• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Dimensi-dimensi Self-Disclosure pada Siswa-siswi Boarding School di SMP "X" Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Dimensi-dimensi Self-Disclosure pada Siswa-siswi Boarding School di SMP "X" Bandung."

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

ii Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai dimensi-dimensi self-disclosure pada siswa-siswi boarding school di SMP “X” Bandung. Responden dalam penelitian ini adalah siswa-siswi yang mengikuti boarding school di SMP “X” Bandung yang berada pada tahap perkembangan remaja awal.

Untuk mengukur dimensi-dimensi self-disclosure digunakan alat ukur yang dibuat oleh Wheeless & Grotz (1976) yang dimodifikasi oleh peneliti. Alat ukur tersebut terdiri dari 33 item. Alat ukur ini memiliki validitas yang berkisar antara 0.364-0.738 dan nilai reliabilitas berkisar antara 0.599%-0.788%. Pengolahan data menggunakan distribusi frekuensi program SPSS 20.0 for Windows.

Berdasarkan pengolahan data secara statistic,siswa-siswi boarding school memiliki derajat yang tinggi pada seluruh dimensi self-disclosure. Dimensi dengan derajat tertinggi yaitu pada dimensi honesty-accuracy yaitu sebesar 97.5%. Sementara pada positive-negative valence sebesar 96.3% memiliki valensi positive, pada dimensi depth dengan derajat tinggi sebesar 96.3%, pada dimensi amount memiliki derajat tinggi sebesar 93.8% dan dimensi intentionally memiliki derajat tinggi sebesar 95%.

(2)

iii Universitas Kristen Maranatha

ABSTRACT

The research was conducted to determine of the dimensions of self-disclosure in boarding school students in junior high school "X" Bandung. Respondents in this study are students who attend Boarding School in Junior High School "X" Bandung which is at the stage of early adolescence development.

To measure the dimensions of self-disclosure is used a measuring tool made by Wheeless & Grotz (1976) as modified by the researcher. The measuring instrument consists of 33 items. This instrument has a validity ranging from 0.364 to 0.738 and the reliability value ranges from 0.599% to 0.788%. Processing data using the frequency distribution of SPSS 20.0 for Windows.

Based on the statistical data processing, boarding school students have a high degree in all dimensions of self-disclosure. Dimensions with the highest degree of honesty that is the dimension-accuracy that is equal to 97.5%. While on the positive valence negative dimensions of 96.3% has a positive valence, the dimension of depth with a high level of 96.3%, the dimensions of the number have a high level of 93.8% and deliberately dimension has a high rate of 95%.

(3)

vi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR BAGAN ...x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ...1

1.2Identifikasi Masalah ...8

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian...9

1.3.1 Maksud Penelitian ...9

1.3.2 Tujuan Penelitian ...9

1.4Kegunaan Penelitian ...9

1.4.1 Kegunaan Teoritis ...9

1.4.2 Kegunaan Praktis ...9

1.5Kerangka Pikir ...10

1.6Asumsi Penelitian ...17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Self-Disclosure ...18

(4)

vii Universitas Kristen Maranatha

2.1.2 Dimensi Self-Diclosure ...18

2.1.3 Alasan Melakukan Self-Disclosure ...20

2.1.4 Manfaat Self-Disclosure...21

2.1.5 Tahapan Self-Diclosure ...22

2.1.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-Disclosure ...24

2.1.7 Dampak Self-Diclosure ...25

2.2Remaja ...25

2.2.1 Batasan Masa Remaja ...25

2.2.2 Karakteristik Masa Remaja ...26

2.2.3 Tahap Perkembangan Psikososial ...27

2.2.4 Identitas dan Keintiman ...28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1Rancangan dan Prosedur Penelitian ...30

3.2Bagan Rancangan Penelitian...30

3.3Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ...31

3.3.1 Variabel Penelitian ...31

3.3.2 Definisi Operasional ...31

3.4Alat Ukur ...32

3.4.1 Alat Ukur Self-Disclosure ...32

3.4.2 Cara Skoring Kuesioner Self-Disclosure ...35

3.4.3 Data Pribadi dan Data Penunjang ...36

(5)

viii Universitas Kristen Maranatha

3.4.4.1Validitas Alat Ukur ...37

3.4.4.2Reliabilitas Alat Ukur ...38

3.5Populasi ...38

3.5.1 Populasi Sasaran ...38

3.5.2 Karakteristik Populasi ...39

3.6Teknik Analisis Data...39

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1Gambaran Populasi Penelitian ...40

4.1.1 Gambaran Populasi Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ...40

4.1.2 Gambaran Populasi Penelitian Berdasarkan Usia ...41

4.2Hasil Penelitian ...41

4.2.1 Gambaran Dimensi-Dimensi Self Disclosure ...41

4.3Pembahasan...44

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1Simpulan ...50

5.2Saran ...50

5.2.1 Saran Teoritis ...51

5.2.2 Saran Praktis ...51

DAFTAR PUSTAKA ...52

(6)

ix Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur ...33

Tabel 3.2 Bobot Nilai Kuesioner ...35

Tabel 3.3 Kriteria Skor Dimensi-Dimensi Self Disclosure ...36

Tabel 4.1 Gambaran Responden Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ...40

Tabel 4.2 Gambaran Populasi Penelitian Berdasarkan Usia ...41

(7)

x Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pikir ...16

(8)

xi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN I KISI-KISI ALAT UKUR

Lampiran 1. Kisi – kisi Alat Ukur Self Disclosure

LAMPIRAN II LEMBAR PERSETUJUAN, KATA PENGANTAR & KUESIONER

Lampiran 2.1 Lembar Persetujuan Responden

Lampiran 2.2 Kata Pengantar Kuesioner

Lampiran 2.3 Kuesioner

LAMPIRAN III VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR

Lampiran 3.1 Validitas

Lampiran 3.2 Reliabilitas

LAMPIRAN IV DATA HASIL KUESIONER

Lampiran 4. Hasil Kuesioner Responden

LAMPIRAN V HASIL PENGOLAHAN DATA

Lampiran 5.1 Hasil Perhitungan Derajat Dimensi – Dimensi Self Disclosure

Lampiran 5.2 Hasil Krostabulasi Antara Jenis Kelamin dengan Dimensi-Dimensi Self Disclosure

