1 LAPORAN AKHIR PENELITIAN INTERNAL DOSEN
AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN CAMPURAN TANPA SURAT PERJANJIAN PERKAWINAN DAN KAITANNYA DENGAN HAK MILIK
TANAH (STUDI KASUS IKA FARIDA)
Para Peneliti:
Ketua Tim: Utji Sri Wulan, S.H., M.H Anggota: 1. Anggi Dewinta C,S.H., M.H
2. Ika Septiana Rahman (Mahasiswa)
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASILA
2020
2 ABSTRAK
Perkawinan campuran antar warga negara tidak bisa terelakkan dan menimbulkan banyak konflik hukum, salah satunya pada kaitannya dengan hak atas tanah bagi harta bersama perkawinan campuran jika perkawinan campuran tidak didasari perjanjian perkawinan. Hal ini terlihat pada kasus Ike Farida, yang menikah dengan seorang berkewarganegaraan Jepang. Ike Farida melakukan pembelian rumah susun namun perjanjian pembelian dibatalkan secara sepihak oleh pengembang dengan alasan suami merupakan Warga Negara Asing (WNA) dan tidak memiliki perjanjian perkawinan. Penelitian ini dibuat menggunakan metode penelitian hukum normatif, menggunakan data sekunder, data tersebut diolah menggunakan studi kepustakaan dan dianalisis secara kualitatif. Penelitian ini menghasilkan bahwa setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUUXIII/2015, di mana yang awalnya perjanjian kawin hanya dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan akhirnya dapat di buat setelah atau selama perkawinan berlangsung dan perjanjian tersebut harus segera di sahkan oleh pegawai pencatat perkawinan di mana isi dari perjanjian tersebut berlaku terhapat pihak ketiga selama pihak ketiga terlihat atas perbuatan hukum yang di lakukan para pihak perkawinan campuran dalam perjanjian kawin yang di buat. Oleh sebab itu, dalam perkawinan campuran, baiknya para pihak harus paham betul akibat-akibat hukum yang akan muncul. Akibat dari tidak ada pemahaman mengenai pentingnya pejanjian perkawinan yang berkaitan dengan harta kekayaan khususnya hak milik tentu akan berdampak terhadap kepemilikan tanah di Indonesia.
Kata Kunci: Perkawinan campuran, perjanjian perkawinan, hak milik.
3
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang teramat dalam penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayat-Nya sehingga para penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN CAMPURAN TANPA SURAT PERJANJIAN PERKAWINAN DAN KAITANNYA DENGAN HAK MILIK TANAH (STUDI KASUS IKA FARIDA)“.
Selanjutnya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dari para rekan sesame Dosen dan juga Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Pancasila dan para pihak terkait lainnya, maka penelitian ini tidak akan terwujud, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang besar kepada:
1. Ketua Laboratorium 1 Fakultas Hukum Universitas Pancasila.
2. Sekretaris Laboratrium 1 Fakultas Hukum Universitas Pancasila, dan 3. Jajaran Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Pancasila.
Penulis menyadari, karena keterbatasan yang ada pada diri penulis maka penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari para pembaca untuk membantu dalam penyempurnaan penulisan penelitian ini. Akhir kata penulis mengharapkan semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang telah membaca. Selain itu penulis juga berharap semoga penelitian ini dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan hukum.
Jakarta, 25 Agustus 2020
Para Penulis
4
DAFTAR ISI
Halaman Judul Abstrak
Kata Pengantar Daftar Isi
Bab I: Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Kerangka Konsep ... 9
E. Metode Penelitian ... 10
Bab II: Perkawinan Dan Perkawinan Campuran A. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ... 13
B. Perkawinan Campuran Menurut Ketentuan Hukum Yang Berlaku Di Indonesia ... 15
C. Sahnya Perkawinan Campuran ... 18
Bab III : Akibat Hukum Dari Perkawinan Campuran Tanpa Surat Perjanjian Pranikah Dan Kaitannya Dengan Hak Milik Tanah A. Perjanjian Perkawinan Dalam Perkawinan Campuran ... 25
B. Perkawinan Campuran Tanpa Perjanjian Perkawinan ... 30
C. Akibat Hhukum terhadap Hak Atas Tanah Hak Milik dalam Perkawinan Capuran tanpa Perjanjian Perkawinan. ... 33
Bab IV: PENUTUP A. Simpulan ... 43
B. Saran ... 44
Daftar Pustaka 45
5 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia selalu hidup saling membutuhkan dan individu memiliki jiwa yang menyadari kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat didasari karena didorong oleh kekuatan biologis yang merupakan kebutuhan seorang manusiawi, seperti keinginan untuk mendapatkan keturunan. Mendapatkan keturunan adalah keinginan dari setiap manusia dimana disitu mereka bisa menemukan kebahagiaan. Dan satusatunya cara yang bisa dilakukan manusia untuk bisa memiliki keturunan adalah dengan membentuk keluarga yang bahagia dan dirahmati oleh Allah SWT, dan hal tersebut dilakukan melalui ikatan perkawinan.
Perikatan perkawinan sangat penting dalam pergaulan masyarakat, bahkan hidup bersama ini yang kemudian melahirkan keturunan mereka yang merupakan sendi utama dari pembentukan negara dan bangsa.1
Warga Negara Indonesia hidup di masyarakat itu masing-masing mempunyai fungsi pribadi dan fungsi sosial. Dimana nanti kita akan bertemu seseorang dan akan berkeluarga, bertemu dengan pasangan kita, bertemu seseorang dari latar belakang apapun, agama, suku dan bisa beda negara. Tidak bisa terelakkan apabila kita bertemu jodoh kita adalah seorang Warga Negara Asing atau WNA, kemudian jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah membentuk suatu keluarga. Permasalahan jatuh cinta dengan WNA ini lebih kompleks terutama apabila nanti menikah. Karena bisa berbeda agama, berbeda bahasa, berbeda budaya, berbeda Negara dan berbeda Warga Negara.2
1 Laurensius Arliman S, 2019. “Peran Lembaga Catatan Sipil Terhadap Perkawinan Campuran Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan.” (Jakarta: JCH (Jurnal Cendikia Hukum)) hal 289
2 Nurmala Ika Widiasari, 2017. “Tijauan Yuridis Tentang Perolehan Hak Atas Tanah Bagi Peremuan WNI Yang Terikat Perkawinan Campuran.” Jurnal Akta 4(1):25.
6 Lembaga perkawinan sangat penting bagi kehidupan manusia, bangsa dan negara, dan oleh karena itu sudah seharusnya negara memberikan suatu perlindungan yang selayaknya pada keselamatan perkawinan tersebut, Undang- undang yang mengatur tentang perkawinan secara Nasional yang berlaku bagi semua Warga Negara Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (yang selanjutnya disebut UU Perkawinan).
Melihat dari berbagai aturan yang masih berlaku, serta sebagai bentuk dari pelaksanaan HAM pasal 28 B UUD 45, maka segala jenis perkawinan sah-sah saja, selama mengikuti aturan tersebut, termasuk pula dengan perkawinan campuran. Melihat dari pengertian perkawinan campuran dalam Regeling Op de Gemengde Huwelijken (selanjutnya disebut RGH) S.1898 nr.158 pasal 1:
“Perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan.”
