ii Universitas Kristen Maranatha
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai dimensi-dimensi self-disclosure pada siswa-siswi boarding school di SMP “X” Bandung. Responden dalam penelitian ini adalah siswa-siswi yang mengikuti boarding school di SMP “X” Bandung yang berada pada tahap perkembangan remaja awal.
Untuk mengukur dimensi-dimensi self-disclosure digunakan alat ukur yang dibuat oleh Wheeless & Grotz (1976) yang dimodifikasi oleh peneliti. Alat ukur tersebut terdiri dari 33 item. Alat ukur ini memiliki validitas yang berkisar antara 0.364-0.738 dan nilai reliabilitas berkisar antara 0.599%-0.788%. Pengolahan data menggunakan distribusi frekuensi program SPSS 20.0 for Windows.
Berdasarkan pengolahan data secara statistic,siswa-siswi boarding school memiliki derajat yang tinggi pada seluruh dimensi self-disclosure. Dimensi dengan derajat tertinggi yaitu pada dimensi honesty-accuracy yaitu sebesar 97.5%. Sementara pada positive-negative valence sebesar 96.3% memiliki valensi positive, pada dimensi depth dengan derajat tinggi sebesar 96.3%, pada dimensi amount memiliki derajat tinggi sebesar 93.8% dan dimensi intentionally memiliki derajat tinggi sebesar 95%.
iii Universitas Kristen Maranatha
ABSTRACT
The research was conducted to determine of the dimensions of self-disclosure in boarding school students in junior high school "X" Bandung. Respondents in this study are students who attend Boarding School in Junior High School "X" Bandung which is at the stage of early adolescence development.
To measure the dimensions of self-disclosure is used a measuring tool made by Wheeless & Grotz (1976) as modified by the researcher. The measuring instrument consists of 33 items. This instrument has a validity ranging from 0.364 to 0.738 and the reliability value ranges from 0.599% to 0.788%. Processing data using the frequency distribution of SPSS 20.0 for Windows.
Based on the statistical data processing, boarding school students have a high degree in all dimensions of self-disclosure. Dimensions with the highest degree of honesty that is the dimension-accuracy that is equal to 97.5%. While on the positive valence negative dimensions of 96.3% has a positive valence, the dimension of depth with a high level of 96.3%, the dimensions of the number have a high level of 93.8% and deliberately dimension has a high rate of 95%.
vi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR BAGAN ...x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ...1
1.2Identifikasi Masalah ...8
1.3Maksud dan Tujuan Penelitian...9
1.3.1 Maksud Penelitian ...9
1.3.2 Tujuan Penelitian ...9
1.4Kegunaan Penelitian ...9
1.4.1 Kegunaan Teoritis ...9
1.4.2 Kegunaan Praktis ...9
1.5Kerangka Pikir ...10
1.6Asumsi Penelitian ...17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Self-Disclosure ...18
vii Universitas Kristen Maranatha
2.1.2 Dimensi Self-Diclosure ...18
2.1.3 Alasan Melakukan Self-Disclosure ...20
2.1.4 Manfaat Self-Disclosure...21
2.1.5 Tahapan Self-Diclosure ...22
2.1.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-Disclosure ...24
2.1.7 Dampak Self-Diclosure ...25
2.2Remaja ...25
2.2.1 Batasan Masa Remaja ...25
2.2.2 Karakteristik Masa Remaja ...26
2.2.3 Tahap Perkembangan Psikososial ...27
2.2.4 Identitas dan Keintiman ...28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1Rancangan dan Prosedur Penelitian ...30
3.2Bagan Rancangan Penelitian...30
3.3Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ...31
3.3.1 Variabel Penelitian ...31
3.3.2 Definisi Operasional ...31
3.4Alat Ukur ...32
3.4.1 Alat Ukur Self-Disclosure ...32
3.4.2 Cara Skoring Kuesioner Self-Disclosure ...35
3.4.3 Data Pribadi dan Data Penunjang ...36
viii Universitas Kristen Maranatha
3.4.4.1Validitas Alat Ukur ...37
3.4.4.2Reliabilitas Alat Ukur ...38
3.5Populasi ...38
3.5.1 Populasi Sasaran ...38
3.5.2 Karakteristik Populasi ...39
3.6Teknik Analisis Data...39
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1Gambaran Populasi Penelitian ...40
4.1.1 Gambaran Populasi Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ...40
4.1.2 Gambaran Populasi Penelitian Berdasarkan Usia ...41
4.2Hasil Penelitian ...41
4.2.1 Gambaran Dimensi-Dimensi Self Disclosure ...41
4.3Pembahasan...44
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1Simpulan ...50
5.2Saran ...50
5.2.1 Saran Teoritis ...51
5.2.2 Saran Praktis ...51
DAFTAR PUSTAKA ...52
ix Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur ...33
Tabel 3.2 Bobot Nilai Kuesioner ...35
Tabel 3.3 Kriteria Skor Dimensi-Dimensi Self Disclosure ...36
Tabel 4.1 Gambaran Responden Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ...40
Tabel 4.2 Gambaran Populasi Penelitian Berdasarkan Usia ...41
x Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Kerangka Pikir ...16
xi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN I KISI-KISI ALAT UKUR
Lampiran 1. Kisi – kisi Alat Ukur Self Disclosure
LAMPIRAN II LEMBAR PERSETUJUAN, KATA PENGANTAR & KUESIONER
Lampiran 2.1 Lembar Persetujuan Responden
Lampiran 2.2 Kata Pengantar Kuesioner
Lampiran 2.3 Kuesioner
LAMPIRAN III VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR
Lampiran 3.1 Validitas
Lampiran 3.2 Reliabilitas
LAMPIRAN IV DATA HASIL KUESIONER
Lampiran 4. Hasil Kuesioner Responden
LAMPIRAN V HASIL PENGOLAHAN DATA
Lampiran 5.1 Hasil Perhitungan Derajat Dimensi – Dimensi Self Disclosure
Lampiran 5.2 Hasil Krostabulasi Antara Jenis Kelamin dengan Dimensi-Dimensi Self Disclosure
Lampiran 5.3 Hasil Krostabulasi Skor Personality (Ekstrovert / Introvert) dengan Dimensi-Dimensi Self Disclosure
Lampiran 5.4 Hasil Krostabulasi Antara Usia dengan Dimensi-Dimensi
1 Universitas Kristen Maranatha BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Di zaman era globalisasi ini banyak pengaruh negatif yang ditemukan pada remaja,
dimulai dari pergaulan bebas hingga tawuran antar pelajar. Untuk mengatasi pengaruh negatif
bagi remaja diperlukan adanya sistem pendidikan yang memiliki fokus utamanya pada
pembentukan karakter peserta didik melalui pembiasaan dalam menjalankan rutinitas
sehari-hari. Salah satu strategi yang potensial untuk meminimalkan pengaruh negatif dari
lingkungan, adalah melalui pendidikan, yaitu mengadakan program asrama yang menjamin
siswa memiliki interaksi positif. Oleh karena itu dunia pendidikan melakukan inovasi dan
kreasi. Salah satu alternatif pendidikan yang ditawarkan untuk menghasilkan SDM yang
berkualitas adalah sekolah berasrama (Boarding School) (Barnes dan Farrell, 1992; Chilcoat
dan Anthony, 1996; Dishion dan McMahon, 1998).
