan hasil analisis keseluruhan terhadap hasil ujicoba tes
kemampuan representasi matematis yang dilaksanakan di SMP N 25
Bandarlampung pada siswa kelas IX, serta dilihat dari hasil analisis validitas,
reliabilitas, daya pembeda dan indeks kesukaran, maka dapat disimpulkan bahwa
instrumen kemampuan representasi matematis pada penelitian ini memenuhi
syarat untuk menjadi alat pengumpul data yang baik dan dapat dipercaya. Oleh
karena itu, instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur kemampuan
3.7.2 Skala Self-Efficacy
Self-efficacy dalam penelitian ini difokuskan pada tiga dimensi pengukuran
self-efficacy yang diungkapkan oleh Bandura yaitu, magnitude/level, strength, dan
generality. Secara teoritis, dimensi magnitude/level berhubungan dengan tingkat
kesulitan masalah atau tugas yang dapat diatasi oleh seseorang sebagai hasil
persepsi tentang kompetensi dirinya (Sudrajat, 2008). Secara operasional, dimensi
magnitude/level merujuk pada taraf keyakinan dan kemampuan siswa dalam
menentukan tingkat kesulitan soal representasi matematis yang dihadapi.
Dimensi strength berhubungan dengan tingkat kekuatan keyakinan tentang
kompetensi yang dipersepsi oleh seseorang dan menunjukkan derajat kemantapan
keyakinannya (Sudrajat, 2008). Dimensi ini biasanya berkenaan langsung dengan
dimensi pertama. Secara operasional, dimensi strength merujuk pada taraf
keyakinan siswa terhadap kemampuannya dalam mengatasi masalah atau
kesulitan yang muncul akibat soal representasi matematis.
Dimensi generality, yaitu dimensi yang berhubungan dengan luas bidang
perilaku atau tingkat pencapaian keberhasilan seseorang dalam mengatasi atau
menyelesaikan tugas-tugas dalam kondisi tertentu (Sudrajat, 2008). Secara
operasional, dimensi ini merujuk pada taraf keyakinan dan kemampuan siswa
dalam mengeneralisasikan tugas dan pengalaman sebelumnya.
Instrumen tentang self-efficacy ini dikonstruksi dan dikembangkan oleh
peneliti dengan mengadaptasi instrumen self-efficacy yang dikembangkan oleh
76
Constructing Self-Efficacy Scales serta berdasarkan saran dan pertimbangan dari
pembimbing dan pakar self-efficacy di UPI.
Berpedoman pada validitas isi yang dijelaskan oleh Bandura (2006), butir
pernyataan skala self-efficacy harus akurat dalam merefleksikan konstruksnya.
Self-efficacy berfokus pada kemampuan yang dirasakan. Butir-butir
pernyataannya harus menjadi frase yang mengungkapkan tentang “mampu
mengerjakan” daripada “akan mengerjakan”, karena “mampu” menggambarkan
pertimbangan kemampuan sedangkan “akan” merupakan pernyataan yang
berisikan tentang adanya suatu tujuan (Bandura, 2006).
Untuk menguji validitas skala self-efficacy digunakan uji validitas isi
(content validity). Pengujian validitas isi dapat dilakukan dengan membandingkan
antara isi instrumen dengan isi atau rancangan yang telah ditetapkan (Sugiyono,
2006). Instrumen dinyatakan valid apabila isinya sesuai dengan apa yang hendak
diukur. Pada penelitian ini, pengujian validitas skala self-efficacy dilakukan oleh
dosen pembimbing dan pakar self-efficacy di UPI. Berorientasi pada validitas
konstruk dan validitas isi, berupa dimensi dan indikator yang hendak diukur,
redaksi setiap butir pernyataan, keefektifan susunan kalimat dan koreksi terhadap
bentuk format yang digunakan.