Menurut Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang Undang Perkawinan) disebutkan bahwa Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan pihak yang lain berkewarganegaraan Indonesia. Dari definisi Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini dapat diuraikan unsur-unsur perkawinan campuran itu sebagai berikut:
1. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita;
2. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan;
3. Karena perbedaan kewarganegaraan;
4. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Unsur pertama menunjuk kepada asas monogami dalam perkawinan. Unsur kedua menunjuk kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan bagi wanita yang melangsungkann per kawin itu. Tetapi perbedaan hukum tersebut bukan karena perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia melainkan karena unsur ketiga yaitu perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan ini pun bukan kewarganegaraan asing semuanya, melainkan unsur keempat menyatakan bahwa Perkawinan campuran tersebut memiliki beberapa konsekuensi yang
7 sehubungan dengan kewarganegaraan, bagi masing-masing pihak dalam perkawinan campuran.
Contoh kasus yang dialami oleh Ike Farida pada tahun 1995 yang menikah dengan warga berkebangsaan Jepang. Ketika itu, perempuan yang juga berprofesi sebagai pengacara itu tidak membuat perjanjian kawin pisah harta, dan tetap berkewarganegaraan Indonesia serta sekeluarga menetap di Indonesia. Sejak dulu, Ike Farida berkeinginan untuk memiliki apartemen di Jakarta. Baru pada 2012, cita-cita itu direalisasikan, dengan membeli apartemen di Kawasan Jakarta Selatan. Pembelian itu dilakukan dengan metode cash bertahap. Namun, setelah pembayaran lunas, pengembang tak segera menyerahkan unit apartemen. Bahkan yang mengejutkan, perjanjian pembelian dibatalkan secara sepihak oleh pengembang dengan dalih suami Ike Farida berkewarganegaraan asing, dan Ike Farida tidak memiliki perjanjian kawin untuk pemisahan harta. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 12 November 2014 yang menguatkan penolakan pengembang apartemen. Hak Ike Farida untuk memiliki apartemen musnah oleh pemberlakuan Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dan Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain pasal-pasal itu, Pasal 21 ayat (1), ayat (3) UUPA dan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU Perkawinan juga dianggap sangat berpotensi merugikan hak konstitusional Ike Farida karena dapat menghilangkan dan merampas haknya untuk dapat mempunyai Hak Milik dan Hak Guna Bangunan.
Berdasarkan kasus di atas, maka dapat disimpulkan bahwa apabila seorang suami atau istri membeli benda tidak bergerak (dalam hal ini rumah susun/apartemen) sepanjang perkawinan maka apartemen tersebut akan menjadi harta bersama atau gono gini suami istri yang bersangkutan. Termasuk juga jika perkawinan tersebut adalah perkawinan campuran (perkawinan antara seorang WNI dengan seorang WNA) yang dilangsungkan tanpa membuat perjanjian kawin harta terpisah, maka demi hukum apartemen yang dibeli seorang suami/istri WNI dengan sendirinya menjadi milik istri/suami yang WNA juga.
8 Demikian pula sehubungan dengan masalah kepemilikan tanah dan bangunan di Indonesia, dalam perkawinan campuran, seorang Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran dilarang memiliki hak milik atas tanah, namun dilain pihak apabila melihat peraturan yang berlaku, dikatakan pula bahwa hak bangsa Indonesia terhadap tanah merupakan hak ulayat, yaitu hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, hal tersebut menyebabkan ketidakadilan terhadap Warga Negara Indonesia yang kawin dengan warga negara asing, sebab sebagai Warga Negara Indonesia, ia tetap memiliki hak ulayat yang sama dengan Warga Negara Indonesia lainnya.
Untuk mencegah terjadinya ketidakadilan tersebut, maka membuat suatu perjanjian kawin merupakan solusinya, yaitu untuk mengatur mengenai harta benda yang mereka miliki, baik itu yang dipunyai sebelum perkawinan maupun yang mereka peroleh di dalam perkawinan, termasuk didalamnya kepemilikan atas tanah dan bangunan rumah tempat tinggal di Indonesia dengan status hak atas tanah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Karena permasalahan yang cukup banyak dalam perkawinan campuran dan kaitannya dengan hak atas tanah, terdapat beberapa penelitian yang membahasnya. Pada 2019 Justitia Henryanto Ghazaly dalam Jurnal Cendikia Hukum Vol. 5, No 1, September 2019 membahas mengenai kaitan antara perkawinan campuran dengan hak atas tanah dengan judulKepemilikan Hak Atas Tanah Dalam Perkawinan Campuran. Pada Jurnal ini Penulis membahas pokok permasalahan: Apakah para pihak dalam perkawinan campuran mendapat halangan untuk memiliki hak atas tanah di Indonesia ? Dan Apakah akibat hukum dari perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan bagi para pihak?
Sasmiar, Pada Jurnal Ilmu Hukum Universitas Jambi (tanpa tahun) dengan judul Perkawinan Campuran Dan Akibat Hukumnya. Pada jurnal ini penulis membahas: bagaimanakah akibat hukum dari perkawinan campuran bagi pelaku perkawinan campuran khususnya Warga Negara Indonesia (WNI) dan bagi anak dari perkawinanl campuran tersebut?
Muhammad Rizqi Pada Jurnal Ilmiah Universitas Mataram (Tanpa Tahun) Dengan Judul Kepemilikan Hak Atas Tanah Akibat Perkawinan Campuran
9 Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Studi Di Lombok Barat). Jurnal ini membahas mengenai:
Bagaimana pengaturan kepemilikan hak atas tanah sebagai harta perkawinan dalam perkawinan campuran di Indonesia menurut UUPA; 2. Bagaimana Status Kepemilikan Tanah WNI Dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran Berdasarkan Pengalaman Langsung Pelaku Perkawinan Campuran di Lombok Barat dan Apakah Ada Kesesuaian Dengan Peraturan Perundang-undangan Yang Berlaku.
Berbeda dari ketiga jurnal di atas, penelitian kami membahas mengenai akibat hukum pertanahan bagi perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan dengan menggunakan contoh kasus Ike Farida, penelitian kami menitik beratkan pada perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan yang akhirya menghasilkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUUXIII/2015.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
“ Bagaimana akibat hukum dari perkawinan campuran tanpa surat perjanjian perkawinan dan kaitannya dengan hak milik?"
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:
“Agar para peneliti dapat mengkaji dan mengetahui akibat hukum dari perkawinan campuran tanpa surat perjanjian perkainan dan kaitannya dengan hak milik”.
D. Kerangka Konsep
Pada penelitian ini, para peneliti menggunakan konsep:
1. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagi suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
10 tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Perkawinan campuran perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita, yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
3. Perjanjian perkawinan persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masingmasing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah.3
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Dalam menjawab permasalahan yang diajukan dalam peneltian ini menggunakan penelitian normatif. Penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.4 Penelitian hukum normatif (normative law research) menggunakan studi kasus normatif berupa produk perilaku hukum, misalnya mengkaji undangundang. Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang belaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Sehingga penelitian hukum normatif berfokus pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan hukum dan sejarah hukum.5
3 Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), 119.
