• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN GURU DALAM MENGAJARJAN PENDIDIKAN REPRODUKSI PADA ANAK USIA DINI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERAN GURU DALAM MENGAJARJAN PENDIDIKAN REPRODUKSI PADA ANAK USIA DINI"

Copied!
191
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN GURU DALAM MENGAJARJAN

PENDIDIKAN REPRODUKSI PADA ANAK USIA DINI

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Disusun Oleh : Nama : Fitria NIM : 2013810005

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI FAKULTAS ILMU PENDIDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMADYAH JAKARTA

2018

(2)

i

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI Skipsi Agustus 2018

Fitria (2013810005)

PERAN GURU DALAM MENGAJARKAN PENDIDIKAN REPRODUKSI PADA ANAK USIA DINI

xv + 101 hal, 12 tabel, 2 gambar, 10 lampiran ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui peran guru dalam mengajarkan pendidikan reproduksi di kecamatan Ciputat Timur.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai April 2018 dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif (Survey) dengan jumlah 115 responden. Berdasarkan hasil penelitian terdapat 98% guru yang menganggap penting untuk mengajarkan pendidikan reproduksi, 48% guru sudah mengikuti pelatihan, 70% guru melakukan sosialisasi kepada orangtua, 81% guru merancang perencanaan pembelajaran tentang reproduksi, 42% guru merasa ragu-ragu ketika mengajarkan pendidikan reproduksi,73% guru menggunakan media dalam pembelajaran reproduksi, 48% orang tua menganggap bahwa pendidikan reproduksi adalah suatu hal yang tabu, 91% orangtua memberikan respon yang positif tentang pembelajaran reproduksi di sekolah. Selain itu juga terdapat 96% guru menjelaskan bagian-bagian tubuh dengan lengkap, 96% guru mengajarkan bersikap ketika orang lain memegang alat vitalnya, 58% guru menjelaskan bagian-bagian tubuh dengan menggunakan bahasa ilmiah, 99% guru menjelaskan siapa saja yang boleh menyentuh bagian-bagian tubuh, 98% guru menjelaskan secara jelas tentang perbedaan perempuan dan laki-laki, 69% guru menjelaskan tentang fungsi reproduksi, 60% guru mengalami kesulitan dalam mengajarkan pendidikan reproduksi, dan 60%

guru membutuhkan bantuan ahli dalam mengajarkan reproduksi di sekolah.

Kata Kunci: Peran Guru, Pendidikan Reproduksi, Anak Usia Dini.

Daftar Pustaka 20 (1978-2017)

(3)

ii

PERSEMBAHAN

(4)

iii

(5)

iv

(6)

v

(7)

vi

(8)

vii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini ku persembahkan untuk

kedua orang tuaku, keluargaku dan sahabat tersayang yang selalu memberikan doa dan dukungan

demi suksesnya skripsi ini.

(9)

viii MOTTO

The only way to do great work is to love what you do.

-Steve Jobs-

(10)

ix

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rakhmat dan hidayahnya kepada kita semua. Sholawat serta salam semoga senantiada tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta kepada umatnya yang selalu melaksanahan ajarannya

Skripsi ini sengaja penulis ajukan sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini tentu masih banyak kekurangan dan kelemahannya, untuk itu penulis ingin menyampaikan permohonan kritik dan saran dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Penyusunan skripsi tidak mungkin dapat terseleaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan yang baik ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skipsi ini, terutama kepada:

1. Dr. Iswan, M.Si. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti studi di fakultas ini.

2. Dr. Diah Andika Sari, M.Pd., Ketua Program Studi Pendidikan

Guru Pendidikan Anak Usia Dini Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah memberikan

dorongan dan arahan kepada penulis untuk menyelesaikan

skripsi ini dengan tepat waktu.

(11)

x

3. Dr. Munifah Bahfen, M.Pd., Pembimbing skripsi yang telah mengarahkan dan meluruskan jalan pikiran penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Orang tua penulis, keluarga besar dan para sahabat yang telah banyak memberikan semangat baik moril maupun materil dalam melanjutkan studi di universitas ini serta penyelesaian studi dengan tepat waktu.

5. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dan dukungan serta semangat kepada penulis dalam rangka penyelesaian studi dan penyusunan skripsi ini.

Akhirnya dengan segala ketulusan hati yang bersih dan ikhlas, penulis berdoa semoga semua segala amal baik yang telah mereka berikan mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin.

Jakarta, Mei 2018

Penulis

(12)

xi DAFTAR ISI

ABSTRAK ...

i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...

ii

PERSETUJUAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ...

iii

LEMBAR PENGESAHAN ...

iv

FAKTA INTEGRITAS ...

v

PERNYATAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...

vi

PERSEMBAHAN ...

vii

MOTTO ...

viii

KATA PENGANTAR ...

ix

DAFTAR ISI ...

DAFTAR GAMBAR ...

DAFTAR LAMPIRAN ...

BAB I PENDAHULUAN...

1

A. Latar belakang ...

1

B. Identifikasi Masalah ...

6

C. Pembatasan Masalah...

6

D. Rumusan Masalah ...

6

E. Tujuan Penelitian ...

7

F. Manfaat Penelitian ...

7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...

8

A. Kajian Teori ...

8

1. Pengertian Guru ...

8

2. Peran Guru ...

10

3. Istilah dan Kualitas Guru ...

19

4. Kualifikasi Kompetensi ...

14

5. Faktor Bakat dan Pengalaman Praktik ...

21

6. Konsep Pendidikan Seksual ...

23

7. Pendidikan Anak Usia Dini ...

50

B. Kerangka Berfikir ...

70

C. Hipotesis Penelitian ...

71

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...

72

A. Tempat dan Waktu Penelitian ...

72

B. Metode Penelitian ...

72

C. Variabel dan Definisi Operasional Variabel ...

73

D. Populasi dan sampel ...

75

E. Kisi-kisi Instrument Penelitian ...

76

F. Teknik Pengumpulan Data ...

77

G. Teknik Analisis Data ...

78

xi

DAFTAR TABEL ...

(13)

xii

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...

81

A. Deskripsi Data ...

81

B. Hasil Analisis Data ...

82

BAB V PENUTUP ...

97

A. Kesimpulan ...

97

B. Saran...

98

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-Kisi Instrumen Variabel X ...

76

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen Variabel Y ...

77

Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Uji Validitas Skala Peran Guru (x) ....

84

Tabel 4.2 Hasil Perhitungan Uji Validitas Skala Pendidikan Repro-

duksi(Y) ...

85

Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Uji Validitas Skala Peran Guru (x) ....

87

Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Uji Validitas Skala Pendidikan Repro-

duksi (Y) ...

88

Tabel 4.5 Perhitungan Uji Coba Reabilitas Peran Guru (X) ...

90

Tabel 4.6 Perhitungan Uji Coba Reabilitas Pendidikan Reproduk-

si(Y)91 ...

91

Tabel 4.7 Perhitungan Reliabilitas Peran Guru (X) ...

91

Tabel 4.8 Perhitungan Reliabilitas Pendidikan Reproduksi (Y) ...

91

Tabel 4.9 Variabel X ...

92

Tabel 4.10 Variabel Y ...

94

(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Grafik Hasil Penelitian Variabel X ...

95

Gambar 4.2 Grafik Hasil Penelitian Variabel Y ...

95

(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Penelitian

Lampiran 2 Surat Pernyataan Validasi

Lampiran 3 Contoh Angket

Lampiran 4 Hasil Validitas Angket

Lampiran 5 Hasil Pengelolaan Data

Lampiran 6 Diagram Data Kasus

Lampiran 7 Foto Dokumentasi

Lampiran 8 Kartu Bimbingan Sripsi

Lampiran 9 Kartu menyaksikan Sidang

Lampiran 10. Daftar Riwayat Hidup

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia semakin marak kasus kekerasan seksual yang terj adi pada remaja maupun anak-anak. Maraknya kasus kekerasan seks ual yang terjadi belakangan ini tidak lagi hanya mengancam para rem aja yang rentan terhadap informasi yang salah mengenai seks. Eksplo itasi seks pada anak dibawah umur nyatanya juga sering terjadi oleh o rang-orang terdekat yang bahkan dilakukan oleh keluarga korban sen diri. Meningkatnya kasus kekerasan merupakan bukti nyata kurangnya pengetahuan anak mengenai pendidikan seks yang seharusnya suda h mereka peroleh dari tahun pertama oleh orang tuanya. Tetapi persep si masyarakat mengenai pendidikan seks yang masih menganggap ta bu untuk dibicarakan bersama anak menjadi sebab yang harus dibena hi bersama untuk membekali anak melawan arus globalisasi yang sem akin transparan dalam berbagai hal termasuk seksualitas.

