• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas Pribadi Atlet: Kunci Keberhasilan Meraih Prestasi Tinggi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Kualitas Pribadi Atlet: Kunci Keberhasilan Meraih Prestasi Tinggi"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Kualitas Pribadi Atlet: Kunci Keberhasilan Meraih Prestasi Tinggi

Ali Maksum

Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Surabaya e-mail: [email protected]

Abstract. High performance in sport requires certain behavior quality. Performance excellence is attained only through optimal personal quality. There are seven traits to highly successful athletes, i.e. achievement ambition, hard-work, persistent, independent, commitment, intelligent, and self-control.

Key words: personal quality, traits, high performance

Abstrak. Prestasi tinggi dalam olahraga mempersyaratkan perilaku dengan kualitas tertentu. Atlet yang berhasil pada dasarnya adalah mereka yang memiliki kualitas unggul, tidak saja dalam hal fisik tetapi juga kepribadian. Ada tujuh trait yang merupakan prasyarat dasar untuk meraih prestasi tinggi dalam olahraga, yaitu: ambisi prestatif, kerja keras, gigih, mandiri, komitmen, cerdas, dan swakendali.

Kata Kunci: kualitas pribadi, karakteristik kepribadian, prestasi tinggi

Dalam suatu diskusi yang menyoal kebijakan pengelolaan olahraga nasional, tanggal 26 Januari 2007 di Jakarta, muncul pertanyaan mendasar dalam forum: Mengapa prestasi atlet kita kian hari kian terpuruk?

Adakah sesuatu yang salah dalam pembinaan olahraga kita? Apa yang sebenarnya menjadi akar persoalan?

Memperhatikan kondisi keolahragaan nasional dewasa ini, sejumlah pertanyaan tersebut memang layak untuk dikemukakan. Kurang lebih empat puluh tahun belakangan ini prestasi olahraga Indonesia terasa semakin menurun. Ini setidaknya bila didasarkan pada catatan perolehan medali dalam Asian Games, suatu kejuaraan multievents terbesar di Asia. Catatan prestasi Indonesia secara mengesankan hanya terjadi pada Asian Games ke-4, 1962 di Jakarta. Ketika itu Indonesia berada pada peringkat kedua—satu peringkat di bawah Jepang—dengan 11 medali emas. Setelah itu, perlahan-lahan peringkat Indonesia kian menurun. Pada Asian Games 2006 di Doha-Qatar yang baru berlalu, prestasi Indonesia melorot jauh ke urutan 22 dan hanya dengan 2 medali emas. Demikian juga daya saing Indonesia di tingkat Asia Tenggara terasa semakin merosot. Padahal sejak keikutsertaannya pada SEA Games IX/1977, Indonesia hampir dapat dipastikan menjadi juara umum. Akan tetapi sejak SEA Games XX/1999, dominasi Indonesia telah memudar. Thailand telah menggeser posisi Indonesia, dan yang agak mengejutkan, posisi Vietnam yang pada SEA Games XXI/2001 membayangi Indonesia, pada SEA Games XXII/2003 dan XXIII/2005 telah mengungguli Indonesia.

Dalam diskusi yang digelar Kantor Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga tersebut berkembang berbagai argumentasi. Pertama, merosotnya prestasi olahraga karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap pembinaan olahraga. Argumen ini sungguh pun ada benarnya, tetapi bukan persoalan pokok.

Pada tataran political will maupun realitas, peran pemerintah dapat dianggap memadai. Sebagai regulator, misalnya, telah keluarkan Undang-Undang No 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.

Dalam aturan tersebut sudah jelas bagaimana seharusnya olahraga dikelola dan dikembangkan. Belum lagi dukungan dana yang harus dikeluarkan pemerintah dalam membiayai kegiatan olahraga, seperti pemusatan latihan nasional. Artinya, argumentasi yang mengatakan bahwa merosotnya prestasi olahraga karena kurangnya perhatian pemerintah tidak cukup kuat. Argumentasi kedua mengatakan bahwa menurunnya prestasi olahraga karena kurangnya dukungan dana pembinaan. Betulkah itu? Ada satu kasus yang patut kita jadikan pelajaran, yaitu pada cabang olahraga sepakbola. Pada liga sepakbola Indonesia 2007, terdapat 36 tim yang ikut berkompetisi. Anggaran yang didapatkan setiap tim berkisar antara 10-30 miliar per tahun (Kompas, 12 Januari 2007). Persebaya, misalnya, mendapatkan 21 miliar, Persija 25

