Pengaruh Latihan Interval Intensitas Tinggi terhadap Kadar Lakatat Darah dan Tingkat Usaha pada Dewasa Sehat Sedentary
Nur Ahlina Damayanti1, Nury Nusdwinuringtyas1, Tresia Fransiska Uliana Tambunan1, Aria Kekalih2
1. Program Studi Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jl. Diponegoro No. 71, Jakarta, 10430, Indonesia
2. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jl. Pegangsaan Timur No. 16, Jakarta, 10310, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Tesis ini disusun untuk mengetahui pengaruh latihan interval intensitas tinggi terhadap kadar laktat darah dan tingkat usaha pada dewasa sehat sedentary. Penelitian menggunakan desain uji pre-post. Subjek penelitian merupakan dewasa yang telah dinyatakan sehat dan tergolong sedentary secara aktifitas fisik. Semua subjek melakukan uji latih dengan basis laboratoium menggunakan alat Cardiopulmonary Exercise Testing dan mengikuti program berupa latihan interval intensitas tinggi dengan intensitas 80% berdasarkan heart rate yang diselingi dengan intensitas 40% selama 20 menit yang dilakukan tiga kali dalam seminggu selama empat minggu dengan menggunakan treadmill. Hasil keluaran penelitian ini berupa kadar laktat darah yang diukur dengan pengambilan darah kapiler serta tingkat usaha yang diukur menggunakan Rate of Percieved Exertion dari Skala Borg. Analisis statistik dilakukan untuk membandingkan kadar laktat darah dan tingkat usaha setelah melakukan latihan interval intensitas tinggi pasca latihan pertama dan pasca latihan ke dua belas. Hasil penelitian menyatakan bahwa dengan latihan interval intensitas tinggi, terdapat penurunan kadar laktat darah dan tingkat usaa pada dewasa sehat sedentary. Penurunan kada laktat darah serta tingkat usaha secara berurutan adalah sebesar 1,1 mmol/ L dan 2 pada Skala Borg dimana didapatkan berbeda signifikan dengan nilai p<0,0001. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menggunakan uji latih berbasis lapangan untuk penentuan peresepan latihan serta menentukan manfaat latihan interval intensitas tinggi pada populasi dengan faktor risiko penyakit kardiorespirasi sebelum dapat digunakan pada populasi sakit.
Effect of High Intensity Interval Training on Blood Lactate Levels and Rate of Percieved Exertion in Sedentary Healthy Adults
Abstract
This thesis was aimed to determine the effect of high intensity interval training (HIIT) on blood lactate levels and rate of percieved exertion (RPE) in sedentary healthy adults. The design used was pre-post study. Subjects was adults that was stated healthy and sedentary on physical activity. All subjects underwent laboratory based exercise testing using a Cardiopulmonary Exercise Testing equipment and given HIIT of 80% with a interval of 40%
intensity based on heart rate with a total duration of 20 minutes, three times a week for four weeks using treadmill. Capillary blood was obtained to measure blood lactate level and Borg Scale was used to report Rate of Percieved Exertion. After the first and twelveth exercise, statistical analysis was performed to compare blood lactate level and RPE. The result of the study shows a decrease of blood lactate level and RPE after given HIIT in sedentary healthy adults. The reduction of blood lactate level and RPE consecutively was 1,1 mmol/ L and 2 on Borg Scale with a significant difference of p < 0,0001. Further research is needed using a field based exercise testing to determine exercise prescription and to obtain the benefit of HIIT in population with cardiovascular risk factor before utilizing in patients.
Keywords: Latihan Interval Intensitas Tinggi, High Intensity Interval Training, Kadar Laktat, Blood Lactate, Tingkat Usaha, Rate of Percieved Exertion, Sedentary
Pendahuluan
Latihan interval intensitas tinggi umumnya mengacu kepada suatu periode latihan singkat berulang dengan usaha sepenuhnya atau dengan intensitas mendekati VO2max (contoh: ≥90%
VO2max) yang dapat bertahan mulai dari beberapa detik sampai dengan menit. Latihan berulang ini dipisahkan oleh periode istirahat atau latihan intensitas rendah selama beberapa saat.(M. J. Gibala & Mcgee, 2008) Adaptasi metabolik terinduksi lebih cepat pada latihan interval intensitas tinggi dengan dibandingkan dengan latihan endurans kontinu.
