• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meniadakan Negara Alternatif Kajian Etno

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Meniadakan Negara Alternatif Kajian Etno"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

Meniadakan Negara: Alternatif Kajian Etnografi Asia Tenggara1 Oleh Febi Rizki Ramadhan, 1206204720

Pendahuluan

Sebagai mahasiswa Antropologi yang mempelajari Etnografi Asia Tenggara, yang saya bayangkan dulu ketika akan mengambil matakuliah ini ialah mempelajari sejumlah etnografi mengenai negara yang berada di wilayah Asia Tenggara serta keterkaitan antara negara-negara tersebut baik secara politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Bayangan seperti itu pula yang saya dapatkan ketika membaca cepat sejumlah literatur mengenai Asia Tenggara di dunia maya. Dengan demikian, sebagaimana dituturkan dalam soal, kajian mengenai Asia Tenggara seringkali merujuk pada agregasi negara-negara ASEAN. Dengan kata lain, melihat Asia Tenggara sebagai kawasan yang batasannya tegas dan jelas dengan sejumlah negara yang merupakan bagiannya. Oleh karena itu, kajian Etnografi Asia Tenggara seringkali menempatkan negara sebagai unit analisis. Hal ini, menurut saya, dapat menjadi problematis karena terdapat sejumlah permasalahan yang tidak dapat dipecahkan jika kita menggunakan negara sebagai unit analisis. Persoalan mengenai negara ini akan saya bahas pada bagian selanjutnya.

Pertanyaan yang kemudian muncul ialah: Jika negara tidak dapat digunakan sebagai unit analisis, maka bagaimana peneliti menganalisis permasalahan mengenai Asia Tenggara? Unit analisis apa yang dapat digunakan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya akan menggunakan sejumlah kajian yang dapat menjadi alternatif penjelasan yang dapat menggantikan posisi negara sebagai unit analisis. Sejumlah kajian yang akan saya bahas ialah kajian mengenai Zomia yang dikemukakan oleh James Scott dalam The Art of Not Being Governed (2009) yang membahas mengenai imajinasi wilayah yang dapat menjadi alternatif penjelasan mengenai interkoneksitas di Asia Tenggara, kajian mengenai pentingnya peran air dalam interkoneksitas di Asia Tenggara dalam A World of Water (2007), serta melihat bagaimana interkoneksitas yang terjadi di Asia Tenggara pada masa-masa pra-modern dalam The Intricacies of Premodern Asian Connections untuk melihat bagaimana interkoneksitas dapat terjadi bahkan ketika negara tidak ada. Akan tetapi, sebelum membahas ketiga kajian tersebut, saya akan membahas tulisan Geography of Knowing, Geography of Ignorance (2005) terlebih dahulu untuk melihat bagaimana suatu kawasan dapat dikonstruksikan. Dalam hal ini, saya akan melihat bagaimana Asia Tenggara sebagai kawasan yang memiliki batasan yang jelas, tegas, dan kaku dikonstruksikan. Setelah memahami kajian-kajian terkait alternatif penjelasan mengenai Asia Tenggara, saya akan memaparkan sejumlah aspek penting yang menunjukkan relevansi kajian alternatif mengenai Asia Tenggara di atas dengan kajian Antropologi.

Mengonstruksi Kawasan vs Mendekonstruksi Kawasan

Kita seringkali melihat segala sesuatu sebagai hal yang telah ada sejak awal secara esensial. Gagasan kita mengenai Asia Tenggara sebagai kawasan pun seringkali demikian.

1

(2)

2

Tulisan Schendel yang akan saya bahas berikut berusaha mengkaji bagaimana paham mengenai kawasan diproyeksikan melalui imajinasi kita serta bagaimana pengetahuan mengenai kawasan mengonstruksi kawasan tersebut. Ia juga membahas bagaimana sebenarnya kawasan merupakan sebuah pengetahuan yang dikonstruksi dan bukan hal yang ajeg secara esensial.

Schendel membuka tulisannya dengan memaparkan gagasan mengenai The Scra mble for the Area, yaitu mengenai bagaimana akademisi berusaha mengklasifikasi kawasan melalui keterlibatannya dalam proses diskursif mengenai kawasan berkelanjutan, pembentukan jaringan referensi yang baik, dan pembangunan mekanisme yang teratur. Schendel berfokus pada studi kajian kawasan di Asia Tengah yang banyak dilakukan pada pertengahan abad sembilan belas. Berkembangnya suatu kawasan dapat dilihat dari proses perkembangan global dan koneksi keuangannya (menurut saya, ekspansi kapitalnya), migrasi transnasional, serta penyebaran identitas yang terjadi di kawasan tersebut.

