MODEL RANTAI SUPLAI PADA PERMINTAAN NON STASIONER
TESIS
Oleh
LAMTIUR SINAMBELA 127021021/MT
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2014
MODEL RANTAI SUPLAI PADA PERMINTAAN NON STASIONER
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Matematika pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara
Oleh
LAMTIUR SINAMBELA 127021021/MT
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
Judul Tesis : MODEL RANTAI SUPLAI PADA PERMINTAAN NON STASIONER Nama Mahasiswa : Lamtiur Sinambela
Nomor Pokok : 127021021
Program Studi : Magister Matematika
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Opim Salim S, M.Sc) (Dr. Sutarman, M.Sc)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Herman Mawengkang) (Dr. Sutarman, M.Sc)
Tanggal lulus : 5 Juni 2014
Telah diuji pada Tanggal 5 Juni 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Opim Salim S, M.Sc Anggota : 1. Dr. Sutarman, M.Sc
PERNYATAAN
MODEL RANTAI SUPLAI PADA PERMINTAAN NON STASIONER
TESIS
Saya mengakui bahwa tesis ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing dituliskan sumbernya
Medan, 5 Juni 2014 Penulis,
Lamtiur Sinambela
ABSTRAK
Siklus edar produk baru menjadi singkat dan semakin singkat di semua pasar. Pa- da barang elektronik misalnya, siklus edar diukur pada unit bulanan, 6-12 bulan lamanya. Pada siklus edar produk yang singkat tersebut, peningkatan perminta- an produk sangat sulit diperkirakan. Sehingga permintaan tidak pernah stasioner karena rata-rata permintaan meningkat melebihi siklus edar produk tersebut dan sebaliknya. Dalam tulisan ini, akan dipertimbangkan masalah dimana rantai su- plai menempatkan stok pengaman untuk menyediakan layanan tingkat tinggi ke pelanggan akhir dengan biaya minimum, juga memperluas model permintaan sta- sioner ke kasus permintaan non stasioner seperti yang terjadi pada produk dengan siklus edar singkat. Dengan mengasumsikan model rantai suplai sebagai sebuah jaringan dimana setiap stage pada rantai suplai beroperasi dengan kebijakan stok pokok secara periodik dimana permintaan dibatasi dan adanya waktu layanan garansi pada setiap stage dan pelanggannya. Penelitian ini menggunakan pro- gram analytic solver pada excel yang melakukan proses pengacakan pada variabel permintaan.
Kata kunci: Kebijakan stok pokok, Sistem inventori, Permintaan non stasioner, Rantai suplai multistage, Stok pengaman
ABSTRACT
The life cycle of new product is becoming shorter and shorter in all markets. Given these short product life cycles, product demand is increasingly difficult to forecast.
Furthermore, demand is never really stationary because the demand rates evolves over the life of the product. In this paper, we consider the problem of where in supply chain to place strategic safety stocks to provide a high level service to the final customer with minimum cost, and extend the model for stationary demand to the case of stationary demand, as might occur for products with short life cycles.
We assume that we can model the supply chain as a network that each stage in the supply chain operates with a periodic reviuw base-stock policy, that demand is bounded and that there is guaranteed service time between every stage and its customers. This study uses the analytic solver program in excel that does the randomization process on the variable demand.
Keyword: Base-stock policy, Inventory system, Nonstationary demand, Multistage supply chain, Safety stock
KATA PENGANTAR
Dengan kerendahan hati dan penuh ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk segala berkat dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul : MODEL RANTAI SUPLAI PADA PERMINTAAN NON STASIONER. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Matematika Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM). Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
Dr. Sutarman, M.Sc selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Penge- tahuan Alam Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai pembimbing kedua dalam penyelesaian tesis ini.
Prof. Dr. Herman Mawengkang Ketua Program Studi Magister Matematika pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
Prof. Dr. Opim Salim S, M.Sc selaku pembimbing utama yang telah mem- berikan banyak bimbingan dalam penyelesaian tesis ini.
Prof. Dr. Saib Suwilo, M.Sc selaku Sekretaris Program Studi Magister Ma- tematika pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Su- matera Utara dan juga.
Dr. Syahril Efendi, S.Si, M.IT selaku pembanding yang telah memberi banyak masukan dalam penyelesaian tesis ini.
Seluruh rekan-rekan Mahasiswa angkatan 2012 Program Studi Magister Matematika Universitas Sumatera Utara khususnya Wenny, Sari, Hana yang telah memberikan bantuan moril dan dorongan kepada penulis dan tidak lupa kepada Saudari Misiani, S.Si selaku staf Administrasi Program Studi Ma- gister Matematika Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan
Secara khusus penulis menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya untuk keluarga tercinta yang tetap setia mendukung dan mendoakan, Ayahanda M. Si- nambela dan Ibunda L. Silaban, serta kakak, adik-adik Herda, Esra, F.E.S, Dahlia, Ruth, Daniel, Silvia, Theresia. Juga berterimakasih kepada Alexan- der L.N yang selalu memberikan dukungan, semangat dan doa selama penger- jaan tesis ini. Penulis juga berterimakasih atas dukungan doa dan semangat yang diberikan oleh sahabat saya Dame, Debo, Beta, semoga Tuhan yang Maha Esa membalas segala kebaikan yang telah diberikan. Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun demikian penulis berharap semoga tesis ini berman- faat bagi pembaca dan pihak-pihak yang memerlukannya.
Medan, 5 Juni 2014 Penulis,
Lamtiur Sinambela
RIWAYAT HIDUP
Lamtiur Sinambela dilahirkan di Habeahan pada tanggal 25 November 1985 dari pasangan Bapak M. Sinambela dan Ibu L. Silaban. Penulis menamatkan pen- didikan Sekolah Dasar Negeri 174536 Habeahan tahun 1998, Sekolah Menengah Pertama (SMP) RK. Santo Yosef 2001, Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Lintongnihuta tahun 2004. Pada tahun 2004 memasuki Perguruan Tinggi Univer- sitas Sumatera Utara, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Pro- gram Studi Matematika pada Jenjang Strata-1 dan lulus tahun 2008. Kemudian pada tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikan pada Program Studi Magister Matematika Universitas Sumatera Utara.
DAFTAR ISI
Halaman
PERNYATAAN i
ABSTRAK ii
ABSTRACT iii
KATA PENGANTAR iv
RIWAYAT HIDUP vi
DAFTAR ISI vii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Manfaat Penelitian 3
1.5 Metode Penelitian 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Rantai Suplai 5
2.2 Pengendalian Persediaan (Inventori) 6
2.2.1 Jenis-jenis persediaan (inventori) 8 2.2.2 Komponen-komponen dasar biaya persediaan 10
2.2.3 Model persediaan 13
BAB 3 LANDASAN TEORI 16
3.1 Model Rantai Suplai pada Permintaan Stasioner 16
3.1.1 Tenggang waktu produksi 16
3.1.2 Kebijakan pengisian kembali stok pokok secara periodik 17
3.1.3 Proses permintaan 17
3.2 Model Rantai Suplai 18 3.2.1 Penentuan stok pokok (base stock) 18 3.2.2 Model stok pengaman (safety stock) 19
3.2.3 Model multistage 19
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 21
4.1 Model Permintaan Non Stasioner 21
4.1.1 Asumsi 21
4.2 Model Rantai Suplai 24
4.2.1 Model inventori 24
4.2.2 Penentuan stok pokok 26
4.2.3 Model stok pengaman (safety stock) 26
4.2.4 Model multistage 27
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 32
5.1 KESIMPULAN 32
5.2 SARAN 32
DAFTAR PUSTAKA 33
ABSTRAK
Siklus edar produk baru menjadi singkat dan semakin singkat di semua pasar. Pa- da barang elektronik misalnya, siklus edar diukur pada unit bulanan, 6-12 bulan lamanya. Pada siklus edar produk yang singkat tersebut, peningkatan perminta- an produk sangat sulit diperkirakan. Sehingga permintaan tidak pernah stasioner karena rata-rata permintaan meningkat melebihi siklus edar produk tersebut dan sebaliknya. Dalam tulisan ini, akan dipertimbangkan masalah dimana rantai su- plai menempatkan stok pengaman untuk menyediakan layanan tingkat tinggi ke pelanggan akhir dengan biaya minimum, juga memperluas model permintaan sta- sioner ke kasus permintaan non stasioner seperti yang terjadi pada produk dengan siklus edar singkat. Dengan mengasumsikan model rantai suplai sebagai sebuah jaringan dimana setiap stage pada rantai suplai beroperasi dengan kebijakan stok pokok secara periodik dimana permintaan dibatasi dan adanya waktu layanan garansi pada setiap stage dan pelanggannya. Penelitian ini menggunakan pro- gram analytic solver pada excel yang melakukan proses pengacakan pada variabel permintaan.
