• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Kesimpulan BAB V PENUTUP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "A. Kesimpulan BAB V PENUTUP"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

109 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penelitian ini yang fokus terhadap Partai Golkar sebagai objek penelitian, menunjukkan bahwa pola rekrutmen perempuan di internal partai Golkar tidak jauh berbeda dengan partai lainnya. Meskipun Partai Golkar pada dasarnya memiliki peraturan yang mapan dalam proses seleksi kandidat. Hal tersebut didasarkan pada misi Partai Golkar dalam basis rekrutmen, yang merekrut kandidat berdasarkan sistem prestasi (merit system). Tapi, penelitian ini menunjukkan bahwa dalam rekrutmen kandidat perempuan, Partai Golkar masih tidak lepas dari pola oligarkis yang dalam rekrutmennya seringkali berlandaskan hubungan kekerabatan dan kedekatan.

Implikasi dari pola kandidasi yang memiliki kecenderungan oligarkis yang dijalankan oleh Partai Golkar adalah kualitas caleg perempuan terpilih yang tidak merata. Imbasnya peran anggota legislatif perempuan di parlemen sangat bergantung pada setting dari partai politik. Sehingga seringkali aggregasi kepentingan politik yang berkaitan dengan isu-isu perempuan tidak berjalan dengan maksimal. Hal tersebut disebabkan peran fraksi partai di parlemen yang dominan seringkali menganggap isu-isu perempuan bukan isu yang “menjual”. Pada akhirnya kualitas dari anggota legislatif perempuan tidak ditunjukkan secara maksimal. Akibatnya banyak anggota legislatif perempuan petahana yang tidak terpilih kembali pada pemilu 2014. Karena, program anggota legislkatif perempuan tidak berjalan maksimal, sehingga tidak begitu menyentuh konstituen.

Berdasarkan hasil perolehan suara dalam pemilu legislatif tahun 2014, yang menunjukkan bahwa besaran presentase kuantitas perempuan sebagai calon anggota

(2)

110

legislatif tidak menjadi ukuran keberhasilan kebijakan affirmative action. Presentase tingkat pencalonan pada pemilu 2014 yang meningkat mencapai 37%, berbanding terbalik dengan presentase perempuan di parlemen yang perolehannya menurun di bandingkan pemilu sebelumnya. Besaran tingkat pencalonan perempuan berbanding terbalik dengan presentase perempuan di parlemen merupakan gambaran bahwa partai politik belum serius dalam memperjuangkan kebijakan affirmative acttion.

Besaran tingkat pencalonan hanya sekedar administratif, karena sempitnya landasan rekruitnen caleg perempuan.

Kegagalan 82.4% caleg perempuan petahana Partai Golkar pada pemilu legislatif 2014 menjadi contoh bahwa partai Golkar belum berhasil memperjuangkan kebijakan affirmative action sebagai bentuk komitmen untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua persoalan perempuan dalam politik, yaitu masalah partisipasi perempuan yang masih rendah dan masalah belum adanya platform partai yang secara konkret membela kepentingan perempuan. Hal ini melihat dari kenyataan bahwa partai politik mencoba menerapkan kebijakan affirmative action bukan untuk mengakomodasi perempuan tetapi merupakan bagian dari caranya mempertahankan eksistensi dan memperjuangkan kepentingan partai politik. Hal tersebut dikarenakan pola kandidasi yang masih cenderung oligarkis dan sangat bergantung kepada keputusan para petinggi partai. Pada akhirnya setelah terpilih anggota legislatif perempuan kembali dihadapkan pada persoalan baru yakni harus tunduk dan patuh pada keputusan partai politik yang diwakili oleh fraksi.

Peran fraksi begitu besar dalam menentukkan kinerja kader partainya di parlemen. Jika ada anggota yang berbeda sikap dalam menyikapi sebuah kebijakan, ketua fraksinya akan memanggil yang bersangkutan dan bisa saja berujung pada pemberian sangsi peringatan hingga recall. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu alasan kinerja anggota dewan perempuan dalam memperjuangkan kepentingan perempuan seringkali tidak maksimal sebab harus tunduk dan patuh terhadap keputusan fraksi sebagai representasi dari partai politik. Berdasarkan kenyataan

(3)

111

tersebut, partai politik seharusnya mulai membangu komitmen yang kuat disertai political will untuk mendukung perjuangan perempuan dalam meningkatkan kinerjanya di parlemen. Oleh karena itu, kebijakan affirmative action dalam mendukung keterwakilan perempuan di parlemen tidak hanya berhenti dalam tataran administratif untuk memenuhi persyaratan peserta pemilu atau hanya sebagai pendulang suara.