Melalui proses prepartisipasi, penapisan kesehatan, dan uji latih, individu yang tidak aktif (sedentary) dan berlatih untuk kepentingan rekreasi mendapatkan manfaat yang besar dari latihan interval intensitas tinggi dibandingkan dengan latihan kontinu, dengan meningkatnya VO2max sehingga dapat meningkatkan kebugaran aerobik.(Laursen & Jenkins, 2002) Penurunan pada kadar laktat dan tingkat usaha pada individu yang sedentary juga terjadi akibat adaptasi dari latihan interval intensitas tinggi.(Alkahtani et al., 2013) Perubahan lain pada tingkat selular juga terjadi, antara lain peningkatan densitas kapiler dan jumlah mitokondria tiap serat otot yang dapat meningkatkan kapasitas transport asam lemak bebas dari plasma ke sitoplasma kemudian ke mitokondria. Adaptasi mitokondria lain nya termasuk peningkatan metabolisme oksidatif yang berujung pada penurunan terjadinya kondisi kurang oksigen karena terjadinya peningkatan ambilan oksigen saat mula latihan, peningkatan metabolisme lemak, penuruanan kadar laktat dan pembentukan ion H, serta peningkatan buangan laktat di hepar.
Kadar laktat darah kerap kali digunakan sebagai penentu intensitas latihan, sebagai alat ukur latihan endurans dan atau untuk memperkirakan pengeluaran energi bersumber laktat dari sebuah kegiatan. Selain dari kadar laktat, tingkat usaha dari suatu skala Borg merupakan suatu alat ukur intensitas latihan selayaknya variabel fisiologis, dan dapat merepresentasikan faktor lain yang mempengaruhi seseorang seperti status psikologis dan status kebugaran.(Coutts et al., 2009)
Mengetahui kadar laktat darah dan tingkat usaha seseorang setelah beradaptasi terhadap suatu program latihan, diharapkan dapat menjadi acuan untuk penentuan peresepan latihan, terutama untuk program latihan interval intensitas tinggi.
Secara umum, studi ini bertujuan untuk Mengetahui pengaruh latihan interval intensitas tinggi terhadap kadar laktat darah dan tingkat usaha pada dewasa sehat sedentary. Selain itu, studi
ini ingin mengetahui rerata/median kadar laktat darah serta tingkat usaha pada Latihan interval intensitas tinggi.
Tinjauan Teoritis
Latihan interval intensitas tinggi adalah suatu periode latihan dengan intensitas 80% VO2 max atau diatas dengan diselingi periode istirahat atau latihan intensitas rendah.(M. Gibala, 2015) Tipe latihan ini menstimulasi perubahan fisiologis yang sama dengan latihan kontinu intensitas menengah namun dengan volume latihan dan durasi yang lebih pendek.(M. J.
Gibala et al., 2012) Tujuan latihan interval intensitas tinggi adalah untuk memberikan beban yang lebih dari yang dibutuhkan, secara berulang pada sistem fisiologi yang dibutuhkan untuk tipe latihan tertentu.(Laursen & Jenkins, 2002)
Individu yang tidak aktif (sedentary) dan berlatih untuk kepentingan rekreasi mendapatkan manfaat yang besar dari latihan interval intensitas tinggi dibandingkan dengan latihan kontinu intensitas sedang, dengan meningkatnya VO2max sehingga dapat meningkatkan kebugaran aerobik.(Laursen & Jenkins, 2002) Penurunan pada kadar laktat dan tingkat usaha pada individu yang sedentary juga terjadi akibat adaptasi dari latihan interval intensitas tinggi.(Alkahtani et al., 2013) Manfaat yang dirasakan pada individu dengan obesitas adalah dengan meningkatnya oksidasi lemak secara keseluruhan dengan meningkatnya kapasitas oksidasi mitokondria melalui jalur protein kinase.(Alkahtani et al., 2013; M. J. Gibala &
Mcgee, 2008; Talanian et al., 2006) Pasien penyakit paru obstruktif kronik dan coronary artery disease juga mendapatkan manfaat lebih dengan latihan ini, dengan efek yang besar terhadap otot perifer tanpa membebani system kardiorespiasi. Pada pasien dengan penyakit arteri koroner peningkatan fungsi jantung berupa peningkatan volume sekuncup, kontraksi miokardium, dan peningkatan fraksi ejeksi saat puncak latihan.(Rognmo et al., 2004;
Warburton et al., 2005) Pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik terjadi peningkatan kemampuan oksidatif otot serta memungkinkan pembersihan laktat pada periode istirahat sehingga mengurangi keluhan lelah. Pembersihan laktat secara berkala juga mengurangi beban ventilasi sehingga mengurangi keluhan sesak selama latihan.(Kortianou et al., 2010)