Kata kunci: Kebijakan stok pokok, Sistem inventori, Permintaan non stasioner, Rantai suplai multistage, Stok pengaman
ABSTRACT
The life cycle of new product is becoming shorter and shorter in all markets. Given these short product life cycles, product demand is increasingly difficult to forecast.
Furthermore, demand is never really stationary because the demand rates evolves over the life of the product. In this paper, we consider the problem of where in supply chain to place strategic safety stocks to provide a high level service to the final customer with minimum cost, and extend the model for stationary demand to the case of stationary demand, as might occur for products with short life cycles.
We assume that we can model the supply chain as a network that each stage in the supply chain operates with a periodic reviuw base-stock policy, that demand is bounded and that there is guaranteed service time between every stage and its customers. This study uses the analytic solver program in excel that does the randomization process on the variable demand.
Keyword: Base-stock policy, Inventory system, Nonstationary demand, Multistage supply chain, Safety stock
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perusahaan manufakturing sedang memperkenalkan produk-produk baru pada frekuensi yang tinggi. Siklus peredaran produk baru tersebut terjadi pada waktu yang sangat singkat. Hal ini mengakibatkan sangat sulit untuk menyesuaikan per- sediaan dengan permintaan. Masalah utama adalah proses permintaan meningkat melebihi jumlah produk yang beredar atau sebaliknya. Hal ini sering disebut de- ngan istilah permintaan tidak stasioner.
Masa peredaran produk baru pada dasarnya terdiri atas 4 fase yaitu
1. Fase peluncuran produk dimana produk diperkenalkan ke pasar;
2. Fase landai permintaan dimana tingkat permintaan meningkat dengan cepat;
3. Fase permintaan maksimum dimana produk yang terjual pada tingkat mak- simum dan
4. Fase akhir peredaran dimana permintaan produk menurun sehingga harus diambil kembali dari pasar.
Penelitian ini menguji masalah penempatan stok pengaman pada rantai su- plai dengan cara menghitung ketidakpastian proses permintaan non stasioner.
Pada masalah pemodelan proses permintaan non stasioner, pendekatan pragma- tis memenuhi aproksimasi. Hal ini menggunakan model kerangka Graves dan Willems (2000) dan memperkenalkan model permintaan non stasioner. Akan di- tunjukkan bahwa optimisasi penempatan stok pengaman mengacu ke permintaan non stasioner. Akan ditunjukkan asumsi kunci pemodelan rantai suplai dan per- mintaan non stasionernya.
Morton dan Pentico (1995), Bollapragada dan Morton (1999) fokus pada tata cara kebijakan inventori untuk single stage menghadapi proses permintaan non stasioner penanganan proposional dan harga backorder. Jika jumlah pesanan nol, kebijakan stok pokok pada waktu tetap menjadi optimal. Untuk nilai pesanan
2
bukan nol, kebijakan waktu tidak tetap adalah optimal. Penelitian ini mengem- bangkan batas atas dan bawah secara efisien pada kebijakan optimalnya. Untuk produk dengan siklus edar singkat, permasalahan pada perkiraan permintaan se- cara akurat sama-sama penting dalam penentuan kebijakan inventori. Kurawar- wala dan Matsuo (1996) mengembangkan langkah-langkah yang dipadukan pada peramalan dan manajemen inventori produk siklus edar singkat. Pendekatan ini memperkirakan parameter-parameter pada model trend pertumbuhan musiman dan menggunakannya sebagai masukan pada model inventori stokastik terbatas.
Permintaan non stasioner dapat juga dimodelkan sebagai proses permin- taan Markov yang dimodulasikan dengan distribusi Poisson. Contohnya, Chen dan Song (2001) menunjukkan keoptimalan kebijakan stok pokok eselon dengan adanya batas persediaan maksimum dan minimum pada jaringan serial (pokok).
Contoh kedua adalah Abhyankar dan Graves (2001) menentukan posisi optimal pada pembatasan inventori pada rantai suplai tingkatan serial yang mengikuti Markov dimodulasikan dengan permintaan stage.
Dengan literatur Bullwhip, sebagian tulisan mengembangkan model per- mintaan non stasioner. Tulisan ini secara umum mengasumsikan setiap stage mengikuti kebijakan stok adaptif kemudian menganalisa pengaruh teknik pera- malan berbeda dan menyesuaikan distribusi permintaan menggunakan syarat in- ventori pada setiap stage. Dalam hal ini, Lee et al., (1997) mendemonstrasikan penyesuaian adanya batas persediaan maksimum dan minimum pada retailer (pedagang eceran) yang menjelaskan variansi sinyal pesanan pedagang eceran me- lengkapi manufakturer. Dua contoh lainnya adalah Graves (1999) dan Chen et al., (2000).
Akhirnya, ada sebuah satuan penelitian yang muncul pada pemodelan rantai suplai mengenai permintaan non stasioner. Beyer dan Ward (2000) menggunakan simulasi untuk membuat model yang akurat pada pemenuhan inventori rantai suplai 2 eselon dan menggunakan 2 cara distribusi dan menjadi subjek pada per- mintaan non stasioner. Jonson dan Anderson (2000) menjelaskan keuntungan- keuntungan penundaan rantai suplai yang memperkenalkan produk multiple de- ngan produk masa edar singkat.
3
Ettl et al., (2000) meminimumkan total inventori pada sistem inventori mul- tistage dimana pokok masalahnya adalah mengaproksimasikan penambahan teng- gang waktu pada rantai suplai. Pada model permintaan non stasioner, akan di- pisahkan rentang perencanaan ke fase himpunan stasioner.
1.2 Perumusan Masalah
Pada produk dengan siklus edar singkat, peningkatan permintaan sangat sulit diperkirakan. Sehingga permintaan tidak pernah stasioner karena tingkat permin- taan meningkat melebihi arus produk yang tersedia atau sebaliknya persediaan tidak bisa memenuhi permintaan.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperluas model permintaan stasioner ke per- mintaan non stasioner yang mungkin terjadi pada produk dengan siklus edar singkat dan memperluas secara langsung model permintaan untuk menentukan stok pengaman dimana permintaan bersifat non stasioner pada kebijakan waktu layanan tetap.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk memperluas model permintaan stasioner ke per- mintaan non stasioner yang terjadi pada produk dengan siklus edar singkat dan memposisikan stok pengaman rantai suplai ke permintaan non stasioner sehingga model ini sangat membantu untuk menyesuaikan persediaan dengan permintaan untuk mendapatkan hasil maksimum dengan biaya minimum.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian ini bersifat literatur dan kepustakaan. Untuk memperoleh model penempatan inventori pada rantai suplai dengan permintaan non stasioner adalah langkah-langkah yang akan dilakukan:
4
1. Mengumpulkan informasi dari literatur-literatur mengenai rantai suplai de- ngan permintaan non stasioner;
2. Mempelajari teori-teori yang terkait dengan model rantai suplai dan proses permintaan stasioner kemudian perluasannya ke permintaan non stasioner;
3. Merancang model penempatan inventori rantai suplai dengan perminta- an non stasioner dengan tahapan mengajukan asumsi awal, memaparkan masalah secara konseptual, membuat model penempatan inventori pada rantai suplai dengan permintaan non stasioner.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dijelaskan teori-teori yang berhubungan dengan model rantai suplai pada permintaan stasioner. Salah satu konsep yang dibahas adalah rantai suplai menurut Kimball (1998) dan supply chain model in non stationary demand menurut Graves dan Willems (2000). Selanjutnya yang akan diuraikan juga adalah jenis-jenis persediaan, komponen-komponen dasar biaya persediaan dan model persediaan.
2.1 Rantai Suplai
Rantai suplai adalah suatu jejaring dari berbagai organisasi yang menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada para pelanggannya. Rantai ini juga meru- pakan jaringan atau jejaring dari berbagai organisasi yang saling berhubungan dan mempunyai tujuan sama, yaitu sebaik mungkin menyelenggarakan pengadaan atau penyaluran barang tersebut. Kata ”penyaluran” mungkin kurang tepat kare- na istilah supply meliputi juga proses perubahan barang tersebut, misalnya dari bahan mentah menjadi barang jadi (Kimball 1998).
Pelaku-pelaku rantai suplai dapat mengembangkan suatu model rantai su- plai, yaitu suatu gambaran praktis mengenai hubungan mata rantai dari pelaku- pelaku yang dapat membentuk seperti mata rantai yang terhubung satu dengan yang lain. Distribusi produk sering menciptakan hirarki dari lokasi penyimpanan meliputi pusat-pusat produksi, pusat-pusat distribusi, grosir, dan pengecer. Dis- tribusi produk sering dikenal dengan istilah logistik, nama yang sering digunakan dalam lingkungan militer.