4 Yamin dan utji Sri Wulan Wuryandari, Nukilan Metode Pebelitian Hukum,(Jakarta:
Fakultas Hukum Universiats Pancasila, 2015), Hal.7.
5 Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Cet. 1. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti. Hal. 52
11 2. Data hukum
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan data sekunder yaitu meneliti bahan pustaka atau data sekunder.Jenis-jenis data yang digunakan terdiri dari:
a. Data Sekunder
Sedangkan untuk data sekunder, peneliti menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Peneliti menelusuri bahan ilmiah atau tulisan-tulisan ilmiah lainnya sehingga akan menambah pengetahuan dan akan menimbulkan pandangan yang obyektif. Bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum (peraturan perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (putusan-putusan pengadilan).6 Penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peratuan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA).
b. Baham hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa bahan-referensi yang terkait dan membahas tentang bahan hukum primer sehingga Para peneliti dapat mendapatkan penjelasan dan pemahaman terhadap bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi
6 Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Cet. Ketiga. (Jakarta : Kencana Predana Media Group. 2007) Hal 144-146.
12 penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: kamus hukum dan ensiklopedia.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti guna mendapatkan data yang dibutuhkan adalah dengan cara Studi Kepustakaan (analisis teks) yang diambil dari teks-teks terkait pada data sekunder.
4. Analisis data
Data yang diperoleh yaitu berupa data sekunder yang dikumpulkan, disusun, dijelaskan dan dianalisis dengan cara kualitatif, yaitu dengan mempelajari, menganalisis memberikan arti, menginterpretasikan pada setiap data yang diolah, kemudian diuraikan dalam bentuk uraian kalimat secara sistematis dan logis untuk memudahkan penarikan kesimpulan, serta memperhatikan kualitas serta kedalaman data yang diperoleh sehingga memperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Dalam analisis kualitatif ini, hasil penelitian tidak menekankan pada berapa jumlah peristiwa hukum yang terjadi, melainkan bagaimana kualitas peristiwa hukum yang terjadi itu dan mengapa hal itu bisa terjadi; serta apa yang perlu diperbaiki dan ditambahkan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
BAB II
PERKAWINAN DAN PERKAWINAN CAMPURAN
13 Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, seorang perempuan dan seorang laki – laku, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama. Hidup bersama ini berakibat sangat penting di dalam masyarakat. Akibat paling dekat adalah bahwa dengan hidup bersama antara dua orang manusia ini mereka sekedar menyendirikan diri dari anggota – anggota lain dari masyarakat. Akibat yang lebih jauh ialah bahwa kalau kemudian ada anak – anak keturunan mereka, dengan anak – anaknya itu mereka merupakan suatu keluarga tersendiri.7
Perkawinan merupakan bentuk kerjasama dalam kehidupan antara seorang laki – laki dan seorang wanita di dalam masyarakat di bawah suatu peraturan khusus dan hal ini diperhatikan oleh agama, negara, dan adat. Hal ini berarti dari pperaturan tersebut bertujuan untuk mengumumkan status baru kepada orang lain sehingga pasangan suami istri ini diterima dan diakui statusnya sebagai pasangan yang sah menurut hukum, agama, negara, dan juga adat. Sebelum adanya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 di Indonesia berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara dan berbagai daerah.8
Pengertian perkawinan dapat diperinci sebagai berikut:
1) Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri.
2) Ikatan lahir batin tersebut ditujukan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia yang kekal dan sejahtera.
3) Ikatan dan tuuan bahagia yang kekal tersebut berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.9
A. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
7 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ctk. Kesembilan, Sumur Bandung, Jakarta, 1991, Hlm. 7.
8 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan di Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat dan Hukum Agama, Ctk. Pertama, Mandar Maju, Bandung, 1990, Hlm. 4.
9 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas – Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Ctk.
Pertama PT. Bina Aksara, Jakarta, 1897, Hlm. 3.
14 Ikatan perkawinan merupakan unsur pokok dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan penuh rasa cinta kasih, maka dalam pelaksanaan perkawinan tersebut diperlukan norma hukum yang mengaturnya. Penerapan norma hukum dalam pelaksanaan perkawinan terutama diperlukan dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab masingmasing anggota keluarga guna membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera. Perkawinan selain merupakan masalah keagamaan juga merupakan suatu perbuatan hukum, sebab dalam melangsungkan perkawinan, kita harus tunduk pada peraturan-peraturan perkawinan yang ditetapkan oleh negara yaitu Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut PP No.9 Tahun 1975 ) yang berlaku efektif pada tanggal 1 Oktober 1975.
Menurut Undang-Undang Perkawinan pengertian tentang perkawinan yang diatur dalam Pasal 1 yang berbunyi : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam era globalisasi telah melahirkan hubungan antar negara semakin kompleks, sehingga dengan mudah bangsa lain (Warga Negara Asing) keluar masuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terhadap keberadaan orangasing tersebut menimbulkan perubahan sosial dan budaya, terutama di lingkungan tempat banyaknya orang asing berada.
Perkawinan dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah huwelijk atau bahasa Inggrisnya marriage yang didefinisikan sebagai The Legal union of a couple as husband and wife10 yang artinya perkawinan itu dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan serikat hukum pasangan sebagai suami istri. Perkawinan merupakan suatu peristiwa dalam kehidupan seseorang yang mempengaruhi status
10 Bryan A.Garner, 2011, Black’s Law Dictionary, 4th Edition, ST Paul-Minnessota : West Publishing Co, USA, hal. 476
15 hukum orang yang bersangkutan.11 Sedangkan perkawinan menurut Wirjono Prodjodikoro di dalam bukunya Djaja S. Melia, perkawinan adalah hidup bersama antara seorang laki-laki dan perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.12
Perkawinan Campuran telah merambah seluruh pelosok tanah air dan lapisan masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, transformasi telah meningkatkan mobilitas manusia dengan jalan migrasi dari satu negara ke negara lain, menyebabkan seseorang bertemu dan berkomunikasi dengan berbagai suku bangsa yang berbeda budaya, agama maupun kebiasaan. Pertemuan dan komunikasi tersebut memungkinkan penduduk suatu negara melangsungkan perkawinan dengan orang asing yang berdomisili sementara maupun tetap (residence) sehingga timbulah apa yang dinamakan dengan perkawinan campuran.