Selama glikolisis, glukosa dalam darah atau glikogen di otot diubah menjadi piruvat, yang kemudian dapat memasuki mitokondria dan berlanjut ke metabolisme aerobik atau diubah
menjadi laktat, tergantung dari intensitas latihan dan ketersediaan oksigen. Selama istirahat atau latihan intensitas rendah, hampir semua piruvat memasuki mitokondria, tetapi pada intensitas yang lebih tinggi, ketika melebihi kapasitas mitokondria, lebih banyak piruvat yang diubah menjadi laktat, dan dengan meningkatnya intensitas, terjadi pula peningkatan perubahan glukosa menjadi piruvat untuk menghasilkan ATP sehingga melebihi kemampuannya untuk memasuki mitokondria.(Porcari et al., 2015) Kadar laktat darah kerap kali digunakan sebagai penentu intensitas latihan, sebagai alat ukur latihan endurans dan atau untuk memperkirakan pengeluaran energi bersumber laktat dari sebuah kegiatan. Laktat dapat diproduksi oleh sel darah merah, otak, usus, dan kulit, namun pada latihan jaringan yang utama memproduksi laktat secara aktif adalah otot.(Felippe et al., 2017)
Tingkat usaha adalah seberapa berat seseorang merasa tubuhnya bekerja. Hal tersebut merupakan suatu alat ukur intensitas latihan selayaknya variabel fisiologis, dan dapat merepresentasikan faktor lain yang mempengaruhi seseorang seperti status psikologis dan status kebugaran.(Coutts et al., 2009) Tingkat usaha dari skala Borg dikembangkan untuk memungkinkan seseorang menilai ketegangan fisik selama latihan secara subjektif.(American College of Sports Medicine, 2018) Tingkat usaha dari skala Borg yang digunakan saat ini menilai intensitas dari 6 sampai 20. Selama uji latih, tingkat usaha dapat digunakan sebagai indikator mula nya terjadi kelelahan.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi intervensional dengan desain pre-post. Populasi target adalah dewasa sehat di Indonesia. Populasi terjangkau adalah dewasa sehat di lingkungan Rumah Sakit Ciptomangunkusumo. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling pada populasi terjangkau yang memenuhi kriteria penerimaan dan tidak memenuhi kriteria penolakan. Kriteria penerimaan penelitian ini adalah dewasa sehat usia 18 – 40 tahun, bersedia mengikuti penelitian secara sukarela dengan menandatangani formulir persetujuan setelah penjelasan, sehat secara kardiorespirasi. aktifitas rendah berdasarkan International Physical Acitvity Questionnaire. Subjek di eksklusi jika tidak mampu dan memahami dalam instruksi kerja dan teknis penelitian, sedang menderita, atau memiliki riwayat penyakit atau memiliki gejala dan tanda gangguan kardiorespirasi serta terdapat gangguan keseimbangan dan ekstremitas bawah, tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Adapun kriteria drop out pada penelitian ini adalah jika subjek menolak atau tidak dapat melakukan latihan
selama 3 kali berturut-turut, tidak mencapai 80% dari HR selama 3 kali latihan berturut-turut.
Penelitian telah lolos kaji etik oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia berdasarkan surat keterangan No.706/UN2.F1/ETIK/PPM.00.02/2019.
Pada awal penelitian, seluruh subjek diberikan penjelasan mengenai penelitian ini, kemudian menandatangani informed consent jika menyetujui mengikuti. Setiap subjek yang telah menandatangani informed consent dilakukan anamnesis, pengisian kuesioner PARQ+ untuk penapisan pre-program latihan, IPAQ untuk menentukan tingkat aktivitas, pemeriksaan EKG, pemeriksaan uji fungsi paru dengan menggunakan peak flow meter dan spirometri untuk menentukan bahwa subjek aman untuk diberikan program latihan. Pengambilan data ini dilakukan oleh peneliti dan asisten peneliti yang telah diberikan pengarahan untuk pengisian kuesioner dan melakukan pemeriksaan.
Setiap subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi kemudian melakukan persiapan untuk menjalani uji latih, yang termasuk diantaranya mengganti pakaian dan sepatu olahraga, pemeriksaan tanda vital, pemasangan sungkup, monitor detak jantung Polar®, serta gas analyzer. Uji latih pada penelitian ini menggunakan alat CPET Cosmed K5® dimana setiap sebelum penggunaan alat akan di kalibrasi oleh peneliti. Pasien kemudian menjalani familiarisasi terlebih dahulu untuk membiasakan berjalan di treadmill selama satu menit.
