• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA PESANTREN: STUDI TENTANG PENGELOLAAN PONDOK PESANTREN AL- JAUHAREN KOTA JAMBI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DINAMIKA PESANTREN: STUDI TENTANG PENGELOLAAN PONDOK PESANTREN AL- JAUHAREN KOTA JAMBI"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Pendahuluan

Pesantren, jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous.

Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara pada abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para santri yang kemudian disebut pesantren.

Seiring dengan bergulirnya waktu, pondok pesantren telah berkembang melintasi wilayah nusantara. Di Padang Sumatera Barat telah berdiri madrasah Adabiyah oleh Syeikh Abdullah Ahmad pada tahun 1915 M, pada tahun 1930 M, di Tapanuli Sumatera Utara didirikan pondok pesantren Mustafawiyah oleh Syeikh Mustafa

JAUHAREN KOTA JAMBI MUHAMMAD QODRI

Abstrak

Artikel ini membahas tentang Pondok Pesantren Al-Jauharen di Seberang Kota Jambi dengan segala dinamikanya. Pondok pesantren ini berdiri sejak 1927 dan dalam perjalanannya pernah mengalami kemunduran dan ditutup.

Artikel ini menceritakan tentang proses kemunduran hingga ditutup tersebut serta proses pendirian kembali yang tidak mudah. Berbagai strategi dipakai oleh pengurus pondok pesantren baru yang dipilih oleh masyarakat. Setelah berdiri kembali, pengurus juga melakukan berbagai langkah pengembangan.

Kata Kunci: Pondok Pesantren Al-Jauharen, pengelolaan, pengembangan.

(2)

Husein pada 1913.1

Gambaran di atas hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak pondok pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia, yang kehadirannya tidak saja sebagai wadah kegiatan belajar mengajar bagi putra-putri masyarakat Indonesia pada masa itu, tetapi eksistensi pondok pesantren juga sebagai simbol kebudayaan Islam yang mempunyai andil bagi perkembangan agama Islam itu sendiri di tanah air.

Perkembangan pesantren terbilang sangat pesat dan ekspansif.

Hampir di setiap daerah (provinsi) di Indonesia memiliki pesantren, salah satunya adalah provinsi Jambi yang hampir di setiap kabupatennya memiliki pesantren, yang disebagian tempat dinamakan dengan madrasah. Dahulunya pesantren-pesantren tersebut adalah sebuah madrasah, seperti madrasah-madrasah yang terdapat diseberang Kota Jambi yaitu di antaranya Madrasah Nurul Iman, Madrasah Nurul Islam, Madrasah Sa’adatuddarain, dan Madrasah Al- Jauharen, termasuk juga Madrasah As’ad, yang pada akhirnya untuk mendapatkan subsidi dari pemerintah, madrasah tersebut dinamakanlah dengan pondok pesantren.

Pondok pesantren tersebut di atas merupakan pondok pesantren yang didirikan setelah berdirinya organisasi sosial keagamaan yang bernama Perukunan Tsamaratul Insan.2 Pesantren-pesantren yang didirikan oleh Perukunan Tsamaratul Insan (Nurul Iman, Nurul Islam, Sa’adatuddarain, dan Al-Jauharen) masing-masing pernah mengalami masa kejayaan. Sa’adatuddarain di awal pendiriannya sampai sekarang masih berkembang dan maju, Nurul Iman dan Nurul Islam masih tetap berjalan di tempat, sementara Al-Jauharen

1 Zuhairini dkk, Sejarah pendidikan Islam, ( Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hlm. 194

2 Tsamaratul Insan merupakan Organisasi Sosial Keagamaan yang berkedudukan di Kampung Ulu Gedong Seberang Kota Jambi yang disyahkan berdasarkan Surat Keputusan Residen Negeri Jambi, Nomor: 1636, tanggal 10 November 1915 M yang bertepatan dengan tanggal 1 Dulhijjah 1333 H

(3)

pernah tidak berjalan (mati suri) di masa kepemimpinan Guru Mahfudz.

Begitulah yang terjadi pada Pondok Pesantren Al-Jauharen yang ditinggal pergi oleh guru dan santrinya, hal tersebut berlangsung cukup lama. Pada 2003 pesantren tersebut mulai bangkit dan berkembang kembali sampai sekarang. Murid-murid yang berasal dari berbagai daerah kabupaten dalam Provinsi Jambi kembali berdatangan untuk menimba ilmu pengetahuan di sana sampai sekarang.

