• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1

Anak merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah SWT sebagai pelengkap kebahagiaan keluarga dan tercapainya tujuan berumah tangga. Setiap orang tua idealnya menginginkan anak yang terlahir sempurna. Orang tua mendambakan memiliki anak yang sehat secara jasmani maupun rohani, harapan terbesar orang tua adalah anak yang dihadirkan oleh Allah SWT sebagai anak yang sehat secara kognitif maupun emosional. Namun pada kenyataannya tidak semua anak yang terlahir normal, ada anak yang terlahir dengan kebutuhan khusus yang membutuhkan pengasuhan dan pendidikan khusus. Anak dengan karakteristik seperti ini disebut dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

(2)

ABK memang sangat berbeda dari anak-anak pada umumnya, karena ABK tidak bisa dituntut untuk meningkatkan kemampuan dalam menerima pelajaran di sekolah seperti anak pada umumnya. Mangunsong (2009) menjelaskan bahwa anak-anak yang berkebutuhan khusus sering dianggap sebagai “tamu” di kelas reguler, sekedar diberi izin untuk berada di dalam

kelas tanpa hak penuh sebagai anggota kelas. Hal ini bisa menyebabkan anak-anak berkebutuhan khusus tidak bisa secara maksimal dalam mengembangkan keterampilan yang mereka punya. Oleh karena itu hadirlah Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk pendidikan ABK. Berdasarkan UU No.20 tahun 2003 pasal 32 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

(3)

anak tunagrahita yang membutuhkan pengasuhan dan perhatian khusus dari orang tua. Tuntutan akan pekerjaan dan finansial dapat mendorong orang tua untuk mengurangi jam kerja demi mendidik dan memperhatikan anaknya, sehingga dengan pengorbanan yang seperti ini orang tua mengharapkan perubahan yang signifikan pada diri anak.

Secara umum ABK dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu tunanetra (gangguan fungsi indera penglihatan), tunarungu (gangguan fungsi indera pendengaran), tunagrahita (keterbelakangan mental), tunadaksa (gangguan fungsi gerakan motorik), tunalaras (gangguan fungsi emosi dan sosial). Peraturan menteri No.70 tahun 2009 mengklarifikasikan ABK dengan lebih rinci yaitu tunanetra, tunarungu, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba, tunaganda, dan memiliki kelainan lainnya.

(4)

Tabel 1.1 Jumlah Anak Tunagrahita di SLB Negeri 2 Padang

No

Jenjang pendidikan

Kelas

Jenis kelamin

Jumlah

C C1

L P L P

1 SDLB 1 7 1 8 1 17

2. 2 2 4 3 4 13

3. 3 - - 3 2 5

4. 4 1 3 - - 4

5. 5 5 - - - 5

6. 6 - - 3 3 6

Jumlah SD 15 8 17 10 50

7. SMPLB 1 6 9 3 3 21

8. 2 - 4 - - 4

9. 3 - - - 3 3

Jumlah SMP 6 13 3 6 28

10. SMALB 1 - - 3 2 5

11. 2 - - - - -

12. 3 - - - - -

Jumlah SMA - - 3 2 5

(5)

Keterangan :

C : Lokal Tunagrahita Berat CI : Lokal Tunagrahita Sedang

Tunagrahita merupakan kata lain dari retardasi mental yang berarti keterbelakangan mental. Tunagrahita adalah kelainan pada pertumbuhan dan perkembangan pada mental intelektual (mental retardasi) sejak bayi atau dalam kandungan dan anak-anak yang disebabkan oleh faktor organik biologis maupun faktor fungsional, adakalanya disertai dengan cacat fisik. Anak tunagrahita memiliki tingkat kemandirian yang rendah sehingga membutuhkan perhatian dan bimbingan orang tua secara khusus agar anak tunagrahita dapat terlatih dalam mengurus dirinya sendiri.

Observasi pertama yang peneliti lakukan di SLB Negeri 2 Padang pada Senin (04/07/16) terlihat bahwa orang tua tampak kesulitan menghadapi anaknya ketika anaknya berlari-lari di sekitar sekolah dan berbicara dengan suara keras sehingga menggangu orang lain. Selanjutnya, dalam wawancara yang peneliti lakukan pada Senin (26/09/16) dengan salah seorang Ibu (IF) yang memiliki anak (FG) dengan gangguan tunagrahita dinyatakan oleh IF bahwa :

(6)

dibanding adiknya yang normal, karena kalau kita tidak sabar maka emosi saja yang akan timbul, kalau emosi sudah timbul akan berakibat kita sering memarahi anak jadinya, juga mendidik FG perlu perhatian khusus sehingga saya sebagai Ibu harus mengurangi jam kerja dan ayah juga harus mendampingi FG belajar dirumah, begitulah lika-liku saya sebagai orangtua. Saya merasa bahagia sekarang karena saya sering merenung bahwa banyak anak orang lain yang lebih parah dari ini, sehingga saya mampu bersyukur”. (Wawancara pada senin, 26 september 2016 Pukul 12.00 s.d 12.45 WIB).

Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat dijelaskan bahwa IF pada awalnya tidak menerima keadaan anaknya dan shock ketika menerima hasil bahwa anaknya mengalami gangguan tunagrahita sehingga IF dan suaminya harus berjuang untuk mengetahui lebih dalam lagi cara mendidik anak tunagrahita. IF juga menyatakan bahwa dalam mendidik anak tunagrahita dibutuhkan kesabaran yang tinggi untuk mengendalikan emosi agar orang tua tidak mudah marah ketika menghadapi anaknya. Marah merupakan salah satu ciri-ciri dari adanya afek negatif pada diri seseorang yang ditandai dengan ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan emosi. Menurut Diener (2007), Afek negatif salah satunya ditandai dengan seseorang merasa tidak gembira atau marah. Afek negatif merupakan salah satu aspek dari kesejahteraan subjektif. Aspek kesejahteraan subjektif terdiri dari adanya afek positif, afek negatif dan kepuasan hidup.

(7)

oleh seseorang dapat diindikasikan dengan afek positif dan afek negatif. Individu yang mengalami afek positif biasanya memiliki ciri-ciri yaitu gembira, mempunyai semangat yang baik, terlihat sangat bahagia, tenang dan penuh kedamaian, merasa puas, dan totalitas dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan individu yang memiliki afek negatif memiliki indikasi sikap tidak memiliki kegembiraan, gelisah, tidak nyaman, tidak memiliki harapan, tidak berusaha untuk mewujudkan impian, merasa tidak berharga (Corey & Jeana dalam Snyder, C.R & Lopez, Shane J. 2007:412).

Kepuasan hidup merupakan kesejahteraan yang timbul karena tercapainya tujuan yang diinginkan. Namun pada kenyataannya, tujuan yang ingin dicapai oleh individu terkadang tidak sesuai dengan apa yang ia dapatkan sehingga menimbulkan afek negatif. Menurut Emmons (Firmansyah & Lisyanti, 2014:4) afek negatif berhubungan dengan kebingungan seseorang terhadap tujuannya dan konflik dengan tujuannya. Afek negatif merupakan respon seseorang terhadap segala sesuatu yang berada di luar dirinya yang menyebabkan individu memiliki perasaan yang negatif atau bisa dikatakan memiliki emosi negatif. Isen (1997) memakai istilah “Emosi” sebagai respon spesifik yang disebabkan oleh stimulus yang

(8)

dorongan-dorongan yang positif. Seseorang yang memiliki emosi yang positif cenderung merasakan kebahagiaan dalam hidup. Jika seseorang lebih banyak memiliki emosi yang positif dalam dirinya, maka seseorang akan lebih mudah dalam mengatur dan mengontrol emosi negatif yang tiba-tiba datang.

Wawancara yang dilakukan pada Senin (01/11/16) di SLB Negeri 2 Padang terhadap salah satu orang tua anak tunagrahita berinisial S mengatakan bahwa :

“D merupakan anak saya satu-satunya karena kakaknya sudah meninggal. Anak saya ini memiliki gangguan tunagrahita. Saya sebenarnya kaget dengan keadaan D yang seperti ini, dia merupakan harapan satu-satunya saya dan istri yang akan membuat saya bangga dengan prestasi dan capaian-capaiannya namun ternyata D mempunyai kelainan. Saya sejak D TK mengurus D secara intens bersama istri, ya beginilah, kami harus bersabar. Karena jika tidak bersabar maka akan terjadi pertengkaran antara saya dan istri akibat emosi karena kewalahan mendidik D. D ini tidak mau diam anaknya, kerjanya berjalan saja terus kalau dibawa kemana-mana, sangat kewalahan saya rasanya namun karena D anak saya juga maka saya mempunyai kewajiban untuk merawatnya walaupun dengan keterbatasan seperti ini, karena menurut saya banyak orang yang lebih susah hidupnya daripada saya sehingga dengan mengingat itu saya mampu bersyukur”. (Wawancara pada Senin, 01 November 2016 pada Pukul 07.30 s.d 07.45 WIB).