B. Perkawinan Campuran menurut ketentuan Hukum yang berlaku di Indonesia
Perkawinan dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah huwelijk atau bahasa Inggrisnya marriage yang didefinisikan sebagai The Legal union of a couple as husband and wife13 yang artinya perkawinan itu dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan serikat hukum pasangan sebagai suami istri. Perkawinan merupakan suatu peristiwa dalam kehidupan seseorang yang mempengaruhi status hukum orang yang bersangkutan.14
Pasal 1 UUP mengatur perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagi suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan tergolong urusan privat atau persoalan pribadi masing-masing orang, bisa melakukan dapat pula tidak, dalam arti bahwa perkawinan itu bukan merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. “However, marriage is not
11 I Ketut Oka Setiawan, 2016, Hukum Perorangan dan Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta, hal.42
12 Djaja S. Melia, 2015, Perkawinan Beda Agama dan Penghayat Kepercayaan di Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Kontitusi, Nuansa Aulia, Bandung, hal.11
13 Bryan A.Garner, 2011, Black’s Law Dictionary, 4th Edition, ST Paul-Minnessota : West Publishing Co, USA, hal. 476
14 Ketut Oka Setiawan, 2016, Hukum Perorangan dan Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta, hal.42. 3
16 an obligation and this gives due credence to the fact that some individuals may not want to marry at all”.15
Seiring dengan perkembangan jaman, kemajuan teknologi dan mobilitas manusia yang meningkat tajam, tidak menutup kemungkinan semakin banyak ditemukan WNI melakukan perkawinan dengan WNA yang biasanya dikenal dengan istilah perkawinan campuran. Konsep perkawinan campuran menurut Stb.
Nomor 158 Tahun 1898. Pasal 1 Stb. Nomor 158 Tahun 1989 mengatur
“Perkawinan Campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum-hukum yang berlainan. ”Hukum-hukum yang berlainan itu terjadi karena perbedaan kewarganegaraan, tempat, golongan, dan agama.
Perkawinan campuran menurut UUP hanya menekankan pada perbedaan kewarganegaraan dan salah satunya harus warga negara Indonesia.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan campuran tertuang pada GHR yang menyebutkan jenis perkawinan campuran yaitu perkawinan yang para pihaknya berbeda golongan, berbeda kewarganegaraan, berbeda region, berbeda hukum adat dan berbeda agama.
Berdasarkan Pasal 2 jo.6 GHR yang intinya adalah hukum calon suami. Menurut Reglemen tersebut sebuah perkawinan campuran sah apabila perkawinan tersebut dilangsungkan menurut hukum golongan penduduk suami, akan tetapi GHR ini sudah tidak berlaku lagi semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
UUP sebagai sebuah bangunan hukum, merupakan bentuk pernyataan kehendak pembuatnya yang didasari tata pikir logis yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk berakal. “The legal instruments that are the subject of interpretation have not typically been slapped togheter thoughtlessly but are the considered expression of intelligent human beings”.16
Perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita, yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan
15 Rafia Arshad, 2010, Islamic Family Law, Thomson Reuters (Legal) Limited, London, hal.41.
16 Antonin Scalia, 2012, Reading Law : The Interpretation Of Legal Texts, Thomson, St.
Paul, hal.51.
17 kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Perkawinan campuran diatur didalam UU Perkawinan yaitu pada Pasal 57 sampai dengan Pasal 62. Pengertian perkawinan campuran terdapat pada Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan pada rumusan pasal tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur perkawinan campuran sebagai berikut :
a) Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita Unsur ini menjelaskan bahwa perkawinan campuran itu adalah perkawinan monogami.
b) Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan Unsur ini menjelaskan bahwa perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan bagi wanita yang kawin campuran itu bukan karena perbedaan agama, suku bangsa, dan golongan di Indonesia, melainkan karena kewarganegaraan.
c) Perbedaan Kewarganegaraan Unsur ini menjelaskan bahwa salah satu pihak yang akan melangsungkan perkawinan campuran itu harus warga negara asing.
d) Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia Unsur ini mempertegaskan bahwa pihak pria atau pihak wanita dalam perkawinan campuran harus warga negara Indonesia.
Di dalam Pasal 58 UU Perkawinan, perkawinan campuran yang berlaianan kewarganegaraan dapat memperoleh kewarganegaraan suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan undangundang. Berdasarkan ketentuan yang diatur pada kedua pasal tersebut, bahwa Perkawinan Campuran yang dimaksud dalam UUP adalah perkawinan antara dua orang yang memiliki status kewarganegaraan berbeda, dimana salah satu pihak haruslah seorang WNI dan pihak lainnya adalah WNA.
Perkawinan Campuran tersebut dapat mengakibatkan salah satu pihak baik suami maupun istri mendapatkan kewarganegaraan dari Negara asal suami ataupun istri apabila hukum Negara asal suami ataupun istri tersebut menghendaki demikian. Selain itu, perkawinan campuran juga dapat mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan suami atau istri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kewarganegaraan Indonesia.
18 C. Sahnya Perkawinan Campuran
Warga Negara Indonesia hidup di masyarakat itu masing-masing mempunyai fungsi pribadi dan fungsi sosial. Dimana nanti kita akan bertemu seseorang dan akan berkeluarga, bertemu dengan pasangan kita, bertemu seseorang dari latar belakang apapun, agama, suku dan bisa beda negara. Tidak bisa terelakkan apabila kita bertemu jodoh kita adalah seorang Warga Negara Asing atau WNA, kemudian jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah membentuk suatu keluarga.
Permasalahan jatuh cinta dengan WNA ini lebih kompleks terutama apabila nanti menikah. Karena bisa berbeda agama, berbeda bahasa, berbeda budaya, berbeda Negara dan berbeda Warga Negara. (Nurmala Ika Widiasari, 2017: 25)17
Sejak berlakunya buku peraturan undang-undang Perkawinan (UUP) menerangkan bahwa para pihak yang melakukan ikatan lahir dan batin harus berpedoman kepada buku peraturan Undang-Undang ini dimana sah nya perkawinan terletak di pasal 2 Undangundang Perkawinan ayat(1) dimana sahnya suatu perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Ayat(2) Tiap-tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selama belum terdaftar/dicatatkan menurut Undang-undang yang berlaku maka perkawinan tersebut belum bisa dikatakan sah di mata hukum Negara.
Perihal tentang pendaftaran/pencatatan perkawinan telah di atur dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 yang mana pendaftaran/pencatatan perkawinan bagi mereka yang beragama islam dapat di daftarkan/dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan bagi perkawinan mereka selain agama islam dapat juga di daftarkan/dicatatatkan di kantor catatan sipil. Mengenai pendaftaran/pencatatan perkawinan juga tercantum di Undangundang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang bertujuan untuk mengatur tata-cara pendaftaran/pencatatan peristiwa penting
17
19 seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian seperti yang tertuang dalam pasal 1 angka 17 Undang-undang Administrasi Kependudukan.
Dengan terpenuhinya syarat-syarat Perkawinan yang cukup akan memberikan kepastian hukum dan kepentingan hukum bagi orang yang melangsungkan perkawinan akan terlindungi. Keanekaragaman budaya dan bahkan negara tidak lagi menjadi hambatan ataupun batasan untuk membentuk suatu hubungan. Hal ini seiringan dengan berkembang nya zaman, teknologi dan pola pikir manusia khususnya masyarakat Indonesia untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan seseorang dari belahan dunia berbeda bukanlah suatu hal yang tabu untuk saat ini. Adanya perkembangan ini, banyak keuntungan yang diperoleh oleh individu, kelompok masyarakat, sehingga bukanlah hal yang mustahil bila ada terjadi perkawinan individu yang mana para pihak memiliki kewarga- negaraan yang berlainan yang di Indonesia biasa dikenal sebagai perkawinan campuran seperti mana yang tercantum di pasal 57 Undang-undang Perkawinan (UUP) Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Apabila para pihak melakukan perkawinan di luar Indonesia maka perkawinan tersebut dapat dikatakan sah bilamana perkawinan tersebut menurut hukum Negara yang berlaku menurut di Negara mana perkawinan tersebut di langsungkan dan di haruskan selambatlambat nya 1(satu) tahun setelah kembali ke Indonesia harus segera di daftarkan/dicatatkan oleh pegawai pencatatan perkawinan dimana tempat mereka tinggal agar tidak melanggar Undang-undang dan hukum di Indonesia.