Lampiran 5.3 Hasil Krostabulasi Skor Personality (Ekstrovert / Introvert) dengan Dimensi-Dimensi Self Disclosure

Lampiran 5.4 Hasil Krostabulasi Antara Usia dengan Dimensi-Dimensi

(9)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Di zaman era globalisasi ini banyak pengaruh negatif yang ditemukan pada remaja,

dimulai dari pergaulan bebas hingga tawuran antar pelajar. Untuk mengatasi pengaruh negatif

bagi remaja diperlukan adanya sistem pendidikan yang memiliki fokus utamanya pada

pembentukan karakter peserta didik melalui pembiasaan dalam menjalankan rutinitas

sehari-hari. Salah satu strategi yang potensial untuk meminimalkan pengaruh negatif dari

lingkungan, adalah melalui pendidikan, yaitu mengadakan program asrama yang menjamin

siswa memiliki interaksi positif. Oleh karena itu dunia pendidikan melakukan inovasi dan

kreasi. Salah satu alternatif pendidikan yang ditawarkan untuk menghasilkan SDM yang

berkualitas adalah sekolah berasrama (Boarding School) (Barnes dan Farrell, 1992; Chilcoat

dan Anthony, 1996; Dishion dan McMahon, 1998).

Boarding school merupakan penyelenggaraan sekolah bermutu untuk meningkatkan

kualitas anak didik, karena selama 24 jam anak didik berada di bawah pengawasan para guru

pembimbing (Maknun, 2006). Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga

siang di sekolah kemudian dilanjutkan dengan pendidikan asrama seperti pendidikan agama

atau pendidikan nilai-nilai khusus lainnya. Pembinaan mental siswa secara khusus

dilaksanakan dengan memantau ucapan, perilaku dan sikap siswa, menciptakan nilai-nilai

kebersamaan dalam komunitas siswa, membangun komitmen para siswa dan guru-gurunya

(10)

2

Universitas Kristen Maranatha penanaman nilai-nilai kejujuran, toleransi, tanggungjawab, kepatuhan dan kemandirian

(Maksudin, 2006).

SMP “X” merupakan salah satu boarding school yang berada di kota Bandung. SMP “X”

memiliki tujuan menciptakan generasi yang berakhlak dan berprestasi. Untuk dapat

mewujudkan generasi yang berahlak dan berprestasi SMP “X” memiliki nilai - nilai yang

ditanamkan kepada siswa – siswi nya yaitu kemandirian, kejujuran, kedisiplinan, kemampuan

untuk mengeluarkan pendapat, serta tanggung jawab. Untuk menciptakan kemandirian, bagi

siswa – siswi kelas 1 diwajibkan untuk tinggal di asrama selama 1 bulan, setelah itu diizinkan

pulang 2 minggu sekali. Selain berpisah dari orang tua siswa – siswi diwajibkan untuk

mengerjakan pekerjaan rumah seperti membersihkan kamar sendiri, menyiapkan

perlengkapan sekolah sendiri, serta merapikan barang – barang pribadi sendiri.

Segala aktivitas dari mulai sekolah, tempat bermain, belajar, hingga tempat untuk tidur

menjadi bagian terbesar pada sekolah berasrama. Kehidupan asrama menuntut siswa untuk

mengikuti penjadwalan terhadap rutinitas sehari-hari, salah satunya siswa memiliki jadwal

kapan mereka harus bangun atau tidur, jadwal untuk makan, dan kapan siswa harus

berpartisipasi dalam kegiatan rekreasi. Selain itu siswa-siswi harus dapat mengatur

bagaimana, kapan , dan di mana mereka dapat menyelesaikan pekerjaan rumah mereka,

standar untuk menjaga fasilitas yang mereka gunakan agar tetap rapi dan bersih, serta batasan

mengenai waktu untuk mengakses telepon dan komputer (Cookson, 2009; Cree, 2000; BR

Lee & Barth, 2009; Williams, 2011).

Permasalahan yang sering dialami oleh siswa – siswi boarding school di SMP “X”

Bandung berkaitan dengan peraturan sekolah. Peraturan yang diterapkan SMP “X” adalah

(11)

3

Universitas Kristen Maranatha Peraturan seperti ini membuat siswa merasa tidak nyaman, namun siswa-siswi seringkali

tidak berani menyampaikan pendapatnya mengenai kebutuhan penggunaan smartphone dan

laptop meskipun mereka diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya.

Dengan situasi dan interaksi yang dikondisikan pada sekolah berasrama dapat

menggambarkan pengalaman asrama bagi siswa setiap hari. Lingkungan asrama memberikan

pengaruh yang berbeda dalam proses sosialisasi dari siswa. Bronfenbrenner (1970) dalam

penelitiannya mengemukakan bahwa anak-anak ''kolektif'' (yaitu, pengelompokan dalam

sekolah asrama) memainkan peran utama dalam proses sosialisasi. Dalam lingkungan sekolah

berasrama, peran kelompok ini adalah penting tidak seperti siswa pada sekolah non-asrama,

pengaruhnya melampaui lingkungan kelas yang khas yang dapat masuk kedalam semua

aspek kehidupan anak. Hasil penelitiannya menemukan bahwa anak-anak yang dibesarkan

terutama dengan aturan sosialisasi tunggal lebih mungkin untuk menyesuaikan diri dengan

tekanan sosial di lingkungan mereka.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada 15 orang siswa – siswi boarding school

di SMP “X” mengenai permasalahan yang dialami saat awal masuk sekolah diantaranya

sebanyak 10 siswa (67%) merasa sedih harus berpisah dengan orang tuanya dalam jangka

waktu yang lama dan mereka kesulitan untuk membangun hubungan yang dekat dengan

teman asrama karena takut tidak disukai. Akibatnya siswa menjadi bingung harus bercerita

kepada siapa dan membuat siswa memendam masalah mereka sendiri. Hal tersebut membuat

siswa sulit untuk mengungkapkan dan membagi hal-hal yang mereka rasakan kepada teman –

teman asrama.