Distribusi barang mengacu pada hubungan yang ada di antara aktivitas produksi dan pelanggan akhir, terdiri atas beberapa jenis persediaan yang harus dikelola. Tujuan utama manajemen distribusi persediaan adalah memperoleh persediaan dalam tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, kualitas yang tepat, serta ongkos yang memadai. Tujuan ini untuk mencapai tingkat pelayanan yang diinginkan pada atau di bawah tingkat ongkos yang telah ditetapkan.
6
Terdapat 3 bagian dalam rantai suplai antara lain:
1. Rantai persediaan hulu (upstream supply chain);
Rantai suplai hulu merupakan aktivitas dari perusahaan manufaktur dengan para penyalurannya. Aktivitas utama adalah pengadaan material atau ba- han mentah.
2. Rantai persediaan internal (internal supply chain);
Rantai persediaan internal merupakan semua proses pemasukan barang ke gudang yang digunakan dalam mentransformasikan masukan dari rantai suplai hulu ke rantai suplai hilir. Aktivitas utamanya adalah produksi, pabrikasi, dan pengendalian persediaan.
3. Rantai persediaan hilir (downstream supply chain).
Merupakan aktivitas yang melibatkan pengiriman produk kepada pelanggan akhir. Aktivitas utamanya adalah distribusi, pergudangan, transportasi dan pelayanan.
2.2 Pengendalian Persediaan (Inventori)
Dalam melaksanakan aktivitas produksinya, setiap perusahaan, apakah itu pe- rusahaan jasa, atau pun perusahaan perdagangan serta perusahaan manufaktur pasti mengadakan persediaan. Tanpa persediaan, perusahaan akan dihadapkan pada resiko yaitu kekurangan produk pada suatu waktu membuat permintaan pelanggan tidak terpenuhi, namun persediaan yang berlebih akan membuat biaya penyimpanan relatif besar.
Pengertian persediaan menurut Kurawarwala dan Matsuo (1996) adalah sua- tu aktiva yang meliputi barang-barang milik perusahaan dengan maksud untuk dijual dalam suatu periode usaha yang normal, atau persediaan barang-barang yang masih dalam pengerjaan/proses produksi, ataupun persediaan bahan baku yang menunggu penggunaannya dalam suatu proses produksi. Jadi persediaan merupakan sejumlah bahan-bahan, komponen yang disediakan untuk memenuhi permintaan dari konsumen atau pelanggan.
7
1. Menghilangkan resiko keterlambatan datangnya barang atau bahan-bahan yang dibutuhkan perusahaan;
2. Menghilangkan resiko dari material yang dipesan tidak baik sehingga harus dikembalikan;
3. Untuk menumpuk bahan-bahan yang dihasilkan secara musiman sehingga dapat digunakan bila bahan itu tidak ada dalam pasaran;
4. Mempertahankan stabilitas operasi perusahaan atau menjamin kelancaran arus produksi;
5. Mencapai penggunaan mesin yang optimal;
6. Memberikan pelayanan kepada langganan dengan sebaik-baiknya dimana keinginan pelanggan pada suatu waktu dapat dipenuhi atau memberikan jaminan tetap tersedianya barang jadi tersebut;
7. Membuat pengadaan atau produksi tidak perlu sesuai dengan penggunaan atau penjualan.
Persediaan sangat penting artinya bagi suatu perusahaan karena persediaan terse- but menghubungkan satu operasi ke operasi selanjutnya yang berurutan dalam pembuatan suatu barang untuk kemudian disampaikan ke konsumen. Persediaan dapat dioptimalkan dengan mengadakan perencanaan produksi yang lebih baik, serta manajemen persediaan yang optimal.
8
2.2.1 Jenis-jenis persediaan (inventori)
Jenis-jenis persediaan menurut fungsinya menjadi 3 (tiga) terdiri atas:
1. Batch stock atau lot size inventory;
Merupakan persediaan yang diadakan karena membeli atau membuat bahan- bahan/barang-barang dalam jumlah yang lebih besar dari jumlah yang dibu- tuhkan pada saat itu. Jadi dalam hal ini pembelian atau pembuatan di- lakukan untuk jumlah besar, sedangkan penggunaan atau pengeluaran dalam jumlah kecil. Terjadinya persediaan karena pengadaan barang/bahan yang dilakukan lebih banyak dari yang dibutuhkan. Keuntungan yang diperoleh dari adanya batch stock atau lot size inventory ini antara lain memperoleh potongan harga pada harga pembelian, memperoleh efisiensi produksi kare- na adanya operasi atau proses produksi yang lebih lama, adanya penghe- matan di dalam biaya angkutan.
2. Fluctuation stock;
Merupakan persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi permin- taan konsumen yang tidak dapat diramalkan. Dalam hal ini perusahaan mengadakan persediaan untuk dapat memenuhi permintaan konsumen, apa- bila tingkat permintaan menunjukkan keadaan yang tidak beraturan atau tidak tetap dan fluktuasi permintaan tidak dapat diramalkan lebih dahulu.
Jadi apabila terdapat fluktuasi permintaan yang sangat besar, maka perse- diaan ini (fluctuation stock) dibutuhkan sangat besar pula untuk menjaga kemungkinan naik turunnya permintaan tersebut.
3. Anticipation stock.
Merupakan persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi permin- taan yang dapat diramalkan, berdasarkan pola musiman yang terdapat dalam satu tahun untuk menghadapi penggunaan atau permintaan yang meningkat. Di samping itu, anticipation stock dimaksudkan pula untuk menjaga kemungkinan sukarnya diperoleh bahan-bahan sehingga tidak meng- ganggu jalannya produksi atau menghindari kemacetan produksi.
9
1. Persediaan bahan baku (raw material stock);
Merupakan persediaan dari bahan baku yang digunakan dalam proses pro- duksi, dapat diperoleh dari sumber-sumber alam atau dibeli dari supplier yang menghasilkan bahan baku bagi perusahaan pabrik yang menggunakan- nya.
2. Persediaan bagian produk atau parts yang dibeli (component stock);
Merupakan persediaan barang-barang yang terdiri dari komponen (parts) yang diterima dari perusahaan lain, yang dapat secara langsung dirakit dengan parts lain, tanpa proses produksi sebelumnya. Jadi bentuk barang yang merupakan parts ini tidak mengalami perubahan dalam operasi.
3. Persediaan bahan-bahan pembantu atau barang-barang perlengkapan (sup- plies stock);
Merupakan persediaan barang-barang atau bahan-bahan yang diperlukan dalam proses produksi untuk membantu berhasilnya produksi atau yang dipergunakan dalam bekerjanya suatu perusahaan, tetapi tidak merupakan bagian atau komponen dari barang jadi.
4. Persediaan barang setengah jadi atau barang dalam proses (work in pro- cess/progress stock);
Merupakan persediaan yang telah mengalami beberapa perubahan yang keluar dari tiap-tiap bagian dalam suatu pabrik atau bahan-bahan yang telah diolah menjadi suatu bentuk tetapi masih perlu diproses kembali un- tuk kemudian menjadi barang jadi.
5. Persediaan barang jadi (finished goods).
Merupakan barang-barang yang telah selesai diproses dan menunggu untuk dijual kepada langganan atau perusahaan lain. Barang jadi dimasukkan dalam persediaan karena permintaan konsumen untuk jangka waktu terten- tu mungkin tidak diketahui.
10
2.2.2 Komponen-komponen dasar biaya persediaan
Masalah utama yang ingin dicapai dalam pengendalian persediaan adalah memi- nimumkan total biaya operasional perusahaan. Jadi, terdapat dua keputusan yang perlu diambil dalam hal ini, yaitu berapa jumlah yang harus dipesan/diproduksi setiap kali pemesanan/produksi dan kapan pemesanan/produksi itu dilakukan.
Berbagai macam biaya perlu diperhitungkan saat mengevaluasi masalah persedia- an. Lesnaia (2004) menyebutkan biaya-biaya dalam sistem persediaan tersebut, antara lain :
1. Biaya pengadaan (procurement cost);
Biaya pengadaan merupakan total biaya untuk memesan dan mengadakan barang sehingga siap untuk dipergunakan atau diproses lebih lanjut. Total biaya pengadaan ini meliputi :
(a) Biaya pembelian merupakan biaya yang digunakan untuk membeli ba- rang;
Jumlah barang yang dibeli dan harga satuan barang tersebut akan sa- ngat berpengaruh pada biaya pembelian. Dalam hal ini biaya pembe- lian lebih bersifat variabel karena tergantung pada jumlah barang yang dipesan. Sehingga biasa disebut unit variable cost atau purchasing cost. Biaya pembelian merupakan faktor penting ketika harga barang yang dibeli tergantung pada ukuran atau jumlah pembelian. Situasi ini diistilahkan dengan quantity discount dimana harga barang per unit akan turun bila jumlah barang yang dibeli dalam jumlah besar. Dalam banyak teori persediaan, seringkali komponen biaya pembelian ini tidak dimasukkan kedalam biaya persediaan karena diasumsikan komponen biaya pembelian untuk suatu periode tertentu (misalnya satu tahun) dianggap konstan dan hal ini tidak akan mempengaruhi jawaban opti- mal tentang berapa banyaknya barang yang harus dipesan.
