LAPORAN MODUL I BLOK XVII KETERGANTUNGAN ZAT PSIKOAKTIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM UNIVERSITAS MULAWARMAN
2009
Disusun oleh : Kelompok I
Rocherman Gema Aditama (0708015033) Okki Masitah Safitri N (0708015043)
Khoirun Nisa (0708015002)
Sisca Andriany (0708015024)
Hajrah (0708015039)
Rahmatul Yasiro (0708015055)
Siti Desy Astari (0708015032)
Nurul Salamah (0708015001)
Arbaiyah (0708015018)
Tutor: dr. Nurul Hasanah, M. Kes.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah makalah zat-zat psikoaktif ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari diskusi kelompok kecil (DKK) kami. Makalah ini secara menyeluruh membahas mengenai infeksi dan inflamasi pada hidung, sinus paranasalis dan telinga.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini, antara lain :
1. dr. Abdillah Iskandar, M.Kes selaku tutor kelompok I yang telah membimbing kami dalam melaksanakan diskusi kelompok kecil (DKK) modul I blok XVII ini.
2. Teman-teman kelompok I yang telah mencurahkan pikiran dan tenaganya sehingga diskusi kelompok kecil (DKK) 1 dan 2 dapat berjalan dengan baik dan dapat menyelesaikan makalah hasil diskusi kelompok kecil (DKK) kelompok I.
3. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman angkatan 2007 dan pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Akhirnya, tiada gading yang tak retak, tentunya makalah ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran serta kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi makalah hasil diskusi kelompok kecil (DKK) ini.
Samarinda, 20 Maret 2010
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...2
Daftar Isi...3
Pendahuluan...4
a. Latar Belakang ...4
b. Tujuan Modul ...4
Isi...5
a. Terminologi Asing ...5
b. Identifikasi Istilah ...5
c. Analisis Masalah ...5
d. Strukturisasi ...9
e. Learning Objective ...10
f. Belajar Mandiri ...10
g. Sintesis ...10
Penutup...88
Kesimpulan...88
Daftar Pustaka...89
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Penyalahgunaan atau ketergantungan NAPZA dari tahun ke tahun semakin meningkat, sementara fenomena NAPZA itu sendiri bagaikan fenomena gunung es (ice berg) artinya yang tampak di permukaan lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak tampak (di bawah permukaan laut).
Permasalahan penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA mempunyai dimensi yang luas dan kompleks; bai dari sudut medik, psikiatrik, kesehatan jiwa maupun psikososial. Dampak yang ditimbulkan dari ketergantungan NAPZA antara lain merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar dan produktivitas kerja secara dratis, ketidakmampuan membedakan yang mana baik dan buruk, perilaku maladaptive, gangguan kesehatan (fisik dan mental), mempertinggi jumlah kecelakaan lalu lintas, tindak kekerasan dan kriminalitas.
Dalam laporan kali ini, akan membahas mengenai NAPZA dan ketergantungan terhadap NAPZA.
B. Manfaat modul
Tujuan modul I blok XVII ini adalah mempelajari tentang jenis-jenis NAPZA dan terjadinya ketergantungan terhadap NAPZA sesuai dengan masing-masing zatnya. Modul I ini digambarkan dengan jelas di skenario sehingga dapat mengarahkan ke learning objective yang harus dicapai.
BAB II ISI STEP 1
TERMINOLOGI ASING
• Withdrawal Syndrome : suatu keadaan penarikan diri yang patologis dari kontak antar personal dan lingkungan social yang timbul bila obat yang telah terjadi ketergantungan padanya, dihentikan.
Contohnya depresi. Gejala-gejala itu dinamankan gejala putus obat
• Paranoid : perasaan takut yang berlebihan, delusional disorder, psychotic disorder.
• Sakaw : [sakit karena putaw] merupakan
gejala dari putus obat.
• Narkoba : [narkotika dan obat berbahaya]
bahan yang dapat mempengaruhi kejiwaan atau psikologis bila digunakan secara tidak benar.
• Zat psikoaktif : zat atau obat baik alamiah ataupun sintesis yang bukan narkotika dan bersifat psikoaktif yang dapat berpengaruh selektif pada SSP menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
STEP 2
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Apa sajakah gejala – gejala withdrawal ?
2. Mengapa bisa terjadi gejala withdrawal, lengan memar-memar dan luka-
luka iris, dan luka lecet di pelipis ?
3. Mengapa terjadi lakrimasi, rhonore, midriasis dan paranoid ? 4. Apa saja kemungkinan obat yang digunakan dalam scenario ?
5. Bagaimana mekanisme kerja dari obat sehingga menimbulkan ketergantungan obat ?
6. Hal apa saja yang bias menimbulkan ketergantungan ?
7. Mengapa pada scenario dianjurkan pemeriksaaan urin pada saat itu juga ? dan apa hasil interpretasi dari pemeriksaan?
8. Apa diagnosa sementara dari gejala-gejala yang ada di scenario ? 9. Apa sajakah factor resiko dari diagnosa tersebut ?
10. Bagaimana penangan awal pada kasus di scenario ?
STEP 3
BRAINSTORMING
1. Gejala withdrawal yang terjadi bergantung dari jenis dan keparahan pemakaian obat. Gejala –gejala withdrawal yang mungkin timbul antara lain lakrimasi, rhinore, midriasis, demam, hipertensi, diare, mengantuk, berat badan menurun, mual muntah, insomnia, chepalgia, emosional dan pegal pegal.
2. Gejala withdrawal dapat terjadi bila obat yang telah terjadi ketergantungan padanya dihentikan. Hal ini sesuai dengan teori adaptasi seluler (neuro- adaptation), tubuh beradaptasi dengan menambah jumlah reseptor dan sel- sel saraf bekerja keras. Jika NAPZA dihentikan, sel yang masih bekerja keras tadi mengalami keausan, yang dari luar nampak sebagai gejala- gejala putus NAPZA. Lengan memar dan luka pada pelipis kemungkinan
besar terjadi karena pada saat pemakaian NAPZA tersebut umumnya salah satu gejala yang ditimbulkan adalah kurangnya keseimbangan, kurangnya konsentrasi, dan kurang awas. Hal itu yang mnyebakan pengguna obat tersebut sering mendapat luka-luka seperti itu. Sedangkan, luka-luka iris yang terjadi kemungkinan besar disengaja oleh pengguna sebagai salah satu cara penggunaan obat-obat yang di intra vena.
3. Lakrimasi , rhinorea, pupil midriasis, dan paranoid yang timbul sebagai bentuk dari gejala putus obat yang dimulai 12-16 jam sesudah dosis terakhir.. Hal tersebut merupakan efek dari toleransi yang menimbulkan dependensi.
4. Jenis-jenis zat psikoaktif yang munkin disalahgunakan dan menimbulkan ketergantungan seperti scenario, antara lain :
a. Psikotropika, dalam 2 bentuk yaitu ekstasi dan shabu-shabu
b. Narkotika, digolongkan dalam 2 golongan yaitu opiod dan non opiod.
5. Mekanisme kerja dari obat sehingga menimbulkan ketergantungan sesuai dengan teori adaptasi seluler (neuro-adaptation), tubuh beradaptasi dengan menambah jumlah reseptor dan sel-sel saraf bekerja keras. Jika NAPZA dihentikan, sel yang masih bekerja keras tadi mengalami keausan, yang dari luar nampak sebagai gejala-gejala putus NAPZA. Gejala putus NAPZA ini memaksa seseorang untuk mengulangi pemakaian NAPZA tersebut, demikianlah seterusnya.
6. Hal-hal yang menimbulkan ketergantungan selain zat psikoaktif antara lain :
a. Kafein b. Alcohol c. Nikotin
d. Lem e. Thiner
f. Aseton atau pembersih cat kuku g. Inhalasi
7. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan urin karena dari pemeriksaan urin didapatkan kandungan zat psikoaktif karena beberapa zat tersebut akan dieksresikan melalui urin oleh tubuh.
8. Diagnosa sementara adalah ketergantungan penyalahgunaan obat.
9. Factor resiko terjadinya ketergantungan penyalahgunaan obat-obatan : a. Factor internal
i. Usia ii. Depresi iii. Kepribadian
iv. Pemecahan masalah v. Coba-coba
b. Factor eksternal i. Keluarga ii. Lingkungan iii. Teman sebaya iv. Sosioekonomi
10. Penanganan yang dapat dilakukan kepada seorang ketergantungan obat- obat psikoaktif :
a. Primer dengan kita kenali dan dekati pengguna
b. Sekunder, diberikan terapi pengobatan untuk pengguna
c. Tersier, diberikan rehabilitasi pada pengguna obat-obat psikoaktif
STEP 4 SKEMA
TOLERANSI
ADIKTIF DRUG ABUSE FAKTOR RESIKO
INTERNAL EKSTERNAL
STEP 5
LEARNING OBJECTIVE
1. Mengetahui dan menjelaskan tentang jenis – jenis NAPZA
2. Mengetahui dan menjelaskan etiologi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding, terapi, komplikasi dan pencegahan dari ketergantungan NAPZA
STEP 6
BELAJAR MANDIRI
Dari hasil diskusi kelompok kecil yang pertama kami akan mencoba untuk PENCEGAHAN
PEMERIKSAAN
TATALAKSANA
mencari referensi lain lagi untuk kembali didiskusikan pada diskusi kelompok kecil yang kedua.