Pendidikan seks seharusnya menjadi bentuk kepedulian orang t

ua terhadap masa depan anak dalam menjaga apa yang telah menjadi

kehormatannya, terlebih bagi seorang perempuan. Pendidikan seks

menjadi penting mengingat banyaknya kasus-kasus yang terjadi meng

enai tindak kekerasan seksual terhadap anak dan remaja. Tetapi yang

terjadi di lapangan justru orang tua bersikap apatis dan tidak berperan

aktif untuk memberikan pendidikan seks sejak usia dini kepada anakn

ya. Mereka beranggapan bahwa pendidikan seks akan diperoleh anak

(18)

2

seiring berjalannya usia ketika ia sudah dewasa nanti. Mereka seolah menyerahkan pendidikan seks kepada pihak sekolah sebagai sumber ilmu bagi anaknya. Padahal pendidikan seks sendiri belum diterapkan secara khusus dalam kurikulum sekolah. Kurangnya pengetahuan ora ng tua terhadap kebutuhan anaknya sendiri dalam mengahadapi tuntu tan zaman yang semakin berkiblat ke arah barat menjadi faktor utama belum tersampaikannya pendidikan seks sejak usia dini di lingkup kelu arga.

Hasil penelitian yang dikutip dari sebuah Jurnal Pemikiran Alter natif Pendidikan mengenai Pendidikan Seks pada Usia Dini oleh Moh.

Roqib menunjukkan bahwa 97,05% mahasiswa di Yogyakarta telah ke hilangan keperawanannya. Nyaris 100% atau secara matematis bisa d isepadankan dengan 10 gadis dari 11 gadis sudah tidak perawan yang diakibatkan oleh hubungan seksual. Fakta yang sangat memprihatink an melihat kondisi remaja saat ini yang tengah terancam dalam memp ertahankan kesucian dirinya baik karena paksaan atau karena sama-s ama suka saat melakukannya (free sex).

Tiga tahun terakhir nampaknya menjadi tahun yang memperhati nkan bagi dunia anak Indonesia. Pasalnya Komisi Perlindungan Anak I ndonesia (KPAI) menemukan ratusan kasus kekerasan seksual terhad ap anak yang diduga dilakukan orang terdekat sebagai pelaku.

Komisioner KPAI Jasra Putra mengungkapkan, data menunjukk

an bahwa pihaknya menemukan 218 kasus kekerasan seksual anak p

ada 2015. Sementara pada 2016, KPAI mencatat terdapat 120 kasus k

(19)

3

ekerasan seksual terhadap anak-anak. Kemudian di 2017, tercatat se banyak 116 kasus.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat ken aikan angka kasus kekerasan seksual terhadap anak pada 2017. Ketu a LPSK, Abdul Haris Semendawai memprediksi angka kekerasan seks ual terhadap anak ini masih tetap tinggi pada 2018. Alasannya, pada a wal tahun saja sudah ada dua kejadian, yakni kasus sodomi di Tanger ang dengan korban 43 anak dan pembuatan video porno yang melibat kan anak. (Nasional Republika diunduh pada tanggal 2 Januari 2018).

Sepanjang tahun 2017 Komisi Nasional Perlindungan Anak (Ko mnas PA) telah menerima pengaduan 2.737 kasus kekerasan pada an ak. Angka ini menurun bila dibandingkan laporan yang diterima tahun 2016, yakni 3.339 kasus. Ketua Umum Komnas PA Arist Merdeka Sirai t menegaskan bahwa ini tidak mengindikasikan bahwa kekerasan pad a anak secara nasional menurun kasusnya. Justru, kasus kekerasan s eksual pada anak masih terus mendominasi. Bentuk kekerasan seksu al itu, adalah perkosaan, pencabulan, inses, dan yang paling mendomi nasi adalah sodomi.

Total keseluruhan korban dari laporan yang diterima sepanjang 2017 adalah 2.848. Dengan korban anak laki-laki yang paling banyak menjadi sasaran predator, jumlahnya 59 persen. Sementara jumlah ko rban anak perempuan mencapai 40 persen.

Jika ditinjau dari tingkat usia, jumlah korban kekerasan paling b

anyak terjadi pada usia 6-12 tahun. Dan dari kelompok latar pendidika

(20)

4

n, korban kekerasan anak banyak terjadi di kelompok siswa TK dan S D. Mayoritas pelaku kekerasan pada anak adalah orang-orang terdeka t. (viva.co.id diunduh pada tanggal 2 Januari 2018).

Di wilayah Tangerang Selatan, Pelecehan seksual terhadap an ak kembali marak. Dalam dua bulan, setidaknya terjadi 7 kasus pelece han seksual terhadap anak di bawah umur. Kasat Reskrim Polres Tan gerang Selatan AKP A Alexander menjelaskan, kasus ini terjadi di berb agai lokasi dengan pelaku berbeda-beda. Dari tukang ojek, satpam, p enjual soto, pemulung, hingga mahasiswa menjadi pelaku pencabulan tersebut. Lokasi pencabulan dilakukan di Curug, Pondok Aren, Ciputa t dan Serpong. Korban juga beragam, beberapa anak berusia 6 hingg a 7 tahun dan ada juga yang 17 tahun. (Kumparan diunduh pada tang gal 2 Januari 2018).

Kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak kembali terja di. Kekerasan dan pelecehan seksual menimpa 2 anak sekolah dasar di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Ironisnya, kasus keke rasan seksual tersebut justru dilakukan oleh paman korban. Perbuatan itu dilakukan sejak korban masih duduk di bangku TK hingga saat ini duduk di bangku SD. Keluarga 2 korban yang masih di bawah umur te rsebut melaporkan kasus dugaan kekerasan seksual ini kepada Komis i Perlindungan Anak. (https://m.liputan6.com diunduh tanggal 02 Janu ari 2018).

Pelaku kekerasan seksual tidak hanya orang dewasa, anak-ana

k pun dapat menjadi pelaku kekerasan seksual. Kebanyakan anak yan

(21)

5

g menjadi pelaku maupun korban kekerasan seksual berasal dari kelu arga yang kurang memperhatikan pendidikan reproduksi. Hal ini menu njukkan bahwa perlunya pendidikan reproduksi untuk diberikan sejak usia dini. Selain orang tua, guru juga memiliki peran penting dalam me ngajarkan pendidiakn seks pada anak usia dini guna memberikan infor masi dan mengenalkan kepada anak bagaimana ia harus menjaga da n melindungi organ tubuhnya dari orang yang berniat jahat terhadap di rinya.

Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada para pendidik tentang pentingnya mengajarkan pendidikan seks agar mereka mendapatkan informasi yang tepat. Berdasarkan paparan diat as, maka peneliti tertarik untuk membuat penelitian dengan judul Pera n Guru dalam Mengajarkan Pendidikan Reproduksi Pada Anak Usia Di ni di Kecamatan Ciputat Timur.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dianalisis, maka dapat diidentifikasikan masalahnya sebagai berikut:

1. Banyaknya kasus pelecehan seksual di Indonesia yang terjadi pada anak usia dini.

2. Masih banyak sekolah yang belum menerapkan pembelajaran reproduksi.

3. Masih banyak guru yang belum mengerti cara memberikan

pendidikan reproduksi yang benar pada anak.

(22)

6 C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang diperoleh oleh peneliti maka adapun batasan masalah dalam penelitian ini lebih menitikberatkan pada peran guru dalam mengajarkan pendidikan reproduksi pada anak usia dini di Kecamatan Ciputat Timur.

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: Bagaimanakah peran guru dalam mengajarkan pendidikan reproduksi?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran tentang peran guru dalam mengajarkan pendidikan reproduksi pada anak usia dini di Kecamatan Ciputat Timur.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai

pihak. Diantaranya bagi para guru, agar termotivasi untuk

memperbraiki kualitasnya dalam mengajar. Bagi para pembaca,

bermanfat untuk mengetahui tentang pembelajaran reproduksi, dan

bagi peneliti, untuk menambah dan memperdalam ilmu pendidikan

reproduksi pada anak usia dini.

