• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Latar Belakang

Setiap anak adalah istimewa dan setiap anak merupakan amanah dari Tuhan yang harus dijaga, dirawat, dan dibimbing dengan sebaik-baiknya. Anak merupakan anugerah berharga bagi setiap keluarga dan setiap orang tua tentu mengharapakan kehadiran anak yang sehat secara jasmani dan rohani. Namun tidak setiap anak yang dilahirkan tumbuh dan berkembang sesuai dengan yang diharapkan. Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang memiliki ciri yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya, mereka mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya. (Atmaja, 2018)

Salah satu jenis anak berkebutuhan khusus yaitu anak tunagrahita.

Menurut Soemantri tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. (Somantri, 2006)

Menurut pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa III (2013) tunagrahita adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hambatan keterampilan selama masa perkembangan. (Muslim, 2001)

American Asociation on Mental Deficiency (2010) mendefinisikan

tunagrahita sebagai suatu kelainan yang fungsi intelektual umumnya di bawah rata- rata, yaitu IQ 84 ke bawah. Biasanya anak- anak tunagrahita akan mengalami kesulitan dalam “Adaptive Behavior” atau penyesuaian perilaku.

(AAIDD, 2010).

Menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (2013) menjelaskan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang mengalami keterbatasan atau keluarbiasaan, baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional, yang berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia dengannya. (Winarsih et al., 2013).

(2)

Dari pengertian anak tunagrahita yang telah uraikan dari para ahli maka dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita merupakan anak yang memiliki IQ di bawah 80 dan mengalami keterlambatan/ hambatan dalam mental, bahasa, sosial dan perilaku adaptif lainya dalam masa perkembangan.

Dalam hal ini anak tunagrahita tidak dapat mencapai kemandirian yang sesuai dengan ukuran (standard) kemandirian dan tanggung jawab sosial anak normal lainnya dan juga akan mengalami masalah dalam keterampilan akademik dan berkomunikasi dengan kelompok usia sebaya, jika tidak ada bimbingan serta arahan dari orang tua.

Dijelaskan dalam Peraturan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Dan dijelaskan juga Pasal 5 ayat (2) Warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. (Kebudayaan, 2003). Kemudian Peraturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 45 ayat (2) disebutkan bahwa orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anak itu dapat berdiri sendiri (Pemerintah et al., 2019)

Dari beberapa uraian tentang anak tunagrahita sangat diperlukan usaha- usaha dan keterlibatan orang tua dalam mengasuh anak tunagrahita agar anak tunagrahita dapat tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Bagi anak tunagrahita memang sulit untuk belajar mandiri karena keterbatasan intelektual dan perilaku sosial, peran orang tua seutuhnya sangat diperlukan bagi keberlangsungan hidup mereka. Kepada orang tua mereka untuk diasuh dengan penuh cinta dan kasih sayang. (Murtiningsih, 2013)

Masalah seringkali ditemukan pada anak berkebutuhan khusus, terutama pada anak dengan keterbatasan intelektual ditemukan adanya ketidakmampuan dalam mengontrol emosional dan sosial, kosa kata yang sedikit, reaksi yang lambat, rentang perhatian pendek, ketidakmampuan untuk melakukan generalisasi, kesulitan dalam berbahasa serta membutuhkan hal-hal yang sederhana dalam kehidupan sehari-hari (Maria et al, 2013). Sedangkan masalah

(3)

perilaku yang muncul pada anak dengan keterbatasan intelektual, yaitu stereotif, impulsive, iritabel dan agesif (Khosali, 2013). Orang tua memegang peranan penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya.

Pendidikan orang tua terhadap anak-anaknya adalah pendidikan yang didasarkan pada rasa kasih sayang terhadap anak-anak dan yang diterimanya dari kodratnya.

Oleh karena itu, kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya hendaklah kasih sayang yang sejati (Purwanto, 2009). Dalam upaya menghasilkan generasi mandiri diperlukan adanya usaha yang konsisten dan kontinu dari orang tua di dalam melaksanakan tugas orang tua yaitu memelihara, mengasuh dan mendidik anak-anak mereka lahir dan batin sampai anak tersebut dewasa dan mampu berdiri-sendiri, di mana tugas ini merupakan kewajiban orang tua (Gunawan, 2013). Secara sederhana peran orang tua dapat dijelaskan sebagai kewajiban orang tua kepada anaknya. Menurut Lestari menyatakan bahwa peran orang tua adalah cara-cara yang digunakan oleh orang tua mengenai tugas-tugas yang mesti dijalankan dalam mengasuh anak. (Lestari, 2012) Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa cara orang tua yang digunakan terkait dengan perannya terhadap anak harus benar-benar dijalankan sesuai dengan tugas-tugas yang semestinya dilakukan oleh orang tua, karena cara yang dilakukan orang tua akan menjadi pegangan bagi anak tersebut.

