5 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Bahan Aktif
2.1.1 Taksonomi Tanaman Kingdom : Plantae Subkingdom : Viridiplantae Superdivisi : Embryophyta Divisi : Tracheophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Rosanae Ordo : Myrtales Famili : Myrtaceae Genus : Psidium L.
Spesies : Psidium guajava L. (ITIS, 2011)
2.1.2 Deskripsi Tanaman Jambu Biji Putih
Jambu biji berasal dari Amerika tropis, tumbuh pada tanah yang gembur maupun liat, pada tempat terbuka dan mengandung air cukup banyak. Jambu biji (Psidium guajava L) merupakan tanaman yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan fungsional karena memiliki fungsi untuk kesehatan. Sifat fungsional yang dimiliki jambu biji disebabkan oleh terdapatnya vitamin C yang cukup tinggi (Djanis and Hanafi 2009).
Tumbuhan ini biasanya memiliki tinggi 5 – 10 meter dengan batang kayu bulat sedikit licin dan berwarna coklat kehijauan. Bentuk daunnya seperti
Gambar 2. 1 Daun Psidium guajava Linn
bulat telur dengan pertulangan menyirip dan warna hijau kekuningan.
Bunganya tunggal bertangkai dengan kelopak bentuk corong dan berwarna putih kekuningan. Buah jambu biji putih berbentuk bulat telur dengan warna daging buahnya putih kekuningan dan bijinya kecil keras dengan warna lebih kuning kecoklatan. Kemudian untuk akarnya sendiri termasuk ke dalam golongan akar tunggang dengan warna kuning kecoklatan (Henderson, 2006).
2.1.3 Kandungan Daun Jambu Biji Putih
Psidium guajava L. termasuk klasifikasi Myrtaceae yang cukup dikenal beberapa bagian tanamannya memiliki khasiat dalam pengobatan herbal seperti diare, malaria, analgesik hingga antiinflamasi (Rao Ch et al. 2018). Daun jambu biji putih memiliki kandungan golongan senyawa diantaranya flavonoid, tannin serta isoprenoid (monoterpenoid dan terpenoid). Dalam hal aktivitas antioksidan, pada daun jambu biji putih ini terbukti memiliki aktivitas antioksidan yang kuat dengan pembuktian metode melalui uji DPPH, peroksidasi dan penghambatan yang kuat terhadap kematian sel oksidatif (Metwally et al. 2011). Kandungan senyawa fenolik seperti quercetin, rutin, narigin, cathecin, asam gallat dan asam chlorogenic merupakan bagian penting dalam tmbuhan karena mampu bekerja sebagai antioksidan. Pada ekstrak daun jambu biji putih memiliki kandungan asam fenolik sebebsar 103±9,3 mg/g. Senyawa fenolik pada ekstrak daun jambu biji memiliki tanggung jawab sebagai aktivitas antioksidan yang kuat. Senyawa yang mampu bekerja sebagai antioksidan alami pada ekstrak juga didapatkan dengan menggunakan pelarut yang bersifat polar sehingga lebih efektif dalam ekstraksi antioksidan alami (Chen 2007). Menurut Manikandan, telah meriview beberapa kumpulan jurnal yang membahas mengenai kandungan antioksidan pada ekstrak daun jambu biji putih dengan pelarut etanol memiliki kandungan aktivitas antioksidan yang tinggi. Terdapat inhibisi oksidasi asam linoleate sebesar 94,4% - 96,2% dalam konsentrasi 100 g/ml. Hal ini semakin meningkat sebdaning dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak daun jambu biji. Sehingga dapat dikatakan bahwa
aktivitas antioksidan disebabkan oleh pemblokiran reaksi berantai oleh asam linoleate (Manikandan and Anand 2015).
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair.
Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein, dan lain-lain.
Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Struktur kimia yang berbeda-beda akan mempengaruhi kelarutan serta senyawa- senyawa tersebut terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat, dan derajat keasaman. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang terkdanung, simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000). Hasil dari ekstraksi dinamakan sebagai ekstrak yaitu sediaan kering, kental atau cair yang diperoleh dengan mengesktraksi senyawa aktif dari simplisia menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian pelarut diuapkan dan massa yang tersisa diperlakukan sedimikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen RI, 2007). Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut, yaitu :
a. Maserasi
Maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam pelarut. Proses esktraksi metode ini menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (Syamsuni, 2006). Kemudian didapatkan hasil penarikan simplisia yang disebut maserat. Pengulangan tahapan ekstraksi maserasi atau remaserasi dilakukan dengan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat dan seterusnya (Ditjen POM, 2000). Penggunaan metode maserasi ini dapat menarik zat-zat berkhasiat yang tahan pemanasan maupun tidak tahan pemanasan (Depkes RI, 2000).
b. Perkolasi
Metode perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang biasanya dilakukan pada temperatur ruangan. Perkolaso berasal dari kata “perkolare” yang artinya penetasan (Voigt, 1995).
Permulaan perkolasi sebelumnya dilakukan maserasi terlebih dahulu dengan pelarut sekurang-kurangnya selama 3 jam. Metode ini biasanya digunakan pada serbuk simplisia yang keras dan mengandung bahan yang mudah mengembang, sehingga bila serbuk simplisia tersebut langsung dialiri dengan pelarut maka pelarut tidak dapat menembus ke seluruh sel dengan sempurna (Ditjen POM, 2000).
c. Refluks
Refluks adalah esktraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin yang baik (Ditjen POM, 2000).
d. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu/berlanjut) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40°-50°C (Ditjen POM, 2000).
Penggunaan metode ini akan menghasilkan hasil ekstrak bahan aktif yang cukup banyak meskipun pada saat pendinginannya pada suhu kamar bahan ekstrak mengendap dalam skala besar (Voigt, 1995).
2.3 Lotion
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV lotion adalah sediaan cair berupa suspensi atau dispersi yang dapat berupa suspensi zat padat dalam bentuk serbuk halus dengan bahan pensuspensi yang cocok atau emulsi tipe minyak dalam air dengan surfaktan atau emulgator yang cocok. Penggunaan lotion diaplikasikan pada kulit, mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai dan diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak (A/M) atau minyak dalam air (M/A) (Depkes RI, 1995). Proses pembentukan dispersi suatu larutan ke dalam larutan yang tidak saling bercampur dinamakan dengan emulsi yang berbentuk tetesan droplet dan dengan ukurannya yang dipengaruhi oleh tingkat kecepatan pengadukan
selama proses emulsifikasi (Silva et al. 2006). Cairan yang tidak tercampur akan membentuk sebuah droplet atau tetesan yang jika dilakukan pengadukan secara otomatis, sehingga apabila pengadukan dihentikan maka tetesan-tetesan tersebut akan bergabung menjadi satu dengan cepat sesuai dengan masing- masing kondisi cairannya dan terjadilah pemisahan. Terjadinya proses pemisahan pada emulsi ini dapat diperlambat dengan menambahkan suatu pengemulsi (emulsifier) (Rieger 2009). Lotion dengan tipe minyak dalam air (M/A) merupakan tipe yang paling banyak digunakan karena memiliki kualitas absorbsi yang sangat baik dan dapat diformulasikan menjadi produk kosmetik yang elegan (Mardikasari et al. 2017).
Pembentukan emulsi dalam kosmetik, dipanaskan kedua fase secara terpisah dengan menjaga suhu yang sama, kemudian dituangkan fase yang satu ke fase lainnya dan dilakukan pemanasan dengan suhu yang sama sembari dilakukan pengadukan. Proses pengadukan ini dilakukan hingga tercampur sempurna dan mengalami penurunan suhu sesuai suhu kamar. Suhu yang digunakan dalam proses pencampuran kedua fase tersebut digunakan suhu 70⁰C - 75⁰C dikarenakan pada suhu tersebut kedua fase akan tercampur dengan baik (Lachman, 1994). Tingkat kestabilan suatu sediaan emulsi berhubungan langsung dengan tingkat viskositasnya. Nilai viskositas yang semakin tinggi pada suatu sediaan maka sediaan emulsi yang dihasilkan akan semakin stabil dikarenakan pergerakan partikel yang cenderung sulit (Williams and Schmitt 1996). Penggunaan lotion pada umumnya digunakan dengan tujuan untuk mempertahankan kelembaban, meningkatkan kelembutan serta kehalusan pada kulit (Mitsui 1997). Produk akhir sediaan yang diperoleh dipengaruhi oleh daya campur bahan baku dengan bahan tambahan lainnya dalam mempertahankan bentuk sediaan dan mampu memberikan hasil akhir berupa kelembaban, kelembutan dan tentunya perlindungan kulit yang baik (Williams and Schmitt 1996). Terdapat pesryaratan mutu sediaan pelembab kulit menurut Stdanar Nasional Indonesia (SNI) No. 2016-4399-1996.