(23)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pengertian Guru

Guru dikenal dengan al-mu’alim atau al-ustadz dalam bahasa arab, yang bertugas memberikan ilmu dalam majelis taklim. Artinya, guru adalah seseorang yang memberikan ilmu.

Pendapat klasik mengatakan bahwa guru adalah orang yang pekerjaannya mengajar (hanya menekankan satu sisi tidak melihat sisi lain sebagai pendidik dan pelatih). Namun, pada dinamika selanjutnya, definisi guru berkembang secara luas. Guru disebut pendidik profesional karna guru itu telah menerima dan memikul beban dari orangtua untuk ikut mendidik anak. Guru juga dikatakan sebagai seseorang yang memperoleh surat keputusan (SK), baik dari pemerintah atau swasta untuk melaksanakan tugasnya, dan karena itu memiliki hak dan kewajiban untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran di lembaga pendidikan sekolah. (Suprihatiningrum, 2013:23).

Guru merupakan pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus. Pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian untuk melakukan pekerjaan sebagai guru.

Profesi guru memerlukan syarat-syarat khusus, apalagi sebagai

(24)

8

guru yang profesional, yang harus menguasai seluk-beluk pendidikan dan pembelajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan.

Profesi ini juga perlu pembinaan dan pengembangan melalui masa pendidikan tertentu atau pendidikan prajabatan.

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi siswa pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan menengah. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran, serta mampu menata dan mengelola kelas agar siswa dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan.

(Suprihatiningrum, 2013:24).

Dalam bahasa Inggris ditemukan beberapa kata untuk sebutan guru, yaitu “teacher” “tutor” educator, dam instructor.

Semua kata ini berdekatan dengan sebutan guru. Dalam kamus Webster‘s, teacher diartikan seseorang yang mengajar. Tutor diartikan seseorang guru yang memberikan pengajaran terhadap siswa; seorang guru privat instructor, diartikan seseorang yang mengajar; guru Educator diartikan dengan seseorang yang mempunyai tanggung jawab pekerjaan mendidik yang lain.

Term guru dalam bahasa Arab, dijumpai kata ustadz,

mudarris, mu’alum, mu’addib. Kata ustadz berarti teacher (guru),

professor (gelar akademik), jenjang di bidang intelektual, pelatih,

(25)

9

penulis. Kata mudarris berarti teacher (guru), instructor (pelatih) dan lecturer (dosen). Selanjutnya kata mu’allim berarti teacher (guru), instructur (pelatih), dan trainner (pemandu) dan kata mu’adib berarti educator (guru) atau teacher Koranic School (guru dalam lembaga pendidikan). (Ramayulis, 2013:1).

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa guru adalah pendidik yang bertugas untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi.

Guru merupakan suatu pekerjaan yang memerlukan keahlian dan kemampuan merancang program pembelajaran.

2. Peran Guru

Peran serta guru dalam kaitannya dengan mutu pendidikan, sekurang-kurangnya dapat dilihat dari empat dimensi, yaitu guru sebagai pribadi, guru sebagai unsur keluarga, guru sebagai unsur keluarga, guru sebagai unsur pendidikan, dan guru sebagai unsur masyarakat (Suprihatiningrum, 2015:75).

a. Peran Guru sebagai Pribadi

Kinerja guru dalam kaitannya dengan mutu pendidikan

harus dimulai dari dirinya sendiri. Sebagai pribadi, guru

merupakan perwujudan diri dengan seluruh keunikan

karakteristik yang sesuai dengan seluruh keunikan

karakteristik yang sesuai dengan posisinya sebagai pemangku

profesi keguruan. Kepribadian merupakan landasan utama

bagi perwujudan diri sebagai guru yang efektif, dalam

(26)

10

melaksanakan tugas profesionalnya, baik dilingkungan pendidikan maupun di lingkungan kehidupan lainnya. Hal ini mengandung makna bahwa untuk dapat melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya, seorang guru harus mampu mewujudkan pribadi yang efektif. Ia harus mampu mengenal dirinya sendiri dan mampu menegmbangkannya ke arah terwujudnya pribadi yang sehat dan paripurna (fully functioning person).

b. Peran Guru di Keluarga

Dalam kaitannya dengan keluarga, guru merupakan pengelola (suami atau istri) anak dan sebagai pendidik dalam keluarga. Hal ini mengandung makna bahwa guru sebagai unsur keluarga berperan untuk membangun keluarga yang kokoh, sehingga dapat menjadi fondasi bagi kinerjanya dalam melaksanakan fungsi guru sebagai unsur pendidikan. Untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang kokoh, perlu ditopang oleh landasan keagamaan yang kokoh, penyesuaian pernikahan yang sehat, suasana hubungan inter dan antarkeluarga yang harmonis, kesejahteraan ekonomi yang memadai, dan pola-pola pendidikan keluarga yang efektif.

c. Peran Guru di Sekolah

Dalam keseluruhan kegiatan pendidikan di tingkat

operasional, guru merupakan penentu keberhasilan

(27)

11

pendidikan, melalui kinerjanya pada tingkat institusional, instruksional, dan eksperensial. Sejalan dengan tugas utamanya sebagai pendidik disekolah, guru melakukan tugas- tugas kinerja pendidikan dalam bimbingan, pengajaran, dan latihan. Semua kegiatan itu sangat terkait dengan upaya pengembangan peserta didik, melalui keteladanan, penciptaan lingkungan pendidikan yang kondusif, membimbing, mengajar dan melatih peserta didik.

Dengan perkembangan dan tuntutan yang berkembang dewasa ini, peran-peran guru mengalami perluasan, yairu sebagai pelatih (coach), konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Sebagai pelatih (coach), guru memberikan peluang yang sebesar- besarnya bagi peserta didik untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya sendiri sebagai latihan untuk mencapai hasil pembelajaran optimal. Sebagai konselor, guru menciptakan suatu interaksi, di mana peserta didik melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana psikologis yang kondusif dengan memperhatikan kondisi setiap peserta didik dan membantunya ke arah perkembangan optimal.

Sebagai manajer pembelajaran, guru mengelola

keseluruhan kegiatan pembelajaran dengan mendinamiskan

seluruh sumber-sumber penunjang pembelajaran. Sebagai

partisipan, guru tidak hanya berperilaku mengajar, akan tetapi

(28)

12

juga berperilaku belajar melalui interaksinya dengan peserta didik. Sebagai pemimpin, guru menjadi seseorang yang mampu menggerakan peserta didik dan orang lain untuk mewujudkan perilaku pembelajaran yang efektif. Sebagai pembelajar, guru secara terus menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya. Sebagai pengarang, guru secara kreatif dan inovatif menghasilkan berbagai karya yang akan digunakan untuk melaksankan tugasnya.

d. Peran Guru di Masyarakat

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara keseluruhan, guru merupakan unsur strategis sebagai anggota, agen, dan pendidik masyarakat.

Sebagai anggota masyarakat, guru berperan sebagai teladan bagi masyarakat di sekitarnya, baik kehidupan pribadinya maupun kehidupan keluarganya. Sebagai agen masyarakat, guru berperan sebagai mediator (penengah) antara masyarakat dengan dunia pendidikan, khususnya di sekolah.

Dalam kaitan ini, guru akan membawa dan mengembangkan berbagai upaya pendidikan yang dapat menunjang pencapaian hasil pendidikan yang bermutu (Jamil: 2015:75).

Menurut Montessori, peran guru montessori

menunjukkan perilaku tertentu untuk menerapkan prinsip

pendekatan yang berpusat pada anak ini. Berikut ini enam

(29)

13

peran utama guru dalam program Montessori: (1) Menghormati anak dan pemelajarannya. (2) Membuat anak sebagai pusat pembelajaran. (3) Mendorong pemelajaran anak. (4) Mengamati anak. (5) Mempersiapkan lingkungan pembelajaran. (5) Memperkenalkan materi pembelajaran dan mendemostrasikan pelajaran. Montessori menyatakan,

―Penting bagi guru untuk memandu anak tanpa membuat anak terlalu merasakan kehadirannya, sehingga guru selalu siap memberikan bantuan yang diinginkan, tetapi tidak menjadi penghalang antara anak dan pengalamannya,‖. Guru sebagai pemandu merupakan pilar praktik Montessori. (George, 2012:111).

