• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. LANDASAN TEORI 1. Anestesi Umum

Anestesi umum adalah perubahan keadaan fisiologis yang ditandai dengan hilangnya kesadaran yang bersifat reversible, analgesia seluruh tubuh, amnesia, dan relaksasi otot pada beberapa tingkatan (Morgan, 2013). Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur pembedahan yang akan menimbulkan rasa sakit, berpotensi menimbulkan eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan ingatan yang tidak menyenangkan (Nash et al., 2015 ; Zhang et al., 2015). Adapun kekurangan yang dapat ditemukan pada tindakan anestesi umum seperti adanya fluktuasi fisiologis yang membutuhkan intervensi aktif (Sebel et al., 2004).

2. Laringoskopi dan Intubasi

Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakea adalah suatu tindakan dalam menjaga patensi jalan nafas dengan cara memasukkan pipa endotrakea ke dalam trakea melalui mulut atau hidung dengan bantuan laringoskop. Pada tahun 1880 Sir William Mac Ewen ahli bedah Scotlandia yang pertama kali melakukan intubasi endotrakea tanpa melalui trakeostomi, kemudian pada tahun 1895 Kirstein adalah orang yang pertama kali melakukan intubasi endotrakea dengan bantuan laringoskop (Stone et al., 2000 ; Lecanwasam et al., 2002 ; Rosenbalt, 2006).

Intubasi endotrakea merupakan hal yang rutin dilakukan oleh ahli anestesi terutama pada anestesi umum. Perkembangan peralatan dan pemakaian pelumpuh otot yang disertai dengan peningkatan keterampilan ahli anestesi menjadikan intubasi endotrakea lebih aman dan umum dilakukan dalam dunia anestesi (Lecanwasam et al., 2002). Ada beberapa tujuan dalam tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakea ini seperti mempertahankan jalan nafas agar tetap baik, mencegah aspirasi, mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien yang menjalani anestesi umum dan untuk membersihkan saluran trakeobronkial (Morgan, 2013).commit to user

(2)

3. Gejolak Hemodinamik Pasca Intubasi

Tindakan laringoskopi dan intubasi sering menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Mekanisme yang mendasari respon hemodinamik terhadap tindakan ini belum sepenuhnya dipahami. Meskipun kondisi tersebut telah dikaitkan dengan adanya refleks simpatis yang disebabkan oleh stimulasi melalui saluran pernapasan. Hipotesis ini didukung oleh adanya observasi sebelumnya yang menyatakan bahwa respon hemodinamik terhadap intubasi trakea berhubungan dengan peningkatan konsentrasi katekolamin plasma. persarafan simpatis eferen yang menuju jantung berasal dari medulla spinalis antara T1 dan T4 sedangkan saraf simpatis eferen yang menuju medula adrenal berasal medulla spinalis antara T3 dan L3.5,6. Blokade aliran simpatis saat tindakan anestesi epidural baik anestesi cervicothoracic tanpa memblokir kelenjar medulla adrenal atau anestesi epidural lumbal tidak mempengaruhi respon kardiovaskuler terhadap intubasi trakea (Yoo et al., 2001).

Komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat tindakan laringoskop dan intubasi endotrakea dapat berupa nyeri tenggorokan, obliterasi trakhea total, pada sistem kardiovaskuler (disritmia, peningkatan tekanan darah), sistem respirasi (spasme laring, spasme bronkus, hipoksia, hiperkarbia), susunan saraf pusat (peningkatan tekanan intrakranial), mata (peningkatan tekanan intraokuler), saluran pencernaan (muntah dan aspirasi isi lambung). Respon tersebut terjadi akibat adanya peningkatan rangsangan simpatis karena penekanan pada saraf laryngeus superior dan saraf recurren laryngeus oleh ujung laringoskop maupun pipa endotrakea. Adanya rangsangan saraf simpatis pada kelenjar adrenal akan menyebabkan sekresi hormon adrenalin dan noradrenalin, di mana hormon ini akan meningkatkan permeabilitas membran sel terhadap ion natrium dan ion kalsium pada otot jantung yang dapat meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung sedangkan pada nodus SA akan berakibat pada meningkatnya frekuensi denyut jantung (Hung O, 2002). Pada penelitian oleh Cork et al, telah menemukan adanya peningkatan yang signifikan pada kadar plasma katekolamin (epinefrin, norepinefrin, dopamin) dan beta endorfin akibat tindakan laringoskopi dan intubasicommit to user

(3)

endotrakea (Malde et al., 2007) sedangkan adanyarangsangan simpatis terhadap jantung dapat menyebabkan peningkatan kecepatan impuls pada nodus SA, peningkatan kecepatan rangsang terhadap semua bagian jantung, serta peningkatan kekuatan kontraksi otot jantung.

