• Tidak ada hasil yang ditemukan

ICASEPS WORKING PAPER No. 74

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ICASEPS WORKING PAPER No. 74"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ICASEPS WORKING PAPER No. 74

KERAGAAN USAHA PENANGKAPAN IKAN LAUT DI PROVINSI JAWA BARAT

KASUS CONTOH DESA PATANAS 2000/2001 (Margagiri dan Ilir)

Tjetjep Nurasa

Pebruari 2005

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

(2)

KERAGAAN USAHA PENANGKAPAN IKAN LAUT DI PROVINSI JAWA BARAT KASUS CONTOH DESA PATANAS 2000/2001 (Margagiri dan Ilir)

Tjetjep Nurasa

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. Ahmad Yani 70, Bogor 16161

ABSTRAK

Penelitian berbasis desa pantai di wilayah Provinsi Jawa Barat adalah sebagai salah satu sentra produksi perikanan. Tujuan utama penelitian adalah: (1) mengetahui keragaan asset penangkapan ikan laut (2) mengetahui keragaan usaha penangkapan, (3), pemasaran ikan laut yang dilakukan oleh nelayan. Analisa dilakukan secara diskriptif dan tabulasi silang. Hasil penelitian menunjukan bahwa Perahu yang dimiliki desa margagiri (0,40 - 23,10 GT) dan desa Ilir (1,40-24 GT) dengan mesin pengerak yang mempunyai kekuatan sama yaitu sekitar 5-20 PK, Alat tangkap dominan yang diusahakan nelayan desa Margagiri yaitu jaring payang (66%) dan nelayan desa Ilir jaring sotong (44,4%). Investasi yang digunakan dalam usaha penangkapan dari kedua desa contoh adalah sama yaitu pengeluaran terbesar adalah untuk pembelian perahu desa Margagiri yaitu sebesar Rp 13.638.000 (71%), desa Ilir sebesar Rp 11.800.000 (64%) dan biaya terkecil yang dikeluarkan dalam investasi ini adalah untuk pembelian alat bantu yang masing- masing adalah untuk desa Margagiri Rp 112.000 dan desa ilir Rp 294.000. Investasi yang ditanamkan dalam usaha penangkapan ternyata nelayan desa Margagiri sebesar (50%) dan desa Ilir (36%) masih mendapatkan pinjaman dari kredit informal. Hasil produksi tangkapan rata-rata selama satu tahun tertinggi diperoleh nelayan desa Ilir yaitu sebesar 145.260 kg (112 trip) dengan nilai Rp 279.897.000, dan nelayan desa Margagiri 71.367 kg (210 trip) dengan nilai Rp 98.729.000. Pendapatan yang diterima dari sistem bagi hasil ABK desa Ilir mendapatkan bagian yaitu sebesar Rp 10.220.000/orang dan pendapatan ABK desa Margagiri Rp 2.569.000/orang.

Sedangkan pendapatan bersih yang diterima pemilik usaha penangkapan diperoleh pemilik usaha penangkapan di desa Ilir yaitu sebesar Rp 70.406.000 dan pemilik usaha di desa Margagiri sebesar Rp 28.198.000. Dalam melakukan penjualan hasil tangkapan terlihat bahwa masih ada nelayan yang menjual tanpa melalui TPI yang ada, seperti nelayan desa Margagiri ada sebesar (87,5%) dan nelayan nelayan desa Ilir (27%) menjual langsung. Dengan demikian keberadaan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) khususnya di Margagiri menunjukan belum berperan secara optimal. Oleh karena itu untuk membangun perikanan rakyat diharapkan adanya bantuan permodalan dan pembinaan yang berkesinambungan

Kata kunci: desa pantai, Jawa Barat nelayan, perikanan laut

PENDAHULUAN

Sektor perikanan skala kecil mempunyai ciri yaitu banyaknya jumlah alat tangkap yang dioperasikan pada daerah penangkapan yang sama (Smith I. R. 1982) sehingga persaingan yang cukup ketat, menurut Supanto (1989) pengusahaan perikanan rakyat pada umumnya baru mengkombinasikan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dengan teknologi yang belum melibatkan modal dalam skala memadai. Berdasarkan pengamatan Fernando (1985) dan Nikijuluw (1987), pengusahaan perikanan rakyat/tradisional dikendalikan oleh kombinasi dari kekuatan ekonomi, sosial kultural dan

(3)

informasi yang dipegang oleh perantara (Midleman) yang merangkap sebagai pelepas uang. Kondisi tersebut diperkirakan telah mendorong adanya eksploitasi terhadap nelayan melalui kekuatan monopsonistik atau oligopsoni dalam pasar produk perikanan.

Demikian pula pada perikanan kecil di banyak daerah di indonesia masih banyak nelayan dalam operasi penangkapan selama dalam satu tahun masih menggunakan hanya satu jenis alat tangkap, begitu juga penggunaan alat bantu seperti, rumpon, lampu belum dilakukan dengan baik. Alat tangkap yang digunakan dari kedua desa contoh seperti bagan tancap, payang, cantrang, rawai biasa, gill-net, trammel-net, jala, menurut Waluyo Subani dan Hr. Barus. (1988-1989) alat tangkap yang digunakan masih bersifat tradisional. Dalam hal menjaga mutu ikan hasil tangkapan umumnya kapal penangkap tidak mempunyai fasilitas dan peralatan yang memadai untuk penanganan ikan segar.

