• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIOLOGI REPRODUKSI UDANG MANTIS Harpiosquilla raphidea DI PERAIRAN KUALA TUNGKAL, TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BIOLOGI REPRODUKSI UDANG MANTIS Harpiosquilla raphidea DI PERAIRAN KUALA TUNGKAL, TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

i

TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI

ADRIAN DAMORA

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2010

(2)

Abstract

Mantis shrimp Harpiosquilla raphidea is one type of commodity fishery is a mainstay in some areas, one of Kuala Tungkal, Jabung Tanjung Barat, Jambi. This study aims to examine some aspects of reproductive biology of mantis shrimp, covering the length-weight relationship, morphology of reproductive organs, sex ratio, stage of gonad development, the first time the size of mature gonads, and gonad somato index (GSI). Intake of shrimp sample was performed on 19 to 23 June 2010 in Kuala Tungkal muddy coastal waters, Jabung Tanjung Barat, Jambi with purposive sampling method by dividing the site into 3 stations that are determined based on the level of fishing intensity mantis shrimp. Male genitals called petasma (penes) is located at the base of the foot path (pereiopod) third elongated shape and contained a small bulge on both sides of the foot path, while the female genitals (thelicum) is located in the middle of the foot first way is flat. T-test analysis results show mantis shrimp H. raphidea in Kuala Tungkal have isometric growth pattern.

Sex ratio shows a comparison of male: female of 1:1,3 (field) and 1:1,1 (shelter).

Observation of stage of gonad development shows the male in stage 1 have a huge percentage compared to stage 2 and 3, while the female stage 1 also dominates the spread but the percentage is not more than the male. In the female size was first obtained ripe gonads were in the range 230-240 mm long. The calculation of gonado somato index (GSI) shows GSI of the male are at intervals from 3.54 to 12.65, while the female are at intervals from 8.15 to 10.19. Implementation of the recommended management is to control fishing effort that can support the process of reproduction associated with recruitment.

Key words: Harpiosquilla raphidea, reproduction, gonad develompment

(3)

Abstrak

Udang mantis Harpiosquilla raphidea merupakan salah satu jenis komoditi perikanan yang menjadi andalan di beberapa daerah, salah satunya Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Penelitian ini bertujuan mengkaji beberapa aspek biologi reproduksi udang mantis, meliputi hubungan panjang-bobot, morfologi organ reproduksi, rasio kelamin, tingkat kematangan gonad, ukuran pertama kali matang gonad, dan indeks kematangan gonad. Pengambilan udang contoh dilakukan pada tanggal 19-23 Juni 2010 di perairan pantai berlumpur Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi dengan metode purposive sampling dengan membagi lokasi menjadi 3 stasiun yang ditentukan berdasarkan tingkat intensitas penangkapan udang mantis. Alat kelamin jantan yang disebut petasma (penis) terletak pada pangkal kaki jalan (pereiopod) ketiga berbentuk tonjolan kecil memanjang dan terdapat di kedua sisi kaki jalan, sedangkan alat kelamin betina (thelicum) terletak pada pertengahan kaki jalan pertama berbentuk datar. Hasil analisis uji-t menunjukkan udang mantis H. raphidea di Kuala Tungkal memiliki pola pertumbuhan isometrik. Rasio kelamin menunjukkan perbandingan jantan:betina sebesar 1:1,3 (lapang) dan 1:1,1 (penampungan). Pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG) menunjukkan pada udang mantis jantan TKG I memiliki persentase yang besar dibanding TKG II, dan III, sedangkan pada udang mantis betina TKG I juga mendominasi penyebaran TKG namun persentasenya tidak sebesar pada udang mantis jantan. Pada udang mantis betina didapatkan ukuran pertama kali matang gonad berada pada selang panjang 230-240 mm. Perhitungan indeks kematangan gonad (IKG) menunjukkan IKG udang mantis jantan berada pada selang 3,54-12,65, sedangkan udang mantis betina berada pada selang 8,15-10,19. Implementasi pengelolaan yang direkomendasikan adalah pengendalian upaya penangkapan yang dapat mendukung proses reproduksi yang berhubungan dengan rekrutmen.

Kata kunci: Harpiosquilla raphidea, reproduksi, kematangan gonad

(4)

iii

Adrian Damora. C24061992. Biologi Reproduksi Udang Mantis Harpiosquilla raphidea di Perairan Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Di bawah bimbingan Yunizar Ernawati dan Ali Mashar.

Udang mantis Harpiosquilla raphidea merupakan salah satu jenis komoditi perikanan yang menjadi andalan di beberapa daerah, salah satunya Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Hasil tangkapan udang mantis Kabupaten Tanjung Jabung Barat secara total tahunan cukup fluktuatif, namun cenderung meningkat.

Apabila tidak dilakukan upaya pengendalian, maka sumberdaya udang mantis H.

raphidea akan mengalami kondisi tangkap lebih (overfishing). Penangkapan yang tidak terkendali dan berlangsung secara terus-menerus akan menyebabkan perubahan ukuran dan struktur umur sumberdaya dalam satu populasi. Dampaknya adalah produksi telur dalam suatu populasi akan menurun karena ukuran udang induk dan kesuburan menurun, perubahan ukuran matang gonad, tingkat pertumbuhan, hasil dari reproduksi secara genetik. Oleh karena itu, studi mengenai aspek biologi reproduksi dibutuhkan sebagai salah satu dasar untuk pengelolaan udang mantis H. raphidea secara berkelanjutan.

Penelitian ini bertujuan mengkaji beberapa aspek biologi reproduksi udang mantis, meliputi hubungan panjang-bobot, morfologi organ reproduksi, rasio kelamin, tingkat kematangan gonad, ukuran pertama kali matang gonad, dan indeks kematangan gonad. Pengambilan udang contoh dilakukan pada tanggal 19-23 Juni 2010 di perairan pantai berlumpur Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi dengan metode purposive sampling dengan membagi lokasi menjadi 3 stasiun yang ditentukan berdasarkan tingkat intensitas penangkapan udang mantis. Selain itu, udang contoh juga didapatkan dari hasil tangkapan yang didaratkan di penampungan.

Alat kelamin jantan yang disebut petasma (penis) terletak pada pangkal kaki jalan (pereiopod) ketiga berbentuk tonjolan kecil memanjang dan terdapat di kedua sisi kaki jalan, sedangkan alat kelamin betina (thelicum) terletak pada pertengahan kaki jalan pertama berbentuk datar. Pembuahan sel telur terjadi secara internal. Hasil analisis uji-t menunjukkan udang mantis H. raphidea di Kuala Tungkal memiliki pola pertumbuhan isometrik. Rasio kelamin menunjukkan perbandingan jantan:betina sebesar 1:1,3 (lapang) dan 1:1,1 (penampungan). Pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG) menunjukkan pada udang mantis jantan TKG I memiliki persentase yang besar dibanding TKG II, dan III, sedangkan pada udang mantis betina TKG I juga mendominasi penyebaran TKG namun persentasenya tidak sebesar pada udang mantis jantan. Pada udang mantis betina didapatkan ukuran pertama kali matang gonad berada pada selang panjang 230-240 mm. Perhitungan indeks kematangan gonad (IKG) menunjukkan IKG udang mantis jantan berada pada selang 3,54-12,65, sedangkan udang mantis betina berada pada selang 8,15- 10,19. Implementasi pengelolaan udang mantis yang direkomendasikan adalah pengendalian upaya penangkapan yang dapat mendukung proses reproduksi udang mantis yang berhubungan dengan pola rekrutmen yang terjadi di perairan.

(5)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Biologi Reproduksi Udang Mantis Harpiosquilla raphidea di Perairan Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2010

Adrian Damora C24061992

(6)

iv

TANJUNG JABUNG BARAT, JAMBI

ADRIAN DAMORA C24061992

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2010

(7)

v

Judul : Biologi Reproduksi Udang Mantis Harpiosquilla raphidea di Perairan Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi Nama Mahasiswa : Adrian Damora

Nomor Pokok : C24061992

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui:

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,

Tanggal Lulus : 3 September 2010 Pembimbing I,

Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS.

NIP 19490617 197911 2 001

Pembimbing II,

Ali Mashar, S.Pi.

NIP 19750118 200701 1 001

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc.

NIP 19660728 199103 1 002

(8)

vi

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT berkat segala izin dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul Biologi Reproduksi Udang Mantis Harpiosquilla raphidea di Perairan Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi; disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada Juni-Juli 2010 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku dosen pembibing pertama dan Ali Mashar, S.Pi selaku pembimbing kedua serta Ir. Agustinus M.