Sifat dari program sekolah berasrama memastikan bahwa siswa akan menghabiskan lebih

(12)

4

Universitas Kristen Maranatha terstruktur. Diharapkan dengan lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sekolah

akan membantu siswa dalam menciptakan keberhasilan interaksi diantara sesama siswa. Oleh

karena itu program sekolah berasrama bisa mengintensifkan "pengaruh teman" yang

merupakan hasil selama mengikuti program sekolah berasrama.

Namun bagi siswa – siswi boarding school di SMP “X” Bandung mereka seringkali

mengalami perselisihan antara teman sekamar atau teman yang berkunjung ke kamar mereka.

Permasalahan terkait dengan pola kebiasaan yang dimiliki masing-masing siswa, seperti

ketika satu orang membersihkan kamar, tetapi teman yang lainnya justru membuat kamar

menjadi berantakan, atau ketika ada teman yang berkunjung ke kamar dan menggunakan

barang – barang pribadi milik siswa yang lain membuat siswa merasa tidak nyaman, namun

takut untuk menegur temannya sehingga terjadi perselisihan antar teman di asrama. Untuk

dapat menyelesaikan masalah yang dialami oleh siswa – siswi diperlukan adanya kemampuan

untuk mengeluarkan pendapat, seperti ketika terjadinya konflik dengan teman sekamar

ataupun dengan teman yang berkunjung ke kamar, siswa – siswi diharapkan mampu untuk

menyelesaikan konflik mereka dengan menyampaikan secara langsung hal – hal yang

memicu timbulnya perselisihan. Namun kenyataannya tidak semua siswa – siswi mampu

untuk berbicara secara langsung menyampaikan hal – hal yang memicu munculnya konflik

diantara mereka. Hal ini disebabkan oleh kurangnya keterbukaan diri siswa – siswi untuk

menyampaikan hal – hal yang mereka rasakan kepada orang lain.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada 15 orang siswa – siswi boarding school

di SMP “X” sebanyak 5 siswa (33%) mengatakan mereka tidak suka dengan kebiasaaan

teman-teman yang ada di lingkungan asrama yang tidak sesuai dengan kebiasaan mereka,

tetapi mereka tidak berani untuk menyampaikan secara langsung kepada teman mereka

(13)

5

Universitas Kristen Maranatha Salah satu tujuan dari sekolah berasrama adalah agar siswa-siswi dapat memiliki

interaksi yang positif dengan lingkungannya, termasuk dengan teman-teman asrama. Untuk

dapat menentukan keberhasilan siswa – siswi dalam berinteraksi dan membangun hubungan

interpersonal dengan teman-teman di asrama adalah self disclosure. Menurut Wheeless &

Grotz (1976) self-disclosure (pengungkapan diri) adalah pesan apapun tentang diri yang

dikomunikasikan kepada orang lain. Akibatnya setiap pesan mungkin memiliki potensi yang

bervariasi dalam tingkat pengungkapan diri tergantung pada persepsi dan pesan yang

disampaikan. Menurut Lumsden (1996) self-disclosure dapat membantu seseorang

berkomunikasi dengan orang lain, meningkatkan kepercayaan diri serta hubungan menjadi

lebih akrab. Selain itu, self-disclosure dapat melepaskan perasaan bersalah dan cemas

(Calhoun dan Acocella, 1990).

Self disclosure yang dimiliki oleh remaja, akan membantu siswa dalam mencapai

penyesuaian diri. Apabila siswa – siswi tidak memiliki kemampuan self disclosure, maka dia

akan mengalami kesulitan berkomunikasi dengan orang lain. Misalnya ketika siswa

merasakan kondisi mood yang tidak baik dan tidak mampu untuk menceritakan kepada teman

– temannya, sering terjadi kesalahpahaman karena sikap mereka yang menjadi kurang

bersahabat. Kemudian ketika siswa tidak mampu untuk mengemukakan keluhannya

mengenai peraturan yang berkaitan dengan penggunaan smartphone karena merasa takut jika

dianggap menentang peraturan, guru menganggap bahwa peraturan dapat diterima oleh siswa

dan tidak menjadi masalah bagi siswa, padahal menurut siswa hal tersebut merupakan

masalah bagi mereka. Hal – hal tersebut menunjukkan adanya komunikasi yang kurang

efektif yang disebabkan oleh kurang adanya keterbukaan diri (self disclosure). Kurang

(14)

6

Universitas Kristen Maranatha pendapat, tidak mampu mengemukakan ide atau gagasan yang ada pada dirinya, merasa

was-was atau takut jika hendak mengemukakan sesuatu (Johnson, 1990).

Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada 15 orang siswa – siswi boarding school

di SMP “X” Bandung, sebanyak 7 siswa (47%) mengatakan mereka tidak ingin bercerita

kepada siapapun mengenai masalah mereka karena merasa takut tidak ditanggapi oleh orang

lain dan khawatir masalah mereka akan diketahui oleh banyak orang. Sisanya sebanyak 5

siswa (33%) mengatakan mereka lebih banyak bercerita mengenai masalah yang mereka

hadapi kepada teman – teman di asrama, dan 3 siswa (20%) mengatakan mereka hanya

bercerita kepada orang tua dan wali asuh di asrama mengenai masalah yang mereka hadapi.