Peningkatan tekanan darah sebagai respon sistem kardiovaskuler terhadap laringoskopi dan intubasi baik terhadap tekanan sistolik maupun diastolik terjadi mulai 5 detik sejak tindakan laringoskopi, mencapai puncaknya dalam 1-2 menit, dan akan kembali seperti sebelum tindakan laringoskopi dalam waktu 5 menit. Pada orang sehat rata-rata peningkatan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik masing-masing lebih dari 53 dan 34 mmHg. Laju jantung meningkat rata-rata 23 kali/menit. Respon peningkatan laju jantung pada laringoskopi saja bervariasi, meningkat pada 50% kasus. Selama tindakan laringoskopi jarang terjadi perubahan EKG (biasanya ektrasistol atau kontraksi prematur), tetapi lebih sering terjadi pada tindakan intubasi (Henderson, 2005).

Respon hemodinamik ini secara klinis mungkin kurang signifikan pada pasien yang sehat akan tetapi kondisi ini dapat berbahaya pada pasien dengan kelainan cerebrovasculer disease. Pada pasien dengan penyakit jantung iskemik terjadi gangguan keseimbangan antara oxygen demand and supply.

Kenaikan tekanan darah dan laju jantung akan meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung dan hal ini bisa berkembang menjadi iskemik dan infark otot jantung. Beberapa peneliti mengatakan pasien yang sebelumnya mempunyai riwayat infark miokard, kejadian reinfark setelah operasi lebih tinggi daripada pasien yang pada periode intraoperatif terjadi peningkatan tekanan darah dan laju jantung (Stoelting RK, 2015).

4. Metode Pencegahan Gejolak Hemodinamik Pasca Intubasi

Laringoskopi dan intubasi trakea mengganggu refleks proteksi jalan nafas pasien sehingga dapat mengakibatkan tekanan darah tinggi dan takikardia. Beberapa teknik telah dicoba dalam upaya menumpulkan respon hemodinamik yang merugikan terhadap intubasi. Biasanya teknik yang digunakan meliputi peningkatan kedalaman anestesi oleh premedikasi, narkotika poten dan agen anestesi inhalasi Lainnya termasuk lidokaincommit to user

(4)

intravena, klonidin, Calcium channel blockers, sodium nitroprusside, β- adrenergic blocker, dan magnesium (Kumar et al, 2016; Morgan, 2013;

Stoelting 2015).

Opioid adalah obat yang paling sering digunakan dengan hasil yang memuaskan untuk mencegah respon hemodinamik. Namun, obat-obatan ini termasuk yang tidak hemat biaya, dan terkait dengan beberapa komplikasi yang muncul dan tidak menguntungkan seperti mual, muntah, sedasi berlebihan, dan depresi pernapasan (Valeshabad et al., 2014; Sarkilar et al., 2015; Teong et al., 2020).

Pemberian lidokain merupakan salah satu cara yang biasa digunakan untuk mengurangi gejolak kardiovaskuler dimana lidokain bila diberikan secara sistemik akan memiliki efek sebagai antagonis pada saluran natrium dan the N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) receptor, mengurangi pelepasan substansi zat P, memiliki aksi glisinergik yang dapat menurunkan reaktivitas pada jalan nafas (Mendonca et al., 2017).

Magnesium sulfat (MgSO4) dapat dijadikan obat alternatif dalam mencegah gejolak hemodinamik pasca intubasi karena berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa premedikasi MgSO4 sebelum tindakan intubasi endotrakea efektif mengurangi peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. MgSO4telah digunakan sebagai agen antikonvulsan, dan antiaritmia selain itu MgSO4telah terbukti memiliki antinociceptive terutama karena efek antagonisnya pada reseptor NMDA, ion kalsium dan menghambat pelepasan katekolamin dari saraf terminal adrenergik dan medula adrenal (Kothari et al., 2008). Pemeriksaan fungsi ginjal sebelum pemberian MgSO4 perlu dipertimbangkan karena adanya gagal ginjal akan menyebabkan penurunan ekskresi magnesium yang dapat meningkatkan toksisitas. Pasien dengan Penyakit neuromuskular, seperti myasthenia gravis dengan terapi MgSO4 perlu pemantauan ketat karena efek MgSO4 dapat menghambat pelepasan asetilkolin. Pemberian MgSO4menjadi pertimbangan pada pasien dengan kehamilan, demielinisasi skeletal, hipokalsemia, dan hypermagnesemia (Allen MJ & Sandeep S, 2020).

commit to user

(5)

5. Lidokain

Lidokain merupakan obat lokal anestesi golongan amida yang disintesis dari aminoethylamide. Lidokain memiliki mekanisme kerja melalui blok saluran voltage gated sodium pada jaringan saraf sehingga obat ini dapat mempengaruhi transmisi saraf, selain itu lidokain juga digunakan sebagai obat antiaritmia kelas IB karena mampu mencegah depolarisasi pada membran sel melalui penghambatan masuknya ion natrium pada kanal natrium (Eipe et al., 2016).