Boarding school merupakan penyelenggaraan sekolah bermutu untuk meningkatkan
kualitas anak didik, karena selama 24 jam anak didik berada di bawah pengawasan para guru
pembimbing (Maknun, 2006). Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga
siang di sekolah kemudian dilanjutkan dengan pendidikan asrama seperti pendidikan agama
atau pendidikan nilai-nilai khusus lainnya. Pembinaan mental siswa secara khusus
dilaksanakan dengan memantau ucapan, perilaku dan sikap siswa, menciptakan nilai-nilai
kebersamaan dalam komunitas siswa, membangun komitmen para siswa dan guru-gurunya
2
Universitas Kristen Maranatha penanaman nilai-nilai kejujuran, toleransi, tanggungjawab, kepatuhan dan kemandirian
(Maksudin, 2006).
SMP “X” merupakan salah satu boarding school yang berada di kota Bandung. SMP “X”
memiliki tujuan menciptakan generasi yang berakhlak dan berprestasi. Untuk dapat
mewujudkan generasi yang berahlak dan berprestasi SMP “X” memiliki nilai - nilai yang
ditanamkan kepada siswa – siswi nya yaitu kemandirian, kejujuran, kedisiplinan, kemampuan
untuk mengeluarkan pendapat, serta tanggung jawab. Untuk menciptakan kemandirian, bagi
siswa – siswi kelas 1 diwajibkan untuk tinggal di asrama selama 1 bulan, setelah itu diizinkan
pulang 2 minggu sekali. Selain berpisah dari orang tua siswa – siswi diwajibkan untuk
mengerjakan pekerjaan rumah seperti membersihkan kamar sendiri, menyiapkan
perlengkapan sekolah sendiri, serta merapikan barang – barang pribadi sendiri.
Segala aktivitas dari mulai sekolah, tempat bermain, belajar, hingga tempat untuk tidur
menjadi bagian terbesar pada sekolah berasrama. Kehidupan asrama menuntut siswa untuk
mengikuti penjadwalan terhadap rutinitas sehari-hari, salah satunya siswa memiliki jadwal
kapan mereka harus bangun atau tidur, jadwal untuk makan, dan kapan siswa harus
berpartisipasi dalam kegiatan rekreasi. Selain itu siswa-siswi harus dapat mengatur
bagaimana, kapan , dan di mana mereka dapat menyelesaikan pekerjaan rumah mereka,
standar untuk menjaga fasilitas yang mereka gunakan agar tetap rapi dan bersih, serta batasan
mengenai waktu untuk mengakses telepon dan komputer (Cookson, 2009; Cree, 2000; BR
Lee & Barth, 2009; Williams, 2011).
Permasalahan yang sering dialami oleh siswa – siswi boarding school di SMP “X”
Bandung berkaitan dengan peraturan sekolah. Peraturan yang diterapkan SMP “X” adalah
3
Universitas Kristen Maranatha Peraturan seperti ini membuat siswa merasa tidak nyaman, namun siswa-siswi seringkali
tidak berani menyampaikan pendapatnya mengenai kebutuhan penggunaan smartphone dan
laptop meskipun mereka diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya.
Dengan situasi dan interaksi yang dikondisikan pada sekolah berasrama dapat
menggambarkan pengalaman asrama bagi siswa setiap hari. Lingkungan asrama memberikan
pengaruh yang berbeda dalam proses sosialisasi dari siswa. Bronfenbrenner (1970) dalam
penelitiannya mengemukakan bahwa anak-anak ''kolektif'' (yaitu, pengelompokan dalam
sekolah asrama) memainkan peran utama dalam proses sosialisasi. Dalam lingkungan sekolah
berasrama, peran kelompok ini adalah penting tidak seperti siswa pada sekolah non-asrama,
pengaruhnya melampaui lingkungan kelas yang khas yang dapat masuk kedalam semua
aspek kehidupan anak. Hasil penelitiannya menemukan bahwa anak-anak yang dibesarkan
terutama dengan aturan sosialisasi tunggal lebih mungkin untuk menyesuaikan diri dengan
tekanan sosial di lingkungan mereka.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada 15 orang siswa – siswi boarding school
di SMP “X” mengenai permasalahan yang dialami saat awal masuk sekolah diantaranya
sebanyak 10 siswa (67%) merasa sedih harus berpisah dengan orang tuanya dalam jangka
waktu yang lama dan mereka kesulitan untuk membangun hubungan yang dekat dengan
teman asrama karena takut tidak disukai. Akibatnya siswa menjadi bingung harus bercerita
kepada siapa dan membuat siswa memendam masalah mereka sendiri. Hal tersebut membuat
siswa sulit untuk mengungkapkan dan membagi hal-hal yang mereka rasakan kepada teman –
teman asrama.