(2)

miliar, dan Persipura 30 miliar dari APBD, belum termasuk dana sponsor. Artinya, uang yang berputar dalam kompetisi sepakbola di Indonesia sudah mencapai triliunan rupiah. Pertanyaannya, bagaimana prestasinya? Sungguh, jauh dari apa yang kita harapkan. Dengan kata lain, dana bukan determinan utama dalam prestasi olahraga. Argumentasi ketiga mengatakan bahwa: “Kita negara besar, terutama dari segi jumlah penduduk, berbeda dengan Singapura dan Malaysia. Mengelola penduduk besar tidak mudah. Kita tidak bisa dibandingkan dengan mereka.” Ya, memang kita tidak comparable dengan mereka. Namun, menurut hemat saya, alasan itu hanya untuk dimaklumi saja. Sebab, jika alasan jumlah penduduk besar, mengapa Cina dan India dapat membangun olahraganya secara luarbiasa?

Saya menyadari, penyebab rendahnya prestasi atlet memang tidak tunggal, melainkan bersifat multifaktor. Sungguhpun demikian, saya berargumentasi bahwa faktor budaya yang berintikan pada sikap mental, kebiasaan, dan tingkahlaku merupakan persoalan mendasar. Pada tataran yang lebih sempit, saya ingin mengatakan bahwa kualitas pribadi atlet menjadi kata kunci dalam upaya meraih prestasi tinggi.

Apakah tesis ini terbukti secara empirik? Inilah yang akan dijelaskan dalam tulisan ini. Suatu kenyataan yang tak bisa dipungkiri bahwa olahraga—khususnya olahraga prestasi—adalah arena dengan sifat kompetitif yang sangat tinggi. Atlet yang berhasil adalah mereka yang memiliki kualifikasi terbaik, tidak hanya dari aspek fisik tetapi juga psikis (Brown, 2001; Greenleaf, Gould, & Dieffenbach, 2001; Orlick, 1990). Budaya high performance mempersyaratkan perilaku dengan kualitas tertentu. Saya melihat ada kesenjangan antara perilaku yang diharapkan (required behavior) untuk meraih prestasi tinggi dengan perilaku keseharian (actual behavior) para atlet. Studi yang dilakukan oleh Gould, Dieffenbach, dan Moffet (2002) terhadap 10 atlet Amerika peraih medali emas Olimpiade membuktikan betapa kualitas pribadi yang dimiliki atlet berpengaruh terhadap pencapaian prestasinya. Misalnya bagaimana atlet memiliki dorongan (drive) yang kuat untuk mencapai kesuksesan; bagaimana atlet memiliki kekuatan mental (mental toughness); bagaimana atlet memiliki kecerdasan (sport intelligence) dan sebagainya.

Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan kualitas pribadi adalah seperangkat ciri atau karakteristik yang relatif menetap dan terorganisasikan dalam diri individu, yang memengaruhi tingkahlaku individu tersebut. Apabila dipotret dengan instrumen kepribadian tertentu, setiap individu akan memiliki profil traits tertentu. Meskipun dengan dimensi yang sama, tiap-tiap individu akan memiliki intensitas yang berbeda. Perbedaan intensitas itulah yang akan menentukan kualitas pribadi seseorang. Dalam tataran praktis, trait kepribadian telah digunakan secara meluas di berbagai bidang (McCrae & Costa, 2003), terutama untuk kepentingan seleksi. Misalnya dalam organisasi (Robbins, 2001), dalam kepemimpinan (Hofstede, 1995) dan dalam olahraga sendiri (Humara, 2000).

Dalam literatur kepribadian, misalnya Hall, Lindzey, dan Campbell (1998); Feist & Feist (2006), terdapat berbagai pandangan teoretis mengenai kepribadian yang kemudian mengkristal menjadi pendekatan-pendekatan. Munculnya sejumlah pendekatan seperti behavioristik dan humanistik, bertalian dengan asumsi yang dikembangkan mengenai hakikat manusia. Artinya, bagaimana kepribadian dijelaskan dan dipahami erat hubungannya dengan asumsi yang digunakan. Pertanyaannya kemudian, asumsi-asumsi apa yang dijadikan dasar dalam tulisan ini? Ada empat asumsi yang dibangun.