Apabila kita merujuk pada Schendel, maka kita dapat menemukan dua klasifikasi penting yang ia gagas terkait dengan kawasan. Pertama ialah prinsip dasar yang perlu diketahui dalam melihat suatu kawasan dan kedua ialah syarat-syarat suatu kawasan dapat disebut sebagai kawasan. Klasifikasi pertama ialah prinsip dasar yang perlu diketahui dalam melihat suatu kawasan, yaitu: (1)Kawasan sebagai tempat; (2)Kawasan sebagai situs produksi pengetahuan; dan (3)Kawasan sebagai alat pengembangan karir. Selain itu, ia juga memiliki klasifikasi tentang syarat-syarat suatu kawasan dapat disebut sebagai kawasan, yaitu: (1)Physical Space atau kawasan yang memiliki batas-batas geografis yang didasari oleh kesamaan atau bentuk geografis kawasan tersebut; (2)Symbolic Space atau situs produksi pengetahuan yang membedakan suatu kawasan dengan kawasan yang lain; dan (3)Institutional Space atau jaringan institusi yang dengan jelas membatasi suatu kawasan. Syarat-syarat mengenai kawasan ini tentunya dapat kita gunakan untuk menganalisis kawasan Asia Tenggara. Menurut Schendel, pada titik inilah Asia Tenggara menjadi problematis karena tidak memiliki batas-batas geografis yang jelas karena kesamaan bentuk geografis kawasan (terdapat beragam pola geografis di kawasan Asia Tenggara) dan tidak memiliki kesamaan aspek simbolis seperti agama atau bahasa di seluruh kawasannya. Satu-satunya syarat yang mungkin terpenuhi ialah syarat soal institusi. Asia Tenggara memang secara legal-formal memiliki batasannya, khususnya jika kita melihat negara-negara yang menjadi anggota ASEAN. Menurut saya, pada titik inilah kita dapat melakukan problematisasi konsep. Apabila satu-satunya aspek yang menunjukkan bahwa Asia Tenggara merupakan kawasan ialah keterikatannya dengan ASEAN, maka kita dapat melihat bahwa ASEAN merupakan organisasi yang dapat ditelusuri secara historis. ASEAN sebagai institusi, dan dengan demikian Asia Tenggara sebagai kawasan, merupakan konstruksi sosial. Oleh karena itu, Schendel menyatakan bahwa kita memerlukan metafor geografis, yakni suatu bayangan atas sebuah kawasan yang memiliki batas akhir apabila mendekati batas awal daerah lain. Akan tetapi, pada kenyataannya, studi kawasan justru melihat persebaran kawasan layaknya sebuah Mandala.

(3)

3

merupakan penjelasan yang tepat untuk menganalisis daerah Zomia ini. Schendel menjelaskan bahwa Zomia tidak dapat dikategorisasikan sebagai kawasan yang ditentukan oleh physical space, symbolic space, maupun institutional spa ce. Pembahasan lebih lanjut mengenai Zomia akan saya bahas pada bagian selanjutnya dengan merujuk pada gagasan Scott. Selanjutnya, Schendel juga menganjurkan bahwa kajian mengenai politik-akademik mengenai skala yang menciptakan dan mempertahankan studi kawasan perlu ada. Jika kita telah memahami bahwa kawasan bukanlah konsep yang statis, kekal, dan sejatinya memang ada secara esensial, maka kita dapat menghasilkan bayangan konfigurasi spasial lain seperti daerah perbatasan,

crosscutting, atau aspek geografis yang terkait dengan arus transnasional.

Pembahasan selanjutnya ialah mengenai perbatasan. Pada saat Schendel menuangkan gagasannya, daerah perbatasan masih kurang dikenal oleh peneliti secara akademis (belum menjadi fokus penelitian) karena peneliti terlalu berkonsentrasi dengan permasalahan yang

terdapat di „pusat kekuasaan‟. Hal ini menjadi masalah karena, menurut Schendel, kita dapat melihat persoalan terkait kekuasaan di perbatasan seperti persoalan transnasionalisme, kewarganegaraan, etnis, hibriditas, interpretasi skala dan praktik regulasi, hingga konflik internasional. Secara geografis, daerah perbatasan memiliki peranan penting karena terikat dengan arus transnasional.