Pada Pemilu 2014 perolehan suara menunjukkan Partai Golkar juga mengalami penurunan dalam hal presentase keterwakilan perempuan di parlemen, bahkan dari 17 caleg petahana hanya 3 caleg petahana perempuan yang terpoilih kembali pada pemilu 2014. Hal tersebut menegaskan bahwa kebijakan afirmatif hanya sebatas di adopsi oleh partai Golkar saja, yang didorong oleh Undang-undang dan peraturan KPU. Selain itu ruang politik yang dibuat oleh partai di parlemen masih belum maksimal dalam mengakomodasi ide-ide anggota legislatif perempuan.

Sehingga perannya yang kurang maksimal menjadikan caleg petahana perempuan kurang memiliki daya tawar terhadap konstituen. Hal tersebut berarti Partai Golkar sebagai salah satu partai besar di Indonesia masih belum maksimal dalam mewujudkan parlemen yang ramah gender. Kemunduran yang dialami oleh partai Golkar menunjukkan terdapat berbagai hambatan dalam mewujudkan kebijakan afirmasi, antar lain:

Pertama, Minimnya perempuan yang dilibatkan dalam struktur partai menjadi salah satu hambatan yang mendasar dari menurunnya presentase perempuan di parlemen. Karena peran strategis dari pengurus partai pusat dalam menentukkan arah kebijakan dalam rekrutmen politik yang dijalankan oleh partai Golkar. Peran stratesig struktur partai juga menentukkan keberhasilan calon perempuan dalam kontestasi pemilu. Karena struktur partai memiliki hak untuk menentukan siapa kandidatnya serta nomor urut kandidatnya. Meskipun sistem proporsional terbuka dalam menentukkan caleg terpilih dengan perhitungan suara terbanyak, tapi nomor urut kecil masih menjadi favorit dan merupakan salah satu modal penting dalam pemenangan di pemilu legislatif. Hal tersebut karena masyarakat masih memili

(4)

112

anggapan bahwa nomor urut atas merupakan kandidat unggulan yang berarti secara kualitas cukup baik untuk dipilih menjadi anggota parlemen.

Kedua, pendidikan politik yang masih minim dijalankan oleh partai. Padahal pendidikan politik merupakan salah satu fungsi partai, yang bertujuan untuk mencetak kader-kader yang berkualitas. Kegagalan perempuan dalam kontestasi politik juga disebabkan karena pengetahuan politiknya yang rendah. Karena partai kurang memperhatikan pendidikan politik terutama bagi perempuan. Partai seringkali setengah-setengah dalam menyiapkan kader-kader perempuan untuk menjadi anggota legislatif. Sehingga partai hanya fokus terhadap kuantitas bukan kualitas kader perempuan sebagai syarat administrasi.

Ketiga, modal merupakan alasan kegagalan perempuan dalm kontestasi di pemilu legislatif. Serta sebagai alasan kurangnya minat perempuan untuk terjun ke dunia politik karena terbatasnya modal. Modal juga menjadi tolak ukur bagi Partai Golkar dalam seleksi kandidat di internal partai. Setidaknya terdapat tiga modal utama yang harus dimiliki oleh kandidat caleg perempuan, yaitu modal sosial, modal ekonomi dan modal politik. 3 modal tersebutlah yang merupakan salah satu tolak ukur penyebab terjadinya kenaikan maupun penurunan presentase perempuan di parlemen.

Keempat, Faktor personal/keluarga merupakan salah masalah bagi perempuan yang terjun ke dunia politik. Berbeda dengan laki-laki, perempuan yang terjun ke ranah public harus melalui izin dari suami. Karena izin suami sama pentingnya dengan uang suami. Tapi faktor keluarga juga terkadang menguntungkan bagi caleg perempuan, jika selain karena keluarganya mendukung, keluarganya juga memiliki posisi penting di internal partai. Karen pola-pola oligarkis masih menjadi basis rekrutmen politik kandidat perempuan.

Kelima, budaya dimasyarakat masih menjadi faktor penghambat bagi perempuan dalam ranah public. Budaya patriarki yang menenmpatkan perempuan sebagai pelengkap laki-laki sepertinya masih melekat. Meskipun abad 21 dianggap sebaga keruntuhan fenomena patriarki, tapi budaya tersebut masih belum bisa

(5)

113

dihilangkan sepenuhnya. Karena, budaya patriarki juga diterapkan di internal partai.

