• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA Ringkasan Jurnal Terdahulu

No. Penulis Judul Keterangan

1. Yasrudin (2019)

Perencanaan Struktur Perkerasan Landas Pacu Bandar Udara Syamsudin Noor-Banjarmasin

Merencanakan tebal perkerasan lentur pada landas pacu Bandar Udara Syamsudin Noor – Banjarmasin sepanjang 2500 m untuk pesawat rencana B 737-900ER dengan menggunakan metode CBR, metode FAA dan metode LCN, serta menganalisa kelebihan dan kekurangan masing-masing metode yang digunakan.perencanaan struktur perkerasan lentur yang digunakan diperoleh bahwa metode CBR dan FAA memiliki tebal yang sama besar, yaitu sebesar 27 inchi atau 69cm, sedangkan untuk metode LCN memiliki tebal paling besar, yaitu sebesar 38 inchi atau 97 cm.

Hasil perencanaan tebal perkerasan dengan menggunakan metode CBR dan FAA sama dengan hasil perencanaan PT. (Persero) Angkasa Pura I dengan jenis lapis keras lentur (flexible pavement) sebesar 690 mm atau sama dengan 69 cm.

2.

Evelin Sintia Mantouw

(2018)

Perencanaan Pengembangan

Bandar Udara Betoambari Kota

Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara

Berdasarkan data primer yang diperoleh dari Bandara seperti data klimatologi, data karakteristik pesawat, data tanah, keadaan Topografi, dan data existing Bandara digunakan sebagai acuan merencanakan pengembangan Bandar Udara. Berdasarkan hasil perhitungan yang mengacu pada standar International Civil Aviation

Organization (ICAO) lebar total taxiway 25 meter dengan tebal perkerasan lentur 85 cm, luas apron 722 × 93 = 67.146 m2, tebal perkerasan rigid pada apron Metode Federal Aviation Administration (FAA) = 40 cm, luas terminal penumpang 147000 m2, luas gudang 15100 m2 dan luas pelataran parkir 27600 m2.

(2)

No. Penulis Judul Keterangan

3.

Felicia Geiby Dondokambey

(2017)

Perencanaan Pengembangan

Bandar Udara Sepinggan Balikpapan

Berdasarkan data-data primer yang diperoleh dari bandara seperti data klimatologi, data karakteristik pesawat, data tanah, dan data existing bandara digunakan sebagai acuan merencanakan pengembangan bandar udara.

Berdasarkan hasil perhitungan yang mengacu pada standar International Civil Aviation Organization (ICAO) dengan pesawat terbang rencana Boeing 747-400 maka dibutuhkan panjang landasan (runway) 3.949 meter dan lebar landasan 60 meter.Jarak antara sumbu landasan pacu dan sumbu landasan hubung adalah 185 meter. Lebar total taxiway 38 meter, dan luas apron yang diperlukan 750,5 × 164 = 123.082 m.

4.

Fakria Zia Ahmad Riyanto, Andri Irfan

Rifai

Model Desain Perkerasan dan

Pembiayaan Runway Bandar

Udara Remote Area Dengan Metode CBR dan

FAA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana merancang perkerasan lentur untuk runway dengan dua metode, Tebal perkerasan dievaluasi dengan metode PCN-CAN. Studi kasus dalam penelitian ini adalah Bandara Andi Jemma, Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil analisis dari kedua metode

diperoleh tebal perkerasan jalan dengan metode CBR adalah 21 inci dengan PCN 27,9 F/C/X/T, tebal perkerasan dengan metode grafik FAA adalah 17,5 inci dengan PCN F/C/ X/T dan dari software FAARFIELD tebal perkerasan 16 inch dengan PCN 16,9 F/C/X/T. Biaya yang dibutuhkan untuk analisis tebal

perkerasan jalan dengan metode CBR adalah sebesar Rp 6.415.252.926, dengan metode grafik FAA sebesar Rp

5.897.401.963 dan dengan software FAA FAARFIELD sebesar Rp 5.675.465.836.

Hasil ini menunjukkan bahwa model yang diperoleh untuk FAA (perangkat lunak) dapat digunakan untuk merancang perkerasan, dimana anggarannya

optimal.

(3)

No. Penulis Judul Keterangan

5.

Fitri Diah Kusuma

Rini, Herianto,

Hendra (2019)

Analisis Ulang Runway Bandar Udara Wiriadinata

Menggunakan Metode FAA

Bandar Udara Wiriadinata merupakan sarana pokok penunjang transportasi udara yang berfungsi sebagai simpul pergerakan pesawat, penumpang, kargo atau barang.

Tujuan dari penelitian ini adalah merencanakan ulang tebal perkerasan lentur runway Bandar Udara Wiriadinata dengan menggunakan metode FAA mampu menyediakan analisis kebutuhan

pengembangan konstruksi runway.Analisis perhitungan yang digunakan dengan menggunakan metode FAA yang dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara manual dan software FAARFIELD. Analisa perbedaan perhitungan dan hasil desain tebal perkerasan mengacu pada Advicory Circular No:150/5320-6F/cara

FAARFIELD. Berdasarkan hasil penelitian didapat tebal perkerasan total dengan cara manual adalah 65,86 cm dan dengan cara software FAARFIELD adalah 52,77 cm maka persentase perbandingannya adalah 13%. Dengan panjang landasan pacu berdasarkan faktor koreksi terhadap elevasi dan temperatur yang dibutuhkan oleh pesawat Fokker-100 minimum adalah 2290 m, dengan lebar runway adalah 30 m, dan lebar total taxiway dan bahu landasannya adalah 25 m.

2.1 Bandar Udara

2.1.1 Pengertian Bandar Udara

Menurut UU Nomor 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan, bandar udara adalah kawasan di daratan dan atau perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan penunjang lainnya.

Sedangkan menurut Horronjeff (1975), bandar udara atau biasa disebut dengan istilah airport, merupakan sebuah fasilitas dimana pesawat terbang dan

(4)

helicopter lepas landas dan mendarat. Suatu bandara minimal memiliki sebuah landasan pacu atau helipad (untuk pendaratan helicopter), sedangkan untuk bandara, bandara berukuran besar biasanya dilengkapi dengan fasilitas lain baik untuk operator layanan penerbangan maupun bagi penggunanya seperti bangunan terminal dan hangar.

Menurut Djoko Warsito (2016:1-2) Pada suatu bandar udara terdapat bagian khusus yang disebut dengan aerodrome, yang diartikan sebagai suatu kawasan yang di dalamnya terdapat bangunan, instalasi dan peralatan, baik di daratan atau di perairan yang dipersiapkan sebagai kegunaan pesawat udara ketika melakukan pendaratan, lepas landas, dan pergeralan di darat. Pada land aerodrome terdiri atas beberapa fasilitas utama yang dikenal dengan movement area (kawasan pergerakan) yang terbagi atas:

1. Bagian untuk lepas landas dan pendaratan di aerodrome darat disebut dengan landasan pacu (runway)

2. Bagian untuk pergerakan di darat, disebut dengan taxiway atau landas hubung.

3. Bagian untuk parkir, disebut apron (landasan parkir).

Landasan pacu atau runway dan taxiway seringkali disebut juga sebagai manouvering area atau kawasan manuver, sedangkan landasan parkir bukan bagian dari kawasan manuver ini.