Tabel II.1 Persyaratan Mutu Lotion
No. Kriteria Satuan Syarat
1. Penampakan - Homogen
2. pH - 4,5 – 8,0
3. Bobot jenis gr/cm3 0,95 – 1,05
4. Viskositas cP 2000 – 50.000
5. Cemaran Mikroba
Koloni/gram Maksimum 102 (Sumber : Standart Nasional Indonesia 1996)
2.4 Kulit
2.4.1 Definisi Kulit
Kulit adalah organ terbesar yang ada pada tubuh manusia. Kulit memiliki beberapa derivate diantaranya seperti rambut, kuku, kelenjar sebasea, kelenjar keringat dan kelenjar integument. Kerja atau fungsi kulit secara spesifik bergantung terutama pada sifat epidermis pada masing-masing tubuh manusia (Kalangi 2014). Kulit secara umum memiliki 3 lapisan utama diantaranya epidermis, dermis dan jaringan subkuntanious. Terdapat lapisan jaringan epidermal rete ridge yaitu lapisan yang ada di bagian epidermis yang bekerja ke dalam lapisan jaringan dermis, dan dermal papilla yaitu lapisan yang ada di bagian dermis yang bekerja ke dalam lapisan jaringan epidermis (Shimizu 2007).
2.4.2 Struktur Kulit
Dua lapisan kulit utama diketahui epidermis yang merupakan jaringan epitel yang berasal dari eksoderm dan dermis berupa jaringan ikat yang berasal dari mesoderm. Bagian bawah lapisan dermis terdapat selapis jaringan ikat longgar berupa hypodermis yang dimana pada beberapa tempat terdiri dari jaringan lemak (Kalangi 2014).
a. Lapisan Epidermis
Lapisan epidermis memiliki rata-rata lapisan 0,2 mm dan 95%
dibentuk oleh sel berupa epidermal keratinosites dimana terbagi atas
stratum basal, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum korneum (Shimizu 2007). Lapisan sel basal (Basal Cell Layer) terletak pada bagian paling dalam yang memiliki bentuk sel kuboid atau silindris dengan intiselnya besar dan sitoplasma jenis basofilik. Pada lapisan ini biasanya terlihat gambaran mitotic sel yang dimana proliferasi selnya berfungsi untuk regenerasi epitel. Sel-sel pada lapisan ini berimigrasi ke arah permukaan untuk memasok sel pada lapisan yang lebih superfisial. Pergerakan ini dipercepat oleh adanya luka dan regenerasinya dalam keadaan normal cepat (Kalangi 2014).
Lapisan stratum spinosum ini terdiri atas beberapa lapis sel yang besar-besar berbentuk poligonal dengan inti lonjong. Sitoplasmanya kebiruan. Bila dilakukan pengamatan dengan pembesaran obyektif 45x, maka pada dinding sel yang berbatasan dengan sel di sebelahnya akan terlihat taju-taju yang seolah-olah menghubungkan sel yang satu dengan yang lainnya. Pada taju inilah terletak desmosom yang melekatkan sel- sel satu sama lain pada lapisan ini. Semakin ke atas bentuk sel semakin gepeng (Kalangi 2014).
Lapisan stratum granulosum (lapis berbutir) ini terdiri atas 2-4 lapis sel gepeng yang mengandung banyak granula basofilik yang disebut granula keratohialin, yang dengan mikroskop elektron ternyata merupakan partikel amorf tanpa membran tetapi dikelilingi ribosom.
Mikrofilamen melekat pada permukaan granula (Kalangi 2014).
