• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar Allah yang Problematis: Meninjau Ulang Gambar Allah pada Kitab Suci Ibrani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Gambar Allah yang Problematis: Meninjau Ulang Gambar Allah pada Kitab Suci Ibrani"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Gambar Allah yang Problematis: Meninjau Ulang Gambar Allah pada Kitab Suci Ibrani

Tony WiyaretFangidae1

Yonsei University, Global Institute of Theology email: tonywiyaretf@yonsei.ac.kr

DOI:https://doi.org/10.34307/b.v5i1.308

Abstract: This article is written with the understanding that the Hebrew Bible records, in general, the testimony of God’s image in both senses, good and bad ways (cruel, violent). This article aims to identify several texts in the Hebrew Bible that depict God in a violent manner.

Because it has the potential to legitimate and encourage violence, God’s image is viewed as problematic and troubling. Three attempts, at least, have been constructed to deal with the problematic image of God. Firstly, defending the image of God by stating that everything God does is for a good thing. Secondly, utilizing the method of interpretation claiming that God does not really enforce violence. Thirdly, acknowledging the problematic image of God as part of God, protesting the image, and arguing that humans do not imitate the violent God.

By employing the critical analysis method on a number of texts, this article revisits the three attempts to interpret the problematic image of God. In conclusion, this study proposes a reading principle for dealing with the problematic image of God: befriend the problematic image of God while protesting against it. In this way, readers avoid justifying and imitating the violent image of God.

Keywords: imitating God, Interpretations, Problematic Image of God, Hebrew Bible, testimony.

Abstrak: Naskah ini datang dengan kesadaran bahwa Kitab Suci Ibrani mencatat, dalam pengertian yang umum, kesaksian tentang gambar Allah yang baik dan tidak (kejam, penuh kekerasan). Naskah ini bertujuan untuk mengindentifikasi sejumlah teks dalam Kitab Suci Ibrani yang menarasikan mengenai gambar Allah yang berkonotasi kekerasan.

Gambar Allah itu dipandang problematis dan meresahkan karena berpotensi untuk melegitimasi dan mendukung kekerasan. Setidaknya, ada tiga usaha yang telah dikonstruksi untuk berurusan dengan gambar Allah yang problematis. Pertama, membela gambar Allah dengan menyatakan bahwa semua yang Allah lakukan demi kebaikan.

Kedua, menggunakan metode tafsir yang mengeklaim bahwa Allah tidak sungguh memberlakukan kekerasan. Ketiga, mengakui gambar Allah yang problematis sebagai bagian dari Allah dan memprotes gambar Allah itu sembari menyatakan bahwa manusia tidak mengimitasi gambar Allah yang berkonotasi kekerasan. Dengan metode analisis kritis pada sejumlah teks, naskah ini meninjau ulang ketiga usaha menginterpretasi gambar Allah yang problematis tersebut. Sebagai kesimpulan, naskah ini menawarkan sebuah prinsip membaca untuk berurusan dengan gambar Allah yang problematis:

bersahabat dengan gambar Allah yang problematis sembari memprotesnya. Dengan demikian, para pembaca terhindar dari menjustifikasi dan mengimitasi gambar Allah yang berkonotasi kekerasan.

Kata Kunci: Allah yang problematis, imitasi Allah, kesaksian, Kitab Suci Ibrani, tafsir.

Volume 5, No 1, Juni 2022; (172-196) Available at: http://www.jurnalbia.com/index.php/bia

(2)

Copyright© 2022; BIA’, ISSN: 2655-4666 (print), 2655-4682 (online) | 173 1. Pendahuluan

Salah satu jalan yang diimani untuk berkenalan dengan Allah adalah melalui Alkitab:

Kitab Suci Ibrani [Kitab Suci Ibrani] dan Perjanjian Baru. Dalam Kitab Suci Ibrani, Allah adalah subjek yang memainkan peran dalam cerita dan kisah di berbagai kisah dengan plot yang menarik, mulai dari menciptakan, membebaskan, membawa keluar bangsa Israel dari perbudakan dan pengasingan, memilih para leluhur Israel atau para nabi, dan sebagainya. Kitab Suci Ibrani menggarisbawahi kesaksian mengenai Allah yang berkarya di tengah dan melalui kehidupan bangsa Israel. Melalui karya-Nya itu, bangsa Israel mengakui kedaulatan Allah dan mempersaksikan kebesaran Allah dalam berbagai kitab- kitab, yang kemudian kita menyebutnya Kitab Suci Ibrani. Allah tergambar sebagai sosok yang baik, pengasih, setia, dan adil. Saya pikir kita setuju bahwa sejak sekolah minggu dan dari mimbar-mimbar gereja, para pendeta dan pendidik Kristen telah memperkenalkan gambar Allah yang demikian.

Dalam istilah Walter Brueggemann, kesaksian mengenai gambar Allah yang bernada positif itu disebut kesaksian inti bangsa Israel. Kesaksian-kesaksian inti itu menggambarkan Allah sebagai sosok yang tidak mungkin memberlakukan kekerasan kepada manusia.1 Dalam bingkai paradigma seperti ini, rasanya keliru untuk mengaitkan Allah dengan peristiwa kekerasan. Keterhubungan antara Allah dan peristiwa kekerasan itu terlahir dari Kitab Suci Ibrani itu sendiri. Alih-alih melarikan diri atau mengabaikan diskusi mengenai gambar Allah2 yang terlibat kekerasan, tulisan ini berusaha untuk berurusan dengannya.

Kita mulai dari sejak kitab suci yang kita miliki, pegang, dan baca itu dikanonisasi.

Sejak itu, Marcion mulai menyelidiki problematika narasi-narasi mengenai Allah yang terlibat kekerasan, entah secara langsung maupun tidak langsung. Singkat kata, Marcion mengajak para pembaca untuk bergumul dengan Allah dalam Kitab Suci Ibrani.

Sayangnya, alih-alih bergumul dan lantas menerima Allah dalam Kitab Suci Ibrani, Marcion malah menolak dan mengecam Allah. Ia mengeklaim bahwa Allah kejam.3 Klaim

1 Walter Brueggemann, Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy (Minneapolis: Fortress Press, 1997), 117–265.

2 Penulis tidak secara literer bermaksud menghubungkan doktrin “gambar Allah” atau

“imago Dei” dengan gambar Allah di sini. Dalam tulisan ini, gambar Allah merujuk kepada tindakan atau karya Allah bukan manusia atau arti literer lainnya.

3 Stanley E. Porter, ed., Dictionary of Biblical Criticism and Interpretation (New York:

Routledge, 2007), 214; H. Clifton Ward, The Oxford Handbook of Early Christian Biblical Interpretation, ed. Paul M. Blowers, New product edition. (New York, NY: Oxford University Press, 2019), 374–375.

Article History : Received: 18-08-2021 Revised: 27-06-2022 Accepted:29-06-2022

(3)

Marcion dapat diartikulasi melalui penafsirannya terhadap narasi tandingan bangsa Israel. Narasi tandingan menggambarkan Allah yang sebaliknya dari yang dicatat pada kesaksian inti. Kesaksian tandingan hadir bukan untuk meniadakan kesaksian inti.

Kesaksian tandingan juga bukanlah bukti dari ketidakberimanan bangsa Israel kepada Allah. Kesaksian tandingan hadir dari iman bangsa Israel kepada Allah yang dipersaksikan di narasi inti. Kesaksian ini mempertanyakan dan memprotes Allah yang berpaling dari narasi itu.

Dengan istilah yang berbeda nan berkonotasi miring, John Barton menyebut narasi tandingan sebagai bagian dari sisi gelap Kitab Suci Ibrani.4 Argumentasi Barton berdasar pada pemahaman bahwa gambar Allah yang seperti itu tidak pernah diberitakan di mimbar-mimbar gereja atau oleh para pendidik Kristen. Gereja atau melalui para teolog dan pendidik Kristen bertendensi untuk menjauhkan warga jemaat dari pergumulan- pergumulan dengan gambar Allah semacam ini. Gereja seolah belum mengambil bagian untuk menggumuli sisi gelap Kitab Suci Ibrani tersebut.

Eric Seibert mengakui bahwa gambar Allah yang dinarasikan pada kesaksian tandingan terbilang problematis.5 Gambar Allah itu sensitif di telinga umat dan dapat ditolak. Penolakan itu dapat dilakukan secara frontal. Namun, pembiaran terhadap warga jemaat untuk menggumuli teks-teks semacam ini jauh lebih keliru dan gawat. Ateisme atau apatisme terhadap iman Kristen dapat muncul jika gereja tidak mengundang warga jemaat menggumuli dan berurusan dengan teks-teks problematis ini. Teks-teks problematis ini tidak akan pernah luntur dari Kitab Suci yang kita pegang, baca, gunakan untuk berkhotbah, mengajar, dan imani. Cara terbaik adalah mencari solusi-solusi konstruktif bagi kehidupan iman kita. Kita dapat mengimitasi solusi-solusi konstruktif yang ditawarkan Alkitab, sama seperti Abraham yang mempertanyakan dan menawar- nawar penghukuman Allah, gereja turut diundang untuk hadir secara dialogis kepada Allah seperti itu. Artikel ini bertujuan untuk mencari solusi interpretasi terhadap beberapa gambar Allah yang problematis, sembali mempertanyakan dan memprotes gambar Allah yang problematis ini. Artikel ini tiba pada argumentasi bahwa untuk berurusan dengan gambar Allah yang problematis kita bertanya, memberi pertimbangan, dan memprotes Allah dan gambar-Nya yang problematis.