1. Manusia pada hakikatnya adalah makhluk berkesadaran, karena itu, tingkahlaku yang ditampilkan dipengaruhi oleh kesadarannya.

2. Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang bertujuan, karena itu, tingkahlaku manusia sebagian besar didorong oleh tujuan yang diinginkan.

3. Manusia pada hakikatnya bersifat aktif, tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan melainkan juga mempengaruhi lingkungan.

4. Manusia dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor keturunan dan lingkungan.

Dengan mendasarkan diri pada empat asumsi tersebut, studi ini mengkritik sejumlah teori yang menggunakan asumsi-asumsi yang berseberangan. Sebagian besar mereka datang dari pendekatan psikoanalisis seperti Freud dan Jung dan sebagian lagi dari pendekatan behaviorist seperti Skinner dan Mischel (Pervin & John, 1997; Hall, Lindzey & Campbell, 1998).

Secara garis besar, ada dua hal yang ingin diungkap dalam penelitian ini. Pertama, kualitas pribadi yang bagaimanakah yang efektif untuk meraih prestasi tinggi dalam olahraga? Untuk menjawab masalah tersebut digunakan pendekatan kualitatif dengan mengambil subjek sejumlah atlet Indonesia yang telah

(3)

nyata-nyata berprestasi tinggi di tingkat internasional. Kedua, menguji temuan penelitian tahap 1 pada skala yang lebih luas dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Mekanisme ini ditempuh bukan karena munculnya keraguan akan hasil penelitian kualitatif, akan tetapi justru untuk lebih meyakinkan hasil temuan penelitian tersebut.

Penelitian Tahap I Metode

Pada tahap ini, penelitian bertujuan untuk menemukan trait kepribadian yang dimiliki subjek yang merupakan daya dorong untuk meraih prestasi tinggi. Subjek dipilih berdasarkan dua kriteria dasar, yaitu prestasi dan aksesabilitas. Pemilihan dilakukan melalui Focus Group Discussion yang menghasilkan 10 atlet. Kesepuluh atlet tersebut adalah (1) Rudy Hartono, (2) Christian Hadinata, (3) Icuk Sugiarto, (4) Joko Supriyanto, (5) Hendrawan, (6) Candra Wijaya (7) Taufik Hidayat, (8) Retno Kustiyah, (9) Imelda Wiguna, dan (10) Susy Susanti.

Merujuk pada tujuan penelitian di atas, maka pendekatan kualitatif merupakan pilihan yang tepat. Studi kualitatif umumnya berusaha memahami objek penelitian secara mendalam dan komprehensif untuk kemudian menemukan konsep-konsep dan pola dari konsep-konsep tersebut (Ritchie & Lewis, 2003;

Denzin & Lincoln, 1994; Creswell, 1994). Di samping itu, berbagai gagasan, sikap dan nilai dari sejumlah orang yang sedang diteliti dapat didalami dan dipahami sejauh mungkin, apalagi menyangkut pengalaman pribadi (Camic, Rhodes, & Yardley, 2003). Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap subjek penelitian. Data dianalisis melalui proses data reduction, data display, conclusion drawing, dan verification.

Hasil Penelitian

Dari studi kualitatif dapat ditemukan tujuh trait kepribadian yang menunjang prestasi atlet, yaitu:

ambisi prestatif, kerja keras, gigih, komitmen, mandiri, cerdas, dan swakendali.

1. Ambisi Prestatif

Trait kepribadian ini merujuk pada adanya keinginan yang kuat untuk meraih keberhasilan. Atlet yang memiliki ambisi prestatif tidak cepat puas terhadap penampilan yang dilakukan. Ia selalu menginginkan perbaikan, optimis terhadap apa yang dilakukan, selalu ingin bersaing, dominan dan target oriented.

2. Kerja Keras

Trait kepribadian ini merujuk pada adanya kesungguhan atas usaha yang dilakukan untuk mewujudkan ambisi prestatifnya. Atlet yang memiliki trait kepribadian ini tidak hanya sekadar menjalankan program pelatih atau menghabiskan waktu latihan, tetapi ia selalu berusaha melakukan program tersebut dengan penuh kesungguhan dan intensitas yang tinggi. Ia juga proaktif, agresif dan menyukai tantangan.