Dalam Undang-undang Perkawinan (UUP), konsep perkawinan campuran hanya menekankan pada perbedaan kewarganegaraan, dan salah satunya harus kewarganegaraan Indonesia. Dalam perkawinan campuran karena adanya perbedaan kewarga-negaraan dari suami atau istri maka pihak istri mempunyai pilihan, yaitu mengikuti status kewarganegaraan dari suami atau istrinya untuk memperoleh kesatuan hukum dalam perkawinan atau tetap mengikuti
20 kewarganegaraan nya semula dengan mempertahankan kewarga-negaraan Indonesia dengan berpedoman dengan aturan yang ada dalam Undang-undang.
Berdasarkan UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan di mana yang disebut Kewarganegaraan adalah suatu warga Negara yang menurut perundangundangan/hukum secara resmi merupakan warga yang sah dari Negara tersebut. Perkawinan campuran di laksanakan di Indonesia yang berpedoman pada Undangundang yang berlaku di mana kewarganegaraan di dapat karena perihal perkawinan atau putusnya perkawinan yang menentukan adalah hukum yang berlaku baik hukum publik ataupun hukum perdata. Mengenai untuk tata-cara
Perkawinan campuran di Indonesia diatur dalam Pasal 57 Undang Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, maka terlihat bahwa perkawinan campuran diperbolehkan di Indonesia. Undang-undang tersebut menyebutkan perkawinan semacam itu merupakan perkawinan antara dua orang yang ada di Indonesia, tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.18
Berkaitan dengan hal ini Pasal 59 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia, dilakukan menurut undang-undang perkawinan tersebut. Jika mengacu pada kedua pasal tersebut, perkawinan campuran dapat dilangsungkan di Indonesia, tetapi harus memenuhi ketentuan yang ada di dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan sebagai berikut:
“Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan, sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi masing- masing pihak telah dipenuhi.”.
A. Akibat Hukum Perkawinan Campuran
Perkawinan seperti perkawinan campuran dan perkawinan yang dilakukan di luar Indonesia berkemungkinan menyangkut 2 (dua) sistem hukum yang berbeda, sehingga tata cara dan ketentuan yang mempengaruhi sah atau tidaknya
18 Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
21 perkawinan tersebut serta akibat hukumnya perlu memperhatikan sistem hukum masing-masing mempelai. Dengan perkawinan yang sah akan menimbulkan akibat hukum yang sah, demikian juga dengan perkawinan campuran akan menimbulkan akibat hukum yaitu :
1) Hubungan hukum antara suami istri,
2) Akibat hukum terhadap harta perkawinan dan 3) Hubungan hukum antara orang tua dengan anak.
Perkawinan campuran akan menjadi masalah Hukum Perdata Internasional, karena menyangkut 2 (dua) sistem hukum nasional yang berbeda.
Pada masa berlakunya GHR (Regeling of de Gemengde Huwelijken) Stb.1898 No.158 untuk mengatasinya yaitu diberlakukan hukum pihak suami.Masalah harta perkawinan campuran ini apabila pihak suami warga Negara Indonesia, maka tidak ada permasalahan, karena diatur berdasarkan hukum suami yaitu UU Perkawinan No.1 Tahun 1974. Apabila istri berkewarganegaraan Indonesia dan suami berkewarganegaran asing maka dapat menganut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 6 ayat (1) GHR, yaitu diberlakukan hukum pihak suami, oleh karena sejak berlakunya UU Perkawinan, GHR tersebut tidak berlaku, maka sebaiknya masalah ini diatur dalam Hukum Nasional, dan disesuaikan dengan asas-asas Hukum Perdata Internasional.
Perkawinan campuran dapat dilangsungkan di luar Indonesia (luar negeri) dan dapat pula dilangsungkan di Indonesia. Apabila dilangsungkan di luar negeri maka perkawinan tersebut sah bilamana perkawinan tersebut menurut hukum negara yang berlaku menurut di negara mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-Undang Pokok Perkawinan (Pasal 56 ). Apabila dilangsungkan di Indonesia, perkawinan campuran dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan ini (Pasal 59 Ayat (2)).
Mengenai syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan harus dipenuhi syarat- syarat perkawinan materiil yang berlaku menurut hukum masing-masing pihak (Pasal 60 Ayat (1) ).
Pejabat yang berwenang memberikan keterangan tentang telah dipenuhi syarat-syarat perkawinan menurut hukum yang berlaku bagi masing-masing pihak
22 ialah pegawai pencatat menurut hukum masing-masing pihak (Pasal 60 Ayat (2)).
Apabila pejabat pencatat menolak memberikan surat keterangan itu, yang berkepentingan mengajukan permintaan kepada Pengadilan, dan Pengadilan memberikan keputusannya. Jika keputusan Pengadilan itu menyatakan bahwa penolakan itu tidak beralasan, maka keputusan Pengadilan itu menjadi pengganti surat keterangan tersebut (Pasal 60 Ayat (3)) dan Ayat (4) ). Setelah surat keterangan atau keputusan Pengadilan diperoleh, maka perkawinan segera dilangsungkan. Pelangsungan perkawinan dilakukan menurut hukum masing- masing agama. Pelangsungan perkawinan dilakukan di hadapan pegawai pencatat.
Tata cara ini menurut Undang-Undang Perkawinan, jika perkawinan dilangsungkan di Indonesia. Jika perkawinan dilangsungkan di negara pihak lainnya itu, maka berlakulah ketentuan tata cara menurut hukum di negara yang bersangkutan (Pasal 56 Ayat (1) ). Ada kemungkinan setelah mereka memperoleh Surat Keterangan atau Putusan Pengadilan, perkawinan tidak segera mereka lakukan. Apabila perkawinan mereka tidak dilangsungkan dalam masa enam bulan sesudah keterangan atau putusan itu diberikan, maka surat keterangan atau putusan Pengadilan itu tidak mempunyai kekuatan lagi (Pasal 60 ayat (5)).
Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang (Pasal 61 Ayat (1)). Pegawai pencatat yang berwenang bagi yang beragama Islam ialah Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk (P3NTCR). Sedangkan bagi yang bukan beragama Islam ialah Pegawai Kantor Catatan Sipil.
Apabila perkawinan campuran dilangsungkan tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan, maka yang melangsungkan perkawinan campuran itu dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan (Pasal 61 Ayat( 2)).
Pegawai pencatat yang mencatat perkawinan, sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan dihukum jabatan (Pasal 61 Ayat( 3)).