Peneliti menjelaskan proses uji latih dan bagaimana subjek memberi signal jika subjek hendak berhenti. Selama uji latih pasien dipantau detak jantung, saturasi, serta tekanan darah sampai terdapat indikasi penghentian uji latih dan jika usaha subjek mencapai maksimal. Pada uji latih akan didapatkan detak jantung maksimal yang kemudian menjadi acuan untuk program latihan interval intensitas tinggi. Subjek kemudian duduk di kursi untuk fase pemulihan selama 15 menit dan di ukur kembali tanda vital.
Setelah menjalani uji latih dan mendapatkan heart rate maksimal, kemudian dihitung dosis intensitas latihan dengan menghitung HRreserve (HRmax/peak – HRrest) untuk intensitas 80% dan 40%yang kemudian menjadi acuan program latihan. Intensitas 80% akan menjadi intensitas tinggi yang dipakai untuk program latihan, sedangkan intensitas 40% menjadi intensitas rendah yang menjadi interval pada program latihan interval intensitas tinggi.
Latihan diberikan selama 20 menit dengan durasi untuk intensitas tinggi selama 60 detik, dan intensitas rendah selama 120 detik. Sebelum, selama, dan sesudah latihan subjek dipantau tanda vital serta tingkat usaha. Pada latihan pertama, sesegera mungkin setelah berhenti latihan subjek diukur kadar laktat menggunakan Accutrend® Plus dan ditanyakan tingkat
usaha yang dirasakan setelah menjalani latihan. Latihan kedua sampai kesebelas subjek menjalani program latihan dengan intensitas yang sama. Pada latian ke dua belas, dilakukan lagi pemeriksaan seperti yang dilakukan pada latihan pertama.
Analisis data dilakukan secara bertahap sebagai berikut. Analisis univariate merupakan langkah pertama analisis statistik yaitu analisis deskriptif berupa penjabaran distribusi karakteristik subjek penelitian. Uji t-berpasangan digunakan pada kedua kelompok grup untuk mendapatkan kemaknaan secara statistik. Uji hipotesis akan disertakan nilai kemaknaan (p <
0,05).
Hasil Penelitian
Total sampel yang mengikuti penelitian adalah sebanyak 44 orang yang mengikuti penelitian sampai akhir. Setiap subjek menjalani uji latih kardiopulmonar untuk menentukan dosis latihan yang didapatkan dari detak jantung maksimal saat uji latih. Dari 44 subjek mayoritas adalah perempuan sebanyak 28 orang dibandingkan dengan subjek laki-laki sebanyak 16 orang. Rerata usia pada penelitian ini adalah 30,1 tahun dengan standar deviasi 3,6. Berat badan dan tinggi badan subjek penelitian ini memiliki rerata 62,8 kg (12,6) serta 1,6-meter (0,1) dan didapatkan rerata indeks massa tubuh 23,5 kg/m2 (3,3). Tingkat pendidikan keseluruhan subjek penelitian adalah lulusan sarjana. Berdasarkan International Physical Activity Questionnaire, didapatkan nilai tengah METs subjek penelitian adalah sebesar 330 METs dengan nilai rentang 120 – 594 METs.
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian
n (%) Mean (SD)
Usia 30,1 (3,6)
Jenis Kelamin
Laki-laki 16 (36,4) Perempuan 28 (63,6)
Berat Bedan 62,8 (12,6)
Tinggi Badan 1,6 (0,1)
Tingkat Pendidikan
≥ S1 44 (100)
HR Max 176 (12)
Tingkat Usaha Uji Latih 16 (1)
IMT 23,5 (3,3)
IPAQ 330 (120 – 594)*
FEV1 2835 (1830 – 4550)*
FVC 3050 (1980 – 5250)*
PFR 478,8 (90,2)
PCF 469,6 (78,3)
*median (minimum – maximum)
Pasca latihan pertama, nilai tengah kadar laktat subjek penelitian adalah 6,8 mmol/L dengan nilai rentang (3 – 20) dan pasca latihan ke 12 adalah 5,5 mmol/L dengan nilai rentang 3 - 13.
