• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRACT. Keywords : Food Security, Household, Ordinal Logistik Regression

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ABSTRACT. Keywords : Food Security, Household, Ordinal Logistik Regression"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

INDA WULANDARI. Determinant of Household Food Security in East Nusa Tenggara Province. Under supervision of SRI HARTOYO and YETI LIS PURNAMADEWI.

The issue of food security has become an important agenda in the economic development of the Nation. Food and nutrition are linked to the improvement of human resources, which in this case the adequacy of energi and protein can be used as an indicator of food welfare society. This study aimed to determine food consumption pattern and the factors that effect household food security in East Nusa Tenggara Province. Household consumption compared to the adequacy of energy and protein as determined by WNPG VIII in 2004. The analysis was done by using SUSENAS 2010 and other supporting data.

Household food security analysis was conducted by description analysis and ordinal logistic regression analysis with the sample of 1740 household. The results of this study showed that the food consumption pattern of household in East Nusa Tenggara Province in 2010 was dominated by rice while the consumption of another caloric food source is very small. Rice is still a major source of energy and protein of the food resistant and vulnerable households in NTT. Food security status of households in East Nusa Tenggara Province was dominated by food- insecure households in which the proportion of food insecure households is relatively higher in rural areas than in the urban population. The household of food security in the province of East Nusa Tenggara is influenced by several factors: income, household size, education, field of business of household head and raskin (cheap rice for lower income family) receiver.

Keywords : Food Security, Household, Ordinal Logistik Regression

(2)
(3)

RINGKASAN

INDA WULANDARI. Faktor Penentu Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan YETI LIS PURNAMADEWI.

Indonesia telah mengalami pemulihan yang cukup berarti sejak krisis ekonomi tahun 1998, namun masalah kemiskinan dan ketahanan pangan maupun gizi masih cukup besar dan beragam antar provinsi dan kabupaten (Human Development Index, UNDP 2008). Masalah ketahanan pangan telah dijadikan agenda penting dalam pembangunan ekonomi bangsa. Pangan sebagai komoditas ekonomi berperan besar pada peningkatan pertumbuhan ekonomi global maupun nasional. Berdasarkan data statistik (BPS 2009), sejak tahun 2005 sampai 2008 konsumsi energi dan protein masyarakat Indonesia terus meningkat dari angka 2.007,65 kkal/kap/hari menjadi 2.038.17 kkal/kap/hari dan untuk protein 54,65 gram/kap/hari menjadi 57,49 gram/kap/hari melebihi standar yang ditetapkan oleh Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG, 2004). Keadaan ini menunjukkan gizi masyarakat Indonesia secara kuantitas dan makro sudah mencukupi. Namun dari hasil penelitian Ariningsih (2002) ditemukan bahwa perbaikan konsumsi secara makro tidak mencerminkan pemerataan pemenuhan konsumsi gizi secara mikro. Ditataran mikro, ketahanan pangan khususnya di pedesaan atau rumah tangga petani masih lemah dan memprihatinkan. Ada tiga faktor ketahanan pangan yang harus dipenuhi sehingga dapat mendorong stabilitas pangan, yaitu : ketersediaan pangan (food availability), akses pangan (food acces) dan penyerapan pangan (food utilization) (FAO, 1996). Ketahanan pangan belum tercapai saat ketersediaan pangan saja yang terpenuhi. Ketahanan pangan akan tercapai ketika akses terhadap pangan tersebut memadai serta penyerapan pangannya dapat berlangsung secara baik. Untuk membantu mengidentifikasi ketahanan dan kerawanan pangan daerah di Indonesia, pemerintah menerbitkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2009 (Food Security and Vulnerability Atlas, 2009). FSVA ini disusun untuk mengidentifikasi titik-titik rawan pangan tingkat kabupaten di Indonesia (DKP, 2009). 14 provinsi yang dimasukkan ke dalam fokus utama peningkatan produksi dalam mengatasi kerawanan pangan dalam wacana peta ketahanan dan kerawanan pangan (FSVA) salah satunya adalah Nusa Tenggara Timur (NTT).

