• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Faktor-faktor penyebab pengembalian kerugian negara dalam tindak pidana pencucian uang dengan perkara pokok tindak pidana korupsi dengan pembuktian terbalik belum optimal

Beberapa hal yang menjadi penyebab belum optimalnya pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang dengan perkara pokok tindak pidana korupsi dapat berasal dari faktor substansi, faktor struktur aparat penegak hukum, dan faktor budaya hukum. Keterbatasan faktor-faktor tersebut berpengaruh dalam penanggulangan tindak pidana pencucian uang dengan perkara pokok tindak pidana korupsi.

Menurut teori hukum Lawrence Meir Friedman faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu faktor substansi, faktor struktur aparat penegak hukum, dan faktor budaya. Berdasarkan teori hukum Lawrence Meir Friedman tersebut penulis melakukan penelitian dengan melakukan wawancara langsung dengan pihak-pihak yang memahami tindak pidana pencucian uang secara lebih mendalam dan membahas faktor-faktor penyebab pengembalian kerugian negara dengan pembuktian terbalik belum dapat dilakukan secara optimal. Faktor-faktor tersebut yaitu :

A. Faktor Substansi

1) Jaksa Penuntut Umum

Faktor substansi yang dianggap sebagai penyebab pembuktian terbalik belum dapat dilakukan secara optimal berdasarkan wawancara yang sudah dilakukan dengan salah satu jaksa sebagai penuntut umum, dikarenakan adanya tumpang tindih antara pasal satu dengan pasal lain dalam penanganan tindak pidana pencucian uang. Diperlukan adanya suatu peraturan yang lebih rinci dalam penanganan tindak pidana ini.

Perlunya pembenahan faktor substansi dimaksudkan agar penegakan

(2)

hukum tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan dengan baik.67 Kendala yang dimaksud berkaitan dengan proses pembuktian terhadap tindak pidana asal karena terdapat ketidakselarasan/kontradiktif antara Pasal 69 UU TPPU dengan Pasal 77 dan Pasal 78 UU TPPU.

Bunyi Pasal 77 UU TPPU mengatakan untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil dari tindak pidana. Pasal 78 UU TPPU mengatur mengenai prosedur harus mampu membuktikan asal- usul harta yang dimiliki yang diperoleh melalui penetapan hakim. Pasal 77 dan Pasal 78 UU TPPU menyiratkan bahwa pembuktian terbalik harta kekayaan terdakwa masih tergantung pada tindak pidana asalnya.

Berbeda dengan ketentuan Pasal 69 UU TPPU yang menyebutkan bahwa untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Kata tidak wajib dimaksudkan untuk mempermudah penegak hukum dalam penyidikan dan pembuktian. Dalam hal ini UU TPPU tidak memfokuskan diri pada terbuktinya tindak pidana asal secara materiil, namun hanya cukup membuktikan asal usul harta kekayaannya. Hal tersebut dimaksudkan untuk mempersingkat waktu dalam proses penyidikan, karena apabila harus menunggu dibuktikan tindak pidana asal terlebih dahulu akan membutuhkan waktu yang lama dan memberi kesempatan terdakwa untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana.

Timbul permasalahan lain ketika di satu pihak terdakwa tidak bisa membuktikan harta kekayaannya berasal dari kegiatan yang sah, sedangkan di pihak lain penuntut umum juga tidak berhasil membuktikan unsur pencucian uang. Kondisi demikian berimplikasi pada status harta

67 Wawancara Sucipto S.H, Kepala Seksi Intelijen, Kejaksaan Negeri Yogyakarta, pada 13 Maret 2018

(3)

kekayaan yang tidak dapat dibuktikan terdakwa maupun penuntut umum, belum ada pengaturan yang jelas apakah harta kekayaan tersebut tetap dirampas atau dikembalikan.68

2) Polisi

Polisi berdasarkan fungsinya sebagai penyidik, akan membahas mengenai pengembalian kerugian negara berdasarkan wawancara yang sudah dilakukan dengan pihak Kepolisian. Pengembalian kerugian negara dilakukan melalui perampasan harta kekayaan yang diduga hasil dari tindak pidana. Sesuai dengan Pasal 69 UU TPPU, penyidikan dapat dilakukan tanpa harus menunggu adanya putusan pengadilan pidana asal terlebih dahulu. Pasal 69 UU TPPU sebenarnya membantu penyidik dalam melakukan penyidikan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana, karena tidak wajib untuk membuktikan pidana asal terlebih dahulu yang memakan waktu lama. Pasal ini mempermudah dan mempercepat gerak penegak hukum untuk membongkar kejahatan terorganisir.69

Pasal 69 UU TPPU di samping memudahkan penyidik dalam melakukan penyidikan, akan tetapi pasal ini juga sering dianggap tidak memenuhi keadilan terdakwa. Hal ini dapat terjadi ketika harta kekayaan terdakwa yang diduga hasil tindak pidana disita dan akan dikembalikan setelah putusan final. Harta kekayaan yang disita disini belum tentu keseluruhannya merupakan hasil tindak pidana, terkadang harta yang tidak termasuk hasil tindak pidana juga ikut disita oleh penyidik. Harta kekayaan yang disita tersebut sampai dengan putusan final yang memakan waktu cukup lama, tentunya juga akan berubah bentuk dan nilainya menurun karena pihak yang berwenang tidak benar-benar menjaga harta kekayaan dengan baik. Penyidik yang tidak memiliki

68 Wawancara Sucipto S.H, Kepala Seksi Intelijen, Kejaksaan Negeri Yogyakarta, pada 13 Maret 2018

69 Wawancara Arya Fajar, Penyidik Pembantu, Polresta Surakarta, pada 11 januari 2018

(4)

analisis dan pemahaman yang baik terhadap harta kekayaan terdakwa, tentunya akan merugikan terdakwa itu sendiri apabila harta yang disita tidak seluruhnya merupakan hasil tindak pidana, sedangkan penyidik juga tidak dapat disalahkan karena ia hanya penyidik melaksanakan apa yang tercantum didalam Pasal 69 UU TPPU.

3) Hakim

Belum adanya pengaturan yang tegas yang mengatur hukum acara tentang pembuktian terbalik di Indonesia mengakibatkan pembuktian terbalik juga belum dilakukan optimal karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Mengenai hal tersebut Pasal 78 belum mengatur lebih lanjut atas tidak diindahkannya perintah hakim dan penyampaian pembuktian terdakwa yang tidak sesuai standar.70

Praktik pembuktian terbalik di sidang pengadilan yaitu setelah jaksa melakukan pembuktian terlebih dahulu, terdakwa hanya membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimiliki bukan berasal dari tindak pidana. Apabila terdakwa tidak mampu membuktikan hal ini maka akan menguatkan dakwaan jaksa. Sesuai dengan Pasal 69 UU TPPU yang memuat kata “tidak wajib” membuktikan tindak pidana asal terlebih dahulu, maka pembuktian terbalik yang dianut adalah tidak sepenuhnya tetapi terbatas dan sebanding. Pembuktian terbalik hanya dilakukan di pengadilan, akan tetapi jaksa tetap harus membuktikan karena ketidakmampuan terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaannya berasal dari kegiatan yang sah menguatkan dakwaan jaksa dan tidak serta merta keseluruhan unsur sudah terbukti.71 Mampu/tidaknya terdakwa membuktikan harta kekayaan bukan hasil tindak pidana, tetap memberi kewajiban penuntut umum untuk membuktikan asal usul harta kekayaan terdakwa.

70 Mulyadi, Alternatif Pengaturan Pembalikan Beban Pembuktian dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Indonesia Pasca Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, Malang, 7 Oktober 2008, hlm. 18,

71 Ibid

(5)

Teori pembuktian terbatas dan berimbang memang dianggap tidak bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), akan tetapi disisi lain sering menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus korupsi. Terbukti dalam praktik sistem pembuktian tersebut yang dikenal dengan istilah, ”pembuktian negatif” tidak mudah diterapkan mengingat kompleksnya modus operandi dalam tindak pidana pencucian uang.72

Tindak pidana pencucian uang memiliki hubungan yang sangat erat dengan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal (predicate crime).