(b) Biaya pengadaan barang.
Biaya pengadaan dibedakan menjadi dua jenis sesuai dengan asal ba- rang, yaitu biaya pemesanan (ordering cost) bila barang yang dibu-
11
ri. Biaya pemesanan (ordering cost) merupakan seluruh pengeluaran yang timbul untuk mendatangkan barang dari luar. Biaya ini meliputi biaya untuk menentukan supplier, pembuatan pesanan, pengiriman pe- sanan, biaya pengangkutan, biaya penerimaan dan sebagainya. Biaya ini diasumsikan konstan setiap kali pesan.
Biaya pembuatan (set up cost) merupakan seluruh pengeluaran yang timbul dalam mempersiapkan produksi suatu barang. Biaya ini tim- bul didalam pabrik yang meliputi biaya menyusun peralatan produksi, menyetel mesin, penyusunan barang di gudang dan sebagainya.
2. Biaya penyimpanan (holding cost/carriying cost);
Dalam bukunya, Lesnaia (2004) menjelaskan bahwa biaya penyimpanan adalah semua pengeluaran yang timbul akibat menyimpan barang. Biaya- biaya ini meliputi :
(a) Biaya memiliki persediaan (biaya modal);
Biaya ini timbul karena adanya penumpukan barang di gudang yang berarti penumpukan modal kerja, dimana modal perusahaan mempu- nyai ongkos yang dapat diukur dengan suku bunga bank. Sehingga bi- aya yang timbul karena persediaan harus diperhitungkan dalam biaya persediaan. Biaya ini sering diukur sebagai persentase nilai persediaan untuk periode waktu tertentu.
(b) Biaya kerusakan dan penyusutan;
Kerusakan atau penyusutan karena beratnya atau jumlahnya berku- rang karena hilang dapat terjadi pada barang yang disimpan sehingga akan mengakibatkan adanya biaya tambahan dalam sistem persediaan.
Biaya kerusakan atau penyusutan biasanya diukur dari pengalaman sesuai dengan persentasenya.
(c) Biaya gudang;
Barang yang disimpan memerlukan tempat penyimpanan sehingga tim- bul biaya gudang. Bila gudang dan peralatannya disewa maka biaya gudang merupakan biaya sewa, sedangkan bila perusahaan mempu- nyai gudang sendiri, maka biaya gudang merupakan biaya penyusutan maupun biaya perawatan barang.
12
(d) Biaya administrasi dan pemindahan;
Biaya ini dikeluarkan untuk administrasi persediaan barang yang ada, baik pada saat pemasaran, penerimaan barang maupun penyimpanan dan biaya untuk memindahkan barang dari, ke dan di dalam tempat penyimpanan, termasuk di dalamnya adalah upah buruh dan biaya pengendalian peralatan.
(e) Biaya asuransi;
Barang yang disimpan seringkali diasuransikan oleh perusahaan untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan seperti kebakaran. Besarnya biaya asuransi ini tergantung dari jenis barang yang diasuransikan dan perjanjiannya dengan perusahaan asuransi.
(f) Biaya kadaluarsa (obsolence).
Perubahan tekhnologi dan model seperti barang-barang elektronik akan mempengaruhi penurunan nilai jual barang tersebut. Dalam manaje- men persediaan, terutama yang berhubungan dengan kuantitatif, biaya simpan per unit diasumsikan linear terhadap jumlah barang yang di- simpan.
3. Biaya kekurangan persediaan (shortage cost).
Merupakan biaya yang timbul apabila ada permintaan terhadap barang yang kebetulan tidak tersedia di gudang (stock out). Untuk barang-barang ter- tentu, pelanggan dapat diminta menunda pembeliannya atau dengan kata lain pelanggan diminta untuk menunggu. Dalam hal ini shortage cost yang timbul adalah biaya ekstra untuk membuat lagi barang yang dipesan se- hingga proses produksi akan terganggu dan akan menimbulkan kerugian karena perusahaan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan atau akan kehilangan pelanggan karena konsumen akan beralih pada para pesaing.
Dalam mengevaluasi kebijaksanaan di bidang persediaan, biaya-biaya terse- but harus diperhatikan. Satu hal yang perlu diingat, biaya yang diperhi- tungkan adalah biaya yang relevan yang meliputi seluruh biaya yang timbul karena kebijaksanaan persediaan tersebut. Akibatnya beberapa biaya perlu
13
2.2.3 Model persediaan
Tujuan dari setiap model persediaan adalah keputusan mengenai berapa banyak produk yang harus dipesan dan kapan sebaiknya pesanan dilakukan. Menurut Coughlin (1998) model permintaan dibagi menjadi dua macam, yaitu permintaan deterministik dan permintaan probabilistik.
1. Permintaan deterministik;
Permintaan deterministik dapat bersifat statis, dalam arti bahwa laju pe- makaian tetap sepanjang waktu atau dinamis, dimana permintaan diketahui dengan pasti tetapi bervariasi dari satu periode ke periode berikutnya.
2. Permintaan probabilistik.
Permintaan probabilistik memiliki dua klasifikasi yaitu kasus stasioner, di- mana fungsi kepadatan probabilitas permintaan tetap tidak berubah sepan- jang waktu, dan kasus non stasioner, dimana fungsi kepadatan bervariasi dari waktu ke waktu. Permintaan statis deterministik jarang terjadi dalam kehidupan nyata. Karena itu dapat dipandang situasi ini sebagai kasus penyederhanaan. Walaupun mungkin terjadi variasi permintaan dalam ke- butuhan produk sehari-hari, namun jika variasi tersebut kecil maka dapat diabaikan dengan asumsi bahwa hasil permintaan statis kemungkinan tidak terlalu jauh dari kenyataan.
Walaupun jenis permintaan adalah faktor utama dalam perancangan model persediaan, faktor-faktor berikut ini dapat juga mempengaruhi cara perumusan model yang bersangkutan seperti yang dijelaskan Coughlin (1998), yaitu:
1. Tenggang waktu pengiriman (lag atau lead time);
Ketika sebuah pesanan diajukan, pesanan itu dapat dikirim dengan segera, atau kemungkinan memerlukan beberapa waktu sebelum pengiriman di- lakukan. Tenggang waktu pengiriman dapat bersifat deterministik atau probabilistik.
2. Pengisian kembali persediaan;
Walaupun sistem persediaan dapat beroperasi dengan tenggang waktu pe- ngiriman, pengisian kembali persediaan dapat terjadi dengan segera atau
14
dengan seragam. Pengisian kembali yang segera terjadi ketika persediaan dibeli dari sumber-sumber luar. Pengisian kembali yang seragam terjadi ketika sebuah produk dibuat secara lokal dalam organisasi. Secara umum, sebuah sistem persediaan dapat beroperasi dengan tenggang waktu positif dan juga dengan pengisian persediaan yang seragam.
3. Rentang perencanaan (planning horizon);
Rentang perencanaan mendefinisikan periode dimana tingkat persediaan dikendalikan. Rentang perencanaan ini dapat terbatas atau tidak terbatas, bergantung pada periode waktu mana permintaan dapat diramalkan.
4. Jumlah tingkat penawaran;
Sebuah sistem persediaan dapat terdiri dari beberapa titik pengisian per- sediaan (bukan hanya satu). Dalam beberapa kasus, titik-titik pengisian persediaan ini diorganisasikan sedemikian rupa sehingga satu titik bertin- dak sebagai titik penawaran untuk titik-titik lainnya. Jenis operasi ini da- pat berulang di tingkat yang berbeda sehingga satu titik permintaan dapat sekali lagi menjadi titik penawaran yang baru.
5. Jumlah jenis barang.
Sebuah sistem persediaan dapat melibatkan lebih dari satu barang. Kasus ini sangat menarik terutama jika terdapat sejenis interaksi tertentu di antara barang-barang yang berbeda.
Morton dan Pentico (1995), Bollapragada dan Morton (1999) fokus pada tata cara kebijakan inventori pada single stage menyelesaikan proses permintaan non stasioner umum dengan penanganan proposional dan harga backorder. Jika nilai pesanan nol, kebijakan stok pokok pada waktu tetap menjadi optimal. Un- tuk nilai pesanan bukan nol, kebijakan waktu tidak tetap (s, S) adalah optimal.
Penelitian ini mengembangkan batas atas dan bawah secara efisien komputasi pada kebijakan optimalnya.
Untuk produk dengan arus edar singkat, permasalahan pada perkiraan per- mintaan secara akurat sama-sama penting dalam penentuan kebijakan inven-
15
Pendekatan ini memperkirakan parameter-parameter pada model trend pertum- buhan musiman dan menggunakannya sebagai input pada model inventori stokas- tik terbatas dan horizon dengan permintaan waktu dependen.