Stratum lusidum (lapis bening) dibentuk oleh 2-3 lapisan sel gepeng yang tembus cahaya, dan agak eosinofilik. Tak ada inti maupun organel pada sel-sel lapisan ini. Walaupun ada sedikit desmosom, tetapi pada lapisan ini adhesi kurang sehingga pada sajian seringkali tampak garis celah yang memisahkan stratum korneum dari lapisan lain di bawahnya (Kalangi 2014).
Stratum korneum (lapis tanduk) adalah lapisan terluar epidermis yang bersentuhan langsung dengan lingkungan luar. Ketebalan stratum korneum sama pada setiap orang. Tebal lapisan ini sekitar 10-20 µm sangat hidrofobik dan mengandung sekitar 10–15 lapisan sel keratin yang
mati atau hampir mati, korneosit, yang terus-menerus diperbarui.
Tersusun oleh lipid ekstraseluler sekitar 10% dari berat kering lapisan ini dan 90% adalah protein intraseluler (terutama keratin). Stratum korneum tidak memiliki fosfolipid tetapi diperkaya dengan ceramide dan lipid netral (kolesterol, asam lemak, ester kolesterol) yang disusun dalam format bilayer yang disebut lipid channel. Rantai panjang d- hidroksikeramid memberikan kohesi di antara korneosit dengan membentuk selubung lipid yang rapat di sekitar komponen protein korneosit (Shimizu 2007).
b. Lapisan Dermis
Lapisan dermis memiliki lapisan stratum papilaris dan stratum retikularis yang terdapat pembatas diantara kedua lapisan tersebut namun tidak tegas akan tetapi saling menjalin. Stratum papilaris terlihat oleh adanya papilla dermis yang jumlahnya bervariasi antara 50 – 250/mm2, sehingga susunan lapisan ini terlihat lebih longgar. Jumlahnya banyak dan lebih dalam pada daerah yang tekanan paling besar seperti pada telapak kaki. Sebagian besar papilla nya memiliki pembuluh-pembuluh kapiler yang memberi nutrisi pada epitel di atasnya. Kandungan papilla lainnya yaitu mengandung saraf sensoris berupa badan Meissner (Kalangi 2014).
Stratum retikularis merupakan lapisan yang lebih tebal dan dalam.
Berkas-berkas kolagen kasar dan sejumlah kecil serat elastin membentuk jalinan yang padat ireguler. Pada bagian lebih dalam, jalinan lebih terbuka, rongga-rongga di antaranya terisi jaringan lemak, kelenjar keringat dan sebasea, serta folikel rambut. Serat otot polos juga ditemukan pada tempat-tempat tertentu, seperti folikel rambut, skrotum, preputium, dan puting payudara. Pada kulit wajah dan leher, serat otot skelet menyusupi jaringan ikat pada dermis. Otot-otot ini berperan untuk ekspresi wajah. Lapisan retikular menyatu dengan hipodermis/fasia superfisialis di bawahnya yaitu jaringan ikat longgar yang banyak mengandung sel lemak (Kalangi 2014).
2.4.3 Iritasi Kulit
Iritasi merupakan respon jarigan lokal yang ditdanai dengan tdana- tdana umum seperti inflamasi sampai kemerahan, edema (swelling) dan dapat disertai adanya rasa panas dan sakit/perih. Terdapatnya bahan kimia yang terlepas dari suatu sediaan atau produk yang berkontak langsung dengan kulit dapat menyebabkan bentuk iritasi tersebut (Darwis 2008). Bentuk iritasi berupa eritema terlihat pada warna kemerahan di kulit dan bentuk luka yang terlihat jika ada. Kemudian udema dapat dilihat pada tinggi permukaan kulit yang naik/bengkak dibdaning kulit yang normal. Bahan iritan menimbulkan kerusakan pada sel kulit melalui kerja kimiawi. Bahan kimia ini merusak membran lipid keratinosit, kemudian sebagian menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria, dan komponen inti. Kerusakan membran mengaktifkan beberapa mediator seperti fosfolipase, asam arakidonat (AA) yang dirubah menjadi prostatgldanin (PG) dan leukotrien (LT), diasilgliserida (DAG), Platelet Activating Lactor (PAF), dan inositida yang menginduksi terjadinya vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas vaskuler. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler ini yang kemudian menunjukkan gejala eritema dan udema yang disebut iritasi. Iritasi pada kulit ini terbagi atas dua macam diantaranya iritasi primer dan sensitisasi.