STEP 7 SINTESA
GANJA
Daun Ganja Klasifikasi ilmiah
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Urticales Famil : Cannabaceae Genus : Cannabis Spesies : C. sativa
Nama binomial : Cannabis sativa Linnaeus Subspecies
C. sativa L. subsp. sativa C. sativa L. subsp. indica
Ganja (Cannabis sativa syn. Cannabis indica) adalah tumbuhan budidaya penghasil serat, namun lebih dikenal karena kandungan zat narkotika pada bijinya, tetrahidrokanabinol (THC, tetra-hydro-cannabinol) yang dapat membuat pemakainya mengalami euforia (rasa senang yang berkepanjangan tanpa sebab).
Ganja menjadi simbol budaya hippies yang pernah populer di Amerika Serikat.
Hal ini biasanya dilambangkan dengan daun ganja yang berbentuk khas. Selain itu ganja dan opium juga didengungkan sebagai simbol perlawanan terhadap arus globalisme yang dipaksakan negara kapitalis terhadap negara berkembang. Di India, sebagian Sadhu yang menyembah dewa Shiva menggunakan produk derivatif ganja untuk melakukan ritual penyembahan dengan cara menghisap Hashish melalui pipa Chilam/Chillum, dan dengan meminum Bhang.
Ganja.
Dikategorikan sebagai "depresan" (obat yang mengurangi kegiatan sistem saraf) dan "halusinogen" (menimbulkan halusinasi). Ganja terbuat dari daun tanaman kanabis. THC (Delta 9 tetrahydrocannibinol) adalah salah satu dari 400 bahan kimia yang ditemukan di dalam ganja. THC-lah yang menyebabkan pengaruh yang mengubah suasana hati. Kadar THC yang terdapat pada ganja yang beredar, semakin hari semakin meningkat.
Ganja (kanabis) mempunyai beberapa bentuk.
• Ganja biasanya berbentuk dedaunan seperti tembakau berwarna hijau.
• Hashish atau minyak hashish merupakan bentuk ganja yang lebih kuat.
Hashish adalah getah pohon ganja dan dijual dalam bentuk minyak atau kubus padat kecil.
Nama-nama lain: gele, daun, cimeng, dll. Pengaruh langsung pemakaian ganja Ganja dapat menimbulkan efek yang berbeda-beda. Beberapa orang mengalami reaksi yang lebih kuat dari yang lain. Reaksi yang paling umum adalah perasaan
"teler" atau "melayang". Pengaruh-pengaruh lain termasuk: Paranoia (ketakutan
yang berlebihan dan tidak rasional) Muntah-muntah Kehilangan koordinasi Kebingungan Nafsu makan meningkat Mata merah Halusinasi Pengaruh jangka panjang pemakaian ganja Penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang lebih berat apabila ganja digunakan secara teratur. Beberapa diantaranya:
• Resiko tinggi bronkhitis
• Kanker paru-paru dan penyakit-penyakit pernafasan (ganja mengandung tar dua kali lebih banyak dari rokok).
• Kehilangan minat dan semangat untuk melakukan kegiatan, kehilangan tenaga dan kebosanan.
• Kerusakan memori jangka pendek, daya pikir logikal dan koordinasi gerakan badan.
• Dorongan seks menurun.
• Jumlah sperma berkurang (pada pria), siklus menstruasi tidak teratur (pada wanita).
• Gejala gangguan kejiwaan yang berat.
• Kerusakan sistem kekebalan tubuh.
• Addiction
Ganja menimbulkan ketergantungan mental dan mengakibatkan kecanduan secara mental.
Drive and Accident
Ganja mempengaruhi keterampilan motorik dan koordinasi, penglihatan dan kemampuan untuk mengukur jarak dan kecepatan. Mengendarai mobil atau motor dengan orang yang sedang "teler" karena ganja adalah sangat berbahaya.
Daya ingat dan belajar
Ganja mempengaruhi kemampuan mengingat. THC akan mengganggu proses berpikir terutama yang membutuhkan logika. Ganja juga dapat mengakibatkan kesulitan belajar, walaupun pelajaran/tugas yang sederhana, sehingga seseorang
dapat berprestasi buruk dalam pekerjaan atau belajar.
Obat-obat lain
Ganja dianggap sebagai 'gerbang narkoba' karena seseorang yang memakai ganja memiliki resiko yang lebih besar untuk memakai zat-zat adiktif yang lebih keras.
Berdasarkan hasil survey, sekitar 98% pemakai heroin bermula dari memakai ganja.
OPIOID
Opioid ditentukan oleh kemampuan mereka untuk mengikat dan pengaruh candu reseptor pada membran sel. Mereka dapat dibagi menjadi 3 kelas:
• opioid alami klasik adalah opium dan morfin. Opium diekstrak dari tanaman Papaver somniferum (opium poppy), dan morfin adalah komponen aktif utama opium. Seperti polipeptida endogen saraf dan endorfin dan juga enkephalins opioid alami.
• Semi-sintetik opioid: Semisynthesis adalah jenis sintesis kimia yang menggunakan senyawa terisolasi dari sumber-sumber alam (misalnya, tanaman) sebagai bahan awal. Semi-sintetik opioid termasuk heroin, oxycodone, oxymorphone, dan hydrocodone.
• Sintetik opioid: opioid sintetik dibuat menggunakan sintesis total, di mana molekul-molekul besar disintesis dari kombinasi bertahap kecil dan murah (petrokimia) blok bangunan. Sintetik opioid termasuk buprenorfin, metadon, fentanyl, alfentanil, levorphanol, meperidine, codeine, dan propoxyphene.
Istilah candu dan narkotika biasanya digunakan bergantian dengan istilah opioid.
Opioid adalah yang paling kuat penghilang rasa sakit yang dikenal. Their use and abuse date back to antiquity. Penggunaan dan penyalahgunaan tanggal kembali ke kuno. Rasa sakit dan gembira menghilangkan efek opioid dikenal Sumeria
(4000 SM) dan Mesir (2000 SM). Kesadaran internasional penyalahgunaan opioid dirangsang pada awal abad ke-20 ketika Presiden Theodore Roosevelt rapat dengan Komisi Candu Shanghai pada tahun 1909 untuk membantu memberi stempel kekaisaran Cina keluar opioid kecanduan, terutama candu merokok.
Pada tahun 1913, Presiden Woodrow Wilson's administrasi disusun undang- undang untuk membatasi penggunaan narkotika, memerlukan resep dalam itikad baik, ini menjadi efektif pada tahun 1915. Penyedia sah narkotika dan kokain persiapan yang diperlukan untuk mendaftar dengan Biro Internal Revenue dan mandat untuk mencatat transaksi.
Pada tahun 1917, Undang-Undang Pajak Narkotika Harrison ditafsirkan oleh pengadilan sedemikian rupa sehingga opioid tidak dapat diresepkan untuk pengobatan ketergantungan opioid.
Tahun 1960-an, Dole dan Nyswander menunjukkan bahwa metadon adalah pengobatan yang efektif untuk ketergantungan opioid.
Pada 1974, Undang-Undang Perawatan Addict Narkotika diperbolehkan diatur pengobatan metadon untuk ketergantungan opioid, tetapi dibuat off-label penggunaan opioid ilegal.
Pada tahun 2000, Drug Addiction Treatment Act (DATA) diperbolehkan dokter berkualifikasi untuk menggunakan Jadwal III, IV, atau V obat-obatan untuk pengobatan ketergantungan opioid. Buprenorphine is currently the only drug approved under DATA. Buprenorfin pada saat ini hanya obat yang disetujui di bawah DATA.
Patofisiologi
Reseptor opioid dalam SSP mamalia termasuk mu, kappa, sigma, delta, dan epsilon subtipe. Reseptor ini terletak di otak (kebanyakan di periaqueductal abu-abu), urat saraf tulang belakang, saraf perifer, adrenal medula, ganglia, dan
usus.
Rangsangan dari reseptor sigma mu dan perasaan yang kuat menghasilkan kesejahteraan dan euforia. Kappa-reseptor rangsangan menghasilkan dysphoria.
Antagonisme pada reseptor ini dapat menghasilkan dysphoria, tetapi tidak konsisten. Euforia blok antagonis diproduksi oleh opioid. Endogen opioid, meskipun tidak sangat selektif, memiliki preferensi untuk jenis reseptor tertentu.
Beta-endorfin adalah ligan endogen untuk mu-reseptor; enkephalins dan dynorphins memiliki hubungan untuk sigma dan kappa-reseptor, masing-masing.