Penempatan tindak pidana korupsi sebagai predicate crime nomor satu (huruf a) dalam UU TPPU merupakan manifestasi dari pembentuk undang-undang yang memandang bahwa korupsi merupakan persoalan bangsa yang paling mendesak dan mendapat prioritas dalam penangananya.73

Harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi kemudian yang disembunyikan atau disamarkan hal tersebut merupakan tindak pidana pencucian uang. Tindak pidana pencucian uang merupakan follow up crime karena diikuti oleh tindak pidana asal, yang kemudian harta kekayaan hasil dari tindak pidana asal tersebut ditempatkan, ditransfer, atau dialihkan dengan cara integrasi dan dibuat sedemikian rupa sehingga seolah-olah berasal dari aktifitas yang sah. 74 Hal tersebut dilakukan sebagai upaya pelaku tindak pidana korupsi agar terhindar dari jeratan hukum atau menghindari pembayaran uang pengganti.

Pelaku korupsi melakukan pencucian uang dengan cara menempatkan harta kekayaan kedalam suatu sistem yang kemudian ia menjauh dari kegiatan kriminal yang menghasilkan uang haram itu, hal tersebut bertujuan untuk menyulitkan bagi otoritas untuk dapat menuntut mereka.75 Harta kekayaan

72 Wawancara Agus Sriyono, Banit Sat Reskrim Unit IV, Polresta Surakarta, pada 11 januari 2018

73 Yunus Husein, Penanganan Tindak Pidana Korupsi Melalui Pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, 2009, hlm. 64

74 Wawancara Agus Sriyono, Banit Sat Reskrim Unit IV, Polresta Surakarta, pada 11 Januari 2018

75 https://avicennatitans.wordpress.com/2017/03/10/diskusi-materi-pencucian-uang-money- laundering/ diakses pada 27 Februari 2018 pukul 12.11 WIB

(6)

menjadi objek yang sangat fundamental dalam kaitannya terhadap tindak pidana korupsi maupun tindak pidana pencucian uang. Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung.

Praktik pencucian uang dewasa ini sangat sering dilakukan terhadap uang yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.76 Praktik pencucian uang mungkin hanyalah sebuah cara untuk melakukan penyamaran atau penyembunyian atas hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan. Pencucian uang kemudian dipakai sebagai tameng atas uang hasil kejahatan korupsi tersebut. Oleh karena itu, adanya ketentuan-ketentuan atau regulasi tentang tindak pidana pencucian uang sangat besar manfaatnya untuk menggagalkan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Seluruh peraturan yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana pencucian uang maupun tindak pidana korupsi sangat mempengaruhi berlakunya penegakan hukum khususnya pembuktian terbalik. Substansi hukum disini menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum.

Penyelamatan harta kekayaan negara melalui pembuktian terbalik dipandang sebagai salah satu cara yang tepat dalam rangka memudahkan proses pembuktian tindak pidana pencucian uang. Melalui pembuktian terbalik terdakwa diwajibkan untuk membuktikan harta kekayaan yang dimiliki bukan merupakan hasil tindak pidana. Melalui pembuktian terdakwa tersebut, penyidik maupun penuntut umum memperoleh petunjuk untuk melakukan pemeriksaan terhadap bukti-bukti yang diajukan terdakwa tersebut. Apabila terdakwa memang tidak melakukan tindak pidana, hal ini juga akan menguntungkan bagi terdakwa karena ia diberikan hak untuk membuktikan harta kekayaannya tersebut.

76 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt510a46a7325da/erat--hubungan-korupsi-dan- pencucian-uang diakses pada Senin 15 januari 2018 pukul 12.29 WIB

(7)

Pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi ialah terdakwa memiliki hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Beban pembuktian dalam UU Tipikor bersifat terbatas dan berimbang. Terbatas diartikan bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan ia tidak melakukan korupsi tidak berarti terdakwa tidak melakukan korupsi sebab penuntut umum masih berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Berimbang diartikan bahwa seorang terdakwa wajib membuktikan kekayaan yang dimiliki bukan merupakan hasil korupsi, apabila terdakwa dapat membuktikan harta kekayaannya bukan hasil korupsi dan hakim beserta bukti-bukti yang ada membenarkannya maka terdakwa wajib dibebaskan dari segala dakwaan.

Pembuktian terbalik dalam UU Tipikor apabila dibandingkan dengan pembuktian terbalik UU TPPU yaitu bahwa pembuktian dalam UU TPPU bersifat keharusan bagi terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari hasil tindak pidana. Dalam hal pemeriksaan perkara tindak pidana pencucian uang tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asal (predicate crime), karena tindak pidana pencucian uang merupakan tindak

pidana yang berdiri sendiri. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 69 UU TPPU.

Pembuktian terbalik dalam kasus tindak pidana korupsi dikatakan masih setengah hati, dengan tetap membebankan pembuktian kepada Jaksa Penuntut Umum, meski si terdakwa gagal membuktikan asal-usul kekayaannya.

Hal tersebut tertuang dalam Pasal 37A ayat (3) UU Tipikor, yang menyebutkan bahwa :

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5

(8)

sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya”.

Maksud dari pembuktian terbalik adalah supaya terdakwa tetap diwajibkan membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana terlebih dahulu, akan tetapi sebagian orang masih berpendapat bahwa pembuktian terbalik secara total akan melanggar hak asasi manusia.

Faktor penghambat pembuktian terbalik juga terdapat pada Pasal 12B ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal 12B ayat 1 huruf a dianggap bertentangan dengan asas praduga tak bersalah karena seolah-olah pihak terdakwa sudah dianggap bersalah melakukan tindak pidana gratifikasi padahal hal itu perlu dibuktikan. Dalam hal ini justru yang harus dibuktikan terlebih dahulu oleh jaksa dalam persidangan adalah tentang dakwaannya yang mengatakan terdakwa telah melakukan tindak pidana gratifikasi.

Rumusan Pasal 12B ayat (1) menyebutkan :

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggaraan negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :

a. yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal ini memberi kesan seolah-olah yang dibebani pertanggung jawaban pidana adalah si pemberi gratifikasi. Pengertian “dianggap pemberian suap”

mengindikasikan bahwa titik perhatian adalah pada si pemberi gratifikasi, tidak sejalan/bertentangan dengan rumusan Pasal 12 C UU Tipikor.

(9)

Pasal 12 C

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitng sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima

(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang- undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kedua pasal ini menimbulkan beberapa pendapat yaitu :

- Logika dari rumusan ayat (1) huruf a dan b, tentang pembebanan pembuktian TPK menerima gratifikasi pada penerima, bukan pada pemberi;

- Pemberi gratifikasi tidak dibebani pertanggungjawaban pidana.

Kebelumjelasan tindak pidana korupsi mengenai penerima gratifikasi yang menyulitkan aparat penegak hukum didalam praktik harus dihadapi oleh masing-masing aparat penegak hukum yang benar-benar memahami peraturan tentang tindak pidana ini agar dapat memecahkan masalah tersebut.77

Dari sisi teori hukum progresif, pelaksanaan mekanisme pembuktian terbalik pada kasus pencucian uang dapat dikuatkan dalam beberapa alasan, antara lain : 78

77 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Cetakan Pertama, Diadit Media, Jakarta, 2009, hlm. 281

78 https://anitasilalahi.wordpress.com/2013/04/19/beban-pembuktian-terbalik-dalam-perampasan- aset-pada-tindak-pidana-pencucian-uang/ diakses pada 14 Mei 2018 pukul 09.27 WIB

(10)

Pertama, filosofi dan sifat dasar hukum adalah bahwa ia ada bukan untuk dirinya sendiri namun hukum ada untuk memberikan rasa nyaman dan keadilan bagi manusia. Persoalan korupsi, penggelapan, dan pencucian uang Negara yang dilakukan oleh penyelenggara Negara merupakan tindakan kejahatan yang telah menyerang rasa keadilan masyarakat. Aturan hukum yang bersifat status quo, perlu untuk ditinjau ulang dengan tidak hanya terpatok kepada aturan- aturan teks semata. Jika sistem aturan hukum telah menghalang-halangi proses pencarian keadilan masyarakat, maka sudah harus mejadi keharusan untuk mencari jalan keluar dengan memberlakukan pembuktian terbalik sebagai wujud keberpihakan hukum. Progresivitas hukum harus dipandang sebagai proses pengembangan dan pembangunan hukum yang tidak sekedar sebagai wujud pelaksanaan aturan, namun sebagai perwujudan esensi dasar hukum sebagai sarana manusia untuk memperoleh kebahagiaan dan keadilan secara utuh.