Dalam lama operasi penangkapan 1-7 hari , umumnya nelayan dalam menggunakan es dalam jumlah yang tidak cukup bahkan kadang tidak membawa sama sekali, bahkan seringkali pemberian baru dilakukan setelah ikan didaratkan untuk selanjutnya didistribusikan (Tambunan dan syafurrijal, 1972). Dilain pihak jika mengacu pada Shewan (1980) yang dikutip oleh Murniyati, et al., 1987 yaitu bahwa dengan pengesan, ikan-ikan tropis mempunyai daya awet yang lebih lama dibandingkan ikan yang sama dari perairan yang dingin. Terhadap harga jual yang sekaligus yang merupakan pendapatan bagi nelayan dengan mutu ikan yang baik akan meningkatkan harga jual ikan dan akan meningkatkan pendapatan nelayan.

Desa pantai yang diambil sebagai daerah contoh patanas di provinsi Jawa Barat pada tahun 2001 adalah desa Margagiri terdapat di kabupaten Serang (Banten) dan desa Ilir di Kabupaten Indramayu. Kedua desa contoh yang diambil tersebut masih mencirikan sebagai desa pantai yang kegiatan ekonomi masyarakatnya banyak bergantung dari hasiltangkapan laut dan umumnya pada perikanan skala kecil. Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui Keragaan asset penangkapan ikan laut mencakup perahu, mesin dan alat tangkap yang digunakan, (2) mengetahui keragaan usaha penangkapan (3), pemasaran ikan laut yang dilakukan oleh nelayan. Penelitian menggunakan metode survey berstruktur dengan menggunakan daftar pertanyaan untuk data primer ditingkat nelayan Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari Laporan Lembaga Penelitian dan Dinas instansi terkait Hasil penelitian diharapkan menjadi masukan dalam upaya pembangunan perikanan skala kecil untuk meningkatkan pendapatan petani/nelayan dan kesempatan kerja.

(4)

METODE PENELITIAN

Penelitian Patanas dan Susenas di Provinsi Jawa Barat dilaksanakan tahun 2001.

Untuk desa contoh adalah Desa Margagiri yang terdapat di Kabupaten Serang (Banten) dan Desa Ilir di Kabupaten Indramayu. Kedua desa contoh tersebut masih mencirikan sebagai desa pantai yang kegiatan ekonomi masyarakat umumnya banyak tergantung dari hasil laut masih terkonsentrasi pada perikanan skala kecil. Tujuan penelitian adalah untuk: (1) mengetahui Keragaan asset penangkapan ikan laut mencakup perahu, mesin dan alat tangkap yang digunakan (2) mengetahui keragaan usaha penangkapan ikan laut mencakup, pola tangkapan, tenaga kerja dan sistim bagi hasil, (3) pemasaran ikan laut yang dilakukan oleh nelayan. Penelitian menggunakan metode survey berstruktur dengan menggunakan daftar pertanyaan. Data primer dikumpulkan dari 27 orang nelayan pemilik. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari Dinas instansi terkait. Data dianalisa secara deskriptif dengan tabulasi silang tentang biaya, pendapatan dan sistim bagi hasil serta mekanisme pemasaran secara umum pada tingkat produsen (nelayan).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Asset Penangkapan Ikan Laut a. Perahu dan mesin pendorong

Penguasaan aset pada kegiatan penangkapan ikan di laut merupakan sarana yang sangat penting terhadap tingkat pendapatan dan asset tersebut terdiri dari perahu, mesin dan alat tangkap/jaring yang dimiliki atau yang diusahakan nelayan dalam penangkapan ikan di laut. Dilihat kepemilikan asset penangkapan pada nelayan menunjukkan adanya keragaman antar desa contoh, hal tersebut disebabkan oleh kadaan alam, perairan serta adat kebiasaan dari masing-masing desa. Unit asset perahu yang digunakan dalam operasi penangkapan dapat dikemukakan sebagai berikut.

Dilihat dari besar bobot dan kapasitas daya angkut perahu dengan ukuran maksimal terlihat bahwa nelayan di kedua yaitu desa margagiri dan desa Ilir dapat dikatakan sama dengan kisaran bobot perahu antara 0,40–24 grose tonase (GT) dan kapasitas daya angkut antara 0,1–10 ton. Perbedaan tersebut tidak menjadikan ukuran target, bahwa perahu yang digunakan ini disesuaikan dengan alat tangkap dan modal usaha yang digunakan nelayan dimasing-masing desa, dimana kebanyakan untuk nelayan desa Margagiri menggunakan alat tangkap payang dengan jumlah ABK sekitar

(5)

12 orang, nelayan desa Ilir dengan alat tangkap jaring sotong atau jaring tembang yang membawa ABK juga sekitar 12 orang. Sedangkan daya dorong untuk menggerakan perahu ke tempat penangkapan (fishing ground) dan untuk kembali setelah beroperasi biasanya nelayan menggunakan mesin seperti yang tertera di Tabel 1.

