• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBUATAN WASIAT WAJIBAH BAGI ANAK ANGKAT YANG BERAGAMA ISLAM DI HADAPAN NOTARIS MENURUT KETENTUAN HUKUM ISLAM TESIS. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEMBUATAN WASIAT WAJIBAH BAGI ANAK ANGKAT YANG BERAGAMA ISLAM DI HADAPAN NOTARIS MENURUT KETENTUAN HUKUM ISLAM TESIS. Oleh"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

RABITHAH KHAIRUL 137011021/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RABITHAH KHAIRUL 137011021/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

(3)

Nama Mahasiswa : RABITHAH KHAIRUL Nomor Pokok : 137011021

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn) (Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Tanggal lulus : 29 Agustus 2015

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Dr. Syahril Sofyan, SH, M.Kn

2. Dr. Utary Maharani Barus, SH, MHum 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

4. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

(5)

Nama : RABITHAH KHAIRUL

Nim : 137011021

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PEMBUATAN WASIAT WAJIBAH BAGI ANAK

ANGKAT YANG BERAGAMA ISLAM DI HADAPAN NOTARIS MENURUT KETENTUAN HUKUM ISLAM Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : RABITHAH KHAIRUL Nim : 137011021

(6)

i

permasalahan anak angkat sudah berkembang kepada masalah pembagian harta warisan. Keberadaan anak angkat dalam pewarisan pada saat ini masih menjadi polemik yang selalu diperbincangkan, baik dalam kalangan politisi, para akademisi, dan para penegak hukum. Wasiat merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari hukum waris. Wasiat berkaitan dengan hak kekuasaan atau tanggung jawab yang akan dijalankan setelah seseorang meninggal dunia, misalnya seseorang berwasiat kepada orang lain agar menolong mendidik anaknya kelak, membayar hutang atau mengembalikan barang yang pernah dipinjamnya, disisi lain juga merupakan suatu kewajiban bagi orang yang mampu terhadap anak yang tidak mempunyai orang tua, sebagai misi kemanusiaan dan pengamalan ajaran agama.

Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini, yakni bagaimanakah kaidah dasar pemberian harta warisan melalui wasiat wajibah bagi anak angkat yang beragama Islam, bagaimana tanggung jawab notaris sebagai pembuat akta wasiat wajibah apabila tejadi sengketa mengenai bagian anak angkat yang beragama Islam, dan bagaimana akibat hukum jika pembagian harta warisan dengan wasiat wajibah kepada anak angkat yang beragama Islam melebihi ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut maka penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti.

Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan.

Kaidah dasar yang digunakan oleh para hakim dalam menentukan pemberian wasiat wajibah adalah menggunakan kaidah wasiat umum sebagaimana yang ditentukan dalam KHI. Pertanggungjawaban notaris terhadap akta wasiat wajibah atas bagian anak angkat yang beragama Islam tetap mengikuti ketentuan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris. Akibat hukum terhadap akta wasiat wajibah yang dibuat oleh notaris secara melawan hukum maka akan menyebabkan akta otentik menjadi akta dibawah tangan serta akta tersebut dapat dibatalkan oleh pengadilan. Pada dasarnya, bila melihat pada ketentuan mengenai wasiat di dalam KHI, besar bagian yang diperbolehkan untuk diberikan melalui wasiat adalah paling banyak sepertiga dari harta warisan, dengan pengecualian dapat diberikan lebih melalui persetujuan para ahli waris lainnya, jika anak angkat mendapatkan bagian wasiat wajibah yang melebihi sepertiga bagian, maka wasiat wajibah tidak batal demi hukum melainkan harus dibatalkan dengan putusan pengadilan.

Kata Kunci: Wasiat Wajibah, Anak Angkat, Notaris

(7)

ii

existence of adopted children in succession at this point still being debated are always discussed, both in the circle of politicians, academics, and law enforcers. A will is a thing that can not be separated from the law. A will relating to the rights of power or responsibility that will run after someone dies, for example, a person she talked to other people in order to help educate his son later, paying debts or return an item ever dipinjamnya, on the other hand is also an obligation for people who can afford against children who have no parents, as a humanitarian mission and practice the teachings of the religion.

The issue raised in this research, is how is the basic rule of granting estates through probate wajibah for the adopted son of a Muslim, how the responsibility of the notary deed as a maker of a will wajibah in tejadi disputes about parts of the adopted son of a muslim, and how legal consequences if the division of the inheritance with testament wajibah to the adopted child a muslim exceed the provisions of the applicable legislation.

To find answers to these problems then it is descriptive analytic study, the intent of this research are expected to accrue to the description in detail and systematically about issues that will be examined. Based on the description of the intended analysis, facts are obtained will be done carefully analyses to answer the problem.

The basic rule is used by the judges in determining the granting of probate wajibah probate rules is to use the public as defined in KHI. Notary liability against the deed of probate wajibah top section of the adopted child a Muslim still follow the provision in article 16 of Act No. 2 Of Notary Office by 2014. Due to laws against probate wajibah deed made by a notary public are against the law or there is a conspiracy it will cause the authentic deed into a deed under the hands and the certificate may be cancelled by the Court. Basically, when you look at the provisions on intestate in KHI, large parts of which are allowed to be given through a will is at most a third of the inheritance, with the exception of can be given more through the approval of the other heirs, if the adopted child obtaining probate part wajibah that exceeds one third part, then a will wajibah not annulled by law but must be cancelled by the Court ruling.

Keywords: Wills Wajibah, A Foster Child, Notary Public

(8)

iii

Segala puji syukur bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah memberikan kasih sayang dan cinta kasih kepada penulis. Shalawat serta salam senantiasa kita junjungkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang kita nantikan syafaatnya di hari kiamat nanti. Karena rahmat dan hidayah Allah-lah penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul : ANALISIS YURIDIS ATAS SK PNS YANG DIJADIKAN AGUNAN PADA PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN ( STUDI PADA PT.BANK SUMUT MEDAN).

Dalam penyusunan tesis ini tentunya banyak sekali kekurangan-kekurangan dan keterbatasan yang terdapat dalam diri Penulis. Oleh karena itu Penulis sangat mengharapkan koreksi, kritik dan saran untuk perbaikan tesis ini menjadi lebih baik lagi, tidak sedikit bantuan dari berbagai pihak yang diberikan kepada Penulis baik dari segi moril dan segi materil. Oleh karena itu dengan segala ketulusan hati Penulis mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas segala bantuan dan dukungan yang selama ini Penulis terima sampai selesainya penulisan tesis ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini, Penulis dengan segala kerendahan hati menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Subhilhar, PhD, selaku Pejabat Rektor Universitas Sumatera Utara 2. Bapak Prof. DR. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

(9)

iv

bermanfaat yang diberikan dalam bimbingan penyelesaian tesisini;

4. Bapak Notaris DR. Syahril Sofyan, SH, M.Kn., selaku Dosen Pembimbing II terimakasih atas waktu, nasehat-nasehat yang berguna dan bimbingannya dalam pengerjaan tesis ini;