Kedua, jika kita memaknai tindakan penyalahgunaan uang Negara sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka sepatutnya pulalah pembuktian terbalik diberlakukan sebagai cara yang luar biasa pula meski bertentangan dengan prinsip-prinsip praduga tak bersalah. Logika hukum (logic of law) adalah sebagai upaya hukum luar biasa untuk menutup kelemahan lembaga penuntut kita yang cenderung lemah dalam menyelesaikan perkara korupsi. Upaya pembuktian terbalik juga harus kita maknai sebagai upaya hukum luar biasa dalam membangun sistem penyelenggaraan Negara yang bebas dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme.

UU TPPU menerapkan pendekatan follow the money dengan cara mengikuti aliran uang yang mendahulukan mencari uang atau harta kekayaan dibandingkan dengan mencari pelaku. Setelah hasil diperoleh barulah mencari pelakunya dan tindak pidana yang dilakukan. Pendekatan follow the money dapat mencapai pengembalian kerugian negara secara lebih optimal dan juga mengungkap siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam tindak pidana dengan melihat aliran transaksi keuangannya.

(11)

Jenis-jenis tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU TPPU dikenal dengan “tindak pidana asal”, dan pencucian uang adalah tindak pidana ikutan dari tindak pidana asal.79 Dari hasil tindak pidana asal inilah diperoleh harta kekayaan tindak pidana pencucian uang yang kemudian disebut sebagai “hasil tindak pidana”.80 Tindak pidana asal yang dimaksud disini adalah tindak pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU TPPU mengenai hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh melalui dua puluh enam macam tindak pidana.

Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, Pasal 77 UU TPPU mengatakan untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil dari tindak pidana, sedangkan Pasal 78 UU TPPU mengatur mengatur mengenai prosedur harus mampu membuktikan asal-usul harta yang dimiliki yang diperoleh melalu penetapan hakim. Rumusan dari kedua pasal diatas secara tersirat menyampaikan beberapa hal yaitu :

a. Pembuktian terbalik tentang harta kekayaan terdakwa masih dihubungkan dengan tindak pidana asal dan fokus terhadap peruatan terdakwa bukan harta kekayaannya

b. Rumusan ketentuan pembuktian terbalik dalam pasal tersebut tidak dapat dilakukan sebelum tindak pidana asal terbukti terlebih dahulu

c. Keberhasilan pembuktian terbalik sangat bergantung pada pembuktian tindak pidana asalnya.

Hal tersebut berbeda dengan ketentuan Pasal 69 UU TPPU yang menyebutkan bahwa untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Kata tidak wajib dimaksudkan untuk mempermudah penegak hukum dalam penyidikan dan pembuktian. Dalam

79 Ivan Yustiavandana, Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 54

80 Ibid

(12)

hal ini UU TPPU tidak memfokuskan diri kepada terbuktinya tindak pidana asal secara materiil, namun hanya cukup membuktikan asal usul harta kekayaannya.

Hal tersebut juga dimaksudkan agar mempersingkat waktu dalam proses penyelidikan, karena apabila harus menunggu dibuktikan tindak pidana asal terlebih dahulu akan membutuhkan waktu yang lama dan memberi kesempatan terdakwa untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana.

Artinya, apabila harta kekayaan adalah memang berasal dari tindak pidana asal maka UU TPPU tidak mensyaratkan bahwa tindak pidana asal terbukti secara materiil, sehingga tidak ada alasan bagi penyidik untuk menghentikan perkara karena tindak pidana asalnya belum terbukti, akan tetapi berkaitan asal usul harta kekayaan penyidik tetap wajib menelusuri asal usulnya.

Pasal 69 UU TPPU memang dianggap membantu penyidik dalam melakukan penyidikan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana, karena tidak wajib untuk membuktikan pidana asal terlebih dahulu yang memakan waktu lama.

Contoh kasus dengan Terdakwa Gayus Halomoan Partahanan Tambunan telah melakukan perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan yang dihubungkan dengan statusnya sebagai pegawai negeri dianggap sebagai gratifikasi yaitu menerima suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.

Judex facti dalam kasus ini telah disimpulkan bahwa berdasarkan fakta di persidangan Terdakwa telah melakukan perbuatan terlingkup dalam dakwaan 1 alternatif ke-1 Primair Pasal 12 B ayat (1), ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, alternatif ke-2 Primair Pasal 12 B ayat (1), ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, alternatif ke-3 Pasal Pasal 3 ayat (1) a Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang

(13)

Pencucian Uang jo Pasal 65 ayat (1) KUHP,dan alternatif ke-4 Primair Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP yaitu tindak pidana korupsi yang merupakan perbuatan gabungan yang berdiri sendiri dan berlanjut dan pencucian uang.

Kasus Gayus menegaskan bahwa dalam proses penegakan hukum tindak pidana pencucian uang tersebut hakim tidak perlu membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Hakim cukup menyebutkan kualifikasi tindak pidana asal.

Hakim tidak perlu membuktikan pasal terkait tindak pidana asal yang dilanggar terlebih dahulu. Dalam kasus ini Pasal 69 UU TPPU dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuannya, karena dalam proses pembuktian terbalik harta kekayaan terdakwa sudah diamankan terlebih dahulu untuk menghindari upaya untuk menyembunyikan atau mengaburkan harta kekayaan hasil tindak pidana.

Pasal 69 UU TPPU disamping memudahkan penyidik dalam melakukan penyidikan, akan tetapi pasal ini juga sering dianggap tidak memenuhi keadilan terdakwa. Hal ini dapat terjadi ketika harta kekayaan terdakwa yang diduga hasil tindak pidana disita dan akan dikembalikan setelah putusan final, sedangkan harta kekayaan yang disita tersebut semakin lama juga akan berubah bentuk dan nilainya menurun karena pihak yang berwenang tidak benar-benar menjaga harta kekayaan dengan baik, padahal harta kekayaan yang disita belum tentu keseluruhannya merupakan hasil tindak pidana.

Contoh penerapan Pasal 69 UU TPPU yang dianggap masih menimbulkan ketidakadilan bagi terdakwa dapat dilihat dalam kasus korupsi Djoko Susilo tahun 2013. Dalam kasus ini KPK menetapkan Djoko Susilo sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan simulator SIM. Terdakwa Djoko Susilo terjerat kasus korupsi pengadaan simulator SIM didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) KUHP. Terdakwa menyalahgunakan wewenang dan perbuatan memperkaya

(14)

diri sendiri sehingga merugikan keuangan negara dengan hukuman penjara maksmal 20 tahun.

Pengacara terdakwa menilai bahwa putusan tersebut bertentangan dengan ketentuan KUHP yang menyebutkan sistem pembuktian negaif dimana sebelum ditemukan alat bukti terdakwa dinyatakan tidak bersalah. Pengacara terdakwa juga mempertanyakan bukti apa yang dimiliki oleh penyidik sehingga seluruh aset terdakwa disita, rekening diblokir dan akan dikembalikan apabilan putusan sudah final. Putusan tersebut juga dinilai bertentangan dengan Pasal 77 dan 78 UU TPPU yang intinya mewajibkan untuk kepentingan pemeriksaan terdakwa wajib membuktikan harta kekayaannya terlebih dahulu. Dalam kasus ini pengacara terdakwa juga menyatakan siap untuk melakukan pembuktian terbalik.

