• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN DOSEN MUDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN DOSEN MUDA"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

Nama Rumpun Ilmu : Ekonomi Pertanian

LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN DOSEN MUDA

ANALISIS EKONOMI RUMAH TANGGA PETERNAK SAPI PERAH PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI

DALAM MENDUKUNG PENGHIDUPAN BERKELANJUTAN DI HUNIAN TETAP PAGERJURANG KABUPATEN SLEMAN

TIM PENGUSUL :

Muhammad Fauzan, S.P., M.Sc. Ketua Tim, NIDN 0518078901 Heri Akhmadi, S.P., MA. Anggota Tim, NIDN 0526018201

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

AGUSTUS 2017

(2)
(3)

DAFTAR ISI

Bab I. Pendahuluan 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 4

1.3 Tujuan Penelitian 5

1.4 Luaran Penelitian 5

Bab II. Tinjauan Pustaka 6

2.1 Penghidupan Berkelanjutan 6

2.2 Strategi Penghidupan Berkelanjutan 8

2.3 Ukuran Penghidupan Berkelanjutan 9

2.4. Studi Pendahuluan dan Peta Jalan Penelitian 13

Bab III. Metode Penelitian 15

3.1 Metode Dasar 15

3.2 Metode Penentuan Lokasi Penelitian dan Pengambilan Sampel 15

3.3 Metode Pengumpulan Data 15

3.4 Metode Analisis Data 16

Bab IV. Hasil Dan Pembahasan 20

4.1 Profil Peternak Sapi Perah 20

4.2 Pendapatan Usaha Ternak Sapi Perah 22

4.3 Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Peternak Sapi Perah 24

Daftar Pustaka 26

Lampiran-Lampiran

Lampiran 1 Kuisioner Penelitian

Lampiran 2 Contoh Kuitansi Pembayaran Susu oleh Koperasi

(4)

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Erupsi gunung Merapi yang diawali kejadiannya pada tanggal 26 Oktober 2010 dan mencapai puncaknya pada tanggal 26 Oktober 2010 telah mengakibatkan kerugian sangat besar terhadap kehidupan masyarakat di wilayah tersebut. Korban meninggal dunia mencapai 275 orang, rawat inap sejumlah 576 orang dan pengungsi sebanyak 287.131 orang (BNPB, 2010). Kerugian sumberdaya, antara lain lahan, air, tanaman, dan ternak juga cukup besar, sementara khusus di sektor pertanian kerugian akibat erupsi ini diperkirakan mencapai 5,8 triliun rupiah. Kerugian sangat dirasakan oleh petani dengan usaha salak pondok, peternak sapi rakyat, tanaman pangan (jagung dan padi), dan tanaman lainnya.

Letusan gunung Merapi bukan hanya menelan korban manusia melainkan menghancurkan seluruh kehidupan dan penghidupan (livelihood) masyarakat yang tinggal di lereng gunung Merapi. Seluruh hasil pertanian, perkebunan dan pohon-pohon buah yang menjadi mata pencaharian masyarakat luluh lantak terbakar awan panas bahkan terkubur oleh lahar yang dimuntahkan gunung Merapi (Bawole, 2014). Wilayah Kecamatan Cangkringan merupakan wilayah yang paling parah terkena awan panas, lahar dingin, dan abu vulkanik. Hal ini disebabkan karena kedua sungai besar, Sungai Gondang dan Opak melewati beberapa desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Cangkringan.

Erupsi gunung Merapi telah memberikan dampak yang serius pada usaha peternakan rakyat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari usaha pertanian masyarakat di sekitar wilayah bencana. Sebagai akibat dari erupsi gunung Merapi, wilayah di sekitar gunung tersebut sebagian besar tertutup abu pada berbagai ketebalan, dimana kawasan yang paling banyak tertutup bahan abu adalah lahan-lahan pertanian, termasuk kebun hijauan pakan ternak. Lahan-lahan ini mengalami kerusakan dengan tingkat kerusakan sangat berat sampai kerusakan ringan. Lahar dan abu secara langsung maupun tidak langsung juga menyebabkan kematian ternak.

Ternak ruminansia (domba, kambing, sapi potong, dan sapi perah) di Kabupaten

Sleman mampu memberikan nilai tambah bagi usaha masyarakat. Dari budidaya ternak

(5)

2

tersebut telah dihasilkan daging sebanyak 21.348,86 ton dan susu 4.597,59 ton. Namun, bencana erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 mengakibatkan kematian 235 ekor sapi potong, 180 ekor kambing, dan 2.233 ekor sapi perah.

Kerusakan lahan akibat erupsi Gunung Merapi yang berasal dari awan panas dan guguran lahar di beberapa lokasi sangat beragam. Kerusakan lahan pertanian yang berjarak lebih dekat dengan puncak Gunung Merapi mengalami kerusakan lebih berat dibandingkan dengan yang lebih jauh. Kerusakan fisik lahan dan lingkungan akibat erupsi Gunung Merapi antara lain rumah penduduk dan bangunan lainnya, sumber dan saluran air, dam SABO, tanaman, ternak dll. Kerusakan lain adalah menurunnya kesuburan tanah karena hujan abu, terputusnya akses jalan dan jembatan yang terkena aliran lahar dingin dan menurunnya pendapatan masyarakat karena kehilangan mata pencaharian.

Setelah letusan gunung Merapi, masyarakat di sekitar lereng gunung masih menghadapi berbagai persoalan seperti adaptasi lingkungan baru, mencari sumber penghasilan sementara, memperbaiki tempat tinggal, jumlah pengangguran meningkat seiring dengan belum tersedianya lahan pertanian dan perkebunan yang menjadi andalan masyarakat sekitar, dan sarana infrastruktur seperti rumah, jalan, dan fasilitas umum lainnya mengalami kerusakan. Letusan gunung Merapi bukan hanya sekedar membuat puluhan ribu orang mengungsi tetapi juga telah menimbulkan korban ratusan orang meninggal.

Letusan Gunung Merapi berdampak langsung terhadap perekonomian penduduk di Kabupaten Sleman, terutama di kecamatan yang berada dalam jangkauan bahaya sampai radius 20 km dari puncak gunung, yaitu Kecamatan Turi, Pakem, Cangkringan, dan Ngemplak. Empat kecamatan ini merupakan pusat budidaya peternakan sapi perah, tanaman salak, tanaman hortikultura semusim, dan pariwisata. Dampak tidak langsung adalah terpukulnya perekonomian Yogyakarta yang didominasi oleh sektor pariwisata, jasa, pertanian, dan industri. Beberapa sumber mengemukakan bahwa total kerugian akibat bencana Gunung Merapi diprediksi Rp. 3,5-5 triliun.

Program pembangunan hunian tetap pasca bencana merupakan salah satu program

rekonstruksi pasca bencana sektor permukiman yang dilaksanakan pada tahun tahun 2011

sampai dengan 2013. Pembangunan kembali sektor permukiman dilakukan dengan

(6)

3

memperhatikan kebijakan relokasi yang aman bagi permukiman kembali masyarakat berdasarkan penataan ruang dengan pertimbangan aspek mitigasi dan pengurangan risiko bencana. Pembangunan hunian tetap pasca letusan Merapi tahun 2010 dikoordinasikan oleh Kementerian Pekerjaan Umum melalui mekanisme Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas (Rekompak).

Hunian tetap (Huntap) Pagerjurang merupakan satu dari 18 titik huntap yang merupakan hasil dari Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas (Rekompak) yang selesai dibangun kurang lebih 1 tahun pasca terjadinya erupsi Gunung Merapi. Huntap Pagerjurang merupakan huntap terbesar yang dibangun diatas lahan seluas 5 hektar, dengan 14.146 m2 untuk jalan, 3.618 m2 untuk fasilitas sosial dan fasilitas umum, dan sisanya digunakan untuk ruang terbuka (Prasetia, 2014).