Mesolimbic yang dopaminergik sistem, yang berasal dari daerah tegmental ventral (VTA) dari otak tengah dan proyek dengan nukleus accumbens, sangat penting dalam (1) efek pahala intrakranial stimulasi diri, (2) imbalan alamiah air dan makanan asupan, dan (3) tindakan penyalahgunaan obat, termasuk opioid.
Aktivitas basal sistem ini, dinyatakan dalam pelepasan dopamin di nukleus accumbens, berada di bawah kendali dari 2 tonik menentang sistem opioid, aktivasi mu-dan-reseptor sigma meningkat, sedangkan aktivasi reseptor kappa- mengurangi aktivitas basal sistem mesolimbic. Bukti eksperimental dengan binatang laboratorium mendukung gagasan bahwa manipulasi reseptor ini dengan opioid dan penyalahgunaan zat lain (dan juga rangsangan listrik) mempengaruhi perilaku pemberian diri. Jalur imbalan ini diperkirakan telah berevolusi untuk imbalan alam seperti asupan makanan dan air
Skematik diagram sirkuit otak-pahala dari mamalia (tikus laboratorium) otak dengan situs di mana berbagai zat abusable muncul untuk bertindak untuk meningkatkan pahala dan otak, dengan demikian, untuk mempengaruhi perilaku mengambil obat-obat dan mungkin keinginan. Courtesy William & Wilkins Substance Abuse oleh Eliot L Gardner.KEY - INTI accumbens (Acc), ventral daerah tegmental (VTA), amigdala (AMYG), lokus seruleus (LC), sistem mesolimbic dopaminergik (DA), ventral pallidum (VP), noradrenergik serat (NF), enkephalinergic arus keluar (ENK), korteks frontal (FCX), sistem serat penghambatan GABAergic (GABA), dynorphinergic arus keluar (DYN),
komponen pahala sirkuit listrik preferentially intrakranial diaktifkan oleh stimulasi diri (ICSS).
Frekuensi
Amerika Serikat
Penggunaan dan penyalahgunaan opioid telah meningkat tajam di Amerika Serikat dimulai pada 1990-an dan terus berlanjut sampai setidaknya 2006. Tren ini bertepatan dengan kampanye AS yang kontroversial undertreatment melawan rasa sakit yang telah menyebabkan peningkatan yang sangat besar opioid resep.
Penyalahgunaan resep opioid telah berkembang sangat eksplosif selama waktu ini.
Beberapa statistik secara dramatis menggambarkan masalah ini:
• Amerika merupakan 4,6% dari populasi dunia, tapi mengkonsumsi sekitar 80% dari pasokan opioid dunia. Amerika mengkonsumsi 99% dari pasokan dunia hydrocodone (komponen yang opioid Vicodin).
• Amerika mengkonsumsi sekitar dua pertiga dari dunia obat-obatan terlarang.
The 2006 National Survey on Drug Use dan Kesehatan (NSDUH), disponsori oleh
Terlarang dan Administrasi Layanan Kesehatan Mental (SAMHSA), memberikan data yang menggambarkan secara grafis resep opioid peningkatan kekerasan dalam dekade terakhir:
• Antara 1999 dan 2006, jumlah orang yang berusia 12 dan yang lebih tua tidak sah menggunakan resep penghilang rasa sakit di bulan sebelum disurvei meningkat dari 2,6 juta pada tahun 1999 menjadi 5,2 juta pada 2006.
• Pada tahun 2006, 5,2 juta orang yang disurvei telah menggunakan resep obat penghilang rasa sakit tidak sah pada bulan lalu, dibandingkan dengan 0,3 juta orang yang telah menggunakan heroin.
• Pada tahun 2006, 2,2 juta orang berusia 12 atau lebih tua yang digunakan sah resep penghilang rasa sakit untuk pertama kalinya. Ini lebih dari obat terlarang lainnya, melebihi ganja (2,1 juta pengguna baru), dan pengerdilan heroin (91.000 pengguna baru). Sementara tahun lalu memulai resep penghilang rasa sakit telah meningkat 63% 1.997-2.006, tahun lalu memulai untuk heroin menurun sebesar 20% selama periode yang sama.
• Resep opioid telah diusulkan untuk menjadi gerbang penting obat, dan fakta bahwa mereka yang diresepkan oleh dokter ketenangan pengguna menjadi percaya mereka aman.
• Sebagian besar digunakan resep opioid sah diperoleh dari 1 dokter, bukan dari pengedar narkoba.
• Pada tahun 2006, di antara orang berusia 12 dan lebih yang telah menggunakan resep obat penghilang rasa sakit nonmedically dalam 12 bulan terakhir, sumber-sumber berikut dilaporkan:
o 55,7% melaporkan bahwa mereka memperoleh obat secara gratis dari keluarga atau teman.
o 14,8% melaporkan mereka membeli atau mencuri obat-obatan dari keluarga atau teman.
o 19.1% melaporkan mereka diperoleh obat-obatan dari 1 dokter.
o Hanya 1,6% dilaporkan mendapatkan obat dari lebih dari 1 dokter.
o Hanya 3,9% dilaporkan membeli obat dari penyalur atau orang asing.
o Hanya 0,1% dilaporkan membeli obat di internet.
o Dalam kasus di mana pengguna nonmedical penghilang rasa sakit resep obat mereka diperoleh dari seorang teman atau saudara untuk bebas, 80,7% orang melaporkan bahwa teman atau kerabat mereka telah memperoleh obat hanya dari satu dokter.
Mencolok, data ini menunjukkan bahwa pengedar narkoba merupakan sumber relatif kecil yang digunakan tidak sah resep opioid. Penyimpangan melalui keluarga dan teman-teman sekarang sumber terbesar terlarang opioid, dan mayoritas opioid ini diperoleh dari 1 dokter, bukan dari "dokter berbelanja."
Mortalitas / Morbiditas
Sejak 1990, data dari berbagai jurisdiksi AS telah melaporkan peningkatan dramatis kematian yang berhubungan dengan keracunan obat. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh keracunan obat tidak disengaja dikaitkan baik untuk pereda nyeri opioid atau obat-obatan tidak ditentukan.
• Dari 1979-1990, tidak sengaja keracunan obat meningkat rata-rata 5,3%
per tahun.
• Dari 1990-2002, tidak sengaja keracunan obat meningkat rata-rata 18,1%
per tahun. This corresponded with increased prescription of opioids for pain management Hal ini berhubungan dengan peningkatan resep opioid untuk rasa sakit manajemen
• Dari 1999-2002, opioid analgesik keracunan pada sertifikat kematian meningkat 91%. Selama periode yang sama, fatal heroin dan kokain keracunan meningkat 12,4% dan 22,8%, masing-masing.
• Pada tahun 2002, kematian yang dilaporkan 5.528 dari analgesik opioid resep keracunan, lebih daripada heroin atau kokain. Peningkatan mortalitas umumnya berkorespondensi untuk meningkatkan penjualan untuk setiap
resep opioid.
Peningkatan disengaja overdosis heroin yang mendalilkan sebagian berasal dari kombinasi penurunan biaya dan meningkatkan kesucian. Menurut DEA, kemurnian heroin rata-rata meningkat dari 7% pada tahun 1980, menjadi 48%
pada tahun 2000, menjadi 70% pada tahun 2003. Ini pertama kali memungkinkan pengguna untuk mendapatkan tinggi oleh mendengus heroin, dan akhirnya maju ke intravena digunakan ketika toleransi berkembang, membuat awal penggunaan heroin lebih cocok untuk beberapa pecandu. Peningkatan kemurnian juga membuat kesalahan dalam pemberian dosis berpotensi lebih mematikan.
Sex
Pria penyalahgunaan opioid lebih sering daripada perempuan, dengan laki- laki-untuk-perempuan yang kira-kira rasio 3:1 untuk heroin dan 1.5:1 resep opioid.
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan Polandia pada tahun 1996, angka kematian langsung dari orang-orang yang menggunakan obat IV adalah 25,7 kematian per 1.000 orang-tahun bagi laki-laki dan 14,3 kematian per 1.000 orang-tahun untuk perempuan. Dibandingkan dengan populasi umum, risiko kematian adalah 11 kali lebih tinggi di antara laki-laki yang menggunakan obat- obatan dan 20 kali lebih tinggi di antara wanita yang menggunakan obat-obatan.
Age Usia
Kebanyakan orang-orang yang baru pengguna heroin lebih muda dari 26 tahun.
Penggunaan heroin dalam 30 hari terakhir adalah sekitar 0,6% pada usia 12-17 tahun, dan insiden penggunaan berkurang secara bertahap di kelompok usia yang lebih tua. Prevalensi seumur hidup penggunaan opioid pada usia 12-17 tahun adalah sekitar 2,3%, dan sedikit lebih tinggi pada orang berusia 35-44 tahun karena penggunaan heroin puncak pada 1960-an dan 1970-an.