Adapun pesawat udara menurut Djoko Warsito (2016:3-4) adalah alat (bangun mekanis) yang mendapat daya angkat di dalam atmosfer karena reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi. Dapat juga diartikan pesawat udara merupakan alat yang digunakan atau ditujukan untuk penerbangan di bandar udara. Pesawat udara dibagi atas 2 kelompok yaitu, pesawat udara yang digerakkan oleh mesin (power driven) pesawat udara itu sendiri, dan yang tidak digerakkan oleh mesin. Pada kelompok pesawat yang digerakkan oleh mesin terbagi pula menjadi 2 yaitu aeroplane (pesawat terbang) dan helikopter, serta bagian kedua yaitu glider (pesawat terbang layang) dan baloon (balon terbang). Aeroplane (pesawat terbang) adalah pesawat udara bersayap tetap yang lebih berat daripada udara, dan yang digerakkan oleh mesin serta memperoleh daya

(5)

angkat (lift) akibat reaksi aerodinamika terhadap permukaan sayap-tetapnya tersebut. Sementara helikopter adalah pesawat udara yang lebih berat daripada udara, digerakkan oleh mesin (power driven aircraft), dan memperoleh daya angkat (lift) dari reaksi udara terhadap satu atau lebih rotor bermesin (power driven rotor) pada sumbu vertikal mesinnya.

2.1.2 Fungsi Bandar Udara

Berdasarkan Peraturan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/77/VI/2005 fungsi bandar udara adalah menunjang kelancaran, keamanan dan ketertiban arus lalu lintas pesawat udara, kargo atau pos. keselamatan penerbangan tempat perpindahan intra dan moda serta mendorong perekonomian baik daerah maupun secara nasional.

Adapun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 1996 mengenai Kebandarudaraan, menetapkan fungsi bandar udara:

• Pertemuan antar jaringan transportasi udara berdasarkan hierarki dan fungsinya.

• Merupakan pintu gerbang kegiatan perekonomian nasional, dan internasional.

• Menjadi tempat berlangsungnya pergantian moda transportasi.

2.1.3 Klasifikasi Bandar Udara

Menurut Sartono (2016) Dalam merencanakan bandar udara, terlebih dahulu kita harus mengetahui klasifikasi bandar udara berdasarkan pesawat yang bisa dilayani pada bandar udara tersebut. Setiap bandar udara terdapat beberapa jenis pesawat dengan ukuran yang bervariasi, mulai dari pesawat kecil (small general aviation) sampai pesawat udara dengan ukuran besar (heavy air transport craft), bandar udara pada dasarnya dirancang berdasarkan pesawat kritis (critical) atau pesawat rencana (design).

Federal Aviation Administration (FAA) mengartikan pesawat krtitis adalah pesawat yang setidaknya beroperasi (landing atau take off) sebanyak 500 kali atau

(6)

lebih di bandar udara selama satu tahun. Dalam banyak contoh perencanaan bandar udara, pesawat terkecil yang menjadi orientasi dari perencanaan runway, sedangkan pesawat terbesar yang paling menentukan dimensi fasilitas bandar udara.

Karakteristik dimensi serta performa pesawat kritis menentukan Airport Reference Code. ARC adalah sistem kode yang digunakan sebagai kriteria desain dan karakteristik fisik dari pesawat dalam pengoperasian bandar udara.

Klasifikasi yang digunakan bersumber dari ICAO yang menggunakan dua elemen kode Airport Reference Code yang dikenal dengan nama The Aerodrome Design Code, kode aerodrome ini dapat dilihat pada Tabel 2.1 yang menjelaskan:

• Kode angka, merupakan perhitungan panjang runway (termasuk stopway dan clearway bila ada) berdasarkan referensi pesawat ARFL.

• Kode huruf, merupakan perhitungan bedasarkan lebar sayap dan lebar/jarak roda terluar dari pesawat).

ARFL atau Aeroplane Reference Field Length adalah perkiraan panjang runway yang dibutuhkan untuk lepas landas pada pesawat udara pada kondisi maximum take off weight (MTOW) atau berat maksimum pada saaat take off, pada muka air laut, temperatur tertentu dan kelandaian nol persen.

Tabel 2.1 ICAO Aerodrome Reference Code Code

Number

Aeroplane Reference Field Length (ARFL)

Code

Letter Wingspan Outer Main Gear Wheel Span

1 <800 m A < 15 m <4,5 m

2 800 m - <1200 m B 15 m - <24

m 4,5 m - <6 m 3 1200 m - <1800 m C 24 m -

<36m 6 m - <9 m

4 >1800 m D 36m -

<52m 9 m - <14 m

E 52m-

<65m 9 m - <14 m

F 65m -

<80m 14 m < 16 m Sumber: Sartono, 2016:56

(7)

Adapun contoh pesawat yang diklasifikasikan berdasar pada Aerodrome Reference Code yang ditetapkan oleh ICAO klasifikasi dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Contoh pesawat berdasarkan ICAO Aerodrome Reference Code Code

Number (ICAO)

Code Letter ICAO

Contoh Pesawat

1 A Semua pesawat yang bermesin tunggal

2 B EMB-120, Saab 2000, Saab 30

3 C B727, B737, MD-80, A320

4 D Boeing 757, A300, B767

E Boeing 747, A340, A330, A350, B777

F Airbus A380

Sumber: Sartono, 2016:56

Selain International Civil Aviation Organization (ICAO), Federal Aviation Administration (FAA) juga mempunyai dua kode Aerodrome Reference Code dapat dilihat pada Tabel 2.3 serta Tabel 2.4.

• Kategori berdasar pada aircraft approach category merupakan kecepatan pesawat pada saat landing, yang diartikan sebagai 1,3 x stall speed (kehilangan daya angkat) pada konfigurasi pendaratan pesawat dengan berat maksimum pendaratan (MDLW).

• Nomor grup yang memperhitungkan tinggi ekor (tail height) dan lebar sayap (wingspan) pesawat.

Tabel 2.3 Aircraft approach category

Sumber: Sartono, 2016:57

Kategori Approach Speed (Knot)

A <91

B 91-120

C 121-140

D 140-166

E >166

(8)

Tabel 2.4 Airplane design group

Sumber: Sartono, 2016:57

Pada aerodrome reference code antara International Civil Administration Organization (ICAO) dan Federal Aviation Administration (FAA) mempunyai hubungan yang dekat dapat dilihat pada ICAO aerodrome reference code nomor 1,2,3, dan 4, masing-masing kira-kira hampir sama dengan FAA aircraft approach A,B,C, dan D. Selain persamaan itu ICAO aerodrome code letter A,B,C,D dan E yang masing-masing kira-kira hampir serupa dengan FAA airplane design group I,II,III,IV,V, dan VI.

2.2 Karakteristik Pesawat Terbang

Menurut Sartono (2016:61-70) karakteristik pesawat terbang terbagi menjadi beberapa bagian dari berdasar pada dimensi yang mencakup semua hal tentang ukuran atau dimensi sebuah pesawat terbang, konfigurasi roda pendaratan, serta komponen berat pesawat. Hal-hal tersebut sangat penting untuk diperhatikan dalam perencanaan suatu bandar udara.

2.2.1 Berdasarkan Dimensi

Menurut Sartono (2016:61-70) sebelum perencanaan sebuah bandar udara, salah satu faktor yang perlu diketahui adalah dimensi sebuah pesawat terbang yang sangat penting gunanya terhadap perencanaan dan perancangan bandar udara.