Partai Golkar menjadi salah satu partai yang menerapkan hal tersebut. Pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan di struktur partai Golkar hanya fatamorgana untuk menutupi minimnya peran perempuan di internal partai. Budaya patriarki jelas terlihat disusunan pengurus DPP partai Golkar yang minim sekali keterlibatan perempuan didalamnya.

Keenam, Ketatnya persaingan internal caleg dalam satu partai di satu dapil dalam mengejar perolehan suara. Ketatnya persaingan tersebut karena pada pemilu legislatif 2014, sistem proporsional terbuka diterapkan sebagai aturan pemilu dengan perhitungan berdasarkan suara terbanyak. Sehingga seringkali dianggap bahwa sistem tersebut semakin mematikan perempuan yang terlibat di dunia politik. Sistem pemilu yang dianggap layaknya perang saudara disuriah, seperti yang diungkapkan oleh caleg perempuan di Partai Golkar.

Ketujuh, tingkat persaingan partai politik yang semakin ketat di tiap dapil.

Perolehan kursi rata-rata satu kursi per partai politik dalam setiap dapil, dengan dominasi caleg laki-laki yang memperoleh suara terbanyak. Sedangkan caleg perempuan yang menang umumnya memiliki hubungan kekerabatan dan kedekatan dengan elit politik partai dan ekonomi. Karena dalam proses seleksi kandidatnya kedekatan tersebut digunakan sebagai strategi pemenangan, seperti penempatan nomot urut.

Kedelapan, ruang politik partai yang dibangun di parlemen masih cenderung bersifat maskulin. Karena, fraksi sebagai wakil partai politik belum maksimal dalam mengakomodasi program-program dan ide-ide dari anggota legislatif perempuan.

Karena seringkali dianggap isu-isu tentang perempuan kurang menjual bagi kepentingan partai. Imbasnya adalah gagalnya para caleg petahan perempuan diparati Golkar untuk terpilih kembali pada pemilu 2014.

Kesembilan, peran yang belum maksimal dari KPP-RI sebagai wadah anggota legislatif perempuan di parlemen yang bertujuan mengakomodasi dan mengadvokasi program-program anggota legislatif perempuan. Bahkan KPP-RI seringkali dianggap

(6)

114

sebagai organisasi simbolik dan formalitas yang kinerjanya belum nyata. Hal ini semakinmenghambat peran perempuan di parlemen untuk dapat bersaing dengan anggota legislatif laki-laki. Karena kuantitas yang terbatas dan kualitas yang terkungkung membuat kinerja anggota legislatif perempuan tidak maksimal.

Sehingga kebiajakan-kebijakan yang ramah gender masih cenderung sulit untuk diimplementasikan.

B. Refleksi Teoritis

Dalam melihat bagaimana proses seleksi dan pola kandidasi perempuan di internal Partai Golkar, penggunaan teori rekruitmen politik merupakan kacamata dalam merefleksikan kajian tersebut. Hazan dan Rahat mengungkapkan bahwa dalam rekrutmen politik terdapat 4 hal utama yang perlu diperhatikan. 4 hal tersebut yang akan menggambarkan bagaimana proses seleksi kandidat berlangsung dan bagaimana pola-model rekrutmen politik yang menjadi pedoman Partai, dalam hal ini Partai Golkar. Hal tersebut adalah siapa yang dinominasikan, siapa yang menseleksi, dimana seleksi kandidat dilakukan dan bagaiman kandidat diseleksi (Hazan & Rahat, 2010).

Pertama, adalah siapa yang dinominasikan, pertanyaan tersebut kemudian menghasilkan model rekrutmen politik yaitu inklusif dan eklusif. Inklusif berarti rekrutmen terbuka, sementara ekslusif berarti rekrutmen tertutup. Dan untuk mekanisme rekruitmen politik di internal Partai Golkar adalah model inklusif dengan beberapa syarat.Model inklusif tersebut berlandaskan pada sistem prestasi (merit system). Sistem tersebut telah diterapkan oleh Partai Golkar yang dicantumkan dalam misi partai Golkar, yaitu melakukan kader-kader yang berkualitas melalui sistem prestasi (merit system) untuk dapat dipilih oleh rakyat dalam menduduki posisi-posisi atau jabatan-jabatan publik (Golkar, 2015). Kedua, Partai Golkar memiliki tim seleksi atau selectorate sebagai penentu calon kandidat yang diajukan pada pemilu legislatif.