Pembahasan kasus terakhir dapat dilihat pada kasus korupsi dengan terdakwa Damanhuri di Pengadilan Tinggi Jambi. Terdakwa melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) sub a dan b UU Tipikor. Bahwa berdasarkan laporan hasil audit penghitungan kerugian Negara atas dugaan tindak pidana korupsi pembangunan kawasan transmigrasi di Desa Sungai Bermas tahun Anggaran 2011 yang dibuat oleh tim audit perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Jambi menerangkan adanya kerugian keuangan Negara sebesar Rp144.621.340,78 (seratus empat puluh empat juta enam ratus dua puluh satu ribu tiga ratus empat puluh rupiah tujuh puluh delapan sen).

Terdakwa terbukti melanggar Pasal 5, Pasal 6 huruf a, dan Pasal 35 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yakni “sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan dan yang menyuruh melakukan perbuatan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana dalam pasal 3 jo Pasal 18 Ayat (1) Sub a dan b UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

(15)

Dalam kasus ini hakim sebelumnya telah salah dalam menjatuhkan putusan karena kurang lengkap mempertimbangkan hal-hal dalam penjatuhan pidana terhadap terdakwa. Terdakwa berhasil membuktikan dirinya tidak melakukan korupsi. Alasan kasasi penuntut umum menerapkan hukum dalam mengadili terdakwa yang menyatakan terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana dikarenakan bukti yang dimaksud hanya ditunjukkan sejak pemeriksaan saksi-saksi sampai dengan sebelum penuntutan Jaksa Penuntut Umum dibacakan, dan ketika terdakwa diminta hakim untuk menjelaskan terdakwa tidak mampu untuk menjelaskan secara rinci.

Pembuktian terbalik yang dilakukan oleh terdakwa berdasarkan bukti- bukti yang diajukannya yaitu adanya kerugian negara sebesar Rp.

144.621.340,78 (seratus empat puluh empat juta enam ratus dua puluh satu ribu tiga ratus empat puluh rupiah tujuh puluh delapan sen). Terdakwa juga dijatuhi hukuman dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sejumlah Rp50.000.000 ,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

Berdasarkan ketiga pembahasan kasus diatas dapat dilihat bahwa permasalahan utama dalam tindak pidana pencucian uang maupun korupsi adalah harta kekayaan dalam rangka pengembalian kerugian negara. Pentingnya pengaturan yang tegas antara Pasal 69 UU TPPU dengan Pasal 77 dan 78 UU TPPU juga harus dipertegas agar tidak menimbulkan multitafsir dan dan ketidakpastian hukum.

Sistem pembuktian terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia bersifat negatif yang berorientasi pada Pasal 183 KUHAP dengan ketentuan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana seseorang kecuali dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah serta ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa adalah pelakunya.

(16)

Bertolak titik dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut, hakim harus memperhatikan aspek-aspek :81

1) Kesalahan terdakwa harus terbukti sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah.

Hal tersebut sesuai dengan asas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Apabila hanya ada 1 (satu) alat bukti saja maka asas pembuktian tidak tercapai, sehingga terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman pidana.

2) Bahwa atas dua alat bukti yang sah hakim memproleh kayakinan bahwa tindak pidana tersebut benar-benar terjadi dan terdakwalah pelakunya. Dari aspek ini dapat dikonklusikan bahwa apabila sudah terdapat dua alat bukti akan tetapi hakim belum cukup memiliki keyakinan bahwa tindak pidana tersebut memang benar-benar dilakukan oleh terdakwa, maka terdakwa belum bisa dijatuhkan pidana. Begitupun sebaliknya, keyakinan hakim saja juga tidak cukup apabila unsur dua alat bukti yang sah tidak terpenuhi.

Pembuktian tindak pidana korupsi dalam sistem hukum Indonesia terhadap kesalahan pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tetap dipergunakan hukum pembuktian melalui teori pembuktian negatif dengan adanya dua alat bukti beserta keyakinan hakim dalam menjatuhkan pidana.

Permasalahan muncul ketika pada proses penuntutan yang ternyata tidaklah mudah, berkenaan dengan apakah harus dibuktikan keduanya atau cukup dengan pembuktian tindak pidana pencucian uangnya saja tanpa terlebih dahulu membuktikan tindak pidana asalnya.

Pasal 75 UU TPPU menyebutkan bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam hal penuntutan menggabungkan pemeriksaan kedua tindak pidana antara tindak

81 Wagiman, Implementasi Pembuktian Terbalik Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Dengan Perkara Pokok Tindak Pidana Korupsi Dalam Upaya Pengembalian Kerugian Keuangan Negara, Disertasi Universitas Sebelas Maret, 2016, hlm. 130

(17)

pidana asal dan tindak pidana pencucian uang menggunakan dakwaan kumulatif, hal tersebut tentunya akan sangat bermanfaat jika keduanya berhasil dibuktikan.

Disatu menemukan pelaku tindak pidana, disisi lain juga memperoleh pengembalian kerugian negara.

Terkait masalah mengenai tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang, Romli Atmasasmita mengatakan bahwa harta kekayaan sebagai obyek dalam TPPU, terdapat dua masalah penting yang perlu didiskusikan :82

Pertama, dalam pembuktian terbalik atas harta kekayaan terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana bertujuan untuk perampasan aset terdakwa secara keperdataan. Hal tersebut terpisah dan berbeda dengan pembuktian kesalahan terdakwa atas tindak pidana asal yang menemukan kesalahannya dan kemudian dirampas asetnya.

Kedua, masih perlu pertegas terkait terkait kekaburan ketentuan Pasal 69 UU TPPU dihubungkan dengan Pasal 77 dan 78 UU TPPU karena di satu sisi Pasal 69 UU TPPU menyebutkan bahwa untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, sedangkan Pasal 77 dan Pasal 78 menyebutkan bahwa untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.

Persoalan pembuktian terbalik yaitu mengenai bagaimana prosedur atau cara terdakwa dalam membuktikan dan standar yang harus ada untuk dapat dinyatakan terdakwa berhasil atau tidak berhasil membuktikan, serta tidak adanya ketentuan yang mengatur secara tegas jika terdakwa tidak mengindahkan atau mengindahkan perintah hakim.

82 Romli Atmasasmita, Analisis UU RI NO 8 Th 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Seminar Fakultas Hukum Universitas Hukum Sebelas Maret, Surakarta 10 September 2013, hlm. 24

(18)

B. Struktur Aparat Penegak Hukum 1) Jaksa Penuntut Umum

Kendala pada jaksa dalam membuktikan tindak pencucian uang dikarenakan penuntutan yang tidak sederhana karena tindak pidana pencucian uang merupakan follow up crime yang diikuti oleh tindak pidana asal. Pasal 69 UU TPPU menyebutkan bahwa untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tidak wajib dibuktikan tindak pidana asal terlebih dahulu, hanya menggunakan alat bukti petunjuk saja, sebagai konsekuensinya maka dakwaan harus disusun secara kumulatif karena terdiri dari tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang. Tindak pidana pencucian uang memang tetap dikaitkan dengan tindak pidana asalnya, namun pencucian uang adalah tindak pidana yang berdiri sendiri.