5. Ibu DR. T. Keizerina Devi, SH, CN, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Dosen Penguji yang telah memberikan kritik dan saran dalam tesis ini;

6. Bapak DR. Pendastaren Tarigan, SH, M.Hum., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritik dan saran dalam tesis ini;

7. Terimakasih kepada seluruh Dosen Pengajar Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas ilmu yang telah diberikan dan pengalaman yang dibagi melalui kuliah-kuliah yang telah menginspirasi dalam penulisan tesis ini;

8. Rekan-rekan mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, khusunya angkatan 2013 group A yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga menghaturkan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pemberi motivasi terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih sayang dan doa

(10)

v

Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum Islam pada umumnya dan ilmu kenotariatan pada khusunya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada Penulis semoga mendapat pahala dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Medan, Agustus 2015 Penulis

RABITHAH KHAIRUL

(11)

vi

Nama : Rabithah Khairul

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 30 Oktober 1991

Status : Belum Kawin

Agama : Islam

Alamat : Jl. T. Amir Hamzah, No. 76B, kelurahan

Jati Negara, kecamatan Binjai Utara, Kota Binjai

II. KELUARGA

Ayah : Drs. Khairul Azhar

Ibu : Elvi Asriani

Saudara Kandung : Luthfiah Khairina

III. PENDIDIKAN

1. Sekolah Dasar : SD Negeri 1, Selesai (Tahun 1997-2003) 2. Sekolah Menengah Pertama : Madrasah Tsanawiyah Swasta Al- Zaytun,

Indramayu (Tahun 2003-2006) 3. Sekolah Menengah Atas : Madrasah Aliyah Negeri 1, Binjai

(Tahun 2006-2009)

4. Perguruan Tinggi (S1) : Program Sarjana (S-1) Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

(Tahun 2009-2013)

5. Perguruan Tinggi (S2) : Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (Tahun 2013-2015)

(12)

vii

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR ISTILAH ... ix

DAFTAR SINGKATAN... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 16

E. Keaslian Penelitian... 16

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 18

1. Kerangka Teori ... 18

2. Konsepsi ... 24

G. Metode Penelitian ... 26

1. Spesifikasi Penelitian ... 26

2. Metode Pendekatan ... 27

3. Sumber Data... 28

4. Teknik Pengumpulan Data ... 29

5. Analisis Data ... 29

BAB II PEMBERIAN HARTA WARISAN KEPADA ANAK ANGKAT MELALUI WASIAT WAJIBAH MENURUT KETENTUAN HUKUM ISLAM ... 31

A. Kedudukan Dan Status Anak Angkat Dalam Pandangan Hukum Islam ... 31

(13)

viii

BAB III TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PEMBUAT AKTA

WASIAT WAJIBAH BAGI ANAK ANGKAT ... 56

A. Peranan Notaris Dalam Pembuatan Akta Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat ... 56

B. Hak Dan Kewajiban Notaris Dalam Pembuatan Akta Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat ... 61

C. Tanggung Jawab Notaris Dalam Hal Terjadi Sengketa Antara Para Ahli Waris Terkait Bagian Anak Angkat Karena Tertuang Dalam Akta Wasiat Wajibah... 67

BAB IV AKIBAT HUKUM ATAS PELAKSANAAN WASIAT WAJIBAH BAGI ANAK ANGKAT BERAGAMA ISLAM YANG MELEBIHI BAGIAN MENURUT UNDANG-UNDANG 76 A. Akibat Hukum Bagi Anak Angkat Atas Harta Warisan Yang Didapatkan Melalui Wasiat Wajibah Melebihi Bagian Yang Ditetapkan Undang-Undang... 76

B. Akibat Hukum Bagi Notaris Dalam Pelaksanaan Wasiat Wajibah Yang Melebihi Bagian Seharusnya Yang Ditetapkan Undang-Undang ... 82

C. Upaya Hukum Bagi Para Ahli Waris Terkait Harta Warisan Anak Angkat Dalam Wasiat Wajibah Yang Melebihi Bagian Seharusnya ... 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

A. Kesimpulan ... 96

B. Saran... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 100

(14)

ix Orang Tua Asalnya Adoptie Wet = Undang-Undang Adopsi Testamentair Erfrecht = Hak Mewaris Menurut Wasiat Legitieme Portie = Bagian Mutlak

Testament = Wasiat Dengan Kehendak Terakhir

Wasiat Wajibah = Wasiat Yang Pelaksanaannya Tidak Dipengaruhi Atau Tidak Tergantung Kepada Kemauan Atau Kehendak Yang Meninggal Dunia.

Kalbu = Suara Hati

Munjazah = Benda Yang Bisa Langsung Bisa Dilaksanakan Pembagiannnya

(15)

x

KUH Perdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata

MA : Mahkamah Agung

PN : Pengadilan Negeri

PA : Pengadilan Agama

SWT : Subhanahu Wa Ta’ala

SAW : Sallallahu ‘Alaihi Wassallam

UU : Undang-Undang

UUD : Undang-Undang Dasar 1945

UUJN : Undang-Undang Jabatan Notaris

(16)

1 A. Latar Belakang

Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia yang berkualitas. Sangat diperlukan pembinaan sejak dini bagi anak yang berlangsung secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial anak. Membentuk suatu keluarga kemudian melanjutkan keturunan merupakan hak dari setiap orang.

Konsekuensi dari adanya suatu hak adalah timbulnya suatu kewajiban, yakni kewajiban antara suami isteri dan kewajiban antara orang tua dan anak. Bagi setiap keluarga, anak merupakan sebuah anugerah yang paling ditunggu–tunggu kehadirannya, karena dengan hadirnya seoarang anak akan melengkapi kebahagiaan sebuah keluarga. Anak merupakan sebuah harapan bagi kedua orang tuanya.

Keberadaan anak adalah wujud keberlangsungan sebuah keluarga.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa ”perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”1Menurut rumusan pasal tersebut dapat diketahui bahwa dari perkawinan diharapkan akan lahir keturunan (anak) sebagai penerus dalam keluarganya, sehingga orang tua berkewajiban

1Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(17)

memelihara serta mendidiknya untuk tumbuh dan berkembang secara wajar dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.

Keinginan mengembangkan keturunan adalah naluri setiap manusia, untuk kepentingan itu manusia perlu melakukan pernikahan, dimana dari pernikahan tersebut terjalinlah sebuah ikatan suami isteri yang pada gilirannya terbentuk sebuah keluarga berikut keturunannya berupa anak-anak, dengan demikian kehadiran anak tidak hanya dipandang sebagai konsekuensi adanya hubungan biologis antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, tetapi lebih dari itu, juga merupakan keinginan yang sudah melembaga sebagai naluri setiap manusia.

Lahirnya seorang anak dalam sebuah keluarga sangat ditunggu, rasanya kurang lengkap sebuah keluarga tanpa kehadiran seorang anak. Bahkan, dalam kasus tertentu tanpa kehadiran seorang anak dianggap sebagai aib yang menimbulkan rasa kurang percaya diri bagi pasangan suami isteri. Dalam keadaan demikian berbagai perasaan dan pikiran akan timbul dan pada tataran tertentu tidak jarang perasaan dan pikiran tersebut berubah menjadi kecemasan. Kecemasan tersebut selanjutnya diekspresikan oleh salah satu pihak atau kedua pihak, suami isteri.