Terdapat perubahan bermakna secara statistik pada kadar laktat pasca latihan ke-1 dengan ke- 12 dengan p-value <0,0001. Pasca latihan pertama, tingkat usaha laktat subjek penelitian adalah 12,3 dengan standar deviasi sebesar 1,4 dan pada latihan ke 12 nilai tengah yang didapatkan adalah 10,5 dengan nilai rentang 6 - 13. Terdapat perubahan bermakna secara statistik pada tingkat usaha pasca latihan ke-1 dengan ke-12 dengan p-value <0,0001
Pembahasan
Penelitian ini menetapkan rentang usia 18 hingga 40 tahun dalam kriteria inklusi. Alasan peneliti untuk mengambil batas usia dari 18 sampai 40 tahun dalah berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan Cardoso dkk (2012) di Brazil dengan usia antara 18-40 tahun dan berdasarkan pengertian oleh Hurlock (2001), bahwa usia dewasa muda adalah usia antara 18 sampai 40 tahun.(Valenti et al., 2010) Pada rentang usia tersebut, penelitian dari kriteria penerimaan dan penolakan subjek penelitian yang didapat sebanyak 44 orang. Dari 44 orang tersebut didapatkan 16 orang lelaki dan 28 orang perempuan dengan rerata usia 30 tahun.
Rerata indeks massa tubuh subjek pada penelitian ini adalah 23,5 (3,3) kg/m2 yang menurut klasifikasi Indeks Massa Tubuh tergolong sebagai kelebihan berat badan. Inaktifitas fisik atau sedentary memiliki kontribusi yang besar terhadap terjadinya berat badan berlebih dan obesitas.(Rosenberg et al., 2008) Dimana peningkatan berat badan itu sendiri merupakan faktor risiko terjadinya penyakit metabolik dan jantung.(Ding et al., 2011)
Keseluruhan tingkat pendidikan subjek adalah sarjana yang memudahkan dalam pengisian kuesioner berbahasa inggris dan dalam memberikan penjelasan mengenasi latihan yang akan diberikan serta motivasi untuk mengikuti program latihan hingga dua belas kali. Hal ini terlihat bahwa seluruh subjek mampu menyelesaikan latihan selama dua belas kali tanpa ada drop out.
Pada penelitian ini, hasil rekam jantung seluruh subjek tidak menunjukkan adanya perubahan dari seluruh sadapan yang terekam. Pemeriksaan fungsi paru yang digambarkan dari hasil spirometri juga dinyatakan tidak ada tanda obstruksi ataupun restriksi yang disesuaikan dengan nilai hasil pneumomobile. Dari hasil pemeriksaan arus puncak batuk didapatkan nilai 469,6 ± 78,3 L/ menit. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Fauzan yang menunjukkan rentan normal arus puncak batuk pada individu dewasa muda sedentary adalah antara 310 – 645 L/ menit.(Fauzan, 2016) Apabila dari seluruh hasil pemeriksaan rekam jantung, spirometri, serta pemeriksaan arus puncak batuk didapatkan hasil normal, maka subjek dilakukan uji latih untuk kemudian mendapatkan intensitas untuk menjalani program latihan.
Subjek penelitian ini adalah individu sedentary, dimana sedentary itu sendiri adalah tidak terpenuhinya ambang kegiatan fisik intensitas sedang dan berat.(Church et al., 2009; Herianto
& Dewi, 2012; Melanson et al., 2009; Mullen et al., 2011; Sims et al., 2011) Penelitian Tudor-Locke dan Meyer (2001) menyimpulkan bahwa sedentarisme merupakan penggunaan energi yang rendah, baik untuk jarak dan waktu berjalan, naik tangga, dan atau rendahnya partisipasi pada aktivitas intensitas berat baik untuk rekreasi ataupun berolahraga.(Tudor- locke & Myers, 2001) Berdasarkan hasil IPAQ subjek penelitian memiliki tingkat aktifitas fisik rendah dengan nilai tengah 330 METs per minggu dan rentang antara 120 – 594 METs.