Adapun beberapa istilah yang berkaitan dengan pesawat terbang.

a) Panjang (Length) dimana suatu pesawat terbang diartikan sebagai jarak dari ujung depan badan pesawat (fuselage) atau badan utama (mainbody) pesawat sampai dengan ujung belakang ekor pesawat. Penggunaan panjang

Nomor Grup Tail Height Wingspan

I <6 m <15 m

II 6 m - <9 m 15 m - <24 m III 9 m - < 13,5 m 24 m - <36 m IV 13,5m - <18,5 m 36 m - <52 m V 18,5 m - <20 m 52 m - <65 m VI 20 m - <24,5 m 65 m - <80 m

(9)

pesawat ini sebagai acuan untuk menetapkan panjang area parkir pesawat, hangar.

b) Panjang sayap (Wingspan) diartikan sebagai ukuran dari ujung sayap ke ujung sayap lainnya pada sayap utama pesawat. Panjang sayap biasanya digunakan untuk menetapkan lebar dari area parkir pesawat dan jarak antar gates, kegunaan lainnya juga untuk menetapkan lebar dan separasi atau jarak pemisah antara runway dan taxiway di sebuah bandara.

c) Tinggi maksimum (Maximum Height) adalah pesawat terbang diartikan sebeagai jarak dari lantai dasar (ground) sampai pada puncak bagian ekor (tail) pesawat udara tersebut.

d) Jarak sumbu roda (Wheelbase) diartikan sebagai jarak antara as roda pendaratan utama pesawat dengan as roda depan, atau roda ekor.

e) Jarak antara as roda (Wheel Track) adalah jarak antara as roda terluar dengan as roda pendaratan utama pesawat. wheelbase dan wheeltrack suatu pesawat dipakai untuk menentukan radius putar minimum, yang berfungsi besar sebagai perancangan taxiway turnoffs, taxiway intersections serta area lainnya di bandar udara yang membutuhkan pesawat untuk berbelok.

f) Radius putar (turning radius) merupakan fungsi dari sebuah sudut kemudi roda depan, semakin besar sudut maka akan semakin kecil radiusnya.

Adapun jarak dari rotasi terhadap bagian dari pesawat seperti wingtip, nose ataupun tail menghasilkan besar radius. Radius terbesar menghasilkan jarak bersih kritis antara pesawat dengan bangunan serta pesawat yang berpapasan.

(10)

Adapun bagian-bagian, dari dimensi serta radius putar pada pesawat udara dapat dilihat pada Gambar 2.1 dan Gambar 2.2

Gambar 2.1 Dimensi Pesawat Terbang (Sumber: Sartono 2016)

Gambar 2.2 Radius Putar Pesawat Terbang (Sumber:Sartono 2016)

(11)

2.2.2 Berdasarkan Konfigurasi Roda Pendaratan

Menurut Sartono (2016:68-70) konfigurasi roda pendaratan mempunyai fungsi penting sebagai hal mendistribusikan berat sebuah pesawat udara ke suatu permukaan yang akan dilandasinya, atau bisa dikatakan mempunyai peran penting dalam perencanaan desain perkerasan bandar udara. Pada kenyataannya semakin berat sebuah pesawat udara maka akan semakin banyak roda pesawat tersebut, Adapun berat pesawat yang disalurkan ke suatu perkerasan bandar udara harus mampu di tumpu oleh perkerasan runway, taxiway, dan apron.

Semakin berkembangnya jaman maka pesawat terbang semakin banyak jenisnya yang beroperasi di seluruh bandar udara di dunia tanpa terkecuali dengan berbagai jenis rancangan konfigurasi roda pendaratannya. Pada dasarnya banyak pesawat udara yang dirancang dengan satu dari tiga konfigurasi roda pendaratan dasar. Adapun beberapa pengertian dari beberapa konfigurasi roda pendaratan menurut Sartono (2016:68-69) seperti Gambar 2.3 menjelaskan:

a) Konfigurasi roda tunggal (Single-wheel configuration) adalah pada roda utama pesawat udara terdapat total dua roda utama dengan satu roda di masing-masing penyangga pesawat.

b) Konfigurasi roda ganda (Dual-wheel configuration) adalah pada sebuah pesawat udara roda utamanya terdapat total 4 roda, dengan dua roda di masing-masing penyangga pesawat.

c) Konfigurasi roda ganda tandem (Dual tandem configuration) adalah pada roda utama pesawat terdapat dua roda sepasang pada masing-masing penyangga pesawat.

Gambar 2.3 Konfigurasi Dasar Roda Pesawat (Sumber:ICAO)

(12)

Konfigurasi dasar roda pesawat, pada saat ini pesawat udara dengan tipe tertentu seperti transport aircraft besar memiliki konfigurasi roda pendaratan yang lebih kompleks. Maka dari itu Federal aviation administration megenalkan beberapa konfigurasi roda pendaratan yang dapat dilihat pada Gambar 2.4 dan Tabel 2.5.

Gambar 2.4 Konfigurasi Roda Pendaratan Kompleks (Sumber:Sartono 2016)

Tabel 2.5 Contoh Standar Penamaan Konfigurasi Roda Pendaratan

Sumber: FAA (2005:29)

Menurut Basuki (1986) tiap pesawat udara memiliki tipe roda pendaratan berbagai macam jenis yang berlainan dengan yang lainnya, maka dari itu perlu dikonversikan juga, sesuai yang tertera pada Tabel 2.6.

FAA Name FAA

Designation Contoh Tipikal Pesawat

Single Wheel S F-14,F-15

Dual Wheel D Beech 1900

Single Tandem 2S C-130

Dual Tandem 2D Boeing 757

Double Dual

Tandem 2D/2D2 Boeing 747

Triple Tandem 3D Boeing 777

Dual Tandem

Plus Triple 2D/3D2 Aibus A-380

(13)

Tabel 2.6 Faktor Konversi Tipe Konfigurasi Roda Pendaratan

Sumber: Basuki (1986:39)

2.2.3 Berdasarkan Komponen Berat Pesawat

Menurut Sartono (2016:75) pada saat perencanaan sebuah bandar udara beban pesawat dibutuhkan untuk menetapkan perkerasan runway,taxiway, dan apron yang direncanakan. Selanjutnya berat dari pesawat rencana juga dibutuhkan menghitung keperluan panjang runway. Adapun beberapa tipe beban pesawat yang berhubungan dengan pengoperasian pesawat, dibagi menjadi:

a) Berat Operasi Kosong (Operating Weight Empty)

Adalah beban dasar dari pesawat udara, yang terdiri dari awak pesawat serta kelengkapan peralatan pesawat, tetapi muatan dan bahan bakar tidak termasuk. Biasanya berat operasi kosong tidak menetap untuk pesawat- pesawat komersial dengan jenis yang sama karena besarnya bergantung pada konfigurasi tempat duduk.

b) Muatan (Payload)

Didefinisikan sebagai beban yang diperkirakan akan menghasilkan pendapatan bagi sebuah penerbangan/maskapai penerbangan. Muatan ini termasuk di dalamnya penumpang, barang, surat-surat, paket, dan kelebihan bagasi. Muatan maksimum atau Maximum Payload merupakan muatan maksimum yang diizinkan untuk diangkut oleh pesawat tertentu. Di Indonesia hal ini diatur oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.

Konversi dari Ke Faktor

pengali

Single Wheel Dual Wheel 0,8

Single Wheel Dual Tandem 0,5

Dual Wheel Dual Tandem 0,6

Double Dual Tandem Dual Tandem 1,00 Dual Tandem Single Wheel 2,00

Dual Tandem Dual Wheel 1,70

Dual Wheel Single Wheel 1,30 Double Dual Tandem Dual Wheel 1,70

(14)

c) Berat Bahan Bakar Kosong (Zero Fuel Weight)

Adalah beban maksimum yang termasuk atas berat operasi kosong, beban penumpang dan barang.

d) Berat Taksi Maksimum (Maximum Taxi Weight)

Merupakan beban maksimum untuk melakukan gerakan atau berjalan dari parkir pesawat ke pangkal runway. Selama melakukan gerakan ini maka akan terjadi pembakaran bahan bakar sehingga pesawat akan kehilangan berat.

e) Berat Maksimum Lepas Landas (Maximum Take Off Weight)

Adalah beban maksimum pesawat pada awal lepas landas atau take off sesuai dengan bobot pesawat dan persyaratan kelayakan penerbangan.

f) Berat Maksimum Pendaratan (Maximum Landing Weight)

Diartikan sebagai beban maksimum pada saat roda pesawat menyentuh lapisan keras (mendarat) sesuai dengan bobot pesawat dan persyaratan kelayakan penerbangan.