Ketika keturunan berupa anak yang didambakan tidak diperoleh secara natural maka dilakukan dengan cara mengambil alih anak orang lain. Selanjutnya anak tersebut dimasukkan kedalam anggota keluarganya sebagai pengganti anak yang tidak bisa diperoleh secara alami tersebut, namun dalam setiap perkawinan tidak selamanya dikaruniai keturunan, dikarenakan oleh suatu sebab dan lain hal. Maka dari itu bagi pasangan yang ingin mempunyai anak namun tidak bisa melahirkan keturunan masih

(18)

bisa memiliki anak dengan cara mengadopsi atau mengangkat anak. Anak yang akan diangkat nantinya disebut sebagai anak angkat.

Pengangkatan anak disini merupakan alternatif untuk menyelamatkan perkawinan atau untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga, karena tujuan dari perkawinan yang dilakukan, pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan, yaitu anak. Begitu pentingnya hal keturunan (anak) ini, sehingga menimbulkan berbagai peristiwa hukum, misalnya ketiadaan keturunan data menyebabkan perceraian, poligami dan pengangkatan anak yang merupakan beberapa peristiwa hukum yang terjadi karena alasan di dalam perkawinan itu tidak memperoleh keturunan (walaupun bukan satu-satunya alasan). Tingginya frekuensi perceraian, poligami dan pengangkatan anak yang dilakukan didalam masyarakat mungkin merupakan akibat dari perkawinan yang tidak menghasilkan keturunan, dikarenakan tujuan perkawinan itu tidak tercapai.”2

Pengangkatan anak pada hakikatnya harus dipandang sebagai upaya untuk meniru alam dengan menciptakan keturunan secara buatan atau artificial (adoption naturam imitator), sehingga Rabel menyatakan “no institution can be designed as adoption, unless it makes the child legitimate in relation to the adopting parent.”3 Jika pada mulanya yaitu dalam sistem dimana pengangkatan anak dipandang semata- mata sebagai cara untuk melanjutkan keturunan, akibat-akibat pengangkatan

2 Soerjono Soekanto & Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 275

3 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III, Bagian Pertama, (Jakarta: Kinta 1969), hlm. 96

(19)

demikian mendalam, hingga memutuskan hubungan antar anak angkat dengan orang tua asalnya (adoptio plena), dengan perkembangan fungsi pengangkatan anak itu, maka anak angkat tidak lagi dianggap seratus persen sebagai anak sendiri dari orang tua angkatnya, melainkan dengan akibat yang terbatas, misalnya sekedar menimbulkan hubungan pada pemeliharaan dan pendidikan saja (adoptio minus plena).

Secara umum pengangkatan anak menurut hukum adalah pengalihan anak terhadap orang tua angkat dari orang tua kandung secara keseluruhan dan dilakukan menurut adat setempat agar sah. Jadi orang tua kandung sudah lepas tangan terhadap anak itu, dan tanggung jawab beralih kepada orang yang mengangkatnya. Dibedakan terlebih dahulu antara anak angkat, anak pungut dan anak asuh. Perbedaan dari ketiganya yakni sebagai berikut:

1. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

2. Anak pungut adalah anak orang lain yang di anggap anak sendiri oleh orang tua yang memungutnya dengan resmi menurut hukum adat setempat, dengan tujuan untuk melangsungkan keturunan dan atau pemeliharaan harta keluarga rumah tangga.

3. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan,

(20)

karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.4

Lembaga pengangkatan anak ini merupakan suatu kebutuhan masyarakat dan sekaligus memerlukan suatu ketertiban dan ketuntasan dalam mekanisme pelaksanaannya. Lembaga kemasyarakatan yang juga mempunyai fungsi sosial yang tidak kecil artinya terhadap keluarga dan dampaknya kepada masyarakat keseluruhan, maka eksistensi pengangkatan anak sebagai suatu lembaga hukum perlu mendapatkan tempat yang lebih jelas. Hal ini mengingat bahwa pengangkatan anak ini disamping telah dikenal dan dilakukan di Indonesia yang semula bertujuan untuk meneruskan garis keturunan dalam suatu keluarga akan tetapi dewasa ini pengangkatan anak telah dilakukan pula demi kemanusiaan, terlebih-lebih dalam perkembangan kemajuan sekarang yang dibarengi pula efek negatifnya, maka peran lembaga pengangkatan anak sebagai suatu lembaga hukum sangat besar artinya.

Anak merupakan generasi penerus yang sangat diharapkan dapat meneruskan pembangunan suatu bangsa. Adanya lembaga pengangkatan anak yang minimal melingkupi dua subjek yang berkepentingan, yakni orang tua yang mengangkat di satu pihak dan si anak yang diangkat dilain pihak, dengan berbagai variasi latar belakang pengangkatan anak itu sendiri adalah jelas menggambarkan bahwa pengangkatan anak sebagai suatu lembaga yang dibutuhkan masyarakat yang padanya

4Churry Elmoena, Pengertian Anak Pungut,

http://churryelmoena.blogspot.com/2013/02/makalah-masail-fiqhiyah-anak-zina-anak.html (terakhir diakses tanggal 20 Juni 2013)

(21)

terdapat berbagai kepentingan. Disinilah perlunya berperan misi ketertiban dalam berbagai kepentingan, sehingga kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi dengan tepat.

Hukum perdata di Indonesia hingga sekarang masih mengalami pluralisme, dimana hukum perdata masih berdasarkan penggolongan penduduk Indonesia menurut pembagian yang dilakukan oleh pemerintah hindia belanda pada masa dahulu, dan untuk tiap-tiap golongan penduduk itu berlaku sistem hukum perdata yang berbeda.5 Masing-masing sistem hukum yang berlaku di Indonesia mempunyai sikap-sikap sendiri terhadap pengangkatan anak (meskipun tidak diabaikan ada juga persamaannya), baik mengenai eksistensi, bentuk maupun isi dari lembaga pengangkatan anak, sehingga dalam sistem hukum Indonesia soal pengangkatan anak, terdapat peraturan yang tidak sama untuk seluruh golongan penduduk.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tidak memuat satu ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat ini, yang ada hanya adalah ketentuan tentang pengakuan anak luar kawin, yaitu seperti yang diatur dalam Buku I BW Bab XII Bagian Ketiga, Pasal 280 sampai 289, tentang pengakuan terhadap anak-anak luar kawin. Ketentuan ini boleh di katakan tidak ada sama sekali hubungannya dengan masalah adopsi ini, oleh karena itu, KUH Perdata tidak mengenal hal pengangkatan anak ini, maka bagi orang-orang Belanda sampai kini tidak dapat mengangkat anak secara sah, hanya diterima baik oleh Staten Generaal Nederland sebuah undang-undang adopsi.