a. Iritasi Primer
Iritasi primer merupakan reaksi iritasi yang umum terlihat dalam pemakaian pertama suatu sediaan atau produk pada tempat yang sama seperti kemerahan, pembengkakan dan gatal-gatal yang terkadang diikuti rasa panas.
b. Reaksi Sensitisasi
Reaksi sensitisasi merupakan reaksi iritasi pada kulit yang biasanya terjadi sebagai akibat dari kontak yang berulang dari suatu sediaan atau produk topikal terhadap system imun tubuh yang ditdanai dengan adanya kemerahan dan edema (swelling).
2.4.4 Metode Uji Iritasi
Penggunaan produk kosmetik secara topikal sehari-hari atau beberapa kali sehari dapat menyebabkan bahan menumpuk di kulit dan memungkinkan menyebabkan risiko reaksi yang mungkin dapat merugikan penggunanya. Meskipun bahan yang terkdanung dalam produk memiliki konsentrasi rendah, reaksi iritasi mungkin saja dapat terjadi akibat penggunaan secara terus-menerus. Beberapa contoh kasus reaksi iritan terjadi pada pengguna krim siang dan malam, foundation, hingga produk pembersih. Hal ini dikarenakan produk-produk tersebut menggunakan sistem pengawet yang sama untuk semua produknya.
Bahan-bahan tambahan yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan sediaan yang memungkinkan terjadi reaksi antar bahan sehingga menghasilkan reaksi iritan pada kulit diantaranya bahan pengawet, pengemulsi, antioksidan dan parfum (Barel, Paye, and Maibach 2001).
Reaksi iritan adalah bentuk subklinis dari dermatitis iritan dan ditdanai dengan munculnya tdana-tdana klinis seperti kekeringan, kemerahan, gatal-gatal, jerawat, dan reaksi kulit lainnya (Barel et al.
2001). Sehingga untuk meminimalisir munculnya efek samping berupa reaksi iritan tersebut, perlu dilakukan pengujian terhadap sediaan yang telah dibuat dengan metode uji iritasi. Jenis metode uji iritasi sangatlah bervariasi baik secara in vivo, in vitro ataupun ex vivo. Terdapat tiga metode in vivo / ex vivo, yaitu: uji korosi kulit (Corrositex®), uji opacity dan permeabilitas kornea bovine (Bovine Corneal Opacity dan Permeability), dan uji pada telur ayam menggunakan bagian membran chorioallantoic (Hen’s Egg Test on the Chorioallantoic) (Cazedey et al.
2009).
2.4.4.1 Metode Uji Korosi Kulit / Dermal Corrosion Test Method (Corrositex®)
Corrositex® merupakan sebuah metode alternative in vitro ke metode in vivo yang bertujuan untuk menilai potensi bahan kimia yang menyebabkan korosi pada kulit. Bahan-bahan kimia yang dapat bersifat korosif pada kulit dalam metode ini
dibagi menjadi 3 sub kelompok : (I) Great danger, (II) Medium danger, dan (III) Least danger. Pengelompokan ini didasarkan pada hasil korosi membran atau hasil pewarnaan pada sistem deteksi. Bahan pengujian dalam metode ini digunakan tabung plastik yang diisi dengan sistem deteksi kimia (Chemical Detection System) kemudian ditutupi dengan membran. Sediaan yang diujikan diletakkan pada membran. Jika zat kimia bersifat korosif, akan menembus membran dan menghasilkan perubahan warna pada CDS, namun jika zat kimia non-korosif maka bentuk membran akan tetap utuh dan tidak terjadi perubahan warna.
Persiapan matriks membran yang akan digunakan harus dilakukan kurang lebih dua jam sebelum melakukan pengujian.
