• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Komunitas Asean - Tantangan dan Strategi Pengembangan Kota-Kota Pada Masa Kini dan Masa Depan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Komunitas Asean - Tantangan dan Strategi Pengembangan Kota-Kota Pada Masa Kini dan Masa Depan."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN KOMUNITAS ASEAN:

Tantangan dan Strategi Pengembangan Kota-Kota

Pada Masa Kini dan Masa Depan

I Ketut Ardhana1

Abstract

Komunitas Asean sebagai mana yang diketahui sekarang ini dapat dipahami dengan baik apabila kita melihatnya dari dinamika migrasi dan kesejarahan yang telah terjadi dari masa lalu hingga sekarang ini. Ini terjadi karena terbentuknya komunitas Asean ini merupakan produk sosiologis dan sejarah yang menginginkan akan adanya satu badan di kawasan regional dalam menghadapi berbagai persoalan yang bersifat multikompleks baik dari aspek sosial budaya, politik, hukum dan politik. Ini dirasakan semakin signifikan, karena apa yang berkembang di masa lalu tampaknya sudah mengalami perubahan-perubahan yang menuntut sikap cerdas dalam menyikapinya sehingga dinamika kehidupan komunitas Asean dapat sejajar sebagaimana yang terjadi dengan warga lainnya di kawasan regional Asean. Ada beberapa pertanyaan yang muncul pertama: bagaimana dinamika komunitas Asean dilihat perseptif migrasi dan historis, kedua: apa tantangan komunitas Asean dalam kaitannya dengan harmoni dan konflik muncul ke permukaan di era yang global ini, dan ketiga makna kearifan apa yang dapat dikembangkan dalam menyusun strategi kebijakan dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan kebahagian komunitas Asean.

Kata kunci: migrasi dan sejarah, regionalisme dan pembangunan kota-kota pada Komunitas Asean

I. Pendahuluan

Tema yang membahas peran kota-kota di Asia Tenggara dalam konteks menuju Komunitas Asean merupakan salah satu hal yang signifikan dalam upaya pengedepanan soft diplomacy sebagaimana diprioritaskan oleh negara-negara ASEAN dalam menjaga hubungan antar bangsa yang baik (goodneighbouring countries). Pemahaman dinamika kota-kota di Asia Tenggara memiliki makna yang penting dalam upaya penguatan kesadaran historis antar penduduk di kawasan ini dalam kaitannya dengan pembentukan komunitas Asean dalam konteks kehidupan masyarakat yang sejahtera dan damai (cf. Chandler, 1989). Konsep sejahtera dan damai telah terbentuk dalam perjalanan sejarah kita, terutama apabila kita melihat kembali ke masa lalu. Di sini tampak, bahwa warga komunitas Asean sudah memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang tersebar di kawasan itu yang berlandaskan akan ajaran filosofis, agama dan nilai-nilai adiluhung lainnya. Ini dapat dipahami, karena jauh sebelum terbentuknya negara modern (modern state) di Asia Tenggara ini telah terjadi sebuah kehidupan yang berbasis pada suku bangsa (nation) yang memiliki kearifan yang berbasis pada aturan atau tradisi yang sudah diwarisi secara turun temurun (Kartodirjo, 1977). Namun demikian, hubungan negara bangsa ini yang harmoni (nation-state relationship) mengalami gangguan ketika peran negara (state) menghegemoni keberadaan suku bangsa itu (nation), sehingga memunculkan persoalan-persoalan tidak hanya di tahapan negara, tetapi juga di akar rumput (grass roots). Padahal, kenyataannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kedua aspek ini negara dan suku bangsa ini adalah tidak

1

Guru Besar Sejarah Asia pada Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana, Ketua Pusat Kajian Bali

Universitas Udayana dan Sekretaris Tim Ahli Pemerintah Kabupaten Gianyar. Email address:

(2)

perlu dipertentangkan, namun diupayakan untuk dapat hidup secara bersinergi dalam penguatan kehidupan berbangsa dan bernegara itu (the Strengthening of the nation state building) (Dahm dan Ptak, 1999). Oleh karena itu, asumsi dasar yang dapat diangkat dalam kaitannya ini adalah seberapa jauh negara dan masyarakat dapat memanfaatkan nilai-nilai kearifan yang dimilikinya itu? Semakin mereka dapat memanfaatkan dan dengan sendirinya mempertahankan nilai-nilai yang telah dimiliki secara turun termurun itu, maka dapat dianggap semakin cerdas kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan hubungan negara bangsa ini dalam kehidupan modern dan postmodern.