Self disclosure dapat dilihat berdasarkan gambaran perilaku dari lima dimensi nya yaitu

dimensi pertama positive-negative valence. Pada dimensi positive – negative valence

pengungkapan diri yang positif termasuk pernyataan mengenai dirinya yang dapat

dikategorikan sebagai pujian sedangkan pengungkapan diri yang negatif merupakan kritikan

tentang dirinya sendiri. Berdasarkan wawancara kepada 15 orang siswa – siswi boarding

school di SMP “X”, sebanyak 10 siswa (67%) mengatakan bahwa mereka dapat dengan

mudah mengungkapkan pengalaman keberhasilan mereka di masa lalu seperti ranking yang

pernah di dapatkan, serta prestasi – prestasi yang pernah mereka raih. Kemudian sebanyak 5

siswa (33%) mengatakan bahwa mereka terkadang dapat dengan mudah menceritakan kepada

teman-teman asrama mengenai hal-hal yang menjadi kritikan orang lain mengenai diri

mereka, seperti kritikan orang lain tentang kebiasaan siswa – siswi yang tidak disukai,

mereka akan menceritakan hal-hal itu kepada teman – teman asrama.

Kemudian dimensi yang kedua adalah depth, yaitu pengungkapan informasi mengenai

diri secara mendalam yang berisi keunikan dan penyebab seseorang menjadi rentan atau

(15)

7

Universitas Kristen Maranatha dilakukan kepada 15 siswa – siswi boarding school di SMP “X” sebanyak 11 siswa (73%)

merasa kesulitan untuk mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah pribadi dan

masalah keluarga, serta mereka hanya menceritakan kegiatan sehari-hari kepada teman-teman

asrama, atau hanya menceritakan mengenai hobi mereka kepada teman-teman yang memiliki

hobi yang sama. Sedangkan sebanyak 4 siswa (27%) mengatakan mereka dapat menceritakan

mengenai masalah pribadi dan mengungkapkan perasaan mereka mengenai pacar atau

mengenai orang yang sedang mereka sukai.

Selanjutnya yang ketiga adalah amount, yaitu Self-disclosure dapat dilihat dalam jumlah

total informasi yang diberikan. Dari wawancara yang dilakukan kepada 15 siswa – siswi

boarding school di SMP “X” sebanyak 10 siswa (67%) mengatakan bahwa mereka jarang

untuk menceritakan perihal diri mereka kepada teman – teman asrama karena merasa kurang

nyaman dan takut bila orang lain banyak mengetahui tentang diri mereka, mereka hanya

menceritakan sedikit mengenai diri mereka kepada teman – teman asrama. Sedangkan

sebanyak 5 siswa (33%) mengatakan bahwa mereka setiap hari menceritakan hal-hal yang

mereka alami kepada teman – teman asrama, mereka dapat menceritakan mengenai diri

mereka kepada siapapun dan mengenai hal apapun yang ingin mereka ungkapkan.

Kemudian yang selanjutnya adalah intentionally, yaitu pada saat memberikan informasi,

apakah seseorang sadar akan informasi yang disampaikan kepada orang lain atau sedang

bercampur dengan emosi atau hal lainnya, sehingga membuat dirinya tidak sadar dengan apa

yang disampaikan kepada orang lain. Dari 15 orang siswa – siswi boarding school di SMP

“X”, 9 siswa (60%) mengatakan bahwa ketika mereka mengungkapkan hal – hal mengenai

diri mereka kepada teman – teman di asrama, mereka menyadari informasi apa yang telah

mereka ungkapkan, sehingga mereka dapat memilih hal – hal mengenai diri mereka yang

(16)

8

Universitas Kristen Maranatha mengatakan bahwa mereka terkadang tidak menyadari hal – hal yang telah mereka ceritakan

kepada teman – teman asrama, karena terbawa oleh perasaan mereka saat mereka bercerita

dan tidak dapat memilih informasi yang akan mereka ceritakan mengenai diri mereka kepada

teman – teman asrama.

Dan yang terkahir adalah dimensi honesty – accuracy, yaitu pengungkapan diri dapat

dilihat dari kejujuran seseorang pada saat memberikan pesan atau informasi kepada orang

lain. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada 15 orang siswa – siswi boarding school

di SMP “X” sebanyak 11 siswa (73%) mengatakan mereka menceritakan pengalaman

menyenangkan yang benar-benar mereka alami kepada teman-teman, kemudian sebanyak 4

siswa (27%) mengatakan mereka terkadang menutupi pengalaman memalukan yang mereka

alami karena menilai hal tersebut sebagai aib.

Bedasarkan survey yang dilakukan kepada 15 orang siswa – siswi boarding school di

SMP “X”, terlihat beberapa gambaran mengenai dimensi-dimensi self-disclosure dalam

interaksinya di lingkungan asrama. Maka dari itu Peneliti tertarik untuk mengetahui lebih

jauh mengenai gambaran dari dimensi-dimensi self-disclosure yang dilakukan siswa – siswi

boarding school di SMP “X”.

1.2Identifikasi Masalah

Bagaimana siswa – siswi boarding school di SMP “X” Kota Bandung dapat melakukan

(17)

9

Universitas Kristen Maranatha 1.3Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Dari penelitian ingin mengetahui bagaimana gambaran dimensi – dimensi self-disclosure

pada siswa – siswi boarding school di SMP “X” Kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Mengetahui derajat dimensi self-disclosure yang terdiri dari positive-negative valence,

depth, amount, intentionall, dan honesty-accuracy pada siswa dan siswi yang mengikuti

boarding school di SMP “X” Kota Bandung.

1.4Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Ilmiah

Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan lebih lanjut bagi para peneliti lain agar

dapat memberi manfaat yang berkaitan dengan masalah sosial yang muncul pada

pengungkapan diri yang dilakukan oleh siswa siswi yang mengikuti boarding school.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1) Sebagai informasi kepada para siswa dan siswi mengenai pentingnya melakukan

pengungkapan diri sebagai salah satu cara membangun relasi yang baik dengan

sesama teman di asrama.

2) Sebagai masukan bagi sekolah untuk menyelenggarakan seminar mengenai

pentingnya self disclosure.