Samosir, M.Phil selaku Komisi Pendidikan S1 yang banyak memberikan masukan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, dikarenakan keterbatasan yang dimiliki penulis. Namun demikian penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.

Bogor, September 2010

Penulis

(9)

vii

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS dan Ali Mashar, S.Pi, masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, masukan, dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku dosen penguji tamu dan pembimbing akademik penulis serta Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku ketua komisi pendidikan program S1 atas saran, masukan, dan perbaikan yang telah diberikan.

3. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc dan Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc atas saran, motivasi dan nasehat yang telah diberikan.

4. Para staf Tata Usaha MSP, terutama Mba Widaryanti atas arahan dan bantuan yang telah diberikan selama ini.

5. Keluargaku tercinta, Bapak (Ismail Hasan Siregar), Ibu (Rosdiana Erna Daulay), dan Kakak (Ikbal Hasonangan) atas doa, kasih sayang, dukungan, dan motivasi yang telah diberikan selama ini.

6. Mantis Team, penghuni Wisma Madinah dan Pondok Ash-Shaf, serta rekan- rekan MSP 43 atas segala kebersamaan, kerja sama, dan bantuannya.

(10)

viii

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 1 November 1987 dari pasangan Ismail Hasan Siregar dan Rosdiana Erna Daulay. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.

Pendidikan formal ditempuh di SDN Jakasampurna I Bekasi Selatan (2000), SLTPN 1 Bekasi (2003), dan SMAN 4 Bekasi (2006).

Pada tahun 2006, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan pada tahun kedua penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam (2008/2009 dan 2009/2010), Ekosistem Perairan Pesisir (2009/2010 dan 2010/2011), Biologi Perikanan (2009/2010), dan Konservasi Sumberdaya Hayati Perairan (2010/2011). Penulis juga aktif sebagai Anggota Departemen Pengembangan Sumberdaya Mahasiswa BEM TPB IPB (2006/2007), Anggota Departemen Riset dan Edukasi UKM FORCES IPB (2006/2007), Ketua Komisi Aspirasi dan Pengawasan Kelembagaan DPM FPIK IPB (2008/2009), dan Kepala Departemen Kebijakan Publik Perikanan dan Kelautan BEM FPIK IPB (2009/2010). Penulis juga berkesempatan menjadi presentator tingkat nasional Program Kreativitas Mahasiswa bidang penelitian pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional XXII Universitas Brawijaya, Malang dengan judul

“Akuakultur Berbasis Trophic Level: Aliran Energi untuk Kelestarian Ekosistem Perairan”. Selain itu, penulis juga mendapat penghargaan sebagai pemenang dalam Lomba Karya Tulis Development for Life Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan Media Indonesia dengan judul “Sea Ecopreneurship sebagai Model Pengelolaan Kolaboratif Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”.

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Biologi Reproduksi Udang Mantis Harpiosquilla raphidea di Perairan Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi”

.

(11)

ix

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan ... 3

1.4. Manfaat ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Udang mantis (Harpiosquilla raphidea) ... 4

2.1.1. Klasifikasi ... 4

2.1.2. Morfologi ... 5

2.1.3. Distribusi dan habitat ... 7

2.2. Aspek Biologi Reproduksi ... 8

2.2.1. Morfologi dan anatomi reproduksi ... 8

2.2.2. Hubungan panjang-bobot ... 11

2.2.3. Tingkat kematangan gonad dan indeks kematangan gonad . 12 3. METODE PENELITIAN ... 14

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 14

3.2. Alat dan Bahan ... 15

3.3. Metode Kerja ... 15

3.3.1. Pengambilan udang contoh ... 15

3.3.2. Penanganan udang contoh ... 15

3.3.3. Pengamatan morfologi reproduksi ... 16

3.3.4. Pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG) ... 16

3.4. Analisis Data ... 17

3.4.1. Sebaran frekuensi jumlah ... 17

3.4.2. Hubungan panjang-bobot ... 17

3.4.3. Rasio kelamin ... 18

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

4.1. Sebaran Frekuensi Panjang ... 20

4.2. Hubungan Panjang-Bobot ... 21

4.3. Aspek Reproduksi ... 24

4.3.1. Morfologi reproduksi ... 24

4.3.2. Rasio kelamin ... 26

4.3.2. Tingkat kematangan gonad (TKG) ... 29

4.3.3. Indeks kematangan gonad (IKG) ... 34

(12)

x

5.1. Kesimpulan ... 36

5.2. Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

LAMPIRAN ... 40

(13)

xi

Halaman 1. Klasifikasi tingkat kematangan gonad (TKG) udang mantis

Squilla empusa (Wortham-Neal 2002).. ... 16 2. Pola pertumbuhan udang mantis H. raphidea pengambilan contoh di

lapangan ... 22 3. Rasio kelamin udang mantis H. raphidea pengambilan contoh di

lapangan berdasarkan selang kelas panjang .. ... 26 4. Rasio kelamin udang mantis H. raphidea pengambilan contoh di

nelayan penampung berdasarkan selang kelas panjang .. ... 27 5. Klasifikasi TKG H. raphidea di perairan Kuala Tungkal, Tanjung

Jabung Barat, Jambi .. ... 31 6. Penampang gonad udang mantis H. raphidea secara morfologi

dan histologi ... 32 7. Indeks kematangan gonad (IKG) udang mantis H. raphidea selama

penelitian ... 35

(14)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keanekaragaman spesies krustasea (jenis udang, kepiting, dan kelomang) diperkirakan mencapai 1.052 spesies. Dari jumlah tersebut, beberapa spesies umum dikenal masyarakat sebagai spesies ekonomis penting, diantaranya kelompok udang laut dari keluarga Penaeidae (11 spesies), kelompok udang karang (7 spesies), kepiting dan rajungan (5 spesies). Sampai saat ini komoditas udang masih merupakan penyumbang terbesar devisa yang berasal dari sektor perikanan. Data statistik menunjukkan bahwa komoditas udang memberikan kontribusi sebesar 60%

dari total nilai ekspor hasil perikanan (Dahuri 2003).

Udang mantis Harpiosquilla raphidea merupakan salah satu jenis komoditi udang yang menjadi andalan di beberapa daerah, salah satunya Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Selain jenis ini, di wilayah tersebut juga terdapat udang mantis jenis lain yang masih dalam satu ordo, yakni Oratosquillina gravieri.

H. raphidea memiliki nama lokal antara lain udang ronggeng, udang nenek, udang belalang, dan udang ketak. Udang mantis merupakan komoditi ekspor dengan negara tujuan antara lain Hongkong dan Taiwan.

Hasil tangkapan udang mantis Kabupaten Tanjung Jabung Barat secara total tahunan cukup fluktuatif, namun cenderung menurun. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabar), pada tahun 2005 hasil tangkapan udang mantis Kabupaten Tanjabar yang tercatat dapat mencapai sekitar 2,04 juta ekor, namun pada tahun 2008 menurun menjadi sekitar 1,80 juta ekor. Besarnya penurunan hasil tangkap udang mantis sebenarnya dapat melebihi dari data tersebut, karena data tersebut berasal dari seluruh penampung yang ada di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dimana udang yang ditampung tidak seluruhnya berasal dari hasil tangkapan di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Berdasarkan informasi dari beberapa nelayan dan penampung udang mantis di Kuala Tungkal, didapatkan informasi bahwa saat ini hasil tangkapan udang mantis rata-rata hanya sekitar 5.000 ekor per hari. Mereka dalam seminggu rata-rata 5 hari menangkap udang mantis, sehingga hasil tangkapan mereka dalam setahun sekitar 1 juta ekor.

(15)

Penangkapan yang tidak terkendali dan berlangsung secara terus-menerus akan menyebabkan terjadinya perubahan struktur populasi, penurunan stok bahkan menyebabkan kepunahan. Pada kondisi sumberdaya perikanan yang masih belum dieksploitasi, komposisi populasi menyediakan secara proporsional sumberdaya yang berukuran besar dan berumur tua. Akibat penangkapan, sumberdaya kelompok ini berkurang dan populasi akan didominasi oleh sumberdaya berukuran kecil dan berumur muda (Ricker 1975 in Widodo & Suadi 2008).