II. Pentingnya Warisan Budaya bagi Pembangunan Kota-kota pada Komunitas Asean Sebagaimana disampaikan di atas bahwa konsep migrasi dan sejarah akan membantu menjelaskan hubungan negara bangsa yang terjadi selama ini baik dalam kehidupan harmoni maupun dalam kehidupan yang diwarnai konflik. Ini bisa dimengerti karena kehidupan masyarakat di kawasan Asean sangat dinamis. Oleh karena itu, persoalan konflik tidak dapat dihindari, namun bukan berarti tidak bisa diselesaikan, dalam arti pengelolaan konflik (conflict

management) sangat diperlukan. Ada sebuah contoh yang baik yang dapat dilihat dengan

persoalan ini. Di masa lalu, kehidupan sebelum terbentuknya negara modern (modern state), dapat dikatakan dalam harmoni, karena adanya ikatan agama yang sama yaitu Buddha (Ardhana, dan Wijaya, 2015b), sebagaimana yang terjadi di perbatasan Thailand dan Kamboja. Mereka dipersatukan dengan ideologi agama. Akan tetapi setelah terbentuknya negara modern, mereka terpisahkan satu dengan yang lainnya berdasarkan perbedaan kewarganegaraan (citizenship). (Cf. Ardhana, 2015a).

Akibatnya adalah mereka merasakan terpisah antara satu dengan yang lain meskipun memiliki agama yang sama, tetapi secara politik pemerintahan mereka tidaklah sama karena perbedaan kewarganegaraa itu sebagai orang Thailand dan orang Kamboja (Ardhana, 2007). Sulit kita bisa membayangkan, misalnya bagaimana suku bangsa yang dahulunya bersatu itu karena kesamaan agama yang sama, kemudian mengalami konflik di tahun 2000an, ketika adanya perbedaan kewarganegaraan yang dipicu oleh kesadaran sebuah situs budaya dan agama bagi kepentingan ekonomi negara? Inilah yang terjadi pada kasus Preah Vihear Temple yang terletak di perbatasan antara Thailand dan Kamboja. Inilah sebuah contoh bagaimana identitas itu dikonstruksikan (Cf. Ardhana, 2010b) dalam hal ini sebagai orang Thai dan Orang Kambodja. Memang di masa lalu keberadaan Preah Vihear Temple itu di wilayah perbatasan. Di satu pihak pada saat itu, keadaan negara yang mengalami peperangan di tahun-tahun sebelumnya tampaknya pemerintah Kambodja kurang memperhatikan keberadaan Preah Vihear Temple itu.

(3)

ini merupakan pelajaran yang berharga buat kita (lesson learnt) untuk belajar dari kasus kedua negara ini yaitu pentingnya untuk menjaga warisan budaya (cultural heritage) yang sudah diwariskan kepada kita.

III. Nilai Warisan Budaya dan Tantangan Pembangunan Kota-kota pada Komunitas Asean

Asumsi akan pentingnya warisan budaya tampaknya tidak diragukan lagi bagi komunitas Asean. Sebagaimana dapat dilihat sebelumnya domain budaya seringkali berubah menjadi domain politik. Namun, paling tidak hal ini memberikan perhatian yang berharga bagi kita, bagaimana upaya untuk menjaga warisan budaya kita dapat dilakukan secara berkesinambungan, sehingga klaim-klaim budaya sebagaimana marak terjadi akhir-akhir ini dapat dihindari. Persoalan preservasi budaya (cultural preservation) ini tampaknya tidak hanya menjadi kepentingan etnis atau suku bangsa tertentu saja, tetapi sudah menjadi kepentingan negara untuk melindunginya. Bahkan, badan dunia seperti UNESCO berupaya keras agar warisan budaya yang memiliki nilai-nilai universal dapat diangkat sebagai warisan budaya dunia (Organization of World Heitage