Untuk menguraikan perspektif di atas, artikel ini dibagi ke dalam tiga kategori besar:

paparan terkait gambar Allah yang problematis, penafsiran yang membela gambar Allah tersebut, dan interpretasi yang “mencoba mencari solusi” dengan gaya meraka masing-

4 John Barton, “The Dark Side of God in the Old Testament,” in Ethical and Unethical in the Old Testament: God and Humans in Dialogue, ed. Katharine J. Dell, Library of Hebrew Bible/Old Testament studies 528 (New York: T & T Clark, 2010), 122.

5 Eric A. Seibert, “Recent Research on Divine Violence in the Old Testament (with Special Attention to Christian Theological Perspectives),” Currents in Biblical Research 15, no. 1 (October 2016): 32, accessed September 1, 2019,

http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1476993X15600588.

(4)

Copyright© 2022; BIA’, ISSN: 2655-4666 (print), 2655-4682 (online) | 175

masing seperti menolak, mengakui tetapi tidak mengimitasi, mengakuinya dalam bingkai paradoksal, memprotes, dan menjadi sahabat Allah. Dua kategori terakhir merupakan cara yang dianjurkan dalam artikel ini.

2. Metode Penelitian

Artikel ini menggunakan metode analitis kritis terhadap teks dan tafsiran para pakar Kitab Suci Ibrani. Beberapa teks problematis dianalisis dan ditinjau kembali secara kritis untuk menemukan solusi bagi para pembaca yang menggumuli teks-teks tersebut.

Dari metode analitis kritis ini, para pembaca diharapkan tiba pada solusi-solusi [alternatif] untuk membaca teks-teks yang problematis di dalam Kitab Suci Ibrani. Artikel ini memaparkan beberapa bukti metode analitis kritis yang berhasil dilakukan sebagai contoh.

3. Hasil dan Pembahasan

Gambar Allah Yang Problematis

Gambar Allah yang problematis di dalam Kitab Suci Ibrani menimbulkan beragam pertanyaan, seperti mengapa Allah yang baik memerintahkan perang dan penindasan (Ul.

7)?6 Mengapa Allah turut berperang dan menghabisi nyawa tentara Mesir (Kel. 14-15)?7 Pertanyaan-pertanyaan itu menunjukkan keraguan dan ketidakpercayaan terhadap Allah karena gambar-Nya berkonotasi dengan kekerasan. Dampaknya, muncul anggapan bahwa gambar Allah yang problematis menimbulkan kemerosotan iman kepada Allah.

Bahkan, kemerosotan itu sudah ditunjukkan sejak Marcion menolak untuk percaya pada Allah dalam Kitab Suci Ibrani.8 Marcion sudah tiada, tetapi teks-teks yang problematis masih menetap dalam Alkitab. Untuk itu, tujuan sederhana tulisan ini adalah menggali kemungkinan-kemungkinan alternatif untuk berurusan dengan Allah dalam Kitab Suci Ibrani. Bagian selanjutnya merupakan paparan singkat mengenai teks-teks yang menarasikan keterlibatan Allah dalam peristiwa kekerasan, teks-teks problematis.

Teks-Teks Problematis

6 Agustinus Setiawidi and Tony Wiyaret Fangidae, “Pedoman Teori Pedagogis Untuk Membaca Teks-Teks Kekerasan Di Dalam Perjanjian Lama,” DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 5, no. 2 (April 2, 2021): 278–295, accessed April 13, 2021,

https://sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/dunamis/article/view/355.

7 Tony Wiyaret Fangidae, “Meninjau Ulang Teks Perang Dalam Kitab Suci Ibrani:

Sumbangan Dari Keluaran 14:13-14, 15:3,” Societas Dei: Jurnal Agama dan Masyarakat 8, no. 2 (November 8, 2021): 141–157, accessed June 3, 2022,

http://societasdei.rcrs.org/index.php/SD/article/view/244.

8 Ward, The Oxford Handbook of Early Christian Biblical Interpretation, 374.

(5)

Ada beberapa teks Kitab Suci Ibrani yang menggambarkan Allah sebagai pemilik sifat kejam, bengis, memberlakukan kekerasan, dan pembunuh.9 Gambar Allah seperti itu dipersaksikan oleh para penulis Kitab Suci Ibrani. Beberapa teks itu disebut problematis, karena berkontradiksi dengan gambar Allah yang selama ini telah dikenal oleh umat: baik, pengasih, setia, dan adil—sama seperti yang diutarakan Yunus dalam doanya: “Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal dengan ‘malapetaka’ yang hendak didatangkan-Nya.” (Yun. 4:2). Allah dalam bagian berikut mungkin adalah Allah yang asing bagi sebagian kita, namun perkenalan ini memungkinkan kita untuk terus bergumul dengan Allah. Berikut beberapa teks yang memperlihatkan gambar Allah yang kejam.

Hukum Yang Kejam

Kitab Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan memuat hukum-hukum yang Allah berikan kepada Israel. Hukum-hukum ini berkaitan dengan isu-isu seperti pertanian, perbudakan, tindakan seksual, perang, dan peribadahan. Hukum-hukum itu memuat instruksi untuk melakukan sesuatu dan larangan. Orang yang tidak melakukan perintah itu, mendapatkan konsekuensi dari Allah.10

Ada konsekuensi yang dapat dikatakan logis dan ada juga yang dipertanyakan secara moral. Sebagai contoh, hukum yang dinyatakan pada Keluaran 21:15-17: “siapa yang memukul ayahnya atau ibunya, pastilah ia dihukum mati. Siapa yang menculik seorang manusia, baik ia telah menjualnya, baik orang itu masih terdapat padanya, ia pasti dihukum mati. Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya, ia pasti dihukum mati.”11 Setiap orang yang melakukan pekerjaan apa pun di hari Sabat, pastilah ia dihukum mati (Kel. 31: 15b). Siapa pun yang tidur dengan seekor binatang, pastilah ia dihukum mati (Kel. 22:19). Siapa yang melanggar kekudusan hari Sabat itu, pastilah ia dihukum mati (Kel. 31:14). Bila seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni berzinah dengan isteri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati (Im. 20:10). Sejumlah teks lain memainkan peran serupa: hukum yang membinasakan (Kej. 26:11; Kel. 19:12;

21:29; 22:19; 31:14; 35:2; Im. 20:2, 9-11, 13, 15; 24:16-17, 21; 27:29; Bil. 3:38; 15:35;

18:7; Ul. 13:5; 17:6; 21:22; 24: 16).

9 Salah satu yang terkenal adalah pernyataan Richard Dawkins mengenai sosok Allah yang demikian. Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam Press, 2006), 32.

10 Eric A. Seibert, Disturbing Divine Behavior: Troubling Old Testament Images of God (Minneapolis: Fortress Press, 2009), 17.

11 Ibid.

(6)

Copyright© 2022; BIA’, ISSN: 2655-4666 (print), 2655-4682 (online) | 177

Hukum-hukum itu menunjukkan bahwa Allah menetapkan bahkan menuntut kematian kepada seorang yang melanggar hukum. Konsekuensi itu tampak keras dan bringas. Gambar Allah seperti ini tampak sulit untuk dikoneksikan dengan gambar Allah yang pengampun dan penuh kasih.12 Di sini, kita membaca kesaksian mengenai gambar Allah yang memberi penghukuman mati kepada para pelanggar hukum.

Narasi mengenai Uza cukup unik. Uza adalah salah seorang yang diperintahkan Daud untuk membawa tabut perjanjian ke Yerusalem. Ketika di Nakhon, Uza mengulurkan tangannya ke tabut itu dan memegangnya, karena lembu-lembu yang sedang menyokong tabut itu tergelincir. Atas tindakannya itu, Allah murka, lalu Allah membunuh Uza (2Sam. 6:6-7). Bahkan, Daud turut marah kepada Allah, karena langsung membunuh Uza (2Sam. 6:8). Dengan hukuman mati, pintu pertobatan tidak ada lagi bagi Uza. Teks ini meresahkan para pembaca, karena bukan merupakan gambar Allah yang pengambun atau berbelas kasih. Rachelle Gilmour kembali menegaskan bahwa narasi Uza mempertontonkan sosok Allah yang menggunakan kekerasan. Itu bagian dari Allah yang turut mengalami kerapuhan, tidak sempurna.13 Dengan jelas, kita dapat mengakui bahwa narasi Uza memperlihatkan Allah yang sungguh berbeda: menghukum manusia dengan tanpa peringatan atau kesempatan kedua. Berikut ini akan dipaparkan beberapa teks problematis lainnya dalam Kitab Suci Ibrani.

Allah Pahlawan Perang

Beberapa teks dalam Kitab Suci Ibrani memperlihatkan gambar Allah yang aktif berperang. Di medan perang, Allah dikenal sebagai pahlawan perang. Allah tidak terdiam saat bangsa Israel berperang, “dalam tiang api dan awan itu memandang kepada tentara Mesir, lalu dikacaukan-Nya tentara orang Mesir... sebab TUHANlah yang berperang melawan Mesir.” (Kel. 14: 24-25c).