Konsep Pengelolaan Pengertian Pengelolaan

Hasibuan mendefinisikan pengelolaan sebagai ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya secara efesien dan efektif untuk mencapai suatu tujuan tertentu.3 Sedangkan Dubrin mengatakan bahwa pengelolaan merupakan proses menggunakan sumber-sumber organisasi untuk mencapai tujuan organisasi berdasarkan fungsi perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengawasan.4

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapatlah diidentifiksi bahwa pengelolaan memiliki pengertian sebagai:

a. Proses yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengawasan.

b. Proses yang menggunakan sumber daya organisasi.

c. Penggunaan sumber daya yang dilakukan secara efektif dan efesien

Fungsi Pengelolaan

Proses pengelolaan terdiri atas serangkaian kegiatan-kegiatan yang

3 Malayu S.P. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm.1-2.

4 Andrew J.Jubrin, Essential Of Manajement, (Ohio: South Western, 1990), hlm. 2.

(4)

telah ditetapkan dan memiliki hubungan serta masing-masing memiliki ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya yang dilaksanakan oleh cabang-cabang dalam organisasi atau kegiatan- kegiatannya yang diberi tugas untuk melaksanakan kegiatan.

L.M. Gulick mengatakan bahwa ada tujuh fungsi pengelolaan yang terdiri atas: planning, organizing, staffing, directing, coordinating, controlling, dan budgeting, dari ketujuh fungsi tersebut dapat dirangkum dalam empat fungsi yang dominan yaitu: perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengawasan.

a. Perencanaaan

Made Pidarta menjelaskan bahwa perencanaan itu adalah meyeleksi dan menguhubungkan pengetahuan, dan asumsi- asumsi untuk masa yang akan datang untuk tujuan memvisualisasikan dan memformulasikan hasil yang akan diinginkan, urutan kegiatan yang diperlukan, dan perilaku dalam batas-batas yang dapat diterima yang akan digunakan dalam penyelesaiannya.5

Definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli manajemen tentang perencanaan, dapat penulis simpulkan bahwa perencanaan merupakan suatu proses penentuan lebih dahulu kegiatan yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang berdasarkan identifikasi masalah saat ini untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

b. Pengorganisasian

Pengorganisasian menurut Siagian merupakan suatu keseluruhan dari proses pengelompokkan orang-orang-alat-alat, tugas-tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk dapat menciptakan suatu organisasi yang dapat digerakkan dalam suatu kesatuan untuk pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.6 Sementara

5 Made Pidarta, Perencanaan Pendidikan Partisipatori dengan Pendekatan Sistem, ( Jakarta: PPCPTK, 1990), hlm 3

6 Siagian, Filsafat Administrasi ,( Jakarta: Gunung Agung, 1997), hlm.43

(5)

Handoko berpendapat bahwa pengorganisasian adalah proses penyusunan struktur organisasi, sumber daya-sumber daya yang dimiliki dan lingkungan yang melingkupinya.7

Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa pengorganisasian merupakan kegiatan bagi-bagi pekerjaan diantara komponen-komponen aktivitas dikalangan anggota kelompok sesuai dengan fungsi dan tugasnya, atau yang disebut dengan distribusi tugas. Pendistribusian tugas itu juga menetap- kan beberapa jalinan hubungan yang diperlukan dan mencatat partisipasi yang diberikan oleh masing-masing anggota kelompok.

Kelompok-kelompok tersebut membentuk satu sinergi yang berjalan kearah tujuan bersama yang ingin dicapai.

c. Kepemimpinan

Menurut Buchari Zainun pada prinsipnya kepemimpinan itu adalah suatu kekuatan atau ketangguhan yang bersumber dari kemampuan usaha untuk mencapai cita-cita dengan keberanian terhadap resiko yang bakal terjadi, yakni melalui kekuatan atau ketangguhan yang dimiliki, seseorang atau sekelompok orang mampu menguasai dan mengendalikan orang lain untuk mencapai cita-cita dan harapan yang dimaksud.8 Sementara Hendiyat Soetopo berpendapat bahwa kepemimpinan adalah suatu kegiatan dalam membimbing suatu kelompok sedemikian rupa sehingga dapat mencapai tujuan dari kelompok bersangkutan, yaitu tujuan bersama.9

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan itu merupakan kemampuan diri dan kepribadian seseorang dalam mempengaruhi orang lain agar mau melakukan

7 T.Hani Handoko, Managemen, (Yogyakarta: BPEE, 1997), hlm 167

8 Buchari Zainun, Kepemimpinan Nasional yang Mantap Di Tinjau dari Sudut Ilmu Administrasi Negara, ( Jakarta: 1984), hlm 4

9 Hendiyat Soetopo, Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan, (Malang: Bina Aksara, 1985), hlm 284

(6)

tindakan tertentu dalam rangka mencapai tujuan yang telah direncanakan.

d. Pengawasan

Pengawasan atau pengontrolan yaitu kegiatan mengkaji, mengamati, serta memperhatikan apakah kegiatan yang dilakukan oleh para anggota kelompok itu sudah berjalan sesuai rencana.