3) Sabagai bahan pertimbangan bagi sekolah untuk mengadakan training yang berkaitan

(18)

10

Universitas Kristen Maranatha 1.5Kerangka Pikir

Masa remaja merupakan periode transisi dalam hal biologis, psikologis, sosial, dan

ekonomi. Tahap perkembangan pada remaja dibagi menjadi tiga tahap; yaitu early

adolescence (10-13 tahun), middle adolescence (14-18 tahun), dan late adolescence (19-22

tahun) (Steinberg, 2002). Remaja pada tingkat Sekolah Menengah Pertama berada dalam

tahap perkembangan early adolescence. Erikson (dalam papalia, 2008) mengatakan bahwa

tugas utama masa remaja adalah memecahkan “krisis” identitas versus kebingungan identitas.

Untuk membentuk identitas remaja harus memastikan dan mengorganisir kemampuan,

kebutuhan, ketertarikan dan hasrat mereka sehingga dapat diekspresikan dalam konteks sosial

yaitu dengan melakukan pengungkapan diri (Erikson, dalam Papalia 2008). Oleh karena itu

setiap siswa – sisiwi yang mengikuti boarding school di SMP “X” Kota Bandung diharapkan

mampu menemukan identitas dirinya dengan pengungkapan diri.

Para siswa – siswi yang mengikuti boarding school di SMP “X” Kota Bandung sedang

mengalami masa penyesuaian yang signifikan terhadap perubahan fisiologis, kognitif,

psikologis, dan sosial yang membedakan perilaku masa kanak-kanak dari perilaku orang

dewasa. Perubahan sosial dimulai dari intensitas dan nilai penting pertemanan bagi

siswa-siswi. Siswa – siswi mulai lebih menyandarkan dukungan dan intimasi kepada teman

daripada orang tua, dan mereka berbagi rahasia lebih banyak dari yang dilakukan anak yang

lebih muda. Penekanan pada intimasi, loyalitas dan berbagi menandai transisi ke pertemanan

orang dewasa (Bern & Perry, 1990; Buhrmester, 1990; Hartup & Stevens, 1999; Lauren,

1996, dalam Papalia, 2008). Intimasi dengan teman sejenis akan meningkat pada remaja awal

sampai pada remaja madya dan menurun ketika keintiman dengan lawan jenis meningkat

(Laursen, 1996. Dalam Papalia, 2008). Peningkatan intimasi pertemanan remaja

(19)

11

Universitas Kristen Maranatha mengekspresikan pemikiran dan perasaan pribadi mereka. Pertemanan memberikan tempat

untuk mengemukakan pendapat, pengakuan kelemahan dan mendapatkan bantuan dari

masalah (Buhrmester, 1990).

Kapasitas intimasi terkait kepada penyesuaian psikososial dan kompetensi sosial. Berbagi

rahasia dan dukungan emosional tampaknya lebih vital pada pertemanan remaja perempuan

daripada pertemanan remaja laki-laki. Pertemanan anak laki-laki lebih fokus kepada aktivitas

bersama daripada percakapan, biasanya olahraga dan permainan kompetitif (Blyth &

Foster-Clark, 1987; Bruhrmester, 1996; Bukowski & Kramer, 1986). Remaja perempuan akan

merasa lebih nyaman ketika telah menceritakan pengalaman mengecewakannya kepada

temannya, sedangkan remaja laki-laki mungkin mengekspresikan dukungan dengan

menghabiskan waktu bersama untuk melakukan sesuatu (Denton & Zarbatany, 1996).

Siswa-siswi boarding school memiliki waktu yang lebih banyak untuk dihabiskan

bersama teman-teman. Hal ini memungkinkan siswa-siswi untuk memiliki keintiman dalam

pertemanan. Hal ini perlu dilakukan agar terjadi keselarasan antara pribadi remaja dengan

lingkungan asrama, sehingga remaja bisa dengan nyaman tinggal di lingkungan asrama. Agar

remaja mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial di asrama, maka remaja

membutuhkan keterampilan sosial.

Self disclosure merupakan salah satu aspek keterampilan sosial yang penting bagi siswa

dan siswi boarding school di SMP “X” untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan

asrama serta menunjang keberhasilan siswa – siswi dalam bergaul dengan lingkungan

asrama. Self disclosure menurut Wheeless & Grotz (1976) adalah pesan apapun tentang diri

(20)

12

Universitas Kristen Maranatha yang bervariasi dalam tingkat pengungkapan diri tergantung pada persepsi dan pesan yang

disampaikan.

Berdasarkan definisi yang telah diungkapkan, penelitian yang dilakukan Wheeless &

Grotz (1976) telah menemukan lima dimensi self disclosure atau yang biasa disebut

pengungkapan diri, yaitu positive – negative valence, depth, amount, intentionally and

honesty – accuracy. Dimensi yang pertama ialah positive – negative valence, yaitu

pengungkapan diri yang positive dari siswa – siswi boarding school di SMP “X” termasuk

dengan mengungkapkan pernyataan mengenai dirinya yang berisi kelebihan dan hal-hal yang

menjadi kekuatannya. Sementara pengungkapan diri yang negative berisi informasi mengenai

kelemahan mengenai dirinya sendiri yang mereka ungkapkan kepada teman maupun guru di

asrama. Contohnya siswa – siswi boarding school di SMP “X” dapat mengungkapkan bahwa

dirinya dapat menjaga fokus saat mengerjakan sesuatu atau mengungkapkan bahwa mereka

adalah orang yang membosankan. Pengungkapan diri yang negatif yang dilakukan oleh siswa

– siswi boarding school di SMP “X” dapat memberikan masalah bagi orang lain yang

melihatnya jika hal tersebut dilakukan secara ekstrim. Pengungkapan informasi yang positif

atau negatif yang dilakukan siswa – siswi boarding school di SMP “X” kepada teman –

teman dan guru di asrama, terkait dengan tingkat keintiman atau ketidakintiman informasi

yang diungkapkan.

Kemudian dimensi yang kedua yaitu depth, merujuk pada pengungkapan diri yang

dilakukan apakah dalam atau dangkal. Informasi yang diberikan siswa – siswi boarding

school di SMP “X” mengenai aspek dari dalam diri di mana berisi keunikan dan hal-hal yang

menjadi penyebab dirinya menjadi rentan atau lemah, termasuk hal-hal yang bersifat pribadi

yang tidak banyak orang lain mengetahuinya, pengungkapan diri ini dianggap dalam.