Sifat dari program sekolah berasrama memastikan bahwa siswa akan menghabiskan lebih
4
Universitas Kristen Maranatha terstruktur. Diharapkan dengan lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sekolah
akan membantu siswa dalam menciptakan keberhasilan interaksi diantara sesama siswa. Oleh
karena itu program sekolah berasrama bisa mengintensifkan "pengaruh teman" yang
merupakan hasil selama mengikuti program sekolah berasrama.
Namun bagi siswa – siswi boarding school di SMP “X” Bandung mereka seringkali
mengalami perselisihan antara teman sekamar atau teman yang berkunjung ke kamar mereka.
Permasalahan terkait dengan pola kebiasaan yang dimiliki masing-masing siswa, seperti
ketika satu orang membersihkan kamar, tetapi teman yang lainnya justru membuat kamar
menjadi berantakan, atau ketika ada teman yang berkunjung ke kamar dan menggunakan
barang – barang pribadi milik siswa yang lain membuat siswa merasa tidak nyaman, namun
takut untuk menegur temannya sehingga terjadi perselisihan antar teman di asrama. Untuk
dapat menyelesaikan masalah yang dialami oleh siswa – siswi diperlukan adanya kemampuan
untuk mengeluarkan pendapat, seperti ketika terjadinya konflik dengan teman sekamar
ataupun dengan teman yang berkunjung ke kamar, siswa – siswi diharapkan mampu untuk
menyelesaikan konflik mereka dengan menyampaikan secara langsung hal – hal yang
memicu timbulnya perselisihan. Namun kenyataannya tidak semua siswa – siswi mampu
untuk berbicara secara langsung menyampaikan hal – hal yang memicu munculnya konflik
diantara mereka. Hal ini disebabkan oleh kurangnya keterbukaan diri siswa – siswi untuk
menyampaikan hal – hal yang mereka rasakan kepada orang lain.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada 15 orang siswa – siswi boarding school
di SMP “X” sebanyak 5 siswa (33%) mengatakan mereka tidak suka dengan kebiasaaan
teman-teman yang ada di lingkungan asrama yang tidak sesuai dengan kebiasaan mereka,
tetapi mereka tidak berani untuk menyampaikan secara langsung kepada teman mereka
5
Universitas Kristen Maranatha Salah satu tujuan dari sekolah berasrama adalah agar siswa-siswi dapat memiliki
interaksi yang positif dengan lingkungannya, termasuk dengan teman-teman asrama. Untuk
dapat menentukan keberhasilan siswa – siswi dalam berinteraksi dan membangun hubungan
interpersonal dengan teman-teman di asrama adalah self disclosure. Menurut Wheeless &
Grotz (1976) self-disclosure (pengungkapan diri) adalah pesan apapun tentang diri yang
dikomunikasikan kepada orang lain. Akibatnya setiap pesan mungkin memiliki potensi yang
bervariasi dalam tingkat pengungkapan diri tergantung pada persepsi dan pesan yang
disampaikan. Menurut Lumsden (1996) self-disclosure dapat membantu seseorang
berkomunikasi dengan orang lain, meningkatkan kepercayaan diri serta hubungan menjadi
lebih akrab. Selain itu, self-disclosure dapat melepaskan perasaan bersalah dan cemas
(Calhoun dan Acocella, 1990).
Self disclosure yang dimiliki oleh remaja, akan membantu siswa dalam mencapai
penyesuaian diri. Apabila siswa – siswi tidak memiliki kemampuan self disclosure, maka dia
akan mengalami kesulitan berkomunikasi dengan orang lain. Misalnya ketika siswa
merasakan kondisi mood yang tidak baik dan tidak mampu untuk menceritakan kepada teman
– temannya, sering terjadi kesalahpahaman karena sikap mereka yang menjadi kurang
bersahabat. Kemudian ketika siswa tidak mampu untuk mengemukakan keluhannya
mengenai peraturan yang berkaitan dengan penggunaan smartphone karena merasa takut jika
dianggap menentang peraturan, guru menganggap bahwa peraturan dapat diterima oleh siswa
dan tidak menjadi masalah bagi siswa, padahal menurut siswa hal tersebut merupakan
masalah bagi mereka. Hal – hal tersebut menunjukkan adanya komunikasi yang kurang
efektif yang disebabkan oleh kurang adanya keterbukaan diri (self disclosure). Kurang
6
Universitas Kristen Maranatha pendapat, tidak mampu mengemukakan ide atau gagasan yang ada pada dirinya, merasa
was-was atau takut jika hendak mengemukakan sesuatu (Johnson, 1990).
Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada 15 orang siswa – siswi boarding school
di SMP “X” Bandung, sebanyak 7 siswa (47%) mengatakan mereka tidak ingin bercerita
kepada siapapun mengenai masalah mereka karena merasa takut tidak ditanggapi oleh orang
lain dan khawatir masalah mereka akan diketahui oleh banyak orang. Sisanya sebanyak 5
siswa (33%) mengatakan mereka lebih banyak bercerita mengenai masalah yang mereka
hadapi kepada teman – teman di asrama, dan 3 siswa (20%) mengatakan mereka hanya
bercerita kepada orang tua dan wali asuh di asrama mengenai masalah yang mereka hadapi.