Pengawasan ini juga memastikan apakah pekerjaan yang dilakukan oleh para anggota itu dapat mengarah pada sasaran yang tepat seperti yang diharapkan serta dapat pula mencegah terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan tersebut secara dini10. Hal senada diungkapkan oleh Siagian yang mengatakan bahwa pengawasan adalah proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.11

Pengertian yang dikemukakan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pengawasan merupakan suatu aktivitas yang direncanakan dan dilakukan secara sistematis untuk menjaga agar peyimpangan dan hambatan dalam kegiatan organisasi dapat dihindarkan sehingga tujuan dapat tercapai sesuai perencanaan yang telah ditetapkan.

Pondok Pesantren

Definisi Pondok Pesantren

Istilah pondok berasal dari kata arab fundug, yang berarti hotel atau asrama.12 Sementara di Aceh lebih dikenal dengan istilah meunasah, dayah, atau rangkang.13 Sedangkan di Minangkabau disebut surau.14

10 Mukhtar, Sekolah Berprestasi, ( Jakarta: Nimas Multima, 2001), hlm 22

11 Siagian, Op.Cit, hlm.107

12 Zamakshari, Dhofier. Op.Cit, hlm. 18

13 Meunasah adalah tempat persinggahan kaum lelaki yang sedang dalam perjalanan atau pemuda. Meunasah dipimpin oleh seorang Teuku yang memberikan pengajaran keagamaan serta teratur kepada orang yang menginap di tempat tersebut. Tradisi

(7)

Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Profesor Johns berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil. yang berarti guru mengaji, sedang CC. Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang serjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.15

Pesantren secara sederhana dapat didefinisikan menurut karakteristik yang dimilikinya, tempat belajar para santri. Secara teknis pengertian pesantren dikemukakan oleh Mastuhu. Menurutnya pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mangamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.16

pembacaan hikayat atau ratib dilestarikan melalui aktivitas di dalamnya. Dayah adalah tempat peribadatan dan pengajian yang juga terkenal di Aceh sebagaimana meunasah.

Rangkang adalah tempat pemondokan atau asrama yang khusus di sediakan bagi murid dari luar kota yang tidak bida ditampung di meunasah. Rangkang lebih menyerupai model pesantren karena di dalamnya berlangsung kegiatan pendidikan agama yang dipimpin oleh seorang Teuku. Lihat Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 3

14 Surau adalah lembaga pendidikan Islam tradisional semacaam pesantren yang terkenal di Sumatera Barat. Surau memiliki perbedaan dengan pesantren, yakni terutama dalam hubungannya dengan kedudukan “Syeikh” (Kyai-nya surau) dengan kyai dalam pesantren di Jawa. Lingkungan sosio kultural dan keagamaan di Minangkabau serta proses-proses dan dinamika yang terjadi dalam masyarakat ini mempengaruhi pula kedudukan ‘’syeikh” sebagai figur utama pada suatu surau. Surau dijadikan tempat bertemu, berkumpul, dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah baligh dan orang tua yang uzur. Fungsi surau ini pada gilirannya diperluas menjadi tempat pengajaran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam. Lihat, Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.

131

15 Zamakshari, Dhofier, Op.Cit, hlm. 19

16 Mastuhu, Op.Cit, hlm 55

(8)

Tujuan Pesantren

Pesantren dalam proses perkembangannya masih tetap disebut sebagai lembaga keagamaan yang mengajarkan dan mengembangkan ilmu agama Islam. Dengan segala dinamikanya, pesantren dipandang sebagai lembaga yang merupakan pusat dari perubahan-perubahan masyarakat lewat kegiatan dakwah Islam, seperti tercermin dari berbagai pengaruh pesantren terhadap perubahan dan pengembangan individu, sampai pada pengaruhnya terhadap politik di antara para penguasa.

Pesantren bertujuan tidak semata untuk memperkaya pikiran santri dengan teks-teks dan penjelasan-penjelasan Islami, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap tingkah laku jujur dan bermoral, dan menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap murid diajar agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain.17

Perkembangan Pesantren

Sebagai konsekuensi keikutsertaan pondok pesantren dalam kehidupan masyarakat yang dinamis, di pondok pesantren selain berkembang aspek pokoknya, yaitu pendidikan dan dakwah, juga berkembang hamper semua aspek kemayarakatan, terutama yang berkaitan dengan ekonomi dan kebudayaan. Berikut adalah beberapa contoh aspek kehidupan kemasyarakatan yang berkembang di pondok pesantren yaitu:

a. Pendidikan agama

Pendidikan agama melalui pengajian kitab kuning yang diselenggarakan di pesantren adalah komponen kegiatan utama atau pokok dari pesantren, yang mana penyelenggaraannya