5Rusli Pandika, Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 7

(22)

Landasan pemikiran diterimanya undang-undang tersebut adalah bahwa setelah Perang Dunia II, dimana seluruh Eropa timbul golongan manusia baru, orang tua yang telah kehilangan anak yang tidak bisa mendapatkan anak baru lagi secara wajar, anak-anak piatu yang telah kehilangan orang tuanya dalam peperangan, dan lahir banyak anak luar perkawinan. Atas landasan itulah, maka Staten Generaal Nederland telah menerima baik sebuah undang-undang adopsi (adoptie wet) tersebut yang membuka kemungkinan terbatas untuk adopsi ini.6

Adopsi merupakan salah satu perbuatan manusia termaksud perbuatan perdata yang merupakan bagian hukum kekeluargaan, dengan ini melibatkan persoalan dari setiap yang berkaitan dengan hubungan manusia. Bagaimana pun jumlah lembaga adopsi ini mengikuti perkembangan dari masyarakat itu sendiri, yang harus beranjak kearah kemajuan. Dengan demikian, karena tuntutan masyarakat walaupun KUH Perdata. Tidak mengatur tentang adopsi ini, maka pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk membuat aturan yang terdiri tentang adopsi ini. Karena itulah di keluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917, khususnya Pasal 5 sampai Pasal 15.7

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang bagian mutlak oleh undang-undang dimasukkan dalam bagian tentang hak mewaris menurut wasiat (testamentair erfrecht), yaitu di dalam Pasal 913, 914, 916 dan seterusnya. Suami istri menurut undang-undang mendapatkan

6 Rosmawati, Hak Mewaris Anak Angkat Menurut BW, (Majalah Al-Risalah: Volume 12 Nomor 2 Nopember 2012), hlm. 222

7Ibid., hlm. 223

(23)

bagian sama besarnya dengan bagian seorang anak sah sebagai ahli waris, tetapi dia tidak berhak atas bagian mutlak (legitieme portie), karena suami istri tidak termasuk garis lurus, baik keatas maupun kebawah seperti halnya juga saudara-saudara dari pewaris tidak berhak mendapatkan legitieme portie atau bagian mutlak.8

Secara faktual diakui bahwa pengangkatan anak telah menjadi bagian dari adat kebiasaan muslim di Indonesia dan telah merambah dalam praktik melalui lembaga peradilan agama, maka sebelum terbentuknya undang-undang yang mengatur secara khusus, pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, dimana pada Pasal 171 huruf h, secara definitif disebutkan bahwa “anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.”

Definisi anak angkat dalam kompilasi hukum Islam tersebut, jika diperbandingkan dengan definisi anak angkat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memiliki kesamaan substansi. Pasal 1 angka 9 dinyatakan bahwa “anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.”

8Suriani Ahlan Syarif, Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata), (Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 10

(24)

Dalam proses pengangkatan anak, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pengangkatan anak yang mencangkup jenis pengangkatan anak, syarat-syarat, tata cara pengangkatan anak, pengawasan pelaksanaan pengangkatan anak dan pelaporan. Hal penting yang perlu digaris bawahi bahwa pengangkatan anak harus dilakukan dengan proses hukum dengan produk penetapan pengadilan. Jika hukum berfungsi sebagai penjaga ketertiban dan sebagai rekayasa sosial, maka pengangkatan anak yang harus dilakukan melalui penetapan pengadilan tersebut merupakan kemajuan kearah penertiban praktik hukum pengangkatan anak yang hidup di tengah-tengah masyarakat, agar peristiwa pengangkatan anak itu di kemudian hari memiliki kepastian hukum baik bagi anak angkat maupun bagi orang tua angkat.

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan, sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.9 Suasana pluralistis hukum kewarisan, pada kenyataannya masih tetap mewarnai sistem dan penerapan hukum kewarisan di Indonesia.10 Seperti yang diketahui, sampai saat ini di Indonesia masih

9M. Idris Ramulyo, Suatu Perbandingan Antara Ajaran Syafi’i Dan Wasiat Wajib Di Mesir Tentang Pembagian Harta Warisan Untuk Cucu Menurut Islam, Majalah Hukum dan Pembangunan No. 2 Thn. XII Maret 1982, (Jakarta: FH UI, 1982), hlm. 154

10 Sigit Budhiarto, Perkembangan Politik Hukum Di Indonesia Dan Pengaruhnya Serta

Solusinya Terhadap Berlakunya Hukum Waris Positif,

http://sigitbudhiarto.blogspot.com/2013/05/perkembangan-politik-hukum-di-Indonesia_1089.html, (diakses terakhir tanggal 12 februari 2015)

(25)

mengenal tiga macam sistem hukum waris sebagai hukum positif, yaitu sistem hukum waris KUH Perdata, sistem hukum waris adat dan sistem hukum waris Islam. Padahal sebagai negara yang telah lama merdeka sudah pada tempatnya apabila hukum kewarisan yang berlaku di dalam masyarakat berbentuk kodifikasi dan unifikasi.11

Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, pada Pasal 49 mengenai penghapusan pilihan hukum. Adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 semakin menambah kejelasan politik hukum nasional dengan mempertegas kewenangan dari pengadilan agama, sehingga peta hukum waris positif di Indonesia dapat di interpretasikan menjadi:

a. Hukum waris perdata berlaku bagi warga negara Indonesia yang beragama non Islam baik keturunan Eropa maupun keturunan Tionghoa, menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.

b. Hukum waris adat berlaku bagi warga negara Indonesia bumiputera atau Indonesia asli yang beragama non Islam, menjadi kewenangan pengadilan negeri c. Hukum waris Islam berlaku bagi warga negara Indonesia keturunan Eropa,

keturunan timur asing Tionghoa dan timur asing lainnya, bumiputera atau Indonesia asli yang beragama Islam, menjadi kewenangan pengadilan agama.12

Wasiat merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari hukum waris.

Pengertian wasiat ialah pernyataan kehendak oleh seseorang mengenai apa yang

11M. Idris Ramulyo, Loc. Cit.

12Sigit Budhiarto, Loc. Cit.

(26)

dilakukan terhadap hartanya setelah meninggal dunia.13 Wasiat yang demikian berkaitan dengan hak kekuasaan (tanggung jawab) yang akan dijalankan setelah seseorang meninggal dunia, misal seseorang berwasiat kepada orang lain agar menolong mendidik anaknya kelak, membayar hutang atau mengembalikan barang yang pernah dipinjamnya.