Seseorang masuk ke kategori aktifitas rendah jika tidak memenuhi kriteria minimal total 600 METs dalam seminggu baik aktifitas ringan, sedang ataupun berat.(Cleland et al., 2018;
Rosenberg et al., 2008) Hal ini juga tergolong dalam gaya hidup sedentary dimana menurut ACSM dan American Heart Association, yang tergolong sedentary adalah aktifitas fisik minimal 30 menit di intensitas sedang sebanyak 5 hari dalam seminggu, atau pun 20 menit aktifitas dengan intensitas berat sebanyak 3 hari dalam seminggu.(American College of Sports Medicine, 2018) Penyebab tinggi nya angka sedentary dari subjek penelitian dapat di tinjau dari berbagai aspek. Penggunaan transportasi, pekerjaan, waktu rekreasi, pekerjaan rumah merupakan aspek yang dapat berperan dalam perilaku sedentary seseorang.(Owen et al., 2011)
Uji latih yang banyak dipakai untuk individu dengan tingkat aktifitas rendah atau sedentary adalah protokol modified bruce. Protokol ini telah terbukti juga aman untuk individu overweight dan obese.(Aparecida et al., 2017; Vanhecke et al., 2009) Pada saat dilakukan uji latih, durasi yang dibutuhkan antara 10 – 12 menit. Alasan subjek berhenti uji latih adalah karena telah memenui salah satu kriteria tercapainya uji latih maksimal yaitu bila tidak terjadi peningkatan detak jantung dengan meningkatkan beban kerja, kadar laktat darah pasca uji
latih >8.0 mmol/L, tingkat usaha mencapai >17 di skala tingkat usaha (RPE) 6 – 20, Respiratory Exchange Ratio (RER) ≥ 1.10. Pada penelitian ini, rerata tingkat usaha yang dilaporkan oleh subjek adalah 16 ±1 yang menurut ACSM telah mencapai kriteria uji latih maksimal.
Perubahan pada konsentrasi laktat darah di observasi pada 10 lelaki sehat, tidak olahraga dengan rutin, yang telah diberikan latihan pada intensitas 90% yang diselingi dengan fase istirahat. Latihan terbagi menjadi 5 pertemuan dengan ergocycle dan setiap latihan berlangsung selama 20 menit. Setelah diberikan latihan selama 20 menit, terdapat perubahan laktat yang tampak dari pengambilan sampel laktat darah di menit ke 20 latihan dari 18,3 mmol menjadi 10,2 mmol.(Green et al., 2000) Pada penelitian yang dilakukan oleh Balsom, terdapat kemiripiran konsentrasi laktat darah setelah latihan intensitas tinggi dengan fase interval 30 detik dengan 120 detik.(Macedo et al., 2018) Penurunan signifikan dari produksi laktat pasca latihan dapat terjadi akibat penurunan glycolysis ataupun karena peningkatan bersihan laktat dari otot yang berkontraksi.
Tingkat usaha merupakan alat ukur yang efektif dalam mengukur beban dan kelelahan selama latihan.(Bonilla et al., 2020) Tingkat usaha sangat berhubungan dengan konsep intensitas latihan, motivasi latihan, kondisi emosi dan penyakit yang dapat memperluas cakupan faktor yang mempengaruhi tingkat usaha itu sendiri. Pada individu sehat, definisi tingkat usaha menekankan pada respon subjektif dari suatu intensitas latihan dan pengalaman sensorik dari stimulus yang dirasakan.(Borg, 1998)
Kadar laktat darah dan tingkat usaha menurun secara simultan selama 12 sesi latihan interval intensitas tinggi, yang sejalan dengan penelitian Alkahtani.(Alkahtani et al., 2013) Pada penelitian tersebut penurunan secara signifikan pada kadar laktat darah terjadi di latihan ke sembilan, dan penurunan tingkat usaha terjadi di latihan ke sembilan pula. Penurunan kadar laktat berhubungan dengan penurunan tingkat usaha setelah latihan interval intensitas tinggi mencerminkan adaptasi metabolik pada jaringan perifer. Menurut penelitian Vargas-Molina (2020), korelasi yang baik tampak pada perubahan kadar laktat dan tingkat usaha.(Bonilla et al., 2020) Adaptasi tersebut termasuk penurunan glycogenolysis dan penurunan akumulasi laktat pada individu sehat tidak terlatih yang menjalani latihan intensitas tinggi.
Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menggunakan uji latih laboratorium untuk menentukan dosis suatu program latihan. Maka dari itu, kekuatan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini menggunakan uji latih berbasis laboratorium, yang lebih objektif dan akurat
serta merupakan gold standard untuk penentuan dosis pada suatu program latihan yang diterapkan pada individu sehat untuk meningkatkan kebugaran kardiorespirasi.
Keterbatasan penelitian ini, untuk uji latih laboratorium tidak dapat diterapkan sehari-hari dimana tidak terdapat alat CPET untuk penentuan dosis. Karena subjek penelitian ini merupakan Peserta Pendidikan Dokter Spesialis, keragaman aktifitas fisik tidak dapat dikendalikan. Hal tersebut terkait dengan tinggi nya kadar laktat pasca latihan yang bisa dikarenakan tinggi nya intensitas kegiatan sesaat sebelum melakukan laithan.