17 Mubtarom HM dalam Ismail et.al. (ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta dan Semarang: Pustaka Pelajar & Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2002), hlm. 44

(9)

diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan pengasuh pondok, dengan tujuan untuk mendalami ajaran agama Islam dari sumber aslinya (kitab-kitab kuning).

b. Pendidikan dakwah

Pendidikan dakwah seperti halnya pendidikan agama merupakan salah satu pokok penyelenggaraan pesantren. Bahkan, pesantren dapat berfungsi sebagai lembaga keagamaan yang meyebarkan ajaran agama Islam.

c. Pendidikan formal

Pendidikan formal diselenggarakan dalam bentuk sekolah umum, dengan mengembangkan dan membina pendidikan formal di pesantren, diharapkan lulusan pondok dapat memiliki pengetahuan akademis yang bermanfaat bagi kehidupannya di kemudian hari.

d. Pendidikan seni

Pendidikan seni dimaksudkan untuk lebih meningkatkan apresiasi para santri terhadap berbagai macam bentuk kesenian, terlebih kesenian yang berbetuk Islami.

e. Pendidikan kepramukaan

Pendidikan kepramukaan merupakan suatu sistem pendidikan diluar pendidikan rumah tangga, masyarakat dan sekolah yang sangat baik, kreativitas, displin, dan dinamika santri dapat meningkat dengan pendidikan kepanduan ini.

f. Pendidikan olahraga dan kesehatan

Pendidikan olah raga dan kesehatan ini besar sekali manfaatnya untuk menjaga keseimbangan dan kesehatan jasmani.

g. Pendidikan keterampilan.

Pendidikan keterampilan dikembangkan di pesantren untuk kepentingan dan kebutuhan para santri sebagai modal untuk menjadi manusia yang bersemangat wiraswasta dan sekaligus menunjang pembangunan masyarakat di lingkungan pondok pesantren.

(10)

Elemen-elemen Pesantren

Pesantren terdiri dari lima elemen pokok, yaitu: kyai, masjid, santri, pondok, dan pengajaran kitab-kitab klasik.18 Kelima elemen tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren dan membedakan pendidikan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan dalam bentuk lain. Kelima elemen tersebut ialah:

a. Kyai

Kyai atau pengasuh pondok merupakan elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di tanah jawa dan madura sosok kyai begitu sangat berpengaruh, kharismatik, dan berwibawa, sehingga amat disegani oleh masyarakat di lingkungan pesantren. Disamping itu, kyai pondok biasanya juga sekaligus sebagai penggagas dan pendiri pesantren yang bersangkutan. Oleh karenanya, sangat wajar jika dalam pertumbuhannya, pesantren sangat bergantung pada peran seorang kyai.

Menurut asal muasalnya, sebagaimana yang dirinci oleh Zamakhsyari Dhofier, perkataan kyai dalam bahasa jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap sakti dan keramat, misalnya kyai garuda kencana dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di kraton Yogyakarta. Kedua, sebagai gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya. Ketiga, sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren.19

Kyai dalam penelitian ini, mengacu kepada pengertian yang ketiga yakni gelar yang diberikan kepada para pemimpin agama Islam atau pondok pesantren dan mengajarkan berbagai jenis- jenis kitab-kitab kuning kepada para santrinya. Istilah kyai ini bisanya lazim digunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur saja,

18 Zamakhsari Dhofier, Op.Cit, hlm 44

19 Ibid, hlm. 55

(11)

sementara di Jawa Barat digunakan istilah ajengan, di Aceh dengan teuku, di Sumatera Utara dinamakan buya, sedangkan di Jambi dengan istilah tuan guru.

b. Masjid

Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam yang penah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya, telah terjadi proses berkesinam- bungan fungsi masjid sebagai pusat kegiatan umat. Tradisi penggunaan masjid sebagai pusat aktivitas kaum muslim diteruskan oleh para sahabat dan khalifah berikutnya. Secara etimologis menurut Quraisy Shihab, masjid berasal dari bahasa arab “sajada” yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat, dan takzim. Sedangkan secara terminologis, masjid merupakan tempat aktivitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah.20

Upaya menjadikan mesjid sebagai pusat pengkajian dan pendidikan Islam berdampak pada tiga hal. Pertama, mendidik anak agar tetap beribadah dan selalu mengingat kepada Allah.

Kedua, menanamkan rasa cinta pada ilmu pengetahuan dan menumbuhkan rasa solidaritas sosial yang tinggi sehingga bisa menyadarkan hak-hak dan kewajiban manusia. Ketiga, memberikan ketentraman, kedamaian, dan potensi-potensi positif melalui pendidikan kesabaran, keberanian, dan semangat dalam hidup beragama.