Hasil umum yang diperoleh menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
a. Tidak memuat pernyataan-pernyataan negatif, karena keyakinan tidak ada
yang bermakna negatif melainkan taraf atau derajatnya saja yang
membedakannya yang terentang dari keyakinan paling tinggi hingga paling
rendah (Sudrajat, 2008). Sebagai tindak lanjut, butir pernyataan negatif
b. Pengukuran self-efficacy didasarkan pada tiga dimensi yang dinyatakan oleh
Bandura, yaitu dimensi magnitude/level, dimensi strength, dan dimensi
generality. Sebagai tindak lanjut, dibuat defini operasional untuk
masing-masing dimensi dan skala self-efficacy yang dibuat disesuaikan dengan
dimensi-dimensi tersebut.
c. Merevisi pernyataan-pernyataan tertentu yang dianggap kurang tepat dari
segi kebahasaan sehingga tidak mengandung makna ganda atau multi tafsir
kepada responden dalam memilihnya.
Setelah instrumen self-efficacy dinyatakan valid oleh ahli, dilakukan uji
keterbacaan instrumen terhadap 10 orang siswa. Uji keterbacaan dilakukan
dengan tujuan untuk melihat apakah pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam
angket dapat dimengerti susunan redaksi dan maknanya, telah sesuai dan/atau
menggambarkan tentang apa yang dirasakan, dialami, dan dihadapi siswa. Hasil
menunjukkan bahwa siswa tidak mengalami kesulitan dalam memahami
pernyataan-pernyataan yang terdapat pada lembar skala self-efficacy.
Kemudian dilakukan uji coba instrumen self-efficacy siswa terhadap 75
orang siswa. Hasil uji coba dianalisis dengan menggunakan program SPSS 17
untuk menguji derajat validitas dan reliabilitas instrumen.
1. Validitas Instrumen
Pengujian validitas instrumen dilakukan dengan mengkorelasikan antara
skor item dalam suatu dimensi dengan skor dimensi dan mengkorelasikan skor
dimensi dengan skor total. Hasil uji validitas skala self-efficacy dengan
78
Hasil uji validitas pernyataan self-efficacy dimensi magnitude/level terangkum
[image:38.612.182.457.166.430.2]dalam Tabel 3.7 berikut ini.
Tabel 3.7 Validitas Butir Pernyataan Dimensi Magnitude/Level Nomor
Pernyataan
Koefisien
Korelasi Signifikansi Interpretasi
1 0,602
0,000 Valid
2 0,547
3 0,426
19 0,447
10 0,704
11 0,487
13 0,474
20 0,577
21 0,534
22 0,727
24 0,562
25 0,669
26 0,767
27 0,808
28 0,796
29 0,824
30 0,693
Berdasarkan Tabel 3.7, diketahui bahwa validitas butir-butir pernyataan
self-efficacy dimensi magnitude/level secara keseluruhan berada pada rentang nilai
0,426 hingga 0,824. Koefisien korelasi sebesar 0,426 menandakan bahwa butir
pernyataan memiliki validitas dengan interpretasi sedang. Sedangkan koefisien
korelasi sebesar 0,824 menandakan bahwa butir pernyataan memiliki validitas
dengan interpretasi sangat tinggi. Dari 17 butir pernyataan yang digunakan untuk
mengukur self-efficacy dimensi magnitude/level, delapan pernyataan memiliki
validitas yang sedang, tujuh pernyataan memiliki validitas yang tinggi dan sisanya
memiliki validitas sangat tinggi. Untuk kriteria signifikansi dari korelasi pada
Oleh karena itu, pernyataan-pernyataan tersebut valid digunakan untuk mengukur
self-efficacy dimensi magnitude/level. Hasil uji validitas pernyataan self-efficacy
[image:39.612.188.452.193.455.2]dimensi strength terangkum dalam Tabel 3.8 berikut ini.