3. Gigih

Trait kepribadian ini merujuk pada adanya kesanggupan untuk melakukan usaha secara konsisten dan terus menerus. Atlet dengan trait kepribadian ini tidak cepat putus asa dalam melakukan usaha dan memiliki daya tahan atas ketidaknyamanan. Kegigihan tampak dari frekuensi usaha dan lamanya waktu yang dicurahkan untuk melakukan aktivitas.

4. Komitmen

Trait kepribadian ini merujuk pada adanya kesediaan atlet untuk mengikuti dan memegang teguh ketentuan-ketentuan, baik yang datang dari dalam diri atlet sendiri maupun yang datang dari luar.

Atlet yang memiliki komitmen adalah atlet yang mencintai profesinya, fokus terhadap tugas, disiplin dan tanggung jawab terhadap tugas, serta rela mengorbankan kepentingan lain demi profesi yang telah dipilihnya.

5. Mandiri

Trait kepribadian ini merujuk pada adanya kesediaan atlet untuk melakukan sesuatu secara sendiri dan bertanggung jawab. Atlet yang mandiri adalah atlet yang tidak hanya berlatih ketika ada program dari pelatih, tetapi juga secara autodidak melakukan latihan sendiri. Pribadi mandiri adalah pribadi yang

(4)

independen dan menyukai tanggung jawab pribadi. Ia seringkali juga mengambil inisiatif dan mampu mengelola dirinya sendiri secara bertangung jawab.

6. Cerdas

Trait kepribadian ini merujuk pada adanya kesanggupan untuk berpikir secara rasional, bertindak secara terarah dan efektif menghadapi lingkungan. Atlet yang cerdas adalah atlet yang mampu mengambil putusan di saat sulit, misalnya mengubah taktik dan strategi bermain secara cepat dan efektif. Ia juga sebagai pembelajar yang tanggap, mampu menganalisis dan bertindak cermat, serta kreatif memunculkan ide-ide atau teknik-teknik yang unik dalam bermain.

7. Swakendali

Trait kepribadian ini merujuk pada adanya kesanggupan untuk mengendalikan perasaan, pikiran dan perilaku secara efektif. Atlet yang memiliki swakendali adalah atlet yang mampu mengendalikan keinginan-keinginan yang destruktif terhadap prestasi. Ia juga memiliki stabilitas emosi, yakni mampu mengendalikan perasaan cemas, marah dan keinginan mengakhiri pertandingan dengan cepat.

Selain itu, ia juga sportif terhadap apa yang telah diusahakan dan dihasilkan.

Penelitihan Tahap II Metode

Tujuan penelitian pada tahap ini adalah menguji secara empirik 7 trait kepribadian yang telah ditemukan pada penelitian tahap I dengan skala yang lebih luas. Dengan kata lain, studi II ini ingin memastikan bahwa sejumlah trait kepribadian yang telah ditemukan tersebut lebih kuat atau menonjol ada pada atlet yang berprestasi tinggi dibanding kelompok lain. Terdapat tiga kelompok subjek penelitian, yaitu kelompok atlet yang berprestasi tinggi (ABT), kelompok atlet yang berprestasi rendah (ABR) dan kelompok bukan atlet (KBA). Seluruh responden berjumlah 120 orang, terdiri atas 40 ABT, 40 ABR dan 40 KBA.

Mengingat tahap ini bertujuan untuk menguji hipotesis penelitian, maka pendekatan kuantitatif menjadi pilihan (Creswell, 1994), terutama jenis penelitian survei (Neuman, 1997). Data dikumpulkan dengan menggunakan Inventori Kepribadian Atlet – IKA005 (Maksum, 2006) yang dikembangkan berdasarkan hasil temuan penelitian tahap I.

Dalam studi ini, perumusan hipotesis dinyatakan dalam bentuk hipotesis umum (mayor) dan hipotesis khusus (minor). Hipotesis umum penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut. “Atlet yang berprestasi tinggi memiliki ciri kepribadian (ambisi prestatif, kerja keras, gigih, mandiri, komitmen, cerdas dan swakendali) dengan intensitas yang lebih kuat dibanding dengan atlet berprestasi rendah atau mereka yang bukan atlet.” Dari hipotesis yang masih bersifat umum tersebut, selanjutnya dijabarkan ke dalam hipotesis-hipotesis khusus sebagai berikut.