Kendatipun sekarang ini model pendidikan di pesantren mulai dialihkan di kelas-kelas seiring dengan perkembangan sistem pendidikan modern, bukan berarti masjid kehilangan fungsinya.

Para kyai umumnya masih setia menyelenggarakan pengajaran kitab kuning dengan sistem sorogan, dan bandongan, atau

20 Quraisy Shihab. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, Cet-2, 1996, hlm. 459

(12)

wetonan21 di masjid. Pada sisi lain, para santri juga tetap menggunakan masjid sebagai tempat belajar, karena alasan lebih tenang, sepi, kondusif, juga diyakini mengandung nilai ibadah.

c. Santri

Pada umumnya santri terdiri dari dua kelompok. Pertama, santri mukim, ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren. Kedua, santri kalong, ialah santri-santri yang berasal dari daerah-daerah disekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap didalam pesantren. Mereka pulang kerumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.22 Apabila pesantren memiliki lebih banyak santri mukim daripada santri kalong, maka pesantren tersebut adalah pesantren besar. Sebaliknya, pesantren kecil memiliki lebih banyak santri kalong daripada santri mukim.

Seorang santri lebih memilih menetap di suatu pesantren karena ada tiga alasan. Pertama, berkeinginan mempelajari kitab- kitab kuning yang membahas tentang Islam secara lebih mendalam langsung dibawah bimbingan seorang kyai yang memimpin pesantren tersebut. Kedua, berkeinginan memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian, maupun hubungan dengan pesantren-pesantren lain. Ketiga, berkeinginan memusatkan perhatian pada studi di pesantren tanpa harus disibukkan dengan kewajiban sehari-hari dirumah.

21 Sorogan merupakan metode pengajaran individual yang dilaksanakan di pesantren.

Dalam aplikasinya, metode ini terbagi menjadi dua cara, yaitu: pertama, bagi santri pemula mereka mendatangi seorang ustaz atau kyai yang akan membacakan kitab tertentu, kedua bagi santri senior, mereka mendatangi seorang ustaz atau kyai supaya sang ustaz atau kyai tersebut mendengarkan sekaligus memberikan koreksi terhadap bacaan kitab mereka. Adapun Bandongan atau Wetonan merupakan metode pengajaran kolektif dimana santri secara bersama-sama mendengarkan seorang ustaz atau kyai yang membaca, menterjemahkan, menerangkan, dan mengulas kitab berbahasa Arab tertentu

22 Nurcholis Madjid. Bilik-Bilik Pesantren, Jakarta: Paramadina, 1997, hlm 52

(13)

d. Pondok

Santri mukim dengan kyai pemimpin pesantren serta anggota lainnya, biasanya tinggal dalam suatu lingkungan yang tersendiri.

Inilah yang disebut pondok, disinilah kyai bersama santrinya bertempat tinggal. Adanya pondok sebagai tempat tinggal bersama, antara kyai dengan para santri sangat bermanfaat dalam rangka bekerjasama memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini merupakan pembeda dengan lembaga pendidikan lainnya.23 Setidaknya ada beberapa alasan mengapa pesantren harus menyediakan pondok untuk tempat tinggal (asrama) para santrinya. Pertama, kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam, merupakan daya tarik para santri dari jauh untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara terus menerus dalam waktu yang sangat lama. Sehingga untuk keperluan itulah seorang santri harus menetap. Kedua, hampir semua pesantren berada didesa-desa terpencil jauh dari keramaian dan tidak tersedianya perumahan yang cukup untuk menampung para santri, dengan demikian diperlukan pondok khususnya.

Ketiga, adanya timbal balik antara santri dan kyai, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah seperti bapaknya sendiri, sedangkan kyai memperlakukan santrinya seperti anaknya sendiri.

Sikap timbal balik inilah menimbulkan suasana keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan secara terus-menerus.

e. Pengajaran kitab-kitab kuning

Berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab- kitab klasik, khususnya karangan-karangan mazhab Syafi’iyah.

Pengajaran kitab-kitab kuning berbahasa arab dan tanpa harakat atau sering disebut kitab gundul,24 merupakan satu-satunya

23 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia ; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm 52

24 Kitab gundul merupakan kitab kuning yang berbahasa arabtanpa harakat sehingga dinamai oleh para santri dan masyarakat sebagai kitab gundul. Untuk dapat membacanya seorang santri harus menguasai dulu ilmu alat yaitu nahwu dan shorof.

(14)

metode yang secara formal diajarkan dalam komunitas pesantren di Indonesia.