Selectorate di Partai Golkar terdiri dari beberapa pengurus harian yang lebih dari satu

(7)

115

orang. Tapi di Partai Golkar Ketua Umum memilik hak preogratif untuk memilih calon kandidat, selain itu juga ketua umum Parta Golkar memiliki hak diskersi, yaitu kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi. Hal ini menunjukkan bahwa model rekrutmen Partai Golkar tidak selamanya inklusif, karena posisi ketua umum yang memiliki hak preogratif dan diskersi.

Ketiga dan Keempat, Dua hal tersebut saling berkaitan karena yang ketiga terkait dimana kandidat diseleksi, sementara yang keempat bagaimana kandidat ditentukan Secara umum dalam proses seleksi kandidat calon anggota legislatif, Partai Golkar menerima usulan kandidat dari tingkat DPD Provinsi terlebih dahulu.

Karena pada tingkatan DPD provinsi, kandidat calon anggota legislatif sudah diseleksi terlebih dahulu berdasarkan tugas fungsionaris yang djalankan oleh kandidat. Kemudian usulan tersebut diterima oleh DPP dan dibahas dalam Rapimnas untuk ditentukan siapa saja Kandidat yang akan diusung partai. Hal tersebut menunjukan bahwa Partai Golkar menggunakan pola desentralisasi dalam seleksi kandidat. Tapi, pola tersebut seringkali dipatahkan karena semua keputusan kandidat yang diseleksi terletak pada tim seleksi. Jadi dalam penerimaan calon kandidat Partai Golkar cenderung dengan pola desentralis, sementara dalam pengambilan keputusannya belum tentu demikian.

C. Rekomendasi

1. Perlunya perubahan peraturan yang terkait kebijakan afirmasi yang terkesan setengah-setengah. Salah satu kebijakan tersebut adalah kebijakan terkait kuota 30% susunan pengurus partai, yang mana kebijakan tersebut tidak secara spesifik memberi gambaran posisi perempuan di struktur partai. Karena seringkali partai politik dalam memenuhi aturan tersebut hanya sekedarnya saja. Padahal pengurus partai merupakan pemegang control strategis di internal partai

2. Mendorong kaderisasi dan keanggotaan perempuan di internal partai.

Karena selama ini alasan utama partai politik sulit untuk memenuhi kuota

(8)

116

30% keterwakilan perempuan adalah karena terbatasnya kader perempuan di internal partai.

3. Perlunya pendidikan politik bagi perempuan di Indonesia. Pendidikan politik tidak hanya member pemahaman kepada para perempuan yang akan maju dalam kontestasi politik, tetapi juga secara umum melibatkan masyarakat. Karena rendahnya pengetahuan politik perempuan menjadi salah satu sebab belum berhasilnya kebijakan afirmasi.

Referensi

Dokumen terkait

Kepemimpinan visioner kepala sekolah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepemimpinan kepala sekolah yang futuristik, artinya kepala sekolah tersebut

Khusus dalam penjabaran indikator kinerja kunci untuk sumber daya manusia, maka hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaannya adalah dosen dan karyawan, mahasiswa,

Faktor kondisi ikan gabus pada penelitian ini 0,884 di rawa lebak Mariana dan 0,839 di rawa lebak Sekayu yang menunjukkan bahwa kondisi lingkungan rawa lebak Mariana lebih

berpikir kritis dibandingkan dengan bahan ajar di sekolah, karena modul sistem reproduksi berbasis berpikir kritis terintegrasi nilai islam dan kemuhammadiyahan

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan kadar profil lipid (LDL, HDL, trigliserida, dan kolesterol total) pada pasien NSTEMI dan STEMI.. Metode: Penelitian

Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh gelombang infrasonik (8-12 Hz) terhadap viskositas darah mencit dapat dilakukan dengan melihat nilai signifikansi pada tabel, jika

Perusahaan pasangan usaha yang termasuk dalam kategori bermasalah atau wanprestasi, maka dilakukan tindakan penyehatan atau penyelamatan dan penyelesaian

Central Omega Resources (DKFT) melalui anak usahanya yaitu PT COR Industri Indonesia telah meningkatkan fasilitas Letter of Credit (LC) pada 24 November 2015 dari Bank Panin