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) kerap dikategorikan sebagai salah satu provinsi yang sering mengalami gangguan pangan yang disebabkan oleh kondisi wilayah baik itu menyangkut ketersediaan maupun akses pangan yang ada di wilayah tersebut. Ketersediaan lahan yang landai untuk usaha pertanian lahan basah sangat terbatas sehingga pertanian lahan kering dan gersang menjadi sangat dominan di NTT. Pada tahun 2009 tingkat produksi beras di NTT mencapai 335.236 ton sementara konsumsi beras mencapai 467.460 ton. Hal ini menunjukkan bahwa NTT mengalami defisit beras sebanyak 132.224 ton. Defisit akan kebutuhan beras yang tinggi di Provinsi NTT selama ini masih dapat dipenuhi oleh adanya program pendistribusian beras untuk masyarakat miskin atau yang sering disebut dengan Raskin. Adanya perubahan pola konsumsi pangan rumah tangga dari jagung sebagai makanan pokok kepada beras sebagai makanan bergengsi menyebabkan ketahanan pangan di NTT menuju ke keadaan

(4)

yang tidak aman. Perkembangan produksi komoditas pangan nabati di NTT dalam kurun tiga tahun terakhir terhitung 2009-2011 mengalami surplus untuk beberapa komoditas seperti jagung, ubi kayu, dan ubi jalar. Seharusnya dengan adanya surplus beberapa jenis pangan lain mengindikasikan persediaan produksi pangan dan kondisi pangan di NTT secara keseluruhan masih cukup aman. Tetapi sampai saat ini, beberapa wilayah di NTT masih masuk kedalam peta rawan pangan nasional (FSVA, 2009).

Provinsi NTT dengan luas wilayah perairan yang lebih besar daripada luas wilayah daratan memiliki potensi sumberdaya alam kelautan yang dapat diandalkan dalam rangka mendukung ketersediaan pangan baik kalori maupun protein untuk masa sekarang maupun yang akan datang. Kebutuhan akan sumber protein yang berasal dari laut diharapkan dapat memenuhi standar minimal protein yang telah ditetapkan. Rata-rata konsumsi kalori dan protein di Provinsi NTT tahun 2009 untuk kalori mencapai 1.971,70 kkal/ kap/ hari sedangkan untuk protein mencapai 54,12 gram/ kap/ hari. Angka kecukupan kalori yang tinggi dan pangsa pengeluaran akan pangan yang rendah dapat dijadikan acuan sebagai indikator ketahanan pangan suatu rumah tangga yang cenderung membaik. Masih rendahnya konsumsi kalori di Provinsi NTT dengan tingginya konsumsi beras di wilayah tersebut menimbulkan suatu kontradiksi. Seharusnya dengan tingginya konsumsi padi-padian dibandingkan protein di Provinsi NTT mengindikasikan bahwa ketercukupan kalori masyarakat telah terpenuhi, tapi dari data 2009 untuk konsumsi kalori di Provinsi NTT ternyata masih dibawah rata-rata yang ditetapkan oleh WNPG tahun 2004 sebesar 2.000 kkal/ kap/ hari. Berdasarkan pemaparan perumusan yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah mengkaji pola konsumsi dan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan menganalisis faktor-faktor penentu ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Penelitian ini menggunakan data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2010. Daerah yang menjadi analisis studi ini adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mencakup 19 kabupaten dan kota. Pendekatan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif, analisis derajat ketahanan pangan dan analisis regresi logistik ordinal. Tingkat kecukupan gizi dihitung berdasarkan konsumsi kalori dan protein yang mengacu pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004. Derajat ketahanan pangan diidentifikasi dengan dua indikator yaitu ketercukupan kalori yang dikonsumsi dengan besarnya pangsa pengeluaran makanan. Hal ini berdasarkan klasifikasi silang yang digunakan Jonsson dan Toole dalam Maxwell et. al., (2000).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecukupan gizi di provinsi NTT yang dihitung dari besarnya konsumsi kalori dan protein menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi kalori penduduk NTT tahun 2010 sudah berada diatas batas standar kecukupan yang ditetapkan WNPG VIII tahun 2004 yaitu sebesar 2.054,05 kkal/kap/hari. Begitu juga dengan kecukupan protein, dimana konsumsi protein penduduk NTT sudah mencapai 52,7 gram/kap/hari. Hal ini juga sudah sesuai dengan standar yang dianjurkan WNPG VIII tahun 2004 yaitu sebesar 52 gram/kap/hari, sehingga dapat dikatakan bahwa provinsi NTT secara wilayah masih dalam kondisi cukup kalori dan protein.