Menurut Sartono (2016:77) kekuatan perkerasan atau pavement strengths suatu bandar udara dihitung dengan dasar Maximum Take Off Weight (MTOW), dengan landing gear (roda pendaratan) serta konfigurasi beban dari pesawat kritikal yang direncanakan atau yang digunakan. Bahan bakar pesawat yang diperlukan dalam beroperasi terdiri atas komponen sebagai berikut:

• Bahan bakar untuk perjalanan (Trip-fuel) bahan bakar ini mengacu pada jarak yang ditempuh pesawat, ketinggian jelajah, dan payload.

• Bahan bakar cadangan (Fuel-Reserve) bahan bakar cadangan berfungsi sebagai cadangan atau simpanan untuk menuju ke bandar udara alternatif. Bahan bakar ini jumlahnya ditentukan oleh peraturan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (di Indonesia) atau Federal Aviation Administration di Amerika. Bahan bakar cadangan ini bergantung pada jarak bandar udara, waktu tunggu untuk mendarat, dan jarak penerbangan kembali ke bandar udara asal (untuk penerbangan internasional).

(15)

Dari uraian tersebut, diketahui bahwa berat pesawat tersusun atas Operating Weight Empty (berat operasi kosong) ditambah tiga komponen:

- Muatan (payload)

- Bahan bakar perjalanan (trip-fuel) - Bahan bakar cadangan (fuel-reserve)

Ketika pesawat udara mendarat atau landing, berat pesawat (MLW) terdiri atas operating weight empty (OWE), muatan (payload), serta bahan bakar cadangan (fuel-reserve), dengan asumsi pesawat udara tidak mendarat ke bandar udara alternatif, melainkan ke bandar udara tujuan. Besarnya Maximum Landing Weight (MLW) ditambah dengan trip fuel. Berat ini tidak boleh melebihi Maximum Take Off Weight (MTOW)

Dalam kriteria perencanaan yang disusun oleh Direktur Jenderal Perhubungan Udara dengan nomor 29 tahun 2014 mengenai manual standar teknis dan operasional peraturan keselamatan penerbangan sipil memaparkan beberapa daftar pesawat udara yang dipilih untuk memberikan contoh masing-masing kombinasi nomor kode referensi aerodrome dan huruf yang dapat dilihat pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7 Karakteristik Pesawat Udara

JENIS PESAWAT

REF CODE

KARAKTERISTIK PESAWAT UDARA

ARFL (m)

WINGS PAN

(m)

OMG WS (m)

Length (m)

MTOW (kg)

TP Kpa Airbus

A319 3C 34.1 33.84 64000 1070

Airbus

A320 3C 34.2 37.57 73500 1140

CESSNA

CAR-206 1A 274 10.9 2.6 8.6 1639

(16)

Tabel 2.7 (lanjutan) JENIS

PESAWAT

REF CODE

KARAKTERISTIK PESAWAT UDARA ARFL

(m)

WINGS PAN

(m)

OMG WS (m)

Length (m

MTOW (kg)

TP Kpa CN-235-

300 1C 633 25.81 7.0 21.40 16500

DASH 7 1C

C 208

H 900 XP

CASSA

212-300 2B 866 20.3 3.6 16.1 8100

Dornier

328-100 2B 1088 21 21.3 13.988

Dornier

328-300

ATR 42-500 2C 1165 24.57 4.10 22.67 18600 790 DASH 8

(300) 2C 1122 27.4 8.5 25.7 18642 805

MA 60 2C 1100 29.2 24.71 21800

Challenger

605 3B 1780 19.61 20.85 21900

Snort 330-

200 3B 1310 22.76 17.69 10387

ATR 72-500 3C 1290 27.05 4.10 27.16 22500

ATR 72-600

Bombardier Global

Express

3C 1774 28.7 4.9 30.3 42410 1150 CN-235-

100 3C 25.81 21.40 16500

Embraer

EMB 3C 1420 19.8 7.3 20 11500 828

120 Fokker

F100 3C 1695 28.1 5.0 35.5 44450 920

Fokker

F27-500 3C 1670 29.0 7.9 25.1 20412 540

Fokker

F28-4000 3C 1640 25.1 5.8 29.6 32205 779

Fokker F50 3C 1760 29.0 8.0 25.2 20820 552

(17)

Tabel 2.7 (lanjutan)

JENIS PESAWAT

REF CODE

KARAKTERISTIK PESAWAT UDARA ARFL

(m)

WINGS PAN

(m)

OMG WS (m)

Length (m

MTOW (kg)

TP Kpa McDonnell

Douglas DC9- 20

3C 1551 28.5 6.0 31.8 45360 972 RJ-200 3C 1600 26.34 4.72 30.99 44226 SAAB SF-

340 3C 1220 21.4 7.5 19.7 12371 655

Airbus

A300 B2 3D 1676 44.8 10.9 53.6 142000 1241

ATP 3D 1540 30.6 9.3 26 22930 720

C 130 H

(Hercules) 3D 1783 40.4 4.3 29.8 70300 95

EMB 145

LR 4B 2269 20 4.1 29.8 22000 999.

74 Airbus

A320-200 4C 2058 33.9 8.7 37.6 72000 1360

Boeing

B717-200 4C 2130 28.4 6.0 37.8 51710 1048

Boeing

B737-200 4C 2295 28.4 6.4 30.6 52390 1145

Boeing

B737-300 4C 2749 28.9 6.4 30.5 61230 1344

Boeing

B737-400 4C 2499 28.9 6.4 36.5 63083 1400

Boeing

B737-500 4C 2470 28.9 5.2 31 60560

Boeing

B737-600 4C 1750 34.3 5.72 31.2 65090

Boeing

B737-700 4C 1600 34.3 5.72 33.6 70143

Boeing

B737-800 4C 2256 35.8 6.4 39.5 70535 1470

Boeing

B737-900 4C 2240 34.3 7 42.1 66000 1470

Bombardier CRJ 1000 NextGen

4C 1996 26.2 - 29.1 40824 1060

(18)

Tabel 2.7 (lanjutan)

JENIS

PESAWAT REF

CODE

KARAKTERISTIK PESAWAT UDARA

ARFL (m)

WINGS PAN

(m)

OMG WS (m)

Length

(m MTOW

(kg) TP Kpa McDonnell

Douglas DC9- 30

4C 2134 28.5 6.0 37.8 48988 105

0 McDonnell

Douglas DC9-

80/MD80 4C 2553 32.9 6.2 45.1 72575 139

0 McDonnell

Douglas

MD82 4C 2280 32.9 6.2 45.02 67812 1268.64

McDonnell Douglas MD83

4C 2470 32.9 6.2 45.02 72574 126 8.64 McDonnell

Douglas

MD87 4C 2260 32.9 6.2 39.75 63503 126

8.64 McDonnell

Douglas MD88

4C 2470 32.9 6.2 45.02 67812 126 8.64 Sukhoi SJ-

100- 95LR 4C 2052 27.80 29.94 49215

0 Airbus

A300-600 4D 2332 44.8 10.9 54.1 16500

0 126 0 Airbus

A310-200 4D 1845 43.9 10.9 46.7 13200

0 108 0 Boeing

B707-300 4D 3088 44.4 7.9 46.6 15131

5 124 0 Boeing

B757-200 4D 2057 38.0 8.7 47.3 10886

0 117 2 Boeing

B767- 4D 2499 47.6 10.8 48.5 15650

0 131 200ER 0

Boeing

B767- 4D 2743 47.6 10.8 54.9 17236

5 131 300ER 0

Boeing

B767- 4D 3130 51.9 10.8 61.9 20412

0 126

400ER 2

(19)

Tabel 2.7 (lanjutan)