Klinis Sejarah
penyalahgunaan opioid mendefinisikan sebagai maladaptive pola penggunaan opioid menyebabkan kerusakan yang signifikan secara klinis atau tertekan yang terjadi di salah satu dari bidang-bidang berikut, dalam 12 -- bulan.
• Kegagalan untuk memenuhi kewajiban pekerjaan utama di tempat kerja, sekolah, atau rumah
• Berulang opioid digunakan dalam situasi berbahaya, seperti mengemudi atau mengoperasikan mesin berat sementara terganggu
• Opioid-masalah hukum yang terkait
• Masalah sosial dan interpersonal yang disebabkan oleh atau diperparah oleh penggunaan opioid
Kebanyakan individu yang memenuhi kriteria penyalahgunaan opioid dan terus menggunakan akhirnya memenuhi kriteria ketergantungan opioid.
The DSM-IV-TR 3 mendefinisikan ketergantungan opioid sebagai sindrom yang ditandai oleh pola maladaptive opioid digunakan, menyebabkan kerusakan yang signifikan secara klinis atau tertekan, sebagaimana diperlihatkan oleh sekurang-kurangnya 3 dari yang berikut ini dan terjadi dalam periode 12 bulan.
• Toleransi (lihat definisi di bawah)
• Penarikan (lihat definisi di bawah)
• Opioid yang diambil dalam jumlah yang besar atau lebih lama daripada yang dimaksudkan
• menerus gagal keinginan atau upaya untuk mengurangi atau mengontrol penggunaan opioid
• Jumlah yang signifikan waktu yang dihabiskan dalam kegiatan-kegiatan untuk memperoleh opioid
• Sosial yang penting, pekerjaan, atau kegiatan rekreasi yang diberikan atas atau dikurangi
• problem Terus opioid menggunakan pengetahuan meskipun memiliki persisten atau berulang fisik atau masalah psikologis
Toleransi dan penarikan mungkin atau mungkin tidak dapat dikaitkan dengan ketergantungan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan ketergantungan obat sebagai sindrom di mana penggunaan suatu obat atau golongan obat yang memerlukan prioritas lebih tinggi untuk orang tertentu dari perilaku yang pernah memiliki nilai lebih tinggi.. Penurunan volitional kontrol atas penggunaan obat opioid adalah bagian tengah dari gejala perilaku diamati dalam ketergantungan opioid.
Toleransi
Toleransi adalah kebutuhan untuk meningkatkan dosis obat untuk mencapai efek awal obat. Toleransi ke euphoriant analgesik dan efek dan efek samping yang tidak diinginkan, seperti depresi pernapasan, sedasi, dan mual, mungkin berkembang. Namun, sedikit toleransi berkembang untuk sembelit dan meiosis.
Toleransi opioid biasanya tidak berkembang pada pasien dengan kanker yang sedang dirawat karena sakit; kebutuhan untuk meningkatkan dosis pada pasien biasanya ini disebabkan oleh peningkatan tingkat rasa sakitTidak ada hubungan yang konsisten antara keberhasilan dan toleransi intrinsik ada.
Withdrawal
Administrasi secara terus-menerus opioid menyebabkan ketergantungan fisik, munculnya gejala penarikan selama pantang. Ketergantungan fisik diharapkan setelah 2-10 hari terus-menerus digunakan ketika obat itu berhenti tiba-tiba. Onset dan durasi penarikan bervariasi dengan obat yang digunakan. Sebagai contoh, gejala penarikan meperidine puncaknya pada 8-12 jam dan berlangsung selama 4-
5 hari. Gejala putus heroin biasanya puncak dalam waktu 36-72 jam dan dapat berlangsung selama 7-14 hari. penarikan opioid adalah sebagai berikut:
• gejala - Diare, Rhinorrhea, diaphoresis, lacrimation, menggigil, mual, emesis, piloerection (ungkapan berhenti "kalkun dingin" mengacu pada piloerection, atau "merinding")
• Sistem saraf pusat gairah - sulit tidur, gelisah, tremor
• kram perut, nyeri tulang, dan sakit otot baur
• - Untuk obat Addiction
Fenomena kecanduan terlihat pada variabel jumlah pasien yang menggunakan narkoba. Kecanduan ini dicirikan sebagai sindrom psikologis dan perilaku di mana fitur berikut diamati:
• Obat hasrat
• Kompulsif menggunakan
• Kecenderungan yang kuat untuk kambuh setelah penarikan
Addiction harus didefinisikan oleh maladaptive pengamatan perilaku, seperti konsekuensi yang merugikan akibat penggunaan narkoba, kehilangan kontrol atas penggunaan narkoba, dan keasyikan dengan memperoleh opioid, daripada fenomena farmakologis ketergantungan fisiologis, toleransi, dan dosis eskalasi.
jangan menggunakan istilah kecanduan untuk menggambarkan pasien yang hanya bergantung secara fisik. Juga, perlu diingat bahwa undertreatment pada pasien dengan nyeri dapat mengakibatkan pseudoaddiction, dan perilaku mencari opioid mungkin keliru untuk kecanduan.
Long-bertindak obat, seperti metadon dan berkelanjutan-release morfin, cenderung memiliki onset lebih lambat tindakan, dan terburu-buru atau berpengalaman tinggi dengan lebih cepat-onset obat tidak begitu menonjol.
semakin lama-acting opioid cenderung tidak disalahgunakan.
Fisik
• Ketergantungan
o Efek status mental meliputi depresi dengan salah satu atau semua gejala-gejalanya, seperti gangguan tidur, kurangnya minat, tidak mementingkan diri sendiri, bunuh diri ideation, dan keterampilan mengatasi miskin.
o Efek fisiologis: Karena toleransi kepada banyak tindakan opioid berkembang, itu tidak mungkin bahkan untuk pengamat yang cermat memperhatikan efek opioid.. Murid berukuran kecil mungkin satu-satunya hanya pengamatan karena mengembangkan toleransi sangat ringan untuk miosis. dilihat. Meradang mukosa hidung dapat jika heroin mendengus.
• Withdrawal
o Efek status mental meliputi purposive perilaku, seperti keluhan dan manipulasi semakin diarahkan pada obat, dan kecemasan.
o Efek fisiologis
Takikardia, tekanan darah tinggi, demam, piloerection (daging angsa), mydriasis, dan lacrimation
Sistem saraf pusat gairah - mudah tersinggung
Menguap
o Dalam sindrom pantang ringan, fitur klinis mungkin terbatas pada dysphoria, keinginan, menguap, lacrimation, Rhinorrhea, dan gelisah. Dalam moderat-untuk-kasus yang parah, piloerection, mydriasis, peningkatan BP dan denyut nadi, dan gejala GI dilihat sebagai baik.
• Kemabukan
o Efek status mental termasuk euforia, obat penenang, mengurangi kecemasan, rasa tenteram, dan ketidakpedulian terhadap rasa sakit yang dihasilkan oleh ringan hingga sedang mabukMabuk berat dapat menyebabkan delirium dan koma.
o Efek fisiologis
Respiratory depresi (mungkin terjadi ketika pasien mempertahankan kesadaran)
Perubahan peraturan suhu
Hypovolemia (true as well as relative), leading to hypotension Hipovolemia (benar maupun relatif), menyebabkan hipotensi
Miosis Miosis
Needle marks or soft tissue infection Jarum tanda atau infeksi jaringan lunak
Increase sphincter tone (can lead to urinary retention) Meningkatkan sfingter nada (dapat mengakibatkan retensi urin)
• Addiction
o Pemeriksaan fisik memberikan sedikit informasi untuk menambahkan dalam diagnosis kecanduan. Namun, gejala penarikan opioid dan melacak tanda yang sugestif dari kecanduan.
o . Sembelit umum terjadi karena hampir terus menerus menggunakan narkotika.
Penyebab
Ketergantungan opioid biopsychosocial dianggap sebagai gangguan..
Farmakologis, sosial, genetik, dan faktor psikodinamik berinteraksi untuk mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan penyalahgunaan narkoba.
Namun, faktor-faktor farmakologis dapat sangat menonjol, lebih daripada di lain penggunaan narkoba jenis gangguan.
• Faktor-faktor farmakologis: memperkuat opioid kuat agen karena efek euforia dan melaporkan kemampuan untuk mengurangi kecemasan, meningkatkan harga diri, dan membantu mengatasi masalah-masalah sehari-hari.. Kebanyakan opioid berhubungan dengan penyalahgunaan dan
ketergantungan adalah mu-agonis, seperti heroin, morfin, hydrocodone, oxycodone, dan meperidine. Beberapa mu-agonis parsial seperti buprenorfin, atau beberapa yang tidak memiliki mu-agonism, seperti pentazocine, juga dapat memiliki properti memperkuat.. Perkembangan pesat ketergantungan fisik dan pantangan sindrom yang berkepanjangan adalah unik untuk opioid menggunakan dan dapat membuat pantang sulit.