23 Perkawinan campuran harus dipenuhi syarat-syarat perkawinan materil yang berlaku menurut hukum masing-masing pihak dimana perkawinan campuran tidak boleh di lakukan apabila belum bisa membuktikan/menunjukkan bahwa syarat perkawinan yang di tentukan oleh masingmasing pihak dipenuhi dan di berikan surat keterangan bahwa syarat-syarat sudah terpenuhi.
Apa bila pejabat bersangkutan menolak surat keterangan tersebut dikarenakan ada nya persyaratan yang belum terpenuhi maka para pihak yang mengajukan perkawinan tidak boleh di mintakan banding tentang penolakan tersebut seperti mana yang di sebutkan dalam pasal 60 Undang-undang Perkawinan bahwa :
1) Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang di tentukan oleh pihak masing- masing telah dipenuhi.
2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dank arena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi
3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh diminta banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.
4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersbut ayat(3).
5) Surat keterangan atau putusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.
Menurut UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan bagi suami-istri dalam perkawinan campuran khusus nya bagi Warga Indonesia yang masih mempertahankan kewarganegaraannya dapat mengajukan surat pernyataan kepada
24 pejabat yang telah di tunjuk oleh Undang-undang karena status kewarga-negaraan sangat lah penting, yang mana hal ini berkaitan terhadap hukum yang akan berlaku padanya dan juga kedudukan sebagai subjek pemegang hak atas tanah.
Mengingat dengan berlakunya peraturan perundang-undangan tentang Kewarganegaraan ini tentu saja membawa konsekuensi-konsekuensi yang di timbulkan, seperti dalam ikatan perkawinan campuran yang mana menurut Undang-undang Perkawinan (UUP) bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama di karenakan pembulatan harta bersama di mana di dalam nya terdapat sebahagiannya harta Warga Asing (WNA) selama mereka tidak mengatur lain mengenai harta benda dengan membuat perjanjian kawin.
BAB III
AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN CAMPURAN TANPA SURAT PERJANJIAN PRANIKAH DAN KAITANNYA DENGAN HAK
MILIK TANAH
A. Perjanjian perkawinan dalam Perkawinan Campuran
Perjanjian perkawinan yaitu, persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan
25 masingmasing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah.19 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.20
Perjanjian Perkawinan umumnya mengatur ketentuan bagaimana harta kekayaan mereka akan dibagi jika terjadi perpisahan hubungan antar keduanya, baik itu karena perceraian maupun kematian. Perjanjian Perkawinan juga memuat hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan masa depan rumah tangga mereka.21
Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 29 menjelaskan bahwa:
1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atau persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batasbatas hukum, agama dan kesusilaan.
3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.22
Sebenarnya UU No.1 Tahun 1974 tidak mengatur secara tegas tentang perjanjian perkawinan, hanya dinyatakan bahwa kedua belah pihak dapat mengadakan perjanjian tertulis yaitu Perjanjian Perkawinan. Dalam ketentuan ini tidak disebutkan batasan yang jelas, bahwa Perjanjian Perkawinan itu mengenai hal apa. Sehingga dapat dikatakan bahwa Perjanjian Perkawinan UU ini mencakup banyak hal. Disamping itu UU perkawinan tidak mengatur lebih lanjut
19 Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), 119.
20 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesi Edisi Ketiga, Jakarta : Balai Pustaka. 2005. hal. 458
21 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 45.
22 Departement agama RI, Himpunan Peratura perundang-Undangan Dalam Lingkup Peradilan Agama, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, 2001, 138.
26 tentang bagaimana hukum Perjanjian Perkawinan yang dimaksud.6 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak mengatur lebih lanjut bagaimana tentang Perjanjian Perkawinan dimaksud, hanya disebutkan bahwa kalau ada Perjanjian Perkawinan harus dimuat di dalam akta perkawinan (Pasal 12 h).23
Ketentuan tentang Perjanjian Perkawinan juga diatur dalam KUH Perdata Pasal 139, yang menetapkan bahwa dalam perjanjian kawin itu kedua calon suami isteri dapat menyimpangi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam harta bersama, asal saja penyimpangan-penyimpangan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Pada umumnya perjanjian kawin dibuat:
a) Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pada pihak yang lain.
b) Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan yang cukup besar.
c) Masing-masing mempunyai usaha sendirisendiri sehingga andaikata salah satu jatuh pailit yang lain tidak tersangkut.
d) Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggung gugat sendiri-sendiri.
Perjanjian sebagaimana tersebut haruslah dilaksanakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan haruslah dibuat dalam bentuk akta otentik dimuka notaris, akta otentik itu sangat penting karena dapat dijadikan bukti dalam persidangan pengadilan apabila terjadi sengketa tentang harta bawaan masing- masing. Jika tidak ada perjanjian kawin yang dibuat sebelum perkawinan dilaksanakan maka semua harta suami dan isteri terjadi perbauran. Tentang Perjanjian kawin ini dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan sepanjang tidak menyalahi tata susila dan ketentraman umum yang berlaku dalam masyarakat.24
23 K. Wantjik Saleh, 1980, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm.
32
24 Abdul Manan, 2003, Aneka Masalah Hukum Material dalam Praktek Peradilan Agama, Jakarta: Pustaka Bangsa, hlm. 153-154
27 Pasal 47 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah, mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. Pasal 47 ayat (2) perjanjian tersebut dalam ayat 1 dapat meliputi pencampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangn dengan hukum islam.25
Dari segi tujuan dan manfaat dibuatnya Perjanjian perkawinan masih sedikit calon pengantin yang memandang hal ini sebagai sesuatu yang positif. Hal ini dikarenakan masih dianggap tabu dan pamali di masyarakat. Ada sebagian masyarakat yang dapat menerima konsep pemikiran tentang pembuatan Perjanjian Perkawinan, tetapi lebih banyak masyarakat yang belum menerimanya, disebabkan adanya pandangan negatif yang menganggap Perjanjian Perkawinan sebagai sesuatu yang tidak umum, tidak etis, kecurigaan, egois, tidak sesuai dengan budaya orang timur yang penuh etika. Sebaliknya Perjanjian Perkawinan yang dianggap masih tabu dilakukan oleh masyarakat awam justru telah menjadi gejala baru di kalangna tertentu seperti selebritis, pengusaha dan lain-lain. Mereka umumnya berpandangan bahwa dengan adanya Perjanjian Perkawinan harta miliknya akan terjamin aman apabila terjadi perceraian. Dalam Perjanjian Perkawinan yang perlu dipertimbangkan adalah.
1) Keterbukaan dalam mengungkapkan semua detail kondisi keuangan baik sebelum mau pun sesudah pernikahan. Berapa jumlah harta bawaan masing-masing pihak sebelum menikah dan bagaimana potensi bertambahnya sejalan dengan meningkatnya penghasilan atau karena hal lain misalnya menerima warisan. Kemudian berapa jumlah hutang bawaan masing-masing pihak sebelum menikah, bagaimana potensi hutang setelah menikah dan siapa yang bertanggung jawab terhadap pelunasan hutangnya. Tujuanya agar tahu persis apa yang akan di terima dan apa yang akan dikorbankan jika perkawinan berakhir, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan nantinya.