Obat anestesi lokal terdiri dari bagian lipofilik dan hidrofilik yang dihubungkan oleh cincin hidrokarbon. Semua molekul golongan anestesi lokal terikat dengan cincin hidrokarbon pada bagian cincin aromatik lipofilik.

Cincin hidrokarbon menjadi acuan klasifikasi obat yang memblokade konduksi impuls saraf baik anestesi lokal golongan ester maupun amida.

Perbedaan diantara golongan ester dan amida terkait dengan bagian metabolisme dan potensi menyebabkan reaksi alergi (Miller, 2010).

Gambar 1. Struktur kimia lidokain (Stoelting, 2015) a. Farmakodinamik

Sebagai obat antiaritmia kelas IB (penyekat kanal natrium), lidokain dapat menempati reseptornya pada kanal protein sewaktu teraktivasi (fase 0) atau inaktivasi (fase 2) karena pada kedua fase ini afinitas lidokain terhadap reseptornya tinggi sedangkan pada fase istirahat afinitasnya rendah. Pada waktu lidokain menempati reseptornya maka ion Na2+ tidak dapat masuk ke dalam sel. Lidokain menempati reseptornya dan terlepas selama siklus perubahan konformasi kanal Na2+. Kanal sel normal yang dihambat lidokain selama siklus aktivasi-inaktivasi akan cepat terlepas dari reseptornya dalam fase istirahat. Sebaliknya kanal yang dalam keadaan depolarisasi kronis yaitu potensial istirahatnya (Vm) lebih positif, bilacommit to user

(6)

diberi lidokain (atau penyekat kanal Na2+ lainnya) akan pulih lebih lama.

Dengan cara demikian, maka lidokain menghambat aktivitas listrik jantung berlebihan pada keadaan takikardi (Stoelting, 2015).

Pada sistem kardiovaskuler lidokain merupakan stabilisator membran dengan efek elektrofisiologinya meliputi pengurangan durasi aksi potensial, periode refrakter efektif, respon dan otomatisasi membran sistem his-purkinje dan otot ventrikel secara bermakna, tetapi kurang berefek pada atrium. Pada penderita dengan gangguan konduksi atrioventrikuler sebelumnya dapat menginduksi blokade otot jantung total atau henti jantung. Pada blok total atrioventrikuler, lidokain dapat menyebabkan bradikardi berat sampai asistol. Lidokain mempunyai efek elektrofisiologi yang kecil pada jaringan jantung normal. Sebaliknya, sebagian kanal natrium yang terdepolarisasi tetap terhambat selama diastolik. Lidokain menekan aktivitas listrik jaringan aritmigenik yang terdepolarisasi, sehingga lidokain dapat menekan aritmia yang berhubungan dengan depolarisasi, tetapi kurang efektif terhadap aritmia yang terjadi pada jaringan dengan polarisasi normal (fibrilasi atrium).

Lidokain menekan masa kerja potensial aksi dan masa refrakter efektif pada serabut otot ventrikel dan serabut purkinje secara bermakna tetapi tidak berefek pada atrium. Lidokain meninggikan nilai ambang fibrilasi ventrikel pada serabut purkinje. Lidokain meninggikan konduksi ion K+ transmembran tetapi tidak mempengaruhi potensial istirahat. Pada depolarisasi parsial awal potensial membran, lidokain menurunkan respon ion Na2+pada kanal cepat yang disebabkan oleh peningkatan aliran ion K+ keluar. Hal ini merupakan pengaruh langsung konsentrasi ion kalium ekstrasel. Sebagai obat anestesi lokal lidokain menstabilisasi membran sel saraf dengan cara mencegah depolarisasi pada membran sel saraf melalui penghambatan masuknya ion natrium. Lidokain berdifusi menembus membran yang merupakan matriks lipoprotein terdiri dari 90% lemak dan 10% protein masuk ke dalam aksoplasma kemudian memasuki kanal natrium dan berinteraksi dengan reseptor di dalamnya. Lidokain bekerja pada penghambatan transmisi (salah satu rangkaian proses nyeri) yaitucommit to user

(7)

proses penyaluran impuls nyeri melalui serabut A delta dan serabut C tak bermielin dari perifer ke medula spinalis (Stoelting, 2015).

b. Farmakokinetik

Lidokain hanya efektif bila diberikan secara intravena sedangkan pada pemberian peroral kadar lidokain dalam plasma sangat kecil dan dicapai dalam waktu yang lama. Pada pemberian intravena kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 3-5 menit dengan waktu paruh 30-120 menit.