Tulisan Schendel ini, pada dasarnya, melihat bagaimana kawasan merupakan konstruksi dan bukan hal yang secara esensial telah ajeg. Dengan menggunakan pendekatannya mengenai kawasan, kita dapat melihat bahwa pengetahuan kita mengenai Asia Tenggara sebagai kawasan merupakan sebuah konstruksi dan dengan demikian mendekonstruksi pengetahuan tersebut. Asia Tenggara sendiri gagal memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Schendel untuk dapat disebut sebagai kawasan. Saya pikir persoalannya sekarang bukan berada di tataran apakah Asia Tenggara merupakan kawasan atau tidak. Jika persoalan yang kita bicarakan hanya berhenti di tataran tersebut, maka saya pikir kita telah jatuh dalam jurang perdebatan ilmiah yang tidak terlalu penting. Persoalannya sekarang, jika Asia Tenggara tidak dapat disebut sebagai kawasan, dan dengan demikian tidak relevan bagi kajian, maka unit analisis apa yang dapat digunakan oleh peneliti dalam kajian Etnografi Asia Tenggara. Sebenarnya Schendel telah mengajukan jawabannya, yaitu menggunakan konsep Zomia. Zomia inilah yang akan saya bahas lebih dalam pada bagian selanjutnya.

Zomia: Imajinasi Wilayah dan Penjelasan Alternatif

Penjelasan Schendel mengenai Zomia mengantarkan kita pada pembahasan yang lebih dalam. Pada bagian ini, saya akan merujuk pada gagasan Scott mengenai Zomia. Zomia sendiri, ketika diajukan oleh Schendel, merujuk pada kawasan di Asia Tenggara yang berbasis di

(4)

4

luas lagi karena berada di sejumlah wilayah Asia, setidaknya Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara.

Scott menjelaskan bahwa Zomia merupakan wilayah terbesar di dunia di mana penduduknya belum diinkorporasi oleh negara-bangsa. Masyarakat Zomia, secara linguistik, berbicara dengan bahasa yang berbeda-beda. Bahasa yang digunakan di dataran tinggi berbeda dengan bahasa yang digunakan di dataran lebih rendah. Struktur kekerabatan pun cukup berbeda antara upland dan lowland. Terakhir, pembahasan Scott mengenai Zomia menjadi menarik ketika kita melihat persoalan negara yang mengelilinginya: perbudakan, pajak, epidemi, perang, hingga perburuhan. Scott juga melihat bagaimana strategi yang digunakan oleh orang-orang Zomia agar kondisi statelessnya tetap bertahan, di antaranya ialah melakukan praktik swidden agriculture yang memungkinkan terjadinya mobilitas, identitas etnik yang lentur, hingga pengembangan kebudayaan lisan yang memungkinkan mereka mereproduksi sejarah mereka dan genealogi hubungan mereka dengan negara.

Poin penting dari pembahasan Scott ini ialah peneliti perlu menyadari bahwa ketika bicara soal Asia Tenggara, maka penggunaan negara sebagai unit analisis bukanlah suatu hal yang mutlak dan ajeg. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Schendel sebelumnya bahwa kawasan merupakan suatu yang dikonstruksi secara sosial, maka saya pikir negara juga merupakan organisasi ekonomi-politik yang dikonstruksi secara sosial dan historis. Dengan demikian, penggunaan negara sebagai unit analisis bukanlah hal yang mutlak harus dilakukan. Konsep Zomia merupakan contoh soal bagaimana imajinasi wilayah alternatif dapat diproduksi untuk menjelaskan permasalahan terkait dengan wilayah tersebut, khususnya dalam konteks kajian Asia Tenggara.

Air, Air, dan Air: Signifikansi Peran Air dalam Interkoneksitas Asia

Salah satu teori dasar Marxisme mengenai determinasi basis pada suprastruktur menjelaskan bahwa moda produksi dan sistem ekonomi akan mempengaruhi aspek-aspek suprastruktur. Jika teori ini dioperasionalisasikan pada persoalan interkoneksitas, dapat kita lihat bahwa arus komoditas, yang berada di tataran basis, mendeterminasi aspek suprastruktur, dalam hal ini interkoneksitas antar wilayah dalam distribusi komoditas. Ketika kita bicara soal arus distribusi komoditas, maka kita harus membicarakan keadaan geografis. Fernand Braudel, dalam bacaan ini, mengamati keadaan geografis. Dengan memahami aspek geografis, kita dapat menemukan hal-hal yang belum terungkap di tataran struktural.