Kemudian salah satu orang tua anak tunagrahita berinisial Y juga mengatakan bahwa :

(9)

(Wawancara pada Senin, 01 November 2016 pada Pukul 08.00 s.d 08.32 WIB).

Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat dijelaskan bahwa orang tua anak tunagrahita bisa menerima keadaan anaknya salah satunya disebabkan faktor bersyukur dan yakin bahwa anak yang dititipkan oleh Allah SWT adalah anugerah sekaligus ujian yang menguji keimanannya. Hal ini dapat menjadi faktor timbulnya kepuasan hidup dalam diri orang tua ketika mengevaluasi pengalaman-pengalamannya di masa lalu.

Dalam penelitian (Hambali, Adang dkk, 2015) menjelaskan bahwa orang tua yang memiliki ABK bersyukur disebabkan oleh penerimaan diri atas keadaan yang dialami sebagai takdir yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, pengetahuan, pengalaman dan kondisi spiritual serta rasa apresiasi yang hangat untuk sesuatu yang didapatkan, serta kecenderungan untuk berbuat positif, hal ini merupakan perwujudan dari rasa syukur orang tua terhadap kehidupan dan takdir yang Allah berikan kepadanya. Dari hasil penelitian ini juga disimpulkan bahwa dengan bersyukur maka kesejahteraan subjektif pada diri orang tua ABK dapat tercipta.

(10)

namun anak bisa menjadi ujian ketika apa yang diharapkan oleh orang tua

Artinya :”Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dan (juga) jangan kamu mengkhianati amanat – yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahui lah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian dan Sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang lebih besar”.

Berdasarkan observasi kedua yang peneliti lakukan pada Selasa (02/11/16) di SLB Negeri 2 Padang terlihat bahwa orang tua anak tunagrahita tergesa-gesa dalam mengurus kebutuhan anaknya sehingga banyak pekerjaan yang tidak terselesaikan dengan baik, namun orang tua terlihat tersenyum ketika melihat anaknya berbaris dengan rapi di lapangan sekolah untuk mendengarkan pengumuman yang disampaikan oleh guru SLB. Selanjutnya wawancara yang peneliti lakukan pada waktu yang sama pada ayah dari IS yang memiliki anak tunagrahita menyatakan bahwa :

(11)

ini, namun karena isteri mampu memahamkan dan menasehti saya bahwa semua yang telah terjadi merupakan anugerah dan takdir dari Allah SWT, jadi kita harus menerimanya agar mendapatkan pahala yang besar dari sisi Allah SWT”. (Wawancara pada Selasa, 02 November 2016 pada Pukul 07.30 s.d 07.43 WIB).

Maka dari wawancara yang telah peneliti lakukan dapat dijelaskan bahwa orang tua anak tunagrahita cenderung terkejut ketika menerima keadaan anaknya sebagai kategori anak berkebutuhan khusus (ABK). Orang tua tidak puas dengan keadaan anaknya, karena orang tua mengharapkan anaknya bersekolah di sekolah umum dan bisa membanggakan orang tua. Namun pada kenyataannya anaknya harus memasuki Sekolah Luar Biasa (SLB) dan membutuhkan perhatian khusus. Selain itu, orang tua juga harus maksimal menunggu anaknya di sekolah sampai pulang sekolah. Hal ini menyebabkan tersitanya waktu orang tua yang seharusnya bekerja mencari uang namun karena keadaan anaknya yang membutuhkan perhatian khusus mendorong orang tua untuk mengurangi jam kerjanya. Dari hasil wawancara disebutkan bahwa bahwa orang tua anak tunagrahita memiliki kepuasan hidup yang rendah dan adanya afek negatif yang lebih tinggi daripada afek positif.

Hasil wawancara pada Rabu (14/12/16) dengan orang tua ABK yang anaknya memiliki kekhususan dalam tunagrahita di SLB Negeri 2 Padang mengatakan bahwa :

(12)

menerima keadaan anak saya dan kehidupan saya seperti ini” (Wawancara pada Rabu, 14 Desember 2016 pukul 10.00 s.d 10.12 WIB).