Permintaan non stasioner dapat juga dimodelkan sebagai proses permintaan Markov yang dimodulasikan dengan Poisson. Contohnya, Chen dan Song (2001) menunjukkan keoptimalan kebijakan stok pokok eselon dengan state order up to levels pada jaringan serial (pokok). Contoh kedua adalah Abhyankar dan Graves (2001) yang menentukan posisi optimal pada sebuah pembatasan inventori pada rantai suplai stage tingkatan serial yang mengikuti Markov dimodulasikan dengan permintaan stage. Dengan literatur Bullwhip, sebagian tulisan mengembangkan model permintaan non stasioner. Tulisan ini secara umum mengasumsikan setiap stage mengikuti kebijakan stok adaptif kemudian menganalisa pengaruh teknik peramalan berbeda dan menyesuaikan distribusi permintaan menggunakan syarat inventori pada setiap stage. Dalam hal ini, Lee et al., (1997) mendemonstrasikan penyesuaian order up to level pada retailer (pedagang eceran) yang menjelaskan variansi sinyal pesanan pedagang eceran memperlengkapi manufakturer. Dua contoh lainnya adalah Graves (1999) dan Chen et al., (2000).
Akhirnya, ada sebuah satuan penelitian yang muncul pada pemodelan rantai suplai mengenai permintaan non stasioner. Beyer dan Ward (2000) menggunakan simulasi untuk membuat model yang akurat pada pemenuhan inventori rantai suplai 2 escelon dan menggunakan 2 cara distribusi dan menjadi subjek pada per- mintaan non stasioner. Jonson dan Anderson (2000) menjelaskan keuntungan- keuntungan penundaan rantai suplai yang memperkenalkan produk multiple de- ngan produk masa edar singkat. Ettl et al., (2000) meminimumkan total inventori pada sistem inventori multistage dimana pokok masalahnya adalah mengaproksi- masikan penambahan tenggang waktu dengan rantai suplai. Pada model per- mintaan non stasioner, akan dipisahkan rentang perencanaan ke fase himpunan stasioner dalam permintaan.
BAB 3
LANDASAN TEORI
Berikut ini akan dijelaskan model rantai suplai pada permintaan stasioner menu- rut Graves dan Willem (1998), dan akan dilanjutkan dengan model rantai suplai pada permintaan non stasioner menurut Graves dan Willems (2000).
3.1 Model Rantai Suplai pada Permintaan Stasioner
Model rantai suplai sebagai sebuah jaringan dengan titik (node) dan himpunan A, dimana titiknya merupakan stage (tingkatan) pada rantai suplai dan arc langsung menyatukan stage upstream yang memenuhi stage downstream. Sebuah stage menunjukkan fungsi proses utama seperti usaha mendapatkan bahan mentah, komponen produksi, penyusunan dan uji barang-barang jadi, atau transportasi produk dari pusat distribusi sentral ke gudang regional.
Tiap stage merupakan lokasi potensial pada penanganan stok pengaman barang yang diproses pada stagenya. Sebuah skalar φij menunjukkan jumlah unit komponen stage upstream i yang dibutuhkan per downstreamnya j. Jika sebuah stage berhubungan dengan sebagian stage upstream maka aktivitas produksinya adalah sebuah himpunan memenuhi masukan dari setiap stage upstream. Sebuah stage dikoneksikan dengan multiple stage downstream merupakan salah satu titik atau aktivitas produksi yang memproduksi komponen yang ada dalam banyak pelanggan internal.
3.1.1 Tenggang waktu produksi
Pada setiap stage, diasumsikan tenggang waktu produksi deterministik yang dise- but Ti. Ketika sebuah stage memesan kembali, tenggang waktu merupakan waktu ketika semua masukan tersedia sampai produksi lengkap dan tersedia memenuhi permintaan. Tenggang waktu produksi termasuk waktu tangga dan proses pa- da stage ditambah waktu transportasi untuk mengantarkan barang ke inventori.
Diasumsikan bahwa tidak ada kendala kapasitas yang membatasi produksi pada
17
Permintaan eksternal terjadi hanya pada waktu dimana tidak ada lagi pelang- gan internal, sehingga diakhiri titik permintaan. Untuk setiap titik permintaan j, proses permintaan barang akhir melebihi rentang perencanaan H. Tingkat rata-rata permintaan untuk titik j pada waktu t adalah µj(t) untuk 0 ≤ H ≤ t.
3.1.2 Kebijakan pengisian kembali stok pokok secara periodik
Asumsikan setiap stage beroperasi dengan kebijakan pengisian kembali yang ditinjau secara periodik. Setiap periode, masing-masing stage meninjau perminta- an dari pelanggan internal atau dari stage downstream dan menempatkan pesanan pada penyedia sehingga dapat mengisi kembali permintaan yang ditinjau. Tidak ada waktu tunda pada pemesanan, sehingga tiap periode masing-masing stage memperhatikan permintaan pelanggannya.
3.1.3 Proses permintaan
Asumsikan permintaan eksternal terjadi hanya pada titik dimana tidak ada lagi pelanggan internal, sehingga titik permintaan diakhiri. Untuk setiap permin- taan titik j, proses permintaan barang akhir melebihi rentang perencanaan H.
Tingkat rata-rata permintaan untuk titik j pada waktu t adalah µj(t). Sebuah stage internal hanya mempunyai pelanggan internal. Jika tiap stage memesan ba- rang berdasarkan kebijakan stok pokok, permintaan pada stage internal i adalah
di(t) = X
(i,jA)
φijdj(t)
di mana di(t) menyatakan permintaan pada stage i periode t dan A menyatakan himpunan jaringan pada rantai suplai. Tingkat permintaan rata-rata pada stage i adalah
µi = X
(i,jA)
φijµj(t)
Graves dan Willems (2000) mengasumsikan permintaan pada stage j di- batasi oleh fungsi Dj(τ ) untuk τ =1,2,3, . . . ,Mj di mana Mj adalah waktu pengi- sian kembali maksimum pada stage didefenisikan sebagai Mj = Tj + maxMi.
18
3.2 Model Rantai Suplai
Pada bahasan ini, akan ditulis model multistage pada rantai suplai dan masalah optimisasi pada penentuan stok pengaman. Model inventori single stage berperan sebagai blok pembentukan rantai suplai multistage. Asumsikan sistem inventori berawal pada waktu 0 dengan inventori inisial Ij(0). Berdasarkan asumsi diatas, dapat dinyatakan inventori pada stage j di akhir periode t sebagai berikut.
Ij(t) = Bj− dj(t − SIj− Tj, t− Sj) (3.1) di mana Bj = Ij(0) ≥ 0 menyatakan stok pokok (base stock).
dj(a, b) = dj(a + 1) + dj(a + 2) + ... + dj(b)
untuk a < b dimana dj(t) = 0 untuk t ≤ 0, a ≥ b dan definisikan dj(a, b) = 0 Waktu layanan dalam SIj adalah waktu stage j untuk mendapatkan per- sediaan pada penyedianya. Pada periode t, stage j menempatkan pesanan sama dengan φijdj(t) pada stage upstream i dimana φij > 0. Waktu layanan dalam merupakan waktu untuk semua pesanan yang akan dikirim ke stage j sehingga stage j dapat memulai produksi untuk mengisi kembali dj(t), maka diperoleh
SIj = max
i,jA{Si}
3.2.1 Penentuan stok pokok (base stock)
Pesanan stage j menyediakan 100% layanan pada pelanggannya yang memenuhi Ij(t) ≥ 0, lihat persamaan (3.1). Pemenuhan ini sama dengan
Bj ≥ dj(t − SIj− Tj, t− Sj).
Jika permintaan dibatasi, pemenuhan di atas dapat diatasi dengan inventori mi- nimal dengan pengaturan stok pokok sebagai berikut. Bj = Dj(τ ) di mana
τ = max[0, SIj + Tj− Sj] = [SIj+ Tj − Sj]+ (3.2)
19
3.2.2 Model stok pengaman (safety stock)
Gunakan persamaan (3.1) dan persamaan (3.2) mendapatkan tingkat inven- tori yang diharapkan E[Ij]:
E(Ij) = Bj−E[dj(t−SIj−Tj, t−Sj)] = Dj(SIj+Tj−Sj)−[SIj+Tj−Sj]+µj (3.3) Inventori yang diharapkan menunjukkan stok pengaman yang menangani stok j, dan bergantung pada waktu pengisian kembali dan batas permintaan. Proses kerja yang diharapkan hanya bergantung pada tenggang waktu pada stage j dan bukan merupakan fungsi waktu layanan. Sehingga untuk menyikapi masalah opti- misasi tersebut, abaikan inventori barang dalam proses dan hanya stok pengaman.