Di Asia Tenggara, faktor geografis yang penting dalam perkembangan sejarah ialah laut dan sungai. Berbicara mengenai laut berarti berbicara mengenai perdagangan yang dilakukan melalui laut. Lebih dari ratusan tahun, perdagangan telah dilakukan di lautan Asia dan dinamika sejarah Asia Tenggara dapat kita lihat dalam interaksi antar-masyarakat dalam arus komoditas: mengarungi sungai, melintasi pantai, menyebrangi laut, dan melayari samudra.

(5)

5

metal. Kedua produsen global ini juga memproduksi makanan, zat pewarna, dan obat-obatan. Letak Asia Tenggara yang berada di perairan menyebabkan kawasan ini dilalui oleh kapal dagang dari Cina dan India sehingga menjadi tempat strategis perdagangan. Hal ini menyebabkan terdapat peran penting sungai dan kanal untuk menjalankan kargo dari laut ke laut. Pelabuhan awal yang penting dalam arus komoditas ini (yang berada lintas batas antara Vietnam Selatan, Kamboja, Thailand, dan Myanmar) adalah Delta Mekong, Chao Phraya, Salween, dan Irrawaddy.

Sebagaimana dijelaskan oleh Kenneth Hall (1985:2-3) terdapat dua jenis sungai yang memberikan pengaruh pada awal pembentukan negara. Di Asia Tenggara (tepatnya di negara-negaranya, lagi-lagi tanpa sadar kita tetap menggunakan negara sebagai unit analisis), terdapat banyak sungai yang mengalir dari pegunungan hingga ke laut, di mana masyarakat yang tinggal di muara sungai dapat melakukan pertukaran barang seperti hasil hutan atau emas dengan barang impor seperti garam, logam, atau tekstil.

Pada dasarnya, pembahasan mengenai peran air ini melihat bahwa aspek geografis terkait air, yaitu laut dan sungai, memiliki signifikansi pada interkoneksitas yang terjadi di Asia Tenggara. Kasus sungai Mekong menunjukkan jelas bagaimana sebuah sungai dapat melalui sejumlah negara dan dengan demikian mengaburkan logika darat mengenai batas. Selain itu, kita dapat melihat bagaimana kajian mengenai interkoneksitas berbasis hubungan yang dimediasi laut dan sungai dapat lebih relevan ketimbang kajian yang menempatkan negara sebagai unit analisisnya karena interkoneksitas berbasis hubungan yang dimediasi oleh laut dan sungai didasarkan pada kepentingan-kepentingan yang ada karena ada, bukan ada karena dianggap harus ada layaknya kepentingan negara.

Interkoneksitas Asia Pra-modern dan Wujud Nyata Ketiadaan Negara

Setelah memahami mengenai konstruksi kawasan Asia Tenggara, imajinasi wilayah Zomia sebagai penjelasan alternatif, dan signifikansi peran air dalam interkoneksitas Asia Tenggara, saya pikir kita perlu membahas gagasan Tansen Sen mengenai interkoneksitas yang terjadi di Asia pada masa pra-modern. Tulisannya yang berjudul The Intricacies of Premodern Asian Connections ini terbagi menjadi tiga bagian.Bagian pertama berbicara mengenai pertukaran komoditas yang umumnya terjadi melalui jalur maritim. Bagian kedua berbicara mengenai pentingnya pemahaman mengenai konflik dan perang untuk dapat memahami interaksi lintas budaya yang terjadi di Asia sebelum masa kolonial. Bagian ketiga berusaha mengkonseptualisasi seluk beluk atau kerumitan interaksi intra-Asia pada masa pra-modern. Ketiga bagian ini, pada dasarnya, saling terkait satu sama lain dan mengantarkan kita pada pemahaman bahwa kita tidak dapat memahami Asia pra-modern tanpa memahami konteks global yang terjadi saat itu.

(6)

6

di kawasan Asia Tengah melainkan memperluas kekuasaan ke Asia Selatan yaitu India bagian timur. Pada saat inilah, agama Buddha yang sejatinya berasal dari India menyentuh Cina. Selanjutnya, Cina memiliki hubungan dagang dengan kawasan yang nantinya akan menjadi Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan Thailand. Komoditas yang diperdagangkan ini juga menghubungkan pulau Sumatra dan Jawa, kawasan darat Asia Tenggara, dan Cina bagian barat daya. Lebih lanjut, rute dagang ini juga menghubungkan India bagian selatan dengan Roma. Sen juga membahas bagimana imperium Funan memiliki hubungan dagang dengan Cina, India, dan Sogdia. Terakhir, Sen menjelaskan bahwa orang-orang Persia dan Arab juga memiliki kontribusi dalam ekspansi pasar di Asia.