Self disclosure dapat dilihat berdasarkan gambaran perilaku dari lima dimensi nya yaitu
dimensi pertama positive-negative valence. Pada dimensi positive – negative valence
pengungkapan diri yang positif termasuk pernyataan mengenai dirinya yang dapat
dikategorikan sebagai pujian sedangkan pengungkapan diri yang negatif merupakan kritikan
tentang dirinya sendiri. Berdasarkan wawancara kepada 15 orang siswa – siswi boarding
school di SMP “X”, sebanyak 10 siswa (67%) mengatakan bahwa mereka dapat dengan
mudah mengungkapkan pengalaman keberhasilan mereka di masa lalu seperti ranking yang
pernah di dapatkan, serta prestasi – prestasi yang pernah mereka raih. Kemudian sebanyak 5
siswa (33%) mengatakan bahwa mereka terkadang dapat dengan mudah menceritakan kepada
teman-teman asrama mengenai hal-hal yang menjadi kritikan orang lain mengenai diri
mereka, seperti kritikan orang lain tentang kebiasaan siswa – siswi yang tidak disukai,
mereka akan menceritakan hal-hal itu kepada teman – teman asrama.
Kemudian dimensi yang kedua adalah depth, yaitu pengungkapan informasi mengenai
diri secara mendalam yang berisi keunikan dan penyebab seseorang menjadi rentan atau
7
Universitas Kristen Maranatha dilakukan kepada 15 siswa – siswi boarding school di SMP “X” sebanyak 11 siswa (73%)
merasa kesulitan untuk mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah pribadi dan
masalah keluarga, serta mereka hanya menceritakan kegiatan sehari-hari kepada teman-teman
asrama, atau hanya menceritakan mengenai hobi mereka kepada teman-teman yang memiliki
hobi yang sama. Sedangkan sebanyak 4 siswa (27%) mengatakan mereka dapat menceritakan
mengenai masalah pribadi dan mengungkapkan perasaan mereka mengenai pacar atau
mengenai orang yang sedang mereka sukai.
Selanjutnya yang ketiga adalah amount, yaitu Self-disclosure dapat dilihat dalam jumlah
total informasi yang diberikan. Dari wawancara yang dilakukan kepada 15 siswa – siswi
boarding school di SMP “X” sebanyak 10 siswa (67%) mengatakan bahwa mereka jarang
untuk menceritakan perihal diri mereka kepada teman – teman asrama karena merasa kurang
nyaman dan takut bila orang lain banyak mengetahui tentang diri mereka, mereka hanya
menceritakan sedikit mengenai diri mereka kepada teman – teman asrama. Sedangkan
sebanyak 5 siswa (33%) mengatakan bahwa mereka setiap hari menceritakan hal-hal yang
mereka alami kepada teman – teman asrama, mereka dapat menceritakan mengenai diri
mereka kepada siapapun dan mengenai hal apapun yang ingin mereka ungkapkan.
Kemudian yang selanjutnya adalah intentionally, yaitu pada saat memberikan informasi,
apakah seseorang sadar akan informasi yang disampaikan kepada orang lain atau sedang
bercampur dengan emosi atau hal lainnya, sehingga membuat dirinya tidak sadar dengan apa
yang disampaikan kepada orang lain. Dari 15 orang siswa – siswi boarding school di SMP
“X”, 9 siswa (60%) mengatakan bahwa ketika mereka mengungkapkan hal – hal mengenai
diri mereka kepada teman – teman di asrama, mereka menyadari informasi apa yang telah
mereka ungkapkan, sehingga mereka dapat memilih hal – hal mengenai diri mereka yang
8
Universitas Kristen Maranatha mengatakan bahwa mereka terkadang tidak menyadari hal – hal yang telah mereka ceritakan
kepada teman – teman asrama, karena terbawa oleh perasaan mereka saat mereka bercerita
dan tidak dapat memilih informasi yang akan mereka ceritakan mengenai diri mereka kepada
teman – teman asrama.
Dan yang terkahir adalah dimensi honesty – accuracy, yaitu pengungkapan diri dapat
dilihat dari kejujuran seseorang pada saat memberikan pesan atau informasi kepada orang
lain. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada 15 orang siswa – siswi boarding school
di SMP “X” sebanyak 11 siswa (73%) mengatakan mereka menceritakan pengalaman
menyenangkan yang benar-benar mereka alami kepada teman-teman, kemudian sebanyak 4
siswa (27%) mengatakan mereka terkadang menutupi pengalaman memalukan yang mereka
alami karena menilai hal tersebut sebagai aib.
Bedasarkan survey yang dilakukan kepada 15 orang siswa – siswi boarding school di
SMP “X”, terlihat beberapa gambaran mengenai dimensi-dimensi self-disclosure dalam
interaksinya di lingkungan asrama. Maka dari itu Peneliti tertarik untuk mengetahui lebih
jauh mengenai gambaran dari dimensi-dimensi self-disclosure yang dilakukan siswa – siswi
boarding school di SMP “X”.
1.2Identifikasi Masalah
Bagaimana siswa – siswi boarding school di SMP “X” Kota Bandung dapat melakukan
9
Universitas Kristen Maranatha 1.3Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Dari penelitian ingin mengetahui bagaimana gambaran dimensi – dimensi self-disclosure
pada siswa – siswi boarding school di SMP “X” Kota Bandung.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Mengetahui derajat dimensi self-disclosure yang terdiri dari positive-negative valence,
depth, amount, intentionall, dan honesty-accuracy pada siswa dan siswi yang mengikuti
boarding school di SMP “X” Kota Bandung.
1.4Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Ilmiah
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan lebih lanjut bagi para peneliti lain agar
dapat memberi manfaat yang berkaitan dengan masalah sosial yang muncul pada
pengungkapan diri yang dilakukan oleh siswa siswi yang mengikuti boarding school.