(5)

Pola konsumsi pangan secara keseluruhan dapat dilihat dari besarnya pengeluaran untuk masing-masing kelompok pangan. Berdasarkan pengeluaran rata-rata perkapita sebulan dan menurut kelompok pangan ternyata konsumsi pangan di NTT masih didominasi kelompok pangan sumber karbohidrat dari serealia (beras dan jagung). Beras masih menjadi pangan pokok utama bagi sebagian besar masyarakat NTT dan menjadi sumber energi utama bagi rumah tangga di pedesaan. Diantara kelompok padi-padian, beras merupakan komoditi terbanyak yang dikonsumsi masyarakat NTT yaitu mencapai 92,99 persen. Ariani (2004) menyatakan bahwa di Indonesia beras telah dijadikan komoditas politik dan strategis, sehingga kebijakan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah bias pada beras, termasuk diantaranya kebijakan “Raskin”. Kebijakan ini mengakibatkan pergeseran pola konsumsi pangan pokok dari jagung atau umbi- umbian ke beras.

Ketahanan pangan memiliki dua indikator yang sangat penting yaitu kecukupan kalori dan pangsa pengeluaran pangan. Berdasarkan perhitungan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010 dengan menyilangkan kondisi pangsa pengeluaran untuk pangan dan kecukupan kalori, terlihat bahwa di Provinsi NTT persentase penduduk yang rawan pangan masih cukup tinggi yaitu sebesar 22,01 persen. Sementara itu rumah tangga yang tergolong tahan pangan lebih kecil yakni sebesar 20,06 persen. Rumah tangga rentan pangan di NTT mencapai proporsi yang cukup besar yakni 49,08 persen.

Kelompok ini menurut kriteria yang ditetapkan merupakan kelompok yang secara ekonomi (pendekatan diproksi dari pangsa pengeluaran pangan) termasuk kelompok kurang sejahtera, namun dari sisi konsumsi energi memenuhi syarat kecukupan, hal ini terkait dengan pola konsumsi dan kebiasaan makan. Kondisi ini diperkuat dengan penelitian yang menyatakan bahwa kelompok rentan pangan mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat (khususnya beras dan umbi-umbian) relatif lebih tinggi dibanding kelompok lainnya (Saliem dkk., 2001). Umumnya pangan sumber karbohidrat memiliki kandungan energi (kkal) yang tinggi, namun demikian tingginya konsumsi pangan sumber karbohidrat pada kelompok rentan pangan tidak diikuti oleh konsumsi sumber pangan lain secara seimbang. Dari sisi gizi, untuk memperoleh kondisi tubuh yang sehat diperlukan komposisi beragam zat gizi secara cukup dan seimbang. Oleh karena itu perlu upaya penyadaran dan peningkatan pengetahuan pangan dan gizi secara intensif. Mengingat kelompok ini secara ekonomi kurang mampu, maka upaya peningkatan pendapatan untuk mampu mengakses pangan sumber protein, vitamin dan mineral secara baik perlu lebih ditingkatkan.

Karakteristik masing-masing kelompok rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan dapat memperjelas tentang kondisi ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi NTT. Beberapa karakteristik rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan seperti lapangan pekerjaan, umur KRT, jumlah anggota RT, pendidikan KRT, status pekerjaan KRT dan konsumsi kalori dan protein rumah tangga yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan ketahanan pangan rumah tangga.