Matriks membran ini dilengkapi dengan membran bentuk serbuk dan pengencernya. Dalam melakukan prosedur metode ini, harus dilakukan pengadukan dan dipanaskan hingga 70⁰C dalam penangas air sampai matriks membran benar-benar larut kemudian didinginkan hingga suhu mencapai 2⁰C – 8⁰C (Cazedey et al. 2009).
2.4.4.2 Bovine Corneal Opacity dan Permeability (BCOP) Assay Metode BCOP ini dikembangkan sebagai alternatif untuk Draize Test. Tujuan penggunaan metode ini adalah untuk mengevaluasi potensi iritasi pada mata dari bahan uji sebagai ukuran kapasitas menginduksi opasitas dan atau permeabilitas kornea. Opasitas kornea dapat disebabkan oleh adanya denaturasi protein, presipitasi, atau induksi pembengkakan seluler stroma.
Permeabilitas kornea dinilai menggunakan fluorescein yang ditdanai dengan hilangnya persimpangan dan sifat penghalang membran sel epitel kornea. Pengujian menggunakan metode ini dibagi atas 2 pengujian yaitu opasitas dan permeabilitas.
Pengujian opasitas ini digunakan kornea mata sapi yang telah mati, kemudian direndam dalam larutan garam dingin. Kornea sapi yang digunakan sebelumnya diperiksa dan dipilih yang
masih bagus dan ditempatkan di ruang BCOP khusus bersamaan dengan media essensial minimum (Minimum Essential Medium / MEM) dimana tetap berhubungan dengan epitel dan endothelium kornea. Proses inkubasi selama 1 jam pada temperatur 32⁰C dan dilakukan pembacaan awal opasitas (pre-test) menggunakan opasitometer. Nilai opasitas yang diperoleh dengan inkubasi kemudian dikurangi dari nilai opasitas yang dibaca dalam pre-test sehingga memberikan nilai yang benar (Cazedey et al. 2009).
Selanjutnya pengujian permeabilitas dilakukan dengan melihat hasil pengukuran fluorescein pada kornea. Rata-rata sampel yang diambil dari ruang posterior dan diukur dengan spektrofotometri menggunakan panjang gelombang 490 nm untuk menentukan jumlah fluorescein yang terdapat dalam kornea (Cazedey et al. 2009).
2.4.4.3 Hen’s Egg Test on the Chorioallantoic Membrane (HET-CAM) Hen’s Egg Test on the Chorioallantoic Membrane (HET- CAM) adalah metode alternatif lain dalam melakukan eksperimen hewan untuk menguji sifat korosif dan atau iritasi okular dengan menggunakan membran chorioallantoic dari telur ayam berembrio. Penilaian metode ini dilihat dari kerusakan pada membran untuk menentukan potensi terjadinya iritasi pada konjungtiva. Efek yang dihasilkan pada pembuluh darah kecil dan protein dari jaringan lunak membran chorioallantoic dikatakan memiliki kesamaan dengan efek yang dihasilkan oleh zat-zat yang terdapat pada mata kelinci. Membran chorioallantoic (CAM) adalah jaringan lengkap yang mengandung pembuluh arteri, pembuluh vena, serta pembuluh kapiler dan secara teknis mudah dipelajari. CAM memberikan respon inflamasi yang serupa dengan hasil pengamatan menggunakan Draize Test. Hasil pengamatan dalam vaskularisasinya memberikan hasil yang ideal dalam studi iritasi mata. Prinsip penggunaan metode ini berdasarkan pada substansi uji (0,3g sediaan padat dan 0,1g - 0,3g
sediaan cair) dalam membran chorioallantoic telur yang telah dibuahi selama kurang lebih 9-10 hari yang kemudian hasil penilaiannya berdasarkan jenis iritasi (lisis, perdarahan atau koagulasi) (Cazedey et al. 2009).
Pada penilitian ini digunakan metode HET-CAM (Hen’s Egg Test on Chorioallantoic Membrane) dengan mempertimbangkan keuntungan dalam penggunaannya yaitu dapat mempersingkat waktu dan biaya pengujian sementara analisis kuantitatif digunakan dalam beberapa parameter. Metode ini kemungkinan terjadi adanya keterlambatan dalam tanggapan cukup minim, tidak terdapatnya lapisan yang mempu meningkatkan kemungkinan munculnya positif palsu, serta ketidakmampuan untuk menilai kerusakan yang dapat dikembalikan.