• Faktor-faktor sosial: Mudah ketersediaan obat dan sikap sosial diterima membuat eksperimen mudah. Tingkat tinggi penggunaan narkoba dilihat di daerah kota dengan orangtua miskin berfungsi dan lebih tinggi tingkat kejahatan dan pengangguran. Kecuali hubungan antara paparan lebih tinggi terhadap obat dan kecanduan tingkat yang lebih tinggi, peran yang tepat faktor-faktor sosial dalam menciptakan perilaku adiktif tergantung dan tidak pasti. Tenaga pelayanan AS di Vietnam antara tahun 1970 dan 1972, 42% mencoba heroin; satu setengah dari personil mereka menjadi tergantung secara fisik, tapi sangat sedikit terus menggunakan heroin dalam kehidupan sipil.
• Faktor psikologis: Ego cacat pada pasien tertentu sebagai dalil untuk membentuk dasar penggunaan narkoba. Opioid yang berteori untuk membantu ego dalam mengelola efek menyakitkan seperti rasa cemas, rasa bersalah, dan kemarahan. Teori perilaku mendalilkan bahwa dasar mekanisme penghargaan-hukuman melanggengkan perilaku adiktif
• . Faktor genetik Genetic studi epidemiologi menunjukkan tingkat tinggi diwariskan kerentanan untuk ketergantungan opioid. Polimorfisme gen untuk reseptor dopamin / pengangkut, reseptor opioid, resetor serotonin / pengangkut, proenkephalin, dan catechol-O-methyltransferase (COMTsemua tampak berhubungan dengan kerentanan terhadap ketergantungan opioid. Depan intervensi untuk ketergantungan opioid dapat mencakup obat-obatan yang diidentifikasi melalui penelitian genetik.
Diagnosis Banding
Gastroenteritis bakteri Pankreatitis kronis Gastroenteritis Viral Peptic Ulcer Disease
Influenza Barbiturate Racun, obat bius tidur Pankreatitis akut Racun, Benzodiazepine
Masalah lain to Be Considered Sepsis
Kepribadian antisosial Panik
Pontine infarct or hemorrhage Depressed mood
Meskipun gejala GI mual, muntah, dan sakit perut yang dominan dan umum dalam penarikan opioid, mereka mungkin menjamin pertimbangan Gastroenteritis, pankreatitis, penyakit ulkus peptikum, dan obstruksi usus.
Simpatik overactivity harus mengarah pada serangan panik pertimbangan dan perangsang SSP, seperti amfetamin.
Karena multi-penyalahgunaan narkoba adalah umum, menyelidiki keracunan oleh obat selain narkotik (benzodiazepin, barbiturat) pada pasien tidak sadar.
Seseorang yang penyalahgunaan opioid mungkin menyembunyikan informasi tentang obat yang kasar lainnya. Karena kemabukan opioid umumnya tidak menyebabkan tremulousness, delirium, dan kejang, kehadiran mereka harus meningkatkan kecurigaan dari ketergantungan alkohol dan benzodiazepine.
Berukuran kecil siswa diamati di opioid mabuk, pontine lesi, dan tetes cholinergic lokal.
Sebuah kepribadian antisosial mungkin keliru sebagai perilaku adiktif (dan sebaliknya), terutama jika konfrontasi dengan hukum yang terlibat.
Selain opioid-induced kelainan jiwa, prevalensi tinggi non-opioid berhubungan dengan gangguan jiwa ada. Di Baltimore selama awal tahun 1990-an, sebuah studi tentang orang yang kecanduan dan diperlakukan dengan metadon ini dilakukan, dan seumur hidup prevalensi komorbiditas gangguan mood dan kecemasan adalah 19% dan 8,2% masing-masing. Seumur hidup tingkat gangguan kepribadian dalam menurunkan frekuensi adalah sebagai berikut:
• Gangguan antisosial (25,1%)
• Avoidant kelainan (5,2%)
• Borderline kelainan (5,2%)
• Pasif agresif kelainan (4,1%)
• Paranoid disorder (3,2%)
Pada wanita, depresi, gangguan kecemasan, dan gangguan kepribadian borderline adalah jauh lebih umum, dan gangguan kepribadian antisosial kurang umum dibandingkan dengan laki-laki.
Dalam penelitian yang sama, komorbiditas ketergantungan juga diamati untuk kokain (64,7%), ganja (50,8%), alkohol (50%), dan sedatif (46,6%).
Pemeriksaan
Laboratorium Studi
• Penyalahgunaan dan ketergantungan
o Urine obat layar
o Deteksi obat dalam keringat dan rambut adalah suatu penambahan
yang baru pada teknologi deteksi penyalahgunaan narkoba.
However, it is not used widely. Namun, tidak digunakan secara luas.
• Penarikan
o Elektrolit
o CBC count
o Obat kencing layar jarang berguna.
• Kemabukan
o Obat tes urine komprehensif dilakukan ketika kebiasaan penyalahgunaan obat pasien tidak diketahui, tetapi diduga.
Beberapa laboratorium murah menggunakan kromatografi lapis tipis (TLC) prosedur.. Tes ini mempunyai sensitivitas yang rendah biasanya digunakan untuk obat-obatan. TLC tidak dapat mendeteksi fentanyl.
o Radioimmunoassay enzim immunoassay dan lebih sensitif daripada TLC, tetapi mereka kurang spesifik karena molekul- molekul dengan kelompok-kelompok fungsional yang serupa bereaksi silang dengan antibodi. Ini adalah tes relatif murah.
o Kromatografi gas-cair (GLC) dan kromatografi gas-spektrometri massa (GC-MS) sangat sensitif dan tes khusus, tetapi mereka memakan waktu, tenaga kerja intensif, dan mahal.
o Pada deteksi penyalahgunaan obat, mengetahui paruh obat tersebut, biotransformation obat, dan rute ekskresi obat penting.
o Pemutaran dan konfirmasi cut-off konsentrasi untuk heroin, metadon, morfin, dan kodein adalah 300 ng / mL dan terdeteksi dalam air seni dalam waktu 1-4 hari.
o Hasil negatif palsu terjadi lebih mudah daripada positif palsu, hanya karena sekali tes disaring negatif, tidak diuji lebih lanjut..
Pemerintah federal mengharuskan bahwa hasil dari program pengujian obat langsung ke kantor tinjauan medis untuk mencegah penafsiran yang tidak tepat dari data uji narkoba.
o Tingkat alkohol darah juga dapat diuji.
• Kecanduan: Dalam kasus historis atau bukti klinis IV penyalahgunaan obat, lakukan hal berikut:
o LFT Lft
o ) Rapid plasma reagen (RPR)
o Virus hepatitis pengujian
o Tes HIV
o ) Kultur darah (dalam klinis yang tepat) Tes lain
Tes ini dilakukan untuk menilai ketergantungan fisik. Sebagai injeksi intramuskular atau IV, 0,2-0,8 mg nalokson ini dikelola.
• Sebuah tes positif menunjukkan ketergantungan fisik dan terdiri dari penarikan khas gejala dan tanda-tanda. Gejala dan tanda-tanda ini biasanya berlangsung selama 30-60 menit.
• Tes ini ditemukan akan sangat membantu sebelum memulai candu antagonis untuk terapi pemeliharaan. Mulai opioid antagonis, seperti naltrexone, segera setelah detoksifikasi dapat menyebabkan gejala penarikan dan mencegah pasien dari perawatan lebih lanjut.
PENATALAKSANAAN
KONSEP DASAR PENATALAKSANAAN
Dalam bidang kedokteran, penatalaksanaan bermakna terapi dan tindakan- tindakan yang berkait dengannya. Umumnya tujuan terapi ketergantungan napza adalah sebagai berikut:
1. Abstinensia atau penghentian total penggunaan napza. Tujuan terapi ini tergolong
2. sangat ideal, namun sebagian besar
pasien tidak mampu atau tidak bermotivasi untuk mencapai sasaran ini, terutama
pasien-pasien pengguna awal. Usaha pasien untuk mempertahankan abstinensia tersebut dapat di-dukung dengan meminimasi efek-efek yang langsung ataupun tidak langsung akibat penggunaan napza. Sedangkan sebagian pasien lain memang telah sungguh-sungguh abstinen terhadap salah satu napza, tetapi kemudian beralih menggunakan jenis
napza yang lain.
3. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps. Tujuan utamanya adalah mencegah relaps. Bila pasien pernah menggunakan satu kali saja setelah abstinensia, maka ia disebut "slip". Bila ia menyadari kekeliruannya, dan ia memang telah
4. dibekali keterampilan untuk mencegah pengulangan peng-gunaan kembali, pasien akan tetap mencoba bertahan untuk selalu abstinen. Program pelatihan ketrampilan mencegah relaps (relapse prevention program), terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy), opiate antagonist maintenance
therapy dengan naltrexone merupakan beberapa alternatif untuk
mencapai tujuan terapi jenis ini. 3. Memperbaiki fungsi psikologi, dan fungsi adaptasi sosial. Dalam kelompok ini, abstinensia bukan merupakan sasaran utama.