Lidokain hampir semuanya dimetabolisme di hati oleh mikrosom P-450 menjadi monoethylglycinexylidide melalui proses dealkylation kemudian diikuti dengan hidrolisis menjadi xylidide. Monoethylglycinexylidide (MEGX) mempunyai aktivitas 80% dari lidokain sebagai antidisritmia dan memiliki potensi penyebab kejang. MEGX dimetabolisme dengan cepat oleh hati menjadi xylidide (GX) dimana hasil metabolit ini mempunyai aktivitas antidisritmia hanya 10%. Xylidide diekskresi dalam urin sekitar 75% dalam bentuk hydroxy-2,6-dimethylaniline. MEGX telah terbukti menurunkan klirens lidokain (Eipe et al., 2016).

Lidokain sekitar 50% terikat dengan albumin dalam plasma.

Menurunnya fungsi hepar (misal pada sirosis) atau menurunnya aliran darah hepar (misal gagal jantung kongestif, terapi beta bloker dan antagonis reseptor H2) akan menurunkan kecepatan metabolisme amida, meningkatkan kadar obat dalam darah akan meningkatkan resiko toksisitas sitemik. Pada anestesi lokal larut air maka metabolismenya tergantung pada fungsi ginjal. Lidokain dapat diekskresikan melalui paru dari sirkulasi dimana ekskresi pulmonal ini akan membatasi konsentrasi obat yang mencapai sirkulsi sistemik sehingga akan mempengaruhi distribusi obat ke sirkulasi koroner dan serebral (Stoelting, 2015).

c. Mekanisme kerja

Obat anestesi lokal mencegah transmisi dan konduksi impuls saraf.

Lokasi utama kerja obat anestesi lokal adalah pada membran sel. Obat anestesi lokal mencegah konduksi dengan menurunkan atau mencegah peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion natrium. Perbedaan potensial transmembran sel saraf perifer dalam keadaan istirahat adalahcommit to user

(8)

sebesar 70 mV dimana di dalam sel akan bermuatan negatif sedangkan di luar sel akan bermuatan positif. Banyak faktor yang berpengaruh pada potensial membran istirahat, tetapi pengaruh utamanya adalah pada permeabilitas membran sel saraf. Difusi ion natrium ke luar sel akan menurunkan gradient konsentrasi dan potensial membran menjadi negatif kemudian ion kalium yang bermuatan positif akan menurunkan gradient elektrokimia. Potensial membran dalam keadaan istirahat menunjukkan keseimbangan antara konsentrasi dan gradient elektrokimia ion kalium.

Pada keadaan istirahat, ion natrium yang masuk tidak dapat menurunkan konsentrasi dan gradient elektrokimia karena membran sel impermeable, tetapi pada serabut saraf akan membuka kanal ion natrium di membran sel sehingga natrium masuk dan meningkatkan potensial membran sebesar +20 mV. Kanal natrium selanjutnya tertutup dan kalium bergerak keluar sehingga menyebabkan kembalinya ke potensial membran istirahat. Pompa natrium-kalium mengatur distribusi ion selama fase aksi potensial membran istirahat. Dalam serabut saraf perubahan bifasik potensial membran berlangsung singkat yaitu 1-2 milidetik, dan ini merupakan bukti transmisi impuls listrik (Whiteside JB, 2000).

d. Penggunaan lidokain dalam bidang anestesi

Lidokain merupakan obat anestesi lokal yang telah digunakan secara intravena sejak tahun 1960 untuk beberapa indikasi seperti blok regional, antiaritmia, analgesik pada nyeri neuropatik dan sentral, sebagai adjuvan pada nyeri pasca operasi termasuk nyeri pasca operasi yang refrakter terhadap opioid (Lauretti, 2008).

Dosis lidokain yang diperlukan untuk analgesia pada periode perioperatif adalah 1–2 mg/kgBB diikuti dengan pemberian infus secara terus menerus dengan dosis 0,5–3 mg/kgBB/jam. Lidokain memiliki rasio ekstraksi liver yang tinggi dengan bersihan plasma 10 ml/kgBB/menit pada fungsi liver dan aliran darah liver yang normal. Infus kontinue (tanpa bolus) akan membutuhkan waktu 4–8 jam untuk mencapai kondisi plasma yang stabil. Pada penghentian setelah infus berkepanjangan maka kadar plasma akan menurun dengan cepat. Waktu paruh setelah infus lidokain 3commit to user

(9)

hari adalah 20-40 menit dan tidak ada akumulasi dari waktu ke waktu pada individu yang sehat. ketika lidokain diberikan sebagai infus kontinue pada dosis yang relevan secara klinis 1-2 mg/kg/jam biasanya menghasilkan konsentrasi plasma yang tetap di bawah 5 µg/ml dimana lidokain pada level plasma ini cukup untuk menurunkan respon simpatis, menurunkan nyeri, dan menunjukkan signifikan anestesi volatile dan efek hemat opioid.