1.4.2 Kegunaan Praktis
1) Sebagai informasi kepada para siswa dan siswi mengenai pentingnya melakukan
pengungkapan diri sebagai salah satu cara membangun relasi yang baik dengan
sesama teman di asrama.
2) Sebagai masukan bagi sekolah untuk menyelenggarakan seminar mengenai
pentingnya self disclosure.
3) Sabagai bahan pertimbangan bagi sekolah untuk mengadakan training yang berkaitan
10
Universitas Kristen Maranatha 1.5Kerangka Pikir
Masa remaja merupakan periode transisi dalam hal biologis, psikologis, sosial, dan
ekonomi. Tahap perkembangan pada remaja dibagi menjadi tiga tahap; yaitu early
adolescence (10-13 tahun), middle adolescence (14-18 tahun), dan late adolescence (19-22
tahun) (Steinberg, 2002). Remaja pada tingkat Sekolah Menengah Pertama berada dalam
tahap perkembangan early adolescence. Erikson (dalam papalia, 2008) mengatakan bahwa
tugas utama masa remaja adalah memecahkan “krisis” identitas versus kebingungan identitas.
Untuk membentuk identitas remaja harus memastikan dan mengorganisir kemampuan,
kebutuhan, ketertarikan dan hasrat mereka sehingga dapat diekspresikan dalam konteks sosial
yaitu dengan melakukan pengungkapan diri (Erikson, dalam Papalia 2008). Oleh karena itu
setiap siswa – sisiwi yang mengikuti boarding school di SMP “X” Kota Bandung diharapkan
mampu menemukan identitas dirinya dengan pengungkapan diri.
Para siswa – siswi yang mengikuti boarding school di SMP “X” Kota Bandung sedang
mengalami masa penyesuaian yang signifikan terhadap perubahan fisiologis, kognitif,
psikologis, dan sosial yang membedakan perilaku masa kanak-kanak dari perilaku orang
dewasa. Perubahan sosial dimulai dari intensitas dan nilai penting pertemanan bagi
siswa-siswi. Siswa – siswi mulai lebih menyandarkan dukungan dan intimasi kepada teman
daripada orang tua, dan mereka berbagi rahasia lebih banyak dari yang dilakukan anak yang
lebih muda. Penekanan pada intimasi, loyalitas dan berbagi menandai transisi ke pertemanan
orang dewasa (Bern & Perry, 1990; Buhrmester, 1990; Hartup & Stevens, 1999; Lauren,
1996, dalam Papalia, 2008). Intimasi dengan teman sejenis akan meningkat pada remaja awal
sampai pada remaja madya dan menurun ketika keintiman dengan lawan jenis meningkat
(Laursen, 1996. Dalam Papalia, 2008). Peningkatan intimasi pertemanan remaja
11
Universitas Kristen Maranatha mengekspresikan pemikiran dan perasaan pribadi mereka. Pertemanan memberikan tempat
untuk mengemukakan pendapat, pengakuan kelemahan dan mendapatkan bantuan dari
masalah (Buhrmester, 1990).
Kapasitas intimasi terkait kepada penyesuaian psikososial dan kompetensi sosial. Berbagi
rahasia dan dukungan emosional tampaknya lebih vital pada pertemanan remaja perempuan
daripada pertemanan remaja laki-laki. Pertemanan anak laki-laki lebih fokus kepada aktivitas
bersama daripada percakapan, biasanya olahraga dan permainan kompetitif (Blyth &
Foster-Clark, 1987; Bruhrmester, 1996; Bukowski & Kramer, 1986). Remaja perempuan akan
merasa lebih nyaman ketika telah menceritakan pengalaman mengecewakannya kepada
temannya, sedangkan remaja laki-laki mungkin mengekspresikan dukungan dengan
menghabiskan waktu bersama untuk melakukan sesuatu (Denton & Zarbatany, 1996).
Siswa-siswi boarding school memiliki waktu yang lebih banyak untuk dihabiskan
bersama teman-teman. Hal ini memungkinkan siswa-siswi untuk memiliki keintiman dalam
pertemanan. Hal ini perlu dilakukan agar terjadi keselarasan antara pribadi remaja dengan
lingkungan asrama, sehingga remaja bisa dengan nyaman tinggal di lingkungan asrama. Agar
remaja mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial di asrama, maka remaja
membutuhkan keterampilan sosial.
Self disclosure merupakan salah satu aspek keterampilan sosial yang penting bagi siswa
dan siswi boarding school di SMP “X” untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
asrama serta menunjang keberhasilan siswa – siswi dalam bergaul dengan lingkungan
asrama. Self disclosure menurut Wheeless & Grotz (1976) adalah pesan apapun tentang diri
12
Universitas Kristen Maranatha yang bervariasi dalam tingkat pengungkapan diri tergantung pada persepsi dan pesan yang
disampaikan.
Berdasarkan definisi yang telah diungkapkan, penelitian yang dilakukan Wheeless &
Grotz (1976) telah menemukan lima dimensi self disclosure atau yang biasa disebut
pengungkapan diri, yaitu positive – negative valence, depth, amount, intentionally and
honesty – accuracy. Dimensi yang pertama ialah positive – negative valence, yaitu
pengungkapan diri yang positive dari siswa – siswi boarding school di SMP “X” termasuk
dengan mengungkapkan pernyataan mengenai dirinya yang berisi kelebihan dan hal-hal yang
menjadi kekuatannya. Sementara pengungkapan diri yang negative berisi informasi mengenai
kelemahan mengenai dirinya sendiri yang mereka ungkapkan kepada teman maupun guru di
asrama. Contohnya siswa – siswi boarding school di SMP “X” dapat mengungkapkan bahwa
dirinya dapat menjaga fokus saat mengerjakan sesuatu atau mengungkapkan bahwa mereka
adalah orang yang membosankan. Pengungkapan diri yang negatif yang dilakukan oleh siswa
– siswi boarding school di SMP “X” dapat memberikan masalah bagi orang lain yang
melihatnya jika hal tersebut dilakukan secara ekstrim. Pengungkapan informasi yang positif
atau negatif yang dilakukan siswa – siswi boarding school di SMP “X” kepada teman –
teman dan guru di asrama, terkait dengan tingkat keintiman atau ketidakintiman informasi
yang diungkapkan.