Menurut Jennings et al. (2001), penangkapan cenderung akan mengubah ukuran dan struktur umur sumberdaya dalam satu populasi, dalam artian ukuran tubuh udang dan umur hidup akan menurun. Perubahan ini akan mempengaruhi sisi lain dari kehidupan udang. Sebagai contoh, produksi telur dalam suatu populasi akan menurun karena ukuran udang induk dan kesuburan menurun. Pengaruh lain dari penangkapan yang berlebihan adalah berubahnya ciri-ciri kehidupan udang tersebut seperti pada umur, ukuran matang gonad, tingkat pertumbuhan, hasil dari reproduksi secara genetik. Oleh karena itu, studi mengenai aspek biologi reproduksi dibutuhkan sebagai salah satu dasar untuk pengelolaan udang mantis H. raphidea secara berkelanjutan. Informasi aspek biologi reproduksi udang mantis ini akan sangat bermanfaat dalam pengelolaan udang mantis setelah dikaitkan dengan sebaran dan teknologi penangkapan udang mantis.

1.2. Perumusan Masalah

Udang mantis H. raphidea merupakan salah satu komoditas perikanan unggulan di wilayah Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Kegiatan penangkapan spesies ini, diantaranya dilakukan dengan menggunakan alat tangkap trawl mini dan sondong. Alat tangkap ini akan menangkap udang mantis dari berbagai ukuran, termasuk induk dan juvenil atau larva. Kegiatan penangkapan yang tidak terkendali dan berlangsung terus-menerus dapat mengakibatkan penurunan populasi. Oleh karena itu, kegiatan penangkapan udang mantis ini perlu dikendalikan, salah satunya berdasarkan informasi aspek biologi reproduksinya.

Informasi aspek biologi reproduksi ini akan digunakan sebagai salah satu dasar dalam mengambil kebijakan pengaturan penangkapan udang mantis, baik waktu atau musim penangkapan maupun jenis alat tangkap yang digunakan untuk tercapainya kondisi populasi sumberdaya yang lestari.

(16)

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek biologi reproduksi, meliputi pola pertumbuhan, morfologi organ reproduksi, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, dan indeks kematangan gonad udang mantis H. raphidea yang terdapat di perairan Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi.

1.4. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah bahwa hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai slah satu dasar dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya udang mantis H. raphidea berkelanjutan di Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi.

(17)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Udang Mantis Harpiosquilla raphidea 2.1.1. Klasifikasi

Kedudukan taksonomi udang mantis menurut Manning (1969) & Bliss (1982) in Ahyong et al. (2008) adalah sebagai berikut.

Dunia : Animalia Filum : Crustacea Kelas : Malacostraca Subkelas : Hoplocarida Ordo : Stomatopoda Subordo : Unipeltata Superfamili : Squilloidea Famili : Harpiosquillidae Genus : Harpiosquilla

Spesies : Harpiosquilla raphidea (Fabricius 1798) (Gambar 1) Nama Umum : Mantis shrimp (Inggris)

Nama lokal : Udang ketak, ronggeng, belalang, kipas atau udang nenek

Gambar 1. Udang Mantis H. raphidea

(18)

2.1.2. Morfologi

Secara morfologi udang mantis mempunyai garis hitam pada bagian belakang antara antena dan ophthalmic somite (Gambar 2). Karapas udang mantis hanya menutupi bagian belakang kepala dan tiga ruas pertama dari thorax. Udang mantis memiliki sepasang antena pertama atau sering disebut dengan antennulla yang tumbuh dan melekat dari labrum. Antennulla ini bercabang tiga pada ujungnya.

Organ ini berfungsi sebagai organ sensori. Sedangkan antena kedua atau sering disebut antenna, tidak memiliki cabang pada ujungnya, juga berfungsi sebagai organ sensori (Wardiatno et al. 2009).

Stomatopoda mempunyai mata bertangkai yang dapat bergerak naik turun oleh tangkainya yang fleksibel dan merupakan mata yang unik dan menarik, kemampuannya melebihi kemampuan mata manusia dan hewan lainnya (Cohen 2001 in Azmarina 2007). Mata Stomatopoda ini bersifat “trinocular vision” yang sangat akurat dalam melihat mangsanya meskipun dalam keadaan gelap (DBW 1998 in Azmarina 2007). Bagian mulut udang mantis terdiri dari mandible dan maxilla.

Mandible berfungsi untuk menggiling makanan yang masuk. Maxilla berfungsi untuk memotong dan memamah makanan. Maxilla ini berbentuk seperti gigi-gigi tajam di luar mandible, yang terdiri dari maxilla I dan maxilla II (Wardiatno et al.

2009).

Di bagian ekor udang mantis, terdapat telson dan uropoda yang berfungsi sebagai organ proteksi dan sebagai kemudi pada saat berenang. Udang mantis mempunyai warna tubuh yang cukup bervariasi, mulai dari warna kecoklatan hingga warna-warna terang tergantung habitat hidupnya. Udang mantis dapat mencapai ukuran panjang 30 cm (12 inci), walaupun dalam beberapa kasus dapat mencapai ukuran panjang 38 cm (Wardiatno et al. 2009).

Maksiliped I berfungsi untuk menipu mangsanya. Maksiliped II atau yang dikenal dengan lengan penyerang atau lengan predator atau cakar, memiliki duri- duri tajam pada dactylus yang dapat digunakan untuk memotong atau menyobek mangsanya. Pada H. raphidea terdapat 8 duri tajam pada dactylus. Maksiliped III, IV, dan V adalah kaki kecil yang berakhir dalam suatu bagian yang berbentuk oval pipih dan tajam yang disebut chelone. Chelone digunakan untuk membawa makanan

(19)

ke dalam mulut. Pereopod atau dikenal dengan kaki jalan, bentuknya langsing dan memanjang dengan jumlah 3 pasang (Wardiatno et al. 2009).

Gambar 2. Morfologi udang mantis H. raphidea dilihat dari bagian dorsal (Wardiatno et al. 2009)

Antenulla

Antenna aANAAA AAa

Eyes

Pereiopod

Uropod

Telson Maxiliped II

Head

Abdoment

Tail Carapace

Abdominal Somites Thoracic Somites

1

2

3

4

5

6 5 6 7 8

(20)

2.1.3. Distribusi dan habitat

Penyebaran udang mantis di Indonesia hampir sama dengan penyebaran udang penaeid. Wilayah penyebaran udang mantis di Indonesia meliputi perairan Selat Malaka, pantai timur dan barat Sumatera, Laut Jawa, serta selatan Jawa (Sumiono & Priyono 1998). Halomoan (1999) melaporkan bahwa di perairan Teluk Banten ditemukan udang mantis jenis Squilla harpax de Haan dengan panjang maksimum yang tertangkap adalah 31,9 cm; Azmarina (2007) melaporkan bahwa di perairan Bagansiapiapi ditemukan udang mantis jenis Harpiosquilla raphidea Fabricius; Ahyong dan Moosa (2004) dalam penelitiannya di Kepulauan Anambas, Natuna menemukan 12 spesies ordo Stomatopoda, diantaranya adalah Aerosquilla indica, Carinosquilla carinata, Oratosquilla perpensa, dan Oratosquilla quinquedentata; sedangkan di perairan Sulawesi Utara ditemukan spesies baru udang mantis, yaitu Lysiosquilloides mapia (Erdmann & Boyer 2003 in Wardiatno et al. 2009).

Menurut Haswell (1982) in Sumiono & Priyono (1998), udang mantis yang tersebar di daerah Indo-Pasifik terdiri dari enam genera, yaitu Squilla, Pseudosquilla, Lysiosquilla, Coronida, Odontodactylus, dan Gonodactylus. Di antara keenam genera tersebut, genera Squilla atau saat ini berubah menjadi Harpiosquilla adalah yang paling banyak dijumpai di perairan Indonesia.

Menurut Manning (1969) in Halomoan (1999), Harpiosquilla terdapat di Indo-Pasifik Barat mulai dari Jepang, Australia sampai ke Pasifik meliputi Laut Merha, Afrika Selatan, dan Samudera Hindia. Daerah penyebarannya meliputi Jepang (Teluk Suruga dan Teluk Tanabe), Taiwan (Tungkang), Queensland (Semenanjung Flattery dan Teluk Tin Can), New South Wales (Teluk Jerusalem, Muara Sungai Hawk), Thailand (Tachalom dan Teluk Siam), Sri Langka (Teluk Palk), Madagaskar (Teluk Ambaro), Ethiopia (Teluk Arehico), Afrika Selatan (Teluk Richards), Laut Merah, dan Teluk Oman, sedagkan di Indonesia terdapat di Laut Jawa sampai Singapura.