Penggalian hasanah budaya Islam melalui kitab-kitab klasik dalam pesantren merupakan salah satu unsur penting dalam keberadaannya dan yang membedakannya dengan lembaga pendidikan lain. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional tidak dapat diragukan lagi berperan sebagai pusat tranmisi dan desiminasi ilmu-ilmu keislaman, terutama yang bersifat kajian-kajian klasik. Maka pengajaran kitab-kitab kuning telah menjadi karakteristik yang merupakan ciri khas dari proses belajar mengajar di pesantren.25

Dinamika Pondok Pesantren Al-Jauharen Kota Jambi

Dinamika perkembangan pondok pesantren mengalami pasang surut karena situasi zaman yang dilalui sangat beragam dan berbeda. Begitu juga yang dialami Pondok Pesantren Al-Jauharen yang menjadi kebanggaan masyarakat seberang Kota Jambi. Pada awalnya lembaga ini merupakan pusat pendidikan agama Islam yang maju dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat Seberang Kota Jambi sejak berdirinya pada 1927 sampai 1981. Ketika dipimpin oleh Guru Mahfudz, lembaga yang menjadi kebanggaan masyarakat Seberang Kota Jambi ini mengalami kemunduran yang pada akhirnya ditinggal pergi oleh para penghuninya alias ditutup. Di antara faktor- faktor penyebabnya antara lain sebagai berikut:

Faktor Internal

Salah satu persoalan yang paling krusial dalam sebuah manajemen biasanya menyangkut dengan pola kepemimpinan yang diterapkan.

Begitulah hal yang terjadi pada Pondok Pesantren Al-Jauharen ketika dipimpin oleh guru Mahfudz, yang pola kepemimpinannya bersifat

25 Ismail SM. Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm 108

(15)

otokrasi.26 Persoalan lain yang dihadapi Al-Jauharen dalam sistem pendidikannya pada waktu itu adalah minimnya perhatian yang diberikan mudir kepada para guru. Lemahnya perhatian terhadap kesejahteraan para guru menyebabkan mereka tidak dapat mendedikasikan diri secara lebih profesional dan bertanggungjawab.

Bahkan antara mudir dengan majelis guru ketika itu kurang terbina komunikasi yang harmonis.

Al-Jauharen pada waktu itu juga mengalami krisis kurikulum umum. sementara tuntutan masyarakat agar memasukkan kurikulum umum sebagai pelajaran tambahan untuk bekal para santrinya, supaya mereka memiliki keilmuwan tentang keduniawian disamping mereka memiliki ilmu agama yang mantap. Guru Mahfudz ketika itu sebagai mudir betul-betul menolak dengan masuknya pelajaran-pelajaran umum yang menyebabkan berkurangnya santri yang belajar disana.

Selanjutnya Guru Mahfudz ini tidak transparan dalam masalah keuangan, semua beliau selesaikan secara pribadi, tanpa melibatkan majelis guru.27

Pandangan tersebut dipertegas lagi oleh para pengurus pondok yang mengatakan bahwa pola manajemen ketika itu dianggap tertutup, hal itu berlangsung sejak pondok ini dipimpin oleh Guru Mahfudz.

Akhirnya lama kelamaan satu persatu guru yang mengajar di Al- Jauharen ini mengundurkan diri tidak mengajar lagi di pondok ini.

Kemungkinan besar hal inilah penyebab Pondok Pesantren Al- Jauharen gulung tikar.

Faktor Eksternal

Berdirinya Pondok Pesantren Al-Jauharen pada mulanya untuk

26 Otokrasi merupakan pola kepemimpinan yang cenderung mengambil keputusan tanpa lebih dahulu mengkomunikasikannya dengan bawahan, serta mengambil sikap untuk menentukan apa yang harus dilakukan oleh orang lain dan mengharapkan mereka untuk mematuhinya.

27 Guru Karimuddin, Penasehat Ponpes Al-Jauharen, Wawancara, Jambi, 6 November 2010

(16)

memenuhi harapan dan keinginan masyarakat terhadap ilmu-ilmu agama. Dapat dimaklumi karenanya, bahwa dengan keinginan semacam itu masyarakat secara sukarela memberikan bantuan baik bersifat dukungan moril maupun materil. Namun yang terjadi setelah Pondok Pesantren Al-Jauharen dipimpin oleh Guru Mahfudz, kepercayaan masyarakat kepada pondok tersebut sudah menghilang, disebabkan tidak adanya transparansi dalam mengelola sumber- sumber keuangan baik pemasukan yang berbentuk sumbangan atau bantuan maupun pengeluaran. Intinya Al-Jauharen ketika itu tidak mendapat dukungan dari masyarakat setempat.