Program permukiman kembali (resettlement) harus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat bukan menambah masalah kemiskinan masyarakat di permukiman yang baru. Keadaan ini menjadi catatan penting sekaligus tantangan bagi Rekompak dalam melakukan program Permukiman Kembali. Seyogyanya pemikiran untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang akan dipindahkan sudah dilakukan pada saat proses pembuatan site plan, sehingga beberapa antisipasi terjadinya proses penurunan tingkat perekonomian masyarakat dan kualitas lingkungan dapat dilakukan dengan baik.

Dengan demikian setiap keluarga yang dipindahkan pada permukiman baru di lokasi Huntap sudah bisa memprediksikan usaha apa yang akan dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup keluarga mereka.

Memukimkan kembali masyarakat pada daerah baru, bukan hanya menyediakan

fasilitas rumah tinggal beserta segala fasilitas infrastrukturnya, melainkan memindahkan

kehidupan masyarakat baik secara individu, keluarga maupun secara komunitas dalam

suatu lingkungan yang baru. Oleh sebab itu aspek sosial-budaya, ekonomi dan kualitas

lingkungan juga harus dipindahkan bersama-sama dengan rumah mereka. Dengan kata lain

melakukan program permukiman kembali berarti memindahkan kehidupan masyarakat

seutuhnya termasuk di dalamnya mata pencaharian (livelihood), sosial-budaya (socio-

culture) dan kesadaran terhadap lingkungan (environmental awareness).

(7)

4 1.2. Rumusan Masalah

Erupsi gunung Merapi telah memberikan dampak yang serius pada usaha peternakan rakyat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari usaha pertanian masyarakat di sekitar wilayah bencana. Sebagai akibat dari erupsi gunung Merapi, wilayah di sekitar gunung tersebut sebagian besar tertutup abu pada berbagai ketebalan, dimana kawasan yang paling banyak tertutup bahan abu adalah lahan-lahan pertanian, termasuk kebun hijauan pakan ternak. Dalam kondisi sebagaimana diuraikan diatas, sebagian besar ekonomi rumah tangga peternak masih sangat bergantung pada hasil usahatani ternak sapi perah.

Penelitian tentang analisis ekonomi rumah tangga peternak menjadi sangat penting untuk diketahui sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan tentang penggunaan teknologi dengan tujuan untuk meningkatkan produksi sekaligus meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Dalam menghadapi kondisi lingkungan yang serba tidak menentu, seorang peternak harus mampu mengalokasikan faktor-faktor produksi yang digunakan sedemikian rupa sehingga usahanya dapat mencapai tingkat yang efisien dan memperoleh pendapatan yang cukup untuk menghidupi keluarganya dan sekaligus mempertahankan penghidupannya secara berkelanjutan.

Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini berdasarkan uraian tersebut adalah :

1. Apakah curahan waktu kerja peternak sapi perah dalam mencari nafkah telah memenuhi kriteria penciptaan hari kerja?

2. Seberapa besar kontribusi pendapatan yang diperoleh dai strategi penghidupan peternak sapi perah terhadap total pendapatan rumah tangga?

3. Bagaimana tingkat kemiskinan dan kesejahteraan rumah tangga peternak sapi perah?

4. Apakah sumber daya alam yang dimanfaatkan peternak sapi perah untuk memenuhi

penghidupannya mengalami keberlanjutan?

(8)

5 1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) rumah tangga peternak sapi perah pasca erupsi merapi di hunian tetap Pagerjurang, Kabupaten Sleman dilihat dari empat elemen kunci penghidupan berkelanjutan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui penciptaan hari kerja (creation of working days) dilihat dari curahan waktu kerja peternak sapi perah dalam mencari nafkah

2. Mengetahui kontribusi pendapatan yang diperoleh dari strategi penghidupan yang dilakukan oleh peternak sapi perah terhadap total pendapatan rumah tangga

3. Mengetahui tingkat kemiskinan dan kesejahteraan rumah tangga peternak sapi perah 4. Mengetahui tingkat keberlanjutan sumber daya alam yang dimanfaatkan peternak sapi

perah untuk mencapai penghidupannya

Dari penelitian ini akan diketahui upaya-upaya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga peternak sapi perah dalam mencapai penghidupan yang berkelanjutan.

1.4. Luaran Penelitian

Produk/hasil penelitian ini berupa pengetahuan strategi peternak sapi perah pasca erupsi Merapi dalam upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga dalam kondisi cuaca, iklim, dan penghidupan yang senantiasa berubah. Penelitian ini juga akan merumuskan strategi guna lebih memperbaiki kinerja usahatani ternak sapi perah, yaitu faktor-faktor penentu produktivitas, efisiensi, dan pendapatan.

Luaran penelitian ini akan dipublikasikan dalam jurnal nasional (Jurnal Agraris/Journal of Agribusiness and Rural Development Research, ISSN 9772407814009).

Selain itu, juga akan dipresentasikan dalam seminar nasional tentang hasil-hasil penelitian

sosial ekonomi pertanian.

(9)

6 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penghidupan Berkelanjutan

Secara etimologis makna kata livelihood meliputi aset atau modal (alam, manusia, sosial, fisik, dan finansial), aktivitas dimana akses atau set dimaksud dimediasi oleh kelembagaan dan relasi sosial yang secara bersama menjelaskan hasil yang diperoleh oleh individu maupun rumah tangga. Menurut Sconnes (1998), penghidupan juga diartikan sebagai sebuah kesatuan dari kemampuan, aset termasuk aset material dan sosial, dan aktivitas yang dilakukan untuk menunjang kehidupan. Penghidupan dapat berkelanjutan jika dapat pulih dari tekanan seperti bencana alam, dengan menggunakan aset dan kempuan yang dimiliki sekarang tanpa menggantungkan hanya kepada sumberdaya alam.

Berdasarkan definisi diatas, komponen penghidupan terdiri atas aset, akses, dan aktivitas. Akses didefinisikan sebagai aturan dan norma sosial yang mengatur atau mempengaruhi kemampuan yang berbeda antara orang dalam memiliki, mengontrol, mengklaim atau menggunakan sumberdaya seperti penggunaan lahan di desa atau masyarakat. Strategi penghidupan suatu unit rumah tangga terdiri dari berbagai aktivitas yang dibagi dalam dua kategori yaitu aktivitas penghidupan berbasis sumberdaya alam (seperti pertanian, peternakan, perikanan, dan lain-lain) dan aktivitas non sumber daya alam seperti perdagangan, jasa, industri, dengan dampak pada capaian keamanan penghidupan seperti tingkat income yang stabil, risiko yang berkurang, dan capaian keberlanjutan ekologis yaitu kualitas tanah, hutan, air, serta keragaman hayati yang terpelihara.

Menurut Bappenas (2012), aset penghidupan dapat dikelompokkan dalam lima jenis yaitu :

a. Aset Manusia

Aset manusia meliputi aspek ketrampilan, pengetahuan, kesehatan, dan kemampuan

untuk berusaha yang memungkinkan seseorang melaksanakan strategi penghidupan serta

mencapai tujuan penghidupan mereka. Potensi manusia baik yang diperoleh sebagai

hasil pengembangan diri, melalui pendidikan misalnya, ataupun potensi yang terkait

dengan kualitas kesehatan, daya tahan, kecerdasan, dan faktor-faktor genetis lainnya

(10)

7

merupakan bagian dari sumberdaya yang tak ternilai. Di tingkat rumah tangga, ukuran sumberdaya manusia meliputi jumlah dan mutu tenaga kerja yang ada. Tingkat sumberdaya manusia di setiap rumah tangga bervariasi sesuai tingkat ketrampilan, pendidikan, kepemimpinan, dan kondisi kesehatan.

Aset manusia adalah komponen terpenting dalam penghidupan, pengetahuan dan kemampuan yang dinilikinya diperlukan untuk mengolah empat aset penghidupan lainnya. Manusia juga memiliki kemampuan untuk mengembangkan strategi penghidupan tiap-tiap jenis seumberdaya secara optimal. Sekaligus perilaku manusia sangat mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya lainnya, aset fisik misalnya tidak akan bertahan lama apabila digunakan dengan cara yang tidak benar atau dirusak.

b. Aset Sosial

Aset sosial yang dimaksudkan dalam pendekatan pengihidupan berkelanjutan adalah aset sosial yang bermanfdaat dan digunakan masyarakat untuk mencapai tujuan penghidupan mereka. Aset sosial umumnya bersifat intangible, tidak mudah diukur, namun memiliki manfaat bagi masyarakat. Aset sosial ini muncul dan diperoleh melalui beberapa bentuk hubungan :

1) Relasi dan kedekatan, baik secara vertikal maupun horizontal yang meningkatkan kepercayaan, kerjasama, dan memperluas akses terhadap lembaga yang berpengaruh, seperti lembaga politik dan lembaga pelayanan masyarakat.

2) Keanggotaan dalam lembaga formal, yang menyediakan layanan tertentu. Umumnya lembaga formal menerapkan syarat, aturan serta sanksi tertentu bagi anggotanya.

Dengan menjadi anggota dan memenuhi kewajiban, maka seseorang dapat memperoleh sejumlah layanan dan kemudahan.

3) Hubungan kepercayaan dan timbal balik, yang memfasilitasi kerjasama saling menguntungkan, pengurangan biaya-biaya, dan menyediakan dana talangan diantara masyarakat miskin.

c. Aset Alam

Aset alam merupakan persediaan alam yang menghasilkan daya dukung dan nilai

manfaat bagi penghidupan manusia. Terdapat beragam jenis aset alam, baik yang dapat

dinikmati secara langsung seperti udara atau jenis-jenis lain yang dapat dioleh lebih

(11)

8

lanjut seperti keragaman hayati dan mineral. Aset alam juga meliputi keuntungan strategis dari suatu kondisi geografis, wilayah pegunungan misalnya menarik sejumlah industri seperti pariwisata. Aset alam sangat erat kaitannya dengan konteks kerentanan, banyak bencana yang merusak penghidupan masyarakat merupakan proses alam seperti erupsi, gempa, banjir, dan lainnya. Selain itu, perubahan cuaca dan musim sangat mempengaruhi produktivitas alam.

d. Aset Fisik

Aset fisik adalah prasarana dasar dan fasilitas lain yang dibangun untuk mendukung proses pebghidupan masyarakat. Prasarana yang dimaksud mepiluti pengembangan lingkungan fisik yang membantu masyarakat dalam melaksanakan tugas kehidupan lebih produktif. Kekurangan prasarana tertentu dapat dijadikan salah satu ukuran kemiskinan.

Kelangkaan akses terhadap fasilitas air bersih dan energi sangat merugikan kesehatan manusia. Selain itu, masyarakat akan disibukkan dengan kesibukan yang tidak produktif seperti mencari kayu bakar atau sumber air bersih.

e. Aset Finansial

Aset finansial adalah sumber-sumber keuangan yang dapat digunakan dan dimanfaatkan masyarakat dalam mencapai tujuan penghidupan mereka, yaitu meliputi cadangan atau persediaan berupa sumber keuangan seperti tabungan, deposito, dan lain- lain. Aset keuangan merupakan aset paling fleksibel dimana dapat ditukar dengan berbagai kemudahan sesuai sistem yang berlaku. Aset keuangan juga dapat digunakan secara langsung untuk memenuhi penghidupan. Meskipun aset keuangan bersifat serbaguna, namun tidak dapat memecahkan persoalan kemiskina secara otomatis.

2.2. Strategi Penghidupan Berkelanjutan

Strategi penghidupan merupakan pilihan yang dibentuk oleh ketersediaan lahan,

aset yang ada, akses terhadap aset dan aktivitas yang dipengaruhi oleh kapasitas seseorang

atau rumah tangga. Sconnes (1998) menggolongkan strategi penghidupan menjadi tiga

golongan yaitu :

(12)

9

a. Usaha pemanfataan sektor pertanian agar lebih efektif dan efisien, baik melalui penambahan input eksternal berupa tenaga kerja atau teknologi (intensifikasi) maupun dengan memperluas lahan garapan pertanian (ekstensifikasi)

b. Usaha yang dilakukan dengan cara mencari pekerjaan selain di sektor pertanian untuk menambah pendapatan (diversifikasi)

c. Usaha yang dilakukan dengan cara mobilisasi atau perpindahan penduduk baik secara permanen maupun sementara dalam rangka mencari sumber penghidupan baru di tempat lain.

2.3. Ukuran Penghidupan Berkelanjutan

Menurut Sconnes (1998) istilah penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) berkaitan dengan serangkaian isu yang mencakup banyak perdebatan lebih luas tentang hubungan antara kemiskinan dan lingkungan. Hal ini dapat dipisahkan melalui berbagai sub komponen untuk menyorot penghidupan berkelanjutan. Lima elemen kunci dari definisi penghidupan berkelanjutan dapat dikenali, masing-masing berkaitan dengan panduan yang lebih luas, dalam beberapa kasus terdapat cara untuk menilai hasilnya. Tiga fokus pertama adalah penghidupan, menghubungkan pekerjaan dengan pengentasan kemiskinan, isu-isu yang lebih luas tentang kecukupan (adequate), keamanan (security), kesejahteraan (well- being), dan kemampuan (capability). Dua elemen terakhir adalah dimensi keberlanjutan yang pada gilirannya akan mencari ketahanan penghidupan (resilience of livelihoods) dan sumberdaya alam dasar di tempat mereka bergantung hidup.

a. Penciptaan Hari Kerja (creation of working days)

Hal ini berkaitan dengan kemampuan suatu kombinasi tertentu dari strategi

penghidupan dalam menciptakan pekerjaan yang menguntungkan untuk sebagian waktu

tertentu dalam setahun. Hal ini mungkin terdapat pada on farm ataupun off farm, bagian

dari sistem produksi subsisten atau upah kerja. Terdapat tiga aspek dari pekerjaan yaitu

pendapatan, produksi, dan penghargaan. Dalam hal pendapatan, berbagai tingkatan

target telah disarankan, tetapi 200 hari kerja dalam setahun muncul secara luas

digunakan sebagai tingkat minimum untuk menciptakan penghidupan. Secara

(13)

10

keseluruhan, jumlah penghidupan yang dibuat akan tergantung pada proporsi dari populasi yang tersedia untuk bekerja.

b. Pengurangan Kemiskinan (poverty reduction)

Tingkat kemiskinan adalah kriteria utama dalam penilaian penghidupan. Berbagai ukuran dapat digunakan untuk mengukur garis kemiskinan mutlak didasarkan pada pendapatan atau tingkat konsumsi. Atau kemiskinan relatif ketimpangan dapat dinilai dengan menggunakan ukuran Koefisien Gini. Ada berbagai pro dan kontra untuk masing-masing cara pengukuran, serta beberapa tantangan dalam pengukuran tertentu.

Namun demikian, penilaian kuantitatif kemiskinan dapat digunakan untuk kombinasi dengan beberapa indikator kualitatif dari penghidupan.

Tingkat kemiskinan dapat dihitung dengan berbagai cara, antara lain : 1) Kriteria Sayogyo

Sayogyo (1983) cit Wattimena (2009) membuat batasan kemiskinan di pedesaan didasarkan pada patokan cukup kalori yaitu 1900 kalori dan 40 gram protein per orang per hari. Ukuran tersebut jika disetarakan dengan satuan beras per orang per tahun adalah :

a) Sangat miskin : < 240 kg beras/kapita/tahun b) Miskin : 240-320 kg beras/kapita/tahun c) Mayoritas miskin : 320-480 kg beras/kapita/tahun d) Tidak miskin : > 480 kg beras/kapita/tahun 2) Badan Pusat Statistik (BPS)

Untuk mengukur kemiskinan, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan konsep

kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan

pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan darin sisi ekonomi

untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari

sisi pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata

pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Menurut Kuncoro

(2015), hal penting mengenai garis kemiskinan BPS berhubungan dengan tren

dalam insidensi kemiskinan pedesaan dan perkotaan. Batas garis kemiskinan ini

dibedakan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Tujuan dibedakannya garis

(14)

11

kemiskinan ini adalah karena biaya hidup di kota dan di desa memang berbeda.

Suatu alasan terhadap peningkatan pangsa kaum miskin perkotaan dalam kemiskinan total di Indonesia yatu populasi perkotaan meningkat lebih cepat.

Alasan lain adalah persentase populasi kaum miskin yang tingga di kawasan perkotaan menurut BPS dalam kenyataan meningkat lebih cepat dari garis kemiskinan perdesaan sejak tahun 1967, sehingga di tahun 1987 garis kemiskinan perkotaan hampir 70% lebih tinggi dibanding kawasan Pedesaan.

3) World Bank

World Bank menggunakan dua kriteria dalam menentukan garis kemiskinan.

Pertama, menggunakan garis kemiskinan nasional yang didasarkan pada pola konsumsi 2.100 kalori per hari. Kedua, garis kemiskinan internasional berdasarkan PPP (purchasing power parity) US$ 1 dan US$ 2. Bank Dunia menggunakan keduanya, masing-masing untuk tujuan analisis yang berbeda. Tingkat kemiskinan absolut atau penduduk yang hanya mengkonsumsi US$ 1 per hari hanya sebesar 4 juta jiwa di Indonesia pada tahun 2005. Namun bila digunakan kriteria US$ 2 per hari maka jumlah penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan melonjak menjadi 40 juta jiwa.

c. Kesejahteraan dan Kemampuan (well-being and capabilities)

Pengertian kesejahteraan dan kemampuan memberikan lingkup definisi yang lebih luas untuk konsep penghidupan. Melihat kemapuan sebagai apa yang dapat orang lakukan atau dengan hak-hak milik mereka, sebuah konsep yang mencakup jauh lebih bayak daripada kekhawatiran asupan bahan makanan atau pendapatan. Ide-ide demikian yang mewakili lebih dari aset manusia yang memungkinkan orang untuk melakukan banyak hal, tetapi juga secara dasar bernilai unsur kemampuan atau kesejahteraan.

Pendekatan kesejahteraan untuk menganalisis untuk analisis kemiskinan dan

penghidupan memungkinkan masyarakat sendiri untuk menentukan kriteria mana yang

penting. Tingkat kesejahteraan berkaitan dengan bagaimana perekonomian

mengalokasikan sumberdaya dan mendistribusikan komoditas agar kesejahteraan

masyarakat secara keseluruhan maksimum. Terdapat berbagai macam cara mengukur

kesejahteraan pada masyarakat, antara lain :

(15)

12 1) Good Servive Ratio (GSR)

Tingkat kesejahteraan dapat dihitung dengan menggunakan Good Servive Ratio (GSR) yaitu dengan membandingkan pengeluaran konsumsi pangan (kebutuhan primer) dengan pengeluaran konsumsi diluar kebutuhan pangan (kebutuhan sekunder). Nilai GSR diperoleh dari suatu perbandingan antara jumlah pengeluaran untuk konsumsi bahan pangan dan konsumsi jasa dan pelayanan. Semakin kecil nilai GSR berarti pendapatan yang diperoleh masyarakat semakin banyak yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan diluar kebutuhan pangan.

2) Nilai Tukar Pendapatan Rumah Tangga Pedesaan (NTPRP)

Nilai Tukar Pendapatan Rumah Tangga Pedesaan (NTPRP) didefinisikan sebagai nisbah antara pendapatan total rumah tangga dengan pengeluaran total rumah tangga.

Pendapatan total rumah tangga pertanian merupakan penjumlahan dari seluruh nilai hasil produksi komoditas pertanian yang dihasilkan petani, nilai dari berburuh tani, nilai hasil produksi usaha non pertanian, nilai berburuh non pertanbian, dan lainnya.

Sedangkan pengeluaran petani merupakan penjumlahan dari pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga dan pengeluaran untuk biaya produksi.

d. Adaptasi Penghidupan, Kerentanan, dan Ketahanan (livelihood adaptation, vulnerability, and resilience)

Kemampuan penghidupan untuk dapat mengatasi dan memulihkan dari tekanan dan guncangan merupakan definisi penghidupan berkelanjutan. Seperti ketahanan dalam menghadapi tekanan dan guncangan adalah kunci untuk bertahan dan adaptasi penghidupan. Masyarakat yang tidak mampu beradaptasi pasti rentan dan tidak mungkin mencapai penghidupan yang berkelanjutan. Menilai ketahanan dan kemampuan untuk beradaptasi secara positif memerlukan analisis dari berbagai faktor termasuk evaluasi sejarah pengalaman tentang tanggapan terhadap berbagai guncangan dan tekanan.

e. Keberlanjutan Sumberdaya Alam (natural resource base sustainability)

Umumnya penghidupan di pedesaan bergantung pada sumberdaya alam dasar

sampai batas tertentu. Keberlanjutan sumberdaya alam dasar mengacu pada kemampuan

sistem untuk mempertahankan produktivitas ketika subjek mengganggu kelestarian

sumberdaya alam. Hal ini berarti menghindari habisnya persediaan sumberdaya alam ke

(16)

13

tingkat yang menyebabkan sebuah penurunan permanen dimana hasil sumberdaya alam berupa produk atau jasa berguna untuk penghidupan. Mengukur kelestarian sumberdaya alam cukup sulit, karena sangat penting untuk menghubungkan indikator penipisan sumberdaya atau akumulasi dan kebutuhan penghidupan.

Dalam upaya pemenuhan kebutuhan manusia untuk kelangsungan hidupnya, perlu diperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan untuk masa yang akan datang. Keberlanjutan dapat dicapai apabila dalam setiap pemanfaatan summberdaya alam dan lingkungan tetap memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan, sehingga tercapai keharmonisan antara lingkungan alami dan lingkungan buatan. Direktorat Penataan Ruang (2010) menyatakan bahwa telapak ekologis (ecological footprint) dapat digunakan sebagai salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat keberanjutan sumberdaya alam dan lingkungan.

Telapak ekologis adalah gambaran jumlah lahan produktif darat dan laut yang dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup suatu populasi dalam memproduksi dan mengkonsumsi semua sumberdaya termasuk limbah yang dihasilkannya.

Pendekatan ekologis dimaksudkan untuk menunjukkan ketergantungan hidup manusia terhadap alam serta untuk mengamankan kapasitas sumberdaya alam untuk keberadaan manusia di masa mendatang. Telapak ekologis terdiri dari empat parameter penting yaitu populasi, area lahan dan laut, produktivitas, dan indikator, yang perhitungannya akan menjadi bagian dalam perhitungan daya dukung suatu wilayah.

Telapak ekologis suatu wilayah yang lebh rendah dibandingkan biokapasitasnya menunjukkan bahwa dalam upaya pemenuhan kebutuhannya, masyarakat wilayah tersebut telah menggunakan sumberdaya alamnya dengan memperhatikan daya dukung serta menjamin keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan untuk masa yang akan datang.

2.4. Studi Pendahuluan dan Peta Jalan Penelitian

Studi pendahuluan yang sudah dilakukan oleh peneliti adalah tentang Analisis

Usahatani Ternak Sapi Perah pada tahun 2015, kemudian dilanjutkan tentang kajian dinamika

masyarakat peternak sapi perah pasca erupsi Merapi pada tahun yang sama sebagai bagian

(17)

14

dari praktikum Dinamika Masyarakat yang penulis ampu. Pada tahun ini (2016) peneliti mengusulkan penelitian tentang Analisis Ekonomi Rumah Tangga Peternak Sapi Pasca Erupsi Gunung Merapi dalam mendukung Penghidupan Berkelanjutan. Dari penelitian ini akan diketahui upaya-upaya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga peternak sapi perah dalam mencapai penghidupan yang berkelanjutan.

Adapun keterkaitan antara penelitian yang diusulkan dengan penelitian sebelum dan selanjutnya terlihat pada bagan berikut :

Strategi Pencapaian Penghidupan Berkelanjutan Ekonomi Rumah Tangga

Peternak Sapi Usahatani Ternak

Sapi

Dinamika Masyarakat Peternak Pasca Erupsi Merapi

Efisiensi Sumber Daya

Alam dan Lingkungan

(18)

15 BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1. Metode Dasar

Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis.

Metode ini merupakan metode penelitian yang memusatkan perhatian pada pemecahan masalah-masalah aktual yang ada pada masa sekarang. Data-data yang diperoleh mula- mula disusun, dijelaskan, kemudian dianalisis dan disajikan.

3.2. Metode Penentuan Lokasi Penelitian dan Pengambilan Sampel

Lokasi penelitian ini ditentukan secara purposive yaitu cara pengambilan sampel daerah berdasarkan ciri-ciri tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Hunian Tetap (Huntap) Pagerjurang, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Lokasi tersebut dipilih dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut merupakan sentra peternakan sapi perah rakyat pasca erupsi Merapi yang sudah cukup maju dalam pengelolaannya. Hunian Tetap (Huntap) Pagerjurang juga merupakan kompleks pemukiman terbesar bagi penduduk yang direlokasi dari kawasan rawan bencana Gunung Merapi. Kemudian, penentuan sampel peternak di lokasi penelitian dilakukan dengan metode simple random sampling dengan memilih 60 orang peternak sapi perah.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara observasi langsung di lapangan atau lokasi penelitian. Metode kuisioner dan wawancara langsung akan dipakai untuk memperoleh informasi terkait dengan penelitian ini. Kunjungan langsung kepada responden diperlukan untuk lebih mendalami data dan kondisi aktual yang terjadi, khususnya di lapangan. Observasi tingkat desa dan kecamatan juga akan dilakukan sebagai pendukung kelengkapan informasi.

Data sekunder akan diambil dari instansi terkait, mulai dari tingkat desa sampai

dengan tingkat provinsi sebagai bahan untuk menggambarkan lokasi penelitian, sektor

peternakan, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Instansi terkait, seperti Dinas Pertanian

dan BPS juga akan dikunjungi guna kelengkapan infomasi secara menyeluruh.

(19)

16 3.4. Metode Analisis Data

3.4.1. Curahan Waktu Kerja

Curahan waktu rumah tangga peternak sapi perah dalam mencari nafkah diuji dengan uji t untuk melihat perbedaan antara suatu distribusi dengan nilai tertentu (one sample t test) dengan test value yang digunakan adalah 1600 jam kerja/tahun (200 hari kerja/tahun. Menurut Sconnes (1998) penciptaan hari kerja untuk pencapaian penghidupan yaitu 200 hari kerja/tahun, setara dengan 1600 jam kerja/tahun (1 HKO = 8 jam).

Rumusan hipotesis statistik untuk penciptaan hari kerja yaitu : Ho : µ c = 1600 jam kerja/tahun

Ha : µ c ≠ 1600 jam kerja/tahun t hit = 𝑐 −1600

𝑠2 𝑛

Keterangan :

x̅c : rerata curahan waktu kerja peternak sapi perah dalam mencari nafkah n : jumlah sampel

s2 : varian sampel

Kriteria penolakan : α = 5%

Kaidah uji :

Sig t ≤ α : maka Ho ditolak

Sig t > α : maka Ho tidak ditolak

3.4.2. Kontribusi Pendapatan Usahatani Ternak Sapi Perah

Untuk mengetahui kontribusi pendapatan yang diperoleh dari strategi penghidupan terhadap total pendapatan rumah tangga digunakan rumus :

Y = 𝑃𝑛 𝑃𝑡 ×100%

Keterangan :

Y = persentase kontribusi pendapatan usaha ternak sapi perah terhadap total pendapatan

rumah tangga peternak

(20)

17

Pn = pendapatan yang berasal dari usaha ternak sapi perah Pt = total pendapatan rumah tangga

Selanjutnya untuk menentukan besarnya kontribusi pendapatan terhadap pendapatan total digunakan kriteria sebaga berikut :

a. Jika kontribusi pendapatan < 25% ; kontribusinya kecil b. Jika kontribusi pendapatan 25 - 49% ; kontribusinya sedang c. Jika kontribusi pendapatan 49 - 75% ; kontribusinya besar d. Jika kontribusi pendapatan > 75% ; kontribusinya sangat besar

3.4.3. Kemiskinan dan Kesejahteraan Rumah Tangga Peternak Sapi Perah

Untuk mengetahui tingkat kemiskinan dan kesejahteraan rumah tangga digunakan kriteria Tingkat Konsumsi Setara Beras (Sayogyo) dan World Bank. Pengujian hipotesis tingkat kemiskinan dilakukan dengan menggunakan one sample t test. Test value yang digunakan menurut kriteria Sayogyo 480 kg/kapita/tahun dan World Bank US$2/kapita/hari.

a. Kriteria Tingkat Konsumsi Setara Beras Ho : µ 1 ≤ 480 kg/kapita/tahun

Ha : µ 1 > 480 kg/kapita/tahun Kriteria pengujian :

Ho ditolak jika t hit > t tab , artinya pendapatan per kapita per tahun > 480 kg Ho diterima jika t hit ≤ t tab , artinya pendapatan per kapita per tahun ≤ 480 kg

Dari perhitungan pengeluaran per kapita setara beras dapat diketahui juga tingkatan kategori kemiskinan untuk daerah pedesaan menurut Sayogyo, yaitu :

1. Miskin Sekali : < 240 kg beras/kapita/tahun

2. Miskin : 240 – 320 kg beras/kapita/tahun

3. Mayoritas Miskin : 320 – 480 kg beras/kapita/tahun

4. Tidak Miskin : > 480 kg beras/kapita/tahun

(21)

18 b. Kriteria World Bank

Ho : µ 2 ≤ US$2/kapita/hari Ha : µ 2 > US$2/kapita/hari Kriteria pengujian :

Ho ditolak jika t hit > t tab , artinya pendapatan per kapita per hari > US$2 Ho diterima jika t hit ≤ t tab , artinya pendapatan per kapita per hari ≤ US$2

Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan rumah tangga diukur dengan menggunakan Good Service Ratio (GSR) dengan rumus :

GSR = 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑘𝑒𝑏𝑢𝑡𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑘𝑒𝑏𝑢𝑡𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑛𝑜𝑛 𝑝𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛

Keterangan :

GSR > 1 , artinya ekonomi rumah tangga kurang sejahtera GSR = 1 , artinya ekonomi rumah tangga sejahtera

GSR < 1 , artinya ekonomi rumah tangga lebih sejahtera

Pengujian hipotesis dilakukan dengan one sample t test : Ho : µ 3 ≥ 1

Ha : µ 3 < 1

Kriteria pengujian :

Ho ditolak jika t hit < -t tab , artinya perbandingan pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan ≤ 1

Ho ditolak jika t hit ≥ -t tab , artinya perbandingan pengeluaran pangan dan pengeluaran non

pangan > 1

(22)

19 3.4.4. Keberlanjutan Sumberdaya Alam

Untuk menghitung keberlanjutan sumberdaya alam digunakan konsep telapak ekologi (ecological footprint) dengan menggunakan rumus :

EF = 𝑌𝑛 𝑃 × YF × EQF BC = A × YF × EQF ED = EF Total – BC Total

Keterangan :

EF = Ecological Footprint BC = Biocapacity Total

ED = Ecological Footprint Deficiency P = Jumlah produk yang dihasilkan sampel Yn = Produktivitas produk

YF = Yield Factor EQF = Equivalence Factor A = Luas lahan produksi

Dari hasil tersebut akan diperoleh nilai Kecukupan Telapak Ekologi (Ecological Footprint Deficiency) dengan kriteria sebagai berikut :

Tabel 1. Kriteria Kecukupan Telapak Ekologi

Daerah Kekurangan Daerah Berlebih atau Seimbang

Sangat Kekurangan (ED > 2,0)

Kekurangan (1,0 < ED ≤ 2,0) Daerah Seimbang (- 0,1 < ED ≤ 0,1) Kekurangan Sedang (0,5 < ED ≤ 1,0) Daerah Berlebih (ED ≤ - 0,1)

Kekurangan Kecil (0,1 < ED ≤ 0,5)

Sumber : CCICED-WWF (2016) cit Direktorat Penataan Ruang (2010)

(23)

20 BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Profil Peternak Sapi Perah

Peternak sapi perah di Hunian Tetap Pagerjurang rata-rata berusia 48,1 tahun dan sebanyak 48,39% telah menyelesaikan pendidikan hingga sekolah dasar. Persentase peternak yang telah menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) hanya sebesar 16,13%. Rata-rata peternak telah memiliki pengalaman berternak sapi perah selama 14,3 tahun dan bersifat turun-temurun dalam anggota keluarga. Karakteristik peternak sapi perah di Hunian Tetap Pagerjurang secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1. Seluruh peternak tergabung dalam kelompok peternak dalam wadah usaha Koperasi Susu Sarono Makmur. Koperasi ini merupakan koperasi yang lokasi usahanya berada paling dekat dengan gunung Merapi dan mengalami kerusakan fisik cukup parah ketika terjadi bencana letusan gunung Merapi. Ditambah dengan kematian sebagian besar ternak sapi perah anggotanya. Koperasi susu Sarono Makmur merupakan salah satu pemasok susu segar kepada PT Sari Husada di Yogyakarta.

Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian

Variabel Jumlah Persentase (%)

Umur (tahun)

≤ 30 6 9.68

31 - 40 15 24.19

41 - 50 19 30.65

51 - 60 10 16.13

> 60 12 19.35

Jumlah 62 100.00

Pendidikan (tahun)

0 (Tidak Sekolah) 7 11.29

1 - 6 (SD) 30 48.39

7 - 9 (SMP) 15 24.19

10 - 12 (SMA) 10 16.13

Jumlah 62 100.00

Pengalaman (tahun)

≤ 10 24 38.71

(24)

21

Variabel Jumlah Persentase (%)

11 - 20. 22 35.48

21 - 30 15 24.19

> 30 1 1.61

Jumlah 62 100.00

Sumber : Analisis Data Primer (2017)

Peternak rata-rata mengusakan 1 hingga 5 ekor sapi perah dengan persentase kepemilikan sapi laktasi sebesar 45,10%. Sudono et al. (2003) mengemukakan bahwa persentase sapi laktasi yang baik adalah lebih dari 60% agar usaha ternak menguntungkan.

Persentase sapi laktasi merupakan faktor penting dalam menjamin pendapatan usaha ternak.

Menurut Winarno (1985), komposisi induk laktasi secara signifikan dapat meningkatkan pendapatan peternak bila persentasenya diatas 80%. Sistem pemeliharaan ternak sapi perah dilakukan dengan sistem intensif yaitu sapi dikandangkan terus-menerus setiap hari.

Terdapat dua jenis pakan yang digunakan yaitu pakan konsentrat dan hijauan. Pakan konsentrat dibeli secara kelompok melalui koperasi dengan sistem pembayaran dipotong dari penerimaan susu setiap bulan. Pakan hijauan didapatkan peternak di sekitar lereng Gunung Merapi. Rata-rata produksi susu dan jumlah kepemilikan sapi perah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-Rata Kepemilikan Sapi Perah dan Produksi Susu

Variabel Satuan Rata-Rata

Produksi Susu per Usaha Ternak l/ peternak/ hari 23.50 ± 16.52 Produksi Susu per Ekor l/ sapi laktasi/ hari 15.07 ± 3.77

Jumlah Sapi Laktasi ekor 1.29 ± 0.99

Jumlah Sapi ekor 2.85 ± 1.77

Persentase Sapi Laktasi % 45.10 ± 30.65

Sumber : Analisis Data Primer (2017)

Susu dihasilkan setiap hari oleh peternak dengan rata-rata produksi 15,07

liter/lactating cow/day. Tingkat produksi tersebut terhitung cukup tinggi jika dibandingkan

dengan produksi susu oleh peternak Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS)

Pangalengan sebesar 12,06 liter/sapi laktasi/hari (Agusta et al., 2014) dan peternak

Koperasi Usaha Peternakan dan Pemerahan Sapi Perah (UPP) Kaliurang sebesar 8,99

(25)

22

liter/sapi laktasi/hari (Astuti et al., 2010). Menurut Yusdja (2017), produksi susu pada peternak sapi perah di Indonesia sebenarnya mampu mencapai tingkat produksi 15 – 20 l/sapi laktasi/hari.

4.2. Pendapatan Usaha Ternak Sapi Perah

Penjualan susu merupakan sumber penerimaan utama dalam usaha ternak sapi perah. Dilihat dari struktur biaya usaha ternak sapi perah, pakan konsentrat menempati posisi biaya terbesar dan meliputi lebih dari 50% dari total biaya. Kondisi ini sesuai dengan temuan Yusdja (2017) yang menyatakan bahwa biaya pakan menempati pos biaya terbesar dalam usaha ternak sapi perah yaitu sebesar 62,5% dari total biaya. Hal yang cukup menarik adalah pengadaan pakan konsentrat ditangani oleh koperasi yang anggotanya adalah para peternak sendiri. Apabila koperasi dikelola dengan baik, termasuk dalam penentuan harga konsentrat yang harus dibayarkan peternak, maka akan dapat membantu meningkatkan pendapatan peternak secara signifikan. Dalam menghadapi menghadapi pasar input bersama maka koperasi harus melakukan pelayanan input seperti penyediaan konsentrat dengan harga pokok kepada peternak. Koperasi juga perlu didorong untuk melakukan gerakan mengumpulkan hijauan dan rumput serta melakukan pengawetan sehingga dapat menjamin kebutuhan pakan peternak dan mengurangi kebutuhan tenaga kerja mencari pakan.

Tabel 3. Rata-Rata Pendapatan Usaha Ternak Sapi Perah

Variabel Satuan Rata-Rata

Penerimaan (A)

(1) Penjualan Susu IDR/ farmer/ year 35,245,848.00

(2) Penjualan Sapi IDR/ farmer/ year 3,500,000.00

Total Penerimaan IDR/ farmer/ year 38,063,315.38 Biaya Produksi (Tunai) (B)

(1) Pakan (concentrate) IDR/ farmer/ year 17,831,709.68

(2) Kesehatan IDR/ farmer/ year 492,024.19

(3) Tenaga Kerja Luar Keluarga IDR/ farmer/ year 450,000.00

(4) Listrik, Transportasi IDR/ farmer/ year 1,348,467.74

Total Biaya Produksi (Tunai) IDR/ farmer/ year 19,715,750.00

(26)

23 Biaya diperhitungkan (C)

(1) Pakan Hijauan (forage) IDR/ farmer/ year 2,235,124.60 (2) Tenaga Kerja Dalam Keluarga IDR/ farmer/ year 8,922,277.42 Total Biaya diperhitungkan IDR/ farmer/ year 11,626,995.56 Total Biaya (B+C) IDR/ farmer/ year 31,342,745.56 Pendapatan atas biaya tunai (A-B) IDR/ farmer/ year 18,347,565.38 Pendapatan atas biaya tunai (A-B) IDR/ dairy cow/ year 6,437,742.24 Pendapatan atas biaya total (A-B-C) IDR/ farmer/ year 6,720,569.82 Pendapatan atas biaya total (A-B-C) IDR/ dairy cow/ year 2,358,094.67 Sumber : Analisis Data Primer (2017)

Penjualan susu merupakan sumber penerimaan utama dalam usaha ternak sapi

perah. Dilihat dari struktur biaya usaha ternak sapi perah, pakan konsentrat menempati

posisi biaya terbesar dan meliputi lebih dari 50% dari total biaya. Kondisi ini sesuai dengan

temuan Yusdja (2017) yang menyatakan bahwa biaya pakan menempati pos biaya terbesar

dalam usaha ternak sapi perah yaitu sebesar 62,5% dari total biaya. Hal yang cukup

menarik adalah pengadaan pakan konsentrat ditangani oleh koperasi yang anggotanya

adalah para peternak sendiri. Apabila koperasi dikelola dengan baik, termasuk dalam

penentuan harga konsentrat yang harus dibayarkan peternak, maka akan dapat membantu

meningkatkan pendapatan peternak secara signifikan. Dalam menghadapi menghadapi

pasar input bersama maka koperasi harus melakukan pelayanan input seperti penyediaan

konsentrat dengan harga pokok kepada peternak. Koperasi juga perlu didorong untuk

melakukan gerakan mengumpulkan hijauan dan rumput serta melakukan pengawetan

sehingga dapat menjamin kebutuhan pakan peternak dan mengurangi kebutuhan tenaga

kerja mencari pakan.

(27)

24

Tabel 4. Rata-Rata Kepemilikan Sapi Perah dan Produksi Susu

Uraian Unit Rata-Rata

Pendapatan Usaha Ternak Sapi Perah IDR 18,347,565.38

Pendapatan Pertanian Non Usaha Sapi Perah IDR 0.00

Pendapatan Non Pertanian IDR 9,950,322.58

Total Pendapatan Rumah Tangga IDR 28,297,887.97 Kontribusi Pendapatan Usaha Sapi Perah

terhadap Pendapatan Rumah Tangga % 64.84 Sumber : Analisis Data Primer (2017)

Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan usaha ternak sapi perah memiliki nilai yang positif. Pendapatan atas biaya produksi tunai per tahun adalah sebesar IDR 18,347,565.38 per usaha ternak atau sebesar 6,437,742.24 per satuan ternak, sementara pendapatan atas biaya total adalah sebesar IDR 6,720,569.82 per usaha ternak atau sebesar 2,358,094.67 per satuan ternak. Pendapatan usaha ternak sapi perah ini memberikan kontribusi sebesar 64.84% terhadap pendapatan total rumah tangga peternak sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4. Hal ini menunjukkan bahwa peternak menggantungkan sebagian besar penghidupannya dari usaha ternak sapi perah.

4.3. Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Peternak Sapi Perah

Tingkat kesejahteraan rumah tangga peternak diukur berdasarkan indikator garis kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengacu pada pengeluaran per kapita per bulan. Pengeluaran rumah tangga merupakan cerminan tingkat konsumsi dalam memenuhi kebutuhan, baik pangan maupun non pangan. Rumah tangga peternak dikatakan tidak sejahtera jika pengeluaran per kapita per bulan kurang dari atau sama dengan garis kemiskinan.

Tabel 5. Rata-Rata Kepemilikan Sapi Perah dan Produksi Susu

Kriteria BPS World Bank

Jumlah Rumah Tangga % Jumlah Rumah Tangga %

Sejahtera 57 91.94 21 33.87

Tidak Sejahtera 5 8.06 41 66.13

Jumlah 62 62

Sumber : Analisis Data Primer (2017)

(28)

25

Tabel 5 menunjukkan bahwa sebanyak 91,94% rumah tangga peternak termasuk dalam kategori sejahtera dan masih terdapat 8,06% rumah tangga peternak yang termasuk dalam kategori tidak sejahtera. Kondisi ini menunjukkan bahwa mayoritas rumah tangga peternak telah mampu memenuhi penghidupan mereka. Berdasarkan kriteria kemiskinan World Bank, dapat diketahui bahwa 66,13% rumah tangga peternak termasuk dalam kategori miskin. Hanya terdapat 33,87% rumah tangga peternak yang termasuk dalam kategori tidak miskin. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun program relokasi penduduk pasca bencana gunung Merapi di Hunian Tetap Pagerjurang oleh pemerintah secara umum dapat dikatakan cukup berhasil, namun masih terdapat rumah tangga peternak yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.

4.4. Tingkat Keberlanjutan Sumberdaya Alam yang Dimanfaatkan Peternak Sapi Dalam proses analisis berdasarkan telapak ekologi (ecological footprint).

4.5. Strategi Penghidupan Berkelanjutan

Dalam proses analisis berdasarkan telapak ekologi (ecological footprint).

(29)

26

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, M., Widiati, R., & Suranindyah, Y. Y. 2010. Efisiensi Produksi Usaha Sapi Perah Rakyat (Studi Kasus pada Peternak Anggota Koperasi Usaha Peternakan dan Pemerahan Sapi Perah Kaliurang, Sleman, Yogyakarta). Buletin Peternakan, 34(1), 64-69.

Bawole, Paulus. 2014. “Community Engagement in Developing Rural Settlement: A Case Study of Village Development around Merapi Volcano in Yogyakarta” in Proceeding of International Conference: Arte-Polis 5 International Conferenc–

Reflections on Creativity: Public Engagement and the Making of Place carried out at School of Architecture, Planning and Policy Department. Institut Teknologi Bandung. Bandung

BNPB. 2010. Peta Rekapitulasi Korban, Pengungsi, dan Kerusakan Akibat Letusan Gunung Api Merapi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Jakarta

Direktorat Penataan Ruang. 2010. Telapak Ekologi Indonesia. Kementrian Pekerjaan Umum. Jakarta

Kuncoro, Mudrajat. 2015. Indikator Ekonomi : Edisi Kedua. UPP STIM YKPN.

Yogyakarta

Mona, Q. T., Lestari, D. A. H., & Situmorang, S. 2014. Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Peternak Sapi Perah Anggota Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis, 2(2), 109- 117.

Prasetia, Heru. 2014. Segoro Gunung. BPBD DIY. Yogyakarta

Sconnes, Ian. 1998. Sustainable Rural Livelihood, A Frame for Analysis. IDS Working Paper 72. Brighton. University of Sussex

Sudono, A., Rosdiana, R. F., & Setiawan, B. S. 2003. Beternak sapi perah secara intensif.

Agromedia Pustaka. Jakarta.

Wattimena. 2009. Analisis Pendapatan Usahatani Dusung di Kota Ambon. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Master Thesis.

Winarno. 1985. Analisis Manajemen dan Pemasaran Susu Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat dan Perusahaan Sapi Perah di Kotamadya Yogyakarta. Master Tesis.

UGM. Yogyakarta

Yusdja, Y. 2017. Kebijakan ekonomi industri agribisnis sapi perah di Indonesia. Analisis

Kebijakan Pertanian, 3(3), 256-268.

(30)

KUISIONER PENELITIAN NO : ANALISIS EKONOMI RUMAH TANGGA PETERNAK SAPI PERAH

DALAM MENDUKUNG PENGHIDUPAN BERKELANJUTAN DI HUNTAP PAGERJURANG 2016

Muhammad Fauzan, S.P., M.Sc. KODE ENUMERATOR :

[Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, UMY]

A. PROFIL RESPONDEN

Nama Responden : ……… HP : ………

Dusun : ………

Desa, Kecamatan : ………

Umur/Tahun Lahir : ……… tahun

Pendidikan : ……… tahun

Pengalaman beternak sapi perah : ……… tahun Jumlah Anggota Keluarga (tinggal 1 rumah) : ……… orang

Anggota

Keluarga Jenis Kelamin

(L/P) Umur (tahun) Pendidikan (thn) Pekerjaan Aktif dalam UT Sapi Perah (√) AK1

AK2 AK3 AK4 AK5

B. KEPEMILIKAN TERNAK SAPI LAKTASI Jumlah

Sapi Laktasi

Jenis Bibit

(Peranakan) Dimana

Beli? Milik (S/B)

Waktu Beli (Bulan- Tahun)

(A) Nilai Awal (Rp)

(B) Nilai Sekarang

(Rp)

(B-A) Kenaikan

Nilai Ternak (Rp)

Luas Kandang

(m 2 ) Ket 1

2 3

C. KEPEMILIKAN TERNAK SAPI NON-LAKTASI Jumlah

Sapi Non Laktasi

Jenis Sapi*

(KK, JD, BD, JM, P)

Kepemilikan (S/B)

Waktu Beli (Bulan- Tahun)

(A) Nilai Awal (Rp)

(B) Nilai Sekarang

(Rp)

(B-A) Kenaikan

Nilai Ternak (Rp)

Luas Kandang

(m 2 ) Keterangan 1

2 3

* Keterangan Jenis Sapi : Kering Kandang, Jantan Dewasa, Betina Dara, Jantan Muda, Pedet D. PAKAN (UNTUK …………. EKOR SAPI PER BULAN/TAHUN [CORET SALAH SATU])

Jenis Pakan Satuan Jumlah Harga per Satuan

(Rp) Keterangan

Hijauan Bongkok, ………

Konsentrat Kg, ………

Bekatul Kg, ………

Ampas Kg, ………

Garam Kg, ………

Singkong Kg, ………

………

………

(31)

E. OBAT DAN INSEMINASI BUATAN (UNTUK ……… EKOR SAPI PER BULAN/TAHUN [CORET SALAH SATU]) Jenis Obat dan

Inseminasi Buatan Satuan Jumlah / Berapa Kali Harga per Satuan

(Rp) Keterangan

Suntikan Kesehatan Kali Suntikan Pasca

Beranak Kali

Obat Cacing Botol, ………

Inseminasi Buatan Kali

Vitamin Botol, ………

Kalsium, Mineral Pack, ………

………

………

F. BIAYA LAIN-LAIN (UNTUK ………… EKOR SAPI PER BULAN/TAHUN [CORET SALAH SATU])

Jenis Biaya Satuan Jumlah (Rp) Keterangan

Listrik/Bahan Bakar Rp/Bulan, ………

Perbaikan Kandang Rp/Tahun, ………

Iuran Anggota Rp/Tahun, ………

Selametan Rp/Tahun, ………

………

G. BIAYA TENAGA KERJA (UNTUK ……… EKOR SAPI PER BULAN/TAHUN [CORET SALAH SATU])

Jenis Pekerjaan Jam/hari TKDK (… orang) TKLK (… orang) Upah/hari (Rp) Pemerahan Susu

Pemberian Pakan Mencari Pakan Membersihkan Kandang Perawatan Sapi

………

………

………

H. BIAYA PENYUSUTAN KANDANG DAN ALAT

Nama Jumlah Tahun Beli Nilai Beli

(Rp/alat)

Umur Pemakaian

(tahun)

Nilai Sisa

(Rp) Keterangan Kandang

Milk Can Ember Minum Ember Kecil Gayung Sekop Garpu Pisau Sabit

…………

…………

…………

(32)

I. PRODUKSI SUSU DAN PENERIMAAN USAHATANI TERNAK SAPI PERAH DALAM SATU TAHUN

Uraian Jumlah Harga (Rp) Keterangan

Produksi Susu

(liter/hari/ekor) ……… liter Rp/liter ……… Peternak punya sapi

………… ekor Produksi Susu

(liter/bulan/ekor) ……… liter Produksi Susu

(liter/tahun/ekor) ……… liter

Penjualan Sapi Pedet ……… ekor Rp ………

Penjualan Sapi Afkir ……… ekor Rp ………

Penjualan Sapi

Dewasa/Produktif ……… ekor Rp ………

Penjualan Kotoran ……… kg Rp ………

………

………

J. PENDAPATAN USAHATANI TANAMAN PERTANIAN YANG DIUSAHAKAN PETERNAK DALAM SATU TAHUN Komoditas

Penerimaan

Biaya (Rp) Pendapatan

(Rp) Ket

Produksi (kg) Harga (Rp) Penerimaan (Rp) Padi

Jagung Kedelai Cabai

………

………

………

………

K. PENDAPATAN RUMAH TANGGA PETANI

HKO Jenis Pekerjaan Pendapatan Rumah Tangga (Rp/tahun)

… jam/hari … hari/tahun KK AK1 AK2 AK3 AK4

ON-FARM X X X X

…… …… Padi X X X X

…… …… …… X X X X

…… …… …… X X X X

…… …… …… X X X X

X X X X

X X X X

OFF-FARM

…… …… Buruh Tani

Tanam

…… …… Buruh Tani

Panen

…… …… Buruh Ternak

…… …… ……

…… …… ……

NON-FARM

…… …… Dagang

…… …… PNS

…… …… Karyawan

…… …… Buruh Bangunan

…… …… Tukang Kayu

…… …… Tukang Batu

…… …… ……

…… …… ……

…… …… ……

(33)

L. PENGELUARAN RUMAH TANGGA BAHAN MAKANAN (PANGAN)

Jenis Pengeluaran

Pangan Satuan Waktu (minggu/bulan/tahun)*

Asal Harga Beli (Rp) Nilai Pengeluaran (Rp)

Beli Sendiri

Beras Lauk Pauk 1. Telur 2. Tahu 3. Tempe 4. Daging Ayam

……

Sayur, Buah, Bumbu Minuman (gula, teh, kopi, dll) Rokok Roti, Kue

……

* Satuan Waktu : pilih satu yang infonya paling mudah didapat

BUKAN BAHAN MAKANAN (NON-PANGAN)

No Jenis Pengeluaran Nominal/

Satuan Waktu (minggu/bulan/tahun)

Nilai Pengeluaran per Tahun (Rp/tahun)

1 Penerangan & Bahan Bakar

a. Bensin, BBM (kendaraan bermotor) b. Listrik

c. Air (PDAM)

d. Gas dan minyak tanah 2 Pajak

a. PBB

b. Pajak kendaraan bermotor 3 Komunikasi

a. Pulsa b. Internet

4 Pendidikan Keluarga a. SPP

b. Uang saku (transportasi, jajan, kost anak) c. Buku, Alat tulis, seragam sekolah, dll

5 Keperluan Sehari-hari (sabun mandi, cuci, pasta gigi, sampo, dll) 6 Membeli pakaian

7 Perawatan Kesehatan (beli obat, periksa dokter) 8 Kegiatan sosial (sumbangan hajatan, kematian, dll) 9 Lain-lain (perbaikan rumah, servis rumah, dll)

M. PERMODALAN UNTUK USAHA TERNAK SAPI PERAH

Lahan Besarnya Modal (Rp)

Sumber Modal Suku Bunga

Pinjaman (% / tahun)

Lama Pinjaman

(bulan) Sendiri (Rp) Pinjaman (Rp) Sumber

Pinjaman*

N. INFORMASI LAIN DARI RESPONDEN TERKAIT USAHA TERNAK SAPI PERAH

(34)
(35)
(36)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahwa fiber nanosisal dapat digunakan sebagai filler (bahan pengisi) resin komposit dengan melihat perbedaan kekerasan antara

Tingkat kepuasan dosen dan tenaga kependidikan terhadap pelayanan sumber daya manusia di lingkungan Institut Teknologi dan Sains Nahdlatul Ulama Pasuruan untuk

Kerangka pemikiran dari penelitian ini terstruktur dalam beberapa factor utama yaitu menyatakan bahwa sumber daya manusia berupa tenaga kerja, upah, dan konsumsi rumah tangga

Hasil analisis statistik dengan memperhitungkan variabel-variabel pengganggu seperti jenis kelamin, morbiditas ISPA, status gizi awal, tingkat asupan energi dan protein, kadar

Gelombang laut (ombak) adalah gerakan naik turun permukaan air laut yang secara teratur memperlihatkan bagian-bagian yang tinggi sebagai puncak dan yang

lnformasi mengenai daging babi adalah bahwa untuk rumah tangga dengan tingkat pendapatan rendah, tingkat partisipasi konsumsinya lebih tinggi bagi rumah tangga yang

Sebelumnya dilakukan penelitian pendahuluan yang meliputi pengeringan limbah tanaman jagung yang telah diperoleh; untuk mengetahui kandungan nutrisi yang dibutuhkan

Pengalaman Penelitian 5 tahun terakhir No Tahun Judul Penelitian Pendanaan Sumber Jumlah juta Rp 1 2014 Analisis Karakteristik Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Preferensi