Habitat utama udang ini adalah dasar perairan berpasir dan berbatu. Menurut Manning (1969) in Halomoan (1999), genus Harpiosquilla hidup pada kedalaman 2- 93 meter pada kawasan sublitoral di daerah Selat Malaka. Habitat hidupnya di dasar perairan, yaitu pasir berlumpur dan pasir halus. Habitat udang mantis yang dijumpai

(21)

di perairan Kuala Tungkal adalah dasar berlumpur dengan penyebaran pada daerah pasang surut sekitar muara Kuala Tungkal, menyebar ke kanan dan kiri muara sepanjang pantai. Kedalaman lumpurnya dapat mencapai 2 meter. Udang mantis akan membuat lubang dalam lumpur tersebut dengan diameter dan kedalaman lubang yang bervariasi tergantung ukuran udang mantis. Setiap lubang tersebut mempunyai dua mulut lubang, satu lubang untuk jalan masuk dan satu lubang lagi yang ukurannya lebih besar untuk jalan keluar. Setiap lubang hanya diisi oleh satu ekor udang mantis.

2.2. Aspek Biologi Reproduksi

Reproduksi adalah kemampuan individu untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya untuk melestarikan jenisnya atau kelompoknya. Tidak setiap individu mampu menghasilkan keturunan, tetapi setidaknya reproduksi akan berlangsung pada sebagian besar individu yang hidup di permukaan bumi ini. Kegiatan reproduksi pada setiap jenis hewan air berbeda-beda, tergantung kondisi lingkungan.

Ada yang berlangsung setiap musim atau kondisi tertentu setiap tahun (Fujaya 2004).

Waktu reproduksi pada biota air dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, salinitas, kandungan ion dalam air, arus, lama penyinaran, tersedianya sarang untuk menaruh telur, kelimpahan makanan, dan kondisi-kondisi sosial lainnya. Biota air yang hidup di daerah beriklim sedang (temperate) bereproduksi dengan bereaksi pada suhu dingin serta dalam hari yang pendek dan ada juga yang bereproduksi pada suhu panas serta dalam waktu sepanjang hari (Fujaya 2004).

Penelitian mengenai reproduksi udang mantis belum banyak dilakukan di Indonesia, akan tetapi di Jepang, Hongkong, dan wilayah Amerika Selatan sering dilakukan seperti pada penelitian Hamano & Matsuura (1984) terhadap spesies Oratosquilla oratoria dan Wortham-Neal (2002) terhadap spesies Squilla empusa.

Di Indonesia, penelitian tentang reproduksi udang mantis pernah dilakukan oleh Halomoan (1999) terhadap spesies Squilla harpax di perairan Teluk Banten.

2.2.1. Morfologi dan anatomi reproduksi

Udang mantis mempunyai alat kelamin jantan yang terdapat pada pangkal kaki jalan ketiga berbentuk tonjolan kecil yang disebut petasma, sedangkan alat

(22)

kelamin betina pada tengah-tengah kaki jalan pertama berbentuk datar yang disebut thelicum (Wardiatno et al. 2009). Wortham-Neal (2002) menggunakan miksroskop SEM (Scanning Electron Microscopy) unruk mengamati struktur anatomi organ reproduksi S. empusa jantan dan betina.

Gambar 3. Anatomi organ reproduksi udang mantis S. empusa betina (Wortham-Neal 2002)

Udang mantis Squilla empusa betina memiliki tiga saluran yang terletak di kelenjar semen yang berkembang seiring dengan perkembangan gonad, dan perkembangan dibagi menjadi tiga tahap. Kelenjar semen akan mengalami perubahan warna dari transparan sampai putih susu seiring dengan makin bertambahnya kematangan gonad (Gambar 4) (Wortham-Neal 2002).

Gambar 4. Perkembangan kelenjar semen pada udang mantis S. empusa betina (Wortham-Neal 2002)

Udang mantis S. empusa jantan memiliki sepasang penis (petasma). Ujung bagian dari setiap penis memiliki dua lubang, bagian yang satu merupakan bagian dari vas deferens yang berfungsi sebagai tempat penyaluran sperma dan sisanya berasal dari saluran kelenjar aksesori yang berisi bahan sperma untuk tempat cairan yang di keluarkan dari udang mantis betina (Gambar 5). Panjang kedua penis udang mantis jantan tidak simetris; penis kiri memiliki panjang yang jauh lebih besar

(23)

dibandingkan dengan penis kanan. Tempat penyimpanan cairan kelamin biasanya dapat berfungsi sebagai penyimpanan sperma jangka pendek, meskipun terkadang digunakan untuk penyimpanan jangka panjang.

Gambar 5. Anatomi organ reproduksi udang mantis S. empusa jantan (Wortham-Neal 2002)

Pengkajian hubungan antara panjang tubuh dengan panjang penis dapat dilakukan berdasarkan uji statistika non-parameter. Uji Wilcoxon telah digunakan untuk menjelaskan penis kiri dan kanan dari setiap individu memiliki panjang yang relatif sama dan proporsional. Analisis korelasi Spearman juga telah digunakan untuk menjelaskan bahwa ukuran tubuh dan ukuran penis memiliki hubungan, dimana penambahan panjang tubuh diirngi dengan penambahan panjang penis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penis kiri memiliki panjang yang lebih besar dibandingkan dengan penis kanan, namun keuntungan dari perbedaan panjang ini belum dapat diuji. Perbedaan panjang penis kanan dan kiri berada di antara bagian ujung penis dengan titik artikulasinya (Wortham-Neal 2002).

Keragaman atau variasi morfologi reproduksi dapat mempengaruhi tekanan seleksi pada tingkah laku pematangan gonad udang mantis. S. empusa jantan mungkin tidak beruntung oleh penjagaan udang mantis betina dikarenakan antara periode molting dan produksi telur secara teratur cukup panjang dan tidak dapat

(24)

diprediksi. Strategi terbaik untuk menghasilkan reproduksi yang optimal dari perspektif udang mantis betina adalah melalui pencarian murni (pure-search).

Startegi pure-search memperkirakan bahwa udang mantis jantan seharusnya matang gonad dengan seluruh tingkah laku yang diterima oleh udang mantis betina. Udang mantis jantan akan mentransfer material sperma melaui penis ke udang mantis betina kemudian sperma akan disimpan dalam saluran penyimpanan sperma dan terjadilah pembuahan secara internal. Strategi ini dari perspektif udang mantis jantan dapat menurunkan waktu penjagaan udang mantis betina yang matang gonad, kemudian udang mantis jantan akan meninggalkan betinanya untuk mencari udang mantis betina lain (Wickler & Seibt 1981).

2.2.2. Hubungan panjang-bobot

Sebagian besar individu udang akan tumbuh sepanjang hidupnya sehingga pertumbuhan merupakan salah satu aspek biologi udang yang dipelajari secara intensif. Oleh karena itu, pertumbuhan merupakan salah satu aspek yang menunjukkan kesehatan udang secara individu dan juga populasi. Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai perubahan dalam ukuran, baik panjang maupun berat sepanjang waktu.

Hubungan panjang dengan berat biota didasarkan hukum kubik, yaitu berat ikan merupakan pangkat tiga dari panjangnya dan disertai anggapan bentuk dan berat biota tetap sepanjang hidupnya. Namun hubungan yang terjadi tidak demikian karena bentuk dan berat biota berbeda-beda diakibatkan oleh banyak faktor.

Berdasarkan hubungan panjang dan berat yang dinyatakan dalam rumus W = a L b maka pertumbuhan memiliki dua pola yaitu pertumbuhan isometrik dan allometrik.

Pertumbuhan isometrik (b=3) berarti pertambahan panjang seimbang dengan pertambahan berat sedangkan pertumbuhan allometrik (b≠3) berarti pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan berat. Pertumbuhan dinyatakan bersifat allometrik positif jika b>3 yang berarti pertambahan berat lebih dominan dibandingkan dengan pertambahan panjang sedangkan pertumbuhan dinyatakan bersifat allometrik negatif jika b<3 yang berarti pertambahan panjang lebih dominan dari pertambahan berat. Nilai a dan b dari persamaan merupakan konstanta hasil regresi, sedangkan W adalah berat total biota dan L adalah panjang total biota (Effendie 2002). Untuk mendapatkan hubungan antara panjang dan berat biota

(25)

tersebut digunakan nilai koefisien korelasi. Nilai koefisien korelasi digunakan untuk mengukur sejauh mana titik-titik mengumpul di sekitar sebuah garis lurus. Jika nilai korelasi mendekati +1 atau -1, maka hubungan antara kedua peubah kuat dan terdapat korelasi yang tinggi antara keduanya (Walpole 1993).