Tabel 3.8 Validitas Butir Pernyataan Dimensi Strength Nomor
Pernyataan
Koefisien
Korelasi Signifikansi Interpretasi
6 0,749
0,000 Valid
7 0,762
14 0,535
31 0,489
33 0,607
34 0,651
35 0,575
4 0,747
5 0,524
8 0,668
9 0,646
15 0,618
16 0,736
17 0,729
18 0,517
23 0,571
32 0,554
Berdasarkan Tabel 3.8, diketahui bahwa validitas butir-butir pernyataan
self-efficacy dimensi strength secara keseluruhan berada pada rentang nilai 0,489
hingga 0,762. Koefisien korelasi sebesar 0,489 menandakan bahwa butir
pernyataan memiliki validitas dengan interpretasi sedang. Sedangkan koefisien
korelasi sebesar 0,762 menandakan bahwa butir pernyataan memiliki validitas
dengan interpretasi tinggi. Dari 17 butir pernyataan yang digunakan untuk
mengukur self-efficacy dimensi strength, tujuh pernyataan memiliki validitas yang
sedang, dan sisanya memiliki validitas tinggi. Untuk kriteria signifikansi dari
80
signifikan. Oleh karena itu, pernyataan-pernyataan tersebut valid digunakan untuk
mengukur self-efficacy dimensi strength. Hasil uji validitas pernyataan
[image:40.612.187.451.182.334.2]self-efficacy dimensi generality terangkum dalam Tabel 3.9 berikut ini.
Tabel 3.9 Validitas Butir Pernyataan Dimensi Generality Nomor
Pernyataan
Koefisien
Korelasi Signifikansi Interpretasi
36 0,730
0,000 Valid
37 0,777
38 0,765
39 0,802
12 0,736
40 0,771
41 0,723
42 0,679
Dari Tabel 3.9, diketahui bahwa validitas butir-butir pernyataan self-efficacy
dimensi generality secara keseluruhan berada pada rentang nilai 0,679 hingga
0,802. Koefisien korelasi sebesar 0,679 menandakan bahwa butir pernyataan
memiliki validitas dengan interpretasi tinggi. Sedangkan koefisien korelasi
sebesar 0,802 menandakan bahwa butir pernyataan memiliki validitas dengan
interpretasi sangat tinggi. Dari delapan butir pernyataan yang digunakan untuk
mengukur self-efficacy dimensi generality, tujuh pernyataan memiliki validitas
tinggi, dan sisanya memiliki validitas sangat tinggi. Untuk kriteria signifikansi
dari korelasi pada Tabel 3.9 terlihat bahwa seluruh pernyataan memiliki korelasi
yang signifikan. Oleh karena itu, pernyataan-pernyataan tersebut valid digunakan
untuk mengukur self-efficacy dimensi generality. Selanjutnya dilakukan analisis
korelasi skor dimensi dengan skor total yang hasilnya terangkum dalam Tabel
Tabel 3.10 Validitas Setiap Dimensi Skala Self-Efficacy
Dimensi Koefisien
Korelasi Signifikansi Interpretasi Magnitude/level 0,911
0,000 Valid
Strength 0,924
Generality 0,819
Berdasarkan Tabel 3.10 di atas, diketahui bahwa koefisien korelasi
dimensi-dimensi self-efficacy berada pada rentang 0,819 hingga 0,924. Seluruh dimensi
magnitude/level, strength, dan generality memiliki kriteria validitas sangat tinggi.
Untuk kriteria signifikansi dari korelasi pada Tabel 3.10 terlihat bahwa seluruh
dimensi memiliki korelasi yang signifikan. Oleh karena itu, seluruh dimensi
magnitude/level, strength, dan generality mendukung untuk digunakan mengukur
self-efficacy siswa.
2. Reliabilitas Instrumen
Pengujian reliabilitas suatu alat ukur dimaksudkan untuk mengetahui
apakah suatu alat ukur akan memberikan hasil yang tetap sama (konsisten, ajeg).