Terapi rumatan metadon, syringe exchange program merupakan pilihan untuk mencapai tujuan terapi jenis iniTerapi medik ketergantungan napza merupakan kombinasi psikofarmakoterapi dan terapi perilaku(1) Meskipun telah dipahami bahwa banyak faktor yang terlibat dalam terapi ke-tergantungan zat (termasuk faktor problema psikososial yang sangat kompleks), narnun upaya penyembuhan ketergantungan napza dalam konteks medik tetap selalu diupayakan. Seperti diketahui, terapi medik ketergantungan napza ter-diri atas dua fase berikut:
Detoksifikasi, Rumatan (maintenance, pemeliharaan, perawatan). Kedua bentuk fase terapi ini merupakan suatu proses ber-kesinambungan, runtut, dan tidak dapat berdiri sendiri.
Farmakoterapi :
Manfaat farmakoterapi terhadap pasien ketergantungan napza adalah untuk : 1.
Medikasi untuk menghadapi intoksikasi dan sindrom putus zat. Misalnya adalah penggunaan metadon dan klonidin untuk sindrom putus opioida, klordiazepoksid untuk sindrom putus
alkohol. 2. Medikasi untuk mengurangi efek memperkuat (reinforcing effect) dari zat yang disalahgunakan. Misalnya pemberian antagonis opioida seperti naltrekson dapat memblok/meng-hambat pengaruh fisiologi dan subyektif dari pemberian opioida berikutnya. Pada kasus lain, gejala-gejala abstinensia yang dicetuskan oleh penggunaan antagonis opioida, misalnya nalokson, dianggap sebagai provocative test untuk mengetahui adanya penggunaan opioida. 3.
Medikasi untuk mengendalikan gejala-gejala klinis seperti anti agresi (haloperidol, fluphenazine, chlorpromazine) , anti anxietas (diazepam, lorazepam) , anti halusinasi (trifluoperazine, thioridazine) , anti insomnia (estazolam, triazolam). 4. Terapi substitusi agonis, seperti metadon, klordiazepoksid
5. Medikasi untuk menyembuhkan komorbiditas mediko- psikiatri. 6. Terapi terhadap overdosis: seperti pemberian nalokson untuk pasien overdosis opioida pada pengguna IDU (Injecting Drug User), 7. Mengatur keseimbangan cairan: air dan elektrolit 8Antibiotika: infeksi akibat komplikasi TB pulmonum, hepatitis dan infeksi sekunder karena HIV/AIDS 9. Terapi untuk gangguan ekstrapiramidal.
TERAPI DETOKSIFIKASI
Detoksifikasi merupakan langkah awal proses terapi ketergantungan opioida dan merupakan intervensi medik jangka singkat. Seperti telah disebutkan di atas, terapi detoksifikasi tidak dapat berdiri sendiri dan harus diikuti oleh terapi rumatan. Bila terapi
detoksifikasi diselenggarakan secara tunggal, misal-nya hanya berobat jalan saja, maka kemungkinan relaps lebih besar dari 90 %. Tujuan terapi detoksifikasi opioida adalah Untuk mengurangi, meringankan, atau meredakan keparah-an gejala-gejala putus opioida
Untuk mengurangi keinginan, tuntutan dan kebutuhan pasien untuk "mengobati dirinya sendiri" dengan menggunakan zat-zat ilegal Mempersiapkan proses lanjutan yang dikaitkan dengan
modalitas terapi lainnya seperti therapeutic community atau
berbagai jenis terapi rumatan lain .Menentukan dan memeriksa komplikasi fisik dan mental, serta mempersiapkan perencanaan terapi jangka panjang, seperti HIV/AIDS, TB
pulmonum, hepatitis. Berdasarkan lamanya proses berlangsung, terapi detoksi- fikasi dibagi atas: Detoksifikasi jangka panjang (3-4 minggu) seperti dengan menggunakan metadon .Detoksifikasi jangka sedang (3-5 hari) : naltrekson, mida- zolam, klonidin .Detoksifikasi cepat (6 jam sampai 2 had): rapid detox Variasi dan pilihan terapi detoksifikasi napza cukup banyak. Di Indonesia, sebagian dokter/psikiater masih menggunakan terapi detoksifikasi opioida konservatif seperti penggunaan obat simptomatik (analgetika, anti-insomnia, dan lainnya).
Bahkan beberapa psikiater masih menggunakan berbagai bentuk neuroleptika dosis tinggi, yang di negara maju sudah
lama ditinggalkan. Metadon: adalah substitusi opioida yang merupakan pilih- an utama dalam terapi detoksifikasi opioida secara gradual. Proses detoksifikasi berlangsung relatif lama (>21 hari) Selama proses terapi detoksifikasi metadon berlangsung, angka relaps dapat ditekan. Setelah detoksifikasi berhasil, kemudian dilan-
jutkan dengan terapi rumatan : Methadone Maintenance Treat-ment Program.
Klonidin: adalah suatu central alpha-2-adrenergic re-ceptor agonist, yang digunakan dalam terapi hipertensi. Klonidin mengurangi lepasnya noradrenalin dengan mengikatnya
pada pre-synaptic alpha2 receptor di daerah locus cereleus, dengan demikian
mengurangi gejala-gejala putus opioida. Karena terbatasnya substitusi opioida lain di Indonesia, beberapa dokter (termasuk penulis) telah menggunakan kombinasi klonidin, kodein dan papaverin untuk terapi detoksifikasi. Klonidin digunakan dalam kombinasi untuk mengurangi gejala putus opioida ringan seperti: menguap, keringat dingin, air
mata dan lainnya. Clocopa method tersebut dapat digunakan untuk berobat jalan maupun rawat inap. Namun karena klonidin sendiri tidak dapat memperpendek masadetoksifikasi, maka diperlukan kombinasi dengan naltrekson. Naltrekson adalah suatu senyawa antagonis opioida. Caratersebut dikenal dengan nama Clontrex Method yang dapat
dilakukan untuk pasien berobat jalan maupun pasien rawat inap. Umumnya program detox dengan cara Clontrex method ini berlangsung selama 3-5 hari dan kemudian diikuti dengan terapi rumatan : Opamat-ED Program.
Lofeksidin dan Guanfasin: Lofeksidin adalah analog klonidin tetapi mempunyai keuntungan bermakna karena tidak banyak mempengaruhi tekanan darah (Washton et al 1982). Guanfasin adalah senyawa alpha-2 adrenergic agonist yang juga mempunyai kemampuan untuk mengurangi gejala putus opioida.
Buprenorfin: adalah suatu senyawa yang berkerja ganda sebagai agonis dan antagonis pada reseptor opioida. Gejala putus opioida pada terapi buprenorfin sangat ringan dan hilang dalam sehari setelah pemberian buprenorfin sublingual.
Pemberian buprenorfin juga digunakan sebagai awal dari terapi kombinasi Clontrex Method.
Midazolam-Naltrekson: kombinasi midazolam-naltrekson juga telah digunakan untuk memperpendek waktu terapi detoksifikasi. Selama dalam pengaruh sedasi midazolam intravena, pasien diberi nalokson intravena, suatu antagonis opioida.
TERAPI RUMATAN
Terapi rumatan ketergantungan opioida bertujuan antara lain untuk : Mencegah
atau mengurangi terjadinya craving terhadap opioida .Mencegah relaps (menggunakan zat adiktif kembali),Restrukturisasi kepribadian , Memperbaiki fungsi fisiologi organ yang telah rusak akibat penggunaan opioida . Tujuan farmakoterapi rumatan pasca detoksifikasi adalahMenambah holding power untuk pasien yang berobat jalan sehingga menekan biaya pengobatan . Menciptakan suatu window of opportunity sehingga pasien dapat menerima intervensi psikososial selama terapi rumatan dan mengurangi risiko(3)Mempersiapkan kehidupan yang produktif selama meng-gunakan terapi rumatan
Methadone: adalah suatu substitusi opioida yang bersifat agonis dan long-acting.
Sejak tahun 1960an di Amerika dan Eropa, penggunaan metadon dianggap sebagai terapi baku untuk pasien keter-gantungan opioida. Klinik-klinik Metadon berkembang di beberapa tempat dengan berbagai variasi program. Beberapa kelemahan terapi metadon: harus datang ke fasilitas kesehatan sekurang- kurangnya sekali sehari, terjadinya overdosis, ketergantungan metadon, dan kemungkinan terjadinya peredaran ilegal metadon. Dewasa ini dikembangkan suatu bentuk derivat metadon, levacethylmethadol, yang mempunyai
masa aksi lebih lama (72 jam) sehingga pasien tidak perlu tiap hari datang ke fasilitas kesehatan.
Buprenorfin: dapat juga digunakan untuk terapi rumatan. Seperti levacethylmethadol, hanya diberikan 2 atau 3 kali dalam seminggu karena masa aksinya yang panjang. Karena
kemungkinan penyalahgunaan, kombinasi buprenorfin dan naltrekson juga telah dipelajari dan dicoba untuk terapi ketergantungan opioida.