Lidokain bolus 1,5 mg/kgBB diikuti dengan 3 mg/menit dilanjutkan sampai 60 menit setelah penutupan kulit dengan konsentrasi plasma tetap dalam kisaran terapeutik (1,3–3,7 µg/ml) dan dari penelitian tersebut melaporkan adanya penurunan yang signifikan dalam kebutuhan analgesik opioid, penurunan skor nyeri dengan kepuasan yang lebih besar dan kembalinya aktivitas usus lebih awal (Eipe et al., 2016).

Protokol ERAS dengan lidokain bolus 1,5 mg/kg diikuti dengan 2 mg/kg/jam selama 24 jam dapat menurunkan skor nyeri dan konsumsi analgesik. Ketika dititrasi dengan monitor anestesi yang dalam maka pasien yang menerima lidokain akan membutuhkan MAC agen anestesi volatil yang lebih rendah secara signifikan (Eipe et al., 2016).

e. Efek Samping

Lidokain terutama bersifat toksik pada susunan saraf pusat. Efek yang terjadi akibat toksisitas dapat berupa kejang, agitasi, disorientasi, euforia, pandangan kabur, dan mengantuk. Kejang berlangsung singkat dan berespon baik dengan pemberian diazepam (Peralta et al., 2008).

Lidokain memiliki indeks terapeutik yang sangat sempit yaitu 2.5-3,5 µg/ml dimana toksisitas sistem saraf pusat dapat terjadi pada kadar lidokain plasma > 5 µg/ml sedangkan intoksikasi lidokain pada sistem kardiovaskular lebih jarang terjadi karena lidokain memiliki efek dengan minimal kardiotoksik dibandingkan bupivacain dan selain itu pada kardiotoksik pada lidokain dapat terjadi ketika kadar lidokain plasma melebihi 10 µg/ml (Eipe et al., 2016).

Lidokain dosis rendah (konsentrasi plasma dibawah 5 µg/ml) dapat mengurangi nyeri tanpa mengganggu konduksi saraf normal dengan insidensi efek samping yang lebih rendah (Oliveira et al., 2010). Dosiscommit to user

(10)

antara 1-2 mg/kg yang diberikan sebagai bolus diikuti atau tidak dengan infus kontinu 1,5 mg/kg/jam akan menghasilkan konsentrasi plasma 2 µg/ml. Dosis ini dianggap kecil dan jauh dari dosis toksik (Lauretti, 2008).

6. Magnesium Sulfat

Magnesium adalah mineral paling umum keempat di dalam tubuh setelah kalsium, natrium, dan kalium dan merupakan kation intraseluler kedua terbanyak setelah kalium. Distribusi magnesium pada tubuh manusia terutama ditemukan pada tulang (53%), kompartemen intraseluler otot (27%) dan jaringan lunak (19%) sedangkan kadar magnesium pada serum hanya terdiri dari 0,3% dari total magnesium tubuh (Fawcett et al., 1999 ; Schwalfenberg et al., 2017).

Perkiraan kebutuhan rata-rata harian magnesium adalah 200 mg untuk wanita dan 250 mg untuk laki-laki. Absorbsi magnesium terjadi pada ileum dan kolon sedangkan ekskresinya sama dengan kation lainnya yaitu akan difiltrasi di glomerulus tetapi berbeda dalam reabsorpsinya dimana magnesium terutama direabsorbsi di bagian atas ansa henle dan tidak terjadi pada tubulus proksimal (Fawcett et al., 1999).

Penilaian status magnesium merupakan sesuatu hal yang kompleks dimana estimasi magnesium serum hanya 0,3% dari total magnesium tubuh.

Selain itu, sampel dapat dipengaruhi oleh magnesium dari eritrosit yang memiliki tiga kali lipat konsentrasi magnesium serum. Magnesium urin dapat memperkirakan ekskresi magnesium, tetapi tidak berfokus pada penilaian magnesium total didalam tubuh. Magnesium serum dapat digunakan secara umum dan memiliki tempat dalam situasi akut atau untuk memantau level selama terapi (Fawcett et al., 1999).

a. Fungsi Magnesium Sulfat

Magnesium (Mg2+) memiliki peranan penting sebagai co-factor lebih dari 300 reaksi enzimatik dan diperlukan dalam proses produksi energi dan sintesis asam nukleat. Penyimpanan Mg2+ intraseluler ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi pada mitokondria di mana elemen ini berperan penting dalam sintesis ATP (adenosine triphosphate) dari ADP (adenosine diphosphate) dan fosfat anorganik. Selain itu, Mg akan terikatcommit to user

(11)

pada ATP untuk menghasilkan bentuk bioaktif ATP (Mg-ATP) dan diperkirakan lebih dari 3571 protein manusia berpotensi dalam mengikat Mg+2. Selain itu magnesium juga berperan dalam beberapa proses fisiologi termasuk pada hormon reseptor binding, kanal ion kalsium, pergerakan ion di transmembran, pengaturan enzim adenilat siklase, kontraksi otot, kontrol tonus vasomotor, eksitabilitas jantung dan pelepasan neurotransmiter.

b. Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja MgSO4 berperan sebagai antagonis ion kalsium dan antagonis reseptor NMDA. Magnesium dapat mempengaruhi pergerakan ion lain seperti natrium, kalium, dan kalsium dalam melewati membran sarkolema sehingga magnesium dapat mempengaruhi kontraktilitas otot jantung, aktivitas listrik sel otot jantung, sistem konduksi jantung serta mempengaruhi tonus otot polos pembuluh darah. Ion magnesium penting peranannya dalam berinteraksi dengan ion-ion lain pada tingkat seluler di mana konsentrasi ion kalsium diatur dalam batas yang sangat sempit.