Kendala yang dihadapi Jaksa Penuntut Umum dalam pembuktian di sidang pengadilan adalah :83

a. Apabila perkara tersebut telah dilimpahkan ke pengadilan ternyata pada hari sidang yang telah ditentukan penuntut umum tidak dapat menghadirkan terdakwa dan saksi-saksi dalam pengadilan dengan acara pemeriksaan singkat, dan perkaranya dikembalikan ke Kejaksaan.

b. Suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum dengan acara pemeriksaan singkat, kemudian oleh hakim kepada penuntut umum menghendaki agar perkara yang bersangkutan dilimpahkan ke pengadilan dengan acara pemeriksaan biasa karena pembuktian terhadap kasus tersebut tidak mudah sifatnya.

c. Terdakwa mencabut keterangan yang telah diberikannya kepada penyidik sehingga mempengaruhi kepada upaya pembuktian dakwaan. Apabila dalam perkara tersebut tersedia bukti minimal

83 Wawancara Raden Rara Rahayu, Jaksa Kejaksaan Negeri Surakarta, pada 17 November 2017

(19)

berupa keterangan terdakwa dan hanya alat bukti lainnya, hal tersebut tentunya akan menjadi kendala dalam proses penuntutan.

d. Para saksi umumnya memiliki hubungan kerja dengan terdakwa, yaitu sebagai atasan sehingga keterangan yang diberikan cenderung pembelaan yang meringankan terdakwa.

e. Pengembalian kerugian negara sebagai objek dalam tindak pidana pencucian uang telah dikembalikan oleh terdakwa, sehingga sulit bagi terdakwa untuk dapat dituntut melakukan tindak pidana merugikan keuangan negara.

f. Pengungkapan terjadinya tindak pidana pencucian uang maupun tindak pidana korupsi menggunakan pembuktian terbalik memakan waktu persidangan yang lama sehingga membuat kesulitan untuk mendapatkan dan mengumpulkan bukti-bukti yang ada. Adanya dugaan pencucian uang atau korupsi baru terungkap setelah terdakwa menjalani masa pensiun, sedangkan terjadinya tindak pidana adalah sewaktu terdakwa masih aktif bekerja dan memegang jabatan tertentu.84

g. Minimnya sarana-prasarana atau peralatan dan minimnya anggaran dana operasional.

h. Kekurangan jumlah tenaga jaksa tindak pidana khusus yang profesional dalam menangani kasus tindak pidana pencucian uang sehingga peraturan perundang-undangan yang ada belum diterapkan secara maksimal.

Hal-hal tersebut merupakan kendala-kendala yang dihadapi Jaksa Penuntut Umum dalam proses pembuktian di pengadilan dalam hal pembuktian terhadap perkara pidana yang sedang diselesaikan untuk mendapat putusan hakim terhadap kasus pidana pencucian uang.

84 Wawancara Sucipto S.H, Kepala Seksi Intelijen, Kejaksaan Negeri Yogyakarta, pada 13 Maret 2018

(20)

2) Polisi

Polisi sebagai penyidik yang memiliki tugas untuk menemukan bukti-bukti atas dakwaannya terhadap terdakwa harus memperoleh bukti yang akan diajukan pada jaksa untuk selanjutnya diungkapkan di persidangan, dalam tindak pidana pencucian uang hal ini bukanlah masalah mudah karena dikaitkan dengan tindak pidana asalnya. Praktek di lapangan seringkali masing-masing aparat penegak hukum belum bekerja sama dengan baik, hal tersebut merugikan penegakan hukum pencucian uang itu sendiri.85

Khusus untuk institusi Kepolisian, dalam upaya mengungkap tindak pidana pencucian uang polisi harus memperoleh alat bukti yang akan diajukan pada jaksa untuk selanjutnya diungkapkan di persidangan, namun hal ini menemukan kendala, di antaranya:86

a. Kompleksitas perkara sering memerlukan pengetahuan yang komprehensif. Sebagai contoh dalam kasus pencucian uang yang melibatkan institusi perbankan, maka selain harus mengetahui dan memahami pengetahuan di bidang pidana, aparat penegak hukum juga harus mengetahui dan memahami pengetahuan di bidang keuangan dan lalu lintas moneter. Dalam hal ini seringkali dibutuhkan bantuan dari pihak yang ahli untuk dimintai pendapatnya sebagai saksi ahli.

b. Tindak pidana pencucian uang pada umumnya melibatkan sekelompok orang yang saling menikmati keuntungan dari tindak pidana tersebut, sehingga pelaku saling bekerja sama untuk menutupi perbuatan mereka. Hal ini menyulitkan aparat penegak hukum dalam mengungkap bukti-bukti yang ada.

85 Wawancara Arya Fajar Saputra, Penyidik Pembantu pada Polresta Surakarta, 11 Januari 2018

86 https://elisatris.wordpress.com/tindak-pidana-pencucian-uang/ diakses pada 17 April 2018 pukul 14.36 WIB

(21)

c. Waktu terjadinya tindak pidana pencucian uang umumnya baru terungkap setelah tenggang waktu yang cukup lama. Hal ini menyulitkan pengumpulan atau merekonstruksi keberaadaan bukti- bukti yang sudah terlanjur dihilangkan atau dimusnahkan. Disamping itu para saksi atau tersangka yang sudah terlanjur pindah ke tempat lain juga berperan untuk menghambat proses pemeriksaan;

d. Kemajuan teknologi informasi memungkinkan tindak pidana pencucian uang terjadi melampaui batas kedaulatan suatu negara, sehingga dalam praktiknya sering menimbulkan kesulitan untuk mengungkapkannya, dikarenakan:

(1) Perbedaan sistem hukum antara Indonesia dengan negara- negara dimana pelaku tindak pidana pencucian uang atau uang hasil tindak pidana tindak pidana pencucian uang itu berada.

(2) Belum adanya perjanjian ekstradisi atau perjanjian kerjasama bantuan di bidang hukum (mutual legal assistance in criminal metters) antara Indonesia dengan dengan negara-negara dimana pelaku tindak pidana pencucian uang atau uang hasil tindak pidana pencucian uang itu berada.

(3) Pemeriksaan tersangka dan saksi yang berada diluar negeri tidak mudah diwujudkan dalam hal pemeriksaan tersangka dan saksi tindak pidana pencucian uang yang berada di luar yurisdiksi negara Indonesia.

(4) Tidak adanya upaya paksa yang dapat dilakukan apabila saksi yang berada di luar negeri tidak mau datang ke Indonesia untuk memberikan keterangan, selain itu tidak ada kejelasan siapa yang berkewajiban bertanggung jawab terhadap biaya transportasi, akomodasi bagi saksi yang berasal dari luar negeri.

(5) Untuk mengajukan permohonan bantuan pembekuan dan pemblokiran rekening bank yang berada luar negeri

(22)

diperlukan adanya lampiran berupa surat perintah pemblokiran yang dikeluarkan oleh pengadilan (court order).

(6) Permintaan bantuan untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan kepada negara lain harus dilampiri dengan surat perintah penggeledahan dan penyitaan dari pengadilan (court order) memakan waktu yang lama karena berbeda

pengaturannya dengan KUHAP di Indonesia..

Penyidikan semakin sulit karena pelaku menggunakan Electronic Fund Transfer (EFT) yang merupakan salah satu jasa yang diberikan oleh electronic banking yang memungkinkan pembayaran transfer dengan mobilitas tinggi dan mengoptimalkan jaringan perbankan internasional. Penyidik juga harus menemukan fakta untuk dibuktikan jaksa yang meliputi unsur mens rea dan unsur objektifnya. Mens rea yang harus dibuktikan adalah knowledge (mengetahui atau patut diduga) dan intended (bermaksud). Kedua unsur berkaitan dengan unsur terdakwa

”mengetahui” bahwa dana tersebut berasal dari tindak pidana dan terdakwa mengetahi tentang maksud melakukan transaksi. Sedangkan pembuktian selanjutnya adalah unsur intended yaitu “bermaksud”

menyembunyikan hasil tindak pidana.87 3) Hakim

Dilihat dari sudut pandang hakim yang memegang peranan penting dalam menjatuhkan putusan, kendala pembuktian terbalik merupakan konsekuensi hukum apabila terdakwa mampu membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan adalah hasil pembuktian terbalik tersebut dipergunakan oleh

87 Wawancara Agus Sriyono, Banit Sat Reskrim Unit IV, Polresta Surakarta, pada 11 Januari 2018

(23)

pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.88

Kendala yang dihadapi dari hakim juga dikarenakan sulitnya pembuktian karena hakim melihat dari dua sisi yaitu pembuktian oleh terdakwa yang menyatakan dirinya tidak bersalah dan pembuktian dari penuntut umum yang membuktikan kesalahan terdakwa.89 Hakim juga akan sulit untuk mendapatkan keyakinannya apabila panitera tidak bisa mencatat dengan cepat dan cermat sehingga tidak menemukan sinkronisasi antara keterangan yang satu dengan yang lain.

