ABSTRAK
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN STATUS ANAK DILUAR KAWIN DALAM SISTEM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA DAN KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM
MEMBERIKAN STATUS KEPADA ANAK LUAR KAWIN (KASUS MACHICA MOCHTAR TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN) Adjeng Sugiharti
0988004
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Fakta di masyarakat memperlihatkan adanya kawin siri atau perkawinan yang dilakukan secara dibawah tangan, dimana perkawinan tersebut tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama (KUA) ataupun Kantor Catatan Sipil. Persoalan yang muncul kemudian adalah apabila kemudian pasangan dari perkawinan siri tersebut mempunyai anak. Kedudukan anak dari hasil perkawinan siri kemudian menimbulkan polemik di masyarakat terkait dengan pengakuan statusnya.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode penelitian Yuridis Normatif. Metode pendekatan yang bersifat Yuridis Normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut juga dengan penelitian hukum kepustakaan, yaitu melalui penelitian melalui berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan ini diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta melalui berbagai literatur dan artikel ilmiah lainnya.
Hasil penelitian menunjukan perubahan Pasal 43 UU Perkawinan berdampak terhadap urgensi perubahan peraturan mengenai sahnya suatu pranata perkawinan dalam kaitannya dengan hubungan perdata antara anak luar kawin dengan ayahnya serta keluarga ayahnya. Pengadilan Agama sesungguhnya tidak memiliki kewenangan dalam hal untuk mengadili perkara sah atau tidaknya seorang anak akibat suatu perkawinan, termasuk terhadap anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Hal ini dikarenakan Pengadilan Agama memiliki kewenangan yang berlandaskan terhadap fiqh agama, bahwa anak luar kawin harus terlebih dahulu mendapatkan penetapan sebagai anak sah melalui suatu proses yang dilakukan secara sukarela oleh ayah biologisnya.
ABSTRACT
JURIDICAL ANALYSYS ON THE RECOGNITION OF CHILDREN BORN OUT OF WEDLOCK IN INDONESIA LEGAL SYSTEM AND
AUTHORITY OF RELIGIOUS COURT TO PROVIDE STATUS OF CHILDREN BORN OUT OF WEDLOCK (MACHICA MOCHTAR CASE
OF LAW NUMBER 1 YEAR 1974 ON MARRIAGE)
Adjeng Sugiharti 0988004
Marriage is a physically and mentally bond between a man and a woman as husband and wife with the aim of forming a family or household that is happy and eternally based on God. In fact the people have shown their siri marriage or marriages conducted under the hand, where the marriage is not listed on Religious Affairs Office or the Civil Registry Office. The problem that arises then is when then the series a couple of marriages have children. Position the child of the siri marriage then rise to polemics in the community related to the recognition of his status.
The method used in this thesis research is normative juridical research methods. The approach is normative juridical done by researching library materials is a secondary data, also referred to legal research literature, namely through research through a variety of laws and regulations related to this issue including Law No. 1 of 1974 About the marriage as well as through various literature and other scientific articles.
The results showed the amendment of article 43 of the marriage law affect the urgency of changes in regulations regarding the validity of a marriage institution in connection with a civil relationship between the children born out of wedlock with her father and his father's family. religious court did not actually have the authority to hear the case in terms of the validity of the result of a marriage of a child, including the child born of the marriage. this is because the religious courts have the authority based on religious jurisprudence, that the children born out of wedlock must first obtain a valid determination of a child through a process that is done voluntarily by the biological father.
DAFTAR ISI
Judul ... i
Pernyataan Keaslian ... ii
Pengesahan Pembimbing ... iii
Persetujuan Panitia Sidang Ujian ... iv
Persetujuan Revisi ... v
Abstrak ... vi
Kata Pengantar ... vii
Daftar Isi ... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Kegunaan Penelitian ... 10
E. Kerangka Pemikiran ... 11
F. Metode Penelitian ... 16
G. Sistematika Penulisan ... 21
BAB II KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM SISTEM HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan yang Sah di Indonesia ... 24
B. Kedudukan Anak Luar Kawin ... 32
C. Perubahan makna anak luar kawin pada Pasal 43 UU Perkawinan ... 36
D. Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Diralatnya Pasal 43 UU Perkawinan ... 40
A. Pengakuan Anak Luar Kawin Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata ... 45
B. Anak Luar Kawin Ditinjau Dari Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Uji Materil Pasal 2 Ayat (2)
Dan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan ... 47
C. Kewenangan Pengadilan Agama Dikaitkan Dengan
Pengakuan Status Anak Luar Kawin Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Uji
Materil Pasal 2 Ayat (2) Dan Pasal 43 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 52
BAB IV PENGAKUAN STATUS ANAK DILUAR KAWIN DALAM SISTEM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG UJI MATERIL PASAL 2 AYAT (2) DAN PASAL 43 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
A. Analisis Terhadap Institusi Perkawinan Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Uji
Materil Pasal 2 Ayat (2) Dan Pasal 43 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 65
B. Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan
Perkara Pengakuan Anak Dalam Perkawinan Antara Aisyah
Mochtar Dengan Almarhum Drs. Moerdiono Yang
Dilangsungkan Pada 20 Desember 1993 ... 72
C. Status Anak Diluar Kawin Dikaitkan Dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Uji
Materil Pasal 2 Ayat (2) Dan Pasal 43 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Serta
D. Alasan Berbeda (Concurring Opinion) Hakim Konstitusi Maria
Farida Indrati Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 Tentang Uji Materil Pasal 2 Ayat (2) Dan
Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan ... 80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 87
B. Saran ... 88
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia pada dasarnya tentu memiliki keinginan untuk
dapat melanjutkan garis keturunannya. Perkawinan merupakan salah
satu upaya manusia untuk bisa mendapatkan hal tersebut. Dilihat dari
sudut pandang ilmu bahasa, istilah perkawinan berasal dari kata
"kawin" yang merupakan terjemahan dari bahasa Arab "nikah". Kata
"nikah" mengandung dua pengertian, yaitu dalam arti yang
sebenarnya (haqikat) berarti berkumpul dan dalam arti kiasan berarti
aqad atau mengadakan perjanjian perkawinan.1 Menurut hukum Islam
yang dimaksud suatu dengan perkawinan merupakan sebagai aqad
yang memiliki sifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan
dengan tujuan membentuk keluarga yang penuh kasih sayang serta
kebajikan.2
Perkawinan di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat menjadi UU
Perkawinan) yang menjelaskan bahwa:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.”