Kesimpulan
Uji jalan dua menit dan uji jalan enam menit mampu laksana pada anak dengan palsi serebral ambulatori dengan penyesuaian khusus dalam teknis pelaksanaan. Rerata jarak tempuh uji jalan dua menit pada penelitian ini sebesar 47,87 + 28,54 m. Belum ada studi terpublikasi mengenai uji jalan dua menit pada subjek anak dengan palsi serebral. Rerata jarak tempuh uji jalan enam menit pada penelitian ini sebesar 134,33 + 80,27 m, lebih rendah dibandingkan rerata jarak tempuh uji jalan enam menit pada penelitian di negara lain. Jarak tempuh uji jalan dua menit dan jarak tempuh uji jalan enam menit berkorelasi secara signifikan dengan tingkat korelasi yang sangat kuat (r = 0,920). Maka, uji jalan dua menit dapat dipertimbangkan sebagai alternatif uji kebugaran kardiorespirasi pada anak dengan palsi serebral ambulatori.
Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai validitas dan reliabilitas uji jalan dua menit pada subjek tersebut.
Saran
Pertama, dapat dilakukan penelitian dengan menggunakan uji latih lapangan, untuk dapat memudahkan peresepan latihan jika tidak didapatkan alat CPET. Kedua, dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan program latihan interval intensitas tinggi pada subjek sehat namun dengan faktor risiko penyakit kardorespirasi sebelum dilakukan penelitian pada pasien yang sudah terdiagnosis dengan penyakit kardirespirasi. Ketiga, untuk penelitian yang melibatkan pemeriksaan kadar laktat darah pada suatu program latihan, disarankan untuk melakukan pemeriksaan dasar kadar laktat sebelum latihan untuk menentukan tidak adanya
peningkatan sebelum dilakukan suatu program latihan serta dapat dihitung lactate threshold tiap subjek.
Daftar Referensi
Alkahtani, S. A., King, N. A., Hills, A. P., & Byrne, N. M. (2013). Effect of interval training intensity on fat oxidation, blood lactate and the rate of perceived exertion in obese men.
SpringerPlus, 2(1), 1–10.
American College of Sports Medicine. (2018). ACSM’s Guidelines for Exercise Testing and Prescription. (D. Riebe, J. K. Ehrman, G. Liguori, & M. Magal, Eds.) (10th ed.).
Philadelphia: Walters Kluwer.
Aparecida, E., Belén, A., Jose, P., & Galindo, M. (2017). What is the most effective exercise protocol to improve cardiovascular fitness in overweight and obese subjects ? †. Journal of Sport and Health Science, 6(4), 454–461.
Bonilla, D. A., Petro, J. L., Vargas-molina, S., Martı, F., & Carbone, L. (2020). Comparison of blood lactate and perceived exertion responses in two matched time- under-tension protocols, 1–11.
Borg, G. (1998). Borg’s Perceived Exertion And Pain Scales. Human Kinetics.
Church, T. S., Martin, C. K., Thompson, A. M., Earnest, C. P., Mikus, C. R., & Blair, S. N.
(2009). Changes in Weight , Waist Circumference and Compensatory Responses with Different Doses of Exercise among Sedentary , Overweight Postmenopausal Women, 4(2), 1–11.
Cleland, C., Ferguson, S., Ellis, G., & Hunter, R. F. (2018). Validity of the International Physical Activity Questionnaire ( IPAQ ) for assessing moderate-to-vigorous physical activity and sedentary behaviour of older adults in the United Kingdom, 3, 1–12.
Coutts, A. J., Rampinini, E., Marcora, S. M., Castagna, C., & Impellizzeri, F. M. (2009).
Heart rate and blood lactate correlates of perceived exertion during small-sided soccer games. Journal of Science and Medicine in Sport, 12(1), 79–84.
Ding, D., Sallis, J. F., Hovell, M. F., Du, J., Zheng, M., He, H., & Owen, N. (2011). Physical activity and sedentary behaviours among rural adults in suixi , china : a cross-sectional study. International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity, 8(1), 37.
Fauzan, A. (2016). Faktor-Faktor yang mempengaruhi Nilai Arus Puncak Batuk pada dewasa muda sehat Indonesia. Universitas Indonesia.
Felippe, L. C., Ferreira, G. A., De-Oliveira, F., Pires, F. O., & Lima-Silva, A. E. (2017).
Arterialized and venous blood lactate concentration difference during different exercise intensities. Journal of Exercise Science and Fitness, 15(1), 22–26.
Gibala, M. (2015). Physiological adaptations to low-volume high intensity interval training.
Sports Science Exchange, 28(139), 1–6.