Tabel 1. Besarnya Daya Dorong Mesin Penggerak Perahu Yang Digunakan Nelayan di Desa Contoh Patanas di Propinsi Jabar, Tahun 2000-2001

Desa

Margagiri Ilir

Mesin Penggerak (PK)

n (%) N (%)

5 - 15 16 - 20

6 6

50 50

4 7

36,4 63,6

Total 12 100 11 100

Sumber : Data Primer 2000

Motor penggerak yang digunakan sebagai alat pendorong perahu yang digunakan nelayan di desa contoh memiliki daya dorong yang sama yaitu antara 5-20 PK. Namun jika dilihat presentase untuk ukuran daya 5-15 PK desa Margairi mencapai 50 persen, desa Ilir 36 persen, kondisi tersebut menunjukkan bahwa mesin yang digunakan sebagai alat pendorong perahu untuk ukuran kecil dengan jangkauan tempat penangkapan tidak terlalu jauh, sekitar perairan pantai setempat. Sedangkan untuk mesin dengan daya dorong 16-20 PK desa Ilir mencapai 63,64 persen dan desa Margagiri 50 persen, ini menunjukan bahwa perahu yang digunakan pun cukup besar dan jangkauan tempat lokasi penangkapan ikan (fishing ground) cukup jauh dari perairan pantai, dimana lokasi penangkapan ikan yang biasa ditempuh oleh nelayan desa Ilir bisa mencapai Kalimantan, sedangkan nelayan desa Margagiri biasa menangkap sampai perairan Lampung, Jakarta.

Alat tangkap. Untuk kepemilikan dari alat tangkap yang digunakan oleh nelayan dari masing-masing desa contoh patanas sebagai berikut; Jenis alat tangkap yang diusahakan nelayan desa Margagiri ada 4 jenis, dimana sebagian besar alat tangkap yang digunakan adalah alat jaring payang (66%) dan bagan tancap (19%). untuk desa Ilir ada sekitar 6 jenis dengan alat dengan alat tangkap dominan yaitu jaring sotong (44%), serok (13%) dan jaring arad (11%) sebagaimana tertera pada Tabel 2.

(6)

Tabel 2. Keragaan Jenis Alat Tangkap di Desa Contoh Patanas, Provinsi Jabar, Tahun 2000-2001

Desa

Margagiri Ilir

Jenis Alat Tangkap

(%) (%)

1. Gill net 2. Payang 3. Jaring Sotong 4. Bagan Tancap 5. Arad

6. Serok 7. Terumbu

8. Jaring Lempara dan Jaring Sotong 9. Jaring Lempara dan Pintur

8,3 66,7 5,6 19,4 - - - -

- - 44,4

- 11,1 13,9 8,3 8,3

Total 100 100

Sumber : Data Primer 2000

Tabel 3. Rata-rata Nilai Investasi Usaha Perikanan Tangkap di Desa Contoh Patanas Propinsi Jawa Barat, Tahun 2000-2001.

(Rp.0,000)

Nama Desa Perlengkapan unit usaha

Perahu Mesin Alat tangkap Alat bantu Total 1. Margagiri

2. Ilir

13.638 11.800

2.587 5.480

2.877 915

112 294

19.214 18.489 Sumber : Data Primer 2000

Nilai investasi yang ditanamkan pada unit usaha penangkapan, ternyata nilai terbesar yang dikeluarkan adalah untuk pembelian perahu. Alokasi investasi yang digunakan untuk pembelian perahu adalah sebesar 71 persen di desa Margagiri dan desa Ilir 64 persen. Adanya perbedaan disebabkan dari ukuran perahu (GT) dan jenis kayu yang digunakan. Nilai terendah yang dikeluarkan dari investasi adalah untuk kelengkapan alat bantu, di desa Marga Giri 0,6 persen dan desa Ilir 1,6 persen, dimana alat bantu biasanya pada perikanan skala kecil umumnya kurang diperhatikan (Tabel 3).

b. Sumber Pengadaan Investasi Alat Penangkapan Ikan Laut

Dari perhitungan nilai investasi tersebut perlu juga diketahui darimana sumber modal yang dimiliki nelayan. Dapat diketahui bahwa investasi sebagai modal usaha yang dijalankan untuk pembelian asset usaha penangkapan yang ada saat ini masih ada yang berasal dari pinjaman.