Pembuktian yang dianut oleh KUHAP adalah pembuktian berdasarkan undang-undang yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada. Hal ini diperlukan agar hakim tidak menjatuhkan pidana bagi seorang terdakwa apabila jenis dan banyaknya alat bukti belum dapat menimbulkan keyakinan pada diri hakim. Pada kondisi seperti ini hakim akan meminta kembali kepada Jaksa Penuntut Umum untuk melengkapi bukti-bukti yang lebih akurat

Penyidik harus menemukan fakta yang dibuktikan kepada jaksa meliputi unsur subjektif dan unsur objektif. Kedua unsur tersebut berkaitan dengan unsur terdakwa “mengetahui bahwa dana tersebut berasal dari hasil kejahatan” dan

“terdakwa mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan transaksi keuangan”.

Contoh belum adanya kesamaan persepsi antara polisi dan jaksa sehubungan dengan terjadinya pencucian uang yaitu apabila dalam suatu kasus menurut polisi sudah memiliki cukup alat bukti, akan tetapi jaksa memandang belum cukup alat bukti, hal tersebut kendala terbesar adalah dari sudut pembuktian yang harus dilakukan penyidik.

88 Luhut M.P. Pangaribuan, Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 120

89 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt513ff99d6eedf/tentang-sistem-pembalikan-beban- pembuktian diakses pada 3 Juni 2018 pukul 14.00 WIB

(24)

Sikap batin terkait patut diduga juga harus dibuktikan oleh jaksa, artinya terdakwa harus bisa membuktikan bahwa harta kekayaan bukan berasal dari tindak pidana dan terbatas pada satu unsur saja yaitu harta kekayaan hasil tindak pidana. Apabila terdakwa tidak bisa membuktikan, tidak serta merta dakwaan dinilai terbukti karena jaksa tetap membuktikan semua unsur termasuk unsur harta kekayaan adalah hasil tindak pidana.90

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang berwenang dalam pemberantasan korupsi juga mengalami kendala saat melakukan penyitaan aset hasil tindak pidana korupsi. Pelaku korupsi yang ditangani KPK sebagian besar adalah pejabat negara yang memiliki kekuasaan sehingga memiliki kekuasaan akses dan jaringan yang luas untuk menyembunyikan hasil kekayaannya. Dalam hal ini, apabila hendak memperoleh pengembalian aset negara secara optimal maka harus disangkakan menggunakan pasal-pasal UU TPPU.91

Kendala yang dihadapi polisi, jaksa ataupun hakim diatas terlihat bahwa penerapan sistem pembuktian terbalik sebenarnya tidak didukung oleh peran/sikap polisi, jaksa dan hakim sebagai aparat penegak hukum. Kelemahan pembuktian terbalik dianggap tidak efektif bagi Jaksa Penuntut Umum sebab membuat lama proses persidangan, sedangkan kelemahan pembuktian terbalik bagi terdakwa apabila hak membuktikan secara terbalik tidak diterapkan secara optimal, maka akan memperkuat alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang.

Karakteristik yang unik dari pencucian uang juga sangat ditentukan oleh peranan hakim untuk tujuan pemberantasan tindak pidana ini. Kurangnya tujuan hakim dalam mewujudkan penegakan hukum yang didasarkan pada pemahaman bahwa pembuktian ini sangat sulit karena membuktikan dua sekaligus, menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi belum optimalnya pengembalian

90 Yenti Ganarsih, Opcit, hlm. 65

91 https://acch.kpk.go.id/id/ragam/riset-publik/penguatan-alat-bukti-tindak-pidana-pencucian-uang- dalam-perkara-tindak-pidana-korupsi-di-indonesia diakses pada 17 April 2018 pukul 16.31 WIB

(25)

kerugian negara dengan pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang.

Pelaku tindak pidana pencucian uang dan korupsi yang sangat pandai menyimpan, menyembunyikan, dan mengalihkan harta kekayaan hasil tindak pidana memerlukan penanganan dari para aparat penegak hukum yang memiliki kualitas memadai. Aparat penegak hukum harus benar-benar memahami seluk beluk tindak pidana pencucian uang. Lembaga hukum pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan korupsi dituntut untuk dapat mengupayakan pengembalian kerugian negara. Keberhasilan pengembalian kerugian negara secara optimal merupakan tanda bekerjanya penegakan hukum. Pembuktian terbalik terhadap tindak pidana pencucian uang dengan perkara pokok tindak pidana korupsi cukup efektif sebagai upaya pengembalian kerugian negara.92

Aparat penegak hukum dimulai dari penyidik, penuntut umum, dan hakim harus benar-benar memiliki pemahaman terhadap pembuktian tebalik dalam tindak pidana pencucian uang. Melalui pembuktian terbalik yang optimal, maka pengembalian kerugian negara yang diperoleh disetorkan kepada kas negara guna menutupi kerugian negara walaupun belum dicapai secara optimal.

Penegakan hukum sebagai suatu sistem yang terpadu sudah sepatutnya memperhatikan kelembagaan dari lembaga penegak hukum. Subsistem lembaga penegak hukum yaitu kekuasaan penyelidikan oleh penyidik yang terdapat dalam Kepolisian, kekuasaan penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum yang terdapat dalam Kejaksaan, kekuasaan mengadili atau menjatuhkan putusan oleh hakim yang terdapat dalam Pengadilan.

Penegak hukum berperilaku nyata atau berperan aktual sesuai dengan undang-undang yang mengikatnya. Namun juga melakukan diskresi dalam hal atau keadaan tertentu. Hal ini dalam prakteknya menyebabkan penyimpangan-

92 Wawancara Sucipto S.H, Kepala Seksi Intelijen, Kejaksaan Negeri Yogyakarta, pada 13 Maret 2018

(26)

penyimpangan yang selalu terjadi dalam proses peradilan yang cenderung kearah praktek mafia peradilan. Hal ini sering disebabkan oleh keterbatasan penegak hukum dalam menempatkan diri pada pihak lain, disamping tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi, tidak adanya proyeksi masa depan, tidak adanya kemampuan untuk mengelola keinginan materiil, dan kurangnya kemampuan inovatif.

C. Faktor Budaya Hukum

1) Jaksa Penuntut Umum

Faktor penyebab belum optimalnya pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang yang berasal dari aparat penegak hukum dari segi jaksa sebagai penuntut umum kurang memiliki kesadaran dan profesionalisme. Hal tersebut menjadi penyebab ketika aparat penegak hukum tergiur menerima uang yang berkaitan dengan jabatannya.

Pencucian uang dan korupsi sudah menjadi hal yang biasa di kalangan pemerintah maupun lembaga penegak hukum yang dijadikan lahan untuk mendapatkan keuntungan tersendiri, karena diketahui bahwa terdakwa dalam kasus seperti ini biasanya merupakan orang yang memilki jabatan.93

2) Polisi

Dilihat dari segi aparat penegak hukum yaitu polisi yang memiliki tugas sebagai penyidik, penguatan budaya hukum belum memberikan peningkatan ketaatan dan kepatuhan dalam menjalankan fungsi penegakan hukum yang bebas dari campur tangan lembaga lain.