Faktor lainnya ketika krisis moneter menimpa negara kita, semua harga barang mahal, begitu juga harga kebutuhan pokok sehari-hari juga mahal. Pondok Pesantren Al-Jauharen ketika itu mayoritas santrinya adalah anak-anak desa yang kurang mampu, akhirnya orang tua itu satu persatu menarik anaknya kembali ke desanya masing- masing untuk sekolah di sana karena mengingat biayanya, sementara rata-rata penghasilan orang tua hanya pas-pas an untuk membiayai kehidupannya sehari-hari

Proses Berdirinya Kembali Pondok Al-Jauharen 1. Musyawarah dengan warga

Musyawarah ini bertujuan untuk mengajak warga Tanjung Johor lebih perhatian terhadap nasib Pondok Pesantren Al-Jauharen, yang mana sebagai pemilik maka adalah wajar kalau masyarakat ikut bersama-sama membangun kembali, mempertahankan dan memakmurkan Al-Jauharen.

2. Mencari pemimpin yang ideal

Hasil musyawarah yang dilakukan oleh pihak pondok dengan warga masyarakat Tanjung Johor antara lain adalah mencari pemimpin (mudir) Pondok Pesantren Al-Jauharen menggantikan guru Mahfudz yang telah berpulang ke rahmatullah di awal tahun 2003.

Pimpinan rapat meminta pendapat kepada para pengelola

(17)

pondok serta warga Tanjung Johor untuk menentukan calon pemimpin Al-Jauharen ke depan. Selanjutnya para peserta musyawarah, termasuk warga Tanjung Johor, secara aklamasi menunjuk Guru H. Sirojuddin sebagai mudir Pondok Pesantren Al-Jauharen.

3. Temu reuni akbar

Langkah utama yang dilakukan oleh mudir beserta para pengelola Al-Jauharen adalah ingin melaksanakan suatu kegiatan yang menurut mereka dapat membantu membangkitkan kembali Pondok Pesantren Al-Jauharen yaitu melaksanakan reuni akbar, yang bertujuan untuk meminta sumbangsih kongkrit mereka terhadap Al-Jauharen, baik berupa pemikiran maupun sumbangan material. Serta melalui para alumni ini pihak pengelola pondok berharap lebih mudah melakukan pendekatan dengan masyarakat, sebab para alumni ini telah banyak menjadi orang- orang penting di tengah-tengah masyarakat dimana mereka tinggal.

4. Menyebarkan brosur

Program lain yang telah dilakukan oleh pihak pengelola pondok yaitu dengan cara menyebarkan brosur kepada masyarakat luas.

Diantara isi brosur tersebut adalah tahun ajaran 2003/ 2004 pondok Al-Jauharen menerima santri baru putra maupun putri, yang mana sebelumnya hanya menerima santri yang putra, kurikulumnya menggabungkan sistem salafiyah dengan sistem modern, yang mana sebelumnya hanya kurikulum salafiyah, memasukkan pelajaran ilmu ‘Arudh dan ilmu falak, yang mana kedua ilmu ini tidak diajarkan pada pondok pesantren lainnya, khususnya pondok-pondok pesantren di Kota Jambi.

UpayaPengembangan

1. Mengadakan Pengajian Rutin

Salah satu upaya yang ditempuh oleh pihak pengelola dalam mengembangkan Pondok Pesantren Al-Jauharen ini adalah

(18)

mengadakan pengajian rutin untuk masyarakat setiap sekali seminggu, memang kenyataannya pengajian rutin yang diseleng- garakan di Jauharen ini diikuti oleh mayoritas masyarakat Tanjung Johor dan masyarakat yang berada di sekitarnya, dan akhirnya lama-kelamaan mereka memasukkan anaknya ke Pondok Pesantren Al-Jauharen ini.

2. Membuka Program Tahfiz Al-Qur’an

Upaya yang ditempuh oleh pihak pengelola dalam mengem- bangkan Pondok Pesantren Al-Jauharen adalah membuka program tahfiz Al-Qur’an. Dengan adanya program ini, maka santri akan mendapat tiga keuntungan yaitu mendapatkan ilmu- ilmu agama (pengkajian kitab kuning), mendapatkan pelajaran umum, dan dapat menjadi seorang hafiz/ hafizah

3. Mengadakan Kegiatan yang Sifatnya Memanfaatkan Potensi yang Dimiliki Santri

Upaya lain yang ditempuh oleh pihak pengelola dalam mengembangkan pondok pesantren Al-Jauahren adalah dengan mengadakan kegiatan yang sifatnya memanfaatkan potensi yang dimiliki santri. Maksudnya, kegiatan-kegiatan yang menampilkan kreativitas santri, seperti keahlian dalam ceramah, tilawah Al- Qur’an, barzanji, dan angkatan marhaban, serta berbagai kegiatan lain yang bisa menyatu dengan kondisi masyarakat. Kegiatan seperti ini berpeluang besar dalam menarik simpati masyarakat luas untuk memasukkan anak-anaknya ke pesantren Al-Jauahren karena mereka melihat langsung hasil binaan di pesantren Al- Jauharen.