Diantaranya tugas orang tua yaitu wajib memenuhi hak-hak (kebutuhan) anaknya, seperti hak untuk melatih anak menguasai cara-cara mengurus diri, seperti cara makan, buang air, berbicara, berjalan, berdoa, sungguh-sungguh membekas dalam diri anak karena berkaitan erat dengan perkembangan dirinya sebagai pribadi.

Sikap orang tua sangat mempengaruhi perkembangan anak. Sikap menerima atau menolak, sikap kasih sayang atau acuh tak acuh, sikap sabar atau tergesa-gesa, sikap melindungi atau membiarkan secara langsung memengaruhi reaksi emosional anak (Hasbullah, 2011). Kemudian setiap anak siapapun mereka, di manapun mereka, dan bagaimanapun keadaanya pasti

(4)

menginginkan atau mendambakan kehadiran, keberadaan, pengasuhan, dan pendampingan orang tua di dalam kehidupan mereka. (Surbakti, 2012)

Demikian halnya dengan anak tunagrahita, pendampingan orang tua mutlak diperlukan. Hanya saja, dibutuhkan keterampilan khusus di samping cinta kasih sayang orang tua yang mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus. Pemberian pola asuh yang tidak sehat itu salah satu faktor yang menimbulkan ketidakmandirian pada anak-anak yang memiliki anak tunagrahita. Contohnya, salah asuhan pada keluarga inti seperti dengan memanjakan hingga mengakibatkan anak-anak tidak menjadi pribadi yang mandiri, dari pola asuh yang tidak sehat tersebut, dapat menimbulkan stigma- stigma negatif pada masyarakat. Anak-anak berkebutuhan khusus yang tidak bisa mandiri akan terbiasa apa-apa dilayani oleh orang tuanya, sehingga membuat mereka tidak produktif dalam melakukan kegiatan.

Namun selama ini, terdapat orang tua yang belum memahami dalam mengasuh anak tunagrahita, hal ini ditunjukkan dengan wawancara dengan 10 orang tua di kabupaten Kendal yang menyatakan bahwa orang tua anak tunagahita mengharapkan anaknya sembuh dan bisa seperti anak normal lainya, dan tidak sedikit orang tua yang memiliki anak tunagrahita kurang mengetahui apa saja yang dibutuh dalam mengembangkan perkembangan anak tunagrahita seperti berkomunikasi, merawat diri, bersosialisasi, keterampilan dalam menjaga kesehatan dan keselamatan, dan berlatih untuk bekerja agar menjadi bekal kehidupan yang akan datang. Orang tua merasa pesimis dan menganggap dirinya sebagai orang tua tidak dapat mengasuh anak tunagrahita dan mereka hanya mengharapkan anaknya sehat secara fisik dan tidak banyak berharap anaknya dapat mengembangkan kemampuannya dan, berperilaku mandiri apalagi menunjukkan prestasi khusus, orang tua juga berat dalam mengasuh anak tunagrahita.

Seyogyanya orang tua perlu memahami hambatan perilaku pada anak tunagrahita setidaknya pada keterampilan yang dasar atau yang harus dibimbing sedini mungkin, seperti keteraampilan menolong diri sendiri (personal living skill) dan keterampilan dalam hubungan interpersonal dan

(5)

keterampilan dalam menggunakan fasilitas yang diperlukan setiap hari (social living skill).

Sebagai upaya mengatasi hambatan perilaku bagi anak tunagrahita maka perlu mengembangkan kemampuan anak tunagrahita dalam melakukan aktifitas yang berhubungan dengan kehidupan dirinya sendiri dan memberikan perlakuan serta perhatian khusus sehingga mereka tidak membebani orang lain.

Benjamin S. Bloom mengatakan bahwa pemahaman (comprehension) adalah kemampuan sesorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. (Sudjiono, 2011) Dengan arti lain orang tua mengerti tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa seseorang dikatakan memahami sesuatu apabila dia dapat memberikan penjelasan atau uraian yang lebih rinci tentang hal yang telah dipelajari dengan menggunakan bahasanya sendiri. sehubungan dengan hal tersebut perlu ada pemahan untuk orang tua tentang anak tunagrahita

Orang tua setuju jika di adakan pelatihan mengasuh anak karena orang tua merasa sangat memerlukan diharapkan dengan adanya pelatihan mengasuh anak orang tua akan mendapatkan wawasan serta pemahaman tentang bagaimana mengasuh anak bagi orang tua sehingga dalam mengasuh anak dapat memberikan yang sesuai dengan kondisi anak.