Kemudian dimensi yang kedua yaitu depth, merujuk pada pengungkapan diri yang
dilakukan apakah dalam atau dangkal. Informasi yang diberikan siswa – siswi boarding
school di SMP “X” mengenai aspek dari dalam diri di mana berisi keunikan dan hal-hal yang
menjadi penyebab dirinya menjadi rentan atau lemah, termasuk hal-hal yang bersifat pribadi
yang tidak banyak orang lain mengetahuinya, pengungkapan diri ini dianggap dalam.
13
Universitas Kristen Maranatha dangkal dan tidak intim. Contohnya siswa – siswi boarding school di SMP “X”
mengungkapkan ketertarikannya pada lawan jenis, ketidaksukaan terhadap seseorang, atau
suatu rahasia dari pengalaman masa lalunya yang tidak banyak diketahui orang lain, hal
tersebut termasuk dalam pengungkapan diri yang dalam. Sedangkan pengungkapan diri yang
dangkal yaitu siswa – siswi boarding school di SMP “X” mengungkapkan informasi umum
berupa hobi, kegiatan sehari hari yang dilakukan, serta pengalaman yang tidak memiliki
resiko ketika orang lain mengetahuinya.
Selanjutnya dimensi yang ketiga adalah amount, yaitu dilihat dalam jumlah total
informasi yang diberikan oleh siswa – siswi boarding school di SMP “X”. Setiap siswa siswi
tidak mengungkapkan jumlah informasi yang sama tentang diri mereka. Ada beberapa siswa -
siswi yang relatif tidak mengungkapkan tentang dirinya, namun ada juga siswa - siswi yang
mengungkapkan segala hal mengenai pengalamannya, situasinya saat ini, dan tujuan masa
depannya. Ketika siswa - siswi boarding school di SMP “X” melakukan pengungkapan diri
dengan banyak informasi yang diberikan maka orang yang diberikan informasi pun akan
secara bebas dapat melakukan pengungkapan diri juga. Namun, ketika siswa – siswi boarding
school di SMP “X” kurang terbuka dalam mengungkapkan diri maka orang yang mendapat
informasi harus berhati-hati untuk melakukan pengungkapan diri. Contohnya siswa – siswi
boarding school di SMP “X” dapat dikatakan melakukan pengungkapan diri dengan
memberikan informasi dalam jumlah yang tinggi apabila mereka setiap hari selalu
menceritakan peristiwa, perasaan dan pikiran apapun yang mereka alami. Sedangkan jika
siswa – siswi boarding school di SMP “X” melakukan pengungkapan dengan jarang
menceritakan mengenai pikiran dan perasaan mereka serta hal-hal yang dialami kepada
teman-teman di asrama, maka siswa – siswi melakukuan pengungkapan diri dalam jumlah
14
Universitas Kristen Maranatha Dimensi yang keempat adalah intentionally, yaitu kesadaran pada saat memberikan
informasi atau pesan tentang dirinya kepada orang lain. Siswa – siswi boarding school di
SMP “X” yang sadar akan informasi yang disampaikan kepada orang lain, akan dapat
mengontrol informasi mengenai dirinya yang akan diungkapkan. Namun disisi lain siswa –
siswi boarding school di SMP “X” yang sedang bercampur dengan emosi atau hal lainnya,
membuat dirinya tidak sadar dengan apa yang disampaikan kepada orang lain. Contohnya
ketika sedang kesal dengan seseorang, mereka menceritakan kekesalannya itu kepada
siapapun orang yang ditemuinya, tanpa menyadari tujuan dari pengungkapan diri yang
mereka lakukan, sehingga mereka tidak menyadari maksud dari pengungkapan diri yang
dilakukan. Sedangkan jika siswa – siswi boarding school di SMP “X” mengetahui maksud
dari pengungkapan dirinya, maka mereka akan menyadari bahwa perasaan kesal yang mereka
ungkapkan memiliki tujuan dan mereka tidak akan menyesali telah mengungkapkan perasaan
kesal yang mereka alami.
Dan dimensi yang terakhir adalah honesty - accuracy, yaitu pengungkapan diri dapat
dilihat dari kejujuran siswa – siswi boarding school di SMP “X” pada saat memberikan
informasi yang mereka ceritakan kepada teman – teman maupun guru di asrama. Selain itu,
dilihat juga dari ketepatan yaitu informasi yang disampaikan oleh siswa – siswi boarding
school di SMP “X” benar-benar terjadi atau sesuai dengan apa yang terjadi atau yang
dirasakan oleh siswa – siswi tersebut. Contohnya, saat siswa – siswi boarding school di SMP
“X” menceritakan peristiwa, perasaan dan pikiran mereka pada saat liburan. Hal yang mereka
ceritakan benar-benar terjadi pada diri mereka bukan dari pengalaman orang lain. Sedangkan
jika siswa – siswi boarding school di SMP “X” tidak jujur dalam mengungkapkan informasi,
15
Universitas Kristen Maranatha tidak dapat menentukan saat yang tepat untuk mengungkapkan pengalaman mereka kepada
orang lain.