Di dalam Yosua 10, “TUHAN melempari mereka dengan batu-batu besar dari langit, sampai ke Azeka” (Yos. 10: 10-11). Artinya, Allah ikut berperang melawan musuh- musuh Israel dan berada di pihak Israel. Allah aktif sebagai tentara bahkan pahlawan perang dari bangsa Israel. Walter Kaiser menyatakan bahwa “It is Yahweh’s involvement

12 Ibid., 18.

13 Rachelle Gilmour, “Divine Violence and Divine Presence: Reading the Story of Uzzah and the Ark in 2 Samuel 6 with Slavoj Žižek,” Biblical Interpretation 27, no. 1 (March 11, 2019):

1–19, https://brill.com/view/journals/bi/27/1/article-p1_1.xml.

(7)

with war in the Old Testament that poses the key problem for modern readers.”14 Gambar Allah sebagai pahlawan perang tampak problematis dan meresahkan karena Allah secara aktif terlibat dalam penumpahan darah dan pembunuhan terhadap bangsa lain.

Pertanyaan yang timbul adalah apakah manusia diundang untuk memerangi bangsa lain yang tidak percaya kepada Allah? Apakah perang dibenarkan oleh Allah yang adalah pahlawan perang itu sendiri? Lalu, di mana Allah yang penuh kedamaian dan menghendaki kedamaian? Pertanyaan-pernyataan ini diselidiki pada bagian-bagian berikutnya.15

Allah, Perintah Genosida

Kisah masuknya bangsa Israel ke tanah Kanaan merupakan salah satu narasi penting yang terus menerus ditekankan untuk diingat. Allah membawa bangsa Israel keluar dari tanah Mesir dan masuk ke tanah Kanaan, tanah perjanjian. Kitab Ulangan mencatat bahwa sebelum bangsa Israel masuk ke tanah Kanaan, tanah itu sudah dihuni oleh tujuh bangsa lainnya. Allah pun datang dengan perintah-Nya agar “menumpas mereka sama sekali. Janganlah engkau mengadakan perjanjian dengan mereka dan janganlah engkau mengasihani mereka” (Ul. 7:2b). Bahkan, apa pun yang bernafas tidak boleh dibiarkan hidup (Ul. 20:16b).

Allah tidak sekedar memerintahkan bangsa Israel untuk menduduki tanah Kanaan.

Allah memerintahkan turut memerintahkan mereka untuk menumpas habis segala yang hidup dari bangsa-bangsa itu. Seibert melihat bahwa perintah itu menggambarkan Allah sebagai sosok yang bertindak secara brutal.16 Allah, dalam panorama ini, memerintahkan genosida.17 Allah sebagai perintis genosida menjadikan-Nya sebagai pelaku diskriminasi dan ketidakadilan terhadap bangsa lain. Gambar Allah seperti ini meresahkan karena

14 Walter Kaiser, Hard Sayings of the Old Testament (Downers Grove: InterVarsity, 1983), 176.

15 Untuk pembacaan lebih lanjut, sila rujuk: Tony Wiyaret Fangidae, “Meninjau Ulang Teks Perang Dalam Kitab Suci Ibrani: Sumbangan Dari Keluaran 14:13-14, 15:3,” Societas Dei:

Jurnal Agama dan Masyarakat 8, no. 2 (November 8, 2021): 141–157, http://societasdei.rcrs.org/index.php/SD/article/view/244.

16 Seibert, Disturbing Divine Behavior: Troubling Old Testament Images of God, 24.

17 Artikel ini menyadari catatan kritis Hendra Yohanes terkait genosida. Walau ia mengajukan keberatan terkait istilah genosida pada teks-teks tersebut, namun, genosida dalam arti luas dan sederhana (mengeleminasi kelompok-kelompok tertentu) masih dapat berlaku untuk teks-teks semacam itu. Hendra Yohanes, “Tinjauan Kritis-Multifaset Terhadap Tuduhan Genosida Atas Catatan Penaklukan Kuno Tanah Perjanjian,” Veritas: Jurnal Teologi dan

Pelayanan 18, no. 2 (November 28, 2019): 107–123.

(8)

Copyright© 2022; BIA’, ISSN: 2655-4666 (print), 2655-4682 (online) | 179

memerintah manusia untuk saling membunuh, bukan saling mengasihi. Teks seperti ini, tentu saja dengan bersandar pada otoritasnya sebagai Firman Allah, berpotensi untuk membenarkan dan mendukung genosida. Naim Ateek, dalam menganalisis konflik Palestina-Israel, membenarkan penggunaan teks semacam ini.18

Allah, Penyiksa Batin

Gambar Allah yang problematis lainnya diperlihatkan pada narasi Firaun dan Saul.

Beberapa teks membuktikan bahwa Allah tidak hanya dipandang sebagai sumber kelembutan hati. Allah adalah sumber dari hati yang keras. Firaun adalah korban dari gambar Allah yang mengeraskan hati. Hati Firaun beberapa kali dikeraskan (Kel. 4:21;

7:3, 13-14, 22; 9:12). Menurut Seibert, gambar Allah yang mengeraskan hati tampak problematis karena bertentangan dengan gambar Allah yang melembutkan hati.19

Saul tidak disiksa Allah melalui hatinya dikeraskan. Saul berbeda dengan Firaun.

Saul dihinggapi roh jahat yang dari Allah (1Sam. 16:14). Roh jahat itu mengganggu Saul.

Roh jahat itu menyiksa batin Saul. Gambar Allah seperti ini tampak problematis dan meresahkan karena roh yang dari Allah tidak hanya mendatangkan kebaikan dan kedamaian, tetapi juga ketersiksaan. Roh jahat dari Allah itu menyiksa Saul.

Allah, Penipu Ulung

Gambar Allah sebagai penipu dapat dikatakan sebagai salah satu yang problematis dan meresahkan karena berkontradiksi dengan gambar Allah yang jujur nan tulus.

Yeremia dan Ahab adalah dua korban dari gambar Allah yang penipu. Allah memanggil Yeremia untuk setia pada-Nya, tetapi Allahlah yang tidak setia. Allah menipu Yeremia seperti sang penipu ulung. Yeremia berkomplain demikian: “Engkau telah membujuk aku, ya TUHAN, dan aku telah membiarkan diriku dibujuk” (Yer. 20:7a). Bahasa Ibrani yang digunakan untuk terjemahan bahasa Indonesia “bujuk” adalah pth. Pth secara harfiah diterjemahkan menipu. Pth biasanya digunakan untuk merujuk kepada manipulasi (Kel.

22:16; Hak. 14:16, 16:5).20

18 Naim Stifan Ateek, A Palestinian Theology of Liberation: The Bible, Justice, and the Palestine-Israel Conflict (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2017), 49–51.

19 Seibert, Disturbing Divine Behavior: Troubling Old Testament Images of God, 25.

20 Brueggemann, Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy, 359–360.

(9)

Korban lainnya adalah raja Ahab. Ahab hendak berperang, tetapi sebelum berperang, Ahab meminta petunjuk dari Allah. Allah pun mengutus nabi-nabi untuk memberitakan nubuat-nubuat palsu yang membuat Ahab pergi berperang lalu mati dalam peperangan. Kata pth digunakan dan Allah menjadi subjek terhadap kata itu.21 Dua contoh itu setidaknya kembali menggarisbawahi gambar Allah yang problematis di dalam Kitab Suci Ibrani. Sekali lagi, sosok Allah yang asing ini secara perlahan kita kenali dan gumuli, sebagai bagian dari wacana diskusi dalam bingkai teologi. Allah yang demikian adalah Ia yang bertindak menurut kewenangan dan kedaulatan-Nya. Sayangnya, kewenangan-Nya itu menghantar kita, para pembaca Kitab Suci Ibrani, untuk bergumul dengan-Nya [tanpa henti].

Allah memberlakukan Kekerasan

Cerita-cerita mengenai kekerasan sudah menjadi bagian dari Alkitab, khususnya di dalam Kitab Suci Ibrani. Permasalahan yang mencolok sebagai seorang pembaca Kitab Suci Ibrani adalah kekerasan itu dilakukan oleh Allah. Brueggemann berpendapat bahwa gambar Allah yang memberlakukan kekerasan dapat ditemukan saat sebelum bangsa Israel ke pembuangan dan memuncak ketika kehancuran Yerusalem pada 587 Sebelum Zaman Bersama (SZB).22 Penegasan lain diungkapkan oleh Mark McEntire bahwa ketelibatan Allah dalam narasi-narasi kekerasan merupakan tema utama dalam kesaksian Kitab Suci Ibrani.23 Dengan maksud serupa, Jeremy Young mendukung argumentasi tersebut. Baginya, kesaksian Allah yang memberlakukan kekerasan dapat dikategorikan sebagai kesaksian inti bangsa Israel.24

Dalam teks-teks Kitab Suci Ibrani, terkadang Allah digambarkan sebagai seorang suami dan Israel adalah Isteri-Nya. Dalam relasi suami-isteri, Allah menjadi sosok yang memberlakukan kekerasan. Allah menjadi suami yang mudah mengecam, menyalahkan, dan menceraikan bangsa Israel. Intimasi antara Allah dan Israel adalah intimasi yang

21 Ibid., 361.

22 Ibid., 380.

23 Mark Harold McEntire, The Blood of Abel: The Violent Plot in the Hebrew Bible (Macon, Ga: Mercer University Press, 1999), 122.