JENIS PESAWAT

KARAKTERISTIK PESAWAT UDARA

REF

CODE ARFL (m)

WINGS PAN (m)

OMG WS (m)

Length

(m MTOW

(kg) TP Kpa McDonnell

Douglas DC10-30

4D 3170 50.4 12.6 55.4 25173

3 127

6 McDonnell

Douglas DC8-

63 4D 3179 45.2 7.6 57.1 15875

7 136

5 McDonnell

Douglas MD11

4D 2207 51.7 12.0 61.2 27328

9 140

0 Tupolev

TU154 4D 2160 37.6 12.4 48.0 90300 930

Airbus A

330-200 4E 2713 60.3 12.0 59.0 23000

0 140

0 Airbus A

330-300 4E 2560 60.3 12.0 63.6 23000

0 140

0 Airbus A

340-300 4E 2200 60.3 12.0 63.7 25350

0

140 0 Boeing

B747-300 4E 3292 59.6 12.4 70.4 37780

0

132 3 Boeing

B747-400 4E 3383 64.9 12.4 70.4 39462

5 141

0 Boeing

B747-SP 4E 2710 59.6 12.4 56.3 31842

0 141

3 Boeing

B777-200 4E 2500 60.9 12.8 63.73 28780

0 140

0 Boeing

B777-200ER 4E 3110 61.0 12.9 63.7 24720 0

148 0 Boeing

B777-300 4E 3140 60.9 12.9 63.7 29755

0 150

0 Boeing

B777-300ER 4E 3120 64.8 12.9 73.9 29937

0

Boeing

B787-8 4E 2650 60 9.8 56.7 22850

0

Airbus A

380 4F 2750 79.8 14.3 73 56000

0

147 0 Sumber: Peraturan Dirjen Perhubungan Udara KP 39 Tahun 2014

(20)

2.3 Landas Pacu (Runway)

Menurut SKEP-161 IX (Petunjuk Perencanaan Runway, Taxiway dan Apron, Runway) adalah jalur perkerasan yang dipergunakan oleh pesawat terbang untuk mendarat (landing) atau lepas landas (take off). Sedangkan menurut Horronjeff sistem runway di suatu bandara terdiri dari perkerasan struktur, bahu landasan, bantal hembusan, dan daerah aman runway. Adapun menurut Heru Basuki elemen-elemen dari landas pacu terdiri dari:

1. Perkerasan struktural yang berlaku sebagai tumpuan pesawat.

2. Bahu landas, berbatasan dengan perkerasan struktural direncanakan sebagai penahan erosi akibat air dan semburan jet, serta melayani peralatan perawatan landasan.

3. Area keamanan landasan termasuk di dalamnya, perkerasan struktural, bahu landas serta area bebas halangan, rata dan pengaliran airnya terjamin. Area ini harus mampu dilalui peralatan-peralatan pemadam kebakaran, mobil- mobil ambulans, truk-truk penyapu landasan (sweeper), dalam keadaan dibutuhkan mampu dibebani pesawat yang keluar dari perkerasan struktural.

4. Blast pad, suatu area yang direncanakan untuk mencegah erosi pada permukaan yang berbatasan dengan ujung landasan. Area ini selalu menerima jet blast yang berulang. Selain itu area ini bisa dengan perkerasan atau ditanami gebalan rumput.

5. Perluasan area keamanan (Safety area), dibuat apabila dianggap perlu ukurannya tidak tertentu, tergantung kebutuhan lokal.

2.4 Konfigurasi Landas Pacu (Runway)

Menurut Basuki (1986:145-153) konfigurasi dasar landas pacu disesuaikan dengan bandar udara Adapun faktor yang mempengaruhi antara lain perbedaan kapasitas landas pacu maksimu pada bandar udara, perbedaan arah temperature, kecepatan angin, kompleksitas pengendalian arus lalu lintas udara, serta kelengkapan bantu navigasi yang ada di bandar udara. Dari faktor tersebut maka terdapat beberapa konfigurasi dasar landas pacu:

(21)

2.4.1 Landasan Pacu Tunggal

Merupakan konfigurasi yang paling sederhana, sebagian besar lapangan terbang di Indonesia menggunakan konfigurasi landas pacu jenis ini. Telah diadakan perhitungan bahwa kapasitas landasan tunggal dalam kondisi Visuil Flight Rule (VFR) antara 45-100 gerakan tiap jam, sedangkan dalam kondisi (Instrument Flight Rule) IFR kapasitasnya berkurang menjadi 40-50 gerakan tergantung kepada komposisi pesawat campuran dan tersedianya alat bantu navigasi seperti yang terlihat di Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Landas Pacu Tunggal (Sumber:ICAO) 2.4.2 Landasan Pacu Paralel

Kapasitas landasan sejajar terutama tergantung kepada jumlah landasan dan pemisahan/penjarakan antara dua landasan, biasanya terdiri atas dua landasan sejajar atau empat landasan sejajar, jarang ditemui terdapat landasan sejajar tiga.

Sampai saat ini belum ada landasan sejajar lebih dari empat, karena untuk jumlah landasan yang lebih dari 4 sejajar membutuhkan tanah yang luas dan dengan landasan 4 sejajar orang masih dapat mengatur lalu lintas udara bagaimanapun sibuknya, di lain sisi bila ada 5 atau 6 landasan sejajar pengaturan lalu lintas udara akan semakin rumit, serta ruang udara yang diperlukan untuk holding sangat luas.

Penjarakan antara dua landasan sejajar sangat bermacam-macam. Penjarakan landasan dibagi menjadi tiga:

(22)

a. Berdekatan (Close) mempunyai jarak sumbu ke sumbu 700 ft = 213 m (untuk lapangan terbang pesawat transport). Minimum sampai 3500 ft = 1067 m. Dalam kondisi IFR operasi penerbangan pada satu landasan tergantung kepada operasi landasan lain.

b. Menengah (Intermediate) dipisahkan dengan jarak 3500 ft = 1067 m sampai 5000 ft = 1524 m. Dalam kondisi IFR kedatangan pada satu landasan tidak tergantung kepada keberangkatan pada landasan yang lain.

c. Jauh (Far) dipisahkan dengan jarak 4300 ft = 1310 m atau lebih. Dalam kondisi IFR dua landasan dapat dioperasikan tanpa tergantung satu sama lain untuk kedatangan maupun keberangkatan pesawat. Seperti yang terlihat pada Gambar 2.6

Gambar 2.6 Landas Pacu Paralel (Sumber:ICAO)

Dengan kemajuan teknologi, di masa depan, pemisahan untuk operasi bersama penerbangan pada landasan sejajar, dapat dikurangi. Apabila bangunan terminal ditempatkan di antara dua landasan sejajar, landasannya dipisahkan jauh, sehingga tersedia ruang untuk bangunan, apron di depan terminal dan taxiway penghubung.

2.4.3 Landasan Pacu Dua Jalur

Landasan pacu ini terdiri dari dua landasan yang sejajar dipisahkan dengan jarak berdekatan (700 ft = 2499 ft) dengan exit taxiway secukupnya. Walaupun kedua landasan dapat dipakai untuk operasi penerbangan campuran, tetapi

(23)

diinginkan operasinya diatur, landasan terdekat dengan terminal untuk keberangkatan pesawat dan landasan jauh untuk kedatangan pesawat.

Diperhitungkan bahwa landasan dua jalur dapat melayani 70% lalu lintas lebih banyak daripada landasan tunggal dalam kondisi VFR dan sekitar 60% lebih banyak lalu lintas pesawat daripada landasan tunggal dalam kondisi IFR. Pada kenyataannya bahwa kapasitas landasan untuk pendaratan dan lepas landas tidak begitu peka terhadap pemisahan sumbu landasan antara dua landasan bila pemisahan antara 1000-2499 ft.

Maka dianjurkan untuk memisahkan dua landasan dengan jarak tidak kuran dari 1000 ft, bila di situ akan dipakai pesawat-pesawat komersil. Dengan jarak ini dimungkinkan juga pemberhentian pesawat di taxiway antara dua landasan tanpa mengganggu operasi Gerakan pesawat di landasan. Untuk memperlancar bisa juga dibangun taxiway sejajar namun tidak terlalu pokok. Keuntungan utama dari landasan dua jalur adalah bisa meningkatkan kapasitas dalam kondisi IFR tanpa menambah luas tanah, dengan konfigurasi seperti Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Landas Pacu Dua Jalur (Sumber:ICAO) 2.4.4 Landasan Pacu Bersilangan

Landas pacu dengan konfigurasi banyak ditemukan pada lapangan terbang di luar negeri dengan mempunyai dua atau tiga landasan dengan arah berlainan, berpotongan satu sama lain, landasan demikian mempunyai patron ‘persilangan’.

Landasan seperti ini dibutuhkan jika angin yang berhembus keras lebih dari satu arah, yang menghasilkan tiupan angin secara berlebihan bila landasan mengarah ke satu mata angin, dan mempunyai bentuk seperti Gambar 2.8.

Pada saaat angin meniup kencang ke satu arah maka hanya satu landasan dari dua landasan yang bersilangan yang hanya bisa digunakan, hal seperti ini

(24)

mengurangi kapasitas, tetapi lebih baik daripada pesawat terbang tidak bisa mendarat sama sekali. Pada saat angin bertiup lemah (kurang dari 20 knots atau 13 knots) maka kedua landasan ini bisa dipakai semuanya. Kapasitas dua landasan yang bersilangan, tergantung sepenuhnya di bagian mana landasan itu bersilangan (baik di tengah atau di ujung) serta cara operasi penerbangan yaitu strategi pendaratan dan lepas landas.

Gambar 2.8 Landas Pacu Bersilangan (Sumber: ICAO) 2.4.5 Landasan Pacu V Terbuka

Landasan dengan arah divergen, tetapi tidak saling berpotongan dikenal dengan landasan v terbuka. Ketika angin bertiup kencang dari satu arah, maka landasan hanya bisa dioperasikan satu arah saja, sedangkan pada keadaan angin bertiup lembut, kedua landasan bisa dipakai bersama-sama, seperti yang terlihat pada Gambar 2.9. Strategi yang menghasilkan kapasitas terbesar bila operasi penerbangan divergen dalam IFR kapasitasnya antara 60-70 gerakan per jam, tergantung kepada campuran pesawat dalam VFR kapasitasnya 80-200 gerakan per jam. Bila operasi mengarah konvergen kapasitasnya sangat berkurang menjadi 50- 60 dalam IFR dan 50-100 dalam VFR.

(25)

Gambar 2.9 Landas Pacu V Terbuka (Sumber:ICAO)

2.5 Perbandingan Konfigurasi Landasan Pacu

Menurut Horronjeff dan Mckelvey 1993 (206) dari segi kapasitas dan pengendalian lalu lintas udara, konfigurasi landasan pacu satu arah adalah yang paling baik. Dengan hal-hal lainnya pun sama, konfigurasi ini akan menghasilkan kapasitas yang tertinggi dibandungkan dengan konfigurasi yang lain. Untuk pengendalian lalu lintas udara, pengaturan rute pesawat terbang dalam arah tunggal adalah lebih sederhana daripada dalam banyak arah. Dengan membandingkan konfigurasi dengan arah yang memencar, landasan pacu V-terbuka lebih diminati dibandingkan landasan pacu yang berpotongan. Dalam konfigurasi V terbuka, strategi pengoperasian yang mengarahkan pesawat meninggalkan V akan menghasilkan kapasitas yang lebih besar daripada pengoperasiannya dibalik.

Apabila landasan pacu yang berpotongan tidak dapat dihindarkan, harus diusahakan agar titik potong kedua landasan pacu terletak sedekat mungkin dengan ujung landasan dan mengoperasikan pesawat menjauhi titik potong dan bukan mendekatinya.

2.6 Kapasitas Landas Pacu

Menurut Horronjeff dan MC. Kelvey kapasitas diartikan sebagai kemampuan fisik maksimal sebuah landasan pacu dalam mengelola pesawat terbang . yang dimaksud dengan kapasitas disini adalah kecepatan operasi pesawat terbang dalam keadaan maksimal atau sampai batas limit pada sebuah kondisi tertentu serta jauh dari penundaan yang tinggi pesawat terbang rata-rata. Penundaan bergantung terhadap kapasitas ataupun terhadap besar, sifat, serta permintaan.

(26)

Terjadinya penundaan pada permintaan rata-rata 1 jam tidak mencapai dari kapasitas perjam. Biasanya penundaan seperti ini terjadi dikarenakan adanya permintaan yang berubah ubah kadang naik dan turun tanpa bisa diperkirakan sebelumnya dalam kurun waktu 1 jam, yang menyebabkan jumlah permintaan lebih besar daripada kapasitas yang tersedia.

Selain itu menurut Sartono dkk kapasitas runway bervariasi bergantung terhadap campuran pesawat, persen kedatangan, visibilitas, dan faktor lainnya sebagai masing-masing konfigurasi. Kapasitas tahunan dari konfigurasi sebuah bandar udara dengan konfigurasi landas pacu tunggal dapat mencapai 195.000 operasi diiringin dengan fasilitas taxiway serta apron yang baik, yang bisa dilihat pada Tabel 2.8 yang menampilkan rata-rata kapasitas landas pacu per jam dan tahunan pada beberapa konfigurasi runway.

Tabel 2.8 Kapasitas per jam dan tahunan landas pacu No. Konfigurasi Runway

Kapasitas Per Jam (Operasi/Jam)

Volume Pelayanan Per Tahun (Operasi)

VFR IFR

1

51-98 50-59 195.00-240.000 2

94-197 56-60 260.000-355.000 3

103-197 90-119 275.000-365.000 4

103-197 99-119 305.000-370.000 5

72-98 56-60 200.000-265.000 6

73-150 56-60 220.000-270.000 7

73-132 56-60 215.000-265.000

Sumber: Sartono 2016:51

(27)

2.7 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Panjang Runway

Menurut Basuki (1986:34-35) dalam merencanakan panjang runway terlebih dahulu harus mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi panjang runway seperti temperatur, angin permukaan, kemiringan landas pacu, ketinggian lapangan terbang dari muka laut dan kondisi permukaan landasan. Faktor-faktor tersebut merupakan cara pendekatan terhadap analisa yang akan menguntungkan terhadap perhitungan landas pacu. Kemudian dari semua perhitungan panjang landas pacu tersebut maka dipakai standar yang dikenal dengan Aeroplane Reference Field Length (ARFL).

Menurut ICAO ARFL merupakan panjang landas pacu minimum yang diperlukan pada saat lepas landas saat kondisi maximum take off weight. Setiap pesawat udara memiliki nilai ARFL masing-masing yang ditetapkan oleh pabrik tempat produksi pesawat tersebut. Setelah itu dapat diketahui bila ada sebuah landas pacu patut untuk dipertanyakan kemampuan landas pacu tersebut dalam menerima pendaratan pesawat udara yang dapat diketahui dari hasil perhitungan ARFL. Adapun penjelasan mengenai perhitungan panjang runway menurut ICAO adalah:

1. Panjang Runway Dasar (Basic Actual Length), ditentukan dengan dasar asumsi kondisi di bandar udara yang meliputi:

- Ketinggian bandar udara berapa pada ketinggian di muka air laut - Temperatur bandar udara merupakan temperatur standar

- Runway rata/tidak memiliki kemiringan ke arah longitudinal - Tidak ada angin yang berhembus di runway

2. Panjang runway yang disyaratkan, dapat diketahu dengan menggunakan basic runway length (panjang runway dasar) setelah itu dikalikan dengan angka koreksi untuk setiap perubahan elevasi, temperatur serta kelandaian landas pacu di tempat perencanaan landas pacu tersebut.

• Koreksi untuk elevasi

saat terjadi peningkatan elevasi runway, maka kerapatan udara akan menurun, yang akan mengurangi gaya angkat pada sayap pesawat yang membutuhkan kecepatan di permukaan (ground speed) yang

(28)

lebih besar sebelum dapat naik ke udara. Untuk mengatasi peningkatan elevasi tersebut, maka dibuat koreksi elevasi dengan kenaikan 7 persen setiap 300 m (1000 ft) di atas permukaan air laut, dengan persamaan rumus:

Fe = 1 + 0,07 x

300 metric ... 2.1 Fe= 1 +0,07 x

1000 imperial ... 2.2 Ket: Fe= koreksi untuk elevasi

h = elevasi bandar udara

• Koreksi Untuk Temperatur

Kenaikan temperatur referensi pada bandar udara menyebabkan pengaruh yang sama seperti kenaikan pada elevasi. Koreksi pada temperatur merupakan kenaikan 1 persen setiap 1C temperatur referensi bandar udara melebihi temperatur atmosfer (15C) untuk setiap elevasi. Setiap 1000 m kenaikan elevasi bandar udara di atas muka air laut, temperatur berkurang 5,5C, sehingga rumusan untuk koreksi temperatur menjadi:

Ft= 1 + 0,01 x (Tr-(15-0,0065 x h)) metric ... 2.3 Ft= 1 + 0,01 x (Tr-(59-0,0036 x h)) imperial ... 2.4 Ket: Ft= koreksi untuk temperatur

Tr= temperatur bandara/aerodrome (C) h= elevasi bandar udara (m)

airport reference temperature (Tr) merupakan rataan temperatur per

bulan dari rataan temperatur harian (Ta) dari bulan yang paling panas dalam satu tahun ditambah 1 per 3 dari selisih antara Ta dan rataan dari temperatur maksimum harian (Tm) sehingga Tr adalah:

Tr = Ta + 1

3 (Tm-Ta) ... 2.5

(29)

• Koreksi terhadap kelandaian (Gradient)

Merupakan perbedaan elevasi maksimum antara titik tertinggi dan terendah di garis tengah runway dibagi dengan total panjang ruway. Pesawat udara membutuhkan energi yang lebih pada saat lepas landas pada landasan pacu yang curam sehingga semakin panjang runway yang diperlukan untuk mencapai kecepatan permukaan yang diiginkan. Landas pacu harus dikoreksi 10 persen untuk setiap kelandaian sebesar 1 persen dari effective gradient.

Adapun rumus untuk koreksi terhadap kelandaian yaitu:

Fg= 1 + 0,1 x G ... 2.6 Ket: Fg= koreksi untuk kelandaian

G= gradient efektif runway

Berdasar pada koreksi yang ada, maka panjang landas pacu yang aktual atau panjang landas pacu rancangan dapat direncanakan dengan rumus berikut:

La= Lb x Fe x Ft x Fg ... 2.7

• Menghitung Aerodrome Reference Field Length (ARFL)

Untuk mengetahui panjang landasan pacu minimum yang diperlukan oleh pesawat rencana, setiap pesawat udara telah memiliki nilai ARFL yang sudah ditetapkan oleh pabrik pembuatnya. Adapun persamaan yang dipakai dalam menghitung ARFL:

Lr= ARFL x Ft x Fe x Fs +Fa ... (2.8) Ket: Lr= Panjang rencana landas pacu

ARFL= Panjang landas pacu minimum yang dibutuhkan pesawat rencana

Ft= Faktor koreksi elevasi Fs= Faktor koreksi slope

Fa= Faktor koreksi angin permukaan

(30)

2.8 Struktur Perkerasan Landas Pacu

Menurut Heru Basuki (1983:269) perkerasan merupakan lapisan struktur yang mempunyai nilai kekuatan, dan daya dukung yang berbeda antara satu sama lain. Perkerasan yang dibuat dari campuran aspal dengan aggregate digelar di atas suatu permukaan material granular dengan mutu tinggi dikenal dengan perkerasan fleksibel, adapun perkerasan yang terdiri atas beton campuran beton segar atau campuran semen Portland dikenal dengan perkerasan kaku. Pada dasarnya perkerasan ini berperan sebagai dasar yang dapat menahan beban dari pesawat udara, dengan begitu dapat tercipta struktur perkerasan yang sesuai dengan ketebalan yang dibutuhkan sehingga bisa aman dilandasi pesawat udara.

Perkerasan fleksibel terbagi atas beberapa lapisan yaitu surface coarse, base coarse, serta subbase coarse, adapun dari beberapa lapisan ini bisa memiliki jumlah lapisan yang sama atau berbeda. Pada dasarnya semua dibentangkan di atas tanah asli atau tanah yang telah padat yang dikenal dengan subgrade yang biasa ditemui pada bagian atas timbunan atau galian. Sedangkan perkerasan kaku merupakan struktur perkerasan yang membagi beban yang diterima ke lapisan subgrade secara rigid atau kaku, lapisan permukaan rigid berupa lempengan beton yang memiliki bending resistance atau daya tahan lengkung yang lumayan tinggi dengan contoh perkerasan beton.

Menurut Warsito (2017:26) penentu kekuatan suatu landasan pacu adalah subgrade, dan subgrade ini mempunyai kekuatan yang dibagi menjadi, kekuatan tinggi (high strength), kekuatan sedang (medium strength), kekuatan rendah (low strength) serta kekuatan yang sangat rendah (ultra-low strength). Pada perkerasan kaku kekuatan subgrade ditentukan oleh koefisien modulus westergaard, sedangkan pada perkerasan fleksibel kekuatan subgrade ditentukan oleh CBR (California Bearing Ration) yaitu ukuran kekuatan suatu material. Adapun susunan suatu struktur perkerasan dapat dilihat pada Gambar 2.10 yang tersusun menjadi:

1. Lapisan tanah dasar (subgrade)

2. Lapisan pondasi bawah (subbase course) 3. Lapisan pondasi atas (base course)

(31)

4. Lapisan permukaan/penutup (surface) Elemen Penyusun Struktur Perkerasan Lentur:

1. Tanah dasar atau subgrade adalah tanah yang dipersiapkan dengan guna menampung perkerasan. Ketahanan dan kekuatan perkerasan bergantung pada daya dukung tanah dasar ini, yang biasanya ditafsirkan dengan nilai California Bearing Ratio (CBR).

2. Pondasi bawah atau subbase course adalah lapisan struktur perkerasan dengan guna menyalurkan beban yang diterima kemudian membagiaknnya ke lapisan tanah dasar.

3. Pondasi atas atau base course adalah bagian lapisan yang menyangga lapisan yang letaknya di permukaan (surface) serta tumpuan utama roda pesawat udara, kemudian mendistribusikannya ke lapisan pondasi bawah (subbae course), kemudian ke lapisan tanah dasar (subgrade).

Elemen Penyusun Struktur Perkerasan Kaku:

1. Tanah dasar atau subgrade merupakan tanah yang dipersiapkan untuk menahan tegangan dari lalu lintas pesawat udara dengan jumlah kecil, tetapi daya dukung beserta keseragaman tanah dasar cukup berpengaruh pada ketahanan dan kekuatan perkerasan kaku. Adapun daya dukung dari tanah dasar berdasar pada konstruksi beton itu sendiri.

2. Pondasi bawah atau subbase course, pada perkerasan kaku terdapat satu perkerasan untuk menahan beban pesawat udara, dan mengatur pengaruh kembang atau susut tanah dasarnya.

3. Pelat beton adalah komponen utama di struktur perkerasan kaku dalam menerima beban pesawat, penyusun materialnya sendiri terdiri atas campuran material yang disusun oleh agregat halus, kasar, air dan semen, agar dapat dicapai tingkat mutu beton yang direncanakan maka perlu diperhatikan perbandingan antar material yang sesuai dalam penentuan kekuatan beton. Perkerasan kaku hanya dipakai pada ujung landasan, atau titik bertemu landasan pacu dan taxiway, serta juga digunakan pada apron beserta daerah lain yang hanya digunakan sebagai parkir pesawat, daerah yang terkena panas blastjet dan limpahan minyak.

(32)

Gambar 2.10 Lapisan Perkerasan Fleksibel dan Perkerasan Kaku (Sumber: Basuki 2014)

2.9 Metode Perencanaan Perkerasan

Menurut Heru Basuki (1986:271-272) pada perencanaan perkerasan flexible terdapat beberapa metode yang dapat dipakai, meskipun diantara metode ini tidak dianggap sebagai sebuah standar oleh badan dunia penerbangan ICAO. Beberapa metode yang dipakai secara global tetapi bukanlah standard perencanaan merupakan metode yang disusun oleh Corps Of Engineer, terntara amerika yang berdasar pada test CBR. Adapun beberapa metode tersebut antara lain:

1. Metode US Corporation Of Engineers atau yang dikenal Metode CBR

2. Metode FAA

Adapun pada tugas akhir ini akan merencanakan perkerasan flexible dengan menggunakan metode CBR dan metode FAA, oleh karena itu akan dibahas secara mendalam mengenai struktur perkerasan flexible metode CBR dan metode FAA.

2.9.1 Perencanaan Perkerasan Flexible Metode CBR

Metode CBR pada awalnya dipakai oleh badan California Division Of

(33)

Highway, yang merupakan bina marga negara bagian California di Amerika pada tahun 1928, Adapun penemu dari metode ini adalah O.J.Porter. Metode ini dikenal cepat dan sederhana kemudian diterapkan oleh Corps Of Engineer Angkatan Darat Amerika, sesaat setelah perang dunia ke II kebutuhan semakin banyak, mulai dari membangun lapangan terbang, jalan raya, yang semua harus dilaksanakan secara cepat dan beriringan, inilah yang membuat metode ini diterapkan dan diambil ahli oleh Angkatan Darat Amerika karena kesederhanaan metode ini dan juga pada saat itu belum tersedia metode untuk perkerasan lapangan terbang.

Dalam proses pengembangan metode ini telah sesuai dengan kriteria perencanaan perkerasan lapangan terbang yang harus memenuhi prosedure test pada subgrade dan komponen-komponen lainnya yang sederhana, kemudian harus memahami persoalan yang ada pada perkerasan lapangan terbang dalam waktu yang relative singkat, setelah melihat persyaratan tersebut metode CBR dinyatakan sudah memenuhi. Kemudian metode CBR memungkinkan penggunaannya dalam menentukan ketebalan lapisan subbase, base, dan surface yang diperlukan, dengan memaki kurva design serta test lapisan tanah. Adapun tahapan dari perencanaan tebal perkerasan fleksibel menggunakan metode CBR dengan tahapan:

• Mempersiapkan Tanah dasar, sampel dari tanah dasar yang digunakan pada pengujian CBR diuji dalam laboratorium agar mendapatkan nilai CBR, pengujian ini dilakukan dengan pemadatn dengan kadar air tertentu.

• Setelah mendapat nilai CBR tanah dasar, kemudian menentukan niali Equivalent Single Wheel Load yang merupakan nilai beban roda tunggal yang akan menghasilkan respon dari struktur perkerasan pada titik tertentu di dalam struktur perkerasan, yang mana besarnya bisa disamakan dengan beban yang dipikul pada titik roda pendaratan, dalam menentukan nilai ESWL biasanya perhitungan berdasarkan tegangan vertikal, lendutan dan regangan.

• Menentukan pesawat rencana, dengan penentuan pesawat rencana yang beroperasi serta melihat nilai Maksimum Structural Take Off Weight (MSTOW) serta data jumlah keberangkatan tiap jenis

(34)

pesawat udara tersebut. Kemudian dapat dipilih jenis pesawat yang menghasilkan tebal perkerasan yang paling besar. Biasanya pemilihan pesawat rencana ini tidak berasumsi pada berbobot paling tinggi, akan tetapi terhadap yang paling banyak melalui landasan pacu yang direncanakan.

• Setelah itu menentukan lalu lintas pesawat, dalam metode CBR jumlah total repetisi beban pesawat rencana yang dihitung dalam bentuk ESWL digunakan dalam menghitung tebal perkerasan total, untuk menghitung niali ESWL digunakan rumus:

Log (ESWL)= Log Pd + 0,31 log(2𝑥𝑑)

log(2𝑥𝑍/𝑑) ... 2.9

• Menghitung tebal perkerasan total menggunakan persamaan:

t = √𝑃 [ 1

8.1.𝐶𝐵𝑅1

𝑝𝜋] ... 2.10

• Dilanjutkan dengan perhitungan tebal perkerasan lapis pondasi bawah (subbase course) menggunakan persamaan:

t = √𝑃 [ 1

8.1.𝐶𝐵𝑅1

𝑝𝜋] ... 2.11

• Kemudian menentukan tebal perkerasan lapis pondasi atas (base course) menggunakan persamaan:

t = √𝑃 [ 1

8.1.𝐶𝐵𝑅1

𝑝𝜋] ... 2.12 Ket: t= tebal perkerasan yang dibutuhkan

P= beban pesawat yang dipikul roda P= tekanan udara pada roda (psi)

• Tahapan akhir menghitung lapis permukaan (surface) menggunakan persamaan:

t = ttotal – tsubbase – tbase ... 2.13 Ket:

ttotal= tebal perkerasan total

tsubbase= tebal pondasi bawah perkerasan (subbase course) tbase= tebal pondasi atas perkerasan (base course)

Gambar

Tabel 2.1 ICAO Aerodrome Reference Code  Code
Tabel 2.2 Contoh pesawat berdasarkan ICAO Aerodrome Reference Code   Code  Number  (ICAO)  Code Letter ICAO  Contoh Pesawat
Tabel 2.4 Airplane design group
Gambar 2.1 Dimensi Pesawat Terbang (Sumber: Sartono 2016)
+7

Referensi

Dokumen terkait

melihat anime dan membaca buku berbahasa Jepang (77%), dilanjutkan dengan mengulang membaca catatan yang dimiliki (66%) Akan tetapi masih terdapat kekurangan dalam

Dampak pertumbuhan ekonomi di sektor industri dan pertanian terhadap kualitas lingkungan hidup yang diukur dengan emisi gas rumah kaca di Negara Berkembang dan Negara Maju

menyebutkan bahwa jika suatu Negara semakin terintegrasi (memiliki tingkat keterbukaan ekonomi yang lebih tinggi) maka akan semakin tinggi tingkat emisi yang dihasilkan dan

Kinerja Badan POM Dalam Angka Triwulan III Tahun 2017 33 Pelaksanaan kegiatan MDI sampai dengan TW III tahun 2017 adalah telah dilaksanakan implementasi tata kelola

Selain itu, hubungan Kristus dan budaya tidak bersifat mekanis, tetapi dinamis dengan tetap menyadari akan adanya pimpinan Roh Kudus atas murid Kristus

Oleh karena itu, dikembangkan terapi yang lain untuk pengobatan kanker seperti terapi gen (gene therapy).. Dalam upaya perawatan penderita kanker, metode perawatan terbaru

Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta inayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

Sebelum ditemui bukti sejarah berupa tulisan pada batu bersurat tentulah bahasa Melayu telah digunakan untuk masa yang panjang kerana didapati bahasa yang ada pada