Secara agregat sumber pendapatan utama kelompok rumah tangga rentan pangan dan rawan pangan adalah dominan pada sektor pertanian masing-masing memberikan kontribusi sebesar 77 persen dan 82 persen. Sementara itu untuk rumah tangga tahan pangan, sebesar 41 persen sumber pendapatan utama berasal

(6)

dari sektor jasa keuangan, perseroan dan jasa perusahaan. Kelompok rumah tangga tahan pangan menempati proporsi terkecil untuk sumber pendapatan yang berasal dari sektor pertanian. Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh kepala rumah tangga, rumah tangga dengan klasifikasi rawan pangan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hampir 52 persen kepala rumah dengan status rumah tangga rawan pangan merupakan lulusan Sekolah Dasar. Sebaliknya untuk rumah tangga tahan pangan, persentase yang tidak lulus sekolah dasar cukup kecil. Rumah tangga tahan pangan didominasi oleh kepala rumah tangga yang lulus perguruan tinggi dengan persentase sebesar 59 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka status ketahanan panganya semakin baik. Rumah tangga dengan klasifikasi rawan pangan akan semakin menurun dengan meningkatnya tingkat pendidikan kepala rumah tangga. Hal ini sesuai dengan penelitian Demeke dan Zeller (2010) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga maka akan semakin meningkatkan status ketahanan pangan rumah tangga tersebut.

Jumlah anggota rumah tangga secara absolut pada kelompok rumah tangga rawan pangan rata-rata lebih besar dibanding kelompok tahan pangan. Ada kecenderungan bahwa semakin besar jumlah anggota rumah tangga, maka semakin menurun derajat ketahanan pangan rumah tangga yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Purwantini dan Rahman (2005) dimana hasil studinya menyimpulkan bahwa besarnya jumlah anggota rumah tangga menyebabkan derajat ketahanan pangan semakin memburuk. Upaya membangkitkan kembali program Keluarga Berencana dan kelembagaan posyandu dengan berbagai penyempurnaan akan meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga.

Model regresi logistik ordinal yang dibentuk dari tujuh peubah penjelas menunjukkan ada dua peubah yang tidak signifikan yaitu umur kepala rumah tangga (dengan p-value 0,968) dan variabel daerah tempat tinggal dengan (p-value sebesar 0,390). Adapun tujuh peubah lainnya yang signifikan dengan tingkat α tertentu adalah pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, lapangan pekerjaan (pertanian dan non pertanian), pendidikan (SD, menengah dan tinggi) dan penerima raskin.

Kata Kunci : Ketahanan Pangan, Rumah Tangga, Regresi Logistik Ordinal

Referensi

Dokumen terkait

Modifikasi yang saya lakukan ini bukan berarti saya menolak bentuk ejaan yang telah ditetapkan oleh para ahli bahasa, melainkan ini adalah bentuk ejaan yang saya pandang lebih

Dalam lingkup Aceh, beberapa tindakan yang dapat dilakukan pada saat ini adalah (a) perlu ada sebuah kanun tentang kebijakan (policy) bahasa dan sastra daerah agar semua

Perkembangan dana transfer sejak tahun 2002-2011 yang berupa Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) meningkat cukup tajam baik

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2014, dengan menggunakan metode deskriptif.Metode pemilihan lokasi menggunakan purposive sampling yang dilakukan di 12

tergantung pada latihan yang sering dilakukan untuk mengembangkan berpikir kritis (Fakhriyah, 2014) Kenyataan yang ditemui pada mahasiswa PGSD FKIP Universitas

Gambar 15BCD merupakan proses yang terjadi dimana asap dari pengelasan dihisap keluar oleh exhaust fan.untuk pola aliran yang dihasilakn tidak ada perbedaan yang

Pengaruh suhu pemasakan terhadap nilai organoleptik aroma lemang Gambar 2 menunjukkan persentase hubungan suhu pemasakan lemang dengan menggunakan alat pemasak lemang

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, bahwa dalam rangka penyelenggaraan Sistem Akuntabilitas Kinerja