Pada self disclosure, pengaruh jenis kelamin bermula dari perbedaan perlakuan orang tua
terhadap anak yang disebabkan karena perbedaan jenis kelaminnya. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Berry, dkk (1999) bahwa perbedaan kategori biologis antara laki-laki dan
perempuan juga menghasilkan praktik kultural yang berupa pola pengasuhan anak, peran,
stereotip gender, dan ideologi peran seks yang mengarah pada tindakan pemisahan antara
laki-laki dan perempuan. Selain itu perbedaan antara laki-laki dan perempuan juga terdapat
pada cara berkomunikasi antara keduanya, (Tanen dalam Santrock, 2012) bahwa laki-laki dan
perempuan memiliki tipe pembicaraan yang berbeda. Laki-laki lebih memilih terlibat dalam
pembicaraan yang report talk (percakapan yang disusun untuk memberikan informasi),
memiliki kemampuan dalam berbicara seperti menyampaikan cerita atau lelucon. Perempuan
lebih menyukai rapport talk (cara menjalin hubungan dan bernegosiasi), dan menyenangi
percakapan pribadi, perempuan juga sering merasa terganggu karena laki-laki kurang tertarik
dengan rapport talk. Selain itu perempuan lebih suka mengungkapkan diri mengenai
kelemahannya atau dengan kata lain hal yang negatif mengenai dirinya (Hacker, dalam
Derlega, 1987). Selain tipe pembicaraan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan,
perbedaan yang terlihat juga pada karakteristik kepribadian perempuan yang lebih terbuka
(Archer, 1979 dalam Derlega, 1987).
Selain pengaruh jenis kelamin, hal lainnya yang berpengaruh terhadap self disclosure
adalah kepribadian. Derlega (1987) mengatakan bahwa self-disclosure dipengaruhi oleh
kepribadian atau personality seseorang. Individu yang memiliki karakteristik kepribadian
yang terbuka akan lebih mudah melakukan perilaku self-disclosure dibandingkan dengan
16
Universitas Kristen Maranatha yang tinggi memiliki keinginan dan suka jika berada di dekat banyak orang, individu tersebut
juga menampilkan perilaku agar bisa berinteraksi dengan banyak orang. Kebalikannya,
individu dengan tingkat sociable yang rendah tidak memiliki keinginan dan tidak suka berada
di dekat banyak orang, individu tersebut menampilkan perilaku agar tidak berinteraksi
dengan orang banyak. Ciri-ciri komunikasi yang terbuka dan tertutup menurut Derlega
sejalan dengan ciri-ciri extraversion. Ciri-ciri individu dengan extraversion tinggi sejalan
dengan ciri-ciri perilaku komunikasi yang tergolong terbuka, sedangkan ciri-ciri individu
dengan extraversion rendah sejalan dengan ciri-ciri perilaku komunikasi yang tergolong
18
Universitas Kristen Maranatha Bagan 1.1 Kerangka Pikir
1.6Asumsi Penelitian
Berdasarkan kerangka pikir diatas, maka terdapat asumsi sebagai berikut :
1. Siswa siswi membutuhkan self-disclosure untuk bisa berinteraksi dan berkomunikasi
yang mendukung keberhasilan dalam bergaul dengan lingkungan asrama.
2. Dalam menyampaikan informasi mengenai diri siswa-siswi, perilaku self-disclosure
dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu positive – negative valence, depth, amount,
intentionally dan honesty – accuracy.
3. Perilaku Self-disclosure dipengaruhi oleh jenis kelamin. Siswa laki-laki dan siswi
perempuan cenderung melakukan perilaku self-disclosure yang berbeda. Secara rinci
pada dimensi positive – negative valence siswa laki-laki lebih positif dalam
melakukan pengungkapan diri dibandingkan siswi perempuan. Pada dimensi
intentionally, siswa laki-laki lebih sadar dibandingkan siswi perempuan dalam
mengungkapkan diri. Pada dimensi depth, siswa laki-laki lebih dangkal dibandingkan
siswi perempuan dalam mengungkapkan diri. Pada dimensi amount siswa laki-laki
lebih jarang mengungkapkan diri dibandingkan siswi perempuan. Pada dimensi
honesty – accuraccy, siswi perempuan lebih jujur dan akurat mengenai informasi
yang disampaikan dibandingkan siswa laki-laki.
4. Perbedaan perilaku self-disclosure bisa dipengaruhi oleh kepribadian. Siswa – siswi
yang memiliki extroversion tinggi akan cenderung lebih terbuka. Siswa – siswi yang
50 Universitas Kristen Maranatha BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan melalui pengolahan data mengenai
dimensi-dimensi self disclosure pada siswa-siswi boarding school di SMP “X” Bandung, maka
peneliti dapat memperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Peneliti menemukan bahwa mayoritas responden yaitu siswa-siswi boarding school di
SMP “X” Bandung memiliki derajat yang tinggi dalam melakukan self disclosure pada
setiap dimensi-dimensi self disclosure.
2. Peneliti menemukan derajat tertinggi dimiliki oleh dimensi honesty-accuracy yang
menggambarkan siswa-siswi boarding school di SMP “X” Bandung jujur dan tepat
dalam mengungkapkan informasi mengenai dirinya kepada teman-teman asrama.
3. Peneliti menemukan kecenderungan keterkaitan antara personality yang cenderung
ekstrovert atau introvert pada dimensi-dimensi self disclosure kecuali dimensi
honesty-accuracy.
5.2Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan melalui pengolahan data mengenai
dimensi-dimensi self disclosure pada siswa-siswi boarding school di SMP “X” Bandung, maka
51
Universitas Kristen Maranatha 5.2.1 Saran Teoritis
1. Bagi peneliti selanjutnya dapat menambahkan spesifikasi mengenai objek penelitian
yang dilakukan oleh siswa-siswi boarding school saat mengungkapkan diri, misalnya
kepada teman-teman pada umumnya.
2. Bagi peneliti selanjutnya dapat meneliti lebih lanjut mengenai kaitan antara
personality yang ekstrovert atau introvert khususnya pada dimensi honesty-accuracy.
3. Bagi peneliti selanjutnya dapat menambahkan data penunjang pada kuesioner yang
terkait dengan pertimbangan dalam melakukan self disclosure.