24 Jeremy Young, The Violence of God and the War on Terror (New York: Seabury Books, 2008), 9–14.

(10)

Copyright© 2022; BIA’, ISSN: 2655-4666 (print), 2655-4682 (online) | 181

mengandung kekerasan.25 Pertanyaannya, di mana Allah yang dengan setia mengasihi isterinya, Israel?

Membela Gambar Allah Yang Problematis

Beberapa pakar Kitab Suci Ibrani mencoba membela gambar Allah yang problematis itu. Pertanyaan yang mencuat tentunya: untuk apakah Allah memberlakukan hukum yang kejam, bertindak sebagai pahlawan perang, memerintah genosida, menyiksa batin manusia, menipu, dan memberlakukan kekerasan? Untuk merespons pertanyaan tadi, saya tertolong oleh paparan dari David Lamb, Yonky Karman, Paul Copan dan Matthew Flannagan, Walter Kaiser, Albertus Purnomo, dan Terence Fretheim.

Membela Hukum yang Kejam

David Lamb dalam bukunya “God Behaving Badly: Is the God of the Old Testament Angry, Sexist, and Racist?” mencoba menanggapi pertanyaan-pertanyaan mengenai reputasi Allah yang buruk di dalam Kitab Suci Ibrani. Salah satu reputasi buruk-Nya diperoleh ketika Ia menghukum Uza dengan kematian ketika Uza hendak menyentuh tabut perjanjian. Bagi Lamb, ada tiga alasan yang melandasi Allah menghukum Uza.

Alasan pertama, Allah telah mengatur tata cara membawa tabut perjanjian. Tata cara itu adalah hukum yang harus ditaati para pembawa tabut perjanjian. Ketidaktaatan terhadap hukum Allah itu akan mengakibatkan kematian (Ul. 31:9, 25; Yos. 3:3; 4:9; 1Sam.

4:4). Setelah kematian Uza, Alkitab menceritakan bahwa tabut perjanjian telah diangkut dengan benar (2Sam. 6:13, 15:29; 1Raj. 2:26; 8:3). Kematian Uza menjadi peringatan terhadap orang Israel dan para imam yang membawa tabut perjanjian. Kematian itu ditimpahkan bagi siapapun yang menyentuh tabut perjanjian (Bil. 4:15).26

Alasan kedua, Allah menghukum Uza karena tabut itu tidak diangkut, melainkan dinaikkan di atas tandu. Tindakan itu tidak hanya mencerminkan ketidaktaatan bangsa Israel kepada Allah tetapi juga penghinaan terhadap-Nya. Pasalnya, tabut perjanjian adalah representasi dari kehadiran Allah (Kel. 25:22; Im. 16:2; 1Sam. 4:4). Tandu itu menjadi simbol penghinaan terhadap tabut perjanjian atau Allah sendiri. Itu menjadi

25 Brueggemann, Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy, 383.

26 David Lamb, God Behaving Badly: Is the God of the Old Testament Angry, Sexist, and Racist? (Downers Grove: InterVarsity, 2011), 26–28.

(11)

penghinaan karena bangsa Palestinalah yang membawa tabut menggunakan tandu. Jika merujuk kepada hukum Allah, maka mereka mencontoh musuh mereka yang menyembah ilah lain. Itu menjadi salah satu alasan kemarahan Allah.27

Alasan ketiga, bangsa Israel kurang menghormati tabut perjanjian yang menyimbolkan relasi mereka dengan Allah. Di sini, kita melihat bahwa tabut tidak hanya disimbolkan sebagai kehadiran Allah tetapi juga relasi perjanjian antara Allah dan umat- Nya (Bil. 10:33; 14:44; Ul. 10:8; 31:9; Yos. 3:3, 11; 1Sam. 4:3-5; 1Raj. 3:15; 6:19 Yer.

3:16).28

Dari narasi tentang Uza, kita dapat mengamati bahwa Allah marah dengan alasan yang terbilang valid: menjaga kehormatan-Nya dan relasi perjanjian-Nya dengan Israel.

Lamb berusaha meyakinkan bahwa Allah seperti ini layak dipercaya karena Allah marah jika relasi-Nya dengan Israel dihina. Baginya, tidak logis jika penghinaan itu dilakukan tetapi Allah tidak marah.29

Lamb, dalam investigasi tekstual yang dipaparkannya, mencoba mencari sejumlah respons yang valid dan sahih untuk membela Allah. Sayangnya, pembelaan itu justru menjadi bekal lain untuk mengkritisi Lamb sendiri: apakah dengan menjaga kehormatan dan relasi-Nya dengan Israel, seseorang yang mencoba melindungi Tabut Perjanjian yang nyaris jatuh mesti dihukum mati? Bukankah dengan menghukum mati Uza Allah terlihat dan tergambar sebagai sosok yang tak ramah dan tak pengampun? Dua pertanyaan kritis ini bernada retorika sembali mengundang pembaca untuk jelih dalam merasionalisasi tindakan Allah lalu membenarkannya.

Membela Allah sebagai Pahlawan Perang

Pertanyaan yang mencuat ketika Allah terlibat secara aktif sebagai pahlawan perang di dalam peperangan adalah apakah Allah mendukung terjadinya peperangan?

Bahkan, apakah Allah meminta manusia untuk berperang? Asas pertanyaan ini berangkat dari penyataan Susan Niditch bahwa agama telah menjadi alat pembunuhan serta peperangan.30 Untuk menganalisis mengenai gambar Allah sebagai pahlawan perang,

27 Ibid., 28.

28 Ibid., 28–29.

29 Ibid., 29.

30 Susan Niditch, War in the Hebrew Bible: A Study in the Ethics of Violence (New York:

Oxford Univ. Press, 1995), 4.

(12)

Copyright© 2022; BIA’, ISSN: 2655-4666 (print), 2655-4682 (online) | 183

saya terbantu oleh pemikiran Yonky Karman. Karman berusaha menganalisis problem interpretasi pada teks-teks peperangan di dalam Kitab Suci Ibrani.

Karman mengajukan keberatan jika perang di dalam Kitab Suci Ibrani menjadi contoh umat saat ini mempraktikkan atau menjustifikasi peperangan. Pasalnya, konteks sosial saat itu telah berbeda dengan saat ini. Baginya, reinterpretasi atas teks-teks itu perlu dilakukan sehingga pembaca tidak mengamalkan kematian dan kehancuran, melainkan kehidupan dan kesejahteraan.31 Ada beberapa cara tafsir yang dianalisis oleh Karman: Pertama, teks-teks perang merupakan refleksi iman penganut Sejarah Deuteronomistik (Kitab Yosua-2Raja-raja) agar generasi berikutnya setia kepada Allah.

Teks-teks perang itu dimaksudkan untuk pengajaran iman, bukan kisah sesungguhnya.

Bagi Karman, ini bermasalah karena untuk membina iman, teks perang digunakan dan menampilkan kesan bahwa Tuhan merestui kekerasan pada perang itu; Kedua, kemenangan bangsa Israel dipandang sebagai kemenangan rohani. Dengan demikian, bangsa Israel berperang demi menjaga kemurnian iman mereka. Persoalannya, bolehkah untuk menjaga kemurnian iman, pihak-pihak yang tidak terlibat perang seperti anak- anak dan para perempuan ikut dibunuh? Ketiga, Tuhan sebagai pahlawan perang ditafsirkan sebagai imajinasi bangsa Israel menggambarkan Allah, sama seperti bangsa lain di era pra-Kristen. Standar Kristen adalah Perjanjian Baru sehingga imajinasi Allah yang lama dapat dibuang dan digantikan.32

Keempat, Karman mengutip pendapat dari Craigie untuk posisi terakhir ini. Craigie menyatakan bahwa Perjanjian Baru bukanlah pengganti dari Kitab Suci Ibrani. Substansi wahyu Allah yang sebelumnya tidak bertentangan dengan yang terkemudian. Dalam mengkritisi perang, bagi Craigie “sekalipun Allah nyata terlibat dalam perang-perang Israel, Israel tetap sebuah bangsa yang terdiri dari orang-orang yang berdosa dan institusi pemerintahannya bersifat duniawi, termasuk memakai perang untuk mempertahankan eksistensinya. Menurutnya, perang murni berasal dari hawa nafsu manusia (Yak. 4:1).”

Keterlibatan Allah lebih dikarenakan proses sejarah umat Israel, bukan menjadi

31 Yonky Karman, “Perang Dalam Perjanjian Lama: Problem Reinterpretasi,” Forum Biblika 15, no. 1 (2002): 11. Bdk. Robert Setio, “Teks Peperang Dalam Konteks Perang:

Pandangan Awal Untuk Pembaca Fungsional,” Forum Biblika: Journal Ilmiah Kontemporer 16 (2004): 45–62.

32 Yonky Karman, “Perang Dalam Perjanjian Lama: Problem Reinterpretasi,” 5–7.

(13)

pembenaran atas perang itu sendiri. Visi global Tuhan dalam jangka panjang adalah pendamaian.33

Investigasi Karman terbilang meyakinkan, tetapi kurang mengakui teks-teks yang secara gamblang mencatat keterlibatan Allah dalam perang. Sebagai contoh, ketika Musa gelisah dengan tentara Firaun yang mendekat Allah menegaskan: TUHAN akan berperang untuk kamu dan kamu akan diam saja. TUHAN itu Pahlawan Perang; TUHAN itu nama- Nya (Kel. 14:14; 15:3). Pernyataan ini menegaskan partisipasi Allah dalam peperangan.