2.5 Tinjauan Bahan Tambahan 2.5.1 Propilenglycol
Propilenglycol memiliki sinonim dihydroxypropane, methyl glycol. Memiliki rumus molekul C3H8O2. Merupakan cairan yang bening, kental, tidak berbau dan tidak berwarna, dengan rasa manis, menyerupai gliserin. Berfungsi sebagai desinfektan, pelarut, pengawet antimikroba, zat penstabil serta sebagai cosolvent untuk meningkatkan kelarutan senyawa yang tidak larut dengan baik.
Bahan ini sering digunakan sebagai pelarut dan pengawet karena propilen glycol ini lebih baik dalam melarutkan bahan, antara lain seperti obat sulfa, vitamin A dan D, fenol dan banyak anestesi lokal sehingga lebih baik daripada senyawa gliserin. Kemudian bahan ini juga banyak digunakan sebagai bahan kimia tambahan untuk menjaga ketahanan dari suatu produk seperti plastik, filamen dan bahan pelapis yang digunakan dalam industri dan kosmetik. Pada bidang industri bahan makanan selain digunakan sebagai pengemulsi juga berguna untuk memberikan rasa yang seragam.
Propilen glycol harus berada di tempat sejuk yang terlindung dari
cahaya, ditempatkan di dalam wadah tertutup dan kering, karena jika bahan ini berada di ruang terbuka akan mudah teroksidasi tetapi akan stabil jika di dalam wadah tertutup (Rowe et al., 2009).
Gambar 2. 2 Struktur kimia Propilenglycol (Rowe, Sheskey, and Owen 2009)
2.5.2 Paraffin Cair
Paraffin cair memiliki sinonim paraffinum durum, dengan rumus molekul CNH2NO2. Parafin liquid diperoleh dari hasil penyulingan minyak bumi, dan merupakan zat yang tidak berwarna, tidak berbau dan tembus cahaya. Juga sedikit berminyak jika disentuh.
Bahan ini sering digunakan untuk pelapis kapsul dan tablet, dan digunakan dalam beberapa aplikasi makanan. Parafin terbakar dengan asap tebal, jelaga. Paraffin stabil dalam penyimpanan, meskipun jika terjadi pencairan dan pengerasan yang berulang dapat mengubah sifat fisiknya. Parafin harus disimpan pada suhu rendah dan di dalam wadah yang tertutup rapat. Bahan ini dianggap tidak beracun dan tidak mengandung iritasi jika digunakan dalam salep topikal dan sebagai zat pelapis untuk tablet dan kapsul.
Penggunaan paraffin cair dalam sedian topical seprti ointment lebih sering berfungsi sebagai emollient untuk kulit (Aronson, 2016;
Rowe et al., 2009).
Gambar 2. 3 Struktur kimia Liquidum paraffin (Rowe et al. 2009)
2.5.3 Aquadest
Aquadest merupakan pelarut yang jauh lebih baik dibdaningkan hampir semua cairan yang umum dijumpai. Senyawa yang segera melarut di dalam akuadest mencakup berbagai senyawa organik netral yang mempunyai gugus fungsional polar seperti gula, alkohol, aldehida, dan keton. Kelarutannya disebabkan oleh kecenderungan molekul akuadest untuk membentuk ikatan hidrogen dengan gugus hidroksil gula dan alkohol atau gugus karbonil aldehida dan keton (Lehninger 1982). Akuades merupakan air hasil penyulingan yang bebas dari zat-zat pengotor sehingga bersifat murni dalam laboratorium. Akuadest berwarna bening, tidak berbau, dan tidak memiliki rasa (Petrucci 2008).