Pada dasarnya wasiat merupakan kewajiban moral bagi seseorang untuk memenuhi hak orang lain atau kerabatnya, sedangkan orang tersebut tidak termasuk keluarga yang memperoleh bagian waris. Menurut Pasal 171 huruf (f) KHI, yang dimaksud dengan wasiat adalah pemberian sesuatu kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah meninggal dunia.14

KUH Perdata menyebut wasiat dengan testament (kehendak terakhir), bahwa apa yang dikehendaki seseorang akan terselenggara apabila telah meninggal dunia, dan juga dalam arti surat yang memuat tentang ketetapan hal tersebut. Sehingga testament adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, yang mana hal tersebut dapat dicabut kembali.15

Pelaksanaan wasiat antara hukum Islam dan KUH Perdata terdapat berbagai perbedaan didalamnya. Yahya Harahap mengatakan bahwa perbedaan yang timbul antara wasiat tersebut terletak pada tertulis atau tidak tertulisnya surat wasiat

13Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 104

14 Amir Hamzah dan A. Rachmad Budiono, Hukum Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Malang: IKIP, 1994), hlm. 180

15J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 180

(27)

dihadapan notaris, sedangan menurut hukum Islam dapat berbentuk lisan dan tulisan.16

Warisan adalah peninggalan benda pusaka yang memiliki nilai tawar ketika orang telah meninggal bagi ahli warisnya. Warisan kadang-kadang menjadi akar dari pertengkaran jika tidak dibagikan dengan baik dan seadil-adilnya. Apalagi orang yang meninggal memiliki saudara dan seorang anak angkat yang tidak memiliki hubungan darah. Anak angkat ini biasanya menjadi tonggak perseteruan di antara saudara- saudara orang yang meninggal. Maka dari itu, hukum kewarisan bagi anak angkat ada bagian-bagian tersendiri yang memang mengaturnya. Misalkan wasiat wajibah oleh yang mengasuhnya mengenai harta kepemilikannya bagi anak angkatnya. Namun di Indonesia wasiat wajibah ini masih terasa asing.

Wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap harus dilaksanakan, baik diucapkan atau tidak diucapkan, baik dikehendaki atau tidak dikehendaki oleh yang meninggal dunia. Jadi, pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan, ditulis, atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan pada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.17

Istilah wasiat wajibah ini sebenarnya penemuan baru abad dua puluh.

Sedangkan wasiat wajibah yang dikaitkan dengan anak atau orang tua angkat

16 Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 167

17Ahmad Junaidi, Wasiat Wajibah Pergumulan Antara Hukum Adat Dan Hukum Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 118

(28)

merupakan penemuan Indonesia. Dalam kasus lain, wasiat wajibah dimasukkan ke dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Tapi, tujuan wasiat wajibah dimasukkan ke dalam KHI adalah untuk melakukan pendekatan kompromi dengan hukum adat. Hal ini dilakukan bukan hanya sebatas pengambilan nilai-nilai hukum adat untuk diangkat dan dijadikan ketentuan hukum Islam. Pendekatan kompromi ini, termasuk juga dalam hal memadukan pengembangan nilai-nilai hukum Islam yang sudah ada sumber hukumnya dengan nilai-nilai hukum adat. Tujuannya agar ketentuan hukum Islam itu lebih dekat dengan kesadaran hidup masyarakat. Hal ini dapat dikatakan sebagai Islamisasi hukum adat sekaligus seiring dengan upaya mendekatkan hukum adat ke dalam hukum Islam.18

Istilah wasiat wajibah pertama kali diperkenalkan oleh Ibn Hazm yang menyatakan bahwa bagi tiap-tiap orang yang akan meninggal dan memiliki harta kekayaan, terutama kepada kerabat yang tidak memperoleh bagian warisan, karena kedudukan sebagai hamba, kekafirannya, atau ada hal yang menghalangi mereka dari hak kewarisan atau karena memang tidak berhak atas warisan.19 Ada beberapa hal yang menjadi tujuan pengangkatan anak yang menyebabkan timbulnya sebuah wasiat wajibah ini, antara lain yaitu untuk meneruskan keturunan manakala dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Ini merupakan motivasi yang dapat dibenarkan, dan salah satu jalan yang positif serta manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang anak dalam keluarga setelah bertahun-tahun dikaruniai anak.

18Ibid., hlm. 163

19Ibid., hlm. 1

(29)

Selain itu juga bertujuan untuk menambah jumlah anggota keluarga, dengan maksud agar si anak angkat mendapat pendidikan yang baik, untuk mempererat hubungan keluarga. Di sisi lain juga merupakan suatu kewajiban bagi orang yang mampu terhadap anak yang tidak mempunyai orang tua, sebagai misi kemanusiaan dan pengamalan ajaran agama.20

Perkembangannya pengangkatan anak ini bukan hanya sekedar pemisahan hubungan yuridis dengan orang tua kandungnya, namun pada saat ini permasalahan anak angkat sudah berkembang kepada masalah pembagian harta warisan.

Keberadaan anak angkat dalam pewarisan di Indonesia pada saat ini masih menjadi polemik yang selalu diperbincangkan, baik dalam kalangan politisi, para akademisi, dan para penegak hukum. Simpang siurnya masalah pembagian harta dan kedudukan anak angkat dalam hal mewarisi baik secara Islam maupun secara ketentuan hukum perdata di antisipasi oleh orang tua angkat dengan membuat surat wasiat wajibah dihadapan notaris untuk memberikan hartanya kepada anak angkatnya.

Perlu ditekankan bahwa dalam penelitian ini hal pokok yang akan di bahas adalah mengenai peranan notaris dalam membuat akta wasiat wajibah yang harus sesuai ketentuan undang-undang dan tidak boleh melakukan penyelundupan dan penyelewengan hukum dalam pembuatan akta wasiat wajibah bagi anak angkat tersebut, maka berdasarkan hal tersebut, penelitian ini diberi judul “Pembuatan Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat Yang Beragama Islam Di Hadapan Notaris Menurut Ketentuan Hukum Islam.”

20Ibid., hlm. 30-31

(30)

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan pertanyaan mengenai objek empirik yang akan diteliti dan jelas batas-batasnya serta dapa diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait didalamnya. Pada penelitian ini adapun yang menjadi permasalahan adalah:

1. Bagaimana kaidah dasar pemberian harta warisan melalui wasiat wajibah bagi anak angkat yang beragama Islam?

2. Bagaimana tanggung jawab notaris sebagai pembuat akta wasiat wajibah apabila terjadi sengketa mengenai bagian anak angkat yang beragama Islam?

3. Bagaimana akibat hukum jika pembagian harta warisan dengan wasiat wajibah kepada anak angkat yang beragama Islam melebihi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku?

C. Tujuan Penelitian

Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah yang bermanfaat bagi perkembangan hukum khususnya hukum yang mengatur tentang wasiat wajibah bagi anak angkat. Sesuai permasalahan yang diatas adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kaidah dasar pemberian harta warisan melalui wasiat wajibah bagi anak angkat yang beragama Islam.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis tanggung jawab notaris sebagai pembuat akta wasiat wajibah apabila terjadi sengketa mengenai bagian anak angkat yang beragama Islam.