3.2.3 Model multistage
Untuk memodelkan sistem multistage, gunakan persamaan (3.3) untuk tiap stage dimana waktu layanan dalam merupakan suatu fungsi layanan ke luar untuk stage upstream, diperoleh model stage j sebagai berikut. Dengan menggabungkan per- samaan (3.2) dan (3.3) maka diperoleh
E(Ij) = Dj(SIj + Tj− Sj) − [SIj+ Tj − Sj]µj (3.4)
SIj+ Tj − Sj ≥ 0 (3.5)
SIj− Si ≥ 0, ∀(i, j)A (3.6) dimana persamaan (3.5) menjamin tidak kehilangan pelanggan saat waktu pe- ngisian kembali adalah non negatif dan persamaan (3.6) mengakibatkan waktu layanan dalam sama dengan atau melebihi waktu layanan pada stage upstream.
20
Hal tersebut mengakibatkan masalah optimisasi P pada perolehan waktu layanan optimal:
P min XN
j=1
hjDj(SIj+ Tj − Sj) − (SIj+ Tj − Sj)µj
Dengan kendala:
Sj − SIj ≤ Tj, j = 1, 2, ..., N SIj− Si ≥ 0, ∀(i, j)A
Sj ≤ SIj
Sj ≥ 0 SIj ≥ 0
hj= biaya simpan per unit pada stage j
Sj= waktu layanan maksimum permintaan titik j
Tujuan permasalahan optimisasi P adalah meminimumkan biaya simpan pada stok pengaman rantai suplai. Kendala di atas menjamin, waktu pengisi- an kembali adalah non negatif. Waktu layanan inbound adalah waktu layanan penyedia maksimum, dan stage barang akhir memenuhi layanan garansi. Variabel keputusan adalah waktu layanan.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan disajikan konsep supply chain model in non stationary demand menurut Graves dan Willems (2000). Untuk melengkapi pembahasan terhadap aplikasinya akan disajikan salah satu contohnya.
4.1 Model Permintaan Non Stasioner 4.1.1 Asumsi
Tujuan penulisan ini adalah mengembangkan model Graves dan Willems (2000) ke dalam model permintaan non stasioner. Untuk lebih lengkapnya, diberikan asumsi baru yang mendukung permintaan non stasioner.
Model rantai suplai sebagai sebuah jaringan dengan titik N dan himpunan A, dimana titiknya merupakan stage (tingkatan) pada rantai suplai dan arc lang- sung menyatukan stage upstream yang memenuhi stage downstream. Sebuah stage menunjukkan fungsi proses utama seperti usaha mendapatkan bahan men- tah, komponen produksi, penyusunan dan uji barang-barang jadi, atau trans- portasi produk dari pusat distribusi sentral ke gudang regional. Tiap stage meru- pakan lokasi potensial pada penanganan stok pengaman barang yang diproses pada stagenya. Sebuah skalar φij mengindikasikan jumlah unit komponen up- stream i yang dibutuhkan dalam stage downstreamnya j. Jika sebuah stage ber- hubungan dengan sebagian stage upstream, maka aktivitas produksinya adalah sebuah himpunan memenuhi masukan dari setiap stage upstream. Sebuah stage yang dikoneksikan dengan stage multiple downstream merupakan salah satu titik atau aktivitas produksi yang memproduksi komponen yang ada untuk banyak pelanggan internal.
Pada setiap stage, tenggang waktu produksi deterministik disebut Ti. Ketika sebuah stage memesan kembali, tenggang waktu merupakan waktu ketika semua masukan tersedia sampai produksi lengkap dan tersedia memenuhi permintaan.
Waktu tunggu produksi termasuk waktu tangga dan proses pada stage, ditam- bah waktu transportasi untuk mengantarkan barang ke persediaan. Diasumsikan bahwa tidak ada kendala kapasitas membatasi produksi pada sebuah stage.
22
Permintaan eksternal terjadi hanya pada waktu dimana tidak ada pelanggan internal, sehingga diakhiri titik permintaan. Untuk setiap titik permintaan j , proses permintaan barang akhir melebihi rentang perencanaan H. Tingkat rata- rata permintaan untuk titik j pada waktu t adalah µj(t) untuk 0 ≤ H ≤ t.
Sebuah stage internal melayani pelanggan internal saja. Diperoleh tingkat permintaan rata-rata untuk stage internal pada waktu t
µi(t) =X
i,jA
φijµj(t)
Seperti pada permintaan stasioner, diasumsikan bahwa permintaan pada stage j dibatasi dengan tujuan menentukan letak stok pengaman. Ditentukan batas permintaan dengan fungsi Dj(s, t) untuk menunjukkan permintaan mak- simum pada stage j dalam interval waktu (s, t] di mana akan digunakan semua realisasi permintaan
dj(s, t) ≤ Dj(s, t)
dimana dj(s, t) menyatakan permintaan pada stage j dalam interval waktu (s, t].
Untuk menentukan stok pengaman, akan digunakan jaringan batas permintaan rata-rata yang dinyatakan dengan,
gj(s, t) = Dj(s, t) − Z t
τ=s
µj(τ )dτ
Diasumsikan bahwa batas jaringan permintaan gj(s, t) adalah fungsi konkaf di atas rentang perencanaan H.
Tiap stage beroperasi dengan kebijakan penambahan stok pokok (base- stock) secara periodik di mana sebuah periode pemeriksaan biasa sama dengan unit satuan waktu, misalkan satu hari dan dengan waktu garansi. Pertama, di- simpulkan bahwa asumsi pada bagaimana menyusun dan mengimplementasikan kebijakan stok pokok permintaan non stasioner dan kemudian menyatakan asumsi waktu garansi.
Tiap periode, setiap stage j mengobservasi permintaannya dari salah satu pelanggan eksternal atau stage downstreamnya, dan menempatkan pesanan pada suppliers (penyedia) untuk memenuhi permintaan. Yakni pada waktu t, suatu
23
notasinya, dinyatakan permintaan melalui interval waktu (t − 1, t] dengan dj(t).
Sama halnya, tiap stage internal i meninjau permintaan dari pelanggan down- stream yang diberikan dengan
di(t) = X
(i,jA)
φijdj(t)
Tidak ada waktu penundaan pada pemesanan, sehingga selama tiap periode, stage memperlihatkan dan menginisiasikan pemenuhan permintaan pelanggannya.
Bagaimanapun, karena permintaan non stasioner, perlu menyesuaikan stok pokok pada tiap stage bersama-sama dengan perubahan proses permintaan. Mi- salkan Bj(t) menyatakan stok pokok stage j pada waktu t. Selanjutnya, diberikan masalah optimisasi, dimana bisa ditemukan stok pokok Bj(t) untuk tiap jangka waktu. Karena level stok pokok tidak konstan, maka harus merencanakan pe- menuhan untuk mengatur level stok pokok untuk setiap stage pada rantai suplai.
4.1.1.1 Waktu jaminan layanan.
Diasumsikan bahwa tiap titik permintaan j memberikan waktu jaminan layanan outbound dimana stage j akan memuaskan permintaan pelanggan yakni permintaan pelanggan yang ditinjau pada periode pemeriksaan t, dj(t) harus dipenuhi dengan waktu t + Sj. Selanjutnya, asumsikan stage j menyediakan 100% layanan pada waktu layanan outbound diberikan, stage j membawa tepat sejumlah barang pada stage j dalam waktu t + Sj . Graves dan Willems (1998) menjelaskan bagaimana memperluas model untuk mengizinkan waktu layanan pelanggan yang diberikan.
Graves dan Willems (2002) membahas dan menetapkan asumsi ini untuk tujuan penempatan stok pengaman untuk permintaan strategis. Permintaan non stasioner mengakibatkan syarat tambahan. Dalam penjelasan kebijakan pengen- dalian yang diasumsikan, stok pokok berubah melewati batas waktu, dan tidak mengubah waktu layanan tetapi membatasinya menjadi konstan di atas rentang perencanaan. Akan ditunjukkan kemudian bahwa ini tidak optimal.
Dalam hal ini, harus mempertahankan batasan ini dengan bukti-bukti be- rikut. Pertama, ditinjau bahwa waktu layanan konstan berubah menjadi lokasi tertentu pada stok pengaman rantai suplai. Mengubah waktu layanan pada se- buah rantai suplai akan mengubah lokasi stok pengaman. Kenyataannya, per-
24
lu diketahui bahwa perusahaan sangat susah menyesuaikan tempat untuk stok pengaman kecuali kalau ada alasan yang sangat terpaksa untuk dilakukan. Pi- lihan lokasi stok pengaman mengatur rantai suplai sehingga perusahaan lokasi penyangga merupakan uji non trivial.