(7)

Tabel 4 Kepemilikan dan Sumber Modal Usaha Perikanan Tangkap Yang di Gunakan Nelayan di Desa Contoh Patanas di Propinsi Jabar, Tahun 2000-2001

Perahu Mesin Alat Tangkap

Desa Sumber n % n % n %

1. Margagiri Modal sendiri Kredit Formal Kredit informal Campuran

Total

6 - 2 4 12

50,00 - 16,67 33,33 100

12 - - - 12

100 - - - 100

17 - - - 17

100 - - - 100

2. Ilir Modal sendiri Kredit Formal Kredit informal Campuran

Total

7 2 1 1 11

63,64 18,18 9,09 9,09 100

18 1

- - 19

94,74 5,26

- - 100

14 - - - 14

100 - - - 100 Sumber : Data Primer 2000

Pinjaman terbesar dilakukan desa Margagiri yaitu sekitar 50 persen, desa Ilir 36 persen untuk kebutuhan perahu. Pinjaman yang dilakukan pada pemberi kredit informal ternyata cukup tinggi dibandingkan dengan pinjaman pada pemberi kredit formal. Hal ini berarti nelayan masih dihadapkan pada pihak yang menentukan harga jual hasil tangkapannya, dengan itu perlu kiranya peran dari aparat pemerintah dapat menanggulanginya (Tabel 4).

Keragaan Usaha Penangkapan

a. Pola Tangkapan (musim penangkapan ikan)

Produksi hasil tangkapan nelayan dilaut tidak terlepas dari pada keadaan alam, yang berkaitan dengan musim penangkapan ikan. Musim puncak, dimana pada saat ini hasil tangkapan nelayan melimpah, kedua musim paceklik dimana keadaan alam yang ditandai angin kencang (musim timuran dan baratan) pada saat ini hasil tangkapan nelayan sedikit bahkan tidak sedikit nelayan tidak mendapatkan hasil bahkan pada saat paceklik nelayan kecil sama sekali tidak pergi melaut. Ketiga yaitu musim sedang/biasa-

(8)

biasa saja, dimana pada saat ini nelayan dalam mendapatkan hasilnya tidak terlalu melimpah.

Trip penangkapan atau lama kegiatan dalam operasi penangkapan di laut antara alat yang satu dengan yang lain tidak sama seperti telah disebutkan yaitu tergantung besar kecilnya usaha penangkapan, selain itu keadaan alam dari setiap daerah yang berbeda pula.

Nelayan pemilik yang diambil sebagai responden dari tiga daerah contoh patanas yaitu desa Margagiri sebanyak 16 orang, dan desa Ilir 11 orang. Nelayan pemilik tersebut berprofesi selain sebagai juragan darat juga umumnya merangkap sebagai juragan laut/nakhoda. Unit alat tangkap yang digunakan nelayan dari masing-masing daerah tersebut tidak sama, tergantung keadaan alam dan kebiasaan dari alat yang digunakan.

Unit alat tangkap yang dominan digunakan masing-masing daerah adalah untuk Margagiri yaitu jaring payang, bagan tancap, gillnet dan jaring sotong, sedangkan di daerah Ilir yaitu alat jaring sotong, jaring arad , jaring tembang dan serok. Jumlah ABK dari setiap unit penangkapan bervariasi tergantung besar/kecilnya dan alat tangkap yang digunakan. Secara umum di desa margagiri menggunakan 12 orang ABK yang biasanya ikut dalam operasi penangkapan alat payang dan ABK yang terlibat pada unit usaha penangkapan di desa Ilir minimum 4 orang dan maksimum 10 orang ABK. Dalam pengoperasian alat tangkap nelayan di desa Ilir telah penggunaan alat lebih dari satu macam dalam satu musim (diversifikasi alat). Kegiatan penangkapan selama satu tahun berdasarkan musim dari masing-masing desa seperti terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Produksi Rata-rata Dalam Satu Tahun yang Diperoleh Unit Usaha Penangkapan di Tiga Desa Contoh Patanas Provinsi Jawa Barat. Tahun 2000 – 2001

Desa Uraian

Margagiri Ilir

1. Jumlah trip/th 2. Hasil/trip (kg)

3. Jumlah hasil kotor (kg)

210 340,33 71.367

112 1.202 145.260 Sumber : Data Primer 2000

Tabel 5 Menunjukkan bahwa hasil tangkapan rata-rata selama satu tahun tertinggi diperoleh nelayan desa Ilir yaitu sebesar 145.260 kg (112 trip) dengan nilai Rp 279.897.000, dan nelayan desa Margagiri 71.367 kg (210 trip) dengan nilai Rp

(9)

98.729.000. Rendahnya pendapatan yang diperoleh nelayan desa Margagiri ini yaitu walaupun mengenai (perahu, mesin) yang diusahakan dalam operasi penangkapan sama akan tetapi alat tangkap yang digunakan yang berbeda yang mana hasil tangkapannya juga berbeda baik dari jenis ikan yang tertangkap maupun harga dari ikan hasil tangkapan. Jalan keluar yang harus ditempuh untuk dapat meningkatkan pendapatan yaitu harus meningkatkan usaha penangkapan dengan beralih ke teknologi yang lebih maju lagi.

b. Tenaga Kerja dan Sistem Bagi Hasil

Hasil analisa pendapatan usaha perikanan tangkap yang ditampilkan yaitu berdasarkan atas rata-rata per unit perahu dengan tanpa nama alat tangkap yang digunakan atau alat yang sama yang digunakan di masing-masing daerah contoh.

Rata-rata perolehan pendapatan dari unit penangkapan yang diperoleh nelayan dari masing-masing daerah adalah tertinggi diterima oleh nelayan Ilir yaitu dengan total pendapatan sebesar Rp 279.897.504 dengan jumlah trip penangkapan 112 trip, nelayan desa Margagiri sebesar Rp 98.729.265 dengan 210 trip (Tabel 6).