Dalam penegakan hukum tindak pidana pencucian uang, terkadang oknum juga masih tergiur apabila ditawarkan menerima hadiah/suap dalam menjalankan fungsinya. Hal tersebut dianggap sebagai hal yang wajar dan sering terjadi ketika menangani kasus pencucian uang94

93 Wawancara Raden Rara Rahayu, Jaksa Kejaksaan Negeri Surakarta, pada 17 November 2017

94 Wawancara Agus Sriyono, Banit Sat Reskrim Unit IV, Polresta Surakarta, pada 11 Januari 2018

(27)

Penyalahgunaan wewenang tersebut terjadi karena pada personel Polri melekat atribut kekuasaan serta diskresi yang besar, sementara transparansi dan kontrol lemah. Rendahnya gaji yang diterima dibandingkan dengan aparat penegak hukum lain dapat berpengaruh terhadap pada kinerja dan profesionalisme polisi.

3) Hakim

Faktor budaya hukum penyebab pengembalian kerugian negara dalam tindak pidana pencucian uang dengan pembuktian terbalik belum optimal dikarenakan hakim belum menerapkan pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang. Banyak perkara pencucian uang yang diputus di pengadilan yang tidak menerapkan pembuktian terbalik.95

Budaya hukum atau kultur hukum seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, penilaian, serta harapan masyarakat terhadap hukum. Budaya hukum yang dimaksud disini adalah pemahaman seseorang terhadap hukum dan bagaimana pemahaman masyarakat aparat penegak hukum dalam penegakan hukum tindak pidana pencucian uang atau korupsi melalui pembuktian terbalik.

Hukum yang bersifat abstrak akan statis dan tidak mengalami perubahan tanpa adanya perilaku manusia. Hukum tampak melakukan sesuatu dan saling interaksi karena adanya tingkah laku dan tindakan manusia. Bekerjanya hukum dalam masyarakat bergantung pada perilaku manusia di dalamnya. Hukum merupakan jiwa dari masyarakat yang didasarkan atas nilai-nilai yang hidup di masyarakat dalam membentuk kehidupan sosial.

Faktor budaya yang mengakibatkan pembuktian terbalik belum optimal terutama yang berasal dari masyarakat khususnya aparat penegak hukum belum memiliki kepedulian tinggi terhadap kepatuhan hukum terkait maraknya tindak pidana pencucian uang. Masyarakat juga belum benar-benar memahami tentang pembuktian terbalik dan peraturan perundang-undangan yang mengatur hal

95 Kajian Hukum dan Keadilan, Jurnal IUS, Vol III No. 7, April 2015, hlm. 104

(28)

tersebut.96 Kesadaran hukum yang dimaksud adalah suatu proses yang mencakup pengetahuan hukum, sikap hukum, dan perilaku hukum, karena kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan, sehingga apabila masyarakat belum memiliki kesadaran hukum yang tinggi maka penegakan hukum belum bisa diterapkan secara optimal.

Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang sudah tidak asing di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum apabila korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia, yang sebagian besar diakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan. Sifat tidak jujur merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi.

Menguatnya perilaku koruptif dan sistemnya, menjadikan persoalan korupsi telah menjadi bagian dari sistem yang ada. Tindak pidana pencucian uang yang berasal dari korupsi dan dilakukan oleh koruptor semakin menunjukan sifat ketidak jujuran dalam menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.97

Faktor manusia/masyarakat sangat dominan dalam memberikan kesempatan terjadinya tindak pidana korupsi. Penanggulangan tindak pidana korupsi tidak hanya bergantung pada kebijakan atau peraturan perundang- undangannya yang mengatur pemberian sanksi terhadap perbuatan korupsi seseorang, akan tetapi perlu dukungan dari seluruh masyarakat agar tidak berperilaku koruptif.

Berdasarkan penelusuran dokumen putusan-putusan hakim pengadilan dalam tindak pidana korupsi yaitu hakim sangat jarang menekankan untuk melakukan pembuktian terbalik bagi terdakwa.98 Pembuktian terbalik belum diterapkan secara maksimal dalam proses penegakan hukum tindak pidana pencucian uang, selain itu pembuktian terbalik dianggap hanya sebagai upaya alternatif di dalam penanganan tindak pidana korupsi.

96 http://www.negarahukum.com/hukum/1562.html diakses pada 17 Juni 2018 pukul 16.35 WIB

97 Ibid

98 Nurhayani, Pembuktian Terbalik Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Wathan Matara,, 2016, hlm. 12

(29)

Pada dasarnya pembuktian digunakan untuk pemblokiran/penyitaan sementara harta benda milik terdakwa, sehingga pada saat putusan dijatuhkan oleh hakim, harta tersebut dapat dijadikan jaminan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengembalikan harta benda yang diblokir sementara kepada Negara sebagai pengganti kerugian Negara. Dalam prakteknya selama ini hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi jarang memberikan kewajiban sepenuhnya kepada terdakwa untuk membuktikan bahwa kekayaannya diperoleh dari hasil yang sah. Bagaimana pembuktian terbalik dapat diterapkan secara efektif jika dalam prakteknya sejauh ini peran penuntut umum masih dominan dalam proses pemeriksaan perkara.99

Peranan lembaga hukum dalam mewujudkan keadilan yang masih dipengaruhi oleh pihak lain serta adanya intervensi pemerintah dikarenakan kualitas, moralitas, dan profesionalitas dari masing-masing aparat penegak hukum yang masih rendah juga menjadi penyebab rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.

Praktek mafia peradilan kaitannya dengan budaya hukum, dikaitkan dengan adanya budaya yang kotor pada praktek budaya yang tercela dan optimalisasi pendekatan budaya sebagai bidang keilmuan dalam penegakan hukum. Banyak contoh praktek yang seakan-akan telah membudaya di Indonesia seperti “budaya amplop”, “transaksi perkara”, “calo perkara”

“pemerasan”, “jual beli putusan”, dan sebagainya. Hal ini merupakan cerminan lemahnya budaya dalam bidang ilmu hukum.

Pembuktian terbalik didalam tindak pidana korupsi yaitu, setiap orang yang dianggap memiliki harta kekayaan secara tidak wajar atau melebihi penghasilan normal, dapat saja menjadi “target operasi” petugas hukum dengan cara ditetapkan sebagai tersangka/terdakwa. Penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak perlu repot dan cukup melihat sejauh mana terdakwa dapat membuktikan hal yang sebaliknya dari tuduhan yang yang didakwakan. Dalam

99 Joni Erizon, Apa dan Bagaimana Pencucian Uang, Universitas Sriwijaya, Palembang, 2002, hlm. 14

(30)

posisi inilah mereka dengan mudah melakukan “jual beli hukum” dengan terdakwa,100 apabila terdakwa tidak mau kompromi dengan tawaran “harga hukum” dari aparat penegak hukum, maka ia harus bekerja keras untuk membuktikan bahwa harta kekayaan yang dituduhkan kepadanya bukan merupakan hasil tindak pidana korupsi. Jika terdakwa terlanjur dituduh sebagai koruptor tersebut mampu membuktikan bahwa tuduhan tidak benar dan ia diputus bebas, hal ini juga tidak mudah bisa merehabilitasi nama baiknya yang sudah tercemar tuduhan korupsi. Hal-hal diatas juga menjadi faktor penyebab pengembalian kerugian negara dengan pembuktian terbalik belum dapat dilakukan secara optimal.

Gagasan pembuktian terbalik yang tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah memang sangat rentan/potensial bagi terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh penyidik atau penuntut umum, sehingga akhirnya akan timbul pelanggaran hak asasi manusia. Penyidik tanpa bukti awal yang cukup dapat saja menjadikan seseorang sebagai tersangka, ditahan, kemudian penuntut umum dapat langsung mendakwa dan melimpahkan perkara ke pengadilan tanpa perlu membuktikan karena pembuktiannya dibebankan kepada terdakwa. Pasal 69 UU TPPU dimaksudkan untuk memudahkan aparat penegak hukum dalam melakukan pembuktian, sekalipun memang mempermudah aparat penegak hukum dalam menangani kasus pencucian uang yang rumit, akan tetapi disisi lain pasal ini juga menimbulkan persoalan hukum baru terkait pembuktian terbaliknya.