Cities). Dunia menyadari akan pentingnya budaya lokal untuk bisa dipertahankan dalam

kehidupan modern ini. Namun kenyataannya, tidak semuanya berjalan seperti yang diharapkan, misalnya bagaimana budaya lokal Hawaii kehilangan identitasnya karena proses westernisasi atau “Amerikanisasi” berlangsung cepat sehingga budaya lokalnya tergerus oleh proses modernisasi itu sendiri. Hal yang berbeda terjadi di Bhutan, dimana negara ini diakui sebagai negara yang memiliki indek kebahagiaan yang paling tinggi di dunia (index of happiness). Jadi, sekarang ini selain indek kesejahteraan yang diukur dari income masyarakat, juga diperlukan ukuran indeks kebahagiaan ini. Dengan demikian, kita bisa melihat meskipun kehidupan sebuah kota (Sjoberg, 1965) atau masyarakat dilihat dari pembangunan secara fisik kotanya tidak canggih (sophisticated), namun dengan kesederhanaan yang dimilikinya itu, masyarakat itu merasakan rasa kebahagiaan yang tinggi. Pertanyaannya adalah apakah masyarakat kita yang secara materi kekurangan, namun mereka merasakan kebahagiaan ini? Inilah tantangan yang dihadapi oleh komunitas Asean sekarang ini tidak hanya masa sekarang, tetapi masa yang akan datang.

(4)

Demikianlah perkembangan dari sebuah kota seperti di Chiang Rai, Chiang Mai (Thailand Utara) yang berbatasan dengan Mae Sae di Myanmar (dahulu Birma) yang ramai dikunjungi karena aktifitas perdagangan ini. Bahkan, oleh pemerintah kerajaan saat itu, dibuka lahan yang luas untuk perkebunan candu dan juga dibangun gudang-gudang yang diharapkan mampu menampung hasil panen masyarakat lokal itu.

Akan tetapi, pemerintah Thailand dalam implementasi kebijakannya tidaklah menganggap semua hal yang berdasarkan tradisi masa lalu adalah negatif. Hal yang tidak sesuai dengan paradigma pembangunan sekarang dirubah persepsinya, dan pemerintah berupaya menjaga warisan budaya yang dianggap penting yang bisa menjadi pelajaran dari pengalaman masa lalu itu. Ini berarti, bahwa gudang-gudang penyimpan candu di masa lalu, bukannya dibongkar, tetapi dijadikan museum yang sekaligus menjadi obyek wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan domestic dan internasional. Bahkan, di museum ini diperlihatkan tentang bagaimana kehidupan tradisi masa lalu orang-orang lokal (hilltribes), sekaligus memberikan ketrampilan baru kepada mereka, tidak dalam hal mengelola candu tetapi dialihkan dengan memberikan ketrampilan membuat kerajinan keramik yang merupakan produk penting di kawasan itu. Ini mengingatkan kita, akan bagaimana ramainya jalan sutra (silkroads) di daratan Asia yang menghubungkan Eropa dan Asia sebagaimana pernah dilakui oleh pedagang Eropa terkenal yaitu Marcopolo. Tidak hanya bagi penduduk dari Thailand sendiri yang mendapat berkah dari pengembangan industri wisata Thailand, tetapi juga kehidupan etnis lainnya di luar Thailand seperti di Laos. Ini bisa dimengerti karena Laos sebagai (landlocked country) “negara yang terkunci” yang tidak memiliki akses ke laut dan dikelilingi oleh negara-negara lainnya seperti Thailand, Vietnam, Kamboja dan sebagainya membuat negeri ini ketergantungan secara ekonomi dengan Thailand. Dalam hal ini orang Laos yang disebut Lao, dipekerjakan di kerajinan-kerajian pariwisata Thailand dan bahkan di pusat kegiatan pariwisata seperti hotel, restaurant, destinasi wisata dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa adanya harmoni di kalangan orang Thailand dan Laos untuk bersinergi dalam menunjang kawasan wisata Thailand yang secara tidak langsung mendukung upaya pembangunan berkelanjutan di komunitas Asean itu pada umumnya.

Komunitas Asean sangat menyadari akan pentingnya memiliki keunikan atau karakteristik pengembangan kawasannya, tidak hanya menyangkut masalah kekayaan sumber daya alam atau kebudayaan fisik (tangible culture), tetapi juga mencakup aspek kebudayaan non fisik (intangible culture). Sangat disadari betapa pentingnya untuk merevitalisasi pusaka budaya yang telah diwariskan dari generasi sebelumnya kepada mereka termasuk pula dalam hal merestorasi tinggalan-tinggalan bangunan lama (Ardhana dan Setiawan, 2014b), sehingga dapat dipergunakan untuk mengembangkan kawasan itu untuk pengembangan kawasan wisata (Ardhana, 2014a). Malaysia sebagai contohnya telah mampu mengangkat dan merestorasi bangunan-bangunan Portugis untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Malakka. Sebagaimana diketahui dari tulisan Thomas Pires, berjudul Suma Oriental yang merekam tentang apa yang terjadi berkenaan dengan fungsi Malakka pada abad ke-17 dan abad ke-18.

(5)

pemersatu di kalangan komunitas di Nusantara. Karena pentingnya peranan Malakka ini, maka digambarkan bahwa siapa yang menguasai Malakka akan menguasai jalur perdagangan di Asia Tenggara. Pendapat seperti ini tampaknya beralasan, karena memang lokasi Malakka yang secara strategis berada di tengah-tengah dunia perdagangan yang menghubungkan India dan Cina. Itulah sebabnya mengapa Malaysia memiliki jumlah penduduk yang banyak dari keturunan India dan Cina di samping penduduk Melayu itu sendiri (the Malays). Tidak mengherankan pula, mengapa pada dewasa ini pemerintah Malaysia mengangkat konsep “Malaysia is truly Asia,” dengan anggapan bahwa semua penduduk keturunan India, Cina dan Melayu dapat dijumpai di Malaysia. Ini berarti tradisi, budaya, peradaban ketiga etnis itu tidak usah jauh-jauh dicari, melainkan cukup berkunjung ke Malaysia maka ketika budaya itu akan dapat dijumpai. Ini tampaknya menguntungkan pemerintah Malaysia dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahannya dalam upaya bertetangga rukun dan tidak terjadi gesekan-gesekan etnis yang dianggap dapat mempengaruhi persoalan disintegrasi bangsa. Namun, upaya-upaya ini terus dikembangkan, sehingga tampak terlalu jauh dalam klaim-klaim budaya yang dilakukannya dalam upaya menguatkan kesan bahwa semua kebudayaan Asia ada di Malaysia. Hal ini tampaknya sah-sah saja, sepanjang itu hanya menyangkut masalah promosi pariwisata dan tidak dalam konteks klaim budaya lain untuk menjadi milik mereka. Apa yang dilakukan pemerintah Malaysia ini tidak terlepas dari persoalan-persoalan persaingan global, perkembangan ekonomi Asean, menuju kehidupan komunitas Asean yang perannya dapat diperhitungkan di dunia internasional. Untuk itu, masing-masing pemerintahan di komunitas Asean ini secara berlomba-lomba untuk menggali lokalitas-lokalitas yang dimilikinya itu untuk dapat dikembangkan tidak hanya bagi masyarakat lokal itu sendiri, tetapi juga bagi masyarakat dunia internasional (“think

locally act globally”). Sumbangan pemikiran seperti inilah yang diharapkan sehingga upaya

membangun manusia seutuhnya itu dalam arti tidak tercerabut dari akarnya akan dapat dihindari. Dalam kaitan ini, tampaknya sungguh tepat apabila badan internasional seperti UNESCO memikirkan masalah warisan budaya dunia ini untuk dikembangkan secara terus menerus. Kalau tidak diingatkan, tampaknya masyarakat lokal yang terbuai dengan pembangunan ekonomi yang instant sifatnya hanya bersifat sesaat, tidak berkelanjutan, sehingga persoalan-persoalan etnisitas, identitas, dalam kaitannya dengan masalah penguasaan tanah dimana memiliki fungsi signifikan dalam konteks terbentuknya identitas itu sendiri.

Oleh karena itu, betapa upaya pelestarian budaya di masing-masing masyarakat memiliki arti dan makna yang penting. Hingga kini, banyak tradisi budaya yang sudah mengalami perubahan-perubahan, misalnya ada kesenian yang sudah lenyap, masih langka, masih berkembang karena kepentingan ritual tertentu dan bahkan ada seni yang terbarukan dengan memadukan konsep kreatifitas dan inovatif. Kajian-kajian tentang masalah ini terutama yang berkaitan dengan penyusunan Blueprint dan Roadmap tentang pengembangan atau revitalisasi budaya kota di komunitas Asean tampaknya sudah mulai banyak dilakukan. Singapura misalnya untuk menarik jumlah kunjungan wisatawan dalam konteks kelampauannya dikenal sebagai “Alexandria from

the East”, di samping memang Singapura berhasil mengembangkan pelabuhan transito yang

(6)

dilakukan oleh negara lainnya di komunitas Asean itu. Beberapa contoh bagaimana penciptaan branding yang dilakukan di masing-masing komunitas Asean sebagai berikut:

Strategi dan Kebijakan Komunitas Asean dalam Mengembangkan Pariwisata Negara Komunitas

Asean

Slogan Pengembangan Pariwisata Strategi dan Kebijakan

Malaysia Malaysia Truly Asia Sarawak: CAN (Culture, Creating Cultural Village, and festivals, sale of the year, hub of Asia (KLIA)

Thailand History, culture, eco-tourism on land, night life (sand, sex, sea), casino

Packaging, digging festivals

Filipina History, culture, night life, maritime Promotion of safe areas, restriction of conflic areas

Vietnam Hidden Charm History, culture, eco-tourism land and maritime

Creating 4 Zona Doi moi – reformation

Singapura Global City for the Arts

Cultural Hub of Asia Regional and Global tourism, culture, history, convention, health, new attractions

New destination/ attraction, songs of the sea, global city for the arts (music, theater, etc). Cultural Hub of Asia

Kamboja Kingdom of the East history, culture, eco-tourism: dream of safari

Linking 4 Zona: Siem Riep (historical heritage, culture: cultural village), Vientiane (history, culture, gate of international tourists), Sihanouk Ville (eco-tourism,

(7)

arsitektur bangunan, pakaian tradisional, makanan tradisional (gastronomi) hingga tarian tradisional juga dikembangkan. Pelaksanaan pengembangan kota-kota pusaka ini dilakukan di kabupaten karena sejak otonomi daerah peran para bupati diharapkan lebih maksimal dalam pengembangan kabupaten/kota mereka masing. Masing. Harapannya adalah agar dengan pelestarian baik budaya fisik (tangible culture), maupun nonfisik (intangible culture), maka dengan sendirinya terdapat persepsi bahwa apaun pembangunan pemerintah daerah di wilayahnya, akan dirasakan menjadi bagian dari pembangunan wilayah mereka masing-masing. Untuk itu, perlu diapresiasi secara terus menerus terhadap berbagai kebijakan pemerintah daerah, pengusaha dan warga kotanya, sehingga upaya-upaya cerdas ini akan membangkitkan kiprah dan daya saing masyarakat kita (Ardhana, 2010) sebagai anggota komunitas Asean di masa kini dan masa yang akan datang.

V. Simpulan

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa perlunya mempelajari pengalaman dari negara-negara lain di komunitas Asean untuk memperkuat jati diri dan identitas bangsa Indonesia. Tanpa mengetahui pengalaman, dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara di kawasan Asean lainnya, kita tidak mengerti seberapa jauh sebenarnya kita sudah melangkan di jajaran warga masyarakat yang termasuk sebagai anggota komunitas Asean ini. Kegagalan dari pengalaman mereka perlu kita hindari, namun keberhasilan yang diraihnya perlu diapresiasi dan menjadi bahan berharga untuk dijadikan pelajaran dalam melangkah ke depan untuk mampu berdaya saing dengan negara-negara komunitas Asean lainnya. Oleh karena itu, tentu kita sebagai sebuah bangsa tidak hanya menerima apa yang sudah diberikan bangsa lain kepada bangsa kita. Yang lebih penting adalah adanya upaya kita untuk memberikan kontribusi berharga pada komunitas Asean dan bahkan, dunia internasional, sehingga bangsa dan negara kita mendapat apresiasi yang baik juga bagi pembangunan masyarakat dunia internasional di era modern dan postmodern.

Materi yang dipresentasikan pada Kegiatan Sosialisasi Toward ASEAN Community 2015: ASEAN Goes to Campus dengan tema: ”Menuju Asean Community 2015” yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia di Universitas Mataram (UNRAM) Lombok Barat-Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) hari Senin tanggal 13 April 2015.

Referensi Pilihan

Ardhana I Ketut. 1-2 April 2015a. “Some Issues in the Context of Sustainable Border Development in Southeast Asia”, dalam Justice for All, Syahida Inn-Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (organized by Prof. Dr. Margareth Gfrerer), Deutscher Akademischer Austauschdienst DAAD (German Academic Exchange Service), Jakarta.

Ardhana, I Ketut dan I Nyoman Wijaya, May 26--27, 2015b. “Indian Influences on the Balinese Culture: the Role of Hinduism and Buddhism in the Present Day Bali”, dipresentasikan pada Seminar Internasional “Thai-India History and Cultural Relationships” Room 105, Mahachulalongkorn Building, Chulalongkorn University, Bangkok Thailand.

Ardhana I Ketut. 2015c. “Warisan Budaya dan Pariwisata Kota di Asia Tenggara”, Pusaka Budaya (Majalah Pelestarian Kota Pusaka Gianyar, Bali). ISSN 2443-065X, Edisi: 01, Gianyar: Pemerintah Kabupaten Gianyar.

Ardhana, I Ketut (ed.). 2014a. Denpasar Smart Heritage City: Sinergi Budaya Lokal, Nasional dan Universal, Denpasar: Pemerintah Kota Denpasar bekerjasama dengan Pusat Kajian Bali – Universitas Udayana.

(8)

Ardhana, I Ketut. 2010. “Nunukan di Tengah-tengah Kawasan the Golden Triangle: Antara Surabaya, Pare-Pare dan Tawau”, dalam Yekti Maunati (ed.). Etnisitas Perkembangan Sumberdaya Lokal dam Potensi Perdagangan Internasional dalam rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Nunukan Kalimantan Timur. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Ardhana, I Ketut. 2010b. “Kebugisan” Etnik Bugis dalam konteks Negara Bangsa di Malaysia dan Indonesia, dalam Yekti Maunati, I Ketut Ardhana dkk, Kontestasi Identitas dan Diaspora Bugis di Wilayah Perbatasan Kalimantan Timur Sabah. Jakarta: LIPI Press.

Ardhana, I Ketut. 2007. “Trade Contacts in the Cross Border Areas between Cambodia and Thailand” ASEAN: Bon Muoi Nam Nhin Lai Va Huong Toi (ASEAN in Its Fortieth Year- Looking Back and Looking Forward) diselenggarakan oleh University of Social Sciences and Humanities, Vietnam National University-Hanoi, Vietnam, July 19.

Chandler, R. David (et al.). 1989. In Search of Southeast Asia. Sydney: Allen & Unwin.

Dahm, Bernhard dan Roderich Ptak. 1999. Sudost Asien Handbuch: Geschichte, Gesellschaft, Politik, Wirtschaft, Kultur. Munchen: C.H. Beck.

Sartono Kartodirdjo. 1977. Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok Sosial. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Referensi

Dokumen terkait

Teman-teman, saat mencari sarang semut yang mempunyai banyak manfaat ntuk kesehatan, saya teringat penjelasan dari guru bahwa semut adalah serangga sosial, yang berarti mereka

Penghargaan sekolah Adiwiyata diberikan kepada Sekolah - sekolah yang telah berhasil mengembangkan dan menerapkan pendidikan lingkungan hidup dan telah memenuhi komponen

Pertimbangan lain agar stasiun ini bisa dipakai untuk jangka waktu yang lama, bila memberikan akses yang baik dan kapasitas parkir yang lebih dari keadaan eksisting, maka yang

Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh validitas metode analisis untuk penentuan kadar asetosal dalam obat sakit kepala secara spektrofotometri uv dengan parameter

Magnetometer adalah instrumen ukur yang digunakan untuk mengukur kekuatan ukur yang digunakan untuk mengukur kekuatan atau arah medan magnet baik diproduksi di laboratorium atau

Kasus Semanggi II adalah gerakan mahasiswa untuk menggagalkan RUU tentang Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) yang telah disetujui DPR. Dari segi pelaku

sedangkan yang dilakukan pada untuk mengatisipasi pasien yang belum Kemudian ada juga penelitian yang dilakukan oleh Nuning Versianita, Rini Sovia dan l “Perancangan

Kesimpulan untuk penelitian ini adalah hasil penelitian rentang periode kuartal 1 tahun 2007 hingga kuartal 1 tahun 2015 dengan menggunakan metode regresi linier berganda, bahwa