(1) Atlet berprestasi tinggi (ABT) memiliki ambisi prestatif yang lebih kuat dibanding atlet yang berprestasi rendah (ABR) maupun kelompok bukan atlet (KBA).

(2) ABT memiliki intensitas kerja keras yang lebih kuat dibanding ABR maupun KBA.

(3) ABT memiliki intensitas kegigihan yang lebih kuat dibanding ABR maupun KBA.

(4) ABT memiliki intensitas kemandirian yang lebih kuat dibanding ABR maupun KBA.

(5) ABT memiliki intensitas komitmen yang lebih kuat dibanding ABR maupun KBA.

(6) ABT memiliki intensitas kecerdasan yang lebih kuat dibanding ABR maupun KBA.

(7) ABT memiliki intensitas swakendali yang lebih kuat dibanding ABR maupun KBA.

Apakah hipotesis-hipotesis tersebut terbukti atau ditolak? Inilah yang masih akan dibuktikan dalam studi ini. Kriteria penolakan hipotesis yang dipakai adalah taraf signifikansi 5% (p < 0.05). Artinya, hipotesis akan diterima jika peluang terjadinya penolakan terhadap hipotesis yang sebetulnya benar, kurang dari 5%.

Hasil Penelitian

Dari data seperti tampak pada Tabel 1 ditunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata pada setiap dimensi di tiga kelompok responden. Misalnya pada dimensi ambisi prestatif, nilai rata-rata ABT= 21.42;

(5)

ABR= 19.93; dan KBA= 17.90. Pada dimensi kerja keras, nilai rata-rata ABT= 34.10; ABR= 33.20; dan KBA= 31.60. Perbedaan tersebut tampak menonjol pada dimensi total, yakni pada ABT= 197.28; ABR=

186.30; dan KBA= 178.70. Apakah perbedaan-perbedaan tersebut signifikan secara statistik? Inilah yang masih akan diuji dengan menggunakan Analisis Multivariat (Pedhazur, 1982).

Secara umum, berdasarkan analisis statistik sebagaimana tampak pada Tabel 2 ditunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan pada dimensi total IKA-005 dengan nilai F = 27.696 pada p 0.000. Artinya, kelompok ABT memiliki trait kepribadian dengan intensitas yang lebih kuat dibanding dengan kelompok ABR dan KBA.

Tabel 1

Nilai Rata-Rata dan Standar Deviasi Untuk Setiap Dimensi dari Tiga Kelompok Responden

Dimensi IKA-005 Kelompok Responden

ABT ABR KBA

Ambisi Prestatif 21.42

(2.49)

19.93 (3.02)

17.90 (3.73)

Kerja Keras 34.10

(3.30)

33.20 (4.56)

31.60 (5.56)

Gigih 28.62

(2.66)

27.68 (4.44)

25.85 (3.66)

Mandiri 32.88

(3.37)

30.78 (4.29)

31.03 (4.98)

Komitmen 26.03

(2.45)

23.35 (4.49)

20.35 (3.30)

Cerdas 23.75

(3.07)

21.95 (3.23)

22.45 (4.06)

Swakendali 30.48

(2.81)

29.43 (4.43)

29.52 (6.00)

Total 197.28

(15.58)

186.30 (22.25)

178.70 (24.91) Keterangan: angka dalam kurung adalah standar deviasi

Jika dilihat dari hipotesis-hipotesis yang diajukan dalam studi ini dengan mendasarkan pada dimensi- dimensi IKA-005, maka dapat dikemukakan sebagai berikut.

Hipotesis 1 menyatakan: “Atlet berprestasi tinggi (ABT) memiliki ambisi prestatif yang lebih kuat dibanding atlet yang berpretasi rendah (ABR) maupun kelompok bukan atlet (KBA).” Hasil analisis statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan di antara tiga kelompok dengan nilai F sebesar 8.981 pada p 0.000. Dengan demikian hipotesis 1 dapat diterima.

Hipotesis 2 menyatakan: “ABT memiliki intensitas kerja keras yang lebih kuat dibanding ABR maupun KBA.” Hasil analisis statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan di antara tiga kelompok dengan nilai F sebesar 6,174 pada p 0.003. Dengan demikian hipotesis 2 dapat diterima.