Dalam batas ini, ion kalsium segera dapat kembali ke tingkat konsentrasi yang normal begitu terjadi perubahan yang cepat. Kalsium interseluler berperan penting dalam banyak fungsi sel, baik fungsi dasar maupun fungsi spesialistik. Jalur utama pelepasan ion kalsium dari berbagai stimulus seperti hormon, faktor pertumbuhan dan neurotransmiter adalah melalui aktivasi phospolipase C dan hidrolisis phosphatidylinositol 4,5- biphosphat menjadi inositol 1,4,5-triphosphat (IP3). IP3 bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor transmembran IP3 sehingga menyebabkan terbukanya kanal kalsium yang juga terbuka untuk molekul-molekul yang sama. Magnesium bekerja sebagai kompetitif inhibitor gerbang IP3 pada kanal kalsium dan mencegah ikatan IP3 dengan reseptornya, oleh karena itu magnesium adalah antagonis kalsium di tingkat seluler pada kanal IP3.

commit to user

(12)

Gambar 2. Mekanisme kerja MgSO4(Herroede et al., 2011).

MgSO4dapat memperpanjang waktu pemulihan pada nodus sinoatrial melalui blokade secara langsung dan tidak langsung. Hal ini menunjukkan bahwa magnesium memperlambat denyut jantung pada waktu istirahat oleh blokade dari membran ganglia simpatik. MgSO4 dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sistemik dengan blokade simpatis dan penghambatan pelepasan katekolamin. Dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa tidak ditemukan adanya perubahan segmen ST yang signifikan selama laringoskopi dan intubasi endotrakeal. Hal ini dapat terjadi karena adanya penurunan afterload dan vasodilatasi koroner yang dihasilkan setelah pemberian MgSO4. Efek MgSO4pada arteri koroner dan sistemik mungkin berhubungan dengan adanya efek antagonis kalsium.

MgSO4 dapat mengkontrol peningkatan tekanan darah sampai 5 menit setelah laringoskopi. Ketidakefektifan MgSO4dalam pencegahan kenaikan tekanan darah 10 menit setelah tindakan laringoskopi berhubungan dengan adanya penurunan pengeluaran katekolamin itu sendiri. (Allen MJ &

Sandeep S, 2020). Dalam sistem saraf, magnesium memiliki efek depresan pada sinaps dan telah digunakan sebagai antikonvulsan. Mekanisme aksi di sinaps terkait dengan kompetisi antara kalsium dan magnesium dalam stimulasi pengeluaran neurotransmitter. Blokade neuromuskuler dipengaruhi oleh penghambatan pelepasan asetilkolin yang dimediasi ion kalsium dari saraf terminal presinaptik pada neuromuscular junction.commit to user

(13)

MgSO4 sebagai antikonvulsan merupakan efek sekunder antagonis magnesium pada reseptor N-metil D-aspartat (NMDA) yang merupakan subkelompok reseptor glutamat yang stimulasinya diketahui mengarah pada excitatory postsynaptic potentials (EPSP) yang dapat menyebabkan kejang (Fawcett et al., 1999).

f. Penggunaan MgSO4dalam Bidang Anestesi

Intubasi trakea dapat menyebabkan peningkatan yang nyata pada tekanan arteri sistemik, arteri pulmonalis, kapiler pulmonalis yang menyebabkan peningkatan risiko hipertensi intraserebral.

Mekanisme efek antinociceptive pada MgSO4 yaitu dengan cara menghambat masuknya ion kalsium (penghambatan saluran kalsium dapat menambah efek analgesia yang diinduksi morfin dan menurunkan konsumsi opioid total), antagonis reseptor NMDA, dan pencegahan peningkatan signal yang dapat menstimulasi NMDA dan hal ini terjadi pada kondisi hipomagnesemia. Selain itu, magnesium juga dapat melemahkan atau bahkan mencegah sensitisasi sentral setelah adanya cidera jaringan perifer yaitu dengan adanya inhibisi reseptor NMDA pada dorsal horn. Mekanisme yang mendasari efek MgSO4berhubungan dengan efek antagonis kompetitif pada saluran kalsium presinaptik hipokampus yang mengatur pelepasan neurotransmitter pada sistem saraf pusat.