1 Trusto Subekti, Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Ditinjau Dari Hukum Perjanjian, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 3 September 2010, hlm. 333.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, maka untuk perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang
ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia
Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74,
Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken
S.1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan
tidak berlaku.
Unifikasi hukum perkawinan menjadi sesuatu yang penting dan
dapat berfungsi sebagai penjaga, pengatur dan menghasilkan
ketertiban dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin
kepastian hukum dan memberikan perlindungan bagi seluruh
masyarakat.3 Meskipun demikian, ternyata masih terdapat hal yang
dirasakan oleh penulis kurang atau bahkan tidak mendapat perhatian,
ialah mengenai status anak yang kemudian lahir di luar dari pada
ketentuan Undang-Undang tersebut.
Permasalahan yang kemudian muncul ialah bagaimana dengan
kedudukan anak yang dilahirkan di luar dari perkawinan. Jika kita
melihat pada ketentuan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dapat dilihat bahwa anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dapat dipahami bahwa
ketentuan ini dirasakan wajar (pada masa lampau) mengingat bahwa
bagaimana pembuktian mengenai siapa ayah biologis dari seorang
anak sulit untuk diketahui, berbeda dengan ibunya yang tentu saja
melahirkannya.
Terkait dengan perkawinan, seringkali kita mendengar adanya
permasalahan di masyarakat, yaitu dengan adanya kawin siri atau
perkawinan yang dilakukan secara dibawah tangan, dimana
perkawinan tersebut tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama
(KUA) ataupun Kantor Catatan Sipil. Padahal hal tersebut
bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan
yang menentukan bahwa:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Persoalan yang muncul kemudian adalah apabila kemudian
pasangan dari perkawinan siri tersebut mempunyai anak. Berbagai
kesulitan seringkali menjadikan anak tersebut sebagai korban, mulai
dari kesulitan memperoleh Akta Kelahiran ataupun surat
kependudukan, hingga masalah kesejahteraan dari anak tersebut
terkait pembagian harta warisan. Kedudukan anak dari hasil
Anak dari pasangan yang melakukan perkawinan siri dianggap
tidak mempunyai hak ataupun perlindungan sebagaimana anak
lainnya dari pasangan yang melangsungkan perkawinan secara resmi.
Kedudukan anak hasil perkawinan secara siri bukan merupakan anak
yang secara sah diakui oleh Undang-Undang. Hal tersebut dapat
dilihat dari adanya ketentuan dalam Pasal 42 UU Perkawinan yang
menjelaskan bahwa:
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”
Karena perkawinan siri tidak dilaksanakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka dengan kata lain
perkawinan siri merupakan suatu bentuk perkawinan yang
dilaksanakan secara tidak sah. Dengan demikian, maka anak yang
dilahirkan sebagai hasil dari perkawinan siri menjadi anak yang tidak
sah pula sebagaimana ketentuan dalam Pasal 42 UU Perkawinan
tersebut.