Berdasarkan penjelasan di atas maka perlu dikembangkan model pelatihan orang tua dalam mengasuh anak tunagrahita yang produknya dapat digunakan oleh orang tua dalam mengasuh anak tunagrahita.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat ditarik rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana pemahaman orang tua dalam mengasuh anak tunagrahita dan kebutuhan modul pelatihan mengasuh anak bagi orang tua anak tunagrahita?

2. Bagaimana pengembangan modul mengasuh anak bagi orang tua anak tunagrahita?

(6)

3. Bagaimana kelayakan (validitas) modul pelatihan orang tua untuk dalam mengasuh anak tunagrahita?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan pemahaman orang tua dalam mengasuh anak tunagrahita dan kebutuhan modul pelatihan mengasuh anak bagi orang tua anak tunagrahita

2. Mendeskripsikan pengembangan modul pelatihan mengasuh anak bagi orang tua anak tunagrahita yang sesuai untuk dikembangkan dalam upaya orang tua dalam mengasuh anak tunagrahita

3. Mendeskripsikan kelayakan (validitas) modul pelatihan orang tua dalam mengasuh anak tunagrahita

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

pengalaman tentang media modul pelatihan mengasuh anak bagi orang tua anak tunagrahita

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Orang tua, mendapat pengetahuan tentang bagaimana mengasuh anak tunagrahita

b. Bagi Anak Tunagrahita, mendapatkan pengasuhan yang sesuai dengan kebutuhan dan mendapatkan layanan yang sesuai dengan kebutuhan.

c. Bagi Peneliti yaitu menambah pengetahuan dan wawasan dalam mengasuh anak tunagrahita

d. Sebagai refrensi penelitian selanjutnya E. Asumsi dan Keterbatasan Penelitian

1. Asumsi Penelitian

Asumsi penelitian ini adalah modul yang akan dikembangkan akan valid karena akan melalui uji validitas dari beberapa ahli dan praktisi.

Modul mengasuh anak bagi orang tua anak tunagrahita yang

(7)

dikembangkan akan menunjang ketercapaian pemahaman orang tua dalam mengasuh anak tunagrahita dan dapat diterapkan dalam mengasuh sehari- hari.

2. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu dalam pelaksanaan pelatihan mengasuh anak bagi orang tua anak tunagrahita tidak dilaksanakan rutin.

Hal-hal yang bisa jadi penyebab modul sulit untuk diterapkan kerena pandemi covid-19 selain itu orang tua anak tunagrahita kurang piawai dalam menggunakan gadeg sehingga dalam penelitian ini hanya 21 subyek. Modul ini tidak ada uji keefektian. Melainkan uji kelayakan oleh praktisi/ guru pendidik luar biasa di SLB Negeri dan SLB Swadaya Kab.

Kendal.

Referensi

Dokumen terkait

Wawancara awal dari studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti dengan orang tua anak tunagrahita mampu latih (imbecil) di SDLB Mandiraja, pada tanggal 22 Oktober 2010,

Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung

Orang tua harus bersabar dan menumbuhkan kasih sayang dalam mendidik anak tunagrahita dengan menciptakan emosi yang positif, karena jika tidak dengan kesabaran dan

Q.S.. sebagainya, akhirnya antara anak dengan orang tua jarang bertemu karena orang tua berangkat pagi dan kembali sampai larut malam. Kemudian anak bergaul di

Orang tua sangat berperan penting dalam mengawasi anak-anaknya ketika menonton acara televisi yang terdapat aspek untuk pembentukan karakter, karena pada saat ini sedang

Data yang digunakan dalam analisis pemanfaatan ini diperoleh dari hasil observasi, wawancara pengguna tempat bermain dan hasil wawancara (kuesioner) orang tua yang memiliki

Menurut Baumrind (dalam Papila, dkk 2010) terdapat 3 pola asuh orang tua yang menggambarkan pola perilaku umum dari anak yang dibesarkan dengan masing-masing cara

Penulis tertarik mengangkat Skripsi yang berjudul “Hubungan Pengetahuan Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut Orang tua dengan Status Kebersihan Gigi dan Mulut anak tunagrahita di