Kesimpulan

Dinamika Pondok Pesantren Al-Jauharen Kota Jambi mengalami pasang surut karena situasi zaman yang dilalui sangat beragam dan berbeda. Pada awalnya Al-Jauharen merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang maju dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat seberang Kota Jambi sejak berdirinya Ketika Al-Jauharen

(19)

ini dipimpin oleh Guru Mahfudz pondok ini mengalami kemun- duran yang pada akhirnya ditinggal pergi oleh para penghuninya alias ditutup dimasa kepemimpinannya. Dalam proses berdirinya kembali Al-Jauharen melalui beberapa langkah yaitu musyawarah dengan warga, mencari pemimpin yang ideal, temu reuni akbar, dan menyebarkan brosur, yang mana kegiatan-kegiatan tersebut merupakan cerminan dari upaya mereka untuk membangkitkan kembali serta mempertahankan eksistensi Pondok Pesantren Al- Jauharen di tengah-tengah masyarakat yang Islami. Selanjutnya upaya yang telah ditempuh oleh pihak pengelola dalam mengembangkan Pondok Pesantren Al-Jauharen yaitu mengadakan pengajian rutin, membuka program tahfiz Al-Qur’an, dan mengadakan kegiatan yang sifatnya memanfaatkan potensi yang dimiliki santri, yang mana kegiatan-kegiatan tersebut banyak memberikan perubahan signifikan terhadap perkembangan pondok pesantren.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Dhofier, Zamakshari, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, ( Jakarta: LP3ES, 1990).

Haedari, Amin, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah, ( Jakarta: Diva Pustaka, 2008).

Handoko, Hani, Managemen, (Yogyakarta: BPFE, 1997).

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996).

Hasibuan, Malayu S.P., Manajemen Sumber Daya Manusia, ( Jakarta:

Bumi Aksara, 2000).

Ismail SM., Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).

Jubrin, Andrew J., Essential of Manajement, (Ohio: South Western, 1990).

Madjid, Nurcholis, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, ( Jakarta: Paramadina, 1997).

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, ( Jakarta:

INIS, 1994).

Masyhud, Sulthon, Manajemen Pondok Pesantren, ( Jakarta: Diva Pustaka, 2003).

Muhtarom HM., Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta- Semarang: Pustaka Pelajar & Fakultas Tarbiyah IAIN Wali Songo, 2002).

Mukhtar, Sekolah Berprestasi, ( Jakarta: Nimas Multima, 2001).

Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia (1900-1942), ( Jakarta: LP3ES, 1980).

Pidarta, Made, Perencanaan Pendidikan Partisipatori dengan Pendekatan Sistem, ( Jakarta: PPCPTK, 1990).

Shihab, M. Quraisy, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, cet. II 1996).

(21)

Siagian, Filsafat Administrasi, ( Jakarta: Gunung Agung, 1997).

Soetopo, Hendiyat, Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan, (Malang:

Bina Aksara, 1985).

Zainun, Buchari, Kepemimpinan Nasional yang Mantap Ditinjau dari Sudut Ilmu Administrasi Negara, ( Jakarta: 1984).

Zarkasyi, Abdullah Syukri, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996).

Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986).

Referensi

Dokumen terkait

tentang poort u** guru dan implementasi pendekatan saintifik guru sekolah dasm untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia Se-Kabupaten

Tiga puluh pasang saraf tepi yang keluar dari sumsum tulang belakang merupakan campuran serabut saraf sensoris dan serabut saraf motoris. Serabut saraf

2) Modal Keuangan (Financial Capital), dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi kesuksesan karena dapat dipastikan bahwa suatu usaha jika akan mejalankan usahanya akan

Pola lagu kalimat terdiri dari tiga nada suara dalam BMU yang terdapat dalam tiap unit jeda dengan satu tekanan kalimat. Satu kalimat dapat ter- diri dari

UKURAN PERUSAHAAN TERHADAP MANAJEMEN LABA (Studi pada Perusahaan Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek.. Indonesia

Dalam Sudut Temp. Sehingga perbedaan kuat impak untuk material SS304 dengan pengelasan TIG dan MIG sebesar 42.54%.Pada Berdasarkan Gambar 4.2 nilai kuat impak terbesar

Selain itu, masyarakat di perbatasan itu memiliki bahasa yang sama, yaitu bahasa Dawan walaupun ada mayarakat Napan yang berakomodasi terhadap bahasa Tetun Portu atau

Untuk mengawali penataan dan penguatan pelayanan publik, misalnya, dapat mempedomani kearifan lokal Jawa Tengah ( ‘tanggap, tatag, tanggon ’ yang bermakna peka, tahan uji,