Untuk itu, pembelaan semata-mata tanpa penafsiran ulang yang mendalam dapat menafikkan teks-teks yang secara terus terang mengabsahkan perang.

Allah, Perintah Genosida

Paul Copan dan Matthew Flannagan dalam buku mereka “Did God Really Command Genoside?” menganalisis permasalahan genosida dalam Kitab Suci Ibrani.

Salah satu isu yang didiskusikan terkait peristiwa masuknya bangsa Israel ke tanah Kanaan. Copan dan Flannagan berusaha mereinterpetasi perintah untuk memberlakukan genosida.

Keduanya berangkat dari pertanyaan: apakah orang-orang Kanaan dapat dikatakan tak bersalah? Mereka menjelaskan bahwa perintah untuk “menumpas mereka sama sekali. Janganlah engkau mengadakan perjanjian dengan mereka dan janganlah engkau mengasihani mereka” (Ul. 7:2b) adalah hiperbolis. Keduanya berangkat dari pemahaman bahwa penulis dari Kitab Suci adalah Allah dan manusia. Hiperbolis ini hadir dari penekanan sang penulis, yakni manusia.34 Pada dasarnya, Allah hanya meminta bangsa Israel untuk membunuh bala tentara negeri itu saja.35 Konklusi dari keduanya jelas: teks genosida banyak diedit oleh pikiran manusia dan menjadikan narasi itu berdiri secara hiperbolis.

Dari pandangan itu, Allah tidak memerintahkan terjadinya genosida. Bagi mereka, Kitab Suci Ibrani menekankan agar bangsa Israel membawa orang-orang Kanaan keluar bukan memusnahkan mereka. Sebagai penegasan, Alkitab menceritakan bahwa orang-

33 Ibid., 7–10.

34 Paul Copan and Matthew Flannagan, Did God Really Command Genocide?: Coming to Terms with the Justice of God. (Grand Rapids: Baker Books, 2015), 13–15.

35 Paul Copan, Is God a Moral Monster? Making Sense of the Old Testament God (Grand Rapids, Michigan: Baker Books, 2011), 175–177.

(14)

Copyright© 2022; BIA’, ISSN: 2655-4666 (print), 2655-4682 (online) | 185

orang Kanaan tetap hidup.36 Dengan demikian, bagi Copan dan Flannagan, tidak ada perintah genosida yang dikomandoi oleh Allah. Pandangan keduanya terbilang valid dan sahih. Gambar Allah yang memerintahkan genosida dibela dengan memanfaatkan kenyataan bahwa bangsa Kanaan tetap ada setelahnya, tidak binasa. Walau demikian, terlepas dari kenyataan tersebut, problemnya bukan pada Israel melakukan itu atau tidak, tetapi pada Allah yang memerintahkan pembinasaan menyeluruh tersebut. Allah, sebagai teks persaksikan, meminta Israel membinasakan bangsa-bangsa tetangganya.

Allah, Penyiksa Batin

Walter Kaiser menganalisis tindakan Allah yang mengeraskan hati Firaun dalam bukunya “The Hard Sayings of the Old Testament.” Bagi Kaiser, Firaunlah yang mengeraskan hatinya sendiri dalam memberlakukan lima tulah yang pertama (Kel. 7:13, 14, 22; 8:15, 19, 32; 9:7, 34-35; 13:15). Firaun tidak membiarkan Allah melunakkan hatinya dan Firaun malah bertindak menurut kehendak hatinya. Setelah lima tulah itu, barulah Allah dinyatakan sebagai subjek yang mengeraskan hati Firaun.37

Dari pandangan itu, Kaiser berusaha menyimpulkan bahwa Allah bukanlah perancang kejahatan terhadap bangsa Mesir. Allah tidak memanfaatkan Firaun untuk membinasakan bala tentara Mesir. Kaiser membandingkan tindakan Koresh dan Firaun.

Koresh mengizinkan bangsa Israel keluar dari pembuangan dan Firaun sebaliknya. Firaun tidak mengizinkan bangsa Israel keluar dari tanah perbudakan. Konsekuensinya, Allah mengeraskan hati Firaun.38 Jerome Creach menilai ini secara simbolis-alegoris: Allah melawan pemerintahan yang tiran dan Firaun adalah manifestasi dari fenomena tersebut.

Allah, dalam pemahaman ini, adalah sosok yang melawan dan menghentikan tirani itu sebisa mungkin, bahkan dengan kekerasan sekalipun. Di sini, Creach mengutip Terence Fretheim untuk menggarisbawahi bahwa Allah memberlakukan kekerasan (kekeresan ilahi) untuk menghentikan kekerasan manusia.39

36 Paul Copan and Matthew Flannagan, Did God Really Command Genocide?: Coming to Terms with the Justice of God., 124–134.

37 Walter Kaiser, Hard Sayings of the Old Testament, 41.

38 Ibid., 41–42.

39 Jerome F. D. Creach, “Violence in Scripture,” in Interpretation: Resources for the Use of Scripture in the Church, First edition. (Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 2013);

Terence E. Fretheim, “God and Violence in the Old Testament,” Word and World 24, no. 1 (2004):

24–26.

(15)

Sayangnya, penegasan ini justru membiarkan manusia beranggapan bahwa untuk menghentikan kekerasan, kita mesti menggunakan kekerasan. Jika kekerasan dilawan dengan kekerasan, tentu lingkaran kekerasan dalam bingkai balas dendam teraplikasikan. Allah yang memberlakukan kekerasan [dengan alasan yang benar]

menginspirasi manusia untuk mengadopsi pemahaman serupa. Alhasil, dunia dengan kekerasan menjadi biasa, lumrah, dan umum. Kekerasan pun tak dipersoalkan kembali.

Membela Allah yang Menipu

Albertus Purnomo, dalam bukunya yang berjudul “Bertarung dengan Allah”

menganalisis pertarungan antara Yeremia dan Allah. Yeremia dipanggil Allah untuk memproklamirkan keadilan kepada bangsa Israel. Panggilan untuk menjadi seorang nabi tidak diminati Yeremia (Yer. 1:1-19). Sayangnya, panggilan Allah itu tidak bisa ditolaknya, mengikat dan terus menginterupsi Yeremia.

Yeremia melaksanakan panggilan itu, tetapi merasa bahwa Allah meninggalkannya. Yeremia pun berkeluh “Engkau telah membujuk aku, ya TUHAN, dan aku telah membiarkan diriku dibujuk; Engkau terlalu kuat bagiku dan Engkau menundukkan aku” (Yer. 20:7). Jika Brueggemann menilai bahwa ayat ini merupakan sebentuk penipuan dari Allah, Purnomo menafsirnya sebagai masa krisis Yeremia yang harus dilewatinya untuk mencapai identitas yang diperbarui di dalam Allah.40 Allah memberinya masa krisis sebagai ujian menuju tahap pemurnian selaku nabi yang sungguh menjalankan panggilan dan menuruti kehendak Allah.

Dalam logika sederhana, ujian atau masalah merupakan hal yang lumrah. Manusia, hampir dalam sehariannya, menghadapi masalah dan lulus dari ujian tersebut. Namun, jika peran Allah kita garisbawahi kembali, kita dapat bertanya: apakah untuk mencapai tahap pemurnian tersebut, Allah perlu menipu Yeremia? Allah yang menipu dapat menjadi prototipe manusia untuk membenarkan penipuannya. Dalam kerangka berpikir ini, gambar Allah yang problematis, meski sudah dibela, konotasi negatif dari gambar Allah ini tetap tak terbela.

Membela Allah yang Meberlakukan Kekerasan

40 Albertus Purnomo, Bertarung Dengan Allah (Yogyakarta: Kanisius, 2015), 82–83.

(16)

Copyright© 2022; BIA’, ISSN: 2655-4666 (print), 2655-4682 (online) | 187

Terence Fretheim mencoba menganalisis gambar Allah yang memberlakukan kekerasan di dalam Kitab Suci Ibrani. Allah sering menjadi subjek dari tindak kekerasan.

Bagi Fretheim, kekerasan yang Allah berlakukan adalah reaksi terhadap manusia praktikkan. Jika manusia tidak berlaku salah dan kejam, Allah tidak akan menimpahkan penghukuman dengan kekerasan atas mereka. Kekerasan dipandang sebagai konsekuensi dari tindakan manusia.41

Alasan lainnya, Allah memberlakukan kekerasan bukan hanya untuk menghukum tindakan manusia, tetapi juga penyelamatan. Sebagai contoh, Allah memberlakukan kekerasan terhadap orang-orang Mesir untuk membawa Israel keluar dari tanah Mesir, tanah perbudakan [kekerasan] (Kel. 15:1-3). Contoh lainnya, Allah mengesahkan kekerasan melalui pemerintahan raja Koresh terhadap perbudakan di Babilonia untuk menyelamatkan Israel dari pembuangan (Yes. 45:1-8). Dalam hal ini, kita melihat bahwa Allah memberlakukan kekerasan untuk menyelamatkan umat-Nya dan merupakan dampak dari dosa mereka.42

Gambar Allah semacam ini menyerupai yang sebelumnya. Demi sesuatu yang baik, Allah mengesahkan kekerasan. Paradigma ini tentu saja tidak bisa dibenarkan karena Allah yang mengamalkan kekerasan, bahkan bila itu untuk menyelamatkan manusia, perlu dikritisi. Konsekuensi pemikiran itu, demi keselamatan, kita membiarkan, mengizinkan, membenarkan, dan mendukung kekerasan terhadap orang lain. Pembelaan terhadap gambar Allah semacam ini seperti satu koin yang sulit terpisahkan. Namun, pastinya, kita perlu menggumulinya lebih jauh. Apakah demi keselamatan atau pembebasan, jalan kekerasan adalah yang terbaik?