Disulfiram, Disulfiram & Behaviour Therapy: Disulfiram, suatu alcohol antabuse yang diketemukan di Denmark tahun 1948. Disulfiram sangat efektif jika diberikan kepada pasien ketergantungan alkohol secara ambulatory di bawah supervisi. Disulfiram dibuat sebagai tablet buih yang mudah larut dalam air, sehingga mudah diminum. Terapi disulfiram tanpa pemantauan hasilnya kurang menguntungkan. Hasil yang memuaskan justru diperoleh melalui kombinasi
disulfiram dengan terapi perilaku kognitif.
MODIFIKASI LAIN
Ultra rapid detoxification: Rapid detox adalah kombinasi antara prosedur terapi detoksifikasi dengan anestesia; karena itu yang bertanggung jawab dalam teknik terapi rapid detox ini adalah psikiater dan ahli dokter ahli anestesia. Istilah "rapid detox" rasanya kurang tepat, narnun sudah sangat populer sehingga sukar diganti.
Istilah yang tepat adalah "rapid anta-gonist induction" yang kemudian diikuti dengan terapi nal-
trekson. Teknik rapid detox pertama kali berasal dari Loimer dari Bagian Psikiatri University Hospital of Vienna, Austria (first published technique in details, 1988).
Dalam laporannya ia menggunakan 6 kasus ketergantungan heroin berusia antara 21-28 tahun. Penemuan rapid detox tersebut kemudian diikuti oleh Brewer (1989) di Stapleford Centre di London. Dalam perkembangan berikutnya rapid detox telah berkembang secara luas di berbagai institusi dan klinik di Amerika Serikat dan Eropa. Beberapa institusi dan klinik tersebut berkembang pesat di Eropa dan mengadakan konferensi setiap tahun, menerbitkan berbagai karya kedokteran ilmiah; sebagian lagi mengembang-kannya secara komersial seperti yang dilakukan oleh suatu kelompok "Spanish-Israeli CITA group" yang secara kurang etis mencoba mematenkan prosedur yang dilakukannya.
Usaha-usaha mereka telah berhasil masuk ke Indonesia. Sebutan untuk teknik rapid detox dalam berbagai literatur berbeda-beda, narnun mempunyai makna yang hampir mirip, antara lain adalah: Ultra-rapid opiate detoxification, Rapid Opiate Detoxification under general Anesthesia (RODA) - Vienna Method, Rapidly Accelarated Narcotic Detoxification (RAND) - Addiction Medical Group Inc. (AMGI), Ultra Rapid Detoxification with Anesthesia (UROD) - NIDA, Antagonist Assisted Abstinence (A3) Detoxification - Dr. Lance L. Goober-man, Treatment Accelerated Neuro-regulation of Opiate DEpendency - Dr. Waismann.
Rapid detox dilakukan atas pasien dalam keadaan di bawah pengaruh anestesia umum; dalam keadaan itu diberikan sejumlah besar antagonis opioida sehingga memblokade semua reseptor yang ada dalam otak dan tubuh pasien. Dengan masuknya antagonis opioida, semua opioida yang semula ada di dalam tubuh dipindahkan, sehingga mem-presipitasi timbulnya gejala putus opioida sementara pasien sedang asyik tertidur nyenyak karena pengaruh anestesia umum; pasien tentu saja tidak mengalami gejala putus obat yang terjadi, bahkan bermimpi tentang kejadian itu juga tidak. Gejala-gejala putus opioida umumnya adalah nausea, muntah, diare, kejang-kejang kecil, nafas lambat atau cepat, kram otot, sakit dan ngilu pada sendi dan otot, tegang, mrinding, air mata keluar, menguap, demam, berkeringat, depresi umum, insomnia dan gejala-gejala sedih lainnya;
gejala-gejala tersebut muncul selama beberapa jam, kemudian berhenti.
Umumnya prosedur rapid detox berlangsung selama 4-6 jam di
ruang ICU, sehingga pasien memerlukan perawatan sekurang-kurangnya selama satu hari. Beberapa rumah sakit di Indonesia memfalisitasi perawatan di VIP selama satu sampai tiga hari. Keuntungan-keuntungan rapid detox antara lain : waktu detoksifikasi singkat, terhindarnya rasa sakit atau rasa tidak menyenangkan lainnya selama masa detoksifikasi, cepat masuk ke fase rehabilitasi untuk mengikuti suatu program pemulihan jangka panjang atau dapat menghemat waktu agar dapat di-manfaatkan untuk segera bekerja atau keperluan keluarga lain.
Stadium 1: Pre-Rapid Detox Pemilihan pasien dengan indikasi ketat (ketergantungan
opioida, bermotivasi tinggi, penggunaan opioida yang sering) . Konfirmasi terhadap kemungkinan pasien menggunakan program hanya untuk abstinensia opioida jangka pendek . Pasien bersedia mengikuti pemeriksaan jangka panjang/
aftercare setelah detoksifikasi . Memastikan bahwa pasien (dan atau keluarganya) dapat
menerima risiko medik dan memahami informed consent . Pemeriksaan: darah rutin, skrining napza dalam urine, EKG, Rontgen foto thorax . Melakukan
pemeriksaan latar belakang sosial, psikologi dan klinis secara detail . Kepada pasien dijelaskan tentang perlunya terapi rumatan menggunakan naltrekson;
naltrekson mengurangi craving; selain itu naltrekson dapat mem-blok reseptor opioida sehingga menghambat pasien mengalami high atau gifting. Dengan menggunakan anestesia pasien secara cepat dibawa ke kondisi
persiapan menggunakan naltrekson. Wawancara Pre-Rapid Detox harus disertai dengan penandatanganan kontrak dan rencana terapi mendatang.
Stadium 2: Rapid Detox plus Anesthesia Sesudah selesai stadium 1, ahli anestesia di ICU mulai melakukan anestesia umum sehingga pasien masuk dalam stadium "tidur", selama prosedur detoksifikasi berlangsung. Pada sta-dium ini diberikan nalokson, naltrekson dan juga klonidin dalam jumiah yang cukup untuk menginduksi terjadinya gejala- gejala putus opioida secara cepat. Setelah gejala- gejala putus opioida selesai sempurna, pasien diperkenankan bangun; umumnya antara 4-6 jam sejak terapi dimulai. Ketika bangun tidur pasien sudah tidak merasakan sama sekali fisik yang "tergantung" dan siap dengan Cepat untuk mulai mengikuti program rehabilitasi.
Stadium 3: Program Setengah Hari Sebagian besar pasien mulai menjalani stadium 2 pada pagi hari pertama dan kemudian diperkenankan keluar rumah sakit pada pagi hari ke dua. Stadium 3 dimulai pada hari ke dua dan kemudian dilanjutkan pada hari ke tiga dan ke empat. Struktur komponen inti stadium 3 adalah: Evaluasi medis , Review isyu-isyu tentang naltrekson , Penilaian dengan Addiction Severity Index dan rekomen-
dasi intervensi , Komponen tambahan lainnya sebagai introduksi sebelum benar- benar memasuki terapi antara lain : Konseling individual , Konseling kelompok , Relapse Prevention Training atau Craving Coping Skill , Cognitive Behavioural Therapy . Sessi edukasional misal tentang reproduksi dan HIV/AIDS
Terapi Ko-dependensi
Umumnya proses rapid detox itu sendiri tidak mempunyai hambatan klinis
bermakna. Menurut pengalaman kami ketika awal awal melakukan Rapid Detox adalah akibat persiapan pasien yang belum sempurna (diare sebagai gejala putus opioida terjadi begitu hebat ketika selesai anestesia umum, dan dapat menimbulkan dehidrasi). Teknik Rapid Detox hanya sebuah langkah awal dalam proses panjang terapi ketergantungan opioida.Untuk mencapai status bebas opioida sebelum penggunaan naltrekson, teknik
rapid detox dapat digunakan untuk membantu transisi cepat menuju terapi rumatan naltrekson. Beberapa zat yang digunakan dalam rapid detox adalah : Klonidin Oral/IV
mengurangi gejala withdrawal , Midazolam IV hipnotik , Ondansetron IV
anti muntah-mual Nalokson IV menduduki reseptor opioida , Naltrekson Oral antagonis/terapi rumatan Oktreotid
IV/SC , mencegah komplikasi intestinal , Propofol IV anestetik , Dextrose 5 % Infus
cegah hipoglikemia , Haloperidol IM anti-agresi
OutPatient Intensive Program: Terapi konvensional untuk pasien ketergantungan napza yang berobat jalan dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. OPI-Program didisain dengan variasi yang sangat luas, ada yang sepanjang hari selama 6-7 hari seminggu. Sebagian lagi menyediakan hanya 2-3 jam contact hours sehari selama 5-7 hari seminggu. Program dibuat dengan struktur ketat, termasuk di dalamnya: ketrampilan meningkatkan sosialisasi, pertemuan yang bersifat vokasional dan didaktik, edukasi moral dan spiritual atau religi,
Dual Diagnosis Treatment Program: Dual diagnosis adalah istilah klinis untuk penyebutan diagnosis ganda atau multipel pada pasien ketergantungan napza yang juga menderita gangguan psikiatrik lain secara independen. Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa prevalensi gangguan psikiatri pada pasien dengan ketergantungan napza jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan populasi umum.