Hipotesis 3 menyatakan: “ABT memiliki intensitas gigih yang lebih kuat dibanding ABR maupun KBA.” Hasil analisis statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan di antara tiga kelompok dengan nilai F sebesar 6.986 pada p .001. Dengan demikian hipotesis 3 dapat diterima.

Hipotesis 4 menyatakan: “ABT memiliki intensitas kemandirian yang lebih kuat dibanding ABR maupun KBA.” Hasil analisis statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan di antara tiga kelompok dengan nilai F sebesar 8.981 pada p 0.000. Dengan demikian hipotesis 4 dapat diterima.

(6)

Tabel 2

Hasil Analisis Multivariat

Hipotesis Arah hipotesis Nilai F Signifikansi Uji Wilks’Λ

(Lambda) Mayor

(Seluruh dimensi) ABT>ABR>KBA 27.696 .000 *

Minor

Ambisi prestatif ABT>ABR>KBA 8.981 .000

Kerja keras ABT>ABR>KBA 6.174 .003

Gigih ABT>ABR>KBA 6.986 .001

Mandiri ABT>ABR>KBA 5.843 .004

Komitmen ABT>ABR>KBA 20.657 .000

Cerdas ABT>ABR>KBA 4.508 .013

Swakendali ABT>ABR>KBA 3.074 .050

Hipotesis 5 menyatakan bahwa: “ABT memiliki intensitas komitmen yang lebih kuat dibanding ABR maupun KBA.” Hasil analisis statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan di antara tiga kelompok dengan nilai F sebesar 5.843 pada p 0.004. Dengan demikian hipotesis 5 dapat diterima.

Hipotesis 6 menyatakan: “ABT memiliki intensitas kecerdasan yang lebih kuat dibanding ABR maupun KBA.” Hasil analisis statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan di antara tiga kelompok dengan nilai F sebesar 4.508 pada p 0.013. Dengan demikian hipotesis 6 dapat diterima.

Hipotesis 7 menyatakan: “ABT memiliki intensitas swakendali yang lebih kuat dibanding ABR maupun KBA.” Hasil analisis statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan di antara tiga kelompok dengan nilai F sebesar 3.074 pada p 0.050. Dengan demikian hipotesis 7 ditolak.

Dari data pada Tabel 2 juga dapat diketahui sampai sejauh mana peringkat kontribusi setiap dimensi pada prestasi atlet. Dengan memperhatikan nilai F, maka peringkat kontribusi dari sangat menentukan ke kurang menentukan berturut-turut adalah: (1) komitmen, (2) ambisi prestatif, (3) gigih, (4) kerja keras, (5) mandiri, (6) cerdas dan (7) swakendali.

Bahasan dan Simpulan

Sedemikian jauh studi ini telah menghasilkan sejumlah temuan yang pada dasarnya memperkuat argumentasi, bahwa kualitas pribadi atlet menjadi kata kunci meraih prestasi tinggi. Berdasarkan studi kualitatif yang dilakukan terhadap sepuluh atlet bulutangkis Indonesia berprestasi tinggi, ditemukan tujuh trait kepribadian yang menunjang prestasi atlet, yakni: ambisi prestatif, kerja keras, gigih, mandiri, komitmen, cerdas dan swakendali.

Ketujuh trait kepribadian tersebut juga telah diuji secara empirik dengan pendekatan kuantitatif dan terbukti merupakan prediktor keberhasilan atlet meraih prestasi tinggi. Secara berturut-turut peringkat kontribusi dari sangat menentukan ke kurang menentukan adalah: komitmen, ambisi prestatif, gigih, kerja keras, mandiri, cerdas dan swakendali.

Ketujuh trait kepribadian tersebut secara utuh merupakan prasyarat dasar yang harus dimiliki oleh atlet Indonesia bila ingin berprestasi di tingkat dunia.

Penelitian semacam ini sebenarnya bukanlah yang pertama kalinya dilakukan, terutama oleh para peneliti barat seperti Williams dan Krane (2001); Bush dan Salmella (2002); Gould, Dieffenbach dan Moffett (2002). Hanya saja, penelitian-penelitian yang mereka lakukan belum bisa memastikan apakah sejumlah trait kepribadian yang mereka temukan khas bagi atlet berprestasi tinggi atau juga kelompok subjek yang lain. Dari sisi ini, setidaknya studi ini telah dapat memastikan bahwa ketujuh trait kepribadian

(7)

yang ditemukan, intensitasnya lebih kuat ada pada atlet berprestasi tinggi dibandingkan dengan atlet berprestasi rendah, apalagi mereka yang bukan atlet. Selain itu, kelebihan studi ini adalah pada tingkat penerapannya di lapangan karena menggunakan atlet Indonesia sendiri sebagai subjek penelitian.