Bagian kedua dari tulisan Sen berbicara mengenai konflik dan perang yang terjadi di Asia. Ia mengajak kita berangkat dari pemahaman umum yang menyatakan bahwa interaksi intra-Asia umumnya berlangsung damai, aman, dan tentram. Sen membantah pemahaman umum tersebut dengan menjelaskan bahwa terdapat konflik dan perang yang tidak hanya terjadi di

tataran suku nomad. Ekspansi jalur perdagangan „jalur sutra‟ membuahkan konfrontasi yang

terjadi antara dinasti Han Barat di Cina dan konfederasi Xiongnu di Asia Tengah. Ekspedisi laut Chola melawan kerajaan Sriwijaya terjadi pada 1025 karena terdapat tendensi penguasaan jaringan perdagangan laut. Ekspedisi ini ialah contoh kasus soal bagaimana perdagangan di Asia tidak dapat dilepaskan dari kontrol yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan militer.

Bagian terakhir dari tulisan ini mencoba mengkonseptualisasi interaksi pra-modern Asia. Pertama, interaksi dan pertukaran di Asia seringkali terhubung dengan kawasan lain di luar Asia itu sendiri, misalnya terhubung dengan Mesir dan Roma sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Kedua, paralel dengan jaringan yang luas dan lintas-benua, terdapat pula jaringan yang lebih kecil dan lebih ekslusif dan hanya menhubungkan beberapa kawasan spesifik seperti jaringan Teluk Bengal yang menghubungkan Srilanka, India bagian timur, Burma, dan sejumlah bagian di Asia Tenggara. Ketiga, pentingnya peran India dan Cina dalam konteks interkoneksitas Asia pra-modern (India dan Cina tidak sekadar melakukan pertukaran komoditas, namun juga melakukan pertukaran ide dan teknologi). Keempat, konflik dan perang perlu diperhitungkan dalam studi interaksi Asia pra-modern. Pada akhirnya, Sen mengingatkan kita bahwa ketika kita berbicara mengenai Asia pada masa pra-modern, kita tidak dapat hanya berbicara mengenai Asia. Kita juga harus memahami konteks global saat itu, ekspansi pasar dan arus komoditas, serta pertukaran budaya yang terjadi.

(7)

7

yang sedang dibahas). Hal ini dapat dipahami karena pada masa pra-modern tersebut belum ada negara. Hal yang penting untuk dilihat ialah pembahasan Sen mengenai interkoneksitas ini didasarkan pada unit-unit ekonomi-politik yang tidak berbentuk negara sehingga analisis dapat dilakukan dengan cair dan komprehensif.

Relevansi Pemikiran Alternatif dan Antropologi

Selepas pembahasan yang panjang mengenai penjelasan-penjelasan alternatif mengenai kajian Etnografi Asia Tenggara, kita sampai pada pertanyaan kunci: Apa relevansi penjelasan tersebut bagi Antropologi? Saya pikir, terdapat relevansi yang jelas antara penjelasan-penjelasan alternatif di atas dengan Antropologi (dan cabang ilmu sosial lainnya). Satu hal yang pasti, penjelasan alternatif di atas dapat menjawab permasalahan yang tidak dapat dijawab apabila kita menggunakan negara sebagai unit analisis, yaitu permasalahan perbatasan dan permasalahan lintas-batas di Asia Tenggara. Persoalan interkoneksitas yang dimediasi oleh komoditas seringkali terjadi pada jalur air yang melintasi negara yang berbeda. Selain itu, sebagaimana dijelaskan di atas, peneliti seringkali lebih memfokuskan diri pada penelitian di

„pusat kekuasaan‟ alih-alih perbatasan.

Pemaparan di atas menjawab pertanyaan mengenai apa relevansi penjelasan alternatif di atas dengan kajian Antropologi. Akan tetapi, menurut saya, penjelasan-penjelasan di atas dapat menjadi alternatif bagi kajian Etnografi Asia Tenggara, bukan menggantikan penjelasan berbasis negara. Meski terdapat sejumlah kekurangan, saya pikir menempatkan negara sebagai unit analisis bukanlah kesalahan yang fatal. Pembahasan Schendel mengenai Geography of Knowing

(8)

8

arus tenaga kerja transnasional dan arus kapital, maka penjelasan dengan negara sebagai unit analisis dapat digunakan. Di sisi lain, apabila terdapat persoalan yang dapat menggunakan penjelasan alternatif seperti persoalan interkoneksitas berbasis komoditas, maka kita dapat menggunakan penjelasan alternatif dengan menggunakan metafor geografis dan lainnya.