Gibala, M. J., Little, J. P., Macdonald, M. J., & Hawley, J. A. (2012). Physiological
adaptations to low-volume, high-intensity interval training in health and disease. Journal of Physiology, 590(5), 1077–1084.
Gibala, M. J., & Mcgee, S. L. (2008). Metabolic Adaptations to Short-term High-Intensity Interval Training : A Little Pain for a Lot of Gain ?, 2.
Green, H., Tupling, R., Roy, B., Toole, D. O., Burnett, M., & Grant, S. (2000). Adaptations in skeletal muscle exercise metabolism to a sustained session of heavy intermittent
exercise. American Journal of Physiology, Endocrinology and Metabolism, 118–126.
Herianto, & Dewi, C. R. (2012). Analisis dan profil tingkat kebugaran mahasiswa jurusan teknik mesin dan industri universitas gadjah mada yogyakarta. Jurnal Teknosains, 2(1), 1–7.
Kortianou, E. A., Nasis, I. G., Spetsioti, S. T., Daskalakis, A. M., & Vogiatzis, I. (2010).
Effectiveness of Interval Exercise Training in Patients with COPD. Cardiopulmonary Physical Therapy Journal, 21(3), 12–19.
Laursen, P. B., & Jenkins, D. G. (2002). The scientific basis for high-intensity interval training: optimising training programmes and maximising performance in highly trained endurance athletes. Sports Med., 32(1), 53–73.
Macedo, D. V., Lazarim, F. L., Oliveira, F., Tessuti, L. S., & Hohl, R. (2018). Is lactate production related to muscular fatigue ? A pedagogical proposition using empirical facts, 302–307.
Melanson, E. L., Gozansky, W. S., Barry, D. W., Maclean, P. S., Grunwald, G. K., Hill, J. O.,
… Jo, H. (2009). When energy balance is maintained , exercise does not induce negative fat balance in lean sedentary , obese sedentary , or lean endurance-trained individuals, 80045, 1847–1856.
Mullen, S. P., Olson, E. A., Phillips, S. M., Szabo, A. N., Wójcicki, T. R., & Mailey, E. L.
(2011). Measuring enjoyment of physical activity in older adults : invariance of the physical activity enjoyment scale ( paces ) across groups and time, (September).
Owen, N., Sugiyama, T., Eakin, E. E., Gardiner, P. A., Tremblay, M. S., & Sallis, J. F.
(2011). Adults’ Sedentary Behavior. AMEPRE, 41(2), 189–196.
Porcari, J. P., Bryant, C. X., & Comana, F. (2015). Exercise Physiology. F.A. Davis.
Rognmo, Ø., Hetland, E., Helgerud, J., Hoff, J., & Slørdahl, S. A. (2004). High intensity aerobic interval exercise is superior to moderate intensity exercise for increasing aerobic capacity in patients with coronary artery disease. European Journal of Cardiovascular
Prevention and Rehabilitation, 11(3), 216–222.
Rosenberg, D. E., Bull, F. C., Marshall, A. L., Sallis, J. F., & Bauman, A. E. (2008).
Assessment of Sedentary Behavior With the International Physical Activity Questionnaire, 30–45.
Sims, S. T., Larson, J. C., Hutchinson, F., Michael, Y., & Martin, L. (2011). Physical Activity and Body Mass: Changes in Younger versus Older Postmenopausal Women. Medicine &
Science in Sports & Exercise, (June).
Talanian, J. L., Galloway, S. D. R., Heigenhauser, G. J. F., Bonen, A., & Spriet, L. L. (2006).
Two weeks of high-intensity aerobic interval training increases the capacity for fat oxidation during exercise in women. Journal of Applied Physiology, 102(4), 1439–1447.
Tudor-locke, C. E., & Myers, A. M. (2001). Challenges and Opportunities for Measuring Physical Activity in Sedentary Adults, 31(2), 91–100.
Valenti, V. E., Souza, C., & Abreu, L. C. De. (2010). Peak expiratory flow values are higher in older and taller healthy male children : An observational study, (June 2014).
Vanhecke, T. E., Franklin, B. A., Miller, W. M., Adam, T., Coleman, C. J., & Mccullough, P.
A. (2009). Clinical Investigations Cardiorespiratory Fitness and Sedentary Lifestyle in the Morbidly Obese, 124, 121–124.
Warburton, D. E. R., McKenzie, D. C., Haykowsky, M. J., Taylor, A., Shoemaker, P., Ignaszewski, A. P., & Chan, S. Y. (2005). Effectiveness of high-intensity interval training for the rehabilitation of patients with coronary artery disease. American Journal of Cardiology, 95(9), 1080–1084.