Untuk menghitung koefisien reliabilitas instrumen self-efficacy digunakan
program SPSS 17 yang hasilnya terangkum pada Tabel 3.11 berikut ini.
Tabel 3.11 Reliabilitas Skala Self-Efficacy Cronbach's Alpha N of Items
0,964 42
Berdasarkan Tabel 3.11 di atas, diperoleh nilai . Instrumen
peneitian dengan koefisien reliabilitas 0,964 diinterpretasikan memiliki reliabilitas
yang sangat tinggi, sehingga instrumen self-efficacy tersebut reliabel untuk
digunakan sebagai alat ukur.
Berdasarkan hasil analisis keseluruhan terhadap hasil ujicoba pernyataan
82
instrumen self-efficacy memenuhi syarat untuk menjadi alat pengumpul data yang
baik dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, instrumen tersebut dapat digunakan
untuk mengukur self-efficacy siswa.
3.8 Teknik Analisis Data
Data-data yang diperoleh dari hasil pretes dan postes kemampuan
representasi matematis dianalisis secara statistik. Data skala self-efficacy siswa
dianalisis secara deskriptif dan statistik. Sedangkan data hasil wawancara
berkaitan dengan tanggapan siswa terhadap pembelajaran dianalisis secara
deskriptif. Untuk pengolahan data penulis menggunakan bantuan program
software SPSS 17, dan Microsoft Excell 2007.
3.8.1 Data Hasil Tes Representasi Matematis
Dalam penelitian ini ingin dilihat perbedaan rerata kemampuan representasi
matematis siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs dan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional serta peningkatan kemampuan
representasi siswa berdasarkan kategori kemampuan siswa (kelompok atas dan
kelompok bawah). Oleh karena itu, uji statistik yang digunakan adalah uji
perbedaan dua rerata.
Data yang diperoleh dari hasil tes diolah melalui tahap-tahap sebagai
berikut:
1. Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan sistem
penskoran yang digunakan.
2. Membuat tabel skor pretes dan postes siswa kelas eksperimen dan kelas
3. Menghitung peningkatan kemampuan yang terjadi pada siswa kelompok atas,
kelompok tengah dan siswa kelomok bawah dengan rumus gain
ternormalisasi, yaitu:
Gain ternormalisasi (g) = (Hake,1999)
Hasil perhitungan gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan
[image:43.612.192.447.276.339.2]klasifikasi pada Tabel 3.12 berikut.
Tabel 3.12 Klasifikasi Gain (g) Besarnya Gain (g) Interpretasi
g 0,7 Tinggi
0,3 g < 0,7 Sedang
g < 0,3 Rendah
Perhitungan gain ternormalisasi dilakukan karena penelitian ini tidak hanya
melihat peningkatan siswa tetapi juga melihat kualitas dari peningkatan
tersebut.
4. Melakukan uji normalitas untuk mengetahui kenormalan data skor pretes,
postes, dan skor gain kemampuan representasi matematis menggunakan uji
statistik One-Sample Kolmogorov- Smirnov.
5. Menguji homogenitas varians data skor pretes, postes dan gain kemampuan
representasi matematis menggunakan uji Homogeneity of Variances (Levene
Statistic).
6. Jika sebaran data normal dan homogen, dilakukan uji perbedaan dua rerata.
Pengujian ini digunakan untuk menguji perbedaan rerata skor pretes dan
postes menggunakan Compare Mean Independent Samples Test.
7. Menguji perbedaan antara dua rataan data gain kemampuan representasi
84
8. Jika datanya tidak berdistribusi normal, maka uji yang dilakukan adalah uji
statistik non-parametrik seperti Uji Mann-Whitney atau Uji Friedman.
3.8.2 Data Hasil Skala Self-Efficacy
Analisis data dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang
self-efficacy siswa. Untuk melihat posisi dan gambaran self-self-efficacy siswa, baik secara
total maupun dimensinya, dilakukan pengelompokan data dengan menggunakan
perhitungan kriteria ideal yang perhitungannya didasarkan atas rerata ideal dan
simpangan baku ideal (Rakhmat dan Solehuddin dalam Sudrajat, 2008) sebagai
berikut.