Refleksi

Pada akhirnya, saya pikir perdebatan tentang yang mana yang tepat digunakan sebagai unit analisis perlu diakhiri. Pembahasan mengenai penjelasan alternatif telah saya paparkan pada bagian-bagian sebelumnya dan saya tutup dengan pendapat saya bahwa penjelasan yang menggunakan negara sebagai unit analisis dan penjelasan alternatif sebaiknya dilihat sebagai pelengkap satu sama lain. Saya pikir dua penjelasan ini bukanlah penjelasan yang harus dikonstestasi dan dilihat penjelasan mana yang tepat digunakan bagi seluruh permasalahan yang ada di kajian Etnografi Asia Tenggara.

Menurut saya, terdapat permasalahan apabila kita hanya menggunakan salah satu penjelasan. Apabila kita menggunakan penjelasan berbasis negara sebagai unit analisis, maka terdapat sejumlah permasalahan yang tidak dapat kita temukan penjelasannya, misalnya persoalan Zomia yang stateless atau interkoneksitas berbasis air. Akan tetapi, jika kita meniadakan penjelasan yang menggunakan negara sebagai unit analisis sama sekali, terdapat sebuah pertanyaan yang dapat diajukan: Apa tujuan dari kuliah Etnografi Asia Tenggara sebenarnya? Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, Asia Tenggara sebagai kawasan dikonstruksi secara sosial dan historis dan dibentuk karena alasan yang sangat politis. Dalam pembentukannya pun, Asia Tenggara dilihat sebagai agregasi dari negara-negara di Asia Tenggara, bukan Asia Tenggara sebagai Asia Tenggara. Dengan demikian, jika kita sama sekali mengabaikan penjelasan berbasis negara, bagaimana mungkin terdapat matakuliah Etnografi Asia Tenggara dan kajian-kajiannya yang, seringkali, berfokus pada satu negara atau negara lainnya di kawasan Asia Tenggara.

Referensi

Scott, J.C., 2009, The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia, New Haven: Yale University Press, Hlm. 1-39

(9)

9

Sutherland, H., 2007, “Geography as Destiny: The Role of Water in Southeast Asian History” dalam A World of Water: Rain, Rivers and Seas in Southeast Asian

Histories (Peter Boomgaard, ed.), Singapore: NUS Press, Hlm. 27-70.

Tansen Sen: “The Intricacies of Premodern Asian Connections” dalam “Asia Redux Conceptualizing a Region for Our Times.” dalam Asia Redux: Conceptualizing a Region for Our Times. Singapore: ISEAS. pp. 40-51.

Van Schendel, W., 2005, “Geographies of Knowing, Geography of Ignorance, Jumping

Scale in Southeast Asia” dalam Locating Southeast Asia: Geographies of

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis kualitatif dengan metode quicklook yang dilakukan dalam analisis petrofisik ini adalah untuk membantu menginterpretasikan zona batuan

Parameter yang diuji langsung di lapangan (in situ) pada 3 (tiga) titik: T1 (Sungai Kadia Hulu), T2 (sungai Kadia Tengah), T3 (Sungai Kadia Hilir saat pasang), T4 (Sungai

Data yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu bentuk wacana berupa teks berita sosial dalam surat kabar harian Kompas dan Radar Banyumas edisi April 2010, yang isinya mengulas

Jika suatu matriks A, determinannya sama dengan nol atau

Juara 2 Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) Tingkat Provinsi Sumatera Selatan Kategori “Seni Tunggal Puteri” di Asrama Haji Sumatera Selatan pada tahun

Dengan kuasa resmi untuk mewakili dan bertindak untuk dan atas nama (nama perusahaan/Joint Operation) dan setelah memeriksa serta memahami sepenuhnya seluruh isi

Irfan Prasatya adalah praktisi yang sangat berpengalaman di bidang Leadership, HRD dan Service Excellence selama lebih dari 20 tahun, Berbagai posisi manajerial di

Topik ini membahas tentang penyebab gangguan ketidakimbangan cairan tubuh, cara evaluasi dan terapi cairan yang harus diberikan pada pasien hewan yang mengalami gangguan