2.2.3. Tingkat kematangan gonad dan indeks kematangan gonad

Perkembangan gonad sebelum dan sesudah udang memijah menggambarkan tingkat kematangan gonad. Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari reproduksi udang sebelum terjadi pemijahan. Selama itu, sebagian besar hasil metabolisme tertuju kepada perkembangan gonad. Tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan udang-udang yang akan melakukan reproduksi atau tidak. Dari pengetahuan kematangan gonad akan didapatkan juga keterangan tentang waktu udang akan memijah, mulai memijah, atau sudah selesai memijah. Ukuran udang saat pertama kali matang gonad perlu diketahui karena ada hubungannya dengan pertumbuhan udang dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya (Effendie 2002).

Setiap spesies udang pada saat pertama kali matang gonad tidak sama ukurannya. Demikian pula udang-udang yang sama spesiesnya. Jika udang-udang yang sama spesiesnnya tersebar pada lintang yang perbedaannya lebih dari lima derajat, maka akan terdapat perbedaan ukuran dan umur ketika mencapai kematangan gonad untuk pertama kalinya (Effendie 2002).

Perkembangan kematangan gonad juga bisa dilihat secara histologi gonad.

Pinheiro & Lins-Oliveira (2006) telah melakukan penelitian tentang perkembangan gonad pada udang Palinuridae spesies Panulirus echinatus (Gambar 4). Indeks kematangan gonad menyatakan perubahan yang terjadi dalam gonad. Indeks ini merupakan persentase perbandingan berat gonad dengan berat tubuh udang.

Perubahan IKG berkaitan erat dengan tahap perkembangan telur. Umumnya gonad akan semakin bertambah berat dengan bertambahnya ukuran gonad dan diameter telur. Pada udang betina nilai IKG lebih besar dibandingkan dengan udang jantan.

Berat gonad mencapai maksimum sesaat sebelum udang akan memijah dan nilai IKG akan mencapai maksimum pada kondisi tersebut (Effendie 2002).

Perkembangan gonad merupakan tanda yang dipakai untuk melihat pola musim

(26)

dalam daur reproduksi udang yang dapat terlihat jelas ketika udang matang gonad, memijah, dan pulih kembali (Jennings et al. 2001).

(a)

(b)

Gambar 6. Penampang histologi gonad udang Panulirus echinatus jantan (a) dan betina (b) (Pinheiro & Lins-Oliveira 2006)

(27)

3. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian berada di perairan berlumpur Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan intensitas penangkapan oleh nelayan. Sebagai ilustrasi, peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3. Kegiatan penelitian meliputi kegiatan di lapangan dan di laboratorium.

Penelitian laboratorium dilakukan di Laboratorium Biologi Makro I (BIMA I) Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung selama 3 minggu, mulai tanggal 19 Juni 2010 sampai dengan Juli 2010.

Gambar 7. Peta lokasi penelitian di perairan Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi

KARTOGRAFER:

ADRIAN DAMORA C24061992

SKALA 1 : 35.500

TAHUN PEMBUATAN 2010

SUMBER PETA

GOOGLE EARTH TAHUN 2009 SURVEY LAPANG TAHUN 2009-2010

(28)

3.2. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian terdiri atas mistar dengan ketelitian 1 mm, caliper dengan ketelitian 0,1 mm, timbangan digital dengan ketelitian 1 gram, kamera digital, spidol permanen, alat bedah, coolbox, tisu, botol sampel, styrofoam, plastik, baki, kertas label, alat tulis, dan alat tangkap udang berupa sondong . Bahan- bahan yang digunakan adalah udang mantis, formalin 10 % sebagai pengawet udang dan gonad serta es batu. Program yang digunakan, antara lain Microsoft Excel dan Minitab.

3.3. Metode Kerja

3.3.1. Pengambilan udang contoh

Pengambilan udang contoh dilakukan di dua tempat yaitu pantai berlumpur Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi dan salah seorang nelayan penampung udang mantis di Kuala Tungkal. Pengambilan udang contoh di lapangan dilakukan pada tanggal 20-22 Juni 2010, sedangkan di nelayan penampung dilakukan pada tanggal 19-23 Juni 2010. Lokasi pengambilan udang contoh dibagi menjadi tiga stasiun yang ditentukan berdasarkan tingkat intensitas penangkapan udang mantis.

Setiap stasiun memiliki sepuluh sub-stasiun dengan panjang 500 m per sub-stasiun dan berjarak 200 m antar sub-stasiun. Pengambilan contoh ini dilakukan di sepanjang garis pantai untuk melihat struktur populasi udang mantis H. raphidea.

Pengambilan udang contoh dilakukan dengan menggunakan alat tangkap jaring sondong yang bekerja dengan cara menyapu dasar perairan.

3.3.2. Penanganan udang contoh

Hasil tangkapan jaring sondong terdiri dari banyak spesies, tidak hanya udang mantis. Oleh sebab itu, setiap kali pengambilan contoh dilakukan pemilahan udang mantis dengan spesies lainnya. Udang contoh yang sudah dipilah kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik yang sudah diisi air laut untuk menjaga udang contoh tetap hidup sesuai sub-stasiunnya.

Setelah didaratkan, proses selanjutnya adalah identifikasi jenis kelamin udang contoh, pengukuran panjang dan bobot total tubuhnya; pembedahan, dan pengambilan gonad untuk udang mantis yang memiliki TKG III. Setelah dibedah, gonad jantan maupun betina ditimbang lalu diawetkan dalam botol sampel dengan

(29)

formalin 10 %, kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis tingkat kematangan dan histologi gonadnya.

3.3.3. Pengamatan morfologi reproduksi

Pengamatan morfologi organ reproduksi dilakukan terhadap udang mantis jantan dan betina, meliputi letak organ reproduksi (petasma dan thelicum) di tubuh udang mantis, panjang petasma (penis) sisi kanan dan kiri udang mantis jantan, dan hubungan panjang total dengan panjang penis sisi kanan dan kiri. Pengamatan ini berdasarkan penelitian Wortham-Neal (2002) terhadap spesies Squilla empusa.

3.3.4. Pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG)

Pengamatan TKG dilakukan dengan dua cara: (1) morfologi yaitu pengamatn gonad udang secara visual yang dilakukan di lapangan, dan (2) histologi yaitu pengamatan gonad yang dilakukan di laboratorium. Gonad yang telah diamati secara morfologi, kemudian diawetkan dengan menggunakan larutan formalin 4 % di dalam botol sampel. Dasar yang digunakan dalam penentuan TKG dengan cara morfologi adalah bentuk, ukuran panjang, bobot, warna, dan perkembangan isi gonad yang terlihat (Tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi tingkat kematangan gonad (TKG) udang mantis Squilla empusa (Wortham-Neal 2002)

TKG Udang Betina

I II III

Belum matang Kematangan awal Kematangan lanjut

Ovari belum berkembang.

Ovari mulai berkembang dan berwarna merah muda di bagian rongga dada dan rongga perut.

Ovari sudah berkembang penuh menyatu dengan telson.

Berat tubuh dan berat gonad udang dapat digunakan untuk mengetahui indeks kematangan gonad (IKG). Indeks kematangan gonad dapat diketahui dengan menggunakan formula GSI = (berat gonad)/(berat tubuh) x 100% (Effendie 1979).

Menurut Gordon et al. (1995) in Effendie (2002) mengatakan bahwa hubungan antara indeks kematangan gonad atau gonadosomatic index (GSI) dengan panjang biota dapat menggambarkan ukuran biota saat matang gonad dalam suatu populasi.

(30)

3.4. Analisis Data

3.4.1. Sebaran frekuensi jumlah

Langkah-langkah yang digunakan dalam membuat sebaran frekuensi adalah sebagai berikut (Walpole 1993):

1. menentukan wilayah kelas (WK) = db-dk, db = data terbesar; dk = data terkecil.

2. menentukan jumlah kelas (JK) = 1 + 3.32 log N; N = jumlah data 3. menghitung lebar kelas ( L) = WK/JK

4. memilih ujung kelas interval pertama

5. menentukan frekuensi jumlah untuk masing-masing kelas, caranya adalah membagi frekuensi dengan jumlah total lalu dikalikan 100%.

3.4.2. Hubungan panjang-bobot

Analisis panjang dan berat bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan di alam. Hubungan panjang berat menggunakan persamaan eksponensial sebagai berikut (Lagler 1972; Jennings et al. 2001) :

W = aLb Keterangan :

W = berat total udang (gram) L = panjang total udang (mm) a dan b = konstanta hasil regresi

Untuk mempermudah perhitungan, maka persamaan di atas dilogaritmakan sehingga menjadi persamaan linear sebagai berikut (Jennings et al. 2001) :

loge W = loge a + b loge L

Hubungan panjang berat dapat dilihat dari nilai konstanta b. Jika b = 3, maka hubungannya bersifat isometrik (pertambahan panjang sebanding dengan pertambahan berat). Jika n ≠ 3, maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik (pertambahan panjang tidak sebanding dengan pertambahan berat). Jika b > 3, maka hubungannya bersifat allometrik positif (pertambahan berat lebih dominan dari pertambahan panjangnya), sedangkan jika b < 3, maka hubungan yang terbentuk bersifat allometrik negatif (pertambahan panjang lebih dominan dari pertambahan beratnya).