(31)

3. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum jika pembagian harta warisan dengan wasiat wajibah kepada anak angkat yang beragama Islam melebihi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini tidak dapat dipisahkan dari tujuan penelitian yang telah diuraikan diatas, yaitu:

1. Manfaat secara teoritis dimana penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum, khususnya pengetahuan ilmu hukum waris di Indonesia. Selain itu, diharapkan juga dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat secara praktis dimana diharapkan agar penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan para pihak yang berperan serta yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan perannya dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada hak anak angkat dalam setiap proses pewarisan yang terjadi di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berjudul “Pembuatan Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat Yang Beragama Islam Di Hadapan Notaris Menurut Ketentuan Hukum Islam” adalah hasil pemikiran sendiri. Penelitian ini menurut penelusuran peneliti, belum pernah ada yang membuat. Kalaupun ada seperti beberapa judul penelitian yang diuraikan di bawah ini dapat diyakinkan bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan

(32)

demikian keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah. Pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di perpustakaan fakultas hukum universitas sumatera utara khususnya dilingkungan magister kenotariatan dan magister ilmu hukum juga telah dilakukan dan dilewati, namun ada beberapa penelitian tesis yang memiliki kemiripan dengan judul yang diangkat, antara lain:

1. Penulis : Erwansyah

Judul : Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Staatblad 1917 No. 129 (Penelitian pada Pengadilan Agama Medan).

Perumusan Masalah:

1) Bagaimana prosedur pengangkatan anak dalam Kompilasi Hukum Islam dan Staatblad 1917 No. 129?

2) Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak menurut Kompilasi Hukum Islam dan Staatblad 1917 No. 129?

3) Bagaimana kewarisan anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam dan Staatblad 1917 No. 129?

2. Penulis : Adawiyah

Judul : Perlindungan Hukum Anak Angkat Menurut Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Ditinjau Dari Hukum Islam.

Perumusan Masalah:

(33)

1) Bagaimana ketentuan hukum pengangkatan anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?

2) Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?

3) Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak angkat menurut Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 ditinjau dari Hukum Islam dalam praktik hukum di Indonesia?

3. Penulis : Rahmat Jhowanda

Judul : Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Aceh (Studi Kabupaten Aceh Barat)

Perumusan Masalah:

1) Bagaimana cara dan syarat pengangkatan anak dilihat dari kultur budaya masyarakat aceh?

2) Bagaimana hubungan hukum antara anak angkat dan orang tua kandungnya pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat?

3) Bagaimana hak mewaris dari anak angkat dalam hukum waris adat, pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.

(34)

Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.21 Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono Soekanto, dinyatakan bahwa

“keberlanjutan perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.22

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami mengenai kedudukan harta anak angkat dalam pewarisan yang dibuat melalui surat wasiat wajibah yang dimana aktanya dibuat dihadapan notaris.

Teori dalam penulisan tesis ini menggunakan teori kepastian hukum. Istilah kepastian hukum dalam tataran teori hukum tidak memiliki pengertian yang tunggal.

Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah pendapat yang berusaha menjelaskan arti dari istilah tersebut dengan argumen dan perspektif tertentu, baik dalam pengertian yang sempit maupun luas. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya dapat dijawab secara normatif, dan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara

21M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80

22Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 6

(35)

jelas dan logis. Jelas, dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan dan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma, dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.23

Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Pendapat ini dapat dikategorikan sebagai pendapat yang berpandangan legal positivism karena lebih melihat kepastian hukum dari sisi kepastian perundang-undangan. Kepastian hukum harus diindikasikan oleh adanya ketentuan peraturan yang tidak menimbulkan multitafsir terhadap formulasi gramatikal dan antinomi antar peraturan, sehingga menciptakan keadaan hukum yang tidak membawa kebingungan ketika hendak diterapkan atau ditegakkan oleh aparat penegak hukum.

Pada konsep ajaran prirotas baku mengemukakan bahwa tiga ide dasar hukum atau tiga tujuan utama hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Keadilan merupakan hal yang utama dari ketiga hal itu tetapi tidak berarti dua unsur yang lain dapat dengan serta merta diabaikan. Hukum yang baik adalah hukum yang mampu mensinergikan ketiga unsur tersebut demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.24

Keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan dalam arti yang sempit yakni kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Kemanfaatan atau finalitas

23Yance Arizona, Kepastian Hukum, http://yancearizona.wordpress.com/2008/04/13/apa-itu- kepastian-hukum/, (diakses tanggal 21 Februari 2014)

24Ali Ahmad Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.

287-288

(36)

menggambarkan isi hukum karena isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang mau dicapai oleh hukum tersebut. Kepastian hukum dimaknai dengan kondisi di mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus di taati.25

Kepastian hukum itu berkaitan dengan putusan hakim yang didasarkan pada prinsip the binding for precedent (stare decisis) dalam sistem common law dan the persuasive for precedent (yurisprudensi) dalam civil law. Putusan hakim yang mengandung kepastian hukum adalah putusan yang berisi prediktabilitas dan otoritas.

Kepastian hukum akan terjamin oleh sifat prediktabilitas dan otoritas pada putusan- putusan terdahulu.26

Hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechszekerheid) dalam pergaulan manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain, yaitu harus menjamin keadilan serta hukum tetap berguna. Dalam kedua tugas tersebut tersimpul pula tugas ketiga yaitu hukum menjaga agar masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri (eigenrichting). Berdasarkan teori hukum yang ada maka tujuan hukum yang utama adalah untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum, ketertiban dan perdamaian.27

Ahmad Ali memberikan makna yang lebih luas tentang kepastian hukum.

Ahmad Ali menjabarkan pendapatnya tentang kepastian hukum, dengan menyatakan:

Kepastian hukum selalu berkaitan dengan hal-hal seperti:

25Ibid., hlm. 162

26Ibid., hlm. 294

27Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 22

(37)

a. Adanya sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, bukan berdasarkan putusan sesaat untuk hal-hal tertentu.

b. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik.

c. Peraturan tersebut tidak berlaku surut.

d. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum.

e. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan.

f. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.

g. Tidak boleh sering diubah-ubah.

h. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.28

Teori perlindungan hukum juga digunakan dalam penulisan tesis ini. Menurut Satjipto Raharjo hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.29

Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.30 Menurut Muchsin perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang

28Ahmad Ali, Op. Cit., hlm. 294

29Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-V 2000), hlm. 53

30Setiono, Rule Of Law (Supremasi Hukum), Thesis, Magister Ilmu Hukum (Pascasarjana:

Universitas Sebelas Maret, 2004), hlm. 3

(38)

menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.31

Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subjek-subjek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.

Perlindungan hukum preventif merupakan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.32Perlindungan hukum bagi seluruh rakyat adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan pancasila. Adapun elemen dan ciri-ciri negara hukum pancasila ialah:

a. Keserasian hubungan antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas kerukunan.

b. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara.

c. Prinsip penyelesian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir.

31 Muchsin, Perlindungan Dan Kepastian Hukum Bagi Investor Di Indonesia, Thesis, Magister Ilmu Hukum (Pascasarjana: Universitas Sebelas Maret, 2003), hlm. 14

32Ibid., hlm. 20

(39)

d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Berdasarkan elemen-elemen tersebut, perlindungan hukum bagi rakyat terhadap pemerintah diarahkan kepada:33

1) Usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa atau sedapat mungkin mengurangi terjadinya sengketa, dalam hubungan ini sarana perlindungan hukum preventif patut diutamakan daripada sarana perlindungan represif.