Keuntungan usaha penangkapan ikan laut tidak lepas dari besar atau kecilnya unit usaha yang dijalankan disamping itu juga dipengaruhi dari perolehan hasil tangkapan, harga ikan dan besarnya biaya operasional penangkapan (biaya tetap dan biaya tidak tetap) juga dipengaruhi oleh sistem bagi hasil yang ada antara pemilik kapal dan nelayan ABK (anak buah kapal) disamping juga musim penangkapan. Pendapatan atau upah yang diterima ABK dari usaha perikanan tangkap berasal dari sistem bagi hasil dari perolehan hasil tangkapan yang diterima setelah ikan didaratkan (laku dijual), jadi ABK menerima upah dalam bentuk uang. Dari sistem bagi hasil yang berlaku antara usaha alat tangkap yang satu dengan alat tangkap lainnya berbeda, begitu juga antara satu daerah dengan daerah lainnya berbeda pula tergantung dari kebiasan yang berlaku dimasing-masing desanya. Walaupun sistem bagi hasil yang berlaku berbeda tapi seharusnya para pemilik usaha menggunakan aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Pendapatan yang diterima nelayan penggarap (ABK) dari sistem bagi hasil kelihatannya masih ada yang belum sesuai dengan peraturan yang baku. Kenyataan seperti ini sebenarnya masih banyak dijumpai di daerah nelayan, Bagi nelayan

(10)

penggarap (ABK) keadaan seperti ini tidak dapat berbuat banyak selain menerima apa adanya, karena perjanjian bagi hasil yang berlaku dan diterima tidak tertulis, antara juragan dan nelayan yang memungkinkan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaannya. Berdasarkan cara bagi hasil yang berlaku saat ini diharapkan instansi yang terkait ikut campur dalam menentukan bagi hasil yang mengena dan menguntungkan kedua belah pihak demi kesinambungan operasi penangkapan dan perlindungan bagi nelayan pandega (ABK). Pemberian upah minimum bagi seorang pandega mulai sekarang dapat dipertimbangkan. Dari Tabel 10 dapat diketahui bahwa pendapatan atau upah nelayan buruh (ABK) dari Sistem bagi hasil dari usaha perikanan tangkap di desa contoh Patanas di Propinsi Jawa Barat yaitu tertinggi di peroleh ABK desa Ilir mendapatkan bagian yang tertinggi yaitu sebesar Rp 10.220.000/orang dan pendapatan ABK desa Margagiri Rp 2.569.000/orang. Pendapatan yang diterima ABK dari kedua desa tersebut nampaknya cukup memadai bila dilihat dari segi perundang- undangan yang berlaku. Ketentuan UU no 16 tahun 1964 mengatur besarnya bagi hasil antara nelayan penggarap dan pemilik disebutkan:,“….Minimum 75 persen jika menggunakan layar dan 40 persen dari hasil bersih jika menggunakan perahu motor merupakan bagian nelayan penggarap (ABK).

c. Pembiayaan Usaha Penangkapan Ikan Laut

Biaya operasional penangkapan sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya kapal, jauh dekatnya jelajah kapal menuju lokasi penangkapan ikan di laut (fishing ground), jumlah waktu yang dibutuhkan, serta besar kecilnya penggunaan biaya untuk pengawetan ikan, biaya ransum dan biaya lainnya (biaya administrasi), sedangkan dalam perhitungan biaya yang dikeluarkan dalam usaha perikanan tangkap tidak terlepas dari perhitungan biaya tetap (fixed cost), biaya tidak tetap (variable cost) dan biaya terluang (opportunity cost). Besarnya biaya operasional (biaya tetap dan tidak tetap) antara kapal dengan alat tangkap yang satu dengan kapal alat tangkap lainnya tidak sama. Besarnya biaya operasional yang dikeluarkan masing-masing desa dalam usaha perikanan tangkap yaitu tertinggi adalah desa Ilir dengan nilai Rp 136.790.000 dan desa Margagiri Rp 39.848.000.

d. Pendapatan Usaha Perikanan Tangkap

Pada Tabel. 6 menunjukan bahwa kegiatan penangkapan ikan selama satu tahun dari nelayan di dua daerah yang diamati menunjukan bahwa hasil rata-rata pendapatan

(11)

kotor untuk desa Margagiri yaitu sebesar 145.260 kg dengan nilai Rp 98.729.000 dan desa Ilir sebesar 145.260 kg dengan nilai Rp 279.897.000. Sedangkan total biaya operasional yang dikeluarkan selama satu tahun dalam kegiatan penangkapan ikan yaitu untuk desa Margagiri adalah sebesar Rp 39.848.000 dan desa Ilir Rp 136.790.000.

Keuntungan usaha penangkapan ikan di Provinsi Jawa Barat khususnya di dua daerah yang diamati disamping dipengaruhi oleh besar kecilnya hasil tangkapan, harga ikan dan besarnya biaya operasional penangkapan maupun biaya tetap dan biaya variabel lainnya juga dipengaruhi oleh sistem bagi hasil yang ada antara pemilik kapal dan nelayan ABK, disamping juga musim.