Dilihat dari temuan yang dihasilkan, studi ini memperkuat penelitian-penelitian sebelumnya (antara lain: Orlick & Partington, 1988; Orlick, 1990; Markum, 1998; Bush & Salmella, 2002; Gould, Dieffenbach, & Moffett, 2002), yang menyatakan bahwa trait kepribadian merupakan salah satu prediktor keberhasilan atlet meraih prestasi tinggi. Keberhasilan dalam meraih prestasi tinggi dalam kenyataannya bukanlah sesuatu yang instan, melainkan sebuah proses panjang yang di dalamnya lebih banyak

“ketidaknyamanan” daripada “kenyamanan”. Dalam konteks itulah, kualitas pribadi atlet menjadi sangat menentukan. Banyak atlet gagal meraih prestasi tinggi bukan karena mereka tidak memiliki keterampilan olahraga, tetapi karena kualitas pribadi yang kurang menunjang. Dari temuan studi ini membawa penulis sampai pada satu simpulan bahwa: “Prestasi tinggi hanya akan lahir dari individu yang memiliki kualitas pribadi unggul, yaitu individu yang mempunyai ambisi prestatif, kerja keras, gigih, komitmen, mandiri, cerdas dan swakendali.”

Dari tujuh trait kepribadian yang ditemukan, ada dua trait kepribadian yang merupakan temuan baru, yakni gigih dan cerdas. Sepintas, istilah gigih sering diidentikkan atau dipertukarkan dengan istilah kerja keras. Meskipun keduanya memiliki pengertian usaha (effort) yang dilakukan seseorang, tetapi keduanya memiliki dimensi yang berbeda. Gigih merupakan variabel usaha yang berdimensi kontinuitas, sementara kerja keras adalah variabel usaha yang berdimensi intensitas. Mungkin saja seorang atlet bekerja keras ketika berlatih, tetapi tidak gigih. Bisa juga terjadi sebaliknya, seorang atlet gigih dalam berlatih, tetapi kurang kerja keras. Untuk bisa mencapai prestasi tinggi dibutuhkan kedua trait kepribadian tersebut ada pada individu atlet. Demikian juga mengenai trait kepribadian cerdas yang sangat dibutuhkan untuk cabang olahraga seperti bulutangkis, tenis dan sepakbola. Atlet yang cerdas adalah atlet yang mampu mengambil putusan di saat sulit, misalnya mengubah taktik dan strategi bermain secara cepat dan efektif.

Ia juga sebagai pembelajar yang tanggap, mampu menganalisis dan bertindak cermat, serta kreatif memunculkan ide-ide atau teknik-teknik yang unik dalam bermain. Tanpa trait kepribadian seperti itu, sulit rasanya seorang atlet bisa memenangkan persaingan di tingkat Internasional.

Rekomendasi

Sehubungan dengan temuan studi ini, ada beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan: (a) Ketujuh trait kepribadian sebagaimana yang telah ditemukan dalam studi ini perlu dijadikan indikator psikologis dalam melakukan seleksi atlet Indonesia; (b) Pada saat yang sama, ketujuh trait kepribadian tersebut seyogyanya juga dijadikan rujukan dalam pembinaan atlet Indonesia apabila ingin bersaing di tingkat Internasional. Misalnya, bagaimana seorang atlet harus memiliki ambisi prestatif yang tinggi, kerja keras dan gigih dalam berlatih dan bertanding, serta memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya; (c) Perlu didesain “training kepribadian” bagi atlet yang memungkinkan mereka belajar bagaimana meraih sebuah keberhasilan; (d) Para atlet perlu diberikan bacaan tentang keberhasilan dari individu atau atlet yang telah berhasil.

Pustaka Acuan

Anggaran tim sepakbola peserta kompetisi 2007. (2007, 12 Januari). Kompas, hlm.35.

Brown, J. (2001). Sport talent: How to identify and develop outstanding athletes. Champaign, IL: Human Kinetics.