2.5.4 Tween 80
Tween 80 memiliki sinonim Polysorbate 80 dengan rumus molekul C6H126O26. Bentuk pemeriannya berupa minyak berwarna kuning, berbau khas dan hangat, dan rasa agak pahit. Tween 80 ini larut dalam air dan etanol, tidak larut dalam minyak mineral dan minyak sayur. HLB Tween 80 bernilai 15, biasanya digunakan sebagai emulgator dengan persentase penggunaan dalam sediaan M/A 1%
- 15% dan penggunaan dengan emulgator lain 1% - 10% (Rowe et al. 2009)
Gambar 2. 4 Struktur kimia Tween 80 (Rowe et al. 2009)
2.5.5 Asam Stearat
Asam stearat memiliki sinonim Stearophanic acid dan Cetylacetic acid, dengan rumus molekul CH3(CH2)16COOH. Mempunyai bentuk pemerian berupa padatan dan atau kristal putih, dapat mengapung di atas air dan tidak cepat larut dalam air. Asam stearat adalah salah satu jenis asam lemak jenuh yang diperoleh dari lemak mayoritas terdiri dari asam heksadekanoat dan oktadekanoat, serta minyak hewani dan minyak nabati. Asam stearat banyak digunakan dalam obat-obatan, makanan, dan kosmetik sebagai bahan utama dalam cocoa butter dan shea butter, sebagai perekat dalam lilin, juga menjadi bahan dalam sejumlah pestisida (Rowe et al. 2009).
Gambar 2. 5 Struktur kimia Asam stearat (Rowe et al. 2009) 2.5.6 Setil Alkohol
Setil alkohol memiiki sinonim palmityl alcohol dengan rumus molekul C16H34O. Bentuk pemerian seperti serpihan putih atau butiran putih, tidak memiliki rasa dan bau. Setil alkohol diperoleh dari hasil akhir produksi minyak nabati seperti minyak kelapa sawit dan minyak kelapa. Biasanya digunakan untuk meningkatkan tekstur, konsistensi dan stabilitas, juga dapat melembutkan dan memberikan rasa halus kulit. Setil alkohol sering digunakan terutama dalam industri kosmetik seperti lotion, krim dan salep.
Kemudian bahan ini memiliki manfaat untuk mengobati dan melindungi kulit terhadap iritasi dan luka yang disebabkan oleh gigitan serangga, sengatan dan ruam. Bahan ini dapat terbakar bila terkena panas berlebih dan terkena api sehingga harus ditempatkan di tempat yang sejuk dan kering dan harus disimpan dalam wadah yang tertutup (Rowe et al., 2009).
Gambar 2. 6 Struktur kimia Setil alkohol (Rowe et al., 2009) 2.5.7 Natrium Benzoate
Natrium benzoate memiliki sinonim Benzoic acid sodium salt;
benzoate of soda dengan rumus molekul C7H5NaO2. Natrium benzoate berbentuk seperti kristal atau butiran putih, tidak berbau tetapi sedikit beraroma benzoin, dan memiliki rasa asin dan manis.
Memiliki kegunaan sebagai pengawet antimikroba dalam makanan dan minuman dan juga sebagai pelumas kapsul dalam obat-obatan.
Penyimpanan natrium benzoate harus disimpan dalam wadah yang tertutup dan ditempatkan di tempat yang sejuk dan kering (Rowe et al., 2009).
Gambar 2. 7 Struktur kimia Natrium benzoate (Rowe et al., 2009) 2.5.8 Butyl Hidroxytoluene
BHT (Butyl Hidroxytoluene) memiliki sinonim Agidol dengan rumus molekul C15H24O biasanya digunakan sebagai antioksidan dalam kosmetik, makanan, dan obat-obatan terutama digunakan untuk menunda atau mencegah terjadinya tengik atau oksidatif dari lemak, minyak dan untuk mencegah hilangnya aktifitas yang larut dalam minyak. Bentuk pemerian BHT berupa padatan kristalin putih atau kuning pucat atau bubuk dengan aroma fenolik yang samar. Penyimpanan BHT harus terlindung dari cahaya, berada di tempat sejuk dan kering, tidak terkena uap air dan panas, karena
akan merubah warna dari sediaan. Jika sediaan ini terkena fenolik akan mengalami reaksi fenol serta tidak cocok dengan zat pengoksidasi kuat seperti peroksida dan permanganate karena dapat menyebabkan pembakaran spontan (Rowe et al., 2009).
Gambar 2. 8 Struktur kimia Butyl hidroxytoluene (Rowe et al., 2009)