Pasien dengan
kombinasi gangguan psikiatrik dan ketergantungan napza membutuhkan terapi khusus guna mempersiapkan dirinya dalam program pemulihan yang sesuai dan adekuat. Terapi
kelompok yang dilakukan oleh para pasien dengan dual diagnosis disebut dengan double trouble meeting. Pertemuan tersebut antara lain bersifat edukasi guna memahami manfaat
obat yang digunakan untuk menyembuhkan gangguan psikiatrinya.
Residential Treatment: adalah suatu bentuk terapi pasien ketergantungan napza yang ditempatkan dalam suatu institusi tertutup. Ada bermacam-macam modifikasi residential treatment antara lain: Hospital Based Program: program dengan struktur ketat dibuat oleh pimpinan RS bersama stafnya. Umumnya skedul baku dibuat setiap minggu, termasuk suatu pertemuan dengan pimpinan RS.
Elemen terapi: psikoterapi individual, konseling kelompok dan The 12-step Recovery Program. Lamanya tinggal di RS 1-3 bulan. Psychiatric Hospital:
program sangat erat kaitannya engan skedul konvensional fasilitas psikiatri.
Umumnya elemen terapi: psikofarmaka, psikoterapi berorientasi dinamikanalitik.
Sangat bermanfaat untuk pasien ketergantungan napza yang menunjukkan gangguan jiwa berat.
Cognitive Behavior Therapy (Terapi Perilaku Kognitif - sering disingkat dengan CBT), merupakan terapi yang paling sering digunakan terhadap pasien ketergantungan napza
CBT terhadap pasien ketergantungan napza pasca detoksifikasi dilakukan sebanyak 12-20 sessi seminggu sekali, didasarkan kepada social learning theories dengan analisis fungsional dan latihan ketrampilan terhadap pasien-pasien ketergantungan napza. CBT dapat juga diberikan dalam bentuk terapi kelompok atau terapi perorangan. CBT dirintis pertama kali oleh Albert Ellis dan Aron Beck sejak tahun 1963 khusus untuk pasien psikiatri dengan gangguan depresi dan
cemas. Beck mulai melakukan terapi CBT untuk
pasien ketergantungan kokain sejak tahun 1993, kemudian dimodifikasi oleh Caroll (1999). CBT terhadap pasien dengan ketergantungan opioda di Indonesia, sejauh ini belum dilakukan lebih intensif. CBT merupakan terapi berjangka singkat, sepadan dengan sebagian besar program klinis, berstruktur dan berorientasi pada sasaran. CBT untuk pasien ketergantungan napza merupakan kom-binasi dari beberapa bentuk terapi lain seperti prinsip-prinsip dari RPT dan CE-Therapy, dan kemudian diberikan berbagai tugas rumah di luar sessi. CBT terdiri dari 12 sessi @ 2 jam. Beberapa guidelines yang diberikan oleh Beck adalah :
1. Don't fire with fire 2. Maintain honesty
3. Remain focused on the goals of treatment
4. Remain focused on the patient's redeeming qualities 5. Disarm the patient with genuine humility and empathy 6. Confront, but use diplomacy.
Drug Abuse Counseling (DAC): adalah suatu bentuk pelayanan terapi yang difokuskan untuk mengidentifikasi kebutuhan spesifik sesaat. Umumnya bersifat lebih eksternal
dan bukan merupakan proses intra-psikik. DAC umumnya dilakukan oleh ex- addicts yang telah clean and sober dan men-dapatkan pendidikan khusus sebagai konselor adiksi sekurang-kurangnya selama setahun.
Relapse Prevention Training (RPT): RPT adalah prog-ram kendali diri yang didisain untuk meng-edukasi seseorang yang berusaha mengubah perilakunya, bagaimana meng-
antisipasi dan mengatasi problema relaps. RPT adalah suatu program psiko-
edukasi yang menggabungkan prosedur latihan ketrampilan perilaku dengan teknik intervensi kognitif. Prinsip utamanya adalah berdasarkan social leaming theory. Sebagian ahli dalam bidang ketergantungan zat telah melakukan sejumlah penelitian yang berkait dengan perilaku relaps sejak tahun 1985 (Marlatt and Gordon). Tujuan RPT adalah mendidik seseorang bagaimana mencapai suatu lifestyle yang seimbang dan mencegah pola kebiasaan yang
tidak sehat. Pasien dibimbing untuk mengenali high risk situation - situasi tertentu yang dapat menjadi ancaman terhadap kendali diri pasien dan dapat meningkatkan risiko relaps. Ada beberapa situasi yang tergolong high risk ; yaitu: status emosio- nal yang negatif (35% dari sampel relaps), konflik interpersonal (16% dari sampel relaps) dan tekanan sosial (20% dari sampel). Strategi RPT terdiri dari tiga kategori berikut: skill
training, cognitive refraining dan lifestyle intervention.
Cue-exposure Therapy (CE-Therapy): Pada pasien ketergantungan opioida dipaparkan sejumlah alat-alat atau situasi yang mendatangkan timbulnya craving.
Dalam proses terapi selama 20 jam (dibagi atas beberapa sessi) pada pasien diperagakan alat-alat atau situasi tersebut, untuk menurunkangejala-gejala craving. Pasien dirawat selama 3 minggu se-bagai pasien rawat inap. Bentuk lain dari CETherapy adalah extinction therapy. Banyak studi yang menggunakan CE- Therapy terhadap pasien ketergantungan opioida. CE-Therapy pada pasien yang sedang menjalani detoksifikasi dibandingkan dengan kontrol menunjukkan bahwa CE-Therapy dan CE-Therapy plus cogni-tive aversion strategy menurunkan craving cukup bermakna. Namun suatu studi kontrol lain tidak menghasilkan perbedaan hasil antara CE-Therapy saja dengan kelompok kontrol pada
follow-up pasien ketergantungan opioida. Suatu penelitian meta-analisis atas 41 studi dengan komparasi berbagai zat adik-tif, menunjukkan paradigma cue reactivity mempunyai makna klinis di masa-masa mendatang.
Opiate Antagonist Maintenance Treatment Program: Farmakoterapi rumatan pasca detox dilakukan dengan meng-gunakan Naltrekson. Program terapi tersebut
dikenal dengan istilah OpamatED (Opiate Antagonist Maintenance Therapy) yang merupakan kombinasi antara farmakoterapi dan konseling kelompok. Naltrekson adalah suatu potent competitive anta-gonist pada reseptor opioida µ.;karena itu naltrekson sangat baik digunakan untuk pasien-pasien non-dependent opioid abuser (misalnya pada beberapa orang yang dengan mudah menyelesaikan proses detoksifikasi-nya). Opamat-ED dimulai seketika setelah pasien berhasil menyelesaikan terapi rapid detox atau setelah 1-2 minggu abstinensia pada terapi detoxi-fikasi konvensional. Tujuan terapi adalah untuk mengurangi risiko relaps dan mecegah terjadinya ketergantungan fisik kembali. Banyak cara pemberian dosis harian naltrekson, antara lain 50 mg setiap hari atau dosis 100 mg/100 mg/150 mg dalam waktu 3 kali seminggu, disarankan sekurang-kurangnya selama satu tahun. Angka drop-out nya cukup tinggi. Namun sangat besar manfaatnya bagi pasien yang mempunyai motivasi tinggi, dukungan keluarga yang kuat serta berkarir dalam pekerjaan. No Smoking Clinic: adalah suatu klinik yang digunakan untuk membantu adiksi nikotin (perokok) menghentikan ke- biasaannya. Beberapa zat yang digunakan sebagai replacement therapy antara lain: nicotine patch, nicotine gum, zyban.
Co-Dependency Therapy: berdasarkan fakta yang menun-bahwa penyalahgunaan dan ketergantungan napza merupakan "family disease" dan semua anggota keluarga memerlukan pertolongan. CDTherapy dipandu oleh seorang ahli psikologi, psikiater atau seorang konselor adiksi. Filosofi yang paling sering digunakan dalam CDTherapy adalah
(15). CD-therapy dapat dilakukan dalam
berbagai bentuk seperti : -Terapi kelompok atau terbatas: beberapa orang anggota keluarga berkumpul bersama dengan anggota keluarga lainnya atau hanya terdiri dari semua anggota keluarga dari satu pasien saja. -Pasien rawat inap atau rawat jalan. CD-Therapy harus dibedakan dengan Family Therapy atau Terapi Keluarga, Spouse Therapy, Konseling Keluarga.
HARM REDUCTION PROGRAM