Magnesium secara signifikan meningkatkan efek penghambatan anestesi volatil pada reseptor NMDA. Anestesi volatile seperti isofluran dapat menghambat saluran kalsium. Pelepasan katekolamin dari medulla adrenal dan efek antagonis kalsium pada sel otot polos pembuluh darah dapat berkontribusi pada efek MgSO4(Herroede et al., 2011).

Peran MgSO4 sebagai analgetik telah diteliti oleh banyak penulis.

Magnesium sulfat telah dilaporkan efektif dalam pengobatan nyeri perioperatif dan dalam menurunkan refleks somatik, otonom dan endokrin yang distimulasi pada saat tindakan. Regimen MgSO4 yang diberikan adalah dengan dosis awal 30-50 mg/kg diikuti dengan dosis pemeliharaan 6-20 mg/kg/jam sampai akhir operasi. MgSO4 telah terbukti mengurangi respon hipertensi pada intubasi. Pada penelitian lain telah menunjukkancommit to user

(14)

tidak adanya peningkatan tekanan arteri sistolik selama 5 menit setelah intubasi pada wanita yang diobati dengan MgSO4 40 mg/kgBB atau alfentanil 10 µg/kgBB akan tetapi MgSO4 dan alfentanil memiliki efek samping pada dosis tersebut dimana MgSO4 dapat menyebabkan takikardia dan alfentanil menyebabkan depresi neonatal dan gagal kontrol tekanan arteri pada 25% pasien (Fawcett et al., 1999 ; Do SH, 2013).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh panda et al (2013), dalam metode prospektif uji acak kontrol pada 80 pasien dengan status fisik ASA 1 dan 2 dimana pasien memiliki riwayat hipertensi terkontrol dan akan menjalani operasi elektif dengan anestesi umum dan membutuhkan intubasi endotrakeal. Pada penelitian ini masing-masing kelompok mendapatkan terapi MgSO4 dengan dosis yang berbeda (30, 40, 50 mg/kgBB) yang diberikan 90 detik sebelum intubasi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa MgSO430 mg/kgBB adalah dosis optimal untuk mengontrol tekanan darah selama intubasi pada pasien hipertensi. Peningkatan lebih lanjut dalam dosis MgSO4 dapat menyebabkan hipotensi yang signifikan.

Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Montarezi dan Falah (2005) yang melakukan premedikasi MgSO4 dalam menurunkan respon kardiovaskuler terhadap tindakan laringoskopi dan intubasi. Dalam penelitian dengan menggunakan dosis MgSO4 10, 20, 30, 40 dan 50 mg/kgBB didapatkan hasil bahwa dosis 30 mg/kgBB MgSO4 efek dalam menurunkan respon kardiovaskuler terhadap tindakan laringoskopi dan intubasi lebih baik dibandingkan dosis 10 dan 20 mg/kgBB namun tidak ada perbedaan bermakna terhadap dosis MgSO440 dan 50 mg/ kgBB.

Dalam dua penelitian uji acak kontrol telah menunjukkan adanya penurunan kebutuhan propofol berdasarkan pemantauan Indeks Bispektral (BIS) setelah pemberian MgSO4 intravena bolus 30 mg/kgBB diikuti dengan pemberian infus 10 mg/kgBB/jam sampai akhir operasi pada pasien yang menjalani operasi tulang belakang. Pretreatment dengan 2,48 mmol intravena MgSO4dapat mengurangi kejadian dan intensitas gerakan mioklonik yang diinduksi etomidat selama induksi anestesi. Selain itu,commit to user

(15)

pelepasan katekolamin dan efek kardiovaskular setelah tindakan laringoskopi dan intubasi trakea dapat diturunkan dengan pemberian magnesium intravena. Pada pasien bedah jantung, MgSO4 secara signifikan memperpanjang durasi intubasi dan dosis pemeliharaan cisatracurium sehingga dengan demikian dapat mengurangi dosis total yang diberikan selama intraoperatif. MgSO4 dapat mempercepat onset rocuronium sebagai blok neuromuskuler dibandingkan dengan kontrol.

Efek klinis MgSO4pada relaksan otot depolarisasi tidak terlalu signifikan.

MgSO4 tidak mengganggu onset dan durasi blokade neuromuskuler yang diinduksi suksinilkolin tetapi dapat mencegah fasikulasi otot dan dapat mengurangi potensi peningkatan kalium serum yang diinduksi suksinilkolin (Herroede et al., 2011).