2. Upaya yang harus dilakukan agar pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang dengan perkara pokok tindak pidana korupsi dalam upaya pengembalian kerugian negara dapat dilakukan dengan lebih optimal

Upaya yang harus dilakukan agar pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan dengan lebih optimal, dapat dilakukan melalui beberapa pembenahan faktor-faktor sebagai berikut :

100 Ibid

(31)

A. Faktor Substansi 1) Kejaksaan

Upaya yang dapat dilakukan melalui faktor substansi berdasarkan wawancara yang sudah dilakukan dengan salah satu jaksa sebagai penuntut umum yaitu, perlu dilakukan penegasan dalam Pasal 69 UU TPPU yang tidak mewajibkan dibuktikan tindak pidana asal terlebih dahulu agar tidak bertentangan dengan Pasal 77 dan Pasal 78 UU TPPU yang mewajibkan dibuktikan tindak pidana asal terlebih dahulu. Terkait tindak pidana asal apabila terdakwa tidak bisa membuktikan harta kekayannya bukan diperoleh melalui tindak pidana maka sesuai Pasal 69 UU TPPU sangat dimungkinkan bahwa seorang terdakwa dapat dipidana dengan dakwaan yang belum terbukti secara materiil dan belum memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal 69 UU TPPU menyebutkan bahwa untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan sidang di pengadilan tidak mewajibkan dibuktikan tindak pidana asalnya terlebih dahulu. Pasal 69 UU TPPU akan mempemudah proses penyidikan dan pembuktian karena tidak harus menunggu waktu yang lama untuk pembuktian tindak pidana asalnya. Harta kekayaan yang merupakan obyek dalam tindak pidana pencucian uang harus mengacu pada perampasan aset sebagai upaya pengembalian kerugian negara melalui pembuktian terbalik.101 Pasal 69 UU TPPU harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada tanpa melanggar hak asasi manusia terdakwa. Sebagai contoh, dalam melakukan perampasan harta kekayaan terkait tindak pidana harus benar-benar secara selektif bahwa harta tersebut adalah terkait tindak pidana. Selain itu selama harta kekayaan dirampas, pihak-pihak yang bersangkutan harus melaksanakan kewajiban dengan baik yaitu menjaga agar harta kekayaan tersebut tidak rusak.102

101 Wawancara Raden Rara Rahayu, Jaksa Kejaksaan Negeri Surakarta, pada 17 November 2017

102 Wawancara Agus Sriyono, Banit Sat Reskrim Uniy IV, Polresta Surakarta, pada 11 Januari 2018

(32)

2) Polisi

Polisi sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi yaitu penyidik KPK, sangat mendukung dalam memberantas korupsi secara optimal, akan tetapi wewenang penyelidikan, penyidikan sampai tahap penuntutan yang dimiliki KPK dalam menangani tindak pidana korupsi tidak selalu diikuti pengaturannya dalam UU TPPU. Pengaturan wewenang KPK dalam UU TPPU hanya terbatas pada penyidikan tindak pidana asal saja, padahal antara tindak pidana korupsi yang merupakan tindak pidana asal tindak pidana pencucian uang memliki keterkaitan satu dengan lainnya. Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang lebih berkembang dari tindak pidana korupsi karena adanya proses penghilangan alat bukti dan menjadikan bukti berupa harta kekayaan yang berasal dari korupsi tersebut menjadi sah, jika dalam tindak pidana korupsi wewenang KPK saja sistematis dari penyelidikan, penyidikan sampai tahap penuntutan, maka seharusnya wewenang yang sama juga diatur dalam UU TPPU khusus pada tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya berasal dari tindak pidana korupsi.103

Alangkah baiknya apabila UU Tipikor maupun UU TPPU selalu diartikan sebagai satu kesatuan sistem hukum yang saling berhubungan dan tidak terpisah dalam tindak pidana pencucian uang dengan perkara pokok tindak pidana korupsi.

3) Hakim

Pokok persoalan pembuktian terbalik yang diperintahkan oleh hakim terdapat pada Pasal 78 UU TPPU yang menyebutkan bahwa untuk kepentingan persidangan, terdakwa harus membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Artinya ketentuan pembuktian terbalik yang hanya bisa dilakukan ketika seseorang telah berstatus sebagai terdakwa tindak pidana pencucian uang di persidangan menimbulkan kesulitan bagi

103 Wawancara Agus Sriyono, Banit Sat Reskrim Unit IV, Polresta Surakarta, pada 25 Juli 2018

(33)

penuntut umum untuk kembali membuktikan sebaliknya dari pembuktian oleh terdakwa karena keterbatasan waktu persidangan.

Pasal 78 UU TPPU harus memuat mengenai prosedur atau cara terdakwa dalam membuktikan dan syarat-syarat atau standar yang harus ada untuk dapat dinyatakan berhasil tidaknya terdakwa membuktikan.

Belum diatur secara tegas juga mengenai implikasi apabila terdakwa tidak mengindahkan atau mengindahkan perintah hakim tetapi pembuktiannya tidak sesuai dengan Pasal 78 UU TPPU, karena pada dasarnya kita tahu bahwa hakim adalah pihak yang berwenang menilai cara pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa. Apabila hal tersebut tidak diatur secara jelas dan rinci dikhawatirkan akan melahirkan ketidakpastian hukum, sehingga mengenai hal ini perlu diatur bagaimana implikasi bagi terdakwa atas keadaan-keadaan seperti diatas apakah pembuktian terdakwa tersebut berlaku seutuhnya, berlaku sebagian, atau bahkan tidak berlaku di depan persidangan.104

Perlu juga pengaturan lebih tegas mengenai Pasal 77 dan Pasal 78 UU TPPU bahwa harta kekayaan yang dibuktikan adalah benar hanya harta kekayaan yang bukan berasal dari tindak pidana. Dalam hal ini penyidik maupun penuntut umum harus benar-benar selektif untuk menentukan harta kekayaan terdakwa yang wajib atau tidak wajib dibuktikan terdakwa.

Hakikat pengembalian aset hasil tindak pidana pencucian uang dengan perkara pokok tindak pidana korupsi tercermin dalam penegakan hukum yang mengatur upaya pengembalian kerugian keuangan negara. Berlakunya kebijakan hukum pidana termasuk di dalamnya penerimaan pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang tergantung pada politik hukum suatu negara.

Rasio logis dari pembuktian terbalik tentu mengarah pada upaya untuk mengatasi kendala dalam proses pembuktian.

104 Wawancara Agus Sriyono, Banit Sat Reskrim Uniy IV, Polresta Surakarta, pada 11 Januari 2018

Referensi

Dokumen terkait

Disertasi yang berjudul : Penguatan Sistem Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Pencucian Uang Dengan Perkara Pokok Tindak Pidana Korupsi Dalam Upaya Pengembalian

 Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang- undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

Dengan demikian dapat terlihat bahwa pembuktian terbalik merupakan suatu penyimpangan dari hukum pembuktian yang diterapkan terhadap tindak pidana korupsi dan tindak pidana

Skripsi ini mencoba untuk menggali dan mengkaji penerapan pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang baik ditinjau dari

Karena jual-beli yang seperti ini hukumnya haram, si pedagang menjual sesuatu yang barangnya sama sekali tidak ada padanya, dan menjual sesuatu yang belum

a. Pasal 12 huruf e Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menerangakn bahwa pada dasarnya tindak pidana pemerasan adalah pemerasan yang dilakukan oleh pejabat

“Kalo di lihat dari sisi ekonomi Islam, sepertinya saya masih ragu terhadap akad yang dilakukan dalam transaksi jual beli sistem kontrak tersebut, karena walaupun

Dalam proses transaksi jual beli grosir di Pasar Darmo Trade Centre (DTC) Wonokromo Surabaya, jual beli grosir yang sering dilakukan adalah jual beli dimana pihak