25 Abdurrahman, 2007, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV Akademika Pressindo, hlm. 124
28 2) Kerelaan perjanjian pranikah harus disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak secara sukarela tanpa paksaan. Jika salah satu pihak merasa dipaksa, karena diancam atau berada dalam tekanan sehingga terpaksa menandatanganinya, perjanjian pranikah bisa diancam batal karenanya.
3) Pejabat yang obyektif. Pilihlah pejabat berwenag yang bereputasi baik dan bisa menjaga obyektivitas, sehingga dalam membuat isi perjanjian pranikah bisa tercapai keadilan bagi kedua belah pihak.
4) Notariil. Perjanjian pranikah sebaiknya tidak dibuat di bawah tangan tetapi harus di sahkan oleh notaris. Kemudian harus di catatkan pula dalam lembaga pencatatan perkawinan, artinya pada saat pernikahan di langsungkan perjanjian pranikah juga harus disahkan pula oleh pegawai pencatat perkawinan (KUA maupun Kantor Catatan Sipil).26
Maka dengan membuat Perjanjian perkawinan pasangan suami isteri mempunyai kesempatan untuk saling terbuka,dan bisa berbagi rasa atas keinginan yang telah disepakati untuk menjalani isi perjanjian tersebut. Biasanya perjanjian perkawinan dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta masing- masing suami isteri, karena UU Perkawinan tidak mengatur tujuan Perjanjian Perkawinan, segalanya diserahkan kepada kedua belah pihak yaitu suami dan isteri. Pada dasarnya Perjanjian Perkawinan tidaklah seburuk yang menjadi anggapan masyarakat. Hal ini terjadi karena Perjanjian Perkawinan bagi orang kebanyakan adalah kurang etis tidak sesuai dengan budaya orang timur.
Mengingat pentingnya Perjanjian Perkawinan ternyata cukup banyak manfaatnya bagi suami isteri. Tanpa Perjanjian Perkawinan, maka dalam proses pembagian harta gono-gini sering terjadi pertikaian. Karena itu manfaat dari Perjanjian Perkawinan adalah dapat mengatur penyelesaian dari masalah yang kira-kira akan timbul selama perkawinan, antara lain:
26 Mike Rini, Perlukah Perjanjain Pranikah, dikutip dari Danareksa. Com tanpa halaman tanpa tahun
29 1. Tentang pemisahan harta kekayaan, jika tidak ada harta gono-
gini syaratnya, harus dibuat sebelum pernikahan dan harus di catatkan di tempat pencatatan perkawinan
2. Tentang pemisahan hutang, dalam perjanjian perkawinan dapat diatur mengenai masalah hutang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak yang membawa hutang. Hutang yang dimaksud adalah hutang yang terjadi sebelum pernikahan, selama pernikahan, setelah perceraian bahkan kematian.
3. Tanggung jawab terhadap anak-anak hasil pernikahan tersebut terutama mengenai masalah biaya hidup anak, dan biaya pendidikanya harus diatur sedemikian rupa berapa besar kontribusi masing-masing orang tua, dalam hal ini tujuanya agar kesejahteraan anak-anak tetap terjamin.27
Mengenai kewenangan bertindak terhadap harta semasa suami dan isteri masih dalam status perkawinan yaitu terhadap harta bersama, masing-masing isteri atau suami bertindak dengan persetujuan pihak lainnya, bahkan apabila para pihak bercerai hidup maka harta bersama dibagi sesuai dengan hukumnya masing- masing yang umum nya dibagi dua sama besar.
B. Perkawinan Campuran Tanpa Perjanjian Perkawinan
Berhubungan dengan Undang-Undang Perkawinan tentang harta bersama setelah. Perkawinan kedudukan para pihak dianggap sama atau seimbang. Dengan demikian suami-istri dalam perkawinan campuran juga menyebabkan terjadinya percampuran harta para pihak oleh karenanya Warga Indonesia (WNI) yang melakukan perkawinan campuran tanpa adanya perjanjian kawin pisah harta kehilangan hak nya untuk melakukan perbuatan hukum khususnya untuk
27 Ibid.
30 memiliki/memperoleh hak tanah di Indonesia karena akan menjadi bahagian dari harta bersama dengan Warga Asing (WNA), ini menyangkut dengan kepemilikan tanah yang mana Undangundang pertanahan di Indonesia menganut asas Nasionalisme yang menegaskan bahwa Warga Negara Asing tidak diperbolehkan untuk memiliki hak atas tanah di Indonesia.
Suatu perbuatan hukum yang dilakukan dalam perkawinan yang sah dimana para pihak yang melakukannya telah ditentukan oleh hukum dan terhadapnya akan menimbulkan suatu akibat hukum bagi para pihak tersebut.
Perbuatan hukum yang demikian itu akan melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang telah berjanji mengikat diri. satu sama lainnya secara lahir dan bathin oleh karenanya akan menimbulkan akibat hukum bagi kedua belah pihak tersebut.28
Peraturan yang mengatur pertanahan di muat dalam UU Nomor 5 Tahun 1960, yang di kenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang mana undang-undang ini menganut asa Nasionalisme, dengan kata lain bahwa hanya warga Negara Indonesia yang dapat untuk memiliki hak atas tanah.
Di sini timbul suatu permasalahan dimana para pihak perkawinan campuran tanpa adanya perjanjian kawin kehilangan hak nya sebagai warga- negara untuk memiliki hak atas tanah di karenakan pembulatan harta bersama selama perkawinan, di samping itu mengenai perjanjian kawin yang di atur dalam Undang-undang Perkawinan yang mana perjanjian kawin di buat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, seperti mana yang tertulis pada pasal 29 Undang-undang Perkawinan :
1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga.
2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas- batas hukum, agama dan kesusilaan.
3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4) Selama perkawinan dilangsungkan perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Dari pasal
28Ahmad Rofiq, 2003, Hukum Islam Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hal 17
31 tersebut bagi pasangan suami-istri diberi kesempatan apabila mereka memutuskan untuk menentukan lain, dengan kata lain mengadakan penyimpangan dari peraturan yang ada dalam undang-undang, yang mana penyimpangan tersebut terkait dengan harta perkawinan hanya dapat dilakukan dengan cara membuat perjanjian kawin yang di buat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan.
Perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah konsekuensi logis dari perkembangan jaman serta pesatnya perkembangan wisatawan yang datang ke Indonesia. Peristiwa perkawinan campuran yang demikian itu bukan saja merupakan suatu perbuatan hukum yang menimbulkan suatu permasalahan dan mempunyai akibat hukum yang bersifat keperdataan, akan tetapi juga menimbulkan permasalahan dan akibat hukum publik, terutama di bidang kewarganegaraan.29 Perkawinan campuran di Indonesia sangatlah di perhatikan karena di saat Warga Negara Indonesia melakukan perkawinan campuran dimana dia mempertahankan kewarganegaraannya dan haknya sebagai warga-negara hilang untuk dapat memiliki haknya atas tanah di Indonesia.