Goarya et al (2014) telah melakukan penelitian pada 70 pasien yang dibagi kedalam dua kelompok dimana masing-masing kelompok mendapatkan MgSO4 30 mg/kgBB yang diberikan 5 menit sebelum induksi kemudian 10 mg/kgBB sebelum operasi dilanjutkan 10 mg/kgBB setiap 30 menit sampai dengan operasi selesai serta pada kelompok kedua mendapatkan fentanil 2 mcg/kgBB dilanjutkan 0.5 mcg/kgBB kemudian dilakukan evaluasi respon hemodinamik. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa meskipun MgSO4 tidak lebih unggul dari fentanil namun penggunaan MgSO4 telah dikaitkan dengan efek samping yang lebih sedikit seperti depresi pernapasan dan sedasi pasca operasi serta MgSO4 menjadi obat yang hemat biaya, mudah didapatkan dan menjadi obat alternatif untuk fentanil.

c. Efek Samping

Efek samping MgSO4 antara lain adanya hipotensi, depresi susunan saraf pusat, kelemahan otot dan flushing sehingga pengobatan harus segera dihentikan jika terjadi hipotensi, bradikardi dan refleks tendon menghilang. Kontraindikasi yang dapat dalam pemberian MgSO4adalah seperti alergi, blok atrioventrikular, dan penyakit neuromuskuler.

Hipermagnesemia terjadi jika konsentrasi magnesium plasma lebih dari 1,6 mmol / L dimana kondisi ini jarang terjadi dan ditemukan terutamacommit to user

(16)

pada pasien dengan gagal ginjal selama pemberian terapeutik obat yang mengandung magnesium atau penyebab terkait pengobatan lainnya seperti pada pasien yang dirawat dengan eklampsia. Magnesium relatif aman diberikan karena toksisitas mungkin tidak terjadi sebelum asupan oral MgSO4 lebih dari 30 g. Pemberian MgSO4 dengan dosis 8 mmol bolus selama 5 menit kemudian diikuti dengan dosis 65 mmol/jam selama 24 jam akan menghasilkan konsentrasi serum magnesium 1.38 mmol /L.

Perubahan fungsi jantung dan neuromuskuler dapat diamati secara klinis dengan melihat adanya perubahan elektrokardiogram seperti kompleks QRS yang melebar. Refleks tendon dapat menghilang pada konsentrasi magnesium plasma mencapai 4-5 mmol / L sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat menyebabkan henti napas (> 6 mmol / L) atau henti jantung (> 8 mmol / L). Konsentrasi magnesium plasma yang meningkat lebih lanjut dapat menyebabkan penurunan kesadaran.

Pengobatan toksisitas magnesium berat terdiri dari pemberian kalsium glukonat intravena dan jika diperlukan dapat diberikan dukungan ventilasi.

Ekskresi magnesium melalui ginjal dapat ditingkatkan dengan pemberian loop diuretik bila fungsi ginjal dalam kondisi normal sedangkan pada pasien dengan hipermagnesemia dan insufisiensi ginjal maka hemodialisis tetap menjadi pilihan utama (Herroede et al., 2011 ; Do SH, 2013).

commit to user

(17)

B. KERANGKA TEORI

: Yang diteliti : Yang tidak diteliti

: Yang menyebabkan : Yang menghambat Anestesi Umum dengan Laringoskopi dan Intubasi

Endotrakea

commit to user

(18)

C. KERANGKA KONSEPTUAL

: Yang menyebabkan : Yang menghambat

D. HIPOTESIS

MgSO4lebih efektif dibandingkan lidokain 2% dalam mencegah gejolak hemodinamik pasca laringoskopi dan intubasi.

Keterangan

Anestesi Umum dengan Laringoskopi dan Intubasi

Endotrakea

Instrumentasi jalan napas dengan laringoskop dan ETT

commit to user

Gambar

Gambar 1. Struktur kimia lidokain (Stoelting, 2015) a. Farmakodinamik
Gambar 2. Mekanisme kerja MgSO 4 (Herroede et al., 2011).

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil perhitungan skor persepsi aparat Pemerintah Kota Jambi yang menjadi responden terhadap kegunaan dan kemudahan penggunaan aplikasi SiKesal, menunjukkan bahwa secara

pengontrolan negara terhadap bentuk-bentuk protes yang nyata, LSM di Indonesia lebih memilih untuk bergerak di bawah payung slogan-slogan pembangunan pemerintah sambil

Bank Tabungan Negara (persero) Tbk. Syariah Semarang.Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif.Alat analisa yang digunakan adalah analisis regresi

Masa jabatan Presiden (juga Wakil Presiden) adalah lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama dalam satu masa jabatan saja (pasal 7 UUD 1945

Pada Gambar 1 dapat dilihat pengaruh dari konsentrasi plasticizer dan penambahan filler terhadap kuat tarik yang dimiliki bioplastik.. Gambar 1 Pengaruh konsentrasi plasticizer

Hasil asuhan kebidanan secara komprehensif pada Ny “S” sela ma kehamilan trimester II dengan nyeri punggung sudah teratasi, pada persalinan dengan persalinan

Maka dari itu penulis mencoba membuat inovasi baru untuk sistem informasi geografis pemetaan tempat wisata di Berastagi yang tertuju untuk semua wisatawan lokal

Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi yang di dominasi sektor-sektor pariwisata tertinggi dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selain itu,