Salah satu kasus yang cukup menarik serta menyita perhatian
masyarakat terkait dengan perkawinan siri yaitu kasus yang dialami
oleh Aisyah Mochtar atau yang lebih dikenal publik dengan nama
Machica Mochtar. Kasus yang dialami oleh Machica Mochtar ialah
pada saat ia melaksanakan perkawinan siri dengan Moerdiono (Alm.)
pada tanggal 20 Desember 1993 di Jakarta, dengan wali nikah H.
disaksikan oleh 2 orang saksi, yaitu KH. M. Yusuf Usman (Alm.) dan
Risman. 4
Putusan ini hingga saat ini menimbulkan pro dan kontra di
masyarakat, bagi pihak yang mendukung menilai putusan ini
merupakan terobosan hukum yang progresif dalam melindungi anak,
sedangkan bagi pihak yang kontra mengkhawatirkan putusan ini
merupakan afirmasi dan legalisasi terhadap pernikahan siri maupun
perbuatan zinah, kumpul kebo, belum lagi kewenangan pengadilan
agama dalam menangani perkara yang berasal dari bukan perkawinan
yang tidak tercatat bahkan bisa saja tidak sah menurut agama dan
kepercayaan masing-masing.5
Perkawinan dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam dengan
mahar berupa seperangkat alat shalat, uang sejumlah 2000 (dua ribu)
Riyal (mata uang Arab Saudi), satu set perhiasan emas serta berlian,
dengan ijab yang diucapkan oleh wali tersebut dan qobul diucapkan
oleh Moerdiono. Namun sayangnya perkawinan tersebut dilaksanakan
dibawah tangan dan tidak dilakukan pencatatan secara resmi.
Perkawinan siri yang dilakukan oleh Machica dengan Moerdiono
tersebut kemudian dikaruniai seorang anak yang diberi nama
Muhammad Iqbal Ramadhan.
4 7 Kementerian Hukum dan HAM, Kantor Wilayah Sumatera Utara, “Kedudukan Anak
Luar Nikah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010”, http://sumut.kemenkumham.go.id/berita-utama/399-kedudukan-anak-luar-nikah-pasca-putusan-mahkamah konstitusinomor-46puu-viii2010, Diakses tanggal 4 Juni 2012.
Perkawinan siri tersebut kemudian mempunyai dampak yang harus
dirasakan oleh anaknya. Hubungan secara hukum antara anak dengan
kedua orangtuanya yang melakukan perkawinan secara siri
mengakibatkan anak tersebut hanya mempunyai hubungan dengan
ibunya saja. Hal tersebut karena dalam perspektif hukum, anak yang
lahir dari pasangan perkawinan siri dianggap lahir di luar perkawinan.
Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan yang
menjelaskan bahwa:
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Karena merasa hak konstitusionalnya dirugikan, Machica beserta
anaknya kemudian mengajukan permohonan pengujian
Undang-Undang Perkawinan terhadap UUD 1945, yaitu ketentuan dalam Pasal
2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Mahkamah Konstitusi
kemudian dalam putusan nomor 46/PUU-VIII/2010 mengabulkan
sebagian permohonan, dengan menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1)
UU Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun
1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) serta tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menjelaskan bahwa Pasal
43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945
sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan
laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
hubungan darah sebagai ayahnya. Pasal tersebut juga tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai sebagaimana
disebutkan diatas, sehingga ayat tersebut harus dibaca:
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya”
Setelah dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
kemudian menimbulkan pertanyaan baru mengenai bagaimana
kemudian sesungguhnya institusi perkawinan itu sendiri. Adanya
perubahan perspektif hukum terhadap anak luar kawin secara formil
kemudian dipandang harus disertai dengan perubahan terhadap
Undang-Undang Perkawinan itu sendiri. Implikasi dari keluarnya
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menimbulkan kekosongan
hukum serta berpotensi memunculkan permasalahan baru,
diantaranya:
1. Kedudukan anak hasil zinah adalah sama dengan kedudukan anak
yang dilahirkan di dalam perkawinan.
2. Ayah tidak mempunyai hak untuk menyangkal anak luar kawin
tersebut adalah anaknya.
3. Perkawinan yang sah menjadi tidak berguna karena kesamaan
kedudukan anak luar kawin dan anak dari perkawinan secara sah.
4. Kawin siri secara tidak sengaja terdukung oleh putusan ini, karena
disahkan oleh negara, dan kalau memang anak yang dilahirkan
tanpa perkawinan disahkan, berarti nikah siri terangap sah dan hal
ini adalah masalah yang fatal.
5. Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan kemudian menjadi bertentangan
dengan Pasal 44 UU Perkawinan itu sendiri.
Berbagai permasalahan tersebut memberikan landasan bagi
sebagian masyarakat untuk berpendapat terhadap dilakukannya
perubahan terhadap UU Perkawinan. Setelah dikeluarkannya putusan
Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010, maka sebagian
kalangan memandang perlu dilakukan pembaharuan terhadap UU
Perkawinan supaya memberikan perlindungan secara komprehensif
bagi masyarakat. Pembaharuan terhadap peraturan
perundang-undangan merupakan suatu hal yang wajar untuk menyesuaikan
dengan kondisi serta situasi masyarakat saat ini.
Penulis tertarik dengan permasalahan yang diuraikan tersebut serta
ingin mengetahui dan memahami secara lebih lanjut tentang apakah
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan dampak terhadap
urgensi perubahan UU Perkawinan. Berdasarkan permasalahan
tersebut, penulis kemudian mengangkatnya kedalam penelitian skripsi
yang berjudul:
MACHICA MOCHTAR TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN)”.
B. Identifikasi Masalah
Adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
tentang uji materil Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU
Perkawinan sangat menarik untuk dikaji mengenai bagaimana
implikasinya terhadap institusi perkawinan itu sendiri. Berdasarkan hal
tersebut, dapat diuraikan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah perubahan Pasal 43 UU Perkawinan berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 berdampak
terhadap urgensi perubahan peraturan mengenai suatu pranata
perkawinan?
2. Bagaimanakah kewenangan Pengadilan Agama dalam
memberikan ketetapan yang menjadi dasar pencatatan kelahiran
anak luar kawin dalam kaitannya dengan status hukum anak
tersebut?
3. Bagaimana akibat hukum terhadap anak luar kawin pasca
perubahan Pasal 43 UU Perkawinan dan Putusan Mahkamah
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian Skripsi ini antara lain yaitu:
1. Untuk mengetahui dampak perubahan Pasal 43 UU Perkawinan
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 terhadap urgensi perubahan peraturan mengenai sahnya
suatu pranata perkawinan.
2. Untuk mengetahui kewenangan Pengadilan Agama dalam
memberikan ketetapan yang menjadi dasar pencatatan kelahiran
anak luar kawin dalam kaitannya dengan status hukum anak
tersebut.
3. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap anak luar kawin pasca
perubahan Pasal 43 UU Perkawinan dan putusan Kasasi No. 329
K/Ag/2014.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian dalam penulisan skripsi ini mempunyai kegunaan, baik
secara teoritis maupun praktis, yang dapat diuraikan lebih lanjut
sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian skripsi ini diharapkan untuk dapat
memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu
perkawinan serta bagaimana pengakuan status anak diluar kawin
dalam sistem hukum perkawinan di Indonesia.
2. Secara Praktis
Secara praktis, penelitian skripsi ini diharapkan dapat
memberikan masukan bagi semua pihak yang berkepentingan,
antara lain:
a) Bagi pemerintah
Memberikan masukan bagi pemerintah untuk dapat
memberikan perlakuan yang adil bagi anak diluar kawin,
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Tahun
1945.
b) bagi Masyarakat
Memberikan masukan bagi masyarakat, khususnya yang
mempunyai kepentingan dengan anak diluar kawin untuk
mengetahui bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk
memperoleh hak-hak mereka.
E. Kerangka Pemikiran
1. Kerangka Teoritis
Dalam meninjau hukum hendaknya dipahami
sekurang-kurangnya tiga aspek yaitu hukum sebagai ide, hukum sebagai
norma, serta hukum sebagai institusi sosial yang dapat diuraikan
a) “Hukum sebagai ide, cita-cita, moral, keadilan. Materi studi mengenai aspek hukum demikian ini termasuk dalam filsafat hukum.
b) Hukum sebagai norma, kaidah, peraturan, undang-undang yang berlaku pada suatu waktu dan pada suatu tempat tertentu, sebagai produk dari suatu kekuasaan negara tertentu, yang berdaulat. Materi studi demikian ini termasuk kedalam pengetahuan hukum positif.
c) Hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan bermasyarakat yang terbentuk dari pola-pola tingkah laku yang melembaga. Aspek hukum demikian inilah yang mewujudkan studi hukum dan masyarakat dan sosiologi hukum.”6
Hukum sebagai suatu ide, cita-cita, moral serta keadilan dapat
dilihat dalam pembukaan UUD 1945 sebagai suatu bukti
bagaimana sesungguhnya arah perjuangan pembentukan Negara
Indonesia yang menyebutkan bahwa
“...perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur...”
Dari pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diatas,
maka dapat dilihat bahwa keadilan dalam masyarakat adalah salah
satu cita-cita bangsa. Keadilan secara umum dapat diartikan
diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil.7 Sementara
adil itu sendiri dapat dijelaskan sebagai suatu keadaan tidak berat
sebelah, tidak memihak dan hanya berpihak kepada yang benar.
6 Ronny Hanitijo Soemitro, Hukum Dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dan
Teknologi Di Dalam Masyarakat, Disampaikan dalam Upacara Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 6 Desember 1990, hlm. 2-3.
Keadilan dalam kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip,
pertama tidak merugikan seseorang dan kedua perlakuan kepada
tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya.8
Hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda. Hukum
yang dipisahkan dari keadilan adalah hukum positif.9
Membebaskan konsep hukum dari ide keadilan cukup sulit karena
secara terus-menerus dicampur-adukkan secara politis terkait
dengan tendensi ideologis untuk membuat hukum terlihat sebagai
keadilan.10 Keadilan dapat dimaknai sebagai legalitas. Adil adalah
jika suatu aturan diterapkan pada semua kasus di mana menurut
isinya memang aturan tersebut harus diaplikasikan. Tidak adil
adalah jika suatu aturan diterapkan pada satu kasus tetapi tidak
pada kasus lain yang sama.11
Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah”. Ketentuan tersebut memberikan penjelasan
secara nyata bahwa perkawinan itu sendiri adalah hak dari setiap
orang. Namun pada kenyataannya di masyarakat muncul bentuk
lain dari perkawinan yang dilaksanakan tidak melalui pencatatan
atau perkawinan siri. Akibat dari adanya perkawinan siri tersebut,
8 Ibid.
9 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa'at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta:
Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm 15-16.
anak yang dilahirkan dari pasangan perkawinan siri merupakan
anak luar kawin.
Keberadaan anak luar kawin di masyarakat menimbulkan
permasalahan. Mereka menerima perlakuan yang berbeda dari
masyarakat serta mendapatkan berbagai kesulitan, mulai dari tidak
dicatatkannya nama Ayah dalam Akta Kelahiran, tidak diakuinya
sang anak dalam hal pembagian warisan, hingga kesulitan dalam
pengurusan surat kependudukan. Permasalahan tersebut muncul
karena anak luar kawin tidak memiliki hubungan perdata dengan
ayahnya sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU
Perkawinan.
Hal tersebut saat ini seringkali luput dari perhatian pemerintah,
padahal kejadian ini sangat bertentangan dengan UUD 1945,
dimana Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menjelaskan bahwa:
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi nomor
46/PUU-VIII/2010 merupakan suatu terobosan yang diharapkan mampu
untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak luar kawin
di masyarakat. Namun putusan tersebut harus dibarengi dengan
adanya perangkat hukum yang mendukung pelaksanaan putusan
tersebut, karena dengan adanya perubahan terhadap Pasal 43 UU
terhadap bagaimana sesungguhnya institusi perkawinan yang
berlaku dalam hukum positif di Indonesia saat ini serta peraturan
pelaksana terkait perlindungan terhadap keberadaan anak luar
kawin di masyarakat.
2. Kerangka Konseptual
a. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.12
b. Perkawinan siri adalah perkawinan yang dilakukan secara di
bawah tangan dan tidak melalui proses pencatatan resmi pada
pihak yang berwenang.
c. Anak sah (weetig kind) adalah anak yang dilahirkan dari suatu
perkawinan yang sah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
d. Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar dari
perkawinan yang sah, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
e. Orang tua biologis adalah ayah dan Ibu dari seorang anak,
sepanjang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi atau alat bukti lain yang menunjukkan adanya
hubungan darah antara seorang anak dengan ayah atau
ibunya.
F. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Metode adalah jalan yang menyatukan secara logis segala
upaya untuk sampai kepada penemuan, pengetahuan dan
pemahamannya tentang suatu yang dituju atau diarah secara
tepat. Setiap metode mengandung berbagai macam upaya yang
dalam istilah umum dikenal sebagai cara atau teknik.13 Metode
penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data penelitiannya.14
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini
adalah metode penelitian Yuridis Normatif. Metode pendekatan
yang bersifat Yuridis Normatif dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut juga
dengan penelitian hukum kepustakaan.15
Sifat penelitian skripsi ini adalah deskriptif analitis. Metode
deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok
manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran
13 Kosnoe, Metode Ilmu Hukum Normatif (Suatu Teori Tentang Metode Ilmu Hukum
Positif), Jakarta: Universitas Indonesia, 1985, hlm. 5.
14 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka
Cipta, 2006, hlm. 160.
15 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia
ataupun suatu kelas peristiwa, gambaran atau lukisan secara
sistematis, aktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antara fenomena yang diselidiki.16
Penelitian deskriptif analitis adalah analisis penelitian yang
mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa
sebagaimana adanya, kemudian dianalisa berdasarkan teori-teori
dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan permasalahan
tersebut sehingga sampai pada sebuah kesimpulan.17 Penelitian
deskriptif ditujukan untuk:
a) “Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melahirkan gejala yang ada;
b) Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku;
c) Membuat perbandingan atau evaluasi;
d) Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.”18
Peter Mahmud Marzuki memberikan pengertian penelitian
hukum merupakan suatu proses berpikir untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi.19 Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif, yaitu suatu prosedur penelitian yang
16 Mohammad Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003, hlm. 54. 17 Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit., hlm. 49.
18 Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya,
1999, hlm. 71.
19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan pelaku yang diamati.20
2. Pendekatan Penelitian
Penulis menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif,
karena dalam penelitian ini sasaran penelitian merupakan hukum
atau kaedah (norm). Pengertian kaedah meliputi asas hukum,
kaedah dalam arti sempit (value), peraturan hukum konkret.21
Penelitian yang berobjekan hukum normatif berupa asas-asas
hukum, sistem hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.22
3. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan untuk memperoleh data oleh
penulis yaitu menggunakan jenis penelitian deksriptif. Penelitian
deskriptif merupakan suatu penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan gambaran tentang keadaan subjek dan/atau objek
penelitian sebagaimana adanya.23 Penelitian deskriptif digunakan
dengan tujuan supaya memperoleh data secara detail yang
dilakukan dengan sistematis terkait permasalahan yang dibahas
dalam penelitian ini.
20 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011,
hlm. 5.
21 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: 1996,
hlm. 25.
22 Soerjono Soekanto et.al., Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali, 1985, hlm.
70.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang digunakan, maka penulis
menggunakan buku kepustakaan untuk memperoleh data
sekunder dengan cara menginventarisasi serta mempelajari
berbagai data tersebut, yang terdiri dari bahan hukum primer,
sekunder, serta tersier sebagai berikut
a) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer dalam penelitian skripsi ini antara lain
berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
hukum perkawinan serta anak antara lain:
1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3) Kompilasi Hukum Islam.
4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
5) Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama
6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
7) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi.
9) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu berupa berbagai macam
buku-buku hukum, artikel-artikel hukum, jurnal-jurnal hukum,
yurisprudensi, serta pendapat para sarjana hukum terkemuka
atau ahli hukum yang berpengaruh.
c) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier berupa kamus-kamus hukum,
ensiklopedia-ensiklopedia hukum, serta lain sebagainya yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif. Penelitian kualitatif
ialah berupa suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskripsi berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat
diamati oleh orang-orang atau subjek itu sendiri.24
24 Arif Farchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya: Usaha Nasional,
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini disusun ke dalam 5 (lima) bab, dimana
tiap-tiap bab dapat dibagi menjadi beberapa sub bab yang saling berkaitan
sehingga membentuk kesatuan yang utuh. Kelima bab tersebut
secara lebih jelas dapat diuraikan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan mengemukakan
secara lebih lanjut mengenai latar belakang
masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode
penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM SISTEM HUKUM POSITIF DI INDONESIA
Pada bab ini penulis akan menguraikan
mengenai bagaimana prosedur serta peraturan
yang berlaku mengenai perkawinan, asas-asas
dalam perkawinan, serta kedudukan anak luar
kawin dalam sistem hukum positif di Indonesia.
BAB III ANAK LUAR KAWIN DIKAITKAN DENGAN SYARAT SAHNYA SUATU PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM DI INDONESIA
Pada bab ini penulis akan menguraikan
Kawin Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata serta Anak Luar Kawin Ditinjau Dari
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 Tentang Uji Materil Pasal 2 Ayat (2)
Dan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
BAB IV ANALISA PENGAKUAN STATUS ANAK DILUAR KAWIN DAN KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM SISTEM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG UJI MATERIL PASAL 2 AYAT (2) DAN PASAL 43 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Pada bab ini penulis akan menguraikan
mengenai analisis terhadap institusi perkawinan
pasca putusan Mahkamah Konstitusi nomor
46/PUU-VIII/2010 Tentang Uji Materil Pasal 2
Ayat (2) Dan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
menyelesaikan perkara pengakuan anak dalam
perkawinan antara Aisyah Mochtar dengan
almarhum Drs. Moerdiono, serta status anak
diluar kawin dikaitkan dengan putusan
Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010
Tentang Uji Materil Pasal 2 Ayat (2) Dan Pasal 43
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
BAB V PENUTUP
Pada bab ini penulis akan menguraikan secara
lebih lanjut mengenai kesimpulan dan saran,
dimana kesimpulan merupakan jawaban atas
identifikasi masalah, sedangkan saran
merupakan usulan yang operasional, konkret,
dan praktis serta merupakan kesinambungan
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Perubahan Pasal 43 UU Perkawinan berdasarkan Putusan MK
Nomor 46/PUU-VIII/2010 berdampak terhadap urgensi perubahan
peraturan mengenai suatu pranata perkawinan yang pada saat ini
memiliki kekosongan dalam kaitannya dengan hubungan perdata
antara anak luar kawin dengan ayahnya serta keluarga ayahnya
sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia yang dimiliki oleh
anak tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya peraturan
perundang-undangan terkait yang memadai dikaitkan bagaimana prosedural
pembuktian yang dapat dilakukan berdasarkan ilmu pengetahuan
serta akibatnya.
Pengadilan Agama sesungguhnya tidak memiliki kewenangan
dalam hal untuk mengadili perkara sah atau tidaknya seorang anak
akibat suatu perkawinan, termasuk terhadap anak yang lahir dari
perkawinan tersebut. Hal ini dikarenakan Pengadilan Agama memiliki
kewenangan yang berlandaskan terhadap fiqh agama, yaitu bahwa
sah atau tidaknya sebuah perkawinan ditentukan oleh syarat dan
rukunnya perkawinan itu sendiri.
Pasca perubahan Pasal 43 UU Perkawinan dan putusan Kasasi
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain namun dengan
tetap memperhatikan bahwa anak luar kawin harus terlebih dahulu
mendapatkan penetapan sebagai anak sah melalui suatu proses yang
dilakukan secara sukarela oleh ayah biologisnya.
B. Saran
Pemerintah diharapkan melakukan pembaharuan terhadap
Undang-Undang Perkawinan beserta peraturan pelaksananya untuk
menyelaraskan peraturan perundang-undangan supaya sesuai
dengan kondisi serta perkembangan hukum positif di tanah air,
khususnya berkaitan dengan keluarnya putusan MK Nomor
46/PUU-VIII/2010 Tentang Uji Materil Pasal 2 Ayat (2) Dan Pasal 43 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Hal
tersebut diperlukan guna menghindari terjadinya permasalahan sosial
di masyarakat terkait pengaturan anak luar kawin dalam hukum positif
di Indonesia.
Masyarakat diharapkan tidak salah kaprah dengan memandang
putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Uji Materil Pasal 2 Ayat
(2) Dan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan sebagai suatu bentuk legalisasi terhadap praktek
perzinahan ataupun perkawinan sirri, namun seharusnya dilihat
bagian dari pemenuhan hak asasi manusia yang dimiliki oleh mereka
yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Pencatatan perkawinan merupakan bagian yang penting dalam
suatu bentuk perkawinan yang sah, sehingga masyarakat seharusnya
telah memahami bahwa berdasarkan ketentuan hukum positif yang
berlaku saat ini setiap perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan
ketentuan yang ada dalam UU Perkawinan. Adapun mengenai
perubahan terhadap makna Pasal 43 UU Perkawinan tidak dijadikan
patokan bahwa perkawinan siri dapat dilakukan oleh masyarakat,
karena sesungguhnya Putusan Mahkamah Konstitusi nomor
46/PUU-VIII/2010 merupakan suatu bentuk upaya perlindungan terhadap hak
anak luar kawin, bukan suatu bentuk dukungan terhadap perkawinan
MEMBERIKAN STATUS KEPADA ANAK LUAR
KAWIN (KASUS MACHICA MOCHTAR TERHADAP
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN)
SKRIPSI
Diajukan untuk mengikuti salah satu syarat guna menempuh Sidang Ujian Sarjana dan meraih gelar Sarjana Hukum
Oleh: Adjeng Sugiharti
0988004
Pembimbing:
Dr. P. Lindawaty S. Sewu, S.H., M.Hum., M.Kn Christian Andersen, S.H., M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
BANDUNG
karena atas rahmat dan karuniaNya maka penulis dapat menyelesaikan
penulisan penelitian skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN STATUS ANAK DILUAR KAWIN DALAM SISTEM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA DAN KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MEMBERIKAN STATUS KEPADA ANAK LUAR KAWIN (KASUS MACHICA MOCHTAR TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN)” dengan baik.
Tidak lupa penulis mengucapkan rasa terimakasih yang tak
terhingga kepada seluruh pihak yang telah terlibat dalam memberikan
berbagai upaya dukungan, dorongan dan semangat dalam penyusunan
Skripsi ini hingga dapat terselesaikan dengan baik, kepada:
1. Ibu Dr. P. Lindawaty S. Sewu, S.H., M. Hum., M.Kn., selaku Dekan
Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha sekaligus
pembimbing.
2. Bapak Christian Andersen, S.H., M.Kn., selaku dosen Fakultas Hukum
Universitas Kristen Maranatha sekaligus pembimbing pendamping.
3. Bapak Dr. Johannes Ibrahim, S.H., M.Hum., selaku dosen wali penulis
Hukum Universitas Kristen Maranatha.
6. Bapak Arman Tjoneng S.H., M.H., selaku dosen Fakultas Hukum
Universitas Kristen Maranatha.
7. Ibu Dian Permata Tunjungsari, S.H., M.Hum., selaku dosen Fakultas
Hukum Universitas Kristen Maranatha.
8. Ibu Christin Septina Basani, S.H., LL.M., selaku dosen Fakultas
Hukum Universitas Kristen Maranatha.
9. Kepada rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen
Maranatha yang telah memberikan dukungan semangat, untuk Ibu
Maria Armanusahwati, S.H., Ibu Nancy Basuki, S.H., Hendrik Halim,
S.H., Handi Hermawan, S.H., Mami Permana, S.H., Jumadi, S.H.
10. Seluruh Staf Pengajar serta Staf Tata Usaha Fakultas Hukum
Universitas Kristen Maranatha, dan seluruh rekan-rekan serta sahabat
penulis yang tidak dapat dituliskan satu persatu, penulis ucapkan rasa
terimakasih yang sangat mendalam atas segala dukungan yang
diberikan, baik dalam masa perkuliahan hingga terselesaikannya
penulisan Skripsi ini.
11. Seluruh pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan
studi pada program Sarjana Hukum Universitas Kristen Maranatha
keluarga penulis yang telah memberikan dukungan serta doa sehingga
penelitian Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, kepada Suami
penulis Ade Tarya Hidayat, kepada anak-anak penulis, Mochamad Ilham,
Kharisma Hidayat Hamzah.
Bandung, Nopember 2016
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Abdurrahman, Hukum Perkawinan Campuran Beda Agama Menurut
Hukum Islam Indonesia, Kompendium Bidang Hukum
Perkawinan: Perkawinan Beda Agama Dan Implikasinya,
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, 2011.
Arif Farchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya: Usaha Nasional, 1992.
Djuhaendah Hasan, Efek Unifikasi Dalam Bidang-Bidang Hukum
Keluarga (Perkawinan), Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman.
Hamdan Zoelva, Pelembagaan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Perspektif Kehidupan Beragama, Sosial, Dan Budaya Melalui Putusan MK (Prosiding Kongres Pancasila IV: Strategi Pelembagaan
Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menegakkan Konstitusionalitas
Indonesia), Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila Universitas
Gadjah Mada, 2012.
Hartono Soerjopratignjo, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Seksi Notariat Fakultas Hukum Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1983.
J Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam
Undang-Undang, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.
Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa'at, Teori Hans Kelsen Tentang
Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Kosnoe, Metode Ilmu Hukum Normatif (Suatu Teori Tentang Metode
Ilmu Hukum Positif), Jakarta: Universitas Indonesia, 1985.
Mansur Basir, Solusi Hukum Bagi Perkawinan Tidak Tercatat (Sirri), Gorontalo: Bidang Bimas Islam Kanwil Kemenag Provinsi Gorontalo, 2016.
Mohammad Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Prianter Jaya Hairi, Status Keperdataan Anak Diluar Nikah
Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010, Info
Singkat Hukum Volume IV No 06/II/P3DI/Maret/2012, Jakarta: Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR RI.
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1974.
Ratno Lukito, Hukum Sakral Dan Hukum Sekuler: Studi Tentang
Konflik Dan Resolusi Dalam Sistem Hukum Indonesia,
Tangerang: Pustaka Alvabet, 2008.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
Soerjono Soekanto et.al., Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali, 1985.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: 1996.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 2006.
Suriani Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata
Barat, Jakarta: Prenada Media, 2006.
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati,
Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2009.
B. Jurnal dan Karya Ilmiah
Achmad Zaenal Fanani et. al., Regulasi dan Problematika
Perlindungan Hak Anak, Majalah Peradilan Agama Edisi 9 Juni
2016.
Chatib Rasyid, Anak Lahir Diluar Nikah (Secara Hukum) Berbeda Dengan Anak Hasil Zinah: Kajian Yuridis Terhadap Putusan MK
No. 46/PUU-VIII/2012, Makalah disampaikan pada seminar
Status Anak Di Luar Nikah Dan Hak Keperdataan Lainnya, 10 April 2012, IAIN Walisongo Semarang.
Dikta Angga Bhijana et. al., Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 Atas Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan bagi Anak Luar Kawin (Studi Kasus Di Kantor Notaris
Surakarta dan Karanganyar), Jurnal Privat Law Vo. IV No. 1
Januari-Juni 2016.
Febrina Vivianita Cathy Roring, Perlindungan Hukum Terhadap Harta
Dalam Perjanjian Perkawinan, Jurnal Lex Privatum, Vol.II/No.
3/Ags-Okt/2014.
Koko Setyo Hutomo et.al., Kajian Yuridis Terhadap Perkawinan Misyar
Menurut Hukum Islam, Artikel Ilmiah Hasil Penelitian
Mahasiswa Jurusan Perdata Humas Fakultas Hukum Universitas Jember, 2013.
Maria Nona Nancy et.al., Hubungan Nilai Dalam Perkawinan Dan
Pemaafan Dengan Keharmonisan Keluarga, Jurnal
Psikodimensia Vol. 13 No. 1 Januari-Juni 2014.
Muntasir Syukri, Keadilan Dalam Sorotan, Bangil: PA Bangil, 2012.
Rahmat Arijaya et.al., Menjadi Garda Depan Perlindungan Anak (Editorial), Majalah Peradilan Agama Edisi 9 Juni 2016.
Ramlah, Pengakuan Anak Luar Nikah dalam Hukum Islam dan
Hubungannya dengan Kewenangan Peradilan Agama, Media
Ronny Hanitijo Soemitro, Hukum Dan Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Dan Teknologi Di Dalam Masyarakat,
Disampaikan dalam Upacara Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 6 Desember 1990.
Thriwaty Arsal, Nikah Siri dalam Tinjauan Demografi, Jurnal Sosiologi Pedesaan, Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, 2012.
Trusto Subekti, Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Ditinjau Dari Hukum
Perjanjian, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 3 September
2010.
Sri Budi Purwaningsih, Perlindungan Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No: 46/PUU-VIII/2010, Jurnal Rechtsidee Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, , Vol 1, No. 1 2014.
Vivi Hayati, Kedudukan Hukum Anak Tidak Sah Sebelum Dan Setelah
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU/VII/2010, Jurnal
Ilmiah Dunia Ilmu Vol.2 No.1 Maret 2016.
C. Undang-Undang, Putusan, dan Fatwa
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Kompilasi Hukum Islam.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
Putusan Mahkamah Agung No. 329 K/Ag/2014.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zinah Dan Perlakuan Terhadapnya.
D. Internet
Herizal, Status Anak di luar Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam, http://kerinci.kemenag.go.id/2013/06/22/status-anak-di-luar-nikah-dalam-kompilasi-hukum-islam, diakses pada 07 Nopember 2016.
Rusdianto Matulatuwa, Bapak Luar Kawin Harus Tanggungjawab, http://medianotaris.com/bapak_luar_kawin_harus_tanggungjaw ab_berita133.html, diakses pada 31 Oktober 2016.
Syafran Sofyan, Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Status Anak
Luar Kawin,