5.2.2 Saran Praktis
1) Kepada siswa-siswi boarding school di SMP “X” Bandung diharapkan mampu untuk
mempertahankan pengungkapan diri yang dilakukan kepada teman-teman asrama serta
dapat melakukan pengungkapan diri kepada guru dan orang tua.
2) Kepada para guru dapat mendorong siswa-siswi yang memiliki kepribadian yang
cenderung introvert untuk dapat lebih terbuka mengenai dirinya, dimulai kepada
STUDI DESKRIPTIF MENGENAI DIMENSI
–
DIMENSI
SELF-DISCLOSURE PADA SISWA
–
SISWI
BOARDING SCHOOL
DI SMP “X” BANDUNG
SKRIPSI
Diajukan untuk menempuh sidang sarjana pada Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Maranatha Bandung
Oleh:
HERA DESTYAN SARI
NRP: 1230155
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
BANDUNG
iv
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan penyertaan-Nya sehingga
tugas mata kuliah Skripsi yang berjudul “Studi Deskriptif Mengenai Dimensi – dimensi
Self-Disclosure Pada Siswa – Siswi Boarding School di SMP “X” Kota Bandung” telah selesai.
Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna, akan
tetapi dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas, peneliti mencoba untuk menyusun
tugas ini sebaik mungkin.
Dalam melakukan penyusunan tugas ini, peneliti menerima bantuan, bimbingan, serta
dorongan dari berbagai pihak. Peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah memberikan bantuan dan dukungan selama pengerjaan tugas ini. Ucapan terima kasih
peneliti sampaikan kepada :
1. Dr. Irene P. Edwina, M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Kristen Maranatha.
2. Ka Yan, M.Psi., Psikolog dan Stephanie D. Lesmana, S.Psi selaku dosen
pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan
memberikan arahan kepada peneliti agar tugas ini dapat terselesaikan.
3. Ibu N.I, selaku guru SMP boarding school “X” Bandung yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk memberikan informasi dan mengizinkan peneliti
melakukan wawancara dan pengambilan data kepada siswa siswi SMP boarding
v
4. Kedua orang tua peneliti yang selalu mendukung dan memberikan semangat kepada
peneliti.
5. Jonathan Andreanus dan Elsa Anggraini yang telah memberikan informasi mengenai
variable penelitian kepada peneliti.
6. Celine, Lilliant, Sheila, Marini, dan seluruh teman-teman mahasiswa Fakultas
Psikologi Universitas Kristen Maranatha angkatan 2012 yang telah memberikan
bantuan, saran dan motivasi kepada peneliti.
Akhir kata peneliti berharap tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan
pihak-pihak yang membutuhkan.
Bandung, April 2017
52 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA
Adams, D.W. (1995). Education for Extinction: American Indians and the Boarding School
Experience. Lawrence, KS: University Press of Kansas.
Brannon, Linda. (2008). Gender: Psychological Perspective, 5th ed. Boston: Pearson Education, Inc.
Barnes, G., and M. Farrell (1992). Parental Support and Control as Predictors of Adolescent
Drinking, Delinquency, and Related Problem Behaviors. Journal of Marriage and the
Family, 54(4), 763–776.
Cohen, L., Manion, L., Morisson, K. (2007). Research Methods in Education (6thed). New York: Routledge.
Cookson, P., and C. Persell. (1985). English and American Residential Secondary Schools: A
Comparative Study of the Reproduction of Social Elites. Comparative Education
Review, 29 (3), 283–298.
Culbert, S.A. (1968). The interpersonal proses of self disclosure: it takes two to see one. New York: Renaisance Editons.
Darlega, Valeria J., & John H. Berg. (1987). Self-Disclosure: Theory, Research, and Therapy. New York: Plenum Press.
DeVito, Josep A. (1997). Komunikasi Antar MAnusia: Edisi Kelima. Jakarta: Professional Books.
Dorst, Ellen A. (2011). Validity and Reliability in Social Science Research. Education
Research and Perspective Vol. 38, No. 1. California State University, Los Angels.
Fisher, S., N. Frazer, and K. Murray (1986). Homesickness and Health in Boarding School
Children. Journal of Environmental Psychology, 6(1), 35–47.
Gaiman, Maryam B. (2009). Keterbukaan diri (self-disclosure) siswa dalam perspektif budaya dan implikasinya bagi konseling. Jurnal ilmiah widya warta Vol. 33 No. 1.
Pearson, Judy C. (1982). International Communication. United States of America: Foresman and Company.
Steinberg, Laurence. (1993). Adolescence, Third Edition. New York: McGraw-Hill, Inc.
Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Administrasi. Bandung: CV. Alfabeta.
52
Universitas Kristen Maranatha Wheeles, L. R., Nesser, K., & McCroskey, James C. (1986). The Relationship of Self
53 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN
Andreanus, Jonathan. (2016). Perbandingan dimensi self-disclosure pada pasangan
mahasiswa dan mahasiswi yang berpacaran. Bandung. Skripsi. Universitas Kristen
Maranatha.
Curto, Vilsa E., &, Roland G. Fryer Jr. (2014). The Potential of Urban Boarding Schools for
the Poor: Evidence from SEED.
(http://www.journals.uchicago.edu/doi/full/10.1086/671798)
Iradhati, Wurinanda. (2016). Menag Dukung Pendidikan Berbasis Boarding School. (http://news.okezone.com/read/2016/04.04.65/1353740/menag-dukung-pendidikan-berbasis-boarding-school. Diakses 10 April 2016)
Parmer, Paula. (2016). Quaker Indian Boarding Schools.
(https://www.friendsjournal.org/quaker-indian-boarding-schools/)
Permana, Ridho. (2016). Pendidikan Madrasah Masih Hadapi Ragam Problematika.