Selanjutnya, Montessori memandang bahwa guru-guru di TK adalah pemimpin atau pembimbing. Tugas mereka tidak terletak pada bidang memberikan pelajaran, tetapi memimpin atau membimbing anak didik dalam perkembangan jiwanya untuk menguasai sesuatu pekerjaan atau ilmu. Alat pelajaran yang dipilih secara bebas oleh anak menunjukkan apa yang dibutuhkannya ketika itu untuk perkembangan pengetahuan atau keterampilan buat dirinya. (Suyadi dan Ulfah, 2013:93).

Menurut Reggio Emilia, guru mengamati dan

mendengarkan apa yang dikatakan anak untuk mengetahui

cara membuat rencana atau meneruskan tugas anak. Guru

menanyakan dan memberi tahu gagasan, hipotesis, dan teori

(30)

14

anak. Guru membahas apa yang telah mereka catat dan amati, dan mereka membuat rencana yang fleksibel dan persiapan.

Guru kemudian berdiskusi dengan anak dan menawarkan kepada anak kesempatan mencari tahu, mengulangi, dan memikirkan kembali tentang kegiatan yang telah dilakukan.

Dalam hal ini, guru mendukung proses belajar sebagai proses berkelanjutan. Guru adalah rekan dan teman bekerja sama anak dalam proses penelitian dan pembelajaran yang berkelanjutan.

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa peran guru adalah sebagai pendidik, pelatih, konselor, manajer pembelajaran, pemandu, membuat anak sebagai pusat pembelajaran, mengamati anak, membuat perencanaan dan persiapan dalam proses mengajar.

Menurut Pidarta (1997), peranan guru/pendidik, antara

lain (1) sebagai manajer pendidikan atau pengorganisasian

kurikulum; (2) sebagai fasilitator pendidikan; (3) pelaksana

pendidikan; (4) pembimbing dan supervisor; (5) penegak

disiplin; (6) menjadi model perilaku yang akan ditiru siswa; (7)

sebagai konselor; (8) menjadi penilai; (9) petugas tata usaha

tentang administrasi kelas yang diajarnya; (10) menjadi

komunikator dengan orangtua siswa dengan masyarakat; (11)

sebagai pengajar untuk meningkatkan profesi secara

berkelanjutan; (12) menjadi anggota profesi pendidikan.

(31)

15

Tampubolon (2001) menyatakan peran guru bersifat multi dimensional, yang mana guru menduduki peran sebagai (1) orangtua, (2) pendidik atau pengajar, (3) pemimpin atau manajer, (4) produsen atau pelayanan, (5) pembimbing atau fasilitator, (6) motivator atau slimulator, dam (7) peneliti atau narasumber. Peran tersebut dapat bergradasi menurun, naik, atau tetap sesuai dengan jenjang tuntutannya.

(Suprihatiningrum, 2013:27).

Efektifitas dan efisiensi belajar individu di sekolah sangat bergantung pada peran guru. Syamsudin (2003) mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogianya dapat berperan sebagai berikut.

a. Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan.

b. Inovator (pemgembang) sistem nilai ilmu pengetahuan.

c. Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada siswa.

d. Transformator (penerjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik.

e. Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif

yang dapat dipertanggungjawabkan,baik secara formal

(kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya)

(32)

16

maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).

Di lain pihak, Surya (1997) mengemukakan tentang peranan guru disekolah, keluarga, dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil pembelajran siswa, pengarah pembelajaran dan pembimbing siswa. Dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family educator).

Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inivator), dan agen masyarakat (social agent).

Dalam hubungannya dalam aktifitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan sebagai berikut.

a. Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan.

b. Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam pendidikan.

c. Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu guru harus menjaga agar para siswa melaksanakan disiplin.

d. Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung dengan baik.

e. Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab

untuk mengarahkan perkembangan siswa sebagai

generasi muda yang akan menjadi pewaris masa depan.

(33)

17

f. Penerjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat. (Suprihatiningrum, 2013:28) Dalam buku Coorperative Learning: Mempraktikkan Coorperative Learning (Grasindo,2002) di ruang-ruang kelas, Anita Lie- yang juga dipaparkan oleh Hernowo dalam VCD buku CTL menggambarkan sosok guru sebagai fasilitator dengan sangat tepat. Fasilitator itu bagaikan teko yang penuh air, yang menyirami tanaman, bukan menyirami sebuah cangkir. Siswa diibaratkan tanaman sehingga jika diberi air, akan tumbuh dan berkembang. Sedangkan cangkir adalah benda mati. Siswa bukan benda mati karena mereka hidup dan punya kehidupan. Jadi, jangan lagi guru mengajar dengan metode ceramah terus-menerus, seperti teko yang penuh air lalu menuangkan ke dalam cangkir hingga tumpah. Namun, jadikanlah siswa itu tanaman yang dapat menyerap air dan mengembangkannya untuk tumbuh. (Chatib, 2011:75)

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa guru berperan sebagai orangtua, pendidik, pemimpin, produsen, fasilitator, motivator, dan peneliti. Selain memiliki peran di sekolah, guru juga memiliki peran sebagai pendidik dalam keluarga dan sebagai pembina masyarakat.

3. Istilah dan Kualifikasi Guru

Dalam konteks pendidikan anak usia dini (PAUD), digunakan

(34)

18

beberapa istilah guru. Untuk pendidik PAUD formal (TK,RA, atau sederajat) terdiri atas guru dan guru pendamping. Sedang untuk PAUD nonformal (TPA, KB atau sederajat) dikenal dengan guru, guru pendamping, dan pengasuh. Ketiga istilah tersebut seperti mengadopsi klasifikasi guru pada childhood education diluar negeri, yaitu teacher, assistant teacher, dan care giver.

Baik guru, guru pendamping, ataupun pengasuh anak usia dini disyaratkan paling tidak memiliki dua klasifikasi, yaitu akademik dan kompetensi. Akan tetapi dalam pasal 8 UU No.

14/2005 tentang Guru dan Dosen, disebutkan bahwa selain dua kualifikasi diatas, guru wajib memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memiliki kemampuan dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Masnipal, 2013:306).

4. Kualifikasi Kompetensi

Guru umumnya termasuk guru dan guru pendamping PAUD

disyaratkan memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi

pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Kompetensi

pedagogik berkaitan dengan ilmu dan skill mendidik termasuk di

dalamnya kemampuan asesmen, merencanakan, melaksanakan

proses, dan melakukan evaluasi pembelajaran. Kompetensi

kepribadian berkaitan dengan kepribadian, perilaku, etika dari

sosok guru sesuai karakteristik perkembangan anak usia dini,

seperti memiliki sikap sabar, penyayang, lembut, ramah, bersih,

ceria, jujur, bertanggungjawab, taat beragama, berbudi pekerti

(35)

19 baik.

Kompetensi sosial berkaitan dengan kemampuan guru dalam berhubungan dengan orang lain, termasuk dengan anak, orangtua, siswa, masyarakat sekitar, antar sesama guru, dengan kepala sekolah, seperti bisa bekerja sama dengan sejawat, kepala sekolah, mampu menjalin komunikasi empatik dengan masyarakat.

Kompetensi profesional berkaitan dengan bidang pekerjaan yang ditangani guru dalam hal ini anak usia dini dengan segala kekhususannya, seperti kemampuan memahami tugas-tugas perkembangan anak (kognitif, bahasa, fisik/motorik, sosial dan emosi), standar tingkat pencapaian perkembangan, cara belajar sambil bermain, kemampuan mengasuh, membimbing anak (Masnipal, 2013:307).

5. Faktor Bakat dan Pengalaman Praktik

Bakat menjadi salah satu faktor yang tidak boleh diabaikan

untuk menjadi seorang guru. Guru dengan bakat dengan guru

tanpa bakat mendidik terlihat jelas perbedaannya setelah

beberapa tahun mengajar. Guru tanpa bakat cenderung moton,

kurang inisiatif, kurang rajin, mengajar sekedarnya meskipun ia

lulusan S1 Paud serta telah ratusan kali mengikuti seminar,

pelatihan atau kegiatan ilmiah lainnya. Guru dengan bakat,

meskipun hanya mengenyam pendidikan 1 tahun tapi disukai anak

karena mampu menyajikan pembelajaran yang enjoyable, ide-

idenya untuk menyajikan sesuatu yang baru dan menari seakan

(36)

20

tak pernah habis. Gaya mengajar guru dengan bakat dan tanpa bakat pun berbeda. Gaya mengajar guru tnpa bakat cenderung itu-itu saja, kaku, terkesan beban berat, dan biasanya kurang sabar. Sebaliknya guru dengan bakat bergaya mengajar luwes, progresif, dan selalu menyajikan hal-hal baru bagi anak.