Bush, N. D., & Salmela, J. H., (2002). The development and maintenance of expert athletic performance:

Percepcions of world and Olympic champions. Journal of Applied Sport Psychology, 14(3), 172-204.

Camic, P. M, Rhodes, J. E. & Yardley, L., (2003). Qualitative research in psychology. Washington D.C:

American Psychological Association.

Creswell, J.W., (1994). Research design: Qualitative & quantitative approaches. Thousand Oaks: Sage Publications.

(8)

Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (Eds) (1994). Handbook of qualitative research. Thousand Oaks, California.

Feist, J., & Feist, G. J. (2006). Theories of personality (6th ed.). Singapore: McGraw-Hill International Editions

Gould, D., Dieffenbach, K., & Moffett, A., (2002). Psychological characteristics and their development in Olympic champions. Journal of Applied Sport Psychology, 14(3), 172-204.

Greenleaf, C. A, Gould, D., & Dieffenbach, K, (2001). Factors influencing Olympic performance:

Interview with Atlanta and Nagano U.S. Olympians. Journal of Applied Sport Psychology, 13, 179- 209.

Hall, C. S. & Lindzey, G., & Campbell, J. B. (1998). Theories of personality. New York: John Wiley &

Sons Inc.

Hofstede, G. (1995). Motivation, leadership, and organization: Do American theories apply abroad. In A.

K. David, S. O. Joyce , & M. R. Irwin (Eds.), The organizational behavior reader (6th ed., p. ). New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Humara, M. (2000). Personnel selection in athletic programs. The Online Journal of Sport Psychology, Vol. 2, Issue 2.

Maksum, A. (2006). Ciri kepribadian atlet berprestasi tinggi. Disertasi, tidak diterbitkan, Program Pascasarjana, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta.

Markum, M. E. (1998). Sifat sumberdaya manusia penunjang pembangunan. Disertasi, tidak diterbitkan, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta.

McCrae, R. R., & Costa, P. T. (2003). Personality in adulthood: A Five-Factor theory perspective (2nd ed.). New York: Guilford Press.

Neuman, W. L. (1997). Social research methods: Qualitative and quantitative approaches (3rd ed.).

Boston: Allyn and Bacon.

Orlick, T. (1990). In pursuit of excellence (2nd ed.). Champaign, IL: Leisure Press

Pedhazur, E. J. (1982). Multiple regression in behavioral research (2nd ed.). New York: CBS College Publishing.

Pervin, L. A., & John, O. P. (1997). Personality theory and research (7th ed.). New York: John Wiley &

Sons, Inc.

Ritchie, J., & Lewis, J. (2003). Qualitative research practice. London: Sage Publications.

Robbins, S.P., (2001). Organizational behavior (9th ed.). New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Stojanovic, G. (2005). Talent identification and its role in tennis. Retrieved October 16, 2005, from http://Tennis Identification.html

Williams, J. M., & Krane, V. (2001). Psychological characteristics of peak performance. In J.M. Williams (Ed.), Applied sport psychology: Personal growth to peak performance. Mountain View, CA:

Mayfield.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil skrining fitokimia pada ekstrak metanol kulit buah manggis menunjukan hasil positif terhadap senyawa kimia golongan saponin, triterpenoid, tanin dan

Mencermati tingginya peningkatan pinjaman untuk keperluan investasi serta juga didukung kontribusi investasi yang cukup besar terhadap perekonomian Kabupaten Kubu Raya yaitu 37,8

Terdapat perbedaan bermakna antara kadar natrium serum sebelum dan sesudah aktivitas fisik intensitas berat pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam

Berdasarkan hasil data yang diperoleh kriteria kurang dengan frekuensi7 orang yaitu11,29% hal ini disebabkan beberapa faktor penyebab aktivitas yang besar dengan

KETIGA : Membebankan biaya pelaksanaan tugas Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jawa Timur

Wijaya dan Nurul (2018) menyatakan bahwa semakin terbatasnya lahan pertanian di Indonesia, mengharuskan memilih alternatif sistem budidaya yang bisa digunakan dan

Nilai kontekstualitas itu ialah karena kaidah fiqhiyyah memperhatikan adat (uruf), situasi, tempat, waktu dan ‘illat hukum, yang kesemuanya merupakan unsur-unsur penting

Di dalam kenyataan di masyarakat ditemukan bentuk akta pengikatan jual beli tanah, biasanya akta tersebut dikenal dengan istilah Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah