• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis terhadap Pengakuan Status Anak Diluar Kawin dalam Sistem Hukum Perkawinan di Indonesia dan Kewenangan Pengadilan Agama dalam Memberikan Status kepada Anak Luar Kawin (Kasus Machica Mochtar terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis terhadap Pengakuan Status Anak Diluar Kawin dalam Sistem Hukum Perkawinan di Indonesia dan Kewenangan Pengadilan Agama dalam Memberikan Status kepada Anak Luar Kawin (Kasus Machica Mochtar terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN STATUS ANAK DILUAR KAWIN DALAM SISTEM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA DAN KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM

MEMBERIKAN STATUS KEPADA ANAK LUAR KAWIN (KASUS MACHICA MOCHTAR TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 1

TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN) Adjeng Sugiharti

0988004

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Fakta di masyarakat memperlihatkan adanya kawin siri atau perkawinan yang dilakukan secara dibawah tangan, dimana perkawinan tersebut tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama (KUA) ataupun Kantor Catatan Sipil. Persoalan yang muncul kemudian adalah apabila kemudian pasangan dari perkawinan siri tersebut mempunyai anak. Kedudukan anak dari hasil perkawinan siri kemudian menimbulkan polemik di masyarakat terkait dengan pengakuan statusnya.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode penelitian Yuridis Normatif. Metode pendekatan yang bersifat Yuridis Normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut juga dengan penelitian hukum kepustakaan, yaitu melalui penelitian melalui berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan ini diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta melalui berbagai literatur dan artikel ilmiah lainnya.

Hasil penelitian menunjukan perubahan Pasal 43 UU Perkawinan berdampak terhadap urgensi perubahan peraturan mengenai sahnya suatu pranata perkawinan dalam kaitannya dengan hubungan perdata antara anak luar kawin dengan ayahnya serta keluarga ayahnya. Pengadilan Agama sesungguhnya tidak memiliki kewenangan dalam hal untuk mengadili perkara sah atau tidaknya seorang anak akibat suatu perkawinan, termasuk terhadap anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Hal ini dikarenakan Pengadilan Agama memiliki kewenangan yang berlandaskan terhadap fiqh agama, bahwa anak luar kawin harus terlebih dahulu mendapatkan penetapan sebagai anak sah melalui suatu proses yang dilakukan secara sukarela oleh ayah biologisnya.

(2)

ABSTRACT

JURIDICAL ANALYSYS ON THE RECOGNITION OF CHILDREN BORN OUT OF WEDLOCK IN INDONESIA LEGAL SYSTEM AND

AUTHORITY OF RELIGIOUS COURT TO PROVIDE STATUS OF CHILDREN BORN OUT OF WEDLOCK (MACHICA MOCHTAR CASE

OF LAW NUMBER 1 YEAR 1974 ON MARRIAGE)

Adjeng Sugiharti 0988004

Marriage is a physically and mentally bond between a man and a woman as husband and wife with the aim of forming a family or household that is happy and eternally based on God. In fact the people have shown their siri marriage or marriages conducted under the hand, where the marriage is not listed on Religious Affairs Office or the Civil Registry Office. The problem that arises then is when then the series a couple of marriages have children. Position the child of the siri marriage then rise to polemics in the community related to the recognition of his status.

The method used in this thesis research is normative juridical research methods. The approach is normative juridical done by researching library materials is a secondary data, also referred to legal research literature, namely through research through a variety of laws and regulations related to this issue including Law No. 1 of 1974 About the marriage as well as through various literature and other scientific articles.

The results showed the amendment of article 43 of the marriage law affect the urgency of changes in regulations regarding the validity of a marriage institution in connection with a civil relationship between the children born out of wedlock with her father and his father's family. religious court did not actually have the authority to hear the case in terms of the validity of the result of a marriage of a child, including the child born of the marriage. this is because the religious courts have the authority based on religious jurisprudence, that the children born out of wedlock must first obtain a valid determination of a child through a process that is done voluntarily by the biological father.

(3)

DAFTAR ISI

Judul ... i

Pernyataan Keaslian ... ii

Pengesahan Pembimbing ... iii

Persetujuan Panitia Sidang Ujian ... iv

Persetujuan Revisi ... v

Abstrak ... vi

Kata Pengantar ... vii

Daftar Isi ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Kegunaan Penelitian ... 10

E. Kerangka Pemikiran ... 11

F. Metode Penelitian ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM SISTEM HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan yang Sah di Indonesia ... 24

B. Kedudukan Anak Luar Kawin ... 32

C. Perubahan makna anak luar kawin pada Pasal 43 UU Perkawinan ... 36

D. Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Diralatnya Pasal 43 UU Perkawinan ... 40

(4)

A. Pengakuan Anak Luar Kawin Dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata ... 45

B. Anak Luar Kawin Ditinjau Dari Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Uji Materil Pasal 2 Ayat (2)

Dan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan ... 47

C. Kewenangan Pengadilan Agama Dikaitkan Dengan

Pengakuan Status Anak Luar Kawin Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Uji

Materil Pasal 2 Ayat (2) Dan Pasal 43 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 52

BAB IV PENGAKUAN STATUS ANAK DILUAR KAWIN DALAM SISTEM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG UJI MATERIL PASAL 2 AYAT (2) DAN PASAL 43 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

A. Analisis Terhadap Institusi Perkawinan Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Uji

Materil Pasal 2 Ayat (2) Dan Pasal 43 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 65

B. Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan

Perkara Pengakuan Anak Dalam Perkawinan Antara Aisyah

Mochtar Dengan Almarhum Drs. Moerdiono Yang

Dilangsungkan Pada 20 Desember 1993 ... 72

C. Status Anak Diluar Kawin Dikaitkan Dengan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Uji

Materil Pasal 2 Ayat (2) Dan Pasal 43 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Serta

(5)

D. Alasan Berbeda (Concurring Opinion) Hakim Konstitusi Maria

Farida Indrati Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010 Tentang Uji Materil Pasal 2 Ayat (2) Dan

Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan ... 80

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 87

B. Saran ... 88

(6)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia pada dasarnya tentu memiliki keinginan untuk

dapat melanjutkan garis keturunannya. Perkawinan merupakan salah

satu upaya manusia untuk bisa mendapatkan hal tersebut. Dilihat dari

sudut pandang ilmu bahasa, istilah perkawinan berasal dari kata

"kawin" yang merupakan terjemahan dari bahasa Arab "nikah". Kata

"nikah" mengandung dua pengertian, yaitu dalam arti yang

sebenarnya (haqikat) berarti berkumpul dan dalam arti kiasan berarti

aqad atau mengadakan perjanjian perkawinan.1 Menurut hukum Islam

yang dimaksud suatu dengan perkawinan merupakan sebagai aqad

yang memiliki sifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan

dengan tujuan membentuk keluarga yang penuh kasih sayang serta

kebajikan.2

Perkawinan di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No.1

Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat menjadi UU

Perkawinan) yang menjelaskan bahwa:

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.”

1 Trusto Subekti, Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan Ditinjau Dari Hukum Perjanjian, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 3 September 2010, hlm. 333.

(7)

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, maka untuk perkawinan dan segala sesuatu yang

berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang

ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang

Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia

Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74,

Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken

S.1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang

perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan

tidak berlaku.

Unifikasi hukum perkawinan menjadi sesuatu yang penting dan

dapat berfungsi sebagai penjaga, pengatur dan menghasilkan

ketertiban dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin

kepastian hukum dan memberikan perlindungan bagi seluruh

masyarakat.3 Meskipun demikian, ternyata masih terdapat hal yang

dirasakan oleh penulis kurang atau bahkan tidak mendapat perhatian,

ialah mengenai status anak yang kemudian lahir di luar dari pada

ketentuan Undang-Undang tersebut.

Permasalahan yang kemudian muncul ialah bagaimana dengan

kedudukan anak yang dilahirkan di luar dari perkawinan. Jika kita

melihat pada ketentuan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dapat dilihat bahwa anak

(8)

yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dapat dipahami bahwa

ketentuan ini dirasakan wajar (pada masa lampau) mengingat bahwa

bagaimana pembuktian mengenai siapa ayah biologis dari seorang

anak sulit untuk diketahui, berbeda dengan ibunya yang tentu saja

melahirkannya.

Terkait dengan perkawinan, seringkali kita mendengar adanya

permasalahan di masyarakat, yaitu dengan adanya kawin siri atau

perkawinan yang dilakukan secara dibawah tangan, dimana

perkawinan tersebut tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama

(KUA) ataupun Kantor Catatan Sipil. Padahal hal tersebut

bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan

yang menentukan bahwa:

“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Persoalan yang muncul kemudian adalah apabila kemudian

pasangan dari perkawinan siri tersebut mempunyai anak. Berbagai

kesulitan seringkali menjadikan anak tersebut sebagai korban, mulai

dari kesulitan memperoleh Akta Kelahiran ataupun surat

kependudukan, hingga masalah kesejahteraan dari anak tersebut

terkait pembagian harta warisan. Kedudukan anak dari hasil

(9)

Anak dari pasangan yang melakukan perkawinan siri dianggap

tidak mempunyai hak ataupun perlindungan sebagaimana anak

lainnya dari pasangan yang melangsungkan perkawinan secara resmi.

Kedudukan anak hasil perkawinan secara siri bukan merupakan anak

yang secara sah diakui oleh Undang-Undang. Hal tersebut dapat

dilihat dari adanya ketentuan dalam Pasal 42 UU Perkawinan yang

menjelaskan bahwa:

“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”

Karena perkawinan siri tidak dilaksanakan berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, maka dengan kata lain

perkawinan siri merupakan suatu bentuk perkawinan yang

dilaksanakan secara tidak sah. Dengan demikian, maka anak yang

dilahirkan sebagai hasil dari perkawinan siri menjadi anak yang tidak

sah pula sebagaimana ketentuan dalam Pasal 42 UU Perkawinan

tersebut.

Salah satu kasus yang cukup menarik serta menyita perhatian

masyarakat terkait dengan perkawinan siri yaitu kasus yang dialami

oleh Aisyah Mochtar atau yang lebih dikenal publik dengan nama

Machica Mochtar. Kasus yang dialami oleh Machica Mochtar ialah

pada saat ia melaksanakan perkawinan siri dengan Moerdiono (Alm.)

pada tanggal 20 Desember 1993 di Jakarta, dengan wali nikah H.

(10)

disaksikan oleh 2 orang saksi, yaitu KH. M. Yusuf Usman (Alm.) dan

Risman. 4

Putusan ini hingga saat ini menimbulkan pro dan kontra di

masyarakat, bagi pihak yang mendukung menilai putusan ini

merupakan terobosan hukum yang progresif dalam melindungi anak,

sedangkan bagi pihak yang kontra mengkhawatirkan putusan ini

merupakan afirmasi dan legalisasi terhadap pernikahan siri maupun

perbuatan zinah, kumpul kebo, belum lagi kewenangan pengadilan

agama dalam menangani perkara yang berasal dari bukan perkawinan

yang tidak tercatat bahkan bisa saja tidak sah menurut agama dan

kepercayaan masing-masing.5

Perkawinan dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam dengan

mahar berupa seperangkat alat shalat, uang sejumlah 2000 (dua ribu)

Riyal (mata uang Arab Saudi), satu set perhiasan emas serta berlian,

dengan ijab yang diucapkan oleh wali tersebut dan qobul diucapkan

oleh Moerdiono. Namun sayangnya perkawinan tersebut dilaksanakan

dibawah tangan dan tidak dilakukan pencatatan secara resmi.

Perkawinan siri yang dilakukan oleh Machica dengan Moerdiono

tersebut kemudian dikaruniai seorang anak yang diberi nama

Muhammad Iqbal Ramadhan.

4 7 Kementerian Hukum dan HAM, Kantor Wilayah Sumatera Utara, “Kedudukan Anak

Luar Nikah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010”, http://sumut.kemenkumham.go.id/berita-utama/399-kedudukan-anak-luar-nikah-pasca-putusan-mahkamah konstitusinomor-46puu-viii2010, Diakses tanggal 4 Juni 2012.

(11)

Perkawinan siri tersebut kemudian mempunyai dampak yang harus

dirasakan oleh anaknya. Hubungan secara hukum antara anak dengan

kedua orangtuanya yang melakukan perkawinan secara siri

mengakibatkan anak tersebut hanya mempunyai hubungan dengan

ibunya saja. Hal tersebut karena dalam perspektif hukum, anak yang

lahir dari pasangan perkawinan siri dianggap lahir di luar perkawinan.

Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan yang

menjelaskan bahwa:

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”

Karena merasa hak konstitusionalnya dirugikan, Machica beserta

anaknya kemudian mengajukan permohonan pengujian

Undang-Undang Perkawinan terhadap UUD 1945, yaitu ketentuan dalam Pasal

2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Mahkamah Konstitusi

kemudian dalam putusan nomor 46/PUU-VIII/2010 mengabulkan

sebagian permohonan, dengan menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1)

UU Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun

1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) serta tidak memiliki kekuatan

hukum mengikat.

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menjelaskan bahwa Pasal

43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945

sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan

laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan

(12)

hubungan darah sebagai ayahnya. Pasal tersebut juga tidak memiliki

kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai sebagaimana

disebutkan diatas, sehingga ayat tersebut harus dibaca:

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan

keluarga ayahnya”

Setelah dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

kemudian menimbulkan pertanyaan baru mengenai bagaimana

kemudian sesungguhnya institusi perkawinan itu sendiri. Adanya

perubahan perspektif hukum terhadap anak luar kawin secara formil

kemudian dipandang harus disertai dengan perubahan terhadap

Undang-Undang Perkawinan itu sendiri. Implikasi dari keluarnya

putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menimbulkan kekosongan

hukum serta berpotensi memunculkan permasalahan baru,

diantaranya:

1. Kedudukan anak hasil zinah adalah sama dengan kedudukan anak

yang dilahirkan di dalam perkawinan.

2. Ayah tidak mempunyai hak untuk menyangkal anak luar kawin

tersebut adalah anaknya.

3. Perkawinan yang sah menjadi tidak berguna karena kesamaan

kedudukan anak luar kawin dan anak dari perkawinan secara sah.

4. Kawin siri secara tidak sengaja terdukung oleh putusan ini, karena

(13)

disahkan oleh negara, dan kalau memang anak yang dilahirkan

tanpa perkawinan disahkan, berarti nikah siri terangap sah dan hal

ini adalah masalah yang fatal.

5. Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan kemudian menjadi bertentangan

dengan Pasal 44 UU Perkawinan itu sendiri.

Berbagai permasalahan tersebut memberikan landasan bagi

sebagian masyarakat untuk berpendapat terhadap dilakukannya

perubahan terhadap UU Perkawinan. Setelah dikeluarkannya putusan

Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010, maka sebagian

kalangan memandang perlu dilakukan pembaharuan terhadap UU

Perkawinan supaya memberikan perlindungan secara komprehensif

bagi masyarakat. Pembaharuan terhadap peraturan

perundang-undangan merupakan suatu hal yang wajar untuk menyesuaikan

dengan kondisi serta situasi masyarakat saat ini.

Penulis tertarik dengan permasalahan yang diuraikan tersebut serta

ingin mengetahui dan memahami secara lebih lanjut tentang apakah

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan dampak terhadap

urgensi perubahan UU Perkawinan. Berdasarkan permasalahan

tersebut, penulis kemudian mengangkatnya kedalam penelitian skripsi

yang berjudul:

(14)

MACHICA MOCHTAR TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN)”.

B. Identifikasi Masalah

Adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

tentang uji materil Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU

Perkawinan sangat menarik untuk dikaji mengenai bagaimana

implikasinya terhadap institusi perkawinan itu sendiri. Berdasarkan hal

tersebut, dapat diuraikan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah perubahan Pasal 43 UU Perkawinan berdasarkan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 berdampak

terhadap urgensi perubahan peraturan mengenai suatu pranata

perkawinan?

2. Bagaimanakah kewenangan Pengadilan Agama dalam

memberikan ketetapan yang menjadi dasar pencatatan kelahiran

anak luar kawin dalam kaitannya dengan status hukum anak

tersebut?

3. Bagaimana akibat hukum terhadap anak luar kawin pasca

perubahan Pasal 43 UU Perkawinan dan Putusan Mahkamah

(15)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian Skripsi ini antara lain yaitu:

1. Untuk mengetahui dampak perubahan Pasal 43 UU Perkawinan

berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010 terhadap urgensi perubahan peraturan mengenai sahnya

suatu pranata perkawinan.

2. Untuk mengetahui kewenangan Pengadilan Agama dalam

memberikan ketetapan yang menjadi dasar pencatatan kelahiran

anak luar kawin dalam kaitannya dengan status hukum anak

tersebut.

3. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap anak luar kawin pasca

perubahan Pasal 43 UU Perkawinan dan putusan Kasasi No. 329

K/Ag/2014.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian dalam penulisan skripsi ini mempunyai kegunaan, baik

secara teoritis maupun praktis, yang dapat diuraikan lebih lanjut

sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian skripsi ini diharapkan untuk dapat

memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu

(16)

perkawinan serta bagaimana pengakuan status anak diluar kawin

dalam sistem hukum perkawinan di Indonesia.

2. Secara Praktis

Secara praktis, penelitian skripsi ini diharapkan dapat

memberikan masukan bagi semua pihak yang berkepentingan,

antara lain:

a) Bagi pemerintah

Memberikan masukan bagi pemerintah untuk dapat

memberikan perlakuan yang adil bagi anak diluar kawin,

sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Tahun

1945.

b) bagi Masyarakat

Memberikan masukan bagi masyarakat, khususnya yang

mempunyai kepentingan dengan anak diluar kawin untuk

mengetahui bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk

memperoleh hak-hak mereka.

E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teoritis

Dalam meninjau hukum hendaknya dipahami

sekurang-kurangnya tiga aspek yaitu hukum sebagai ide, hukum sebagai

norma, serta hukum sebagai institusi sosial yang dapat diuraikan

(17)

a) “Hukum sebagai ide, cita-cita, moral, keadilan. Materi studi mengenai aspek hukum demikian ini termasuk dalam filsafat hukum.

b) Hukum sebagai norma, kaidah, peraturan, undang-undang yang berlaku pada suatu waktu dan pada suatu tempat tertentu, sebagai produk dari suatu kekuasaan negara tertentu, yang berdaulat. Materi studi demikian ini termasuk kedalam pengetahuan hukum positif.

c) Hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan bermasyarakat yang terbentuk dari pola-pola tingkah laku yang melembaga. Aspek hukum demikian inilah yang mewujudkan studi hukum dan masyarakat dan sosiologi hukum.”6

Hukum sebagai suatu ide, cita-cita, moral serta keadilan dapat

dilihat dalam pembukaan UUD 1945 sebagai suatu bukti

bagaimana sesungguhnya arah perjuangan pembentukan Negara

Indonesia yang menyebutkan bahwa

“...perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur...”

Dari pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diatas,

maka dapat dilihat bahwa keadilan dalam masyarakat adalah salah

satu cita-cita bangsa. Keadilan secara umum dapat diartikan

diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil.7 Sementara

adil itu sendiri dapat dijelaskan sebagai suatu keadaan tidak berat

sebelah, tidak memihak dan hanya berpihak kepada yang benar.

6 Ronny Hanitijo Soemitro, Hukum Dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dan

Teknologi Di Dalam Masyarakat, Disampaikan dalam Upacara Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 6 Desember 1990, hlm. 2-3.

(18)

Keadilan dalam kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip,

pertama tidak merugikan seseorang dan kedua perlakuan kepada

tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya.8

Hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda. Hukum

yang dipisahkan dari keadilan adalah hukum positif.9

Membebaskan konsep hukum dari ide keadilan cukup sulit karena

secara terus-menerus dicampur-adukkan secara politis terkait

dengan tendensi ideologis untuk membuat hukum terlihat sebagai

keadilan.10 Keadilan dapat dimaknai sebagai legalitas. Adil adalah

jika suatu aturan diterapkan pada semua kasus di mana menurut

isinya memang aturan tersebut harus diaplikasikan. Tidak adil

adalah jika suatu aturan diterapkan pada satu kasus tetapi tidak

pada kasus lain yang sama.11

Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap orang

berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui

perkawinan yang sah”. Ketentuan tersebut memberikan penjelasan

secara nyata bahwa perkawinan itu sendiri adalah hak dari setiap

orang. Namun pada kenyataannya di masyarakat muncul bentuk

lain dari perkawinan yang dilaksanakan tidak melalui pencatatan

atau perkawinan siri. Akibat dari adanya perkawinan siri tersebut,

8 Ibid.

9 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa'at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta:

Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm 15-16.

(19)

anak yang dilahirkan dari pasangan perkawinan siri merupakan

anak luar kawin.

Keberadaan anak luar kawin di masyarakat menimbulkan

permasalahan. Mereka menerima perlakuan yang berbeda dari

masyarakat serta mendapatkan berbagai kesulitan, mulai dari tidak

dicatatkannya nama Ayah dalam Akta Kelahiran, tidak diakuinya

sang anak dalam hal pembagian warisan, hingga kesulitan dalam

pengurusan surat kependudukan. Permasalahan tersebut muncul

karena anak luar kawin tidak memiliki hubungan perdata dengan

ayahnya sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU

Perkawinan.

Hal tersebut saat ini seringkali luput dari perhatian pemerintah,

padahal kejadian ini sangat bertentangan dengan UUD 1945,

dimana Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menjelaskan bahwa:

“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi nomor

46/PUU-VIII/2010 merupakan suatu terobosan yang diharapkan mampu

untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak luar kawin

di masyarakat. Namun putusan tersebut harus dibarengi dengan

adanya perangkat hukum yang mendukung pelaksanaan putusan

tersebut, karena dengan adanya perubahan terhadap Pasal 43 UU

(20)

terhadap bagaimana sesungguhnya institusi perkawinan yang

berlaku dalam hukum positif di Indonesia saat ini serta peraturan

pelaksana terkait perlindungan terhadap keberadaan anak luar

kawin di masyarakat.

2. Kerangka Konseptual

a. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.12

b. Perkawinan siri adalah perkawinan yang dilakukan secara di

bawah tangan dan tidak melalui proses pencatatan resmi pada

pihak yang berwenang.

c. Anak sah (weetig kind) adalah anak yang dilahirkan dari suatu

perkawinan yang sah berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

d. Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar dari

perkawinan yang sah, sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

e. Orang tua biologis adalah ayah dan Ibu dari seorang anak,

sepanjang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan

teknologi atau alat bukti lain yang menunjukkan adanya

(21)

hubungan darah antara seorang anak dengan ayah atau

ibunya.

F. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Metode adalah jalan yang menyatukan secara logis segala

upaya untuk sampai kepada penemuan, pengetahuan dan

pemahamannya tentang suatu yang dituju atau diarah secara

tepat. Setiap metode mengandung berbagai macam upaya yang

dalam istilah umum dikenal sebagai cara atau teknik.13 Metode

penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam

mengumpulkan data penelitiannya.14

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini

adalah metode penelitian Yuridis Normatif. Metode pendekatan

yang bersifat Yuridis Normatif dilakukan dengan cara meneliti

bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut juga

dengan penelitian hukum kepustakaan.15

Sifat penelitian skripsi ini adalah deskriptif analitis. Metode

deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok

manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran

13 Kosnoe, Metode Ilmu Hukum Normatif (Suatu Teori Tentang Metode Ilmu Hukum

Positif), Jakarta: Universitas Indonesia, 1985, hlm. 5.

14 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka

Cipta, 2006, hlm. 160.

15 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia

(22)

ataupun suatu kelas peristiwa, gambaran atau lukisan secara

sistematis, aktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta

hubungan antara fenomena yang diselidiki.16

Penelitian deskriptif analitis adalah analisis penelitian yang

mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa

sebagaimana adanya, kemudian dianalisa berdasarkan teori-teori

dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan permasalahan

tersebut sehingga sampai pada sebuah kesimpulan.17 Penelitian

deskriptif ditujukan untuk:

a) “Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melahirkan gejala yang ada;

b) Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku;

c) Membuat perbandingan atau evaluasi;

d) Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.”18

Peter Mahmud Marzuki memberikan pengertian penelitian

hukum merupakan suatu proses berpikir untuk menemukan aturan

hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang dihadapi.19 Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif, yaitu suatu prosedur penelitian yang

16 Mohammad Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003, hlm. 54. 17 Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit., hlm. 49.

18 Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya,

1999, hlm. 71.

19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

(23)

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan

dari orang-orang dan pelaku yang diamati.20

2. Pendekatan Penelitian

Penulis menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif,

karena dalam penelitian ini sasaran penelitian merupakan hukum

atau kaedah (norm). Pengertian kaedah meliputi asas hukum,

kaedah dalam arti sempit (value), peraturan hukum konkret.21

Penelitian yang berobjekan hukum normatif berupa asas-asas

hukum, sistem hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.22

3. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan untuk memperoleh data oleh

penulis yaitu menggunakan jenis penelitian deksriptif. Penelitian

deskriptif merupakan suatu penelitian yang dimaksudkan untuk

memberikan gambaran tentang keadaan subjek dan/atau objek

penelitian sebagaimana adanya.23 Penelitian deskriptif digunakan

dengan tujuan supaya memperoleh data secara detail yang

dilakukan dengan sistematis terkait permasalahan yang dibahas

dalam penelitian ini.

20 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011,

hlm. 5.

21 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: 1996,

hlm. 25.

22 Soerjono Soekanto et.al., Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali, 1985, hlm.

70.

(24)

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang digunakan, maka penulis

menggunakan buku kepustakaan untuk memperoleh data

sekunder dengan cara menginventarisasi serta mempelajari

berbagai data tersebut, yang terdiri dari bahan hukum primer,

sekunder, serta tersier sebagai berikut

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer dalam penelitian skripsi ini antara lain

berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

hukum perkawinan serta anak antara lain:

1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

3) Kompilasi Hukum Islam.

4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

5) Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas

Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan

Agama

6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia.

7) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

(25)

8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi.

9) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan.

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu berupa berbagai macam

buku-buku hukum, artikel-artikel hukum, jurnal-jurnal hukum,

yurisprudensi, serta pendapat para sarjana hukum terkemuka

atau ahli hukum yang berpengaruh.

c) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier berupa kamus-kamus hukum,

ensiklopedia-ensiklopedia hukum, serta lain sebagainya yang

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif. Penelitian kualitatif

ialah berupa suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskripsi berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat

diamati oleh orang-orang atau subjek itu sendiri.24

24 Arif Farchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya: Usaha Nasional,

(26)

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini disusun ke dalam 5 (lima) bab, dimana

tiap-tiap bab dapat dibagi menjadi beberapa sub bab yang saling berkaitan

sehingga membentuk kesatuan yang utuh. Kelima bab tersebut

secara lebih jelas dapat diuraikan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis akan mengemukakan

secara lebih lanjut mengenai latar belakang

masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian,

kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode

penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM SISTEM HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Pada bab ini penulis akan menguraikan

mengenai bagaimana prosedur serta peraturan

yang berlaku mengenai perkawinan, asas-asas

dalam perkawinan, serta kedudukan anak luar

kawin dalam sistem hukum positif di Indonesia.

BAB III ANAK LUAR KAWIN DIKAITKAN DENGAN SYARAT SAHNYA SUATU PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM DI INDONESIA

Pada bab ini penulis akan menguraikan

(27)

Kawin Dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata serta Anak Luar Kawin Ditinjau Dari

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010 Tentang Uji Materil Pasal 2 Ayat (2)

Dan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

BAB IV ANALISA PENGAKUAN STATUS ANAK DILUAR KAWIN DAN KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM SISTEM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG UJI MATERIL PASAL 2 AYAT (2) DAN PASAL 43 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Pada bab ini penulis akan menguraikan

mengenai analisis terhadap institusi perkawinan

pasca putusan Mahkamah Konstitusi nomor

46/PUU-VIII/2010 Tentang Uji Materil Pasal 2

Ayat (2) Dan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

(28)

menyelesaikan perkara pengakuan anak dalam

perkawinan antara Aisyah Mochtar dengan

almarhum Drs. Moerdiono, serta status anak

diluar kawin dikaitkan dengan putusan

Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010

Tentang Uji Materil Pasal 2 Ayat (2) Dan Pasal 43

Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan

BAB V PENUTUP

Pada bab ini penulis akan menguraikan secara

lebih lanjut mengenai kesimpulan dan saran,

dimana kesimpulan merupakan jawaban atas

identifikasi masalah, sedangkan saran

merupakan usulan yang operasional, konkret,

dan praktis serta merupakan kesinambungan

(29)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Perubahan Pasal 43 UU Perkawinan berdasarkan Putusan MK

Nomor 46/PUU-VIII/2010 berdampak terhadap urgensi perubahan

peraturan mengenai suatu pranata perkawinan yang pada saat ini

memiliki kekosongan dalam kaitannya dengan hubungan perdata

antara anak luar kawin dengan ayahnya serta keluarga ayahnya

sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia yang dimiliki oleh

anak tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya peraturan

perundang-undangan terkait yang memadai dikaitkan bagaimana prosedural

pembuktian yang dapat dilakukan berdasarkan ilmu pengetahuan

serta akibatnya.

Pengadilan Agama sesungguhnya tidak memiliki kewenangan

dalam hal untuk mengadili perkara sah atau tidaknya seorang anak

akibat suatu perkawinan, termasuk terhadap anak yang lahir dari

perkawinan tersebut. Hal ini dikarenakan Pengadilan Agama memiliki

kewenangan yang berlandaskan terhadap fiqh agama, yaitu bahwa

sah atau tidaknya sebuah perkawinan ditentukan oleh syarat dan

rukunnya perkawinan itu sendiri.

Pasca perubahan Pasal 43 UU Perkawinan dan putusan Kasasi

(30)

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki

sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain namun dengan

tetap memperhatikan bahwa anak luar kawin harus terlebih dahulu

mendapatkan penetapan sebagai anak sah melalui suatu proses yang

dilakukan secara sukarela oleh ayah biologisnya.

B. Saran

Pemerintah diharapkan melakukan pembaharuan terhadap

Undang-Undang Perkawinan beserta peraturan pelaksananya untuk

menyelaraskan peraturan perundang-undangan supaya sesuai

dengan kondisi serta perkembangan hukum positif di tanah air,

khususnya berkaitan dengan keluarnya putusan MK Nomor

46/PUU-VIII/2010 Tentang Uji Materil Pasal 2 Ayat (2) Dan Pasal 43 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Hal

tersebut diperlukan guna menghindari terjadinya permasalahan sosial

di masyarakat terkait pengaturan anak luar kawin dalam hukum positif

di Indonesia.

Masyarakat diharapkan tidak salah kaprah dengan memandang

putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Uji Materil Pasal 2 Ayat

(2) Dan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan sebagai suatu bentuk legalisasi terhadap praktek

perzinahan ataupun perkawinan sirri, namun seharusnya dilihat

(31)

bagian dari pemenuhan hak asasi manusia yang dimiliki oleh mereka

yang diamanatkan dalam UUD 1945.

Pencatatan perkawinan merupakan bagian yang penting dalam

suatu bentuk perkawinan yang sah, sehingga masyarakat seharusnya

telah memahami bahwa berdasarkan ketentuan hukum positif yang

berlaku saat ini setiap perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan

ketentuan yang ada dalam UU Perkawinan. Adapun mengenai

perubahan terhadap makna Pasal 43 UU Perkawinan tidak dijadikan

patokan bahwa perkawinan siri dapat dilakukan oleh masyarakat,

karena sesungguhnya Putusan Mahkamah Konstitusi nomor

46/PUU-VIII/2010 merupakan suatu bentuk upaya perlindungan terhadap hak

anak luar kawin, bukan suatu bentuk dukungan terhadap perkawinan

(32)

MEMBERIKAN STATUS KEPADA ANAK LUAR

KAWIN (KASUS MACHICA MOCHTAR TERHADAP

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

TENTANG PERKAWINAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk mengikuti salah satu syarat guna menempuh Sidang Ujian Sarjana dan meraih gelar Sarjana Hukum

Oleh: Adjeng Sugiharti

0988004

Pembimbing:

Dr. P. Lindawaty S. Sewu, S.H., M.Hum., M.Kn Christian Andersen, S.H., M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BANDUNG

(33)

karena atas rahmat dan karuniaNya maka penulis dapat menyelesaikan

penulisan penelitian skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN STATUS ANAK DILUAR KAWIN DALAM SISTEM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA DAN KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MEMBERIKAN STATUS KEPADA ANAK LUAR KAWIN (KASUS MACHICA MOCHTAR TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN)” dengan baik.

Tidak lupa penulis mengucapkan rasa terimakasih yang tak

terhingga kepada seluruh pihak yang telah terlibat dalam memberikan

berbagai upaya dukungan, dorongan dan semangat dalam penyusunan

Skripsi ini hingga dapat terselesaikan dengan baik, kepada:

1. Ibu Dr. P. Lindawaty S. Sewu, S.H., M. Hum., M.Kn., selaku Dekan

Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha sekaligus

pembimbing.

2. Bapak Christian Andersen, S.H., M.Kn., selaku dosen Fakultas Hukum

Universitas Kristen Maranatha sekaligus pembimbing pendamping.

3. Bapak Dr. Johannes Ibrahim, S.H., M.Hum., selaku dosen wali penulis

(34)

Hukum Universitas Kristen Maranatha.

6. Bapak Arman Tjoneng S.H., M.H., selaku dosen Fakultas Hukum

Universitas Kristen Maranatha.

7. Ibu Dian Permata Tunjungsari, S.H., M.Hum., selaku dosen Fakultas

Hukum Universitas Kristen Maranatha.

8. Ibu Christin Septina Basani, S.H., LL.M., selaku dosen Fakultas

Hukum Universitas Kristen Maranatha.

9. Kepada rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen

Maranatha yang telah memberikan dukungan semangat, untuk Ibu

Maria Armanusahwati, S.H., Ibu Nancy Basuki, S.H., Hendrik Halim,

S.H., Handi Hermawan, S.H., Mami Permana, S.H., Jumadi, S.H.

10. Seluruh Staf Pengajar serta Staf Tata Usaha Fakultas Hukum

Universitas Kristen Maranatha, dan seluruh rekan-rekan serta sahabat

penulis yang tidak dapat dituliskan satu persatu, penulis ucapkan rasa

terimakasih yang sangat mendalam atas segala dukungan yang

diberikan, baik dalam masa perkuliahan hingga terselesaikannya

penulisan Skripsi ini.

11. Seluruh pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan

studi pada program Sarjana Hukum Universitas Kristen Maranatha

(35)

keluarga penulis yang telah memberikan dukungan serta doa sehingga

penelitian Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, kepada Suami

penulis Ade Tarya Hidayat, kepada anak-anak penulis, Mochamad Ilham,

Kharisma Hidayat Hamzah.

Bandung, Nopember 2016

(36)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.

Abdurrahman, Hukum Perkawinan Campuran Beda Agama Menurut

Hukum Islam Indonesia, Kompendium Bidang Hukum

Perkawinan: Perkawinan Beda Agama Dan Implikasinya,

Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, 2011.

Arif Farchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya: Usaha Nasional, 1992.

Djuhaendah Hasan, Efek Unifikasi Dalam Bidang-Bidang Hukum

Keluarga (Perkawinan), Jakarta: Badan Pembinaan Hukum

Nasional Departemen Kehakiman.

Hamdan Zoelva, Pelembagaan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Perspektif Kehidupan Beragama, Sosial, Dan Budaya Melalui Putusan MK (Prosiding Kongres Pancasila IV: Strategi Pelembagaan

Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menegakkan Konstitusionalitas

Indonesia), Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila Universitas

Gadjah Mada, 2012.

Hartono Soerjopratignjo, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Seksi Notariat Fakultas Hukum Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1983.

J Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam

Undang-Undang, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.

Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.

Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa'at, Teori Hans Kelsen Tentang

Hukum, Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan

Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Kosnoe, Metode Ilmu Hukum Normatif (Suatu Teori Tentang Metode

Ilmu Hukum Positif), Jakarta: Universitas Indonesia, 1985.

(37)

Mansur Basir, Solusi Hukum Bagi Perkawinan Tidak Tercatat (Sirri), Gorontalo: Bidang Bimas Islam Kanwil Kemenag Provinsi Gorontalo, 2016.

Mohammad Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

Prianter Jaya Hairi, Status Keperdataan Anak Diluar Nikah

Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010, Info

Singkat Hukum Volume IV No 06/II/P3DI/Maret/2012, Jakarta: Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR RI.

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1974.

Ratno Lukito, Hukum Sakral Dan Hukum Sekuler: Studi Tentang

Konflik Dan Resolusi Dalam Sistem Hukum Indonesia,

Tangerang: Pustaka Alvabet, 2008.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

Soerjono Soekanto et.al., Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali, 1985.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: 1996.

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 2006.

Suriani Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata

Barat, Jakarta: Prenada Media, 2006.

(38)

Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati,

Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Jakarta: Kompas Media

Nusantara, 2009.

B. Jurnal dan Karya Ilmiah

Achmad Zaenal Fanani et. al., Regulasi dan Problematika

Perlindungan Hak Anak, Majalah Peradilan Agama Edisi 9 Juni

2016.

Chatib Rasyid, Anak Lahir Diluar Nikah (Secara Hukum) Berbeda Dengan Anak Hasil Zinah: Kajian Yuridis Terhadap Putusan MK

No. 46/PUU-VIII/2012, Makalah disampaikan pada seminar

Status Anak Di Luar Nikah Dan Hak Keperdataan Lainnya, 10 April 2012, IAIN Walisongo Semarang.

Dikta Angga Bhijana et. al., Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 Atas Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan bagi Anak Luar Kawin (Studi Kasus Di Kantor Notaris

Surakarta dan Karanganyar), Jurnal Privat Law Vo. IV No. 1

Januari-Juni 2016.

Febrina Vivianita Cathy Roring, Perlindungan Hukum Terhadap Harta

Dalam Perjanjian Perkawinan, Jurnal Lex Privatum, Vol.II/No.

3/Ags-Okt/2014.

Koko Setyo Hutomo et.al., Kajian Yuridis Terhadap Perkawinan Misyar

Menurut Hukum Islam, Artikel Ilmiah Hasil Penelitian

Mahasiswa Jurusan Perdata Humas Fakultas Hukum Universitas Jember, 2013.

Maria Nona Nancy et.al., Hubungan Nilai Dalam Perkawinan Dan

Pemaafan Dengan Keharmonisan Keluarga, Jurnal

Psikodimensia Vol. 13 No. 1 Januari-Juni 2014.

Muntasir Syukri, Keadilan Dalam Sorotan, Bangil: PA Bangil, 2012.

Rahmat Arijaya et.al., Menjadi Garda Depan Perlindungan Anak (Editorial), Majalah Peradilan Agama Edisi 9 Juni 2016.

Ramlah, Pengakuan Anak Luar Nikah dalam Hukum Islam dan

Hubungannya dengan Kewenangan Peradilan Agama, Media

(39)

Ronny Hanitijo Soemitro, Hukum Dan Perkembangan Ilmu

Pengetahuan Dan Teknologi Di Dalam Masyarakat,

Disampaikan dalam Upacara Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 6 Desember 1990.

Thriwaty Arsal, Nikah Siri dalam Tinjauan Demografi, Jurnal Sosiologi Pedesaan, Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, 2012.

Trusto Subekti, Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Ditinjau Dari Hukum

Perjanjian, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 3 September

2010.

Sri Budi Purwaningsih, Perlindungan Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No: 46/PUU-VIII/2010, Jurnal Rechtsidee Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, , Vol 1, No. 1 2014.

Vivi Hayati, Kedudukan Hukum Anak Tidak Sah Sebelum Dan Setelah

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU/VII/2010, Jurnal

Ilmiah Dunia Ilmu Vol.2 No.1 Maret 2016.

C. Undang-Undang, Putusan, dan Fatwa

Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Kompilasi Hukum Islam.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

(40)

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Putusan Mahkamah Agung No. 329 K/Ag/2014.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zinah Dan Perlakuan Terhadapnya.

D. Internet

Herizal, Status Anak di luar Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam, http://kerinci.kemenag.go.id/2013/06/22/status-anak-di-luar-nikah-dalam-kompilasi-hukum-islam, diakses pada 07 Nopember 2016.

Rusdianto Matulatuwa, Bapak Luar Kawin Harus Tanggungjawab, http://medianotaris.com/bapak_luar_kawin_harus_tanggungjaw ab_berita133.html, diakses pada 31 Oktober 2016.

Syafran Sofyan, Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Status Anak

Luar Kawin,

Referensi

Dokumen terkait

Dampak lain dari self disclosure adalah individu yang sengaja berbagi pengalaman dan emosi dapat membantu mengurangi gejala depresi pada saat stres dan akan mengalami

[r]

Isi Naskah Letter of Intent (LoI) ini berisi minat kerjasama yaitu untuk membangun hubungan persahabatan dan kerjasama pertukaran antara kedua kota atas dasar keuntungan bersama

emang kenalnya dari tempat dugem sih, tapi kadang kita meskipun nggak lagi dugem masih tetep komunikasi kok, kadang juga nongkrong bareng trus lagi kalo lagi butuh

Pada dasarnya, pengakuan anak bisa dilakukan baik oleh ibu maupun bapak, tetapi karena berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

hasil pyrolysis pada temperatur 330 ºC dengan penambahan katalis memperlihatkan jenis komponen yang semakin banyak dengan senyawa yang dominan adalah senyawa

Beban pajak penghasilan kini dihitung dengan dasar hukum pajak yang berlaku pada tanggal pelaporan. Aset atau liabilitas pajak penghasilan kini terdiri dari

Kekerasan yang dapat dicapai tergantung pada kadar karbon dalam logam baja dan unsur lainya dalam baja, temperatur pemanasan, holding time dan laju pendinginan yang dilakukan