Tabel .6 Rata-rata Pendapatan Usaha Perikanan Tangkap Berdasarkan Musim di Desa Contoh Patanas, Propinsi Jabar, Tahun 2000 – 2001

Musim Uraian

Puncak Sedang Paceklik

Total 1 Tahun I. Desa Margagiri :

1.- Jumlah Trip - Nilai/trip (Rp) - Nilai Kotor (Rp)

2.- Biaya oprasional/trip (Rp) - Total Biaya Operasional (Rp) - Nilai Produksi (1c – 2 b) - Bagian ABK

- Bagian Pemilik - Biaya Administrasi

- Pendapatan bersih Pemilik III. Desa Ilir

1.- Jumlah Trip - Nilai/trip (Rp) - Nilai Kotor (Rp)

2.- Biaya oprasional/trip (Rp) - Total Biaya Operasional (Rp) - Nilai Produksi (1c – 2 b) - Bagian ABK

- Bagian Pemilik - Biaya Administrasi

- Pendapatan bersih Pemilik

48 770.789 36.997.867

197.131 9.462.288 27.535.579 13.217.078*)

14.318.501

30 4.566.742 137.022.260

1.315.764 39.472.920 97.529.340 48.764.670*)

48.764.670 - -

107 391.379 41.877.553

186.819 19.989.633 21.887.920 10.506.202*)

11.381.718

54 2.026.986 109.457.244

1.271.010 68.634.540 40.822.704 20.411.352*)

20.411.352 - -

55 360.979 19.853.845

189.028 10.396.540

9.457.305 4.539.506*)

4.917.799

28 1.193.500 33.418.000

1.024.410 28.683.480

4.734.520 2.367.260*)

2.367.260 - -

210 98.729.265 39.848.461 58.880.804 28.268.786*)

30.618.018 2.419.063 28.198.956

112 279.897.504

- 136.790.940 143.106.564 71.543.282*) 71.543.282

1.136.364 70.403.918 Sumber : Data Primer 2000

Keterangan : *) Jumlah ABK 11 Orang

Dari sisi pemilik modal, bagi hasil yang dikeluarkan pada dasarnya merupakan bagian dari upah yang diterima nelayan ABK di satu sisi, dan di sisi lain merupakan biaya variabel yang ditanggung pemilik. Dari Tabel 6 menunjukan bahwa besarnya penerimaan upah nelayan ABK dan pemilik dari kedua daerah berbeda. Pendapatan upah yang

(12)

diterima nelayan ABK di Margagiri adalah Rp 28.268.000 dan ABK desa Ilir sebsar Rp 71.543.000. Sementara pendapatan bersih pemilik desa Margagiri sebesar Rp 28.198.000 dan pemilik desa Ilir Rp 70.406.000. Rendahnya pendapatan bersih yang diterima baik oleh nelayan ABK maupun pemilik desa Margagiri kemungkinan disebabkan dari trip kegiatan penangkapan yang cukup rendah karena faktor dari alat tangkap yang digunakan yang masih belum cukup memadai dengan kondisi alam setempat dan juga hasil tangkapan ikan yang kurang memiliki nilai ekonomis mengakibatkan pendapatan masih belum memuaskan.

Sistem Pemasaran dan Lembaga Pemasaran

Pemasaran hasil produksi adalah mata rantai produksi yang memiliki peranan penting di dalam sub sektor perikanan Hal ini disadari bahwa nelayan menjual hasil tangkapan mereka yang nilai hasil penjualannya digunakan untuk kebutuhan rumahtangganya, memperbaiki peralatan penangkapan dan sebagian di tabung kalau ada kelebihan. Besarnya nilai hasil tangkapan disamping tergantung dari kualitas produksi juga ditentukan oleh lembaga pemasaran yang kepadanya nelayan menjual hasil tangkapannya. Dari Tabel 7 dapat diketahui bahwa dari dua desa contoh patanas ternyata nelayan desa Ilir (73%) menjual hasil tangkapannya di TPI setempat.

Sedangkan nelayan desa Margagiri (87,5%) lebih banyak menjual hasil tangkapannya di luar TPI. Hal demikian bisa terjadi kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal seperti;

kurang berfungsinya TPI, pelataran sebagai tempatnya memasarkan masih kurang memadai, di TPI belum tersedianya bahan kebutuhan operasional dan peralatan tangkap yang dibutuhkan nelayan atau nelayan sengaja menjual diluar untuk menghindari pungutan retribusi atau ingin mendapatkan uang dengan cepat. Dengan demikian keberadaan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) khususnya di Margagiri menunjukan belum berperan secara optimal (Kattenberg, 1978).