2) Usaha-usaha untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat dengan cara musyawarah.

Penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir, peradilan hendaklah merupakan ultimum remedium dan peradilan bukan forum konfrontasi sehingga peradilan harus mencerminkan suasana damai dan tentram terutama melalui hubungan acaranya. Fungsi teori perlindungan hukum dalam penulisan tesis ini adalah untuk melindungi hak-hak anak angkat dalam harta warisan mengingat banyaknya pelaksanaan pemberian harta warisan tidak sesuai dengan ketentuan UU Perkawinan dan KHI. Selain itu dalam hal lebihnya bagian anak angkat seringkali menjadi persengketaan dimana anak angkat digugat oleh anak kandung dari pewaris dikarenakan isi dari suatu wasiat wajibah yang dibuat lebih banyak memuat bagian anak angkat, yang berujung pada persengketaan antara anak angkat dan anak kandung pewaris, sehingga dalam hal ini diperlukanlah perlindungan hukum.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan

33 Teori Perlindungan Hukum, http://anamencoba.blogspot.com/2011/04/teori-perlindungan- hukum-dalam-melihat.html, (terakhir diakses tanggal 14 Mei 2014)

(40)

kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang di generalisasi dari hal-hal khusus yang disebut defenisi operasional.34 Maka dalam penelitian ini disusun berberapa defenisi operasional dari konsep-konsep yang akan digunakan agar tidak terjadi perbedaan pengertian yakni:

a. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

b. Orang tua adalah ayah dan atau ibu seorang anak, baik melalui hubungan biologis maupun sosial. Umumnya, orang tua memiliki peranan yang sangat penting dalam membesarkan anak, dan panggilan ibu atau ayah dapat diberikan untuk perempuan atau pria yang bukan orang tua kandung (biologis) dari seseorang yang mengisi peranan ini.

c. Orang tua angkat adalah seorang suami atau istri yang ingin memiliki anak dari orang lain yang disahkan melalui putusan pengadilan dikarenakan suami atau istri tersebut tidak ada keturunan. Orang tua angkat berkewajiban memelihara, merawat, memberikan pendidikan yang baik, dan memenuhi setiap kebutuhan perkembangan anak.

d. Pengangkatan anak menurut hukum adalah pengalihan anak terhadap orang tua angkat dari orang tua kandung secara keseluruhan dan dilakukan menurut hukum

34Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1998), hlm. 3

(41)

Islam agar sah. Jadi orang tua kandung sudah lepas tangan terhadap anak itu, dan tanggung jawab beralih kepada orang yang mengangkatnya.

e. Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam sebuah keluarga, dimana hukum keluarga diatur dalam Buku I Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.

f. Notaris adalah Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaiman dimaksud dalam undang-undang.

g. Ahli waris merupakan orang yang menerima harta warisan dari pewaris, dimana ketentuan mengenai ahli waris dalam hukum waris adat, hukum waris perdata, dan hukum waris Islam memiliki konsep yang berbeda.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian dalam pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya, jangka waktu, cara-cara yang dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam proses penelitian. Penelitian harus dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan konsisten. Metodelogis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan pada suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.35

Berdasarkan perumusan masalah dalam menyusun penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif atau doktriner.

35Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 42

(42)

Penelitian hukum normatif atau doktriner yaitu metode penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder atau dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.36 Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).

Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis. Penelitian deskriptif analitis yakni suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Penelitian deskriptif analitis merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung kemudian dianalisis dan dilakukan pengambilan kesimpulan.37

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan adalah penggunaan cara atau metode pendekatan apa yang akan diterapkan dalam penelitian yang akan dilakukan. Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan, yaitu penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan

36Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 13

37Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 35

(43)

undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang- undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.38

Metode pendekatan ini digunakan dengan mengingat permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan perundang-undangan dalam hal hubungan antara yang satu dengan yang lainnya serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek.

3. Sumber Data

Pada penelitian hukum normatif data yang dipergunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang bertujuan untuk mendapatkan konsep, teori dan informasi serta pemikiran konseptual.39Data sekunder yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini diantaranya Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.

b. Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan bacaan yang relevan seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran karya tulis ilmiah, beberapa sumber internet yang berkaitan dengan materi yang diteliti.

38Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 93

39 Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya:

Bayumedia, 2006), hlm. 192

(44)

c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi tentang konsep-konsep dan keterangan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensklopedia dan sebagainya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library reseacrh). Studi kepustakaan (library reseacrh) adalah serangkaian usaha untuk memperoleh data melalui membaca, menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi dokumen. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.40

5. Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori- kategori atas dasar pengertian-pengertian dari sistem hukum tersebut. Data yang telah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan analisis data kualitatif, yaitu:

40 Edy Ikhsan, Mahmul Siregar, Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), 2009, hlm. 24

(45)

a. Mengumpulkan bahan hukum, berupa inventarisasi peraturan perundang- undangan yang terkait dengan pembuatan wasiat wajibah bagi anak angkat yang beragama Islam.

b. Memilih bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya melakukan sistematisasi bahan hukum sesuai dengan permasalahan.

c. Menemukan hubungan konsep, asas dan kaidah tersebut dengan menggunakan teori sebagai pisau analisis.

d. Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkannya untuk menemukan kaidah, asas dan konsep yang terkandung di dalam bahan hukum tersebut.41

Penarikan kesimpulan untuk menjawab permasalahan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan hubungan-hubungan konsep, asas dan kaidah yang terkait sehingga memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penulisan yang dirumuskan.42

41Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 225

42Lexi J Moelong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rosda Karya, 2008), hlm. 48

(46)

31

A. Kedudukan Dan Status Anak Angkat Dalam Pandangan Hukum Islam Pengangkatan anak dewasa ini sering dilakukan oleh berbagai kalangan dalam masyarakat. Seseorang dalam mengangkat anak pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai karena pada dasarnya banyak faktor yang mendukung seseorang melakukan pengangkatan anak, namun lazimnya latar belakang pengangkatan anak dilakukan oleh orang yang tidak diberi keturunan. Pengangkatan anak dilakukan guna memenuhi keinginan manusia untuk menyalurkan kasih sayangnya kepada anak yang dirasakan akan merupakan kelanjutan hidupnya.43

Pengangkatan anak yang dilakukan oleh suatu keluaga untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam suatu lingkungan keluarga yang tidak mempunyai anak kandung. Selain itu maksud dari pengangkatan anak disini adalah untuk mempertahankan ikatan perkawinan sehingga tidak timbul perceraian tetapi saat ini dengan adanya perkembangan motivasi dari pengangkatan anak kini telah berubah yakni demi kesejahteraan anak yang diangkat.

Pada hakikatnya Islam mendukung adanya usaha perlindungan anak yang salah satu caranya adalah dengan melakukan pengangkatan anak. Adapun pengangkatan anak yang diperbolehkan dalam Islam tentu saja yang memiliki arti

43 Ahmad Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam, (Bandung: Al- Maa’rif, 1972), hlm. 19

(47)

mengangkat anak semata-mata karena ingin membantu dalam hal mensejahterakan anak tersebut dan juga memberikan perlindungan tanpa menjadikannya sebagai anak kandung.