Untuk menentukan bahwa nilai b = 3 atau tidak sama dengan 3, maka digunakan uji-t, dengan rumus (Walpole 1993):

(31)

Thit = Sb

3

 hipotesa :

Ho : b = 3 pola pertumbuhan isometrik H1 : b ≠ 3 pola pertumbuhan allometrik

Selanjutnya Thit yang didapat akan dibandingkan dengan Ttabel pada selang kepercayaan 95%. Jika Thit > Ttabel, maka tolak Ho, dan sebaliknya jika Thit < Ttabel, maka terima Ho.

3.4.3. Rasio kelamin

Rasio kelamin merupakan perbandingan jumlah udang jantan dengan udang betina.

Rasio Kelamin = B J

Keterangan :

J = jumlah udang jantan (ekor) B = jumlah udang betina (ekor)

Selanjutnya untuk menentukan seimbang atau tidaknya rasio kelamin jantan dan kelamin betina, maka dilakukan uji Chi-Square (Steel & Torrie 1980 in Halomoan 1999) dengan hipotesa :

Ho : J : B = 1:1 (nisbah kelamin seimbang) H1 : J : B ≠ 1:1 (nisbah kelamin tidak seimbang) Dengan rumus perhitungan :

X2 =

n

i i

e e O

1 1

2 1) (

Keterangan :

X2 = nilai bagi peubah acak X2 yang mempunyai sebaran penarikan contoh yang mendekati Chi-Kuadrat

Oi = frekuensi udang jantan dan betina yang teramati ei = frekuensi harapan dari udang jantan dan betina

Nilai X2 tabel diperoleh dari tabel nilai kritik sebaran khi-kuadrat. Untuk penarikan keputusan dilakukan dengan membandingkan X2 hitung dan X2 tabel pada

(32)

selang kepercayaan 95%. Jika nilai X2 hitung > X2 tabel, maka keputusannya adalah menolak hipotesa nol (Ho). Jika nilai X2 hitung < X2 tabel, maka keputusannya adalah terima hipotesa nol (Ho) (Walpole 1993).

(33)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sebaran Frekuensi Panjang

Udang contoh yang didapatkan selama penelitian berjumlah 586 ekor terdiri 250 ekor berjenis kelamin jantan dan 329 ekor berjenis kelamin betina. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa panjang minimum udang mantis adalah 27,5 mm, sedangkan panjang maksimumnya adalah 228 mm. Udang mantis paling banyak ditemukan pada selang kelas 33,11-34,97 mm sebanyak 213 ekor dan yang paling sedikit terdapat pada selang kelas 27,5-29,36 mm sebanyak 5 ekor (Gambar 4).

Gambar 8. Sebaran frekuensi udang mantis (H. raphidea) selama penelitian Dari 250 ekor udang mantis yang berjenis kelamin jantan diketahui bahwa panjang minimum yang didapat adalah 52 mm, sedangkan panjang maksimumnya adalah 228 mm. Sedangkan dari 329 ekor udang mantis betina, panjang minimum yang didapat adalah 27,5 mm dan panjang maksimumnya adalah 226 mm. Udang mantis jantan dan betina paling banyak ditemukan pada selang kelas yang sama, yakni 33,11-34,97 mm masing-masing sebanyak 90 ekor dan 123 ekor. Udang mantis jantan paling sedikit terdapat pada selang kelas 42,36-44,32 mm dan 46,2- 48,06 mm sebanyak 2 ekor, sedangkan untuk udang mantis betina paling sedikit terdapat pada selang kelas 44,33-46,19 mm sebanyak 2 ekor.

(34)

Gambar 9. Sebaran frekuensi udang mantis (H. raphidea) berdasarkan jenis kelamin selama penelitian

Dari sebaran frekuensi panjang, dapat terlihat ukuran udang mantis yang tertangkap termasuk berukuran kecil. Hal ini diduga karena lokasi pengambilan udang contoh yang berada di sekitar perairan estuari dan hutan mangrove. Sebagian besar krustasea berasosiasi kuat dengan perairan estuari dan hutan mangrove. Udang mantis dalam siklus hidupnya beruaya dari perairan pantai ke arah laut, kemudian induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai atau perairan berhutan bakau untuk berlindung, sebagai daerah untuk mencari makanan (feeding ground) dan daerah asuhan (nursery ground) (Ohtomi et al.

2005). Selain itu, faktor lain yang menyebabkan kecilnya ukuran udang mantis yang tertangkap antara lain keterwakilan udang contoh yang diambil dan proses rekrutmen yang terjadi sehingga udang mantis yang ditangkap merupakan udang- udang muda.

4.2. Hubungan Panjang-Bobot

Sebagian besar individu udang akan tumbuh sepanjang hidupnya sehingga pertumbuhan merupakan salah satu aspek biologi udang yang dipelajari secara intensif. Oleh karena itu, pertumbuhan merupakan salah satu aspek yang menunjukkan kesehatan udang secara individu dan juga populasi. Analisis mengenai hubungan panjang-bobot udang mantis dilakukan dengan memisahkan antara udang mantis jantan dengan udang mantis betina. Hal ini diduga karena terdapat perbedaan

(35)

pola pertumbuhan antara udang mantis jantan dan udang mantis betina. Nilai koefisien pertumbuhan udang mantis jantan yang didapat sebesar 3,009, sedangkan udang mantis betina sebesar 2,932 (Gambar 5). Secara keseluruhan tanpa pemisahan jenis kelamin diperoleh koefisien pertumbuhan sebesar 2,933. Nilai koefisien determinasi yang diperoleh berkisar antara 0,844-0,965. Dari hasil uji t, terlihat bahwa nilai t hitung lebih besar dari t tabel yang berarti penolakan terhadap hipotesis yang menyatakan bahwa nilai b=3 (allometrik).

Pola pertumbuhan berdasarkan hubungan panjang-bobot udang mantis hasil penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Pola pertumbuhan udang mantis H. raphidea pengambilan contoh di lapangan

Udang

Contoh N B W = aLb Pola pertumbuhan

(setelah dilakukan uji t dengan α=0,05) Jantan 250 3,009 0,965 W = 0,008 L 3,009 Isometrik Betina 329 2,933 0,939 W = 0,009L 2,933 Isometrik

(a) (b)

Gambar 10. Grafik hubungan panjang-bobot udang mantis jantan (a) dan betina (b) pengambilan contoh di lapangan

Nilai determinasi yang diperoleh dari hubungan panjang-bobot udang mendekati 1 (Gambar 6). Walpole (1993) menyatakan jika nilai koefisien determinasi mendekati 1 atau -1, maka terdapat hubungan linear yang sangat erat antara kedua variabel. Hal ini berarti terdapat hubungan yang sangat erat antara

(36)

panjang dan bobot tubuh udang mantis di lokasi pengamatan. Pola pertumbuhan udang mantis jantan dan betina adalah isometrik, artinya udang mempunyai pertumbuhan panjang dan bobot yang seimbang, dalam artian pertumbuhan panjang selalu diiringi dengan pertumbuhan bobot. Pola pertumbuhan seperti ini menandakan lingkungan perairan masih mendukung untuk pertumbuhan udang mantis.

Secara energi, pertumbuhan adalah perubahan kalori yang disimpan dalam jaringan reproduksi. Pertumbuhan terjadi karena adanya sisa energi yang dihasilkan dari proses metabolisme pada tubuh ikan. Proses metabolisme dikontrol oleh hormon pertumbuhan yang dikeluarkan oleh pituitary dan hormon steroid dari gonad. Tingkat pertumbuhan pada udang berubah-ubah yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti suhu perairan, kandungan oksigen terlarut, amonia, salinitas, dan lama penyinaran. Beberapa faktor berinteraksi dengan faktor lain yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan seperti derajat kompetisi, jumlah serta kualitas makanan yang dicerna, umur, dan tahap kematangan ikan (Moyle & Cech 2004).

Hubungan antara panjang dengan berat dapat memberikan informasi tentang kondisi biota. Berat biota akan meningkat yang berhubungan dengan meningkatnya volume (Jennings et al. 2001).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan digolongkan menjadi dua bagian besar, yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor-faktor ini ada yang dapat dikontrol dan ada juga yang tidak. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sulit dikontrol, seperti keturunan, jenis kelamin, umur, parasit, dan penyakit. Dalam suatu budidaya, faktor keturunan mungkin dapat dikontrol dengan mengadakan seleksi untuk mencari udang yang baik pertumbuhannya. Tetapi, jika di alam tidak ada kontrol yang dapat diterapkan. Faktor luar utama yang mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu perairan. Di daerah tropis, makanan merupakan faktor yang lebih penting daripada suhu perairan (Effendie 2002). Faktor kepadatan ternyata juga mempengaruhi pertumbuhan sebagian besar krustasea (Carmona- Osalde et al. 2004). Kepadatan yang tinggi akan menyebabkan pertumbuhan udang akan lebih lambat dikarenakan kompetisi dalam mendapatkan makanan. Kepadatan udang mantis (H. raphidea) di perairan Kuala Tungkal memiliki kisaran antara 9-79 ind/km2, dengan kepadatan tertinggi berada pada daerah yang paling dekat dengan

(37)

mangrove (Pratiwi 2010). Pola pertumbuhan isometrik atau allometrik tidaklah selalu tetap pada suatu spesies. Perbedaan nilai b dapat terjadi pada spesies yang sama di lokasi berbeda atau lokasi yang sama pada musim berbeda. Perubahan pola pertumbuhan juga diduga adanya perubahan komposisi makanan dan kompetisi pada saat musim berganti.

4.3. Aspek Reproduksi 4.3.1. Morfologi reproduksi

(a) (b)

Gambar 11. Letak alat kelamin udang mantis H. raphidea jantan (a) dan betina (b)

Udang mantis H. raphidea memiliki alat kelamin jantan yang disebut petasma (penis), sedangkan alat kelamin betina disebut thelicum. Thelicum terletak pada pertengahan kaki jalan pertama berbentuk datar. Udang betina memiliki tiga saluran terletak kelenjar semen yang terlihat melalui eksoskeleton di permukaan bagian thoracic somites yang berkembang seiring dengan perkembangan gonad, dan perkembangan dibagi menjadi tiga tahap. Ciri morfologi ini sama halnya dengan yang dimiliki udang mantis Squilla empusa (Wortham-Neal 2002).

Petasma (penis) terletak pada pangkal kaki jalan (pereiopod) ketiga berbentuk tonjolan kecil memanjang dan terdapat di kedua sisi kaki jalan. Ujung

(38)

bagian dari setiap penis memiliki dua lubang. Panjang kedua penis udang jantan tidak simetris; penis kiri memiliki panjang yang jauh lebih besar dibandingkan dengan penis kanan. Tempat penyimpanan cairan kelamin biasanya dapat berfungsi sebagai penyimpanan sperma jangka pendek, meskipun terkadang digunakan untuk penyimpanan jangka panjang. Pada spesies Squilla empusa, udang jantan memiliki sepasang penis (petasma) yang terletak di thoracic somites kedelapan (Wortham- Neal 2002).

(a) (b)

Gambar 12. Kurva hubungan antara panjang tubuh dengan panjang penis kanan (a) dan penis kiri (b)

Nilai panjang penis kanan udang mantis jantan adalah 7,92 ± 3,72 mm dan panjang penis kiri adalah 7,72 ± 3,70 mm (Gambar 9). Dilihat dari nilai koefisien korelasi kedua grafik yang mendekati 1, yaitu sebesar 0,94 (penis kanan) dan 0,95 (penis kiri), dapat disimpulkan bahwa panjang total dan panjang penis memiliki hubungan yang kuat dan korelasi yang tinggi. Muzammil (2010) melakukan Analisis Komponen Utama atau Principal Components Analysis (PCA) yang menunjukkan perbandingan karakter antara panjang total dengan panjang penis kanan dan kiri udang mantis H. raphidea memiliki korelasi positif sebesar 0,867. Selain itu, dapat dilihat pula bahwa penis kanan memiliki rataan panjang yang lebih besar dibandingkan penis kiri. Perbedaan panjang penis kanan dan kiri berada di antara bagian ujung penis dengan titik artikulasinya. Namun, hasil uji t (α = 0,05) menunjukkan bahwa nilai P lebih besar dibandingkan nilai α yang menyimpulkan bahwa antara penis kanan dan kiri tidak memiliki perbedaan panjang yang nyata.

Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Wortham-Neal (2002) yang menggunakan

(39)

spesies Squilla empusa, dimana penis kiri memiliki rataan panjang yang lebih besar dibandingkan penis kanan, namun keuntungan dari perbedaan panjang ini belum dapat diuji. Perbedaan tersebut diduga akibat perbedaan spesies yang tentunya menyebabkan perbedaan ciri-ciri morfologi organ-organ tubuhnya. Selain itu, perbedaan tersebut juga disebabkan adanya perbedaan umur dan jenis kelamin (Affandi et al. 1992).

4.3.2. Rasio kelamin

Rasio kelamin udang mantis yang tertangkap seluruhnya di lokasi penelitian sebanyak 586 ekor, tanpa memperhatikan tingkat kematangan gonad didapatkan rasio kelamin udang mantis jantan berbanding udang mantis betina sebesar 252 : 334, sedangkan berdasarkan selang kelas panjang memperlihatkan rasio yang beragam di setiap selang kelas, namun sebagian besar menunjukkan rasio yang tidak seimbang dimana udang mantis betina lebih banyak dibandingkan udang mantis jantan (Tabel 3).

Tabel 3. Rasio kelamin udang mantis H. raphidea pengambilan contoh di lapangan berdasarkan selang kelas panjang

Selang Kelas (mm)

Jenis Kelamin

Total Rasio Uji Chi- Square Jantan Betina

n % n %

27,50-29,36 0 0 5 100 5 - 5

29,37-31,23 7 21,21 26 78,79 33 1 : 3,7 10,94 31,24-33,10 38 40,86 55 59,14 93 1 : 1,4 3,11 33,11-34,97 90 42,25 123 57,75 213 1 : 1,4 5,11 34,98-36,84 42 49,41 43 50,59 85 1 : 1 0,01 36,85-38,71 30 50,85 29 49,15 59 1 : 1 0,02 38,72-40,58 19 43,18 25 56,82 44 1 : 1,3 0,82 40,59-42,45 17 60,71 11 39,29 28 1 : 0,6 1,29

42,46-44,32 2 20 8 80 10 1 : 4 3,60

44,33-46,19 6 75 2 25 8 1 : 0,3 2

46,20-48,06 2 25 6 75 8 1 : 3 2

Total 253 43,17 333 56,83 586 1 : 1,3 10,92

Secara keseluruhan tanpa memperhatikan selang kelas panjang, udang mantis di lokasi penelitian menunjukkan rasio kelamin jantan : betina sebesar 1 : 1,3. Setelah dilakukan uji Chi square pada selang kepercayaan 95 %, dapat

(40)

disimpulkan bahwa ada perbedaan rasio kelamin udang mantis berada dalam kondisi yang tidak seimbang.

Rasio kelamin udang mantis yang diperoleh dari nelayan penampung didapatkan rasio udang mantis jantan berbanding udang mantis betina sebesar 56 : 62, sedangkan berdasarkan selang kelas panjang memperlihatkan rasio yang beragam di setiap selang kelas, namun sebagian besar menunjukkan rasio yang tidak seimbang dimana udang mantis betina lebih banyak dibandingkan udang mantis jantan (Tabel 4).

Tabel 4. Rasio kelamin udang mantis H. raphidea pengambilan contoh di nelayan penampung berdasarkan selang kelas panjang

Selang Kelas (mm)

Jenis Kelamin

Total Rasio Uji Chi- Square Jantan Betina

n % n %

172-185 3 0,75 1 0,25 4 1 : 1,3 1,5

186-199 0 0 1 1 1 - 0,75

200-213 1 0,50 1 0,50 2 1 : 1 0

214-227 4 0,44 5 0,55 9 1 : 1,25 0,31

228-241 9 0,35 17 0,65 26 1 : 1,8 17,23

242-255 23 0,58 17 0,43 40 1 : 0,7 9,45

256-269 11 0,46 13 0,54 24 1 : 1,2 1,08

270-283 5 0,42 7 0,58 12 1 : 1,4 1,17

Total 56 47,46 62 52,54 118 1 : 1,1 31,49

Udang mantis yang berasal dari nelayan penampung menunjukkan rasio kelamin jantan : betina sebesar 1 : 1,1. Setelah dilakukan uji Chi square pada selang kepercayaan 95 %, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan rasio kelamin udang mantis berada dalam kondisi yang tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini disebabkan oleh tingkah laku dari udang mantis jantan. Setelah matang gonad, udang mantis jantan sering melakukan perkelahian atau pertempuran (combatant) dengan udang mantis jantan lainnya untuk memperebutkan udang mantis betina. Hal ini mengakibatkan kematian pada banyak udang mantis jantan yang akhirnya menurunkan jumlah populasinya dibandingkan udang mantis betina. Sifat seperti ini dimiliki oleh spesies-spesies bentik yang hidup dengan membuat celah-celah di dalam sedimen.