Permasalahan Selanjutnya

Tampaknya, para pembela gambar Allah yang problematis tidak menunjukkan pembelaan yang signifikan. Allah tetap akan dipandang sebagai penipu, pelaku kekerasan, subjek genosida, pahlawan perang, dan sosok yang mengesahkan penghukuman secara kejam. Pasalnya, para penafsir di atas hanya berusaha memberikan alasan dari Allah yang menipu, memberlakukan kekerasan, memerintahkan genosida, mengabsahkan perang, dan memberi hukum yang kejam, tetapi tidak disertai dengan alasan-alasan yang sahih

41 Fretheim, “God and Violence in the Old Testament,” 20–22.

42 Ibid., 24.

(17)

nan valid. Dengan demikian, nilai dari Allah yang memberlakukan kekerasan masih tetap tinggal di dalam gambar Allah yang problematis tersebut. Bagian selanjutnya memuat perbincangan mengenai beberapa pendekatan yang dapat dipertimbangkan untuk berurusan dengan gambar Allah yang problematis.

Menafsir Gambar Allah yang Problematis

Bagian ini mendiskusikan sejumlah metode tafsir yang telah digunakan untuk mencari solusi atas problematika gambar Allah yang mengamalkan kekerasan. Empat metode tafsir dipaparkan di bagian ini beserta konsekuensi dari setiapnya. Tentu, semua metode tafsir memiliki kekurangan dan kelebihan tersendiri, terlebih karena ini berhadapan dengan gambar Allah yang problematis. Ini bukan hanya persoalan teologis, tetapi turut menjadi bagian dari problematika beriman masing-masing. Oleh sebab itu, pembaca berhak mengidealkan metode tafsirnya sembari menimbang hasil analisis yang dipaparkan di bagian ini.

Pertama, metode tafsir metaforis. Metode tafsir ini mengizinkan para pembaca untuk mengeklaim bahwa gambar Allah yang memberlakukan kekerasan hanya metafora semata. Allah tidak pernah secara historis memberlakukan kekerasan terhadap manusia.

Dengan demikian, para pembaca Alkitab dapat memanfaatkan Alkitab sebagai buku yang ditulis dahulu kala sebagai pegangan iman di masa kini.43 Tantangan dari penggunaan metode tafsir ini tentu ada. Apalagi jika metode tafsir ini dimanfaatkan secara luas dan pada teks-teks yang menceritakan gambar Allah yang problematis. Sebagai contoh, jika eksodus bangsa Israel dipandang secara metaforis, nilai penyelamatan Allah dalam sejarah umat berpotensi untuk tergerus. Allah hanya diimani dalam metafora bukan dari tindakan, partisipasi, dan intervensi nyata di tengah kehidupan umat.

Kedua, metode tafsir kristosentris. Tafsir ini berusaha menjadikan Kristus sebagai titik fokus dari penyataan Allah yang sebenarnya. Dari Yesus, manusia melihat gambar Allah yang sesungguhnya. Allah yang mencintai, mengampuni, ramah, dan berbelas kasih kepada manusia. Brian McLaren merupakan salah satu penganut metode tafsir ini.

Baginya, gambar Allah di dalam Perjanjian Baru merupakan gambar Allah yang dewasa, sedangkan gambar Allah pada Kitab Suci Ibrani adalah gambar yang sedang menuju

43 Eric A. Seibert, “Recent Research on Divine Violence in the Old Testament (with Special Attention to Christian Theological Perspectives),” Currents in Biblical Research 15, no. 1 (2016):

29.

(18)

Copyright© 2022; BIA’, ISSN: 2655-4666 (print), 2655-4682 (online) | 189

kedewasaan.44 Yesus dipandang sebagai sosok Allah yang menjadi titik tolak dari gambar Allah. Dengan demikian, ia tiba pada kesimpulan bahwa Allah tidak pernah memberlakukan kekerasan. Tafsir ini terlihat menerima gambar Allah yang problematis sembari memprotes Allah dalam Kitab Suci Ibrani melalui lensa kristosentris.

Kendalanya, jika Allah dalam Kitab Suci Ibrani dipandang tak dewasa, tentu berbagai pertanyaan kritis dapat diajukan: apakah Kitab Suci Ibrani tidak menceritakan Allah yang membebaskan dan mengasihi manusia sehingga dipandang belum dewasa? Eksplorasi Brueggemann dengan menganalisis kata kerja, kata benda, dan kata sifat pada Allah perlu diperhitungkan: narasi inti bangsa Israel.45

Ketiga, metode tafsir yang berfokus pada respons pembaca. Pembaca dapat menganalisis bagian-bagian Alkitab yang secara moral layak dijadikan pedoman atau tidak. Pendekatan ini dipegang oleh Eryl Davies. Dalam hal ini, ia mengajak para pembacanya untuk mengkritisi Allah jika Allah memberlakukan kekerasan.46 Langkah mengkiritisi yang diajukannya bukan untuk menolak gambar Allah yang mengamalkan kekejaman. Dalam rangka menelusuri gambar Allah yang problematis, ia menghargai keberagaman isi dari kesaksian Kitab Suci Ibrani mengenai Allah. Oleh sebab itu, ia menganjurkan agar para pembaca yang mengambil langkah kritis untuk tidak semena- mena meniru gambar Allah yang memberlakukan kekerasan.47 Tafsir respons pembaca ini terbilang berani karena mengidealkan kebenaran subjektif pada pembaca. Itu berarti, gambar Allah yang problematis [dapat] menjadi relatif, bergantung pada penafsir masing- masing. Tentu tulisan ini tidak hendak mengajukan satu kebenaran tunggal (doktrin) untuk berurusan dengan gambar Allah yang problematis, namun metode penafsiran ini memiliki konsekuensi besar jika tidak dibarengi dengan prinsip mendasar untuk berurusan dengan problematika ini: memprotes [tetap] dalam beriman. Jika tidak demikian, gambar Allah yang problematis secara semena-mena dimanfaatkan untuk perang, genosida, penipuan, dan kekerasan lainnya. Gambar Allah yang problematis menjadi alat pembenaran bagi pembaca untuk situasinya masing-masing.

44 Brian McLaren, A New Kind of Christianity: Ten Questions That Are Transforming the Faith (San Francisco: HarperOne, 2010), 108.

45 Brueggemann, Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy.

46 Eryl Davies, The Immoral Bible: Approaches to Biblical Ethics (London: T & T Clark, 2010), 64.

47 Ibid.

(19)

Keempat, metode tafsir yang mengedepankan kejujuran. Metode tafsir ini dipegang teguh oleh Seibert. Seibert berusaha memperlihatkan Allah apa adanya sebagaimana dipersaksikan oleh Kitab Suci Ibrani. Allah tidak perlu dibujuk dan dirayu, sehingga hasil penafsiran mengeklaim bahwa Allah itu baik.48 Dengan membujuk dan merayu gambar Allah yang problematis itu, kita telah kehilangan gambar Allah yang secara apa adanya dipersaksikan dalam Kitab Suci Ibrani. Untuk itu, para penafsir hanya perlu jujur bahwa Allah mempunyai gambaran yang beragam di dalam Kitab Suci Ibrani.

Menerima Allah dalam bingkai tafsir ini berarti para pembaca mesti siap untuk berhadapan dengan Allah yang tidak baik. Dalam arti ini, Allah memiliki sisi gelap, kerapuhan, dan berisiko bagi umat. Allah tidak hanya menganugerahkan berbagai macam hal positif, tetapi turut hadir dengan sikap, tindakan, dan pemeliharaan yang meresahkan karena diselimuti dengan kekerasan.49

Mengakui Dan Menerima, Tetapi Tidak Mengimitasi

Pertanyaan yang mencuat, jika kita mengakui bahwa Allah memberlakukan kekerasan dan bertindak secara kejam adalah apakah manusia diajak untuk mengimitasi gambar Allah yang demikian? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya membaginya ke dalam empat bagian yakni mengakui Allah memberlakukan kekerasan sembari menolak Allah Kitab Suci Ibrani, menerima Allah secara paradoksial dan tidak menolak Kitab Suci Ibrani, memprotes Allah sembari berharap bahwa Allah tidak memberlakukan kekerasan, dan Kitab Suci Ibrani adalah sahabat yang membuat kita mengenal Allah lebih dalam.

Menolak Gambar Allah Kitab Suci Ibrani

Untuk menjelaskan mengenai penolakan terhadap Allah Kitab Suci Ibrani, kita langsung diarahkan pada tokoh terkenal: Marcion. Marcion lahir sekitar tahun 85 Zaman Bersama (ZB). Pada tahun 139, Marcion pergi ke Roma dan bergabung bersama kelompok kecil Kristen di tempat itu. Lima tahun kemudian, Marcion menggagas dua karyanya,

48 Seibert, Disturbing Divine Behavior: Troubling Old Testament Images of God, 234–235.

49 Agustinus Setiawidi, “Anugerah Yang Mengganggu: Allah-Alkitab-Gereja Dalam Ibadah,” in Simposium Nasional Pelayan Ibadah (Presented at the Simposium Nasional Pelayan Ibadah, Jakarta: STT Jakatta, 2014), 1–19; Tony Wiyaret Fangidae, “Anugerah Yang Meresahkan:

Menggumuli Teks-Teks Kekerasan Di Perjanjian Lama,” GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian 6, no. 2 (October 22, 2021): 161, http://journal-

theo.ukdw.ac.id/index.php/gemateologika/article/view/547.

(20)

Copyright© 2022; BIA’, ISSN: 2655-4666 (print), 2655-4682 (online) | 191

yakni sebagai pengedit Perjanjian Baru dan menulis bukunya yang berjudul

“Antitheses”.50 Dari ini, Marcion memaparkan pendapatnya mengenai Allah dalam Kitab Suci Ibrani.

Marcion mengeklaim bahwa Allah Kitab Suci Ibrani berbeda dengan Allah Perjanjian Baru. Allah Kitab Suci Ibrani itu kasar, kejam, jahat, dan memberlakukan kekerasan; Allah Perjanjian Baru itu baik, pengasih, dan penuh dengan kedamaian.51 Marcion berusaha membuktikan bahwa Allah Kitab Suci Ibrani kekurangan nilai-nilai kebaikan, kurang bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi, tak konsisten, tak dapat dipercaya, dan berkehendak seenaknya.52

Melalui pernyataan-pernyataan di atas, Marcion menolak untuk percaya pada Allah yang digambarkan di dalam Kitab Suci Ibrani. Dengan menolak Allah di dalam Kitab Suci Ibrani, secara otomatis Marcion menolak Hukum Taurat dan nabi-nabi di dalam Kitab Suci Ibrani. Marcion menyatakan bahwa semua yang terlibat bersama Allah di dalam Kitab Suci Ibrani adalah jahat. Dengan demikian, Allah Kitab Suci Ibrani dan Kitab Suci Ibrani itu sendiri ditolaknya.53 Pemikiran dan sikap yang diambil Marcion dipandang sebagai sebentuk pembelotan dan langkah dari kaum bidah.54

Tampaknya, kita tidak dapat menerima pandangan ini karena menolak Allah di dalam Kitab Suci Ibrani artinya kita meninggalkan kekayaan yang tersimpan dalam Kitab Suci Ibrani.55 Menolak Allah dalam Kitab Suci Ibrani berarti kita menolak narasi-narasi iman kita yang hadir dan terlahir dari kesaksian bangsa Israel itu. Tatanan iman yang dibangun sejak Kitab Suci Ibrani runtuh oleh Allah yang tidak kita percayai nan kita tolak.

Allah yang Paradoksal

Mark Roncace mengakui bahwa Allah di dalam Kitab Suci Ibrani mengamalkan kekerasan. Roncace menyebut bahwa Allah di dalam Kitab Suci Ibrani adalah Allah yang

50 Eric W. Scherbenske, “Marcion’s Antitheses and the Isagogic Genre,” Vigiliae Christianae 64, no. 3 (2010): 255–257.

51 L. Daniel Hawk, The Violence of the Biblical God: Canonical Narrative and Christian Faith (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 2019), 4.

52 Judith Lieu, Marcion and the Making of Heretic: God and Scripture in the Second Century (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 66.

53 Ibid., 112.

54 G. R. Evans, A Brief History of Heresy (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 130–131.

55 Matthew Schlimm, This Strange and Sacred Scripture (Grand Rapids: Baker Books, 2015), xxi.

(21)

paradoksal—ramah dan kejam, pelindung dan pemusnah, dan hadir dan absen. Allah tidak sepenuhnya baik, berkuasa, kudus, dan mencintai. Allah mempunyai gambar yang bertentangan dengan itu.56 Jika taraf dari Allah yang baik dan ramah disamaratakan, misalnya 50% banding 50% maka hal ini mengganggu tatanan iman Kristen. Allah digambarkan sebagai sosok yang tidak dapat dipercayai karena dapat bersikap kejam bahkan membunuh manusia tanpa ampun. Dengan demikian, Alkitab sebagai sumber iman Kristen dipertanyakan dan diragukan. Di mana letak iman pada Allah yang paradoksal itu?

Memprotes Allah yang Memberlakukan Kekerasan

Jeremy Young merupakan salah seorang teolog yang tidak sekedar menerima dan mengakui Allah di dalam Kitab Suci Ibrani memberlakukan kekerasan, tetapi juga mengajukan protes terhadap gambar Allah tersebut. Baginya, para pembaca perlu belajar dari Ayub dan para pemazmur yang memprotes Allah. Protes itu dinyatakan dengan harapan dan kepercayaan bahwa Allah sesungguhnya tidak pernah memberlakukan kekerasan.57 Pandangan Young terbilang melegakan karena dengan mengacu pada sejumlah bagian dari Kitab Suci Ibrani, kita dapat menemukan langkah, cara, dan jalan lain untuk berhadapa dengan Allah dalam Kitab Suci Ibrani. Memprotes Allah tidak terlahir dari ketidakberimanan kita. Sebaliknya, protes itu justru lahir dari pengharapan dan kepercayaan kita pada Allah yang dapat bertindak tanpa dan menolak kekerasan.

Sahabat yang bertanya dan memprotes

Pendekatan terakhir saya adopsi dari lensa Matthew Schlimm yang secara tegas menyatakan bahwa manusia tidak hidup untuk mengimitasi gambar Allah yang memberlakukan kekerasan. Schlimm juga menolak untuk membaca Kitab Suci Ibrani secara buta. Jika kita menerima secara buta, suara hati kita terluka.58 Kitab Suci Ibrani tidak perlu dipandang sebagai musuh atau yang asing. Kitab Suci Ibrani adalah sahabat yang mengajarkan kepada manusia betapa sulitnya hidup saleh di hadapan Allah.59

56 Mark Roncace, Raw Revelation: The Bible They Never Tell You About (North Charleston:

CreateSpace, 2012), 80–81.

57 Seibert, “Recent Research on Divine Violence in the Old Testament (with Special Attention to Christian Theological Perspectives),” 30.

58 Schlimm, This Strange and Sacred Scripture, xxi.

59 Ibid., 7.

(22)

Copyright© 2022; BIA’, ISSN: 2655-4666 (print), 2655-4682 (online) | 193

Dengan menekankan Kitab Suci Ibrani sebagai sahabat, Schlimm berharap para pembaca tidak lari dan meninggalkan Kitab Suci Ibrani dan Allah yang digambarkan di dalamnya. Melainkan, para pembaca mau terus berelasi dan belajar dari Kitab Suci Ibrani.

Dengan demikian, kita menemukan Kitab Suci Ibrani sebagai sahabat yang mengingatkan manusia mengenai bahaya dosa, sehingga manusia tidak memberlakukan dosa.60 Schlimm menggarisbawahi bahwa:

As we embrace the Old Testament, we embrace its God. As we become close to the Old Testament, we also become close to the God who showed up at Abraham and Sarah’s tent, the God who heard Hannah’s desperate prayers, and the God who stood beside Daniel in a foreign land.61

Sebagai sahabat, Kitab Suci Ibrani juga layak mendapat protes, sehingga kita tidak membaca Kitab Suci Ibrani di dalam kaca mata iman yang buta dan membenarkan setiap gelat gelit kekerasan yang ternarasi di dalamnya.62 Inilah secercah iman yang hidup. Iman yang tidak diam atau pasif, melainkan iman yang setia bergumul dengan Allah yang dipercayai.

Tulisan ini mendukung pandangan Schlimm. Dengan bersahabat dengan Kitab Suci Ibrani, kita tidak meninggalkan dan abai dengan problematika tekstual dan aktual yang terlahir dari teks, melainkan berusaha untuk mencari solusi terbaik dari bagi konteks, locus berteologi kita. Allah dalam Kitab Suci Ibrani tidak perlu dibela dengan narasi yang mempositifkan atau meromantisir kekerasan menjadi sesuatu yang terlihat baik[-baik saja]. Ketika membela Allah, kita telah membenarkan sikap Allah, yakni melakukan kekerasan dan kekejaman demi kebaikan. Bahayanya, manusia berpotensi untuk membenarkan tindak kekerasannya dengan merujuk kepada Allah yang memberlakukan kekerasan demi kebaikan. Dengan demikian, pelbagai macam tindak kekerasan dapat terjustifikasi berdasarkan gambar Allah tersebut. Untuk itu, sembari memprotesnya, kita menegaskan bahwa kekerasan ilahi perlu ditolak dan tak perlu diimitasi. Tindakan seperti itu tidak dapat seenaknya dijustifikasi. Sekali lagi, Allah tidak membutuhkan pembelaan apa pun! Sebagai sahabat, bertanya dan memprotes tindakan Allah bukanlah bukan suatu anatema. Pertanyaan dan protes itu lahir dari keberimanan kita kepada sosok yang mulia itu.