Kedua, meninjau harga akhir dengan menggunakan waktu layanan konstan yang pada dasarnya sangat kecil. Ketiga, Grave dan Willems (2002) menunjukkan bahwa waktu layanan optimal rantai suplai dengan titik permintaan tunggal dan permintaan stasioner berbeda dengan parameter proses permintaan. Misalkan batas permintaan pada titik j adalah
Dj(s, t) = (t − s)µj + σj(t − s)β (4.1) dimana µj dan σj dan β adalah konstanta. Sehingga waktu layanan optimal tidak tergantung pada nilai µj dan τj. Hal ini menunjukkan kebijakan waktu layanan konstan akan memberikan hasil yang sangat baik, jika proses permintaanya non stasioner dan berubah-ubah. Graves dan Willems (2002) mengembangkan pene- muan ini ke rantai suplai dengan titik permintaan ganda, dengan asumsi tam- bahan memenuhi perhitungan dalam penentuan batas permintaan titik internal.
Akhirnya dapat menentukan himpunan terbaik waktu layanan konstan dengan menyelesaikan masalah optimisasi yang sebanding dengan permintaan stasioner.
4.2 Model Rantai Suplai
Dalam hal ini akan ditunjukkan adanya model multistage rantai suplai dan masalah optimisasi dalam penentuan stok pengaman.
4.2.1 Model inventori
Model inventori single stage merupakan bagian pemodelan rantai suplai multi- stage dengan menggunakan model standard Kimball (1988) dan Simpson (1958) dalam kasus non stasioner. Definisikan waktu layanan inbound SIj sebagai wak- tu pada stage j untuk mendapatkan persediaan dari supplier (penyedia) yang bersangkutan.
Dalam tiap periode t, stage i akan menempatkan pesanan sama dengan
25
mintaannya pada waktu dimana layanan waktu inbound ini dibatasi oleh layanan waktu outbound penyedia stage upstream, yakni
SIj ≥ max(i,j)ASi
Asumsikan stok pokok Bj(t) pada setiap periode t = 1, 2, . . . , H. Sehingga dapat dinyatakan inventori pada stage j pada akhir periode,
Ij(t) = Bj(t) − dj(t − SIj− Tj, t− Sj) (4.2) dimana dj(s, t) = 0 untuk µj(t) untuk s ≤ t ≤ 0 dan dj(s, t) = dj(0, t) untuk µj(t) untuk s < 0 < t.
Definisikan waktu proses pengisian kembali pada stage j menjadi waktu pengisiannya, proses stage mengijinkan waktu layanan keluar.
SIj+ Tj − Sj
Waktu proses pengisian kembali ini menentukan stok pokok pada stage j.
Jika waktu pengisian kembali negatif, hal ini menunjukkan harus mengisi kembali inventori stage sebelum harus memenuhi permintaan, mengurangi inventori stage dengan menunda pesanan pada penyedianya yang sama dengan meningkatkan waktu layanan inbound. Keterangan persamaan (4.2) memenuhi persamaan kasus permintaan stasioner. Ada 3 tahapan pada periode t:
1. Stage j melengkapi pemenuhan permintaannya dari periode t − SI − Ij; 2. Stage j memenuhi permintaan dari periode T − Sj;
3. Stage j mendapat tambahan pemenuhan yang dinyatakan dengan
∆Bj(t) = Bj(t) − Bj(t − 1).
Untuk mendapatkan tingkat stok pokok, persamaan keseimbangan inventori dituliskan dengan
Ij(t) = Ij(t − 1) + dj(t − SIj− Tj) − dj(T − Sj) + ∆Bj(t) (4.3)
26
Gunakan kondisi batas Ij(0) = Bj(0) dengan menggunakan persamaan (4.3).
Asumsikan selalu dengan menggunakan penyesuaian ∆Bj(t) yang perlu dalam tingkat stok pokok. Hal ini tidak dibutuhkan jika tingkat stok pokok menurun dan ∆Bj(t) < 0. Pengaruhnya, perlu diasumsikan
dj(t − SIj− T ) + ∆Bj(t) ≥ 0
Sehingga pemenuhan pada periode t adalah non negatif. Harus dibuktikan hal ini benar sehingga tidak kontradiksi dengan apa yang dinyatakan sebelumnya.
dj(t − SIj − T ) + ∆Bj(t) < 0
maka persamaan (4.3) memberikan batas terendah pada tingkat inventori akhir.
4.2.2 Penentuan stok pokok
Stage j menyediakan 100% layanan kepada pelanggannya dipenuhi dengan Ij(t) ≥ 0. Hal ini sama dengan
Bj(t) ≥ dj(t − SIj − Tj, t− Sj) ≥ 0
Karena permintaan dibatasi, permintaan di atas dipenuhi dengan inventori paling kecil dalam menentukan stok pokok,
Bj(t) = Dj(t − SIj− Tj, t− Sj) ≥ 0 (4.4) Sehingga tingkat stok pokok pada periode t merupakan permintaan maksimal yang mungkin di atas interval waktu (t − SIj − Tj, t− Sj) dimana stage j memenuhi permintaannya tetapi sebelum menerima kembali.
4.2.3 Model stok pengaman (safety stock)
Gunakan persamaan (4.2) dan persamaan (4.4) untuk mendapatkan tingkat in- ventori yang diharapkan, (E[Ij(t) − Tj]):
E[Ij(t)−Tj] = Dj(t−SIj−Tj, t−Sj)−
Z t−Sj
τ=t−SIj−Tj
µj(τ )dτ = gj(t−SIj−Tj, t−Sj) (4.5) Inventori yang diharapkan menunjukkan stok pengaman menangani stage j dan bergantung pada waktu proses pengisian kembali dan batas permintaan. Per-
27
Rantai suplai juga mempunyai barang setengah jadi atau inventori barang dalam proses. Inventori ini berhubungan dengan penyediaan permintaan pelayan ditambah penyesuaian terencana dengan tingkat stok pokok. Jika tingkat stok pokok ditetapkan pada awal dan akhir rentang perencanaan, maka dapat di- tunjukkan bahwa persediaan setengah jadi tidak bergantung pada pilihan waktu layanan tetapi pada tingkat permintaan rata-rata dan rentang waktu pada setiap stage. Maka diberikan masalah optimisasi, abaikan persediaan setengah jadi dan hanya model stok pengaman.
4.2.4 Model multistage
Gunakan persamaan (4.5) pada setiap stage dimana waktu layanan inbound merupakan fungsi waktu layanan outbound pada stage upstream. Kemudian for- mulasikan masalah optimisasi untuk mendapatkan waktu layanan optimal pada rentang perencanaan.
P min XH
t=1
XN j=1
hjE[Ij(t)] = XH
t=1
XN j=1
hjgj(t − SIj − Tj, t− Sj)
Dengan kendala:
Sj − SIj ≤ Tj, j = 1, 2, ..., N SIj− Si ≥ 0, ∀(i, j)A
Sj ≥ 0 SIj ≥ 0
hj= biaya simpan per unit pada stage j
Sj= waktu layanan maksimum permintaan titik j
Tujuan masalah optimisasi P adalah meminimumkan biaya simpan stok pokok di atas rentang perencanaan. Kendala menjamin waktu proses penyediaan adalah tidak negatif, dimana waktu layanan inbound tiap stage tidak kurang dari kuota waktu layanan outbound maksimum pada stage dan barang akhir stage memenuhi jaminan layanan.
28
Definisikan model perencanaan sampai akhir periode H dan tidak eksplisit termasuk biaya di atas rentang perencanaan. Sebagai pengganti, jika H menun- jukkan akhir siklus edar produk akan terdapat biaya pembagian inventori rantai suplai pada akhir rentang perencanaan. Biaya pembagian dapat dimasukkan de- ngan menyatakan kembali P dengan biaya simpan. Untuk menyelesaikan P, akan dituliskan kembali fungsi objektif,
XH t=1
XN j=1
hjgj(t − SIj− Tj, t− Sj) = H × XN
j=1
hjGj(SIj, Sj)
dimana
Gj(SIj, Sj) = H−1 × XH
t=1
gj(t − SIj − Tj, t− Sj)
merupakan stok pengaman rata-rata pada titik j sebagai fungsi waktu layanan inbound dan outbound. Maka P adalah ekuivalen dengan masalah optimisasi stok pengaman pada permintaan stasioner tetapi fungsi objektifnya dinyatakan pada tahap rata-rata stok pengaman Gj(SIj, Sj) melebihi rentang perencanaan H. Dengan demikian, Gj(SIj, Sj) adalah fungsi konkaf diberikan asumsi batas bawah permintaan gj(s, t) adalah fungsi konkaf.