Seleksi guru berdasarkan bakat mulai sekarang sudah saatnya dilakukan oleh pemerintah, untuk menyaring calon guru yang mebludak dewas a ini. Kondisi sekarang berbeda dengan satu dasawarsa lalu, minat menjadi guru sangat sedikit. Hal ini juga tepat jika dihubungkan dengan PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menginginkan sosok guru bukan lagi sekedar sebagai pentransfer pengetahuan (knowledge).

Guru bukan lagi sekedar penyampai materi, tetapi sebagai suatu jiwa dan jati diri (Masnipal, 2013:314).

Pengalaman lapangan bagi guru-guru baru sebelum terjun menghadapi anak secara langsung menjadi kunci penting. Umtuk memperoleh pengalaman yang cukup, seorang calon guru paling tidak (1) membutuhkan waktu latihan praktik mengajar lebih lama, (2) bimbingan langsung dari praktisi senior.

Praktik lapangan menjadi penting mengingat pada masa itulah calon guru dibimbing, diamati dan diperbaiki kekurangannya.

Disini calon guru mengasah dirinya bukan hanya soal teknis

keterampilan mengajar, tetapi juga kemampuan memahami

karakteristik anak dengancepat, penguasaan kelas, penggunaan

(37)

21

media dam sumber, cara mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran, termasuk gaya mengajar, cara berpakaian dan berdandan dihadapan anak-anak, dan sebagainya.

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa peran guru berkaitan dengan kompetensi guru. Meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional.

6. Konsep Pendidikan Seksual

Pembahasan tentang pendidikan seksual berkaitan dengan teori pendidikan komprehensif yang mengurus seseorang bahkan sebelum ia terbentuk di dalam rahim. Memilih pasangan hidup yang di kehendaki Islam merupakan langkah pertama dalam menyiapkan pendidikan bagi seseorang. (Madani, 2014:120).

Maksud dari pendidikan seksual, seperti dikatan Profesor Gawshi, adalah untuk ―memberi pengetahuan yang benar kepada anak yang menyiapkannya untuk beradaptasi secara baik dengan sikap-sikap seksual di masa depan kehidupannya; dan pemberian pengetahuan ini menyebabkan anak memperoleh kecenderungan logis yang benar terhadap masalah-masalah seksual dan reproduksi.‖ (Madani, 2014:122).

Sementara itu, Syeikh Abdullah Ulwan Nasih mendefinisikan

pendidikan seksual sebagai ―pengajaran, penyadaran, dan

penerangan kepada anak sejak ia memikirkan masalah-masalah

seksual, hasrat, dan pernikahan sehingga ketika anak itu menjadi

(38)

22

pemuda, tumbuh dewasa, dan memahami urusan-urusan kehidupan maka ia mengetahui kehalalan dan keharaman‖.

Dengan memperhatikan kedua definisi tersebut, kita memahami bahwa keduanya memberikan tekanan pada pembekalan anak mumayiz dengan kaidah-kaidah yang mengatur perilaku seksual untuk menghadapi sikap-sikap seksual dan reproduksi yang mungkin menimpa kehidupannya dimasa depan.

Pendidikan seksual membekali individu dengan konsep-konsep kehalalan dan keharaman yang oleh Professor al Gawshi disebut

―pengetahuan yang benar‖. Hal-hal dalam dua definisi tersebut diharapkan dapat membantu si anak dalam mewujudkan kesucian diri dan beradaptasi secara baik dengan syahwat seksualnya, dan bisa bersikap benar ketika menghadapi masalah seksual, meskipun definisi kedua kata-katanya disusun dengan bahasa Islam.

Pendidikan seksual Islami mengandung dua aspek yang salah satunya berperan menyiapkan dan membekali anak mumayiz dengan pengetahuan-pengetahuan teoritis tentang masalah-masalah seksual. (Madani, 2014:123).

Pendidikan seks diawali dengan memperkenalkan bagian

tubuh. Lambat laun anak akan mengetahui bahwa vagina dan

penis berfungsi tidak hanya sebagai jalan untuk buang air kecil,

tetapi lebih dari itu, yaiu sebagai salah satu alat untuk melakukan

reproduksi. Menyebut nama alat kelamin secara jelas merupakan

(39)

23

‗pintu gerbang‘ untuk menjelaskan tahap selanjutnya yang berkenaan dengan menstruasi atau mimpi basah. (Chomaria, 2014:121).

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan seksual adalah untuk memberi pengetahuan yang benar, pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang masalah- masalah seksual yang diawali dengan memperkenalkan bagian tubuh.

Terdapat beberapa ayat Al-Qur‘an yang berkaitan dengan pendidikan seks sebagai berikut:

َٰىَك ْشَأ َكِن ََٰذ ۚ ْمُه َجو ُسُف اىُظَف ْحَي َو ْمِهِزا َصْبَأ ْهِم اى ُّضُغَي َهيِىِم ْؤُمْهِن ْمُق

َنىُعَى ْصَي اَمِب ٌسيِب َخ َ َّاللَّ َّنِإ ۗ ْمُهَن

―Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendakla h mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya;

yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Al lah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (QS. An-Nur: 30 ).

يِدْبُي َلَ َو َّهُه َجو ُسُف َهْظَف ْحَي َو َّهِهِزا َصْبَأ ْهِم َه ْضُض ْغَي ِتاَىِم ْؤُمْهِن ْمُق َو َظ ا َم َّلَِإ َّهُهَحَىيِش َن َلَ َو ۖ َّهِهِبىُي ُج َٰىَهَع َّهِهِسُمُخِب َهْبِس ْضَيْن َو ۖ اَهْىِم َسَه

َأ َّهِهِئاَىْبَأ ْوَأ َّهِهِحَنىُعُب ِءاَبآ ْوَأ َّهِهِئاَبآ ْوَأ َّهِهِحَنىُعُبِن َّلَِإ َّهُهَحَىيِش َهيِدْبُي

ِهِوا َى ْخِإ يِىَب ْوَأ َّهِهِوا َى ْخِإ ْوَأ َّهِهِحَنىُعُب ِءاَىْبَأ ْو

ِو ْوَأ َّهِهِجا َى َخَأ يِىَب ْوَأ َّه

(40)

24

ا َج ِّسنا َه ِم ِةَب ْز ِ ْلْا يِنوُأ ِسْيَغ َهي ِعِباَّحنا ِوَأ َّهُهُواَمْيَأ ْثَكَهَم اَم ْوَأ َّهِهِئاَس ْزَأِب َهْبِس ْضَي َلَ َو ۖ ِءاَسِّىنا ِتا َز ْىَع َٰىَهَع اوُسَهْظَي ْمَن َهيِرَّنا ِمْفِّطنا ِوَأ ِل َمَه ْعُيِن َّهِهِه ُج ُى ِم ْؤُمْنا َهُّيَأ اًعي ِم َج ِ َّاللَّ ىَنِإ اىُبىُج َو ۚ َّهِهِحَىيِش ْهِم َهيِف ْخُي اَم

َنى ُحِهْفُج ْمُكَّهَعَن َنو

―Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah merek a menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mer eka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak da ri padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung keda danya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepad a suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, ata u putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau s audara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wa nita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pela yan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap w anita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.

Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhi asan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu berunt ung.‖ (QS. An-Nur: 31)

A. Karakteristik Pendidikan Seksual

1. Aspek ketuhanan dalam pendidikan seksual

(41)

25

Para pendidik Muslim dalam maslah ini hendaknya berupaya memperhatikan tujuan penciptaan hamba. Seorang Muslim harus berupaya untuk merealisasikan sisi penting dari penghambaannya berdasarkan realitas umum, yakni keimanannya kepada Tuhan.

Bahkan dalam syariat telah dibeberkan semua aktivitas jiwa, diantaranya masalah perilaku seks dalam limgkup penghambaan seseorang kepada Allah. Oleh karena itu, seorang anak harus dididik agar memahami adanya ikatan yang kuat antara aktivitas seksual yang suci dengan tujuan penciptaan seorang hamba.