! " #
Keterangan:
= skor maksimal yang mungkin diperoleh oleh siswa
= Rerata ideal =
$ dari
# = Simpangan Baku Ideal =
$ dari
Z = skor baku
Berdasarkan rumus tersebut, kemudian dibuat kategori yang disajikan pada
[image:44.612.131.508.543.639.2]Tabel 3.13 berikut.
Tabel 3.13 Kategori Self-Efficacy Siswa
No. Skor Kategori
1. %&' ( ) * + , Sangat Tinggi (ST)
2. %&' ) * + , & - %&' ( ) * + Tinggi (T)
3. %&' . ) * + , & - %&' ) * + Sedang (S)
4. %&' . ( ) * + , & - %&' . ) * + Rendah (R)
5. & , %&' . ( ) * + Sangat Rendah (SR)
Setelah dilakukan pengelompokan, kemudian dihitung frekuensi
self-efficacy siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol baik secara total
maupun masing-masing dimensinya, dilakukan uji statistik non parametrik yaitu
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai
berikut.
1. Kemampuan representasi matematis kelompok siswa yang memperoleh
pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) lebih baik dari kelompok
siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
2. Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa kelompok atas,
kelompok tengah dan kelompok bawah pada kelompok siswa yang
memperoleh pembelajaran Model-Eliciting Activities berada pada kategori
sedang dan peningkatan kemampuan representasi matematis antara siswa
kelompok atas, kelompok tengah dan kelompok bawah berbeda secara
signifikan.
3. Ditinjau dari interaksi antara faktor pembelajaran dan kategori kemampuan
siswa terhadap peningkatan kemampuan representasi matematisnya,
disimpulkan bahwa terdapat interaksi antara faktor pembelajaran dengan
kategori kemampuan siswa terhadap peningkatan kemampuan representasi
matematisnya.
4. Self-efficacy kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional
pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) baik secara total maupun
pada setiap dimensinya.
5. Self-efficacy siswa kelompok atas, kelompok tengah, dan kelompok bawah
yang memperoleh pembelajaran konvensional lebih tinggi daripada
self-efficacy siswa kelompok atas, kelompok tengah, dan kelompok bawah yang
memperoleh pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs).
5.2 Saran
Beberapa saran atau rekomendasi yang dapat dikemukakan antara lain:
1. Pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) dapat dijadikan salah satu
alternatif pembelajaran di kelas karena pembelajaran MEAs dapat
menghadirkan tugas yang menantang bagi siswa. Hanya saja perlu
diperhatikan bahwa tidak mudah untuk membuat permasalahan MEAs
dalam tiap topik matematika.
2. Pembelajaran MEAs memakan waktu yang lebih lama dari pembelajaran
konvensional. Jadi disarankan, pembelajaran MEAs diterapkan pada
topik-topik matematika yang esensial, sehingga siswa dapat menerapkan
pengetahuan dan prosedur matematis yang telah mereka pelajari.
3. Permasalahan MEAs sebaiknya dibuat lebih sederhana dan cakupan materi
yang lebih sempit agar dapat lebih mudah dipahami oleh siswa.
4. Melihat hasil tes kemampuan representasi matematis, guru sebaiknya
membiasakan siswa dengan soal-soal kemampuan representasi matematis
154
5. Bagi peneliti berikutnya agar menelaah kelemahan pembelajaran ini dan
juga agar menelaah pembelajaran ini untuk dilihat pengaruhnya pada
kemapuan matematis lainnya seperti kemampuan memecahkan masalah
matematis, kemampuan komunikasi, serta kemampuan berpikir kritis dan
kreatif.
6. Penelitian ini dilakukan pada salah satu