(21)

13

Universitas Kristen Maranatha dangkal dan tidak intim. Contohnya siswa – siswi boarding school di SMP “X”

mengungkapkan ketertarikannya pada lawan jenis, ketidaksukaan terhadap seseorang, atau

suatu rahasia dari pengalaman masa lalunya yang tidak banyak diketahui orang lain, hal

tersebut termasuk dalam pengungkapan diri yang dalam. Sedangkan pengungkapan diri yang

dangkal yaitu siswa – siswi boarding school di SMP “X” mengungkapkan informasi umum

berupa hobi, kegiatan sehari hari yang dilakukan, serta pengalaman yang tidak memiliki

resiko ketika orang lain mengetahuinya.

Selanjutnya dimensi yang ketiga adalah amount, yaitu dilihat dalam jumlah total

informasi yang diberikan oleh siswa – siswi boarding school di SMP “X”. Setiap siswa siswi

tidak mengungkapkan jumlah informasi yang sama tentang diri mereka. Ada beberapa siswa -

siswi yang relatif tidak mengungkapkan tentang dirinya, namun ada juga siswa - siswi yang

mengungkapkan segala hal mengenai pengalamannya, situasinya saat ini, dan tujuan masa

depannya. Ketika siswa - siswi boarding school di SMP “X” melakukan pengungkapan diri

dengan banyak informasi yang diberikan maka orang yang diberikan informasi pun akan

secara bebas dapat melakukan pengungkapan diri juga. Namun, ketika siswa – siswi boarding

school di SMP “X” kurang terbuka dalam mengungkapkan diri maka orang yang mendapat

informasi harus berhati-hati untuk melakukan pengungkapan diri. Contohnya siswa – siswi

boarding school di SMP “X” dapat dikatakan melakukan pengungkapan diri dengan

memberikan informasi dalam jumlah yang tinggi apabila mereka setiap hari selalu

menceritakan peristiwa, perasaan dan pikiran apapun yang mereka alami. Sedangkan jika

siswa – siswi boarding school di SMP “X” melakukan pengungkapan dengan jarang

menceritakan mengenai pikiran dan perasaan mereka serta hal-hal yang dialami kepada

teman-teman di asrama, maka siswa – siswi melakukuan pengungkapan diri dalam jumlah

(22)

14

Universitas Kristen Maranatha Dimensi yang keempat adalah intentionally, yaitu kesadaran pada saat memberikan

informasi atau pesan tentang dirinya kepada orang lain. Siswa – siswi boarding school di

SMP “X” yang sadar akan informasi yang disampaikan kepada orang lain, akan dapat

mengontrol informasi mengenai dirinya yang akan diungkapkan. Namun disisi lain siswa –

siswi boarding school di SMP “X” yang sedang bercampur dengan emosi atau hal lainnya,

membuat dirinya tidak sadar dengan apa yang disampaikan kepada orang lain. Contohnya

ketika sedang kesal dengan seseorang, mereka menceritakan kekesalannya itu kepada

siapapun orang yang ditemuinya, tanpa menyadari tujuan dari pengungkapan diri yang

mereka lakukan, sehingga mereka tidak menyadari maksud dari pengungkapan diri yang

dilakukan. Sedangkan jika siswa – siswi boarding school di SMP “X” mengetahui maksud

dari pengungkapan dirinya, maka mereka akan menyadari bahwa perasaan kesal yang mereka

ungkapkan memiliki tujuan dan mereka tidak akan menyesali telah mengungkapkan perasaan

kesal yang mereka alami.

Dan dimensi yang terakhir adalah honesty - accuracy, yaitu pengungkapan diri dapat

dilihat dari kejujuran siswa – siswi boarding school di SMP “X” pada saat memberikan

informasi yang mereka ceritakan kepada teman – teman maupun guru di asrama. Selain itu,

dilihat juga dari ketepatan yaitu informasi yang disampaikan oleh siswa – siswi boarding

school di SMP “X” benar-benar terjadi atau sesuai dengan apa yang terjadi atau yang

dirasakan oleh siswa – siswi tersebut. Contohnya, saat siswa – siswi boarding school di SMP

“X” menceritakan peristiwa, perasaan dan pikiran mereka pada saat liburan. Hal yang mereka

ceritakan benar-benar terjadi pada diri mereka bukan dari pengalaman orang lain. Sedangkan

jika siswa – siswi boarding school di SMP “X” tidak jujur dalam mengungkapkan informasi,

(23)

15

Universitas Kristen Maranatha tidak dapat menentukan saat yang tepat untuk mengungkapkan pengalaman mereka kepada

orang lain.

Pada self disclosure, pengaruh jenis kelamin bermula dari perbedaan perlakuan orang tua

terhadap anak yang disebabkan karena perbedaan jenis kelaminnya. Hal tersebut sesuai

dengan pendapat Berry, dkk (1999) bahwa perbedaan kategori biologis antara laki-laki dan

perempuan juga menghasilkan praktik kultural yang berupa pola pengasuhan anak, peran,

stereotip gender, dan ideologi peran seks yang mengarah pada tindakan pemisahan antara

laki-laki dan perempuan. Selain itu perbedaan antara laki-laki dan perempuan juga terdapat

pada cara berkomunikasi antara keduanya, (Tanen dalam Santrock, 2012) bahwa laki-laki dan

perempuan memiliki tipe pembicaraan yang berbeda. Laki-laki lebih memilih terlibat dalam

pembicaraan yang report talk (percakapan yang disusun untuk memberikan informasi),

memiliki kemampuan dalam berbicara seperti menyampaikan cerita atau lelucon. Perempuan

lebih menyukai rapport talk (cara menjalin hubungan dan bernegosiasi), dan menyenangi

percakapan pribadi, perempuan juga sering merasa terganggu karena laki-laki kurang tertarik

dengan rapport talk. Selain itu perempuan lebih suka mengungkapkan diri mengenai

kelemahannya atau dengan kata lain hal yang negatif mengenai dirinya (Hacker, dalam

Derlega, 1987). Selain tipe pembicaraan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan,

perbedaan yang terlihat juga pada karakteristik kepribadian perempuan yang lebih terbuka

(Archer, 1979 dalam Derlega, 1987).