Perbedaan yang dirasakan oleh suamiistri dalam perkawinan campuran membuat untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang yang menghalangi para pihak perkawinan campuran tanpa ada nya perjanjian kawin ke Mahkamah Konstitusi. Dan pada akhirnya permohonan pengujian atas undang- undang ini telah memperoleh Putusan dari Makamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU-XIII/2015, dimana dalam putusan ini menyatakan bahwa perjanjian kawin dapat juga di lakukan setelah perkawinan dilangsungkan.
Menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974, apabila pihak suami pihak warga Negara Indonesia, maka ketentuan hukum materiel berkaitan dengan harta kekayaan diatur berdasarkan hukum suami. Namun harta benda perkawinan campuran jika tidak dilakukan perjanjian perkawinan yang menyangkut harta perkawinan maka harta perkawinan ini akan tunduk pada Pasal 35 yang menentukan bahwa:
29 Fauzi, R. (2018). Dampak Perkawinan Campuran Terhadap Status Kewarganegaraan Anak Menurut Hukum Positif Indonesia. Soumatera Law Review, 1(1), 153
32 - Ayat (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama
- Ayat (2) Harta bawaan dari masingmasing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing- masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Selanjutnya menurut Pasal 36 ayat (1) mengenai harta bersama ini dapat dikelola bersama-sama suami dan isteri namun dalam setiap perbuatan hukum yang menyangkut harta bersama harus ada persetujuan kedua belah pihak.
Apabila para pihak menentukan bahwa mereka akan mengadakan Perjanjian Kawin yaitu perjanjian kawin pisah harta maka perjanjian harus dibuat secara notariail atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan yaitu Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.
C. Akibat Hhukum terhadap Hak Atas Tanah Hak Milik dalam Perkawinan Capuran tanpa Perjanjian Perkawinan.
Mengenai harta bawaan masing-masing suami dan isteri menjadi hak sepenuhnya dari suami isteri untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya Pasal 36 ayat (2). Apabila suami Warga Negara Asing (WNA) dan istri WNI , maka si isteri berlaku baginya atas ketentuan suaminya. Maka perlu diperhatikan tentang Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing, yang berkedudukan di Indonesia dan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing, yang pada intinya menyatakan bahwa, orang asing yang kehadirannya di Indonesia memberi manfaat bagi pembangunan nasional dapat memiliki sebuah rumah tempat tinggal atau hunian dalam bentuk rumah dengan ha katas tanah tertentu atau satuan rumah susun yang dibangun ai atas Tanah Hak pakai atas tanah Negara. Orang Asing dimaksud adalah orang asing yang memiliki dan memelihara kepentingan ekonomi diIndonesia dengan melaksanakan Investasi untuk memiliki rumah tempat tinggal atau hunian di Indonesia.
33 Dalam UU Perkawinan selain dimuat hal-hal yang terkait dengan perkawinan, juga mengatur tentang harta benda perkawinan. Bidang ini merupakan salah satu bidang hukum hukum keperdataan yang mempunyai sifat sensitif dan potensi menimbulkan konflik, oleh karena pengaturan bidang ini tidak semudah pengaturan bidang-bidang hukum yang sifatnya netral. Dalam Perkawinan campuran, yang menyangkut orang asing, terdapat perbedaan prinsip yang melandasinya maupun kompleksitas di dalam hukum harta kekayaan perkawinan.Kompleksitas persoalan dalam bidang harta kekayaan akibat perkawinan campuran selain berdasarkan UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 juga berhadapan dengan asas-asas Hukum Perdata Internasional.
Harta benda yang dihasilkan selama perkawinan akan menjadi harta bersama suami-istri dengan kata lain bahwa konsep harta bersama yang merupakan harta kekayaan yang dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum, walaupun kedua segi di tinjau dari segi ekonomi berbeda, namun keduanya ada hubungan satu sama lainnya.30 Seperti mana yang telah ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan mengenai pertanahan atau agraria bahwa warga Negara asing tidak boleh melakukan perbuatan hukum khususnya jual/beli berupa apapun terutama tanah dan bangunan baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan bermaksud untuk memindahkan hak atas tanah kepada orang asing.
Salah satu persoalan yang timbul karena adanya harta bersama terjadi ketika objek harta bersama tersebut merupakan tanah yang dimiliki oleh WNI, baik posisinya sebagai suami ataupun istri. Hal tersebut dikarenakan tanah tidak dapat dimiliki oleh orang asing, baik statusnya berkedudukan di Indonesia ataupun tidak. Tidak dapat dimiliki dalam hal ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang di dasari oleh Hak Milik. Ketentuan ini merupakan konsekuensi dengan adanya Hak Bangsa yang merupakan hak penguasaan tanah tertinggi yang menempatkan seluruh bangsa Indonesia sebagai pemiliknya. Ketentuan terebut juga diperkuat dengan Pasal 9 ayat (1) UUPA yang mengatur hanya WNI dapat
30 Abdul Kadir Muhammad. A, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal 71
34 mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa dan seluruh kekayaan alam yang ada di Indonesia. Ketentuan tersebut selanjutnya dipertegas oleh Pasal 21 ayat (1) UUPA yang menegaskan hanya WNI yang dapat mempunyai Hak Milik.
Dalam UUPA telah mengatur mengenai hak - hak atas tanah yang telah sesuai dengan hukum tanah nasional dan siapa sajakah yang m enjadi subjek hukum dan yang berhak mempunyai hak atas tanah di negara Indonesia. Pada dasarnya hak milik atas tanah di Indonesia hanya bisa dikuasai oleh Warga Negara Indonesia saja beserta badan hukum yang disahkan oleh pemerintah, aolasan ini adalah buk ti kepemilikan atas tanah berupa sertifikat hak milik dapat diturun wariskan.31 Ada hak milik di Indonesia, ada juga hak guna bangunan dan hak guna usaha yang diatur kepemilikannya dapat dikuasai oleh Warga Negara Indonesia bersama badan hukum yang telah berdiri sesuai hukum Indonesia. Yang dapat dikuasai oleh WNA yang diatur hanyalah hak pakai dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.32
Apabila terjadi perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia dan WNA dan dalam berlangsungnya perkawinan telah membeli properti berupa tanah maka hak milik atas tanah tersebut akan dimiliki oleh Warga Negara Indonesiayang sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (3) yang terkandung dalam Undang-Undang Pokok Agraria. 33Mengenai status hukum terhadap sertifikat Hak Milik dalam perkawinan campuran (Warga Negara Indonesiadengan Warga Negara Asing) pada saat di dalam perkawinan berlangsung adalah menjadi status hukum harta bersama dan apabila telah
31 Laurensius Arliman S, 2019, Peran Lembaga Catatan Sipil Terhadap Perkawinan Campuran Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan. h. 2
32 Sonny Dewi Judiasih, 2015, Harta Benda Perkawinan, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 23.
33 M. Nur Kholis Al Amin, 2016, Perkawinan Campuran Dalam Kajian Perkembangan Hukum: Antara Perkawinan Beda Agama Dan Perkawinan Beda Kewarganegaraan Di Indonesia, h. 4.