(41)

Tingkah laku seperti ini, pada udang mantis Neaxius vivesi terbukti telah menyebabkan kerugian yang cukup serius karena dapat menyebabkan kematian, baik pada satu atau kedua udang mantis yang berkelahi (Berrill 1975). Karakter tingkah laku yang sam juga dilaporkan pada beberapa udang callianassid, seperti Callianassa filholi (Devine 1966), C. tyrrhena (Ott et al. 1976), Trypaea australiensis (Hailstone 1962), Lepidophthalmus louisianensis (Felder & Lovett 1989), Neotrypaea californiensis (Bird 1982), Sergio mirim (Pezutto 1998), dan Nihonotrypaea harmandi (Tamaki et al. 1997). Adanya pengurangan jumlah udang mantis jantan gonad akibat perkelahian atau pemangsaaan, dapat menjadi keuntungan tersendiri terhadap populasi udang mantis secara umum, yaitu sebagai seleksi alam untuk mendapatkan the best specimens, sebagai upaya pengkayaan stok udang mantis oleh masing-masing udang mantis jantan yang bertahan hidup dengan mencari pasangannya (udang mantis betina) melalui penggalian secara acak pada setiap pengaturan, dan sebagai sebuah strategi alternatif untuk mengatasi permasalahan pada penempatan pasangan yang matang gonad di bawah permukaan sedimen tanpa melalui strategi seleksi yang sering digunakan oleh hewan-hewan bentik (Pezzuto 1998).

Penelitian Lawal-Are (2010) terhadap spesies Callinectes amnicola di Laguna Lagos, Nigeria menunjukkan jumlah betina yang lebih banyak dibandingkan jantan pada musim kering di bulan Maret, Mei, dan Agustus serta di awal musim hujan di bulan September. Ketidakseimbangan rasio antara udang mantis jantan dengan betina yang didominasi udang mantis betina menyebabkan sel sperma yang dihasilkan tidak termanfaatkan untuk membuahi sel telur sehingga pemijahan tidak akan terjadi. Pemijahan merupakan proses awal dalam rekrutmen individu baru, sehingga jika pemijahan tersebut tidak terjadi maka tidak dihasilkan individu baru di perairan. Perbandingan kelamin yang seimbang hanya menggambarkan keadaan pada saat itu dan di lokasi pengambilan contoh saja. Untuk mengetahui perbandingan kelamin udang mantis secara keseluruhan perlu dilakukan pengambilan contoh dengan memperhatikan jalur migrasi udang mantis. Umumnya pada biota akuatik jumlah jantan lebih banyak dibandingkan betina, sehingga satu individu jantan mengawini beberapa individu betina. Hal ini dilakukan agar organisme tersebut dapat mempertahankan kelestariannya. Perbandingan jenis

(42)

kelamin dapat digunakan untuk menduga keberhasilan pemijahan dengan melihat imbangan jumlah antara jantan dan betina di perairan, yang kemudian dapat berpengaruh pada produksi, rekrutmen dan konservasi sumberdaya tersebut.

4.3.3. Tingkat kematangan gonad (TKG)

Pengamatan tingkat kematangan gonad pada udang mantis (H. raphidea) menggunakan klasifikasi Wortham-Neal (2002) yang membagi tingkat kematangan gonad udang mantis menjadi 3 tingkatan. Jumlah udang mantis jantan yang diamati tingkat kematangan gonadnya berjumlah 56 ekor, sedangkan udang mantis betina berjumlah 61 ekor.

(a) (b)

Gambar 13. TKG H. raphidea jantan (a) dan betina (b) di lokasi penelitian

Udang mantis jantan ditemukan mulai mencapai TKG III pada selang kelas 235-249 mm, sedangkan udang mantis betina pada selang kelas 172-199 mm. Dapat dilihat bahwa TKG I memiliki persentase yang besar dibanding TKG II, dan III pada udang mantis jantan, sedangkan pada udang mantis betina TKG I juga mendominasi penyebaran TKG namun persentasenya tidak sebesar pada udang mantis jantan.

Secara keseluruhan terlihat bahwa udang mantis yang tertangkap merupakan udang-udang muda karena 91 % (jantan) dan 79 % (betina) dalam keadaan belum matang kelamin. Hal ini diduga udang muda terdapat di daerah payau dekat ekosistem mangrove sedangkan udang dewasa terdapat di perairan yang lebih jauh dari ekosistem mangrove dengan kadar garam yang lebih tinggi, dan lokasi peangambilan udang contoh merupakan daerah payau yang berada dekat dengan ekosistem mangrove. Pernyataan ini diperkuat oleh Yasuda in Suwandi (1978) yang

(43)

menyatakan keadaan tersebut disebabkan oleh pergerakan udang untuk beruaya yang disebabkan oleh tingkat kedewasaan. Selain itu, banyaknya udang mantis yang tertangkap dalam keadaan belum matang kelamin diduga akibat daur hidup udang mantis itu sendiri, dimana udang dewasa hidup di perairan yang lebih jauh dari daerah payau, yaitu di daerah continental shelf untuk memijah. Larva udang bergerak ke estuari dan berkembang disana sampai menjelang dewasa dan bergerak lagi ke daerah continental shelf untuk memijah.

Sebaran TKG udang mantis jantan memiliki hubungan dengan nisbah kelaminnya. Dominannya TKG I pada udang mantis jantan diduga berhubungan dengan karakteristik udang mantis jantan setelah matang gonad, yaitu melakukan perkelahian atau pertempuran (combatant) dengan udang mantis jantan lainnya untuk memperebutkan udang mantis beti na yang. Hal ini tentunya mengakibatkan kematian pada banyak udang mantis jantan yang telah mencapai TKG II dan III.

Sebaran TKG udang mantis betina yang lebih beragam mengindikasikan bahwa terjadi pemijahan serentak (simultaneous breeding). Fenomena ini juga ditemukan pada udang callianassid, Nihonotrypaea japonica (Wardiatno 2002). TKG III pada H. raphidea terjadi pada betina dengan ukuran yang lebih besar. Hal ini berarti deposisi telur telah diinisiasi oleh udang mantis betina lebih besar pada awal musim pemijahan, sementara partisipasi reproduksi oleh udang mantis betina dengan ukuran lebih kecil dilakukan kemudian.

Pada pengamatan skala laboratorium yang juga dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa H. raphidea betina non-reproductive yang dikumpulkan dari lapangan, membutuhkan waktu sekitar dua minggu untuk mengembangkan gonadnya hingga TKG I. Namun demikian, hanya sedikit yang menunjukkan bentuk segitiga pada bagian ventral telson. Adanya bentuk segitiga ini setelah dua minggu dari pengumpulan udang dari lapang, menunjukkan bahwa udang mantis tersebut siap melepaskan telur-telurnya. Untuk jenis Oratosquilla oratoria, pada kondisi yang sama akan diikuti dengan pemijahan dalam waktu satu minggu ke depan (Hamano & Matsuura 1984).

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pola pertumbuhan dan reproduksi ikan kuniran yang mencakup faktor kondisi, rasio kelamin, tingkat kematangan gonad, indeks

Aspek pertumbuhan dan biologi reproduksi yang akan dianalisis terkait dengan hubungan panjang berat, faktor kondisi, rasio kelamin, tingkat kematangan gonad

memperhatikan aspek biologi reproduksi dari ikan tongkol krai dapat memberikan infomarsi biologis seperti nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), indeks kematangan

Analisis data yang dilakukan meliputi struktur ukuran, hubungan panjang berat, nisbah kelamin, Tingkat Kematangan Gonad, rata-rata panjang karapas udang pertama kali matang gonad

Analisis data yang digunakan untuk mengetahui Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan Keperas mengetahui nilai rasio kelamin, hubungan panjang berat tubuh ikan,

Studi mengenai biologi reproduksi ikan pelagis kecil yang meliputi rasio jenis kelamin, perkembangan kematangan gonad, dan panjang ikan pertama kali matang gonad, telah

Perbedaan yang sangat nyata ini diduga karena udang jantan lebih banyak yang tertangkap pada saat matang gonad dibanding udang betina karena pengaruh ukuran