Selain pengaruh jenis kelamin, hal lainnya yang berpengaruh terhadap self disclosure

adalah kepribadian. Derlega (1987) mengatakan bahwa self-disclosure dipengaruhi oleh

kepribadian atau personality seseorang. Individu yang memiliki karakteristik kepribadian

yang terbuka akan lebih mudah melakukan perilaku self-disclosure dibandingkan dengan

(24)

16

Universitas Kristen Maranatha yang tinggi memiliki keinginan dan suka jika berada di dekat banyak orang, individu tersebut

juga menampilkan perilaku agar bisa berinteraksi dengan banyak orang. Kebalikannya,

individu dengan tingkat sociable yang rendah tidak memiliki keinginan dan tidak suka berada

di dekat banyak orang, individu tersebut menampilkan perilaku agar tidak berinteraksi

dengan orang banyak. Ciri-ciri komunikasi yang terbuka dan tertutup menurut Derlega

sejalan dengan ciri-ciri extraversion. Ciri-ciri individu dengan extraversion tinggi sejalan

dengan ciri-ciri perilaku komunikasi yang tergolong terbuka, sedangkan ciri-ciri individu

dengan extraversion rendah sejalan dengan ciri-ciri perilaku komunikasi yang tergolong

(25)
(26)

18

Universitas Kristen Maranatha Bagan 1.1 Kerangka Pikir

1.6Asumsi Penelitian

Berdasarkan kerangka pikir diatas, maka terdapat asumsi sebagai berikut :

1. Siswa siswi membutuhkan self-disclosure untuk bisa berinteraksi dan berkomunikasi

yang mendukung keberhasilan dalam bergaul dengan lingkungan asrama.

2. Dalam menyampaikan informasi mengenai diri siswa-siswi, perilaku self-disclosure

dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu positive – negative valence, depth, amount,

intentionally dan honesty – accuracy.

3. Perilaku Self-disclosure dipengaruhi oleh jenis kelamin. Siswa laki-laki dan siswi

perempuan cenderung melakukan perilaku self-disclosure yang berbeda. Secara rinci

pada dimensi positive – negative valence siswa laki-laki lebih positif dalam

melakukan pengungkapan diri dibandingkan siswi perempuan. Pada dimensi

intentionally, siswa laki-laki lebih sadar dibandingkan siswi perempuan dalam

mengungkapkan diri. Pada dimensi depth, siswa laki-laki lebih dangkal dibandingkan

siswi perempuan dalam mengungkapkan diri. Pada dimensi amount siswa laki-laki

lebih jarang mengungkapkan diri dibandingkan siswi perempuan. Pada dimensi

honesty – accuraccy, siswi perempuan lebih jujur dan akurat mengenai informasi

yang disampaikan dibandingkan siswa laki-laki.

4. Perbedaan perilaku self-disclosure bisa dipengaruhi oleh kepribadian. Siswa – siswi

yang memiliki extroversion tinggi akan cenderung lebih terbuka. Siswa – siswi yang

(27)

50 Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan melalui pengolahan data mengenai

dimensi-dimensi self disclosure pada siswa-siswi boarding school di SMP “X” Bandung, maka

peneliti dapat memperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Peneliti menemukan bahwa mayoritas responden yaitu siswa-siswi boarding school di

SMP “X” Bandung memiliki derajat yang tinggi dalam melakukan self disclosure pada

setiap dimensi-dimensi self disclosure.

2. Peneliti menemukan derajat tertinggi dimiliki oleh dimensi honesty-accuracy yang

menggambarkan siswa-siswi boarding school di SMP “X” Bandung jujur dan tepat

dalam mengungkapkan informasi mengenai dirinya kepada teman-teman asrama.

3. Peneliti menemukan kecenderungan keterkaitan antara personality yang cenderung

ekstrovert atau introvert pada dimensi-dimensi self disclosure kecuali dimensi

honesty-accuracy.

5.2Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan melalui pengolahan data mengenai

dimensi-dimensi self disclosure pada siswa-siswi boarding school di SMP “X” Bandung, maka

(28)

51

Universitas Kristen Maranatha 5.2.1 Saran Teoritis

1. Bagi peneliti selanjutnya dapat menambahkan spesifikasi mengenai objek penelitian

yang dilakukan oleh siswa-siswi boarding school saat mengungkapkan diri, misalnya

kepada teman-teman pada umumnya.

2. Bagi peneliti selanjutnya dapat meneliti lebih lanjut mengenai kaitan antara

personality yang ekstrovert atau introvert khususnya pada dimensi honesty-accuracy.

3. Bagi peneliti selanjutnya dapat menambahkan data penunjang pada kuesioner yang

terkait dengan pertimbangan dalam melakukan self disclosure.

5.2.2 Saran Praktis

1) Kepada siswa-siswi boarding school di SMP “X” Bandung diharapkan mampu untuk

mempertahankan pengungkapan diri yang dilakukan kepada teman-teman asrama serta

dapat melakukan pengungkapan diri kepada guru dan orang tua.

2) Kepada para guru dapat mendorong siswa-siswi yang memiliki kepribadian yang

cenderung introvert untuk dapat lebih terbuka mengenai dirinya, dimulai kepada

(29)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI DIMENSI

DIMENSI

SELF-DISCLOSURE PADA SISWA

SISWI

BOARDING SCHOOL

DI SMP “X” BANDUNG

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh sidang sarjana pada Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha Bandung

Oleh:

HERA DESTYAN SARI

NRP: 1230155

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BANDUNG

(30)

iv

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan penyertaan-Nya sehingga

tugas mata kuliah Skripsi yang berjudul “Studi Deskriptif Mengenai Dimensi – dimensi

Self-Disclosure Pada Siswa Siswi Boarding School di SMP “X” Kota Bandung” telah selesai.

Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna, akan

tetapi dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas, peneliti mencoba untuk menyusun

tugas ini sebaik mungkin.

Dalam melakukan penyusunan tugas ini, peneliti menerima bantuan, bimbingan, serta

dorongan dari berbagai pihak. Peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang

telah memberikan bantuan dan dukungan selama pengerjaan tugas ini. Ucapan terima kasih

peneliti sampaikan kepada :

1. Dr. Irene P. Edwina, M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Kristen Maranatha.

2. Ka Yan, M.Psi., Psikolog dan Stephanie D. Lesmana, S.Psi selaku dosen

pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan

memberikan arahan kepada peneliti agar tugas ini dapat terselesaikan.

3. Ibu N.I, selaku guru SMP boarding school “X” Bandung yang telah bersedia

meluangkan waktunya untuk memberikan informasi dan mengizinkan peneliti

melakukan wawancara dan pengambilan data kepada siswa siswi SMP boarding

(31)

v

4. Kedua orang tua peneliti yang selalu mendukung dan memberikan semangat kepada

peneliti.

5. Jonathan Andreanus dan Elsa Anggraini yang telah memberikan informasi mengenai

variable penelitian kepada peneliti.

6. Celine, Lilliant, Sheila, Marini, dan seluruh teman-teman mahasiswa Fakultas

Psikologi Universitas Kristen Maranatha angkatan 2012 yang telah memberikan

bantuan, saran dan motivasi kepada peneliti.

Akhir kata peneliti berharap tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan

pihak-pihak yang membutuhkan.

Bandung, April 2017

(32)

52 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Adams, D.W. (1995). Education for Extinction: American Indians and the Boarding School

Experience. Lawrence, KS: University Press of Kansas.

Brannon, Linda. (2008). Gender: Psychological Perspective, 5th ed. Boston: Pearson Education, Inc.

Barnes, G., and M. Farrell (1992). Parental Support and Control as Predictors of Adolescent

Drinking, Delinquency, and Related Problem Behaviors. Journal of Marriage and the

Family, 54(4), 763–776.

Cohen, L., Manion, L., Morisson, K. (2007). Research Methods in Education (6thed). New York: Routledge.

Cookson, P., and C. Persell. (1985). English and American Residential Secondary Schools: A

Comparative Study of the Reproduction of Social Elites. Comparative Education

Review, 29 (3), 283–298.

Culbert, S.A. (1968). The interpersonal proses of self disclosure: it takes two to see one. New York: Renaisance Editons.

Darlega, Valeria J., & John H. Berg. (1987). Self-Disclosure: Theory, Research, and Therapy. New York: Plenum Press.

DeVito, Josep A. (1997). Komunikasi Antar MAnusia: Edisi Kelima. Jakarta: Professional Books.

Dorst, Ellen A. (2011). Validity and Reliability in Social Science Research. Education

Research and Perspective Vol. 38, No. 1. California State University, Los Angels.

Fisher, S., N. Frazer, and K. Murray (1986). Homesickness and Health in Boarding School

Children. Journal of Environmental Psychology, 6(1), 3547.

Gaiman, Maryam B. (2009). Keterbukaan diri (self-disclosure) siswa dalam perspektif budaya dan implikasinya bagi konseling. Jurnal ilmiah widya warta Vol. 33 No. 1.

Pearson, Judy C. (1982). International Communication. United States of America: Foresman and Company.

Steinberg, Laurence. (1993). Adolescence, Third Edition. New York: McGraw-Hill, Inc.

Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Administrasi. Bandung: CV. Alfabeta.

(33)

52

Universitas Kristen Maranatha Wheeles, L. R., Nesser, K., & McCroskey, James C. (1986). The Relationship of Self

(34)

53 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Andreanus, Jonathan. (2016). Perbandingan dimensi self-disclosure pada pasangan

mahasiswa dan mahasiswi yang berpacaran. Bandung. Skripsi. Universitas Kristen

Maranatha.

Curto, Vilsa E., &, Roland G. Fryer Jr. (2014). The Potential of Urban Boarding Schools for

the Poor: Evidence from SEED.

(http://www.journals.uchicago.edu/doi/full/10.1086/671798)

Iradhati, Wurinanda. (2016). Menag Dukung Pendidikan Berbasis Boarding School. (http://news.okezone.com/read/2016/04.04.65/1353740/menag-dukung-pendidikan-berbasis-boarding-school. Diakses 10 April 2016)

Parmer, Paula. (2016). Quaker Indian Boarding Schools.

(https://www.friendsjournal.org/quaker-indian-boarding-schools/)

Permana, Ridho. (2016). Pendidikan Madrasah Masih Hadapi Ragam Problematika.

Gambar

Tabel 4.1 Gambaran Responden Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ......................................40

Referensi

Dokumen terkait

yang dihasilkan dari blending FeCl2 dengan ZnO dalam pelarut asetonitril yang. ditujukan untuk reaksi transesterifikasi untuk

o fungsi utama dari LAPD adalah mengontrol kesalahan dan pesan yang mengalir menuju abis Interface. o Protokol RR antara MS dan

nehibililas dan efisiensi lans rngsi rata Letak netupakai ralah satu blsiatr. pada indunri maiufakur yans s

Rental Mobil RAKA RENT bergerak dibidang usaha penyewaan kendaraan mobil yang membutuhkan pengolahan data yang cepat dan akurat, agar dapat menyajikan informasi mengenai

Pendidikan harus ditaati oleh semua mahasiswa ITB. Jika mahasiswa mendapatkan kesulitan, agar melapor kepada Ketua Program Studi masing-masing... Perwalian akademik

[r]

[r]

Sebagai salah satu hasil kerja pendokumentasian tradisi lisan Kerinci menerusi penelitian lapangan selama beberapa tahun, artikel ini diharap dapat menawarkan sumbangan