Contoh,
Misalkan Teguh adalah agen pembelian untuk toko grosir besar untuk sebuah merek baru dari pasta kalengan. Tugasnya adalah untuk memastikan dia selalu memiliki produk untuk dijual. Namun, karena ruang penyimpanan yang terbatas, produk yang disimpan dikenakan biaya 0,25 dollar. Waktu untuk order dua ming- gu dan setiap kali pemesanan, ada biaya pengiriman 75 dollar. Tidak lebih dari 1.000 kaleng produk dapat dipesan pada satu waktu. Biaya yang terkait dengan pelanggan yang datang ke toko dan tidak mampu untuk membeli produk sebesar 125 dollar dalam penjualan akan hilang karena pelanggan bisa memutuskan un- tuk mengunjungi toko grosir lain dan tidak kembali. Permintaan untuk produk mengikuti distribusi poisson. Teguh telah menciptakan model optimasi simulasi untuk menentukan pada titik apa yang harus Teguh susun ulang produk tersebut (reorder point) dan berapa banyak pemesanan (order quantity) untuk memini- malkan biaya total.
29
Contoh 1: program pada lampiran (simulasi 1) menunjukkan data dalam 1 tahun digunakan sebagai sampel data pada pemrograman penelitian ini. Pro- gram frontline solver akan mengacak variabel demand/permintaan secara otoma- tis. Berdasarkan proses pengacakan tersebut, maka akan didapatkan total biaya minimal dengan memperhatikan stok awal dan stok penyimpanan dengan biaya penyimpanan yang sudah ditentukan.
Pada penelitian ini, model fungsi inventori merupakan selisih antara total stok pokok dengan permintaan yang ditunjukkan oleh:
Ij(t) = Bj(t) − dj(t − SIj − Tj, t− Sj), dimana Bj(t) = begin inventory + shipment received
Stage 1 (berdasarkan data pengacakan permintaan pada simulasi 1):
Bj(t) = begin inventory + shipment received Bj(t) = 262 + 0 = 262
Ij(t) = Bj(t) − dj(t − SIj− Tj, t− Sj) = ending inventory Ij(t) = 262 − 68 = 194
Sehingga didapatkan model fungsi menimumkan total cost:
Total holding cost = min XH
t=1
XN j=1
hjE[Ij(t)]
Total holding cost = 0.25 dollar × ending inventory Total holding cost = 0.25 dollar × 194 = 48.50 dollar
Stage 2 (berdasarkan data pengacakan permintaan pada simulasi 1):
Bj(t) = begin inventory + shipment received Bj(t) = 194 + 0 = 194
dimana begin
inventory = 194 merupakan data yang didapat pada stage 1
Ij(t) = Bj(t) − dj(t − SIj− Tj, t− Sj) = ending inventory
30
Ij(t) = 194 − 74 = 120
Sehingga didapatkan model fungsi menimumkan total cost:
Total holding cost = min XH
t=1
XN j=1
hjE[Ij(t)]
Total holding cost = 0.25 dollar × ending inventory Total holding cost = 0.25 dollar × 120 = 48.50 dollar
Stage selanjutnya dilakukan dengan cara yang sama dimana stage j meng- gunakan data begin inventory pada stage j − 1,
Total cost = total holding cost + total order cost Total cost = 1.972 dollar + 1.125 dollar = 3.097 dollar
Contoh 2: program pada lampiran (simulasi 2)
Stage 1 (berdasarkan data pengacakan permintaan pada simulasi 1):
Bj(t) = begin inventory + shipment received Bj(t) = 262 + 0 = 262
Ij(t) = Bj(t) − dj(t − SIj− Tj, t− Sj) = ending inventory Ij(t) = 262 − 70 = 192
Sehingga didapatkan model fungsi menimumkan total cost:
Total holding cost = min XH
t=1
XN j=1
hjE[Ij(t)]
Total holding cost = 0.25 dollar × ending inventory Total holding cost = 0.25 dollar × 192 = 48 dollar
Stage 2 (berdasarkan data pengacakan permintaan pada simulasi 1):
31
dimana begin inventory = 194 merupakan data yang didapat pada stage 1, Ij(t) = Bj(t) − dj(t − SIj− Tj, t− Sj) = ending inventory
Ij(t) = 194 − 68 = 124
Sehingga didapatkan model fungsi menimumkan total cost:
Total holding cost = min XH
t=1
XN j=1
hjE[Ij(t)]
Total holding cost = 0.25 dollar × ending inventory Total holding cost = 0.25 dollar × 124 = 31 dollar
Stage selanjutnya dilakukan dengan cara yang sama dimana stage j meng- gunakan data begin inventory pada stage j − 1,
Total cost = total holding cost + total order cost Total cost = 1.969 dollar + 1.200 dollar = 3.169 dollar
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Dalam penelitian ini, sudah diperkenalkan dan dikembangkan sebuah model pe- nempatan stok pengaman pada sebuah rantai suplai dengan permintaan stasioner dan ditunjukkan bagaimana memperluas model rantai suplai dengan perminta- an stasioner untuk mendapatkan penempatan optimal stok pengaman khususnya pada produk edar singkat.
Dari kesepuluh simulasi yang telah dilakukan pada penelitian ini, didapatkan total biaya minimal yaitu pada simulasi ke-4 dengan total biaya sebesar 3.035 dollar, dimana total permintaan sebesar 3981 unit dan total persediaan sebesar 7339 unit. Berarti stok awal barang yang disimpan sisa tahun lalu sebesar 7339 - 3981 = 3358 unit. Total biaya penyimpanan sebesar 1.835 dollar dan total biaya pemesanan sebesar 1.200 dollar. Semakin banyak simulasi yang dilakukan maka dimungkinkan total biaya yang lebih kecil akan didapat. Hal ini bergantung pada pengacakan permintaan, stok awal, dan penerimaan barang.
5.2 SARAN
Ada beberapa hal yang menarik yang dapat dikembangkan dari penelitian ini:
1. Pengembangan lebih lanjut dalam keefektifan menggunakan kebijakan wak- tu layanan tidak konstan, dan bagaimana agar lebih mudah dipahami;
2. Dengan penelitian ini, diharapkan dapat menguji seberapa baik model pro- ses permintaan dan batas-batas permintaan di dalam konteks penempatan stok pengaman;
3. Penelitian ini sangat diharapkan untuk diselidiki dan apa yang terjadi jika beberapa asumsi kunci ditiadakan pada model tersebut. Tidak ada kendala
DAFTAR PUSTAKA
Abhyankar, H. S., dan Graves, S. C. (2001) Creating an inventory hedge for Markov-modulated Poisson demand: An application and a model. Manfac- turing Service Oper. Management 3 306-320.
Beyer, D., dan Ward, J. (2000) Network server supply chain at HP: A case study.
HP Labs Technical Report HPL-2000-84.
Bollapragada, S., dan Morton, T. E. (1999) A simple heuristic for computting nonstationery (s,S) policies. Oper. Res. 47 576-584
Chen, F., dan Song, J. (2001) Optimal policies for multiechelon inventory problems with Markov-modulated demand. Oper. Res. 49 226-234
Chen, F.Y., Ryan, J. K., dan Simchi-Levi, D. (2000) The impact of exponential smoothing forecasts on the bullwhip effect. Naval Re. Logist 47 269-286 Coughlin, R.L. (1998) Optimization and measurement of a world-wide supply
chain. S. M. thesis, Leaders for Manufacturing program, MIT, Cambridge, MA.
Ettl, M., Feigin, G. E., Lin, G. Y., dan Yao, D. D. (2000) A supply network model with base-stock control and service requirements.Oper. Res. 48 216-232.
Graves, S. C. (1999) A single-item inventory model for a nonstationary demand process. Manufacturing Service Oper. Management 1 50-61.
Graves, S. C., dan Willems, S. P. (1998) Optimizing strate- gic safety stock placement in supply chains. Working paper, http://web.mit.edu/sgraves/www/papers/.
Graves, S. C., dan Willems, S. P. (2000) Optimizing strategic safety stock place- ment in supply chains. Manufacturing Service Oper. Management 2 68-83.
Graves, S. C., dan Willems, S. P. (2002) Strategic inventory place- ment in supply chains: Nonstationary demand. Working paper, http://web.mit.edu/sgraves/www/papers/.
Johnson., dan Anderson, M. E. E. (2000) Postponement strategies for channel derivatives. Internat. J. Logist. Management 11 19-35.
Kimball, G. E. (1998) General principles of inventory control. J.Manufacturing Oper. Management 1 119-130.
Kurawarwala., dan Matsuo, A. H. (1996) Forecasting and inventory management of short life-cycle products. Oper. Management 44 131-150.
Lee, H. L. V., Padmanabhan., dan Whang, S. (1997) Information distortion in a supply chain: The bullwhip effect. Management Sci. 43 546-558.
Lesnaia, E. (2004) Optimizing safety stock placement in general network supply chains. PhD thesis, MIT Operations Research Center, Cambridge, MA.
Morton, T. E., dan Pentico, D. W. (1995) The finite horizon nonstationary stochas- tic inventory problem: Near-myopic bounds, heuristics, testing. Management Sci. 41 334-343
Simpson, K. F. (1958) In-process inventories. Oper.Res. 6 863-873.