4. Kesimpulan

Dari paparan di atas, tetap dan mesti saya akui bahwa gambar Allah yang problematis itu meresahkan para pembaca Alkitab, khususnya Kitab Suci Ibrani. Para

60 Ibid., 8.

61 Matthew Richard Schlimm, This Strange and Sacred Scripture: Wrestling with the Old Testament and Its Oddities (Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2015), 7.

62 Schlimm, This Strange and Sacred Scripture, 4–5.

(23)

pembaca diajak untuk bergulat dan bertarung dengan karakter Allah yang tak jarang memberlakukan kekerasan. Keresahan itu menjadi sangat penting untuk ditelisik, karena gambar Allah itu tidak hadir dari anggapan atau dugaan manusia belaka, melainkan dari kesaksian Alkitab itu sendiri. Dalam sikap resah ini, tulisan ini mengajak para pembaca Alkitab untuk setia dan mau bergulat dengan Allah di dalam Kitab Suci Ibrani. Keresahan itu setidaknya mengundang kita untuk mencari tahu dan terus bergumul dengan sahabat kita, yakni Kitab Suci Ibrani di dalam iman kepada Allah. Sama seperti pemazmur yang berseru, memohon, dan memprotes Allah (Mzm. 44:24-25):

“Terjagalah, mengapa Engkau tidur, ya Tuhan?

Bangunlah! Janganlah membuang kami terus-menerus!

Mengapa Engkau menyembunyikan wajah-Mu

dan melupakan penindasan dan impitan terhadap kami?”

Seruan dalam doa-doa yang penuh dengan permohononan, pertanyaan, dan protes serupa dapat kita utarakan ketika menghadapi serta bergumul dengan gambar Allah yang problematis.

Referensi:

Albertus Purnomo. Bertarung Dengan Allah. Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Ateek, Naim Stifan. A Palestinian Theology of Liberation: The Bible, Justice, and the Palestine-Israel Conflict. Maryknoll, New York: Orbis Books, 2017.

Barton, John. “The Dark Side of God in the Old Testament.” In Ethical and Unethical in the Old Testament: God and Humans in Dialogue, edited by Katharine J. Dell. Library of Hebrew Bible/Old Testament studies 528. New York: T & T Clark, 2010.

Brian McLaren. A New Kind of Christianity: Ten Questions That Are Transforming the Faith.

San Francisco: HarperOne, 2010.

Brueggemann, Walter. Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy.

Minneapolis: Fortress Press, 1997.

Creach, Jerome F. D. “Violence in Scripture.” In Interpretation: Resources for the Use of Scripture in the Church. First edition. Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 2013.

David Lamb. God Behaving Badly: Is the God of the Old Testament Angry, Sexist, and Racist?

Downers Grove: InterVarsity, 2011.

Dawkins, Richard. The God Delusion. London: Bantam Press, 2006.

Eryl Davies. The Immoral Bible: Approaches to Biblical Ethics. London: T & T Clark, 2010.

Fangidae, Tony Wiyaret. “Anugerah Yang Meresahkan: Menggumuli Teks-Teks Kekerasan Di Perjanjian Lama.” GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian 6, no. 2 (October 22, 2021): 161. http://journal- theo.ukdw.ac.id/index.php/gemateologika/article/view/547.

———. “Meninjau Ulang Teks Perang Dalam Kitab Suci Ibrani: Sumbangan Dari Keluaran 14:13-14, 15:3.” Societas Dei: Jurnal Agama dan Masyarakat 8, no. 2 (November 8, 2021): 141–157. http://societasdei.rcrs.org/index.php/SD/article/view/244.

(24)

Copyright© 2022; BIA’, ISSN: 2655-4666 (print), 2655-4682 (online) | 195

Fretheim, Terence E. “God and Violence in the Old Testament.” Word and World 24, no. 1 (2004): 18–28.

G. R. Evans. A Brief History of Heresy. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.

Gilmour, Rachelle. “Divine Violence and Divine Presence: Reading the Story of Uzzah and the Ark in 2 Samuel 6 with Slavoj Žižek.” Biblical Interpretation 27, no. 1 (March 11, 2019): 1–19. https://brill.com/view/journals/bi/27/1/article-p1_1.xml.

Hawk, L. Daniel. The Violence of the Biblical God: Canonical Narrative and Christian Faith.

Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 2019.

Judith Lieu. Marcion and the Making of Heretic: God and Scripture in the Second Century.

Cambridge: Cambridge University Press, 2015.

McEntire, Mark Harold. The Blood of Abel: The Violent Plot in the Hebrew Bible. Macon, Ga:

Mercer University Press, 1999.

Niditch, Susan. War in the Hebrew Bible: A Study in the Ethics of Violence. New York: Oxford Univ. Press, 1995.

Paul Copan. Is God a Moral Monster? Making Sense of the Old Testament God. Grand Rapids, Michigan: Baker Books, 2011.

Paul Copan, and Matthew Flannagan. Did God Really Command Genocide?: Coming to Terms with the Justice of God. Grand Rapids: Baker Books, 2015.

Porter, Stanley E., ed. Dictionary of Biblical Criticism and Interpretation. New York:

Routledge, 2007.

Roncace, Mark. Raw Revelation: The Bible They Never Tell You About. North Charleston:

CreateSpace, 2012.

Scherbenske, Eric W. “Marcion’s Antitheses and the Isagogic Genre.” Vigiliae Christianae 64, no. 3 (2010): 255–279.

Schlimm, Matthew. This Strange and Sacred Scripture. Grand Rapids: Baker Books, 2015.

Schlimm, Matthew Richard. This Strange and Sacred Scripture: Wrestling with the Old Testament and Its Oddities. Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2015.

Seibert, Eric A. Disturbing Divine Behavior: Troubling Old Testament Images of God.

Minneapolis: Fortress Press, 2009.

———. “Recent Research on Divine Violence in the Old Testament (with Special Attention to Christian Theological Perspectives).” Currents in Biblical Research 15, no. 1 (2016): 8–40.

———. “Recent Research on Divine Violence in the Old Testament (with Special Attention to Christian Theological Perspectives).” Currents in Biblical Research 15, no. 1 (October 2016): 8–40. Accessed September 1, 2019.

http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1476993X15600588.

Setiawidi, Agustinus. “Anugerah Yang Mengganggu: Allah-Alkitab-Gereja Dalam Ibadah.”

In Simposium Nasional Pelayan Ibadah, 1–19. Jakarta: STT Jakatta, 2014.

Setiawidi, Agustinus, and Tony Wiyaret Fangidae. “Pedoman Teori Pedagogis Untuk Membaca Teks-Teks Kekerasan Di Dalam Perjanjian Lama.” DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 5, no. 2 (April 2, 2021): 278–295. Accessed April

13, 2021. https://sttintheos.ac.id/e-

journal/index.php/dunamis/article/view/355.

(25)

Setio, Robert. “Teks Peperang Dalam Konteks Perang: Pandangan Awal Untuk Pembaca Fungsional.” Forum Biblika: Journal Ilmiah Kontemporer 16 (2004): 45–62.

Walter Kaiser. Hard Sayings of the Old Testament. Downers Grove: InterVarsity, 1983.

Ward, H. Clifton. The Oxford Handbook of Early Christian Biblical Interpretation. Edited by Paul M. Blowers. New product edition. New York, NY: Oxford University Press, 2019.

Yohanes, Hendra. “Tinjauan Kritis-Multifaset Terhadap Tuduhan Genosida Atas Catatan Penaklukan Kuno Tanah Perjanjian.” Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 18, no.

2 (November 28, 2019): 107–123.

Yonky Karman. “Perang Dalam Perjanjian Lama: Problem Reinterpretasi.” Forum Biblika 15, no. 1 (2002): 1–13.

Young, Jeremy. The Violence of God and the War on Terror. New York: Seabury Books, 2008.

Referensi

Dokumen terkait

perbandingan selulosa/aquades 1:25 (w/v) dilakukan dalam autoklaf pada suhu 130 o C selama 3 jam. Hasil penelitian menunjukan konsentrasi asam sulfonat dan waktu kontak yang

Pelatihan yang diselenggarakan oleh Kantor Pusat Bank Syariah Bukopin yang berada di Jalan Salemba Raya No. Pelatihan berupa pengarahan secara langsung sesuai dengan

Jenis penelitian ini adalah penelitian pra-eksperimen. Rancangan penelitian yang digunakan adalah randomized control group only design. Populasi dalam penelitian ini adalah

percepatan atau perlambatan perkecambahan dan fase generatif tanaman (Saputra, 2012), perubahan bentuk daun anggrek yang sementara akibat kerusakan fisiologi sel dan jaringan

Tiga bulan kemudian, Suhada bertemu kembali dengan anak nelayan,setelah sekian lama berpisah.Jumlah mereka tak sebanyak dengan jumlah mereka saat beberapa bulan

Ha : Terdapat perbedaan perbedaan yang signifikan hasil belajar matematika menggunakan model pembelajaran konvensional dengan CTL siswa kelas IX SMAN 212 Wiro Sableng

Dengan mengerjakan soal cerita, siswa mampu menemukan strategi yang efektif dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan operasi hitung perbandingan dan pecahan dengan teliti3.

bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar gambar teknik mahasiswa dengan metode pendekatan kontekstual pada mata pelajaran GTM di jurusan Teknik Mesin Universitas