Islam menganjurkan agar umat manusia dapat saling tolong menolong terhadap sesama manusia. Pengangkatan anak atau disebut juga adopsi merupakan salah satu cara untuk menolong sesama manusia, karena adopsi dengan pengertian mengangkat anak orang orang lain untuk diperlakukan sebagai anak sendiri tanpa mengubah status anak tersebut menjadi anak kandung adalah adopsi yang diperbolehkan dalam Islam, dan hal itu merupakan perbuatan yang sangat mulia.

Selanjutnya yang perlu diperhatikan dalam pengangkatan anak adalah posisi anak angkat dalam keluarga tidak sama dengan anak kandung. Maka dari itu tidak ada hubungan khusus antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat mengenai masalah keperdataan seperti perwalian dan kewarisan. Apabila melihat kembali kepada tujuan dari pengangkatan anak tersebut, maka pengangkatan anak dilakukan atas dasar tolong menolong sesama manusia.

Dalam hal pengangkatan anak, orang tua angkat harus mengetahui apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Untuk menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan, Islam mengatur tentang syarat-syarat pengangkatan anak tersebut.

Adapun syarat-syarat pengangkatan anak yang sesuai dengan hukum Islam adalah sebagai berikut:44

44Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 54

(48)

1. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandung dan keluarganya.

2. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat, melainkan tetap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari anak angkatnya.

3. Hubungan kehartabendaan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya hanya diperbolehkan dalam hubungan wasiat dan hibah.

4. Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung kecuali sekedar sebagai tanda pengenal atau alamat.

5. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkatnya.

6. Antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat seharusnya sama-sama orang yang beragama Islam, agar sianak tetap pada agama yang dianutnya.

Yusuf Qardawi berpendapat bahwasannya adopsi dapat dibenarkan apabila seseorang yang melaksanakannya tidak mempunyai keluarga, lalu ia bermaksud untuk memelihara anak tersebut dengan memberikannya perlindungan, pendidikan, kasih sayang, mencukupi kebutuhan sandang dan pangan layaknya anak kandung sendiri. Adapun dalam hal nasab, anak tersebut nasabnya tetap pada ayah kandungnya karena antara anak angkat dengan orang tua angkat tidak ada sama sekali hubungan nasab yang dapat mempunyai hak seperti anak kandung.45

45Yusuf Qardhawi, Halal Dan Haram Dalam Islam, (Surakarta: Era Intermedia, 2005), hlm.

319

(49)

Motivasi pengangkatan anak dalam Islam adalah lebih kepada memberikan perlakuan dan menyalurkan rasa kecintaan serta kasih sayang kepada anak, pemberian nafkah, pendidikan, dan pelayanan segala kebutuhan, bukan memperlakukannya sebagai anak kandungnya sendiri dengan segala konsekuensi hukumnya. Islam mengarahkan kepada manusia agar selalu peduli kepada sesama, karena sikap peduli sesama merupakan suatu hal yang memang harus selalu diamalkan, terlebih lagi terhadap anak-anak terlantar dan anak yatim. Islam juga mengajarkan umatnya untuk selalu menyantuni dan memelihara anak-anak yang tidak mampu, miskin, terlantar, dimana perbuatan penyantunan dan pemeliharaan anak- anak tersebut tidak sampai pada pemutusan hubungan keluarga dan hak-hak orang tua kandungnya dan pemeliharaan tersebut harus didasarkan pada penyantunan semata.46

Berbeda dengan pengangkatan anak menurut hukum Islam dimana terdapat syarat-syarat pengangkatan anak dalam Islam, dikemukakan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandung, dan anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat, tetapi ahli waris dari orang tua kandung, demikian juga sebaliknya, orang tua angkat tidak menjadi ahli waris dari anak angkat. Selanjutnya, anak angkat tidak diperkenankan memakai nama orang tua angkatnya secara langsung sebagai tanda pengenal atau alamatnya, dan juga orang tua kandung tidak bertindak sebagai wali dalam perkawinan anak angkatnya.47

46Muderis Zaini, Op. Cit., hlm. 50

47Ibid., hlm. 54

(50)

Tujuan pengangkatan anak antara lain untuk meneruskan keturunan manakala dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan, dimana hal ini merupakan motivasi yang dapat dibenarkan, dan salah satu jalan keluar yang positif dan manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang anak dalam keluarga setelah bertahun- tahun belum dikaruniai anak. Selain itu juga bertujuan untuk menambah jumlah keluarga, dengan maksud agar si anak angkat mendapat pendidikan yang baik, atau untuk mempererat hubungan keluarga. Sisi lain juga merupakan suatu kewajiban bagi orang yang mampu terhadap anak yang tidak mempunyai orang tua, sebagai misi kemanusiaan dan pengamalan ajaran agama.48

Sebelum ajaran Islam datang, pengangkatan anak telah banyak ditemui dikalangan bangsa Arab. Pengangkatan anak ini diartikan sebagai pengangkatan anak orang lain dengan status seperti anak kandung. Menurut sejarah, Nabi Muhammad sendiri sebelum menerima kerasulan mempunyai seorang anak angkat bernama Zaid Bin Haristah dalam status budak hadiah dari Khadijah Bin Khuwailid. Kemudian Nabi memerdekakannya dan diangkat menjadi anak angkat, dan namanya diganti dengan Zaid Bin Muhammad, dimana di hadapan kaum Quraisy Nabi Muhammad berkata, “saksikanlah olehmu bahwa anak ini kuangkat menjadi anak angkatku, dan ia mewarisiku dan aku mewarisinya.” Mengenai pengangkatan anak (tabanni) hanyalah merupakan salah satu pengabdian kepada Allah tentang adanya karunia Allah yang telah memberikan anugerah yang begitu banyak. Sehingga pengangkatan anak itupun tidak dimaksudkan untuk menjadi ahli waris.

48Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997), hlm. 31

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini di- lakukan dengan menggabungkan antara model matematik heuristik permintaan dinamis Pujawan dan Silver [5] dan model matematik sistem rantai

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh sedimentasi terhadap pertumbuhan Gracilaria sp.peneltian dilakukan bulan Juni sampai Desember 2005 Metode

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi keragaman genetik RTBV dari tiga daerah endemis virus tungro di Indonesia berdasarkan sekuen basa nukleotida dan

Dari proses pengujian inilah yang diketahui menjadi iterasi (perulangan) setiap ada perbaikan terhadap sistem dan atau program yang dibuat untuk mendapatkan hasil yang sesuai

Guru menyiapkan media gambar yang berkaitan dengan tema agar tujuan pembelajaran dapat tercapaib. (Select Method, Media, And Material)

Memotret bayi dan anak kecil pada dasarnya tidak bisa dengan paksaan, namun membutuhkan pendekatan khusus, antara lain pendekatan emosional dengan mengakrabkan diri ke mereka, atau

d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah

Penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab