• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Paparan Bisfenol-A (BPA) Dari Botol Susu Polikarbonat Pada Bayi. Studi Kasus : Wilayah DKI Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Paparan Bisfenol-A (BPA) Dari Botol Susu Polikarbonat Pada Bayi. Studi Kasus : Wilayah DKI Jakarta"

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PAPARAN BISFENOL-A

(BPA) DARI BOTOL SUSU

POLIKARBONAT

PADA BAYI. STUDI KASUS : WILAYAH DKI

JAKARTA

SKRIPSI

MOCHAMAD HADHITIA PRASETYO

F34080088

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

EXPOSURE ASSESSMENT BISPHENOL-A(BPA)FROM POLYCARBONATEMILK BOTTLE

AT A BABY. CASE STUDY : IN THE DKI JAKARTA REGION

Mochamad Hadhitia Prasetyo, Endang Warsiki, dan Ani Rohmaniyati

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 122, Bogor 16002.

Phone 62 8562280122, e-mail: adityastse@gmail.com, warsiki@yahoo.com.au.

ABSTRACT

Polycarbonate (PC) has become one of the most popular choice as acontainer/food packaging plastic for baby milk bottles. This plastic is made by bisphenol-A (BPA) as a binder to improve plastic properties of a hard, clear, and light. However, behind the advantages, the reversed and the use of the polycarbonate as a raw material of bottle, stores hazard for human health. BPA is small molecule and carcinogenic. This compound is easily off or leach from the polymer matrix and then migrate to the food package. The study was conducted to determine the value of the average daily intake of BPA from baby milk bottle made from PC in Jakarta capital area. The Babies are in the zero month until three years old. It was also to estimate exposure value of the bisphenol-A and compared it with the value of the TDI (Tolerable Daily Intake). The data of food consumption, chemical level in food and baby weight were obtained by respondent survey in food consumption. Furthermore, all three of these data were used as the basis for exposure calculation. This value and then was evaluated against TDI. This study resulted on estimated value of exposure of the population was 0.0023 mg bisphenol-A/body weight/day. This number is still less than TDI (Tolerable Daily Intake) allowed by Food and Drugs Administration U.S (FDA) as much as 0.05 mg polycarbonate/body weight/day.

(3)

Mochamad Hadhitia Prasetyo. F34080088. KAJIAN PAPARAN BISFENOL-A(BPA) DARI BOTOL SUSU POLIKARBONAT PADA BAYI. STUDI KASUS : WILAYAH DKI JAKARTA. Di bawah bimbingan Dr. Endang Warsiki, S.TP., M.Si dan Dra. Ani Rohmaniyati, M.Si. 2012

RINGKASAN

Penggunaan polikarbonat sebagai wadah atau kemasan untuk botol susu sudah menjadi umum didalam penggunaannya dalam kemasan pangan. Bahan kemasan ini dibuat dengan menggunakan bahan tambahan bisfenol-A sehingga memiliki sifat yang keras, bening, dan ringan. Selain itu, bahan tersebut juga mampu mempertahankan panas dan dingin tetapi tetap nyaman dipegang atau digunakan, mempertahankan kesegaran dan keutuhan bahan yang dikemas. Namun demikian dibalik keunggulan dan penggunaan polikarbonat sebagai bahan dasar pengemasan, tersimpan bahaya kesehatan. Bahan tambahan polikarbonat yang berupa senyawa bisfenol-A diduga mudah lepas dan bermigrasi ke makanan terkemas yang dapat membahayakan orang yang mengkonsumsinya. Bahaya yang dapat ditumbulkan oleh senyawa bisfenol-A ini diantaranya, yaitu meningkatkan resiko menderita penyakit kanker, diabetes, dan jantung, serta dapat mengganggu kerja kelenjar endokrin dalam menghasilkan hormon. Oleh karena itu, kemasan ini perlu diwaspadai penggunaannya, terlebih dalam penggunaanya sebagai botol susu bayi yang sering digunakan oleh banyak orang tua untuk memberi air susu kepada anaknya yang masih bayi.

Kajian paparan (exposure assessment) adalah pengujian terhadap asupan bahan-bahan berbahaya melalui makanan, minuman atau sumber lain, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Kajian paparan ini perlu dilakukan untuk mengetahui asupan harian suatu populasi dan dibandingkan dengan batas asupan harian yang diperbolehkan. Hal ini mengingat dampak yang akan ditimbulkan terutama terhadap kesehatan, terlebih kemasan polikarbonat diduga melepaskan sejumlah bisfenol-A ke dalam pangan yang di kemas. Kajian awal mengenai bisfenol-A dari kemasan polikarbonatpada botol susu bayi dengan studi kasus diwilayah DKI Jakarta ditujukan untuk memberi gambaran awal nilai paparan bisfenol-Adari susu formula yang dikemas botol susu berbahan polikarbonat, selanjutnya hasil dari penelitian ini digunakan sebagai acuan dalam kajian paparan secara analisis laboratorium. Untuk menghitung nilai paparan yang terjadi, data yang paling penting diperlukan dalam penelitian ini adalah data konsumsi pangan, berat badan, dan kadar zat kimia bisfenol-Adalam pangan. Dalam penelitian ini kadar zat kimia dalam pangan yang digunakan adalah nilai residu dari bisfenol-A berdasarkan ketetapan yang diperbolehkan oleh Departemen Kesehatan RI dan Standar Eropa EN-14350, yaitu sebesar 0,03 mg/L.

(4)

uji korelasi dengan alat pengujian perhitungannya menggunakan korelasi Kendal Tau. Selanjutnya dilalukan perhitungan nilai estimasi paparan yang diperoleh dari kadar residu bisfenol-A yang bermigrasi ke dalam pangan dikalikan konsumsi pangan per hari kemudian dibagi berat badan. Hasil estimasi nilai paparan dalam penelitian ini kemudian dibandingkan terhadap nilai TDI (Tolerable Daily Intake).

Hasil survei dari responden yang diambil memberikan gambaran bahwa sebaran responden berdasarkan taraf pendidikan, yaitu diploma / sarjana keatas sebesar 54%, kemudian SMA sebesar 37%, SMP sebesar 5%, dan SD sebesar 4%. Selain itu, bila dilihat dari hasil sebaran responden berdasarkan pekerjaan, ibu rumah tangga memiliki persentase sebesar 57% dan pekerja sebesar 43%. Untuk sebaran responden yang memiliki bayi berdasarkan jenis kelamin, yang memiliki bayi dengan jenis kelamin perempuan sebesar 52%, sedangkan laki-laki 48%. Kemudian, bila dilihat dari sebaran umur bayi, responden yang memiliki bayi dengan umur ≤ 6 bulan persentasenya sebesar 16%, 7 – 12 bulan sebesar 22%, 13 – 18 bulan sebesar 19%, 19 – 24 bulan sebesar 23%, dan 25 – 36 bulan sebesar 20%. Selanjutnya, berdasarkan sebaran berat badan bayi, bayi yang memiliki berat badan ≤ 3 kg sebesar 0%, 4 – 6 kg sebesar 2%, 7 – 9 kg sebesar 25%, 10 – 12 kg sebesar 45%, dan > 13 kg sebesar 28%.

Hasil survei dari responden juga memberikan gambaran bahwa sebaran responden yang menggunakan botol polikarbonat dengan merk A sebesar 83%, merk B sebesar 16%, merk C sebesar 1%, dan merk D sebesar 0%. Selain itu, dari hasil survey juga didapatkan sebaran responden berdasarkan proses sterilisasi botol polikarbonat, yaitu dengan cara direbus persentasenya sebesar 75%, direndam air panas sebesar 14%, menggunakan steamer sebesar 8%, dan dituang desinfektan sebesar 3%. Kemudian, bila dilihat dari sebaran responden berdasarkan cara proses penyiapan susu formula kedalam botol polikarbonat, besarnya persentase yang penyiapannya dilakukan langsung didalam botol sebesar 95% dan yang terlebih dahulu dibuat digelas sebesar 5%. Dari hasil survey yang diambil juga memberikan gambaran sebaran responden berdasarkan tempat penyimpanan botol susu, besarnya persentase yang menyimpan botol polikarbonat ditempat tertutup sebesar 75%, sedangkan yang menyimpan ditempat terbuka sebesar 26%. Waktu kontak untuk kemasan botol polikarbonat dengan susu formula adalah 16,74 menit. Hasil uji korelasi dengan SPSS (Statistical Products and Solution Services) dari tingkat pendidikan dan pekerjaan terhadap perilaku konsumen dalam memilih merk botol susu, proses sterilisasi botol susu, dan proses penyiapan botol susu memperlihatkan, bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dan pekerjaan responden dengan perilaku responden dalam memilih merk botol susu, proses sterilisasi botol susu, dan proses penyiapan susu formula. Sedangkan untuk hasil uji korelasi umur dan berat badan bayi terhadap konsumsi pangan memperlihatkan, bahwa terdapat hubungan antara umur dan berat badan bayi terhadap konsumsi pangan bayi. Dalam hal ini hubungan yang terjadi adalah berbanding lurus dengan semakin tinggi umur dan berat badan bayi, maka konsumsi pangannya pun semakin banyak.

(5)

KAJIAN PAPARAN BISFENOL-A (BPA) DARI BOTOL SUSU POLIKARBONAT

PADA BAYI. STUDI KASUS : WILAYAH DKI JAKARTA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

MOCHAMAD HADHITIA PRASETYO

F34080088

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)

Judul Skripsi

: Kajian Paparan Bisfenol-A

(BPA) Dari Botol Susu Polikarbonat

Pada Bayi. Studi Kasus : Wilayah DKI Jakarta

Nama

: MOCHAMAD HADHITIA PRASETYO

NRP

: F34080088

Menyetujui,

Pembimbing 1

(Dr. Endang Warsiki, S.TP., M.Si)

NIP 197103095 19970 2 001

Pembimbing 2

(Dra. Ani Rohmaniyati, M.Si)

NIP. 1961 0825 1986 0320 01

Mengetahui :

Ketua Departemen

(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti)

NIP 19621009 198903 2 001

(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul

Kajian

Paparan Bisfenol-A (BPA) Dari Botol Susu Polikarbonat Pada Bayi. Studi Kasus :

Wilayah DKI Jakarta adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen

Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan

tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2012

Yang membuat pernyataan

(8)

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,

(9)

BIODATA PENULIS

Mochamad Hadhitia Prasetyo. Lahir di Bandung, 30 Oktober 1990 dari

ayah Hadi dan ibu Yeyet Rohayati, sebagai putra pertama dari dua

bersaudara. Riwayat pendidikan penulis dimulai TK Merpati Pos

Bandung, SD Negeri Percobaan Bandung, SMP Negeri 44 Bandung, dan

SMA Negeri 14 Bandung. Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut

Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi masuk IPB).

Penulis memilih Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas

Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti

perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan

seperti menjadi pengurus dari HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri

Pertanian) tahun 2009

2010, pengurus dari PAMAUNG (Paguyuban Mahasiswa Bandung)

2009 - 2012, dan pengurus dari BEM FATETA (Fakultas Teknologi Pertanian) 2010

2011.

Penulis juga merupakan asisten praktikum Teknologi Pengemasan, Distribusi, dan Transportasi

pada tahun 2012. Selain aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, penulis juga aktif sebagai anggota

komunitas MODUS Photografi Bogor tahun 2012. Tahun 2011 penulis melaksanakan kegiatan

Praktik Lapang di Koperasi Peternakan Bandung Selatan, Bandung. Selama masa Praktik

Lapang penulis mempelajari aspek Teknologi Proses Produksi dan Teknologi Pengemasan. Pada

tahun 2012, penulis melakukan penelitian dalam rangka memperoleh gelar sarjana. Judul

penelitian yang dilakukan penulis yaitu “

Kajian Paparan Bisfenol-A

(BPA) dari Botol Susu

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, karunia, serta berkah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Paparan Bisfenol-A (BPA) Dari Botol Susu Polikarbonat Pada Bayi. Studi Kasus : Wilayah DKI Jakarta”. Penyusunan skripsi ini sebagai syarat menyelesaikan studi strata satu untuk mendapatkan gelar sarjana.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu, mendukung, dan membimbing penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga penyusunan skripsi ini berjalan dengan lancar. Berikut ini penulis sampaikan rasa terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu penulis tersebut, diantaranya :

1. Dr. Endang Warsiki, S.TP., M.Si. sebagai dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis hingga terselesaikannya skripsi ini

2. Dra. Ani Rohmaniyati, M.Si. sebagai dosen pembimbing ke dua yang telah membimbing penulis dalam melakukan penelitian

3. Prof. Dr-Ing. Ir. Suprihatin sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk menguji dan memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini

4. Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti yang telah banyak memberikan bimbingan moril selama penulis mengemban ilmu di Departemen Teknologi Industri Pertanian

5. Seluruh staf balai Badan Pengawas Obat dan Makanan Jakarta yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian

6. Seluruh dosen / staf pengajar Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingan selama penulis menjalankan perkuliahan

7. Ibu, Bapak, dan Adek Anindita atas doa, semangat, dan motivasi yang diberikan kepada penulis 8. Saudara-saudara satu bimbingan : Asih Setiautami, IK. Marla Lusda, dan Citra Dwi Wahyono Putri

yang telah membantu dan memberikan semangat kepada penulis

9. Teman-teman terbaik : Irfina Febianti, Nasrun, Jati, Zendy, Angga, Fahrudin, Ridho, dan Dony. yang telah memberi semangat, bantuan, dan mengisi hari-hari selama penulis melakukan penelitian

10.Rekan-rekan TIN 45 atas kebersamaan, keakraban, dan solidaritas selama perkuliahan di Teknologi Industri Pertanian

11.Pihak lain yang tidak bisa penulis tuliskan satu persatu yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.

Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Desember 2012

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. LATAR BELAKANG ... 1

1.2. TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. KEMASAN POLIKARBONAT... 3

2.2. BISFENOL-A (BPA)... 5

2.3. MIGRASI BISFENOL-A (BPA) ... 7

2.4. SURVEI KONSUMSI PANGAN ... 8

2.5. KUISONER FREKUENSI PANGAN ATAU FOOD FREQUENCY QUESTIONNARE (FFQ) ... 9

2.6. PURPOSIVE SAMPLING ... 9

2.7. PAPARAN ZAT KONTAK PANGAN AKIBAT MIGRASI DARI KEMASAN PANGAN ... 10

III. METODOLOGI ... 12

3.1. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ... 12

3.2. METODE PENELITIAN ... 12

a. PENGUMPULAN DATA ... 12

b. PENGOLAHAN DATA ... 13

c. ESTIMASI NILAI PAPARAN ... 13

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14

4.1. SURVEI KONSUMSI PANGAN ... 14

4.1.1. SEBARAN RESPONDEN ... 14

4.1.1.1. KARAKTERISTIK RESPONDEN ... 14

4.1.1.1.1. SEBARAN RESPONDEN BERDASARKAN TINGKAT PENDIDIKAN ... 14

4.1.1.1.2. SEBARAN RESPONDEN BERDASARKAN PEKERJAAN... 15

4.1.1.2. KARAKTERISTIK BAYI ... 17

4.1.1.2.1. SEBARAN BAYI BERDASARKAN JENIS KELAMIN ... 17

4.1.1.2.2. SEBARAN BAYI BERDASARKAN UMUR ... 18

4.1.1.2.2. SEBARAN BAYI BERDASARKAN BERAT BADAN ... 19

4.1.2. SEBARAN MERK BOTOL SUSU POLIKARBONAT YANG DIGUNAKAN RESPONDEN ... 19

(12)

4.1.4. SEBARAN RESPONDEN BERDASARKAN PROSES PENYIAPAN SUSU

FORMULA KEDALAM BOTOL SUSU POLIKARBONAT ... 24

4.1.5. SEBARAN RESPONDEN BERDASARKAN TEMPAT PENYIMPANAN BOTOL SUSU BAYI ... 25

4.1.6. WAKTU KONTAK KEMASAN BOTOL SUSU POLIKARBONAT DENGAN SUSU FORMULA ... 26

4.1.7. HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN RESPONDEN DENGAN PERILAKU RESPONDEN DALAM MEMILIH MERK BOTOL SUSU, PROSES STERILISASI BOTOL SUSU, DAN PROSES PENYIAPAN SUSU FORMULA ... 27

4.1.8. HUBUNGAN PEKERJAAN RESPONDEN DENGAN PERILAKU RESPONDEN DALAM MEMILIH MERK BOTOL SUSU, PROSES STERILISASI BOTOL SUSU, DAN PROSES PENYIAPAN SUSU FORMULA ... 29

4.1.9. HUBUNGAN ANTARA UMUR DAN BERAT BADAN BAYI TERHADAP KONSUMSI PANGAN ... 30

4.1.10. ESTIMASI NILAI PAPARAN BISFENOL-A ... 31

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

5.1. KESIMPULAN ... 34

5.2. SARAN ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Simbol kemasan wadah pelastik berdasarkan keamanan penggunaannya ... 20

Tabel 2. Waktu kontak kemasan botol susu polikarbonat dengan susu formula ... 27

Tabel 3. Hasil perhitungan uji korelasi Kendal Tau menggunakan SPSS 1 ... 28

Tabel 4. Hasil perhitungan uji korelasi Kendal Tau menggunakan SPSS 2 ... 29

Tabel 5. Hasil perhitungan uji korelasi Kendal Tau menggunakan SPSS 3 ... 30

Tabel 6. Estimasi nilai paparan Bisfenol-A ... 31

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur polimer Polikarbonat ... 3

Gambar 2. Tahapan proses pembuatan botol polikarbonat menggunakan metode extrusion blow mold ... 4

Gambar 3. Proses pembentukan polikarbonat ... 5

Gambar 4. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan ... 15

Gambar 5. Sebaran responden berdasarkan pekerjaan ... 16

Gambar 6. Sebaran bayi berdasarkan jenis kelamin ... 17

Gambar 7. Sebaran bayi berdasarkan umur ... 18

Gambar 8. Sebaran bayi berdasarkan berat badan ... 19

Gambar 9. Sebaran merkbotol susu polikarbonat yang digunakan oleh responden ... 22

Gambar 10. Sebaran responden berdasarkan proses sterilisasi botol susu ... 24

Gambar 11. Sebaran responden berdasarkan proses penyiapan susu formula kedalam botol susu ... 25

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Form kuisoner ... 40

Lampiran 2. Rekapitulasi hasil survei di kota Jakarta Barat ... 41

Lampiran 3. Rekapitulasi hasil survei di kota Jakarta Pusat ... 49

Lampiran 4. Rekapitulasi hasil survei di kota Jakarta Selatan ... 57

Lampiran 5. Rekapitulasi hasil survei di kota Jakarta Timur ... 64

(16)

I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Polikarbonat telah menjadi salah satu pilihan yang paling popular sebagai wadah / kemasan pangan. Bahan kemasan ini dibuat dengan menggunakan bahan tambahan bisfenol-A sehingga memiliki sifat yang keras, bening, dan ringan. Penggunaan polikarbonat sebagai bahan dasar kemasan dapat ditemukan pada kemasan botol susu bayi, gelas anak balita, botol minum polikarbonat, dan kaleng kemasan makanan dan minuman, termasuk kaleng susu formula. Dibalik keunggulan dan penggunaan polikarbonat sebagai bahan dasar pengemasan, tersimpan bahaya kesehatan. Beberapa riset terkini membuktikan bahwa penggunaan kemasan polikarbonat diragukan keamanannya karena material pengikat bisfenol-A dimungkinkan dapat terlepas dari polimer matriks dan pindah ke produk yang dikemas. Dan demikian kemasan ini perlu diwaspadai penggunaannya, terlebih untuk kemasan botol susu bayi yang sering mendapatkan perlakuan panas. Hal ini disebabkan karena kandungan bisfenol-A pada kemasan polikarbonat lebih cepat terurai bila mengalami kontak dengan panas, dan kandungan bisfenol-A sangat berbahaya bagi kesehatan bila sampai terkonsumsi oleh manusia. Pakar kesehatan David Melzer menyatakan bahwa senyawa bisfenol-A sangat berbahaya untuk kesehatan apabila terkonsumsi pada dosis yang tinggi dan dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit serta gangguan kesehatan. Para peneliti telah menemukan bahwa bisfenol-A dapat menyebabkan kanker prostat, kangker payudara, pubertas lebih awal, obesitas, diabetes, perubahan dalam system imun, mengganggu pengaturan hormone tiroid, mengganggu kerja kelenjar endokrin, memicu penyakit jantung, dan masih banyak lagi. Hasil penemuan inilah yang kemudian membuat pelarangan penggunaan botol susu plastik yang mengandung bisfenol-A dibeberapa wilayah Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Selandia Baru. Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) serta Eropa (EFSA) telah menetapkan batas asupan harian yang aman untuk bisfenol-A adalah sebesar 0.05 mg/ kg bb/ hari (Federal Drug Administration, 2008). Batas asupan harian yang aman yang ditetapkan oleh FDA dan EFSA memang cukup besar akan tetapi penggunaan botol susu bayi yang mengandung bisfenol-A tetap perlu diwaspadai penggunaannya.

(17)

1.2

Tujuan

(18)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Kemasan Polikarbonat

Pangan yang beredar saat ini praktis tidak lepas dari penggunaaan kemasan dengan berbagai maksud. Dari sisi keamanan pangan, kemasan pangan bukan sekedar bungkus tetapi juga sebagai pelindung agar makanan aman dikonsumsi. Namun tidak semua kemasan pangan aman bagi makanan yang dikemasnya (Sulchan, 2007). Berdasarkan UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan peraturan-peraturannya, yang dimaksud dengan kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/ atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak. Sedangkan menurut Manurung (2010), kemasan pangan adalah wadah (pembungkus) yang dapat membantu mencegah atau mengurangi terjadinya kerusakan pada bahan yang dikemas. Saat ini, ada banyak jenis bahan yang digunakan untuk mengemas makanan diantaranya adalah berbagai jenis plastik, kertas, fibreboard, gelas, tinplate, dan aluminium. Kemasan yang banyak dijumpai adalah plastik dan berbagai jenis polimer yaitu Polietilen tereftalat (PET), Polivinil klorida (PVC), Polietilen (PE), Polipropilen (PP), Polistirena (PS), Polikarbonat (PC) dan melamin. Diantara kemasan plastik tersebut, salah satu jenis yang cukup populer di kalangan masyarakat produsen maupun konsumen adalah jenis polikarbonat.

Polikarbonat adalah suatu kelompok polimer termoplastik, mudah dibentuk dengan menggunakan panas. Plastik jenis ini digunakan secara luas dalam industri kimia saat ini. Plastik ini memiliki banyak keunggulan, yaitu bening dan jernih seperti air, kekuatan benturan yang bagus, ketahanan terhadap pengaruh cuaca tinggi, suhu penggunaan tinggi, mudah diproses, dan tingkat flameabilitas yang rendah. Dari keunggulan tersebut membuat polikarbonat sering digunakan sebagai pengganti kaca dalam peralatan, pengolahan, dan aplikasinya. Dalam identifikasi plastik, polikarbonat berada pada nomor 7. Polikarbonat disebut demikian karena plastik ini terdiri dari polimer dengan gugus karbonat dalam rantai molekuler yang panjang (Gambar 1). Polikarbonat dibentuk dari hasil polimerisasi dari garam natrium bisphenolic dengan fosgen. Berdasarkan materi pengikat tipe polikarbonat yang paling umum adalah bisfenol-A (BPA). bisfenol-A merupakan tipe polikarbonat paling umum yang terdapat dalam plastik. Polikarbonat sendiri adalah material yang tahan lama dan dapat dilaminasi menjadi Kaca Anti Peluru, sedangkan sifat polikarbonat mirip dengan polimetil metakrilat (akrilik) namun polikarbonat lebih kuat dan dapat digunakan pada suhu tinggi. Polikarbonat akan mengalami transisi gelas pada temperatur 150oC sehingga polikarbonat akan menjadi lembek secara bertahap di atas temperatur ini, dan mulai mencair pada temperatur 300oC. Sehingga banyak digunakan dalam kemasan botol, termasuk kemasan botol susu bayi (Chapin, 2007).

Gambar 1. Struktur polimer polikarbonat (Sun, 2003).

Pembuatan produk kemasan berbahan polikarbonat biasanya menggunakan proses dengan tehnik pengolahan termoplastik pada umumnya, yaitu : cetak injeksi, ekstruksi, cetak tiup, dan

(19)

extruder dan blow, metode ini juga bisa digunakan untuk botol yang bervariasi dari bentuk, ukuran, bukaan leher botol, maupun bentuk handle. Tahapan-tahapan proses didalam pembuatan botolnya adalah sebagai berikut (Norman, 2008) :

1. Cairan plastik dikeluarkan dari ekstruder masuk kedalam cetakan tiup dengan pengarah lubang. 2. Cetakan ditutup.

3. Fluida (udara) dialirkan melalui pengarah lubang kedalam cairan plastik untuk menekan cairan plastik sehingga terbentuk cairan plastik seperti bentuk cetakan.

4. Cetakan dibuka untuk pengeluaran produk.

Skema tahapan proses pembentukan botol polikarbonat dengan menggunakan metode extrusion blow mold dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Tahapan proses pembuatan botol polikarbonat menggunakan metode extrusion blow mold (Norman, 2008)

Botol polikarbonat dari proses pencetakan selanjutnya dapat dilanjutkan keproses akhir seperti pelarutan dan adhesive bonding, pengecatan, printing, hot-stamping, dan ultrasonic welding

(Iman Mujiarto, 2005). Didalam pengaplikasiannya kedalam sebuah produk, polikarbonat banyak digunakan diberbagai macam bidang, antara lain (Iman Mujiarto, 2005) :

1. Otomotif.

Polikarbonat memberi performance tinggi pada lensa lampu depan/belakang. Polikarbonat opaque grade digunakan untuk rumah lampu dan komponen elektrik. Dan polikarbonat glass reinforced grade biasa digunakan untuk grill.

2. Pangan.

Polikarbonat digunakan untuk tempat minuman, mangkuk pengolah makanan, alat makan/minum, microvwave, dan peralatan lain yang memerlukan produk yang jernih.

3. Medis

Pada bidang ini polikarbonat biasa digunakan untuk pembuatan filter housing, tubing connector, dan berbagai macam peralatan operasi yang harus disterilisasai.

4. Industri elektrikal.

Polikarbonat pada bidang ini biasa digunakan untuk pembuatan konektor, pemutus arus, tutup baterai, dan „light concentrating panels‟ untuk display kristal cair.

5. Alat/mesin bisnis.

(20)

2.2

Bisfenol-A (BPA)

Bisfenol-A(2,2-bis (4-hydroxyphenyl) propane) atau BPA merupakan bagian terpenting dalam pembuatan plastik polikarbonat. bisfenol-A memiliki persamaan dengan senyawa kimia diethyl sylbestrat (DES) dan hormon estrogen. DES ini ternyata merupakan senyawa yang kurang baik karena dapat menyebabkan kanker dan masalah yang berhubungan dengan reproduksi. Selain itu juga merupakan zat kimia yang menyerupai hormon estrogen pada perempuan. BPA dapat digunakan sebagai hormon buatan yang bekerja seperti hormon estrogen untuk mengatai masalah kehamilan (Colborn et. al., 1997). Bahan ini apabila digunakan dalam jumlah yang tidak teratur dapat menimbulkan resiko terhadap kesehatan. Sehingga beberapa tahun terakhir ini mulai berkembang isu bahaya penggunaan BPA pada berbagai kemasan.

Saat ini BPA banyak digunakan dalam pembuatan plastik polikarbonat dan beberapa untuk pembuatan resin epoxy yang sebagian besar banyak digunakan sebagai wadah makanan, minuman, dan sealant gigi (Alonso-Magdalena et. al., 2006). BPA merupakan salah satu bahan kimia yang paling berlimpah diproduksi di seluruh dunia dan memiliki kapasitas global pada tahun 2003 sebesar 6,4 miliar pounds dengan peningkatan produksinya sebesar 6-10% pertahun. Karena meluasnya penggunaan BPA dalam plastik polikarbonat serta lapisan kaleng, maka manusia terus-menerus terpapar bahan kimia ini, terutama di negara-negara maju (Calafat et. al., 2005). Dalam proses produksinya, plastik polikarbonat dihasilkan melalui proses kondensasi antara BPA dengan karbonil klorida (Gambar 3) (Sun, 2003). Penggunaan BPA pada plastik polikarbonat banyak diaplikasikan untuk berbagai produk plastik seperti kemasan makanan dan minuman, botol susu, botol air, kaleng susu formula, dan pipa-pipa saluran air. Penggunaan BPA dalam pembuatan plastik polikarbonat cukup diminati oleh industri karena botol yang dihasilkan tahan lama dan tampil lebih mengkilat. Sedangkan aplikasi BPA dalam pembuatan resin epoxy banyak digunakan pada bahan pelapis logam seperti kaleng makanan, botol air minum, kertas thermal, alat kesehatan, dan saluran air (Aschberger

et.al., 2010). Penggunaan BPA semakin lama semakin meluas tidak hanya untuk produk pangan, tetapi juga digunakan sebagai bahan penambal gigi, pembuatan kepingan CD atau DVD, dan dalam pembuatan kacamata.

Gambar 3. Proses pembentukan polikarbonat (Sun, 2003).

Beberapa penelitian telah berhasil mengetahui bahaya BPA bagi kesehatan. Saat ini banyak badan-badan kesehatan negara yang melihat potensi resiko kesehatan yang disebabkan oleh BPA. Oleh karena itu, negara-negara yang telah membuktikan bahaya BPA mulai melarang penggunaan bahan tersebut pada berbagai bentuk kemasan. Pusat Riset Toksikologi Nasional FDA bekerja sama dengan National Toxicology Program (NTP) saat ini melakukan kajian yang mendalam untuk mengklarifikasi dugaan tersebut. Sementara itu, US-FDA mengambil langkah-langkah pencegahan untuk mengurangi paparan BPA pada makanan, seperti mendorong industri untuk berhenti memproduksi botol bayi yang mengandung BPA dan peralatan makan bayi untuk pasar AS, memfasilitasi pengembangan alternatif untuk BPA, dan mendukung upaya untuk mengganti atau meminimalkan tingkat BPA dalam pelapis kaleng makanan (Lailya, 2010). Di lain sisi, Badan Kesehatan Kanada (The Health Canada) memilih kebijakan untuk mengambil tindakan pencegahan dan menyimpulkan bahwa BPA harus dianggap sebagai zat atau bahan yang dapat menimbulkan bahaya pada kehidupan atau kesehatan manusia. Sebagai langkah awal Pemerintah Kanada berencana

(21)

untuk membuat peraturan untuk melarang import, iklan, dan penjualan botol bayi berbahan polikarbonat (Joaquim Maia et.al., 2010).

Selanjutnya, Organisasi kesehatan dunia (WHO) melalui forum panel yang beranggotakan 30 pakar dari Kanada, Eropa, dan Amerika Serikat pada 10 November 2010 di Ottawa, Kanada, menyampaikan bahwa kadar BPA yang terkandung dalam urine seseorang ternyata relatif sama dengan kadar BPA yang masuk ke dalam tubuh orang tersebut. Hal ini berarti sebagian besar atau bahkan mungkin semua BPA dapat diekskresikan secara alamiah dari dalam tubuh. Selain itu, WHO juga menyatakan bahwa berbagai penelitian yang telah dilakukan membuktikan meskipun dalam kadar yang rendah, BPA tetap dapat memberikan efek buruk bagi kesehatan (Anonim, 2010)1. Menurut Sun (2003), terdapat korelasi antara BPA masalah biologis pada laki-laki dan perempuan. Pada laki-laki, dapat menyebabkan penurunan produksi sperma, penambahan berat prostat, dan kanker testis. Sementara itu, pada perempuan dapat menyebabkan perkembangan endometrium yang tidak normal sehingga dapat menimbulkan infertilitas dan meningkatkan risiko terkena kanker payudara. Sun (2003) juga memaparkan bahwa bayi dan anak-anak juga akan terkena dampak negatif dari BPA ini. Pada anak-anak, terutama pada bayi yang masih dalam kandungan maupun bayi yang baru lahir, dapat menyebabkan ketidakseimbangan hormon yang berdampak buruk selama periode emas pertumbuhan anak, meskipun akibatnya tidak langsung tampak.

Penelitian juga dilakukan oleh para peneliti di University of Missouri-Columbia untuk menentukan dampak dari BPA pada organ reproduksi tikus. Penelitian dilakukan adalah dengan cara menyuntikan BPA pada dua tikus betina yang sedang hamil dengan dua dosis yang berbeda (2 ppb dan 20 ppb). Setelah dua tikus betina tersebut lahir selanjutnya, dipilih secara acak anak tikus yang berkelamin jantan dari kedua tikus betina tersebut untuk dibesarkan dan diteliti pengaruhnya terhadap organ reproduksi tikus jantan. Hasilnya ditemukan bahwa pemberian dua dosis BPA yang berbeda pada indukan dapat memberikan efek yang berbeda pada kemampuan reproduksi anaknya. Untuk anak tikus betina yang diberikan dosis BPA sebesar 2 ppb memperlihatkan adanya efek peningkatan ukuran kelenjar preputial sebesar 35%, kelenjar preputial ini bertanggung jawab atas perilaku

sociosexual pada tikus jantan. Sebaliknya, dosis yang sama mengurangi ukuran epididimis, organ yang menyimpan sperma pada tikus jantan. Hal ini juga yang akan mengurangi ukuran vesikula seminalis yang berguna untuk mengalirkan sperma saat ejakulasi dan hal ini yang menggambarkan tingkat kesuburan pada tikus jantan. Selanjutnya, untuk anak tikus betina yang diberikan dosis BPA sebesar 20 ppb secara signifikan menurunkan efisiensi produksi sperma sebesar 20% dibandingkan dengan kelompok tikus jantan kontrol. Dalam studi sebelumnya oleh kelompok ilmuwan yang sama, kelenjar prostat pada tikus jantan yang diberi dosis BPA yang sama (2 ppb dan 20 ppb) meningkat sebesar 30% dibandingkan dengan tikus jantan kontrol. Kedua hasil peneltian ini membuktikan bahwa pemberian berbagai dosis BPA pada tikus memberikan efek menurunkan fungsi pada organ reproduksinya. Dari dasar hasil penelitian inilah maka beberapa ilmuwan menduga sementara bahwa sangat mungkin BPA juga dapat mempengaruhi perkembangan bayi pada manusia (Vom Saal et. al., 1998). Setelah terbukti bahwa BPA memiliki efek negatif pada organ tikus, dilakukan lagi penelitian mengenai efek samping BPA terhadap manusia dan terlihat adanya suatu korelasi antara paparan BPA dengan penyakit ovarium pada wanita, kanker prostat pada pria, dan berkurangnya sistem kekebalan tubuh (Vom Saal et. al., 2005)

(22)

lembaga internasional dan baru akan dinyatakan berbahaya apabila kadar bisfenol-A yang terkandung dalam pangan melebihi 0,03 µg/mL (30 ppb).

2.3

Migrasi Bisfenol-A (BPA)

Menurut Balai Besar Kimia dan Kemasan (2011), migrasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu global migrasi dan spesifik migrasi. Global migrasi atau migrasi total merupakan hasil perpindahan komponen dari kemasan, dimana komponen tersebut tidak dibedakan antara yang berbahaya (toksik) dengan yang tidak berbahaya (non-toksik) pada kesehatan. Global migrasi ini dinyatakan dalam satuan mg bahan yang berpindah per satuan luas (mg/dm2) atau mg/kg bahan kemasan. Sementara spesifik migrasi merupakan proses perpindahan komponen-komponen dalam kemasan yang telah diketahui dapat membahayakan kesehatan manusia.

Nasiri et.a.l (2009) menyatakan bahwa jumlah migrasi akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu kontak, peningkatan waktu kontak, peningkatan kandungan bahan kimia dalam kemasan, peningkatan luas permukaan kontak, dan peningkatan agresifitas pangan yang dikemas. Suhu dan waktu kontak yang semakin meningkat akan mempercepat proses migrasi bahan kimia ke bahan makanan sehingga nilai migrasi yang dihasilkan akan lebih tinggi. Mudahnya terjadi migrasi BPA kepada makanan atau minuman dikarenakan ikatan kimia antar monomer BPA dalam polimer plastik sangat lemah dan tidak stabil. Apabila kemasan tersebut terus menerus kontak dengan pangan, maka senyawa BPA yang ada dalam bahan kemasan akan terlepas. BPA ini dapat bekerja dalam konsentrasi yang sangat kecil (dalam ppb atau ppt) sekalipun sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Sebenarnya potensi migrasi ini dapat menurun apabila bobot molekul dari bahan kemasan tinggi, kontak antara pangan dan kemasan tidak langsung atau kering, daya difusi bahan kemasan rendah (inert), dan adanya lapisan pembatas yang inert (Barnes et. al. 2007).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui migrasi senyawa kimia yang berasal dari plastik polikarbonat, yaitu senyawa bisfenol-A (BPA). Seperti penelitian yang dilakukan oleh Biedermann-Brem dan Grob pada tahun 2009, tentang pengaruh suhu terhadap migrasi BPA dalam air ledeng, menunjukan bahwa konsentrasi BPA dalam air ledeng pada suhu 50°C sebesar <0.0001 µg/mL meningkat menjadi 0.0006 µg/mL ketika air mendidih. Kemudian konsentrasi BPA dalam air pada pH 9.5 (50oC) sebesar <0.002 µg/mL meningkat menjadi 0.033 µg/mL ketika air mendidih. Menurut Biles et. al. (1997), konsentrasi terbesar migrasi BPA dari kemasan polikarbonat dalam air deionisasi dan air ledeng adalah sebesar 1 mg/l pada suhu 65°C selama 10 hari. Suhu merupakan salah satu faktor penyebab mudahnya BPA bermigrasi. BPA akan sangat mudah bermigrasi apabila suhunya dinaikkan atau dipanaskan. Sementara botol susu dalam penggunaannya selalu bersentuhan panas baik untuk sterilisasi dengan cara direbus, dipanaskan dengan microwave, hingga dituang dengan air mendidih atau air panas. Oleh karena itu peluang berpindahnya BPA dari kemasan kedalam produk yang dikemas sangat besar.

(23)

ND (not detected) hingga 0.37 mg/inch2, sedangkan jumlah migrasi BPA dalam etanol 10 % berkisar ND hingga 1.92 mg/inch2 (Sun, 2003).

Penelitian lain juga dilakukan oleh Wong et. al. (2005) yang menghitung jumlah migrasi yang terjadi pada 28 sampel botol susu polikarbonat dengan menggunakan simulant pangan ethanol 10% dan minyak jagung. Ethanol 10% digunakan sebagai food simulant yang mewakili makanan yang berair dan makanan yang mengandung asam. Sedangkan minyak jagung untuk mewakili makanan yang mengandung lemak. Inkubasi dilakukan pada suhu 70oC pada ethanol 10% dan 100oC pada minyak jagung. Sedangkan lama waktu inkubasi untuk kedua food simulant adalah selama 8, 72, dan 240 jam. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai rata-rata migrasi BPA didalam ethanol 10% pada suhu 70oC untuk masing-masing lama waktu inkubasi adalah 0.028 ; 0.059 ; 0.625 (µg/in2). Sedangkan untuk nilai rata-rata migrasi BPA didalam minyak jagung pada suhu 1000C untuk masing-masing lama waktu inkubasi adalah 0.107 ; 0.212 ; 0.405 (µg/in2). Dari hasil penelitian Wong et. al.

(2005) dapat dilihat bahwa semakin lama waktu inkubasi, maka jumlah BPA yang bermigrasipun semakin meningkat. Sama halnya dengan suhu inkubasi, semakin tinggi suhu inkubasi, maka BPA yang bermigrasipun semakin banyak. Dan dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa besarnya BPA yang bermigrasi kedalam food simulant berbanding lurus dengan lamanya waktu dan suhu kontak.

2.4

Survei Konsumsi Pangan

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok (kebutuhan dasar) manusia untuk hidup sehat (Harper et. al., 1985). Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu (Suhardjo, 1989). Menurut Suhardjo (1990), penilaian konsumsi pangan dapat digunakan untuk menentukan jumlah dan sumber zat gizi yang dimakan melalui survei secara kuantitatif maupun kualitatif. Survei secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah pangan yang dikonsumsi, sedangkan surveisecara kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan yang dikonsumsi dan menggali informasi tentang kebiasaan makan serta cara memperolehnya (Vegan, 2009).

(24)

2.5

Kuisioner Frekuensi Pangan atau Food Frequency Questionnaire (FFQ)

Tidak ada metode baku untuk mengumpulkan data konsumsi pangan. Data konsumsi pangan secara luas tersedia dan mungkin semua metode survei yang ada dapat digunakan. Metode pengambilan data konsumsi dapat dilakukan secara langsung pada tingkat individu dan secara tidak langsung dengan mengumpulkan informasi konsumsi dari pembelian produk pangan atau produksi suatu jenis pangan di industri. Salah satu metode langsung yang dapat digunakan adaah kuisioner frekuensi pangan atau food frequency questionnaire (FFQ) (Warsiki, 2010). Food Frequency Questionnaire (FFQ) adalah metode survei konsumsi pangan yang bertujuan untuk mendapatkan pola konsumsi bahan pangan tertentu. FFQ yang juga disebut kuisioner frekuensi pangan sering mengacu pada riwayat diet berdasarkan daftar (list-based diet history) yang terdiri dari daftar diet. Untuk setiap jenis pangan dalam daftar, responden ditanya untuk memperkirakan berapa kali makan dalam sehari, minggu, bulan atau tahun. Jumlah atau jenis pangan mungkin bervariasi seperti jumlah dan tiap kategori frekuensi. Validitas pola diet yang dikaji dengan FFQ tergantung pada keterwakilan pangan yang tercatat dalam kuesioner. Meskipun beberapa telah menyimpulkan bahwa FFQ menghasilkan data yang valid untuk pengkajian paparan diet, selebihnya telah ditemukan bahwa FFQ tidak menghasilkan estimasi yang nyata dari asupan beberapa nutrisi makro karena responden tidak ingat dengan pasti. FFQ biasanya digunakan untuk menentukan peringkat individu melalui konsumsi pangan atau nutrisi pilihan. Meskipun FFQ dirancang untuk digunakan mengukur paparan diet absolute, metode ini mungkin lebih akurat dibandingkan metode lain yang digunakan dalam mengestimasi paparan diet rata-rata untuk zat kimia dengan variabilitas hari ke hari dan yang relatif sedikit sebagai sumber survei (Nasiri et al., 2009).

Kuesioner frekuensi pangan memberi daftar kelompok pangan untuk diisi frekuensi pangannya dan ditimbang, data grup pangan biasanya telah disiapkan pilihan frekuensi konsumsi dan ukuran penyajian. Metode ini merupakan metode yang paling sedikit membutuhkan tenaga dan dapat menangani banyak sampel. FFQ dapat bersifat khusus atau umum. Akan tetapi, data grup pangan yang disajikan sering kurang detail dalam penilaian paparan zat kimia, misalnya “ikan” tidak menunjukkan detail apakah ikan berminyak atau kerang. Selain itu, data level merk tidak dapat dikumpulkan (Warsiki, 2010).

2.6

Purposive Sampling

Secara sederhana, sampling adalah pengambilan sampel atau contoh dari populasi untuk diamati atau diteliti. Tetapi jika pengamatan atau penelititan dilakukan terhadap seluruh elemen atau anggota populasi maka kegiatan tersebut mempunyai istilah khusus, yaitu sensus. Keuntungan ekonomis sampling dibandingkan sensus adalah sangat besar, dan hal ini merupakan salah satu faktor penting yang menjadi pertimbangan mengapa kita melakukan sampling tersebut. Salah satu metode

sampling yang biasanya digunakan adalah purposive sampling. Purposive sampling merupakan metode pengambilan sampel non probability dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Penarikan sampel dengan non probability pada umumnya dilakukan untuk suatu penelitian yang populasinya tidak diketahui (Gulo, 2002). Menurut Sugiyono (2010),

sampling purposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Sampling yang

(25)

murah untuk dilaksanakan. Sampel yang dipilih adalah individu yang menurut pertimbangan peneliti dapat didekati. Sedangkan kelemahannya adalah tidak ada jaminan sepenuhnya bahwa sampel itu representatif seperti halnya dengan sampel acakan atau random. Kriteria yang digunakan atas dasar pertimbangan peneliti harus didasarkan atas pengetahuan yang mendalam tentang populasi agar dapat dipertanggungjawabkan. Sekalipun demikian, pertimbangan itu tidak bebas dari unsur subyektifitas (Nasution, 2007).

Menurut Hadi (1977), dalam purposive pemilihan sekelompok subyek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Sebutan purposive menunjukkan bahwa teknik ini digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Semua sampling pasti bertujuan, karena itu sebutan

purposive sampling untuk sesuatu teknik sampling sebenarnya kurang tepat. Akan tetapi yang lebih penting adalah mempunyai pengertian yang jelas tentang maksudnya dan memastikannya apakah yang dilakukan benar-benar memenuhi kriteria purposive sampling.

2.7

Paparan Zat Kontak Pangan Akibat Migrasi dari Kemasan Pangan

Sejak ditangani sampai digunakan konsumen, pangan harus tetap bersifat aman untuk dikonsumsi. Pangan yang aman dikonsumsi adalah pangan yang bebas (di bawah toleransi maksimum yang dipersyaratkan) dari cemaran berbahaya seperti cemaran biologis, kimia, dan benda asing yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Fardiaz, 1994). Lebih lanjut Hariyadi (2007) juga menjelaskan bahwa produk pangan yang mempunyai tingkat keamanan yang baik adalah produk pangan yang bebas cemaran biologis, kimia, dan benda asing yang dapat mengganggu, merµgikan, dan membahayakan kesehatan manusia.

Menurut UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan. Menurut Wirakartakusumah (1994), keamanan pangan merupakan masalah yang kompleks sebagai hasil interaksi antara toksisitas mikrobiologi, toksisitas kimiawi, dan status gizi. Hal ini, sangat berkaitan dimana pangan yang tidak aman akan mempengaruhi kesehatan manusia yang pada akhirnya dapat menimbulkan masalah terhadap status gizinya. Keamanan yang menurun pada suatu produk dapat memberikan efek keracunan pangan atau foodborne disease bagi konsumen yang mengkonsumsi produk tersebut.

Menurut Nasiri et al. (2009), bahan kimia berbahaya atau cemaran merupakan salah satu penyebab berbagai masalah kesehatan yang serius dan menimbulkan dampak permanen atau bahkan kronis. Oleh karena itu diperlukan studi kesehatan masyarakat yang ditimbulkan dari adanya bahan kimia toksik (berbahaya) dalam pangan, dengan mengestimasikan paparan kontaminan asupan pangan harian yang kemudian dibandingkan dengan referensi toksisitas zat yang dimakan seperti Asupan Harian yang Ditoleransi (Tolerable Daily Intake, TDI) atau Asupan Mingguan yang Ditoleransi Sementara (Provisional Tolerable Weekly Intake, PWTI). Kajian tersebut bertujuan untuk memonitor kesesuaian paparan kontaminan dengan standar maksimum yang tercantum dalam peraturan. Penilaian paparan kontaminan sangat penting dalam membuat keputusan tentang status keamanan pangan.

(26)

paparan kontaminan akan mengakibatkan efek biologis pada organisme tersebut. Walaupun secara konsep kajian paparan berlaku untuk semua jenis kehidupan, namun dalam hal ini hanya akan diaplikasikan untuk kesehatan manusia sehingga kajian paparan merupakan salah satu alat bagi pengukuran kesehatan masyarakat (Warsiki, 2010).

Kajian paparan adalah dasar untuk menetapkan asupan harian yang dapat ditoleransi (TDI), yang berdasarkan bahaya (toksisitas). Meskipun kadang suatu zat toksik tidak berbahaya bagi kesehatan manusia jika zat tersebut dikonsumsi dalam jumlah kecil, namun risiko kontaminan makanan tidak tergantung dari sumbernya tetapi dari kombinasi bahaya suatu zat (toksisitas) tersebut dan banyaknya zat tersebut dikonsumsi atau memapari konsumen. Keamanan pangan tidak hanya ditentukan hanya semata-mata pada toksisitas zat yang bermigrasi, tetapi juga jumlah zat berbahaya tersebut yang dikonsumsi (estimasi keberadaan) yang dikonsumsi (Warsiki, 2010).

Kajian paparan (diet) akan mengombinasikan data konsumsi dengan data kadar zat kimia dalam pangan. Hasil dari estimasi paparan ini kemudian dibandingkan dengan data referensi nutrisi atau toksikologi terhadap zat kimia yang dikaji. Kajian paparan mungkin dilakukan untuk jangka pendek (akut) dan jangka panjang (kronis). Kajian paparan jangka pendek hanya menggunakkan data paparan selama 24 jam, sedangkan kajian paparan jangka panjang menggunakan data rata-rata paparan harian selama hidup seseorang. Adakalanya kajian paparan nutrien menggunakan asumsi-asumsi dasar yang cenderung menghasilkan nilai estimasi paparan kurang dari sebenarnya sedangkan kajian paparan zat kimia toksik harus menggunakan asumsi-asumsi yang menghasilkan nilai estimasi paparan yang lebih tinggi dari sebenarnya (kasus terburuk). Persamaan umum untuk kajian paparan dapat dilihat berikut ini:

(27)

III.

METODOLOGI

3.1

Waktu Dan Tempat Penelitian

Kajian awal paparan bisfenol-A dari kemasan polikarbonat pada botol susu bayi (Studi kasus di kota Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, dan Jakarta Pusat) ini dilakukan dengan melakukan survei konsumsi pangan untuk mendapatkan data konsumsi. Survei ini dimulai awal bulan April 2012 sampai pertengahan bulan Juli 2012 di wilayah kota Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, dan Jakarta Pusat. Kelima lokasi ini dipilih karena tingkat angka kelahiran bayi dikota ini termasuk cukup tinggi dibandingkan kota lainnya yang berada di Indonesia, jadi penggunaan kemasan botol susu berbahan dasar polikarbonat sangat besar sehingga potensi terjadi paparan bisfenol-A juga sangat tinggi.

3.2

Metode Penelitian

Tahapan penelitian terdiri dari tiga tahap kegiatan. Kegiatan tersebut, antara lain pengumpulan data, pengolahan data, dan estimasi nilai paparan. Masing-masing tahap penelitian dijelaskan sebagai berikut:

a.

Pengumpulan Data

(28)

b.

Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari kuisioner akan dikategorikan atau dikelompokan berdasarkan responden, data pangan yang dikonsumsi oleh bayi dari responden, dan informasi-informasi yang diperlukan untuk menunjang hasil penelitian ini. Pengelompokan responden bertujuan untuk memberi gambaran seberapa besar pengguna polikarbonat sebagai botol susu dari sampel yang diambil, meliputi sebaran responden berdasarkan pekerjaan, tingkat pendidikan, jenis kelamin anak, umur anak, dan berat badan anak. Data konsumsi pangan dari responden terpilih kemudian digunakan untuk memberi gambaran berapa besar konsumsi pangan yang dikemas botol susu polikarbonat, yang selanjutnya data ini digunakan sebagai dasar untuk mengestimasi paparan senyawa bisfenol-A untuk area penelitian tersebut. Data konsumsi dikelompokkan berdasarkan wilayah atau kota lokasi penelitian untuk membandingkan seberapa besar penggunaan kemasan pangan botol susu polikarbonat antar wilayah atau kota lokasi penelitian. Identifikasi informasi pangan juga dilakukan seperti merk susu formula dan merk botol susu yang digunakan, frekuensi penggunaan botol, lama waktu kontak pangan, serta cara penggunaan maupun penanganan botol. Selain dilakukan pengelompokan, selanjutnya data hasil survei juga diolah secara statistik untuk mencari korelasi atau hubungan dari beberapa variable yang ada. Kemudian untuk mencari korelasi dari beberapa variable ini digunakan uji hipotesis asosiatif dengan alat pengujian dalam perhitungannya menggunakan korelasi Kendal Tau. Dan software pengolah data statistik SPSS (Statistical Products and Solution Services) digunakan untuk mempermudah perhitungannya. Sesuai dengan tujuan penelitian selanjutnya dilakukan juga penghitungan terhadap konsumsi pangan harian yang akan digunakan sebagai dasar estimasi nilai paparan.

c.

Estimasi Nilai Paparan

(29)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Survei Konsumsi Pangan

Hasil dari survei konsumsi pangan dari lima daerah di Jakarta adalah data konsumsi pangan yang akan digunakan untuk menghitung nilai estimasi paparan bisfenol-A (BPA) pada kemasan botol susu polikarbonat. Survei konsumsi pangan ini juga memberikan informasi terkait sebaran responden. Selain itu, juga dapat memberikan informasi terkait cara penanganan botol susu polikarbonat yang dilakukan oleh responden. Rekapan hasil survei untuk daerah Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara disajikan pada Lampiran 2, 3, 4, 5, dan 6.

4.1.1

Sebaran Responden

Data informasi mengenai responden yang diambil dalam kegiatan survey konsumsi pangan pada penelitian ini dilakukan pengelompokan berdasarkan karakteristik dari responden yang terdiri dari pekerjaan responden, pendidikan responden. Selain itu dilakukan pengelompokan juga terhadap karakteristik bayi dari responden yang terdiri dari umur bayi, dan jenis kelamin pada bayi. Kriteria pengelompokan yang dipilih diharapkan dapat memberi gambaran sebaran penggunaan botol susu polikarbonat pada bayi. Pengelompokan-pengelompokan ini untuk mempermudah melihat seberapa besar penggunaan botol susu berbahan dasar polikarbonat. Informasi ini nantinya dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk upaya pencegahan ataupun kebijakan yang lain sebagai bentuk kewaspadaan karena merujuk pada populasi yang paling berpotensi terkena paparan bisfenol-A (BPA).

4.1.1.1

Karakteristik Responden

4.1.1.1.1

Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat berdasarkan lamanya pendidikan yang dialami baik formal maupun informal. Tingkat pendidikan terutama pendidikan ibu berpengaruh terhadap kualitas tumbuh kembang anak. Menurut Khomsan (2002), orang tua yang memiliki pendidikan tinggi akan lebih respon dalam mencari informasi untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam pengasuhan anak. Namun, menurut Syarief dan Husaini (2000) dalam Fitrisia (2002) proporsi pemberian ASI pada ibu yang berpendidikan tinggi lebih rendah dibandingkan yang berpendidikan rendah.

Berdasarkan hasil survey diperoleh sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan pada lima kota di Jakarta adalah sebagai berikut :

a. Jakarta Barat, responden dengan tingkat pendidikan diploma / sarjana ke atas sebesar 53%, SMA sebesar 47%, sedangkan SMP dan SD sebesar 0%. Hal ini memberikan gambaran bahwa tidak ditemuinya responden dengan tingkat pendidikan SMP dan SD yang menggunakan botol polikarbonat.

b. Jakarta pusat, responden dengan tingkat pendidikan diploma / sarjana ke atas sebesar 65%, SMA sebesar 30%, SMP sebesar 5%, dan SD sebesar 0%.

(30)

d. Jakarta Timur, responden dengan tingkat pendidikan diploma / sarjana ke atas sebesar 58%, SMA sebesar 42%, sedangkan SMP dan SD sebesar 0%.

e. Selanjutnya, di kota Jakarta Utara responden berdasakan tingkat pendidikan diploma / sarjana ke atas dan SMA sebesar 40%, SMP sebesar 5% dan SD sebesar 4%. Hal ini memberikan gambaran bahwa kedua kelompok responden yang memiliki tingkat pendidikan diploma / sarjana ke atas dan SMA besarnya relative sama atau tidak memiliki selisih yang jauh.

[image:30.595.110.508.139.715.2]

Secara keseluruhan dari responden memberi gambaran bahwa pengguna kemasan botol susu polikarbonat yang paling banyak ditemui berdasarkan taraf pendidikan adalah diploma / sarjana keatas sebesar 54%, SMA sebesar 37%, SMP sebesar 5%, dan SD sebesar 4%. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi peluang penggunaan botol polikarbonat dan akan semakin tinggi pula bayi terpapar BPA. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa seseorang yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi tidak menjamin terlepas atau terbebas dari penggunaan botol susu polikarbonat dan terhindar dari bahaya resiko paparan zat berbahaya, tingkat pendidikan ternyata tidak berpengaruh terhadap penggunaan dan pemahaman akan bahaya kemasan polikarbonat. Oleh karena itu, upaya atau tindakan pencegahan seperti penyuluhan terkait bahaya BPA harus dilakukan disemua kalangan baik di kalangan pendidikan maupun masyarakat luas. Diagram sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan di setiap kota dan diseluruh kota disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan

4.1.1.1.2

Sebaran responden berdasarkan pekerjaan

Jenis pekerjaan orang tua menentukan jumlah pendapatan yang diterima keluarga. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas dari botol susu yang digunakan. Kurangnya pendapatan akan berpengaruh terhadap jenis pangan yang dikonsumsi sertakualitas dari botol susu yang digunakan.

Hasil survey menunjukan sebaran responden berdasarkan pekerjaan dari responden yang diambil di kota Jakarta Barat memberi gambaran bahwa penggunaan botol susu polikarbonat dikota

15

5 4

5 3

15 5

47 30

27 42

40 37 53

65 55 58

40 54

0 20 40 60 80 100 120

P

er

sent

a

se

T

ing

k

a

t

P

endid

ik

a

n

(%)

Lokasi

Diploma / Sarjana keatas SMA

(31)

ini yang paling banyak adalah ibu rumah tangga sebesar 53%, sedangkan untuk pekerja sebesar 47%. Di kota Jakarta Pusat, Sebaran responden yang paling banyak ditemui adalah ibu rumah tangga sebesar 62%, sedangkan untuk pekerja sebesar 38%. Selanjutnya untuk sebaran responden yang diambil di Jakarta Selatan penggunaan botol susu polikarbonat yang paling banyak adalah pekerja sebesar 55%, sedangkan untuk ibu rumah tangga sebesar 45%. Kemudian untuk sebaran responden di Jakarta Timur penggunaan botol susu polikarbonat yang paling banyak adalah ibu rumah tangga sebesar 61%, sedangkan untuk pekerja sebesar 39%. Sebaran responden di kota Jakarta Utara memberikan gambaran bahwa penggunaan botol susu polikarbonat yang paling banyak adalah ibu rumah tangga sebesar 65%, sedangkan untuk pekerja 35%. Hal ini memberikan gambaran bahwa penggunaan botol susu polikarbonat relative lebih banyak digunakan oleh responden ibu rumah tangga dibandingkan oleh pekerja.

Secara keseluruhan dari responden memberi gambaran bahwa pengguna kemasan botol susu polikarbonat yang paling banyak ditemui berdasarkan pekerjaanya adalah ibu rumah tangga sebesar 57%, sisanya adalah pekerja sebesar 43%. Hal ini mungkin disebabkan karena lebih mahalnya harga botol susu non BPA yang ada dipasaran dibandingkan dengan botol polikarbonat yang mengandung BPA, sehingga responden yang tidak memiliki pekerjaan akan cenderung lebih memilih botol susu yang harganya lebih murah. Selain itu, banyaknya penggunaan botol susu polikarbonat juga disebabkan oleh banjirnya penjualan botol susu polikarbonat di pasar. Berbeda halnya dengan botol susu non BPA, botol ini biasanya hanya dapat ditemukan di apotik atau pasar swalayan modern. Banjirnya penjualan botol susu polikarbonat di pasaran pun diakibatkan karena masih diperbolehkannya pembuatan botol susu polikarbonat menggunakan bahan tambahan BPA, asalkan kadarnya tidak melebihi 0,03 µg/ml (30 ppb) (Anonim, 2012)2. Diagram sebaran responden berdasarkan pekerjaan di setiap kota dan diseluruh kota disajikan pada Gambar 5

[image:31.595.96.524.84.754.2]

. Gambar 5. Sebaran responden berdasarkan pekerjaan

47 62

45

61 65 57

53 38

55

39 35 43

0 20 40 60 80 100 120

P

er

sent

a

se

P

ek

er

ja

a

n

(%)

Lokasi

Pekerja

(32)

4.1.1.2

Karakteristik Bayi

4.1.1.2.1

Sebaran bayi berdasarkan jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan salah faktor yang digunakan dalam survey. Berdasarkan jenis kelamin, hasil survey bayi laki-laki di kota Jakarta Barat sebesar 56% dan perempuan sebesar 44%. Kota Jakarta Pusat, jenis kelamin laki-laki sebesar 55% dan perempuan 45%. Untuk sebaran responden yang memiliki bayi dengan jenis kelamin laki-laki di Jakarta Selatan sebesar 45% dan perempuan sebesar 55%. Kota Jakarta Timur sebaran responden jenis kelamin laki-laki sebesar 44% dan perempuan sebesar 56%, serta Jakarta Utara responden yang memiliki bayi dengan jenis kelamin laki-laki sebesar 37% dan perempuan sebesar 63%.

[image:32.595.117.486.482.718.2]

Ditinjau dari kelima kota tersebut, bayi yang paling banyak ditemui adalah bayi perempuan sebesar 52%, sedangkan laki-laki sebesar 48%. Data statistik tahun 2010 menunjukan bahwa tingkat persentase kelahiran bayi dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah sebesar 51,22% dan 48,78% (Herdaru Purnomo, 2010). Perbandingan tingkat angka kelahiran bayi berdasarkan jenis kelamin dari data statistik tersebut tidak berbeda nyata dengan dengan data yang diperoleh dari hasil survey selama penelitian, akan tetapi karena rasio perbedaannya tidak terlalu besar antara tingkat kelahiran bayi jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang diperoleh dari survey dan perbandingan dari data statistik, maka perbedaan tersebut masih dianggap wajar karena mungkin saja ada peningkatan angka kelahiran bayi berjenis kelamin perempuan pada tahun 2012. Beberapa faktor yang mempengaruhi kelahiran bayi berdasarkan jenis kelamin diantaranya faktor makanan, faktor waktu, faktor penetrasi, faktor rangsangan, faktor persiapan istri, dan faktor posisi (Anonim. 2007)3. Karena bayi dengan jenis kelamin perempuan meiliki jumlah persentase lebih besar maka bayi perempuan memiliki peluang resiko yang lebih tinggi terhadap paparan BPA dibandingkan bayi laki-laki. Sehingga perlu diwaspadai dan perlu upaya pencegahan dari orang tua bayi maupun penentu kebijakan untuk meminimalisir atau bahkan mengeliminir potensi resiko paparan BPA. Gambar 6 menunjukan diagram sebaran bayi berdasarkan jenis kelamin disetiap kota dan diseluruh kota.

Gambar 6. Sebaran bayi berdasarkan jenis kelamin

56 55

45 44 37 48

44 45

55 56 63 52

0 20 40 60 80 100 120

P

er

sent

a

se

J

enis

K

ela

m

in

(%)

Lokasi

(33)

4.1.1.2.2

Sebaran bayi berdasarkan umur

[image:33.595.121.469.506.728.2]

Berdasarkan umur, hasil survey menujukan sebaran responden yang memiliki bayi berdasarkan umur dari responden yang diambil di kota Jakarta Barat yang paling banyak adalah bayi dengan umur 19 – 24 dan 25 – 36 bulan sebesar 26%. Hal ini memberikan gambaran bahwa kedua kelompok bayi yang memiliki umur 19 – 24 dan 25 – 36 bulan besarnya relative sama atau tidak memiliki selisih yang jauh berbeda. Untuk kota Jakarta Pusat yang paling banyak adalah bayi dengan umur 19 – 24 bulan sebesar 28%. Selanjutnya untuk kota Jakarta Selatan yang paling banyak adalah bayi dengan umur 7 – 12 bulan sebesar 40%. Kemudian di kota Jakarta Timur yang paling banyak adalah bayi dengan umur ≤ 6 dan 13 – 18 bulan sebesar 22%. Dan yang terakhir di kota Jakarta Utara yang paling banyak adalah bayi dengan umur 19 – 24 bulan sebesar 33%. Secara umum, hasil survey di lima kota memberikan gambaran bahwa umur bayi terbanyak berada pada interval 19-24 bulan yaitu sebesar 23%. Karena pada jarak interval umur 19 – 24 bulan memiliki persentase yang terbesar diantara umur yang lainnya maka umur tersebut dianggap memiliki resiko yang paling rentan terhadap paparan BPA sehingga memiliki resiko bahaya yang paling tinggi. Bayi pada umur 19-24 bulan merupakan umur terjadinya peningkatan berat badan dan tinggi badan serta pertumbuhan otak telah mencapai 90-95% (Hardinsyah dan Martianto, 1992). Menurut Tri Gozali (2008) interval umur 19 – 24 merupakan salah satu periode emas pertumbuhan otak pada bayi. Periode ini adalah tahap paling cepat dan paling kritis dalam perkembangan otak. Tahap ini terjadi pada trimester ketiga kehamilan dan selesai diantara ulang tahun kedua dan ketiga seorang anak. Di masa ini, pertumbuhan otak sangat rapuh akan konsekuensi yang merugikan dari malnutrisi. Penelitian menunjukan bahwa jika jumlah sel otak yang tepat tidak berkembang di masa ini, kecacatan pada otak akan terjadi secara permanen. Menurut Saal Vom et. al. (2005) bahaya terkonsumsinya BPA oleh bayi diantaranya adalah dapat mengganggu kerja kelenjar hormon yang dapat mempengaruhi perkembangan otak dari bayi. Oleh karena itu perlu diwaspadai dan perlu adanya upaya pencegahan dari orang tua bayi maupun penentu kebijakan untuk meminimalisir atau bahkan mengeliminir potensi resiko paparan BPA. Gambar 7 menunjukan diagram sebaran bayi berdasarkan umur disetiap kota dan diseluruh kota.

Gambar 7. Sebaran bayi berdasarkan umur

15 12 24 25

5 16

18 25

40

17

12

22 15

25 6

22

25

19 26

28 12

14

33

23

26 10 18 22 25 20

0 20 40 60 80 100 120

P

er

sent

a

se

Um

ur

(%)

Lokasi

(34)

4.1.1.2.3

Sebaran bayi berdasarkan berat badan

[image:34.595.108.516.99.784.2]

Berdasarkan berat badan, hasil survey menujukan sebaran responden yang memiliki bayi berdasarkan berat badan dari responden yang diambil di kota Jakarta Barat yang paling banyak adalah bayi dengan berat badan 10 – 12 kg sebesar 35%. Untuk kota Jakarta Pusat yang paling banyak adalah bayi dengan berat badan 10 – 12 kg sebesar 43%. Kemudian dari kota Jakarta Selatan bayi yang paling banyak adalah bayi dengan berat badan 7 – 9 kg sebesar 34%. Selanjutnya di kota Jakarta Timur bayi yang paling banyak adalah bayi dengan berat badan 10 – 12 kg sebesar 44%. Dan yang terakhir untuk kota Jakarta Utara bayi yang paling banyak adalah bayi dengan berat badan 10 – 12 kg sebesar 45%. Secara keseluruhan dari responden yang diambil di lima kota Jakarta, memberikan gambaran bahwa responden yang memiliki bayi terbanyak adalah dengan interval berat badan 10 – 12 kg sebesar 40%. Karena memiliki persentase yang terbesar maka bayi yang memiliki berat badan 10 – 12 kg dianggap sebagai populasi yang paling rentan terhadap paparan BPA sehingga memiliki resiko bahaya yang paling tinggi. Bila ditinjau dari rumus perhitungan estimasi nilai paparan maka akan menunjukan bahwa seseorang yang memiliki berat badan lebih rendah maka resiko paparannya lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki berat badan lebih tinggi. Gambar 8 menunjukan diagram sebaran bayi berdasarkan berat badan disetiap kota dan diseluruh kota.

Gambar 8. Sebaran bayi berdasarkan berat badan

4.1.2

Sebaran Merk Botol Susu Polikarbonat yang Digunakan Responden

Berdasarkan hasil survey diperoleh sebaran merk botol susu polikarbonat yang digunakan oleh responden pada lima kota di Jakarta adalah sebagai berikut:

a. Jakarta Barat, responden menggunakan botol susu polikarbonat dengan merk A sebesar 88%, merk B sebesar 12%, sedangkan merk C dan D sebesar 0%. Hal ini memberikan gambaran bahwa tidak ditemuinya responden yang menggunakan botol polikarbonat dengan merk C dan D.

3 18

7

24 14

2 13

21

30

34

33

25

28

35 43

30 44

45

40

26 20

12 6

28 19

0 20 40 60 80 100 120

P

er

sent

a

se

B

er

a

t

B

a

da

n (

%)

Lokasi

(35)

b. Jakarta pusat, responden menggunakan botol susu polikarbonat dengan merk A sebesar 82%, merk B sebesar 18%, sedangkan merk C dan D sebesar 0%.

c. Jakarta selatan, responden menggunakan botol susu polikarbonat dengan merk A sebesar 85%, merkB sebesar 15%, sedangkan merk C dan D sebesar 0%.

d. Jakarta Timur, responden menggunakan botol susu polikarbonat dengan merk merk A sebesar 89%, merkB sebesar 8%, merkC sebesar 3%, sedangkan D sebesar 0%.

e. Selanjutnya, responden yang diambil di kota Jakarta Utara menggunakan botol susu polikarbonat dengan merk A sebesar 72%, merkB sebesar 25%, merkD sebesar 3%, sedangkan untuk merk C sebesar 0%.

Bila ditinjau secara keseluruhan dari banyaknya merkbotol susu polikarbonat yang digunakan oleh responden di lima kota Jakarta yang paling banyak digunakan adalah merk A sebesar 83%. Gambar 9 menunjukan diagram sebaran merkbotol susu polikarbonat yang digunakan oleh responden disetiap kota dan diseluruh kota. Pemilihan responden dalam penggunaan botol susu polikarbonat dengan merk A ini sangatlah besar, dalam hal ini beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya persentase pemilihan merkA, diantaranya adalah merkbotolsusuyang sudah terkenal dimasyarakat luas akan kualitasnya, harga dari merk botol susu yang dapat terjangkau oleh masyarakat dari kalangan kelas ekonomi manapun, serta kemudahan dalam mendapatkannya. Menurut Rachmandianto (2010) Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen dalam pemilihan produk, diantaranya adalah kebudayaan, kelas social, kelompok referensi kecil, keluarga, pengalaman, kepribadian, sikap dan kepercayaan, dan konsep diri. Sedangkan dalam melakukan pembeliannya dikelompokan lagi menjadi empat berdasarkan tingkat keterlibatan diferensiasi merk, yaitu budget allocation

(Pengalokasian budget), product purchase or not (Membeli produk atau tidak), store patronage

(Pemilihan tempat untuk mendapatkan produk), dan brand and style decision (Keputusan atas merk dan gaya). Pengertian merk (merk) menurut American Marketing Association, didefinisikan sebagai nama, istilah, tanda, simbol atau rancangan atau kombinasi dari hal-hal tersebut. Tujuan pemberian merk adalah untuk mengidentifikasikan produk atau jasa yang dihasilkan sehingga berbeda dari produk atau jasa yang dihasilkan oleh pesaing. Suatu produk yang menggunakan brand cenderung akan lebih menjamin produk mereka, sehingga dalam hal kemasan pun akan memilih kualitas yang lebih bagus. Dalam hal ini untuk menguji kualitas dari kemasan botol susu polikarbonat yang memiliki merk dapat dilakukan dengan menguji besarnya jumlah residu yang bermigrasi ke dalam pangan yang dikemas. Kemasan botol polikarbonat yang memiliki jumlah jumlah residu yang lebih tinggi dapat dikatakan kemasan yang memiliki kualitas yang rendah.

Tidak mudah untuk menentukan jenis plastik yang baik untuk wadah atau kemasan pangan. Dipasaran diperkirakan banyak dijumpai bahan kemasan yang sebetulnya tidak cocok dengan jenis makanan yang dikemas. Setiap jenis makanan memiliki sifat yang perlu dilindungi, yang harus dapat ditanggulangi oleh jenis kemasan tertentu. Kesalahan material kemasan dapat mengakibatkan kerusakan bahan makanan yang dikemas. Selain dari hasil uji laboratorium, kualitas dari suatu kemasan, aman atau tidaknya wadah pelastik (food grade dan non-food grade) bisa diketahui dari simbol atau tanda khusus yang tertera di wadah plastik tersebut ya

Gambar

Gambar 4. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan
Gambar 5. Sebaran responden berdasarkan pekerjaan
Gambar 6. Sebaran bayi berdasarkan jenis kelamin
Gambar 7. Sebaran bayi berdasarkan umur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan total resistance yang berada di atas pipa adalah gaya yang terdiri dari dari gaya friksi tanah ditambah berat pipa beserta berat fluida di dalam pipa. (

Proses manajemen risiko terdiri dari 4 (empat) tahapan yaitu Evaluasi Risiko, Mengkaji Opsi Manajemen Risiko, Implementasi Keputusan Manajemen Risiko, Monitoring dan Review.

Data dalam penelitian terdiri dari: karakteristik bayi (umur dan jenis kelamin), pola pemberian ASI (waktu pemberian ASI pertama kali, frekuensi dan lama pemberian ASI dalam

Hingga saat ini, PAM Jaya hanya mengandalkan suplai air baku dari DAS Citarum (PJT II) sebanyak 70 – 80% dan selebihnya dari Sungai Cisadane (air curah PAM Tangerang) yang teletak

Dari hasil perhitungan didapatkan nilai signifikan 0,037, maka artinya Ada perbedaan antara pemberian ASI Eksklusif terhadap berat badan bayi umur 0- 6 bulan di posyandu wilayah

Menurut peneliti bahwa ada banyak dampak yang terjadi pada bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari normal, salah satunya yaitu terjadinya penurunan pada

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan menginterpretasikan dari model berdasarkan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap risiko kejadian bayi berat badan