Hal ini juga dapat dilihat dari data di bawah ini : Tabel 1.2

Data Awal

Kondisi Kesejahteraan subjektif orang tua anak tunagrahita

(13)

optimisme yang tinggi mampu membuat ibu menerima keadaan anaknya dan kemudian merawat anaknya dengan baik. Optimisme yang tinggi akan mendorong seseorang dalam kesejahteraan subjektif yang menentukan kualitas hidup seseorang. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa menjadi orang tua, khususnya menjadi ibu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, karena untuk menjalankan peran sebagai ibu harus memiliki rasa sabar dan kasih sayang yang tinggi terhadap anaknya.

Bersyukur (gratitude) dapat diartikan sebagai keadaan dalam diri seseorang untuk mengapresiasi segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan atas pengalaman-pengalamannya (Bryant, 1989; Langston, 1994 dalam Snyder, 2007:273). Sedangkan menurut Ibnu Ujaibah (Hambali, 2015), syukur merupakan kebahagiaan hati atas nikmat yang diperoleh yang diikuti dengan pengarahan seluruh anggota tubuh supaya taat kepada Sang Pemberi nikmat serta pengakuan atas segala nikmat yang diberi-Nya dengan rendah hati. Jadi, bersyukur merupakan keadaan dalam diri seseorang untuk menerima segala peristiwa yang terjadi dan mengakui segala nikmat yang diberi-Nya dengan melakukan segala sesuatu yang dicintai oleh-Nya.

(14)

Dalam penelitian Dewanto & Retnowati (2015) dijelaskan bahwa semakin sering seseorang bersyukur maka semakin bertambah pengalaman emosi positif dalam kehidupannya, hal ini akan menyebabkan tingginya afek positif dan munculnya kepuasan hidup dalam diri seseorang. Emmons (Snyder & Shane, 2002) menyebutkan bahwa seseorang yang penuh rasa syukur diasumsikan sebagai seseorang dengan motivasi yang tinggi dan merasakan kepuasan terhadap dirinya sendiri (Snyder & Shane, 2002:275). Selain itu, Emmons (Snyder & Shane, 2007) juga menyebutkan bahwa bersyukur merupakan sebuah strategi yang efektif untuk meningkatkan afek positif yang mampu mengendalikan emosi seseorang. Bersyukur erat kaitannya dengan kebermaknaan, kebahagiaan, dan harapan (Snyder & Shane. 2007:330). Kebahagiaan merupakan nikmat yang Allah berikan kepada hamba-hambaNya yang mampu bersyukur, sebagaimana dalam firman-Nya yang berbunyi : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, sesungguhnya adzab-ku sangat pedih”

(15)

menjadi masyarakat yang memiliki etika (Wei, Lu & Gao, Fangfang. 2016). Kedua, meningkatkan kinerja yang positif dalam hubungan sosial dan psikis serta mental yang sehat dalam menjalani kehidupan sehari-hari (Corey &Jeana dalam Snyder, C.R & Lopez, Shane. 2007). Ketiga, membentuk kelekatan yang hangat antara orang tua dan anak (Chen X., Xing Z., Ran, Guangming., Ma, Yuanxiano, 2016). Keempat, menyebabkan seseorang bersemangat dalam melakukan kegiatannya (Imawati, Lola., Sami’an, 2015). Kelima,

menyebabkan terciptanya penyesuaian diri yang baik dengan lingkungan (Firmansyah, Ibnu & Widuri, Erlina. 2014). Keenam, menyebabkan seseorang memiliki resiliensi dan altruisme yang tinggi (Yuniana, 2013). Berdasarkan penjelasan di atas dijelaskan bahwa kesejahteraan subjektif sangat dibutuhkan seseorang karena salah satunya mampu membentuk kelekatan yang hangat antara orang tua dan anak.

(16)

Berdasarkan pembahasan di atas, dikemukakan bahwa kesejahteraan subjektif sangat dibutuhkan untuk orang tua, terutama pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus dengan kekhususan tunagrahita. Dari hal tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui “Hubungan Bersyukur (Gratitude) dengan Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well Being) pada

Orang Tua yang Memiliki Anak Tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang”

1.2 Identifikasi Masalah

(17)

1. Orang tua yang memiliki anak tunagrahita memiliki kesejahteraan subjektif ketika mampu bersyukur atas kehidupannya sebagai takdir yang telah diberikan oleh Allah SWT.

2. Orang tua yang memiliki anak tunagrahita berusaha dalam membesarkan anak tunagrahita dan mengusahakan pendidikan yang optimal sebagai wujud rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.

3. Orang tua anak tunagrahita merasa shock dan bingung ketika mendidik ABK sehingga menimbulkan afek negatif di dalam dirinya.

4. Orang tua anak tunagrahita mampu bersabar dalam mendidik anaknya sehingga menimbulkan afek positif di dalam dirinya.

5. Orang tua anak tunagrahita tidak merasa puas dengan hidupnya ketika mengevaluasi pengalaman-pengalamannya dalam mendidik anak tunagrahita, sehingga dengan hal itu dapat menyebabkan orang tua memiliki kepuasan hidup yang cenderung rendah dibanding orang tua anak yang normal.

1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka dapat disimpulkan beberapa batasan masalah dalam penelitian agar fokus penelitian menjadi lebih terarah, diantaranya adalah :

(18)

2. Seberapa tinggi tingkat Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well Being) pada orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang?

3. Apa hubungan Bersyukur (Gratitude) dengan Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well Being) pada orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang?

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka perlu sebuah pertimbangan untuk merumuskan sebuah masalah agar lebih mudah untuk melakukan sebuah penelitian. Adapun yang menjadi rumusannya adalah: “Apakah ada hubungan Bersyukur (Gratitude) dengan Kesejahteraan

Subjektif (Subjective Well Being) pada orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang?”.

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui tingkat Bersyukur (Gratitude) orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang.

2. Untuk mengetahui tingkat Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well Being) orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota

(19)

3. Untuk mengetahui hubungan Bersyukur (Gratitude) dengan Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well Being) orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang.

1.6 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Tambahan khazanah keilmuan bagi peneliti sebagai calon sarjana Psikologi dengan mengkaji tentang hubungan Bersyukur (Gratitude) dengan Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well Being) pada orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang. b. Tambahan khazanah keilmuan bagi dosen dan mahasiswa yang

tertarik pada judul ini serta instansi terkait khususnya dalam bidang psikologi islam dan psikologi positif.

c. Untuk memberikan sumbangsih pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang psikologi islam dan psikologi positif serta menerapkan teori-teori yang sudah dikemukakan sebelumnya.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat mengetahui bagaimana Bersyukur (Gratitude) dan Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well Being) orang

tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang, Sekaligus juga memberikan gambaran mengenai hubungan Bersyukur (Gratitude) dengan Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well Being) pada

(20)

3. Manfaat Bagi Peneliti

Penelitian ini merupakan kesempatan untuk menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh selama kuliah. Hasil penelitian ini dapat memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar S.Psi (Sarjana Psikologi) di Jurusan Psikologi Islam Fakultas Ushuluddin IAIN Imam Bonjol Padang.

1.7 Sistematika Penulisan Penelitian

Sistematika penulisan penelitian adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN

Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, Definisi Operasional, penjelasan judul, metodologi, dan sistematika penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI

Dalam bab ini berisi tentang landasan teori yang mendasar tiap-tiap variabel, hubungan antar variabel, pembentukan hipotesa.

BAB III : METODE PENELITIAN

Metodologi penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, variabel penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, validitas dan reliabilitas, uji coba skala penelitian, dan teknik analisis data.

BAB IV : PEMBAHASAN

(21)

dengan kesejahteraan subjektif orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Padang. Sumber, hasil uji hipotesis, dan terakhir pembahasan.

BAB V : PENUTUP

Gambar

Tabel 1.1 Jumlah Anak Tunagrahita di SLB Negeri 2 Padang

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan muatan kurikulum di SMA dan MA, masalah-masalah yang dihadapi remaja pada jenjang sekolah menengah serta perbedaan hasil penelitian dari Rosemary (2008) yang menyebutkan

Berikut merupakan salah satu contoh pengujian yang dilakukan pada aplikasi ARMIPA yaitu pengujian ketepatan titik lokasi pada peta dan kamera dengan markerless

Komunikasi dan Informatika, yang mencakup audit kinerja atas pengelolaan keuangan negara dan audit kinerja atas pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Komunikasi dan

dimana analisis mutu dilakukan pengujian dilaboratorium yang meliputi uji kuat tarik untuk material baja ringan benda uji dibuat menjadi spesimen berdasarkan standar ASTM

Pada Ruang Baca Pascasarjan perlu dilakukan pemebersihan debu baik pada koleksi yang sering dipakai pengguna maupun

Menurut teori hukum Perdata Internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan laju perubahan tata guna lahan yang cukup tinggi. Kondisi tersebut ditandai dengan laju deforestrasi baik disebabkan

value Teks default yang akan dimunculkan jika user hendak mengisi input maxlength Panjang teks maksimum yang dapat dimasukkan. emptyok Bernilai true jika user dapat tidak