Tabel 7. Lokasi Pemasaran Ikan Hasil Tangkapan Nelayan di Luar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Desa Contoh Patanas Provinsi Jabar, Tahun 2000 – 2001

1 2 4 5 Total

Desa

n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)

1. Margagiri 2. Ilir

- 8

- 72,73

2 -

12,50 -

10 2

62,50 18,18

4 1

25,00 9,09

16 11

100 100 Sumber : Data Primer 2000

Keterangan : 1 = Di TPI setempat: 2 = Di TPI luar daerah

3 = Dilokasi pendaratan di luar TPI; 4 = di Laut; 5 = Campuran; 6 = Lainnya

(13)

Dimana TPI yang diharapkan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan harga jual nelayan agar nelayan mendapatkan harga yang layak dan pasar tidak oligopsoni.

Sedangkan kepada siapa nelayan biasa menjual ikan yang dilakukannya di luar TPI adalah seperti pada Tabel 8, yang menunjukkan bahwa nelayan di desa Margagiri sekitar 62,5 persen menjual kepada pedagang lainnya yaitu pengolah perebusan teri nasi, 25 persen kepada pedagang langganan tanpa ikatan, nelayan desa Ilir 82 persen menjual hasil tangkapannya kepada eksportir langsung.

Tabel 8. Pemasaran Ikan Hasil Tangkapan Nelayan) Di Luar TPI (Tempat Pelelangan Ikan) di Desa Contoh Patanas Propinsi Jabar , Tahun 2000 – 2001

1 2 3 4 5 6 Total

Desa

n % n % n % n % n % n % n %

1. Margagiri 2. Ilir

- -

- -

- 2

- 18,2

2 9

12,5 81,9

4 -

25 -

10 -

62,5 -

- -

- -

16 11

100 100 Sumber : Data Primer 2000

Keterangan : 1 = Pedagang yang telah memberi modal/pinjaman 2 = Pedagang tanpa ikatan modal

3 = Dijual Langsung ke eksportir 4 = Langganan tanpa ikatan 5 = Lainnya

6 = Campuran

Dari Tabel 8, terlihat dari kenyataan yang ada tersebut memberikan gambaran bahwa para nelayan masih banyak ketergantungan kepada pedagang perantara.

Rupanya hal ini terjadi karena ketiadaan modal dan biaya operasi nelayan sehingga mereka terpaksa meminjam dari pedagang perantara dengan ikatan khusus. Keadaan ini menguntungkan nelayan yang tinggal jauh dari daerah konsumen. Akan tetapi bila pedagang perantara ini berperan sebagai ijon atau memiliki ikatan tertentu dengan nelayan, hal ini akan merugikan nelayan karena harga ikan biasanya dibawah harga ikan yang berlaku. Dominasi pedagang perantara baik dengan maupun tanpa ikatan berkonotasi bahwa TPI yang diharapkan menguasai pasar produsen masih kalah perannya, dan menunjukan bahwa TPI belum berperan secara optimal (Kattenberg, 1978). Bila asumsi bahwa pedagang perantara benar-benar adalah lintah darat terbukti kebenarannya (Bailey Conner, 1983), maka tingkah laku pasar yang ada kini belum menjamin akan peningkatan nelayan.

(14)

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Dari kepemilikan unit usaha dan teknologi yang diusahakan usaha perikanan tangkap di desa contoh patanas Provinsi Jawa Barat tahun 2000 – 2001 masih dalam unit usaha skala kecil. Kenyataan ini mengisyaratkan perkembangan perikanan rakyat sulit diharapkan tanpa adanya bantuan atau kerjasama dari pihak terkait pemerintah maupun pihak swasta baik dari segi permodalan dan pembinaan yang ber-kesinambungan.

2. Dalam pola/musim penangkapan ikan selain ditentukan dari besar kecilnya usaha penangkapan yang diusahakan, alat tangkap yang digunakan juga keadaan alam dari setiap daerah yang berbeda. Dimana hal ini akan menentukan berapa besar biaya yang harus dikeluarkan dan pendapatan yang harus diperoleh. Seperti pendapatan yang diterima nelayan yang ada di desa Margagiri lebih rendah dari pendapatan yang diterima nelayan di Ilir. Hal ini walaupun besarnya kapasitas (perahu, mesin) sama akan tetapi alat tangkap yang digunakan berbeda dengan demikian hasil dan jenis ikan tangkapan juga berbeda. Jalan keluar yang harus ditempuh untuk dapat meningkatkan pendapatan yaitu harus meningkatkan usaha penangkapan dengan beralih ke teknologi (alat tangkap) yang lebih maju lagi. 3. Pendapatan atau upah nelayan buruh (ABK) dari sistem bagi hasil dari usaha

perikanan tangkap tertinggi di peroleh ABK desa Ilir mendapatkan bagian yang tertinggi yaitu sebesar Rp 10.220.000/orang dan pendapatan ABK desa Margagiri Rp 2.569.000/orang. Bagian atau pendapatan yang diterima ABK sudah memenuhi peraturan sesuai dengan UU. No 16 tahun 1976 tentang sistem bagi hasil, namun perlu ada peningkatan usaha dalam perikanan yang lebih baik lagi dari yang sudah ada sekarang ini.

4. Dalam memasarkan hasil tangkapan nelayan di desa contoh patanas pedagang perantara sebagai lembaga pemasaran ini adalah lembaga yang terbesar peranannya didalam membeli hasil tangkapan nelayan. Bagi pedagang perantara dengan dan tanpa ikatan bila berperan sebagai ijon atau memiliki ikatan tertentu dengan nelayan, hal ini akan merugikan nelayan karena harga ikan biasanya dibawah harga ikan yang berlaku.

5. TPI (Tempat Pelelangan Ikan), dibangun pemerintah adalah salah satu cara untuk meningkatkan harga jual nelayan agar nelayan mendapatkan harga yang layak

(15)

dan pasar tidak oligopsoni. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa TPI belum berperan secara optimal, jadi peyanan TPI masih perlu ditingkatkan pelayanannya yaitu selain mencatat perahu/kapal yang mendaratkan ikan juga diharapkan menyediakan sarana tempat ikan untuk dijual dengan baik, pengadaan peralatan maupun bahan kebutuhan nelayan untuk melaut. Dari kenyataan ini mengisyaratkan bahwa perkembangan perikanan rakyat sulit diharapkan tanpa adanya bantuan permodalan dan pembinaan yang berkesinambungan.

DAFTAR PUSTAKA

Bailey Conner, (1983). Tinjauan Semula Dua Asumsi terhadap Masalah Pengembangan Perikanan Laut Skala Kecil Di Indonesia. Implikasi Untuk Program Pemerintah dan Penelitian Sosial Ekonomi. Pros. No. 3/SWEP/1983 : 281 – 287.

Fernando. S., 1985 The Marketing System in the Small-Scall Fishery of Srilangka; Does the Midddleman Expo in the Fisherman. International Development Recearch Cebtre, 1985, page 185 – 196.

Murniyati, M. Saleh dan P. Sarnianto, 1987. Pengesan Ikan Layang (Decapterus macrosoma Blkr) I. Pengaruh Penundaan Pengesan terhadap daya awet Ikan Layang . Jurnal Penelitian Pasca Panen Perikanan. BPPL Jakarta No. 57 : 1-12

Nikijuluw. V. P.H. dan Manadiyanto, 1987., Telaah Pelayanan dan Manfaat Koperasi Perikanan bagi nalayan Indonesia, Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta, No. 42. Hal : 71 – 77

Smith I.R. 1982. Small Scale Fisheries of San Migiel Bay. Philippines : The Site Data Collection and methods of Analysis. ICLARM Technical Reports 8.

Waluyo Subani dan H.R. Barus, 1988/1989 Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut Di Indonesia, Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta, No. 50 Edisi Khusus.

Supanto. 1989. Penangkapan tuna segar dengan Armada Semut. Makalah disampaikan pada Lokakarya Perikanan Tuna 5 – 6 Juni 1989.

Tambunan, P.R. dan Syaifrijal, 1972. Pengesan Ikan I. Pengesan Ikan Kakap merah, Yellowfin tuna, tongkol Banyar dan Cakalang. Lembaga Teknologi Perikanan Jakarta.

Gambar

Tabel 1.  Besarnya Daya Dorong Mesin Penggerak Perahu Yang Digunakan Nelayan di Desa  Contoh Patanas di Propinsi Jabar, Tahun 2000-2001
Tabel 2.  Keragaan  Jenis Alat Tangkap di Desa Contoh Patanas, Provinsi Jabar,   Tahun 2000-2001
Tabel 4  Kepemilikan dan Sumber Modal Usaha Perikanan Tangkap Yang di Gunakan Nelayan  di Desa Contoh Patanas di Propinsi Jabar, Tahun 2000-2001
Tabel 5.  Produksi Rata-rata  Dalam Satu Tahun yang Diperoleh  Unit Usaha Penangkapan  di  Tiga Desa Contoh Patanas Provinsi Jawa Barat
+4

Referensi

Dokumen terkait

GABUNGAN INTRAKOMPTABEL, EKSTRAKOMPTABEL DAN AMORTISASI LAPORAN PENYUSUTAN BARANG KUASA PENGGUNA TAHUNAN. TAHUN ANGGARAN 2019 RINCIAN PER

Suatu larutan lewat jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut dalam konsentrasi lebih banyak dari pada yang seharusnya ada pada temperatur tertentu, terdapat juga

a = 5848,0543, jika ekspor dan investasi sama dengan nol maka pertumbuhan ekonomi sebesar 5848,0543 miliar, hasil interpretasi nilai konstanta tidak bisa digunkana karena tidak

Konselor pada migran harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang migran, yang umumnya memiliki budaya yang berbeda dengan konselor, memiliki pengetahuan tentang

Jika partikel bergerak dari x = 0 dengan kecepatan awal 12 ft/sec ke kiri, tentukan posisi partikel pada setiap saat t dan waktu agar partikel berhenti kemudian bergerak lagi..

proses pengelolaan keuangan adalah proses administrasi pencatatan kegiatan keuangan Gampong dengan menggunakan formulir/ dokumen/ buku yang dilakukan oleh Kaur Keuangan..

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 lrlornor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Pada penelitian ini permasalahan yang diangkat yakni bagaimanakah bentuk penalaran dalam skripsi mahasiswa jurusan ilmu hukum kewarganegaraan pada bagian pembahasan, dari