Dengan demikian, seks dilihat dari sisi ini merupakan bagian dari ibadah. Kemudian aktivitas seksual tersebut disempurnakan sebagai penghias rohani dan akhlak.

Tidaklah diragukan bahwa konsep Tuhan akan mampu

mmerealisasikan kesucian sebagaimana yang dipahami oleh

seorang hamba. Oleh karena itu, manusia dituntut untuk menjaga

kehormatannya dan mengendalikan jiwanya terhadap seks. Selain

itu, dalam menyalurkan syahwat seksnya, hendaklah sesuai

denganjalan yang telah diisyaratkan. Ketika jiwa mengenal sifat-

sifat Tuhan dan ajaran-Nya, maka ia akan lebih mampu menjaga

dan mengendalikan diri dari tuntutan seks. Selanjutnya, pendidikan

seks yang merupakan bentuk penghambaan diri ini tidak akan

dapat direalisasikan oleh manusia hanya dengan kontrol yang kuat,

pengendalian diri pada perkara-perkara yang haram, dan semata-

mata mengandalkan kerelaan jiwa, namun juga harus berdasarkan

(42)

26

pada takdir Allah, keridhaan, serta adanya sentuhan keimanan rohaniah.

2. Aspek Kemanusiaan dalam Pendidikan Seksual

Pendidikan seks Islami untuk anak-anak memiliki keistimewaan dalam bentuk, antara lain mengharuskan seks sebagai bagian dari sifat manusia yang akan memperkuat aspek kemuliaan, kehormatan, dan kesucian manusia. Oleh karena itu, orang tua tidak boleh melihat autrat anaknya kecuali jika ada tujuan-tujuan yang sesuai dengan syariat, seperti membersihkan auratnya dari najis atau membantu anak memakaikan pakainnya sengan syarat tidak melihat aurat dibarengi dengan syahwat.

Ajaran Islam menyerukan untuk memuliakan aurat anak agar ketika ia telah dewasa akan merasa malu ketika dipandang oleh orang lain. Oleh karenanya, seorang muslim hendaklah mengharuskan anaknya untuk menutupi auratnya jangan sampai dipandang oleh orang lian, selalu mendidiknya agar terus seperti itu, dam memberikan batasan-batasan tentang aurat tersebut dengan hukum-hukum Islam.

Pendidikan anak ini akan terwujud tanpa memenuhi hak

anak ketika ia sedang sendiri. Dengan demikian, kita harus

meminta izin kepada anak ketika kita masuk ke kamarnya. Kita juga

harus menghormati haknya dan memuliakan sifat kemanusiannya

dengan tidak memandang auratnya, syariat menuntut agar seorang

Mukmin menutupi aurat saudaramya, baik laki-laki maupun

(43)

27

perempuan, baik anak kecil maupun orang dewasa. Itu semua menunjukkan adanya pendidikan Islam yang mengatur aktivitas seks bagi anak-anak dan orang dewasa.

3. Pendidikan Seksual yang Integral

Sebenarnya aturan-aturan tentang pendidikan seks adalah satu kesatuan yang sebagiannya menyempurnakan sebagian yang lain. Oleh karena itu, para pendidik, baik ia seorang bapak, guru, atau orang lain tidak boleh menganggap enteng pendidikan tersebut dengan hanya mengajarkan sebagian aturan-aturan islam yang mengatur urusan seks dan meremehkan pengaplikasian kaidah-kaidah yang lain. Sebab, metode pendidikan seks dalam Islam adalah satu kesatuan yang paripurna dan tidak dapat dipisahkan. Bahkan pendidikan seks tersebut tidak akan memberikan buah dan hasil yang baik, jika pendidik Muslim tidak mengaplikasikannya secara meneyeluruh. Selanjutnya, aturan yang paripurna ini diarahkan pada lingkungan, agar anak, para remaja, atau orang-orang dewasa dapat bersikap Islami terhadap masalah seks. Dengan demikian, seorang pendidik juga dituntut untuk mendidik generasi Muslim sesuai tuntutan syariat yang berkaitan dengan masalah seks.

Pendidikan seks yang dilakukan secara sinambung akan

menghasilkan pemahaman yang paripurna bagi anak atau orang

dewasa. Dan pendidikan tersebut tidak akan sukses dalam

kehidupan individu apabila pembinaannya hanya dibatasi pada

(44)

28

ketentuan-ketentuan khusus pada masa akhir kanak-kanak saja.

Pendidikan seks Islami akan sukses bila seorang pendidik berusaha dengan keras untuk memberikan pemahaman kepada seorang anak tentang perubahan-perubahan yang ia alami atau akan ia alami, mengajarkan hukum-hukum syariat di sela-sela pertumbuhan fisik, seperti adanya ciri-ciri balig dan kedewasaan.

4. Kesinambunagan Pendidikan Seksual

Pendidikan seks, baik bagi anak-anak maupun orang dewasa, yang dilakukan secara sinambung, biasanya dimulai dari rumah, yang perannya sangat mencolok sebagai lembaga pendidikan paling dasar. Kemudian hal itu dilanjutkan pada lemabaga-lembaga pendidikan sosial Muslim lainnya. Ketika seorang pendidik Muslim mulai mengajari anak Muslim tentang kaidah-kaidah seks yang telah ditetapkan dalam Alquran dan sunah, maka ia harus meneruskannya pada pembinaan seks dan akhlak.

Agar beroleh keberhasilan, pendidikan seks harus dilangsungkan pada seluruh masa pertumbungan anak, khususnya pada masa kanak-kanak dan masa remaja, karena sifat hewani ini akan meluap ketika ia dewasa, sehinga menyebabkan adanya perubahan-perubahan buruk yang mengacaukan aturan-aturan yang ada.

Bagaimanapun juga, prinsip kesinambungan merupakan hal

penting untuk menjamin keberhasilan pendidikan seks Islami bagi

individu. Pendidikan ini seharusnya tidak terhenti ketika seseorang

(45)

29

telah mencapai akil balig, karena pembinaan di usia kanak-kanak hanya merupakan persiapan bagi anak tersebut untuk mengahadapi perubahan-perubahan seks yang terjadi di usia balig.

5. Nyata dan Benar

Pendidikan seks Islami membahas fenomena-fenomena ilmiah tentang nafsu seksual pada organ tubuh manusia. Oleh karena itu, hendaklah tidak meyandarkan pada penelitian negatif yang salah atau pembicaran dan kepentingan yang tidak berdasar, sebab syariat Islam telah meletakkan hukumnya secara nyata untuk menanggulangi urusan-urusan seks serta perubahan-perubahan psikologi dan fisik yang berkaitan dengan seks.

Hukum-hukum Islam sangat sesuai dengan kenyataan dan sesuai dengan tingkatan peerbuatan yang dilakukan oleh manusia.

Oleh karena itu, ketika seorang peneliti tidak menemukan nash-

nash dalam Quran dan sunah yang menjelaskan satu perkara yang

mengatur perilaku seks bagi anak pada usia-usia awal, maka hal

tersebut berarti menjelaskan kenyataan tidak adanya naluri seksual

pada masa-masa tersebut, dan ini berbeda dengan pendapat yang

diyakini oleh Freud dan para pengikutnya yang mengatakan adanya

naluri seksual pada masa itu seperti menyusui dan mengisap jari-

jari tangan. Jika Freud dan pengikut-pengikutnya meyakini adanya

fitrah seks pada diri anak, maka syariat mengisyaratkan tentang

kemungkinan adanya aktivitas seks secara dini atau adanya

kelainan seks karena disebabkan pengaruh bercampurnya anak

(46)

30

dengan yang lain, dan itu terjadi pada usia remaja. Oleh karenanya, kita menemukan banyak ayat dan hadis yang berkenaan dengan hal yersebut. Dan para ilmuwan Barat sendiri mengakui realitas pandangan Islam.

6. Tahapan dalam Pendidikan Seksual

Syariat Islam memerintahkan para pendidik Muslim untuk memberikan pendidikan seks pada aak secara bertahap, yaitu dengan tidak memulai langkah-langkah baru sebelum langkah- langkah sebelumnya selesai dan tertanam pada diri anak. Dan hal itu disesuaikan dengan pertumbuhan fisik anak.

Pendidikan tersebut juga harus sesuai dengan prinsip Alquran dan sunah. Seorang pendidik harus memulainya dengan pendidikan yang sesuai dengan umur anak, diantaranya dengan mengajarkan tentang pentingnya meminta izin ketika hendak masuk ke kamar orang lain, khususnya ke kamar kedua orangtuanya ketika ia sudah berusia 4 atau 5 tahun, dan jika seorang pendidik sudah merasa bahwa anak yang berusia 6 atau 7 tahun telah tamyiz ( telah mengetahui baik-buruk sesuatu—peny.) maka pendidik harus mulai mendidiknya tentang cara meminta izin sehingga ia mampu meresapi hal tersebut dan melaksanakannya sebagai bagian dari akhlaknya. (Madani, 2014:136).

Proses pendidikan seks Islami yang dilakukan secara bertahap harus sesuai dengan:

a. Tingkat pertumbuhan dan perkembangan wawasan anak.

(47)

31

b. Jenis kelamin (laki-laki atau perempuan), karena kedua jenis ini akan berbeda kematangannya dalam masalah seks. Menurut para peneliti, kematangan pada perempuan lebih cepat dibandingkan pada laki-laki. Dalam hal ini, tahapan pendidikan seks bagi anak perempuan lebih ringkas waktunya dibandingkan dengan anak laki-laki, karena masa balig anak laki-laki berkisar antara usia 13, 14, atau 15 tahun, sedangkan pada perempuan tingkat kematangan seksnya berkisar antara usia 9 atau 10 tahun, khususnya di negara panas.

Perbedaan tingkat kematangan seks antara laki-laki dan perempuan merupakan satu hal yang sudah pasti, maka seorang pendidik dipaksa untuk mempersiapkan pendidikan seks pada diri anak perempuan dalam waktu yang lebih singkat. Dengan demikian, tahapan- tahapan pembinaan seks pada anak laki-laki lebih luas masanya, sementara pada anak perempuan lebih sempit.

Persiapan dalam pendidikan seks bagi anak yang berada pada masa akhir periode kanak-kanak, terkait dengan tiga unsur, diantaranya:

1. Intelegensi

Dilihat dari sisi pertumbuhan akal, ternyata anak-anak

zaman sekrang lebih cepat matang dibandingkan anak-anak

yang hidup pada masa lalu. Oleh karena itu, seorang pendidik

harus memperhatikan perkembangan kemampuan pola pikir

anak dan mengajarinya sebagaian hukum dan aturan yang

(48)

32

bersifat praktis yang akan membantunya dalam menghadapi berbagai perubahan baru yang muncul ketika ia sudah akil balig.

2. Keharusan untuk Mengajar dan Membina Anak

Dari teks-teks yang telah dikemukakan di muka, kita bisa menelaah bahwa syariat Islam sangat menghendaki untuk mendidik seorang individu Muslim dengan beragam pengetahuan, keterampilan, dan pelatihan agar ia memiliki perilaku yang benar. Orangtua diharuskan untuk mendidik anaknya yang sudah mumayiz agar berakhlak baik. Seorang anak terkadang enggan untuk melakukan apa yang diminta dan tidak mau melakukan berbagai perkara yang baik karena berbagai macam faktor. Oleh karena itu, seorang pendidik Muslim harus menerapkannya secara perlahan-lahan.

3. Hukuman Terhadap Penyimpangan Seksual

Syariat Islam memerintahkan untuk menerapkan hukuman bagi seorang individu yang melakukan penyimpangan seks.

Sedangkan bagi anak mumayiz, hukuman baru diberikan setelah seorang pendidik melaksanakan berbagai pola pendidikan yang benar seperti memberikan pengarahan, nasihat, dan hal-hal lain.

(Madani, 2014:146).

Dengan demikian, jelaslah bahwa tujuan utama dari

hukuman tersebut adalah untuk meluruskan penyimpangan dan

tidak dimaksudkan untuk mendapat rasa puas dalam

menghukum atau rasa nikmat ketika memukul anak kita yang

(49)

33 sudah mumayiz.

a. Pelecehan Seksual

Para ahli menjelaskan bahwa yang dimaksud pelecehan seksual adalah kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa, kemudian anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban. Termasuk di dalamnya adalah kontak fisik yang tidak pantas, membuat anak meihat tindakan seksual atau pornografi, menggunakan anak untuk membuat pornografi, atau memperlihatkan alat genital orang dewasa kepada anak.

Jadi, pelecehan tidak hanya kalau anak menjadi korban pemerkosaan atau sodomi. Lebih luas bisa dikatakan bahwa seorang anak menjadi korban pelecehan kalau yang bersangkutan dipergunakan sebagai objek yang berkenaan dengan kegiatan yang berbau seksual. Misalnya, digunakan untuk menstimulasi hasrat pelaku, dijadikan pelampiasan nafsu pelaku, diajak melihat film porno, diperlihatkan aktivitas seksual secara langsung, dan diminta memerankan adegan berbau seks untuk difilmkan. (Chomaria, 2014:17).

Saat ini kasus pelecehan seksual sangat mengancam

perempuan di Indonesia. Mulai dari usia bayi, anak-anak,

remaja, dewasa, bahkan hingga perempuan yang telah

manula. Lebih mengerikan lagi, ternyata pelakunya berasal

(50)

34

dari usia yang beragam, dari anak-anak hingga manula, dari orang yang tidak dikenal korban hingga orang yang sangat dekat dengan korban. Betapa setiap saat masyarakat disuguhi berita mengenai pelecehan seksual di berbagai media, baik elektronik maupun cetak. (Chomaria, 2014:13).

Kekerasan dapat berlapis-lapis seperti pelecehan seksual, kekerasan seksual, kekerasan emosi, dan penelataran emosi. Anak yang mengalami kekerasan seksual di dalamnya sudah termasuk pelecehan dan kekerasan emosi, jangan sampai orangtua dan keluarga salah menangani dan menambah penelataran emosi anak walau untu kebaikan sekalipun (Yulaelawati, 2015:113).

b.Pendidikan Seks Anak Usia Dini

Pendidikan seks bagi anak merupakan tindakan preventif. Pendidikan itu diarahkan dengan cara yang berbeda dari bentuk bimbingan seksual bagi usia balig. Pada fase balig, aktivitas seksual menjadi sebuah realitas, bukan semata-mata perilaku yang bebas dari kenikmatan. Oleh karena itu, Islam menetapkan adab-adab yang integral untuk mengarahkan kekuatan seksual kita. Adab-adab ini mencakup hukum-hukum yang haram, sunah, dan makruh.

Adapun pada anak-anak, karena kondisi tertentu, perilaku

seksual lebih merupakan peniruan atau wujud keiingintahuan,

tetapi tidak disertai dengan rangsangan yang hakiki, seperti

(51)

35

halnya pada usia balig, yang telah mencapai kematangan.

Berdasarkan hal itu, langkah-langkah Islam dalam fase ini hanyalah berupa tuntunan yang bersifat pencegahan untuk menyongsong perubahan-perubahan biologis yang terjadi pada masa pertumbuhan yang lain. (Madani, 2014:121).

Pandangan masyarakat sepertinya masih terlalu sempit dalam mengartikan seks yang hanya dianggap sebagai aktivi tas mesum hingga ke hal-hal yang lebih intim. Makna seks s ebenarnya menurut KBBI adalah jenis kelamin, maksudnya d isini adalah jenis kelamin yang membedakan pria dan wanita secara biologis. Namun karena kurangnya pengetahuan para orang tua itulah yang menjadikan pendidikan seks belum diaj arkan kepada anak bahkan sebagian besar remaja pun tidak memperoleh pengajaran tentang pendidikan seks dari keluar ga terutama dari orang tuanya sehingga mereka mendapatka n informasi yang tidak tepat bahkan cenderung menjerumusk annya untuk melakukan apa yang mereka temukan dari infor masi yang tidak bertanggung jawab tersebut.

Para ahli di bidang kejahatan seksual terhadap anak m

enyatakan bahwa aktivitas seksual pada anak yang belum de

wasa selalu memunculkan dua kemungkinan pemicu yaitu p

engalaman dan melihat. Hal ini berarti anak-anak yang meny

impang secara seksual sering melihat adegan seks tanpa pe

njelasan ilmiah yang selalu membangkitkan birahinya dan m

(52)

36

enimbulkan kecanduan. (Andika, 2010:31).

Dalam sebuah penelitian yang dikutip dari buku Bicara Seks Bersama Anak oleh Alya Andika (2010) menyatakan ba hwa dari 600 lelaki dan perempuan usia SMP ke bawah di A S, peneliti Dr. Jennings Bryant menemukan bahwa 91% lelak i dan 82% wanita mengaku telah menonton film porno atau y ang berisi kekerasan seksual. Lebih dari 66% lelaki dan 40%

wanita dilaporkan ingin mencoba beberapa adegan seks yan g telah ditontonnya. Di antara siswa Sekolah Menengah Pert ama (SMP) tersebut, 31% lelaki dan 18% wanita mengaku b enar-benar melakukan beberapa adegan dalam film porno itu beberapa hari setelah menontonnya.

Senada dengan penelitian tersebut, berdasarkan hasil s urvei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 6 2,7% remaja Indonesia tidak perawan lagi. Hasil peneitian ta hun 2008 tersebut menyebutkan bahwa dari 4.726 responde n siswa SMP/SMA di 17 kota besar menunjukkan bahwa 21, 2% mengaku pernah melakukan aborsi.

Tiga tahun terakhir nampaknya menjadi tahun yang me

mperhatinkan bagi dunia anak Indonesia. Pasalnya Komisi P

erlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan ratusan kas

us kekerasan seksual terhadap anak yang diduga dilakukan

orang terdekat sebagai pelaku. Komisioner KPAI Jasra Putra

mengungkapkan, data menunjukkan bahwa pihaknya mene

(53)

37

mukan 218 kasus kekerasan seksual anak pada 2015. Seme ntara pada 2016, KPAI mencatat terdapat 120 kasus kekeras an seksual terhadap anak-anak. Kemudian di 2017, tercatat sebanyak 116 kasus. (www.kpai.go.id di unduh pada tanggal 02 Desember 2017).

Kak Seto Mulyadi, Ketua Umum Komisi Nasional Perlin dungan Anak (Komnas PA), menambahkan bahwa peleceha n seksual pada anak bermakna segala tindakan melanggar k ehormatan diri anak secara seksual, termasuk di dalamnya p elecehan secara verbal dan fisik. Cakupannya memang luas, mulai dari kata-kata jorok, yang ditujukan kepada anak sehin gga ia merasa malu, tersinggung, marah, sakit hati, dan seba gainya, sampai pada tindakan mencowel, memegang, atau melakukan sentuhan-sentuhan yang tidak pantas dan seteru snya. (Chomaria, 2014:17)

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan seks bagi anak harus diajarkan atau diarahkan dengan cara yang berbeda sesuai dengan usia. Makna seks adalah jenis kelamin ya ng membedakan pria dan wanita secara bilogis. Pemicu aktivitas s eksual pada anak kemungkinan dari pengalaman dan melihat tanp a ada penjelasan ilmiah, sehingga terjadi pelecehan secara verbal dan fisik.

Seks memang bagian integral dalam kehidupan untuk menca

(54)

38

pai kebahagiaan duniawi, tetapi ketika keberadaanya justru menja di candu yang merusak moral anak bangsa, perlu adanya pemben ahan bersama demi terselamatkannya masa depan mereka dari s emakin terbukanya arus globalisasi lengkap dengan dampak nega tif yang diterima anak akibat tidak adanya filtrasi dari orang tua da n pendidik di usia prasekolah. Tulisan ini dimaksudkan untuk mem berikan informasi kepada orang tua dan pendidik usia prasekolah t entang pentingnya mengenalkan pendidikan seks beserta bagaim ana memulai komunikasi dengan anak agar mereka memperoleh i nformasi yang tepat dalam menyikapi arus globalisasi yang semak in transparan dalam berbagai hal.

Freud membagi perkembangan kepribadian menjadi tiga tah apan, yakni tahap infatil (0-5 tahun), tahap laten (5- 12), dan tahap genital (>12 tahun). Tahap infatil yang paling mene ntukan dalam membentuk kepribadian, terbagi menjadi tiga fase, y akni fase oral, fase anal, dan fas falis. Perkembangan kepribadian ditentukan terutama oleh perkembangan biologis, sehinga tahap in i disebut juga tahap seksual infatil. Perkembangan insting seks ber arti perubahan katektis seks, dan perkembangan biologis menyiap kan bagian tubuh untuk dipilih menjadi pusat kepuasan seksual (er ogenus zone). (Suhada, 2016:80)

a. Fase Oral (Usia 0-1 tahun)

Fase oral adalah fase perkembangan yang berlangsung

(55)

39

pada tahun pertama dari kehidupan individu. Pada fase ini, daerah erogen yang paling penting dan peka adalah mulut, yakni berkaitan dengan pemuasan kebutuhan dasar akan makanan atau air. Stimulasi atau perangsangan atas mulut seperti mengisap, bagi bayi merupakan tingkah laku yang menimbulkan kesenangan atau kepuasan.

b. Fase Anal (Usia 1-2/3 tahun)

Fase ini dimulai dari tahun kedua sampai tahun ketiga dari kehidupan. Pada fase ini, fokus dari energi libidal dialihkan dari mulut ke daerah dubur serta kesenangan atau kepuasan diperoleh dari kaitannya dengan tindakan mempermainkan atau menahan faeces (kotoran) pada fase ini pulalah anak mulai diperkenalkan kepada aturan-aturan kebersihan oleh orang tuanya melalui toilet training, yakni latihan mengenai bagaimana dan di mana seharusnya seorang anak membuang kotorannya.

c. Fase Falis (Usia 2/3 – 5/6 tahun)

Face falis (phallic) ini berlangsung pada tahun keempat

atau kelima, yakni suatu fase ketika energi libido sasarannya

dialihkan dari daerah dubur ke daerah alat kelamin. Pada fase

ini anak mulai tertarik kepada alat kelaminnya sendiri, dan

(56)

40

mempermainkannya dengan maksud memperoleh kepuasan.

Pada fase ini masturbasi menimbulkan kenikmatan yang besar.

Pada saat yang sama terjadi peningkatan gairah seksual anak kepada orang tuanya yang mengawali berbagai pergantian katektis objek yang penting. Perkembangan terpenting pada masa ini adalah timbulnya Oedipus complex, yang diikuti fenomena castration anxiety (pada laki-laki) dan penis envy (pada perempuan). Oedipus complex adalah katektis objek seksual kepada orang tua yang berlawan jenis serta permusuhan terhadap orang tua sejenis. Anak laki-laki ingin memiliki ibunya (ingin memiliki perhatian lebih dari ibunya) dan menyingkirkan ayahnya, sebaliknya anak perempuan ingin memiliki ayahnya dan menyingkirkan ibunya.

d. Fase Laten (Usia 5/6 – 12/13 tahun)

Fase ini pada usia 5 atau 6 tahun sampai remaja, anak

mengalami periode peredaan implus seksual. Menurut Freud,

penurunan minat seksual itu akibat dari tidak adanya daerah

erogen baru yang dimunculkan oleh perkembangan biologis,

alih-alih bagian dari perkembangan psikoseksual. Pada fase

ini anak mengembangkan kemampuan sublimasi, yakni

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan hasil perhitungan untuk reliabilitas komposit dari model penelitian skenario campuran keenam, didapatkan bahwa semua variabel yang digunakan telah

Pusat kota yang dulunya identik dengan daerah kawasan kegiatan usaha, industri, kantor pemerintahan, pelayanan, dan gudang, saat ini sudah mengalami pergeseran. Kemampuan pusat

Pembayaran rumah oleh pembeli dapat dilakukan secara tunai dan cicilan.Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk menilai kelayakan dari indikator nilai saat ini, internal

Otot berperan dalam menjaga suhu tubuh secara keseluruhan, karena sistem otot dapat merespon jika tubuh mengalami penurunan dan peningkatan suhu tubuh, misalnya

Partus lama pada umumnya disebabkan oleh kelainan dari tiga aspek seperti kelainan tenaga (kelainan his), kelainan janin, serta kelainan jalan lahir dan dapat

Perbedaan jumlah spesies pada tiap rentang ketinggian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tempat, maka semakin sedikit jumlah spesies tumbuhan pangan dan

Subjek penelitian adalah pasien perempuan sehat yang menderita AV pada berbagai derajat keparahan yang berusia antara 13-30 tahun, dan bersedia menjadi subjek penelitian