• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 312011605 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 312011605 BAB III"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

23

BAB III

PEMBAHASAN

1.1 Kriteria Kejahatan Dalam Lingkup Yurisdiksi Universal

Karena sifat dari yurisdiksi universal yang tidak mengenal batas teritorial,

nasionalitas, dan kepentingan nasional suatu negara, maka dibutuhkan pembatasan

terhadap pemberlakuan suatu tindakan berdasarkan prinsip yurisdiksi universal.

Penggunaan prinsip yurisdiksi universal yang tidak dibatasi dan tidak bertanggung

jawab dapat menyebabkan kekacauan dalam tatanan hukum internasional karena

setiap negara dapat memperluas yurisdiksinya terhadap negara lain dengan dalil

penggunaan asas yurisdiksi universal.

Saat ini lingkup tindak pidana yang masuk dalam yurisdiksi universal adalah

serious crimes under international law yang terdiri dari (1) piracy (2) slavery (3)

war crimes (4) crimes against peace (5) crimes against humanity (6) genocide dan

(7) torture.1 Tidak menutup kemungkinan bahwa di kemudian hari yurisdiksi

universal juga akan mencakup perdagangan manusia, penyelundupan nuklir, dan

kejahatan-kejahatan transnasional lainnya.2 Ada juga beberapa instrumen hukum

yang juga memasukkan beberapa tindak pidana yang tunduk pada asas yurisdiksi

universal seperti contohnya Restatement (Third) of the Foreign Relations Law of

United States ysng menyebutkan yurisdiksi universal diberlakukan terhadap piracy,

perdagangan budak, attack or hijacking aircraft, genocide, war crimes dan

1 Princeton University, Princeton Project on Universal Jurisdiction,2001, hal. 29.

2 Anthony J Colangelo, Legal Limits of Universal Jurisdiction, Virginia Journal of International Law,

(2)

24

terrorism.3 ICTY (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dan

ICTR (International Criminal Tribunal for the former Rwanda) sebagai tribunal

internasional walaupun tidak menyatakan secara jelas pemberlakuan asas yurisdiksi

universal tetapi dalam prakteknya sudah terlihat sangat jelas bahwa ICTY dan ICTR

menggunakan asas yurisdiksi universal seperti halnya Pengadilan Nuremberg.

ICTY dan ICTR memasukkan genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan

perang dalam cakupan yurisdiksinya.

Pada tahun 2001, beberapa ahli hukum baik dari kalangan akademisi maupun

praktisi membentuk Princeton Principle4 yang menyatakan ruang lingkup apa saja

yang tunduk dalam yurisdiksi universal. Sampai saat ini tujuh tindak pidana yang

dinyatakan dalam Princeton Principle masih dianggap oleh dunia internasional

sebagai kejahatan internasional yang sangat serius oleh komunitas internasional.

Princeton Principle karena dibentuk oleh para ahli hukum dan praktisi hukum

internasional menjadikannya sebagai doktrin dalam hukum internasional. Hal ini

menegaskan otoritas Princeton Principle sebagai sumber hukum internasional

walaupun wewenangnya tidak sekuat konvensi-konvensi atau perjanjian

internasional.

Eksistensi yurisdiksi universal dalam perkembangannya di bagi dalam dua

bagian yaitu yurisdiksi universal tradisional yang mencakup pembajakan di laut

lepas dan perbudakan, dan yurisdiksi universal modern yang mencakup kejahatan

internasional seperti kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida,

3 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar,Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2014, hal. 247.

,

(3)

25

dan lain-lain. Yurisdiksi universal tradisional menjadi titik awal lahirnya yurisdiksi

universal modern pada masa ini karena konsep yurisdiksi universal dibentuk pada

masa penerapan yurisdiksi universal tradisional.

A. Yurisdiksi Universal Tradisional

Yurisdiksi universal tradisional mencakup dua kejahatan pada masa awal

diberlakukannya yaitu :

a. Pembajakan (Piracy)

Masalah pembajakan dalam hukum internasional pada masa ini diatur dalam

UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea). Pasal 101 UNCLOS

mendefinisikan pembajakan sebagai berikut :

Piracy consists of any of the following acts:

(a) any illegal acts of violence or detention, or any act of depredation,

committed for private ends by the crew or the passengers of a private ship or

a private aircraft, and directed:

(i) on the high seas, against another ship or aircraft, or against

persons or property on board such ship or aircraft;

(ii) against a ship, aircraft, persons or property in a place outside the

jurisdiction of any State;

(b) any act of voluntary participation in the operation of a ship or of an aircraft

with knowledge of facts making it a pirate ship or aircraft;

(c) any act of inciting or of intentionally facilitating an act described in

(4)

26

Pembajakan merupakan tindak pidana pertama yang tunduk dalam yurisdiksi

universal. Bahkan dapat dikatakan bahwa prinsip yurisdiksi universal lahir pertama

kali disebabkan karena adanya keinginan dari negara-negara untuk menindak

kejahatan pembajakan yang dilakukan di laut lepas. Pembajakan telah menjadi

masalah bagi komunitas internasional sejak abad ke 10, dan negara-negara telah

menggunakan prinsip yurisdiksi universal sejak saat itu untuk menindak pelaku

pembajakan.5

Pada masa ini seperti yang telah dikatakan di atas bahwa pembajakan dan

segala peraturannya telah dikodifikasikan di bawah hukum internasional dalam

UNCLOS. UNCLOS masih menganut prinsip yurisdiksi universal yang terlihat

dalam pasal 100 yang menyatakan “All States shall co-operate to the fullest extent

in the repression of piracy on the high seas or in any other place outside the

jurisdiction of any State.” Pasal ini mewajibkan seluruh negara anggota UNCLOS

untuk mencegah pembajakan di laut lepas tanpa terkecuali. Selain itu pasal 110

(right of visit) mengizinkan kapal suatu negara dari negara manapun untuk

mendekati kapal yang dicurigai sebagai kapal pembajak atau perompak. Pasal 105

UNCLOS memberikan izin bagi semua negara untuk menangkap dan menahan

perompak. Pasal 105 berbunyi:

On the high seas, or in any other place outside the jurisdiction of any State, every State may seize a pirate ship or aircraft, or a ship or aircraft taken by piracy and under the control of pirates, and arrest the persons and seize the property on board. The courts of the State which carried out the seizure may decide upon the penalties to be imposed, and may also determine the action to be

5 A esty I ter atio al, Chapter T o: The History of U i ersal Jurisdictio i Universal

(5)

27

taken with regard to the ships, aircraft or property, subject to the rights of third parties acting in good faith.

Pasal-pasal yang disebutkan di atas merepresentasikan pembajakan sebagai

kejahatan internasional yang tunduk dalam yurisdiksi universal. Argumen untuk

menggunakan yurisdiksi universal untuk kejahatan-kejahatan internasional modern

seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan lahir dari

prinsip yurisdiksi universal terhadap pembajakan di laut lepas sehingga sering

dikatakan sebagai "piracy-analogy".

b. Perbudakan (Slavery)

Definisi perbudakan menurut Slavery Convention6 adalah

Slavery is the status or condition of a person over whom any or all of the powers attaching to the right of ownership are exercised. The slave trade includes all acts involved in the capture, acquisition or disposal of a person with intent to reduce him to slavery; all acts involved in the acquisition of a slave with a view to selling or exchanging him; all acts of disposal by sale or exchange of a slave acquired with a view to being sold or exchanged, and, in general, every act of trade or transport in slaves

Perbudakan tidak jauh berbeda dengan pembajakan dalam sejarahnya hingga

perbudakan dianggap oleh negara-negara harus juga ikut tunduk dalam yurisdiksi

universal. Hal ini disebabkan karena perdagangan budak banyak sekali dilakukan

di laut lepas di luar yurisdiksi suatu negara.7 Beberapa negara sudah

mengundangkan bahwa perbudakan masuk dalam lingkup yurisdiksi universal

6 Slavery Convention, diamandemen dengan Protocol Amending the Slavery Convention, 7

Desember 1953.

(6)

28

seperti Amerika Serikat dalam Restatement (Third) of the Foreign Relations Law

of United States pasal 404 mengatakan "A state has jurisdiction to define and

prescribe punishment for certain offenses recognized by the community of nations

as of universal concern, such as piracy, slave trade, attacks on or hijacking of

aircraft, genocide, war crimes, and perhaps certain acts of terrorism, even where

none of the bases of jurisdiction indicated in article 402 is present". Negara-negara

lain seperti Yunani, Selandia Baru, Nikaragua, dan Vanuatu juga sudah

mengundangkan bahwa perbudakan dapat diadili di bawah prinsip yurisdiksi

universal.8

Pada tahun 1928, beberapa negara di benua Amerika membentuk Final Act

of the Sixth International Conference of American States9, yang di dalamnya juga membahas tentang perbudakan. Artikel nomor 308 menyebutkan “Piracy, trade in

Negroes and slave traffic, white slavery, the destruction or injury to submarine

cables, and all other offences of a similar nature against international law

committed on the high sea, in the open air, and on the territory not yet organized

into a State, shall be punished by the captor in accordance with the penal laws of

the latter.” Artikel 308 menyebutkan bahwa pelaku tindak pidana yang disebutkan

dalam artikel tersebut dapat dihukum oleh siapa pun penangkapnya tanpa

menjelaskan tentang tempat tindak pidana atau nasionalitas pelaku tindak

kejahatan. Dalam UNCLOS juga sedikit disinggung tentang perbudakan yaitu pada

artikel 110.

8Ibid.

9 Convention on Private International Law , Final Act of the Sixth International Conference of

(7)

29

B. Yurisdiksi Universal Modern

Setelah perang dunia kedua berakhir, IMT (International Military Tribunal)

dan peradilan Nuremberg lainnya menjadi titik fundamental lahirnya yurisdiksi

universal modern yang mencakup kejahatan perang, genosida, dan kejahatan

terhadap kemanusiaan. Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly)

mengakui bahwa peradilan Nuremberg merupakan fondasi dari eksistensi

yurisdiksi universal modern saat ini yang mencakup kejahatan perang, genosida,

kejahatan terhadap kemanusiaan, dan lain-lain.10 Jika mengacu pada Princeton

Principles, maka yurisdiksi universal modern mencakup :

a. Kejahatan Perang, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, dan Kejahatan Terhadap

Perdamaian (War Crimes, Crimes Againts Humanity, and Crimes Againts

Peace)

Pada musim panas 1945, empat negara pemenang Perang Dunia II yaitu

Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan Uni Soviet mengadakan konferensi di

London untuk memutuskan dengan cara apa mereka bisa menghukum petinggi

Nazi, pelaku kejahatan perang.11 Dari konferensi tersebut dilahirkan London

Agreement12 yang di dalamnya dimuat juga Statute of Nuremberg, sebagai dasar

hukum pelaksanaan pengadilan internasional tersebut. Hal paling penting dan

berarti dari statuta tersebut adalah dimasukkannya dua kejahatan substantif yang

10 G.A. Resolution on Nuremberg Principles, G.A. Res. 95, 11 December 1946.

11 Yustina T.N Dewi, Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hal.138.

12 The Agreement for the Prosecution and Punishment of Major War Criminals of the European Axis,

(8)

30

belum pernah dinyatakan dalam hukum internasional sebelumnya yaitu kejahatan

terhadap perdamaian (crimes againts peace) dan kejahatan terhadap kemanusiaan

(crimes againts humanity).13 Pengadilan Internasional Nuremberg harus diakui

telah menciptakan preseden baru dalam hukum internasional. Pengadilan

Internasional Nuremberg memberikan terobosan yang sangat besar terhadap

eksistensi yurisdiksi universal dalam hukum internasional untuk mengadili

penjahat-penjahat kejahatan internasional yang serius. Pengadilan Internasional

Nuremberg juga menyimpulkan bahwa asas "nullum crime sine lege" tidak

merupakan suatu pembatasan kedaulatan (limitation of sovereignity), tetapi secara

umum merupakan suatu asas keadilan (a principle of justice). 14 Hakim-hakim

dalam Pengadilan Internasional Nuremberg berpendapat bahwa melanggar asas

legalitas untuk mengadili seseorang memang tidak adil, tetapi membiarkan orang

yang bersalah untuk tidak dipidana merupakan hal yang lebih tidak adil. Pengadilan

Internasional Nuremberg menolak doktrin kedaulatan negara yang melindungi

individual terhadap pertanggungjawaban pidana.15 Data empiris menunjukkan

bahwa Pengadilan Internasional Nuremberg telah menciptakan konsep crimes

againts humanity dan menyingkirkan imunitas kedaulatan , di samping menerapkan

retroactive justice yang kontroversial.16 Walaupun Pengadilan Internasional

Nuremberg tidak menyatakan secara jelas bahwa yurisdiksinya adalah yurisdiksi

universal, tetapi dari prakteknya dapat dilihat bahwa Pengadilan Internasional

13Op Cit.

14Ibid.

15Ibid.

(9)

31

Nuremberg menggunakan prinsip yurisdiksi universal untuk mengadili para pelaku

kejahatan perang. Dapat dilihat dari komposisi negara asal hakim yang mengadili,

dalam Pengadilan Internasional Nuremberg, hakim-hakim berasal dari negara

Amerika Serikat, Prancis, Inggris, dan Rusia. Negara-negara asal para hakim tidak

ada hubungannya dengan pelaku kejahatan yang berkewarganegaraan Jerman, tidak

juga mempunyai hubungan terhadap lokasi kejahatan, dan tidak juga memiliki

hubungan terhadap korban karena korban dari pelaku kejahatan tersebut adalah

kaum yahudi.

Perlu diperjelas dalam pengertian kejahatan perang dan cakupan kejahatan

apa saja yang masuk dalam kualifikasi kejahatan perang agar tidak menyebabkan

kebingungan dalam aplikasinya. Dalam London Agreement, kejahatan perang

diklasifikasikan dalam dua kejahatan yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan

kejahatan terhadap perdamaian. Pengadilan Internasional Nuremberg

mengklasifikasikan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai murder,

extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed

against any civilian population, before or during the war, or persecutions on

political, racial or religious grounds in execution of or in connection with any crime

within the jurisdiction of the Tribunal, whether or not in violation of the domestic

law of the country where perpetrated.17 Dalam statuta Roma pasal 7 mendefinisikan

kejahatan kemanusiaan sebagai salah satu dari perbuatan berikut ini yang apabila

dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan

kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu:

(10)

32

a) Pembunuhan

b) Pemusnahan

c) Perbudakan

d) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk

e) Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan

melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional

f) Penyiksaan

g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi,

penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk

kekerasan seksual lain yang cukup berat;

h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi

atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya,

agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar

lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan

berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan

setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap

kejahatan yang berada dalam yurisdiksi Mahkamah

i) Penghilangan paksa

j) Kejahatan apartheid

k) Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara

sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap

(11)

33

Pengertian sistematik dan meluas sendiri didefinisikan menurut M. Cherif

Bassiouni berarti adanya kebijakan atau tindakan negara untuk aparat negara dan

kebijakan organisasi untuk pelaku di luar negara. Sedangkan istilah meluas juga

merujuk pada istilah sistematik. Hal ini untuk membedakan tindakan yang bersifat

meluas tetapi korban atau targetnya bersifat acak.18 Sedangkan kejahatan terhadap

perdamaian disebut juga dengan kejahatan agresi. Agresi dianggap oleh komunitas

internasional sebagai tindakan yang menimbulkan konflik antar negara dan

merusak perdamaian dalam dunia internasional. Hal ini dibuktikan dalam London

Agreement paragraf a pasal 6 yang menyebutkan “Crimes against Peace: namely,

planning, preparation, initiation or waging of wars of aggression, or a war in

violation of international treaties, agreements orassurances, or participation in a

common plan or conspiracy for the accomplishment of any of the foregoing”.

Kejahatan agresi (crime of aggression) yang dianggap sebagai kejahatan terhadap

perdamaian (crime against peace) tentu terkait erat dengan hak atas perdamaian

suatu Negara (right to peace), dan juga hak untuk mempertahankan diri (self

defense rights) atas kedaulatan suatu negara. Piagam PBB juga memproklamirkan

perdamaian dan keamanan sebagai nilai-nilai tertinggi yang patut dihargai. Dalam

pembukaan Piagam PBB disebutkan bahwa untuk menghindarkan terjadinya

bencana perang, PBB akan menerapkan toleransi dan hidup bersama dalam

perdamaian satu bangsa dengan bangsa yang lain sesuai asas bertetangga yang baik

(good neighboard). Pada prinsipnya PBB melarang anggotanya melakukan perang

(12)

34

terhadap Negara lain.19 Selain itu Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi

Majelis Umum PBB nomor 2625 tahun 1970, tentang asas hukum internasional

disebutkan bahwa setiap Negara tidak boleh melakukan ancaman agresi terhadap

keutuhan wilayah dan kemerdekaan Negara lain. Dalam asas ini ditekankan bahwa

setiap negara tidak boleh memberikan ancaman dengan kekuatan militer dan tidak

boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan piagam PBB.20 Dari penjelasan

di atas dapat dibuktikan bahwa yang dimaksud dengan kejahatan terhadap

perdamaian adalah kejahatan agresi.

Kejahatan perang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan

terhadap perdamaian yang dicetuskan oleh Pengadilan Internasional Nuremberg

mulai mendapatkan pengakuan dari dunia Internasional untuk dapat diadili dengan

asas yurisdiksi universal setelah Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang

mengakui bahwa Pengadilan Internasional Nuremberg yang menggunakan asas

yurisdiksi universal dalam peradilannya dapat diterima.21 Majelis Umum PBB

dalam resolusinya menyatakan ͆ ... the right to punish war crimes is not confijined

to the state whose nationals have sufffered or on whose territory the offfence took

place but is possessed by any independent state whatsoever, just as is the right to

punish offfences of piracy.͇ Resolusi PBB walaupun sifatnya yang tidak mengikat,

tetapi dalam banyak kesempatan dijadikan sebagai opinio juris atau dianggap

19Preambule of Charter of the United Nations, San Francisco 1945.

20 Point (a) UN General Assembly Resolution 2625 (xxv). Declaration on Principles of International

Law Friendly Relations and Co-Operation Among States in Accordance with the Charter of the United Nations.

(13)

35

sebagai hukum kebiasaan internasional yang juga merupakan sumber hukum

internasional. Setelah diakui oleh PBB, digunakannya yurisdiksi universal dalam

mengadili tindak pidana kejahatan perang mulai mendapatkan dasar hukumnya

dalam Konvensi Jenewa tahun 1949. Dalam pasal 49 dan pasal 130 Konvensi

Jenewa menyebutkan “Each High Contracting Party shall be under the obligation

to search for persons alleged to have committed, or to have ordered to be

committed, [certain] grave breaches [of the Convention], and shall bring such

persons, regardless of their nationality, before its own courts. It may also, if it

prefers, and in accordance with the provisions of its own legislation, hand such

persons over for trial to another High Contracting Party concerned . . .” Prinsip

yurisdiksi universal sangat terlihat dalam konvensi tersebut karena konvensi

Jenewa mewajibkan negara-negara pesertanya untuk mencari dan mengadili pelaku

kejahatan di hadapan pengadilan negara peserta mana pun tanpa memperhatikan

nasionalitas pelaku. Konvensi Jenewa menggunakan asas aut dedere aut judicare,

yang berarti berarti bahwa setiap negara berkewajiban menuntut dan mengadili

pelaku kejahatan internasional serta berkewajiban melakukan kerjasama dengan

negara lain dalam rangka menahan, menuntut, dan mengadili pelaku kejahatan

internasional.22 Asas ini juga yang memberikan fondasi bagi diterapkannya prinsip

yurisdiksi universal dalam komunitas internasional.

Setelah Pengadilan Internasional Nuremberg membentuk preseden baru

terhadap penggunaan asas yurisdiksi universal untuk mengadili, peradilan suatu

22 Yana Shy Kraytman, "Universal Jurisdiction-Historical Root and Modern Implication," Brussels

(14)

36

negara yang pertama kali menggunakan asas yurisdiksi universal dalam prakteknya

adalah Israel yang mengadili Eichmann pada tahun 1962. Dalam prosesnya, tidak

ada negara yang memiliki yurisdiksi sebenarnya terhadap Eichmann yaitu Jerman

dan Austria yang melancarkan protes atas pengadilan terhadap Eichmann yang

menggunakan prinsip yurisdiksi universal tersebut.23 Sejak itu, prinsip yurisdiksi

universal digunakan dalam beberapa praktek peradilan beberapa negara di dunia

yang akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini.

Kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan agresi pada

perkembangannya dipisahkan dari kejahatan perang, sehingga kejahatan terhadap

kemanusiaan dan kejahatan agresi menjadi kejahatan internasional serius yang tidak

hanya dianggap kejahatan dalam situasi perang. Hal ini terlihat dalam batasan

yurisdiksi yang dimiliki oleh ICC. Pasal 5 statuta Roma mengatakan " “the

jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious crimes of concern to

the international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance

with this Statute with respect to the following crimes: (a) The crime of genocide;

(b) Crimes against humanity; (c) War crimes; (d) The crime of aggression.”

b. Genosida (Genocide)

Pasal 2 Konvensi Genosida tahun 1948 mengklasifikasikan perbuatan

genosida sebagai berikut : “In the present Convention, genocide means any of the

following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national,

(15)

37

ethnical, racial or religious group, as such killing member of the group, causing

serious bodily or mental harm to members of the group, deliberately inflicting on

the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in

whole or in part, imposing measures intended to prevent births within the group,

Forcibly transferring children of the group to another group."24

Konvensi Genosida saat ini sudah diratifikasi oleh banyak negara yang

merefleksikan Konvensi Genosida dapat dijadikan sebagai sumber hukum

kebiasaan internasional (international customary law). Sampai pada tahun 2001,

sudah ada 132 negara yang meratifikasi konvensi Genosida. Kejahatan Genosida

dianggap masyarakat internasional sebagai jus cogens dan erga omnes setelah

mendapat pengakuan dari peradilan-peradilan internasional dan dipakai juga dalam

praktek peradilan internasional seperti ICTY dan ICTR. Pada tahun 1951,

International Court of Justice (ICJ) mengeluarkan opini terkait dengan Konvensi

Genosida. ICJ mengatakan bahwa “the principles underlying the Convention are

principles which are recognized by civilized nations as binding on States, even

without any conventional obligation and the universal character both of the

condemnation of genocide and of the co-operation required ‘in order to liberate

mankind from such an odious scourge."25 Lebih jauh lagi, ICJ memasukkan

24Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide , 9 Desember 1948,

art.3.

25Reservations to the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide,

(16)

38

genosida sebagai kejahatan erga omnes. Kejahatan erga omnes menurut Akehurst

adalah26 :

erga omnes are concerned with the enforceability of norms of international law, the violation of which is deemed to be an offence notonly against the state directly affected by the breach, but also against all members of the international community.

Istilah erga omnes dalam hukum internasional digunakan sebagai istilah yang

menunjukan sebuah kewajiban hukum yang dimiliki oleh negara terhadap

masyarakat negara secara keseluruhan. Pelanggaran terhadap kewajiban tersebut

menjadi perhatian tidak hanya negara korban, tetapi juga kepada semua anggota

lain dari komunitas internasional. Asas erga omnes mendukung pandangan bahwa

negara mana pun di dunia dapat mengadili pelaku kejahatan genosida dengan

prinsip yurisdiksi universal ketika suatu negara yang memeiliki yurisdiksi nasional

terhadap pelaku tidak mempunyai keinginan atau tidak mampu untuk mengadili

pelaku kejahatan tersebut.27

Hingga saat ini sudah ada beberapa praktek peradilan yang menyangkut

tentang kejahatan genosida yang menggunakan prinsip yurisdiksi universal.

Contohnya adalah dalam kasus Pinochet yang diadili oleh Pengadilan Inggris. Salah

satu hakim dalam pengadilan tersebut mengatakan " The struggle against impunity

of persons responsible for crimes under international law is, therefore, a

26 Peter Malanezuk, Akehurst‟s Modern Introduction to International Law, Routledge, New York, 1997, hal. 58.

27 Amnesty International, Universal Jurisdiction-The duty of states to enact and enforce legislation

(17)

39

responsibility of all states. National authorities have, at least, the right to take such

measures as are necessary for the prosecution and punishment of crimes against

humanity .... We find that, as a matter of customary law, or even more strongly as

a matter of jus cogens, universal jurisdiction over crimes against humanity exists,

authorizing national judicial authorities to prosecute and punish the perpetrators

in all circumstances." 28

Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa genosida menjadi

kejahatan internasional yang menjadi kriteria kejahatan yang dapat diadili dengan

prinsip yurisdiksi universal.

c. Penyiksaan (Torture)

Instrumen internasional yang paling relevan mengenai penyiksaan adalah

Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or

Punishment tahun 1984 yang selanjutnya akan disebut dengan Torture Convention.

Konvensi ini sudah diratifikasi oleh 141 negara.

Penyiksaan di definisikan dalam Torture Convention terdapat dalam pasal 1

(a) yang mengatakan "For the purposes of this Convention, the term "torture"

means any act by which severe pain or suffering, whether physical or mental, is

intentionally inflicted on a person for such purposes as obtaining from him or a

third person information or a confession, punishing him for an act he or a third

person has committed or is suspected of having committed, or intimidating or

coercing him or a third person, or for any reason based on discrimination of any

kind, when such pain or suffering is inflicted by or at the instigation of or with the

(18)

40

consent or acquiescence of a public official or other person acting in an official

capacity. It does not include pain or suffering arising only from, inherent in or

incidental to lawful sanctions."

Menurut Amnesty Internasional, terdapat beberapa negara-negara peserta

konvensi yang secara jelas memasukkan penyiksaan sebagai kejahatan

internasional di bawah hukum kebiasaan internasional dan menentukan bahwa

yurisdiksi universal dapat digunakan untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut.

Negara-negara tersebut adalah Australia, Brazil, Cameroon, Canada, China,

Colombia, Finland, France, Iceland, Malta, Belanda, Portugal, United Kingdom,

United States and Uruguay. Sebagai contoh, Inggris memasukkan penyiksaan

dalam Criminal Justice Act tahun 1988 yang di dalamnya dikatakan bahwa prinsip

yurisdiksi universal dapat digunakan untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut.

Dalam Criminal Justice Act pasal 134 (1) dan (2) mengatakan “(1) A public official

or person acting in an official capacity, whatever his nationality, commits the

offence of torture if in the United Kingdom or elsewhere he intentionally inflicts

severe pain or suffering on another in the performance or perported performance

of his official duties

(2) A person not falling within subsection (1) above commits the offence of torture,

whatever his nationality, if:

(a) in the United Kingdom or elsewhere he intentionally inflicts severe pain

or suffering on another at the instigation or with the consent or acquiescence: -

(i) of a public official; or

(19)

41

(b) the official or other person is performing or purporting to perform his

official duties when he instigates the commission of the offence or consents to or

acquiesces in it.”

Hingga saat ini belum banyak pengadilan internasional yang dalam

prakteknya menggunakan asas yurisdiksi universal untuk mengadili perkara

penyiksaan. Sejauh ini penerimaan kejahatan penyiksaan sebagai kejahatan

internasional berat yang dapat diadili dengan prinsip yurisdiksi universal baru

sebatas ada dalam undang-undang negara-negara yang telah disebutkan di atas.

Mengambil benang merah dari tujuh kejahatan internasional yang telah

dibahas di atas, maka terdapat unsur-unsur yang kurang lebih sama dan diakui oleh

masyarakat internasional sebagai kejahatan berat yang mengancam kepentingan

seluruh masyarakat internasional. Penulis menemukan unsur-unsur tersebut adalah

a. Kejahatan tersebut mengganggu keamanan dan perdamaian dunia

internasional

b. Kejahatan tersebut memakan korban yang jumlahnya banyak

c. Kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang sistematik, bukan

kejahatan yang tiba-tiba terjadi

d. Kejahatan tersebut merupakan pelanggaran HAM berat

Unsur - unsur di atas harus dirumuskan kembali oleh-oleh negara-negara dalam

komunitas internasional agar, terdapat kejelasan terhadap kejahatan-kejahatan apa

saja yang memenuhi unsur-unsur di atas. Lembaga yang paling berwenang untuk

(20)

42

negara di dunia, sehingga terdapat alternatif untuk merumuskan

kejahatan-kejahatan tersebut melalui PBB.

1.2 Penerapan Yurisdiksi Universal dalam Hukum Internasional dan Hukum

Nasional

Penerapan yurisdiksi universal dalam hukum internasional sudah banyak

disinggung dalam pembahasan sebelumnya tentang kriteria kejahatan internasional

yang masuk dalam lingkup yurisdiksi universal. Penerapan yurisdiksi universal

dalam hukum internasional terdapat dalam konvensi-konvensi internasional seperti

contohnya UNCLOS, Konvensi Genosida, dan Konvensi Jenewa. Selain terdapat

dalam konvensi-konvensi, prinsip yurisdiksi universal dalam hukum internasional

juga terdapat dalam praktek-praktek pengadilan seperti contohnya Pengadilan

Internasional Nuremberg, ICTY, dan ICTR.

Praktek yurisdiksi universal dalam hukum nasional, selain diakui oleh hukum

nasional lewat ratifikasi konvensi-konvensi internasional, juga dapat ditemukan

pada undang-undang nasional suatu negara dan praktek pengadilan suatu negara.

Eksistensi yurisdiksi universal dalam hukum nasional dibagi dalam dua jenis yaitu

yurisdiksi universal absolut (Absolute Universal Jurisdiction) dan yurisdiksi

universal kondisional (Conditional Universal Jurisdiction).

Yurisdiksi universal absolut artinya tidak perlu ada hubungan sama sekali

antara negara yang mengadili dengan pelaku kejahatan yang diadili.29 Antara tahun

29 Noora Arajarvi, Looking Back from Nowhere: Is There a Future for Universal Jurisdiction over

(21)

43

1980 sampai tahun 1990, Belgia dan Spanyol menjadi negara pertama dalam zaman

modern yang menganut prinsip yurisdiksi universal dalam hukum nasionalnya dan

dipakai juga dalam praktek peradilannya. Kasus pertama yang ditangani oleh

pengadilan Spanyol terkait penggunaan prinsip yurisdiksi universal adalah kasus

Scilingo, yang dihadapkan tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan. Scilingo

merupakan warga negara Argentina dan melakukan kejahatannya di Argentina di

bawah rezim militer militer Argentina pada saat itu. Tidak ada hubungan sama

sekali antara Spanyol dan Scilingo.

Negara selanjutnya yang menerapkan prinsip yurisdiksi universal dalam

undang-undangnya adalah Belgia. Pada tahun 1993, Belgia mengundangkan The

Law of Universal Jurisdiction atau undang-undang yang juga dikenal dengan

Belgium's Genocide Law. Didasari oleh undang-undang ini, pada tahun 2001,

pengadilan tinggi Belgia mengadili empat orang warga negara Rwanda yang

dituduhkan melanggar kejahatan terhadap kemanusiaan di Rwanda. Kasus ini

dikenal dengan nama Bustare Four Case. Kasus ini merupakan kasus pertama yang

diadili oleh pengadilan Belgia berdasarkan asas yurisdiksi universal. Selama

prosesnya hingga selesai, kasus tersebut berjalan lancar dan tidak mendapatkan

halangan dari komunitas internasional walaupun Belgia menggunakan prinsip

yurisdiksi universal dalam prakteknya.30

Yurisdiksi universal kondisional artinya ada kondisi-kondisi tertentu yang

harus dipenuhi agar pengadilan suatu negara dapat mengadili seseorang dengan

(22)

44

prinsip yurisdiksi universal. Sebagai contoh, negara Belgia pada tahun 2003

mengeluarkan undang-undang tentang yurisdiksi ekstrateritorial yang mengatakan

bahwa yurisdiksi universal dapat dianut paling tidak jika kejahatan tersebut

memiliki beberapa hubungan dengan Belgia sebelum atau sesudah kejahatan

dilakukan. Kondisi atau hubungan yang harus ada yaitu : yang dituduhkan

merupakan penduduk, korban sudah tinggal di Belgia selama lebih dari tiga tahun,

atau ada perjanjian internasional yang mewajibkan Belgia untuk mengadili

seseorang dengan prinsip yurisdiksi universal.31

Yurisdiksi universal kondisional ini merupakan salah satu cara dalam hukum

nasional untuk memperketat penggunaan asas yurisdiksi universal sehingga tidak

ada pelanggaran-pelanggaran terhadap kedaulatan negara lain. Penulis mempunyai

pandangan bahwa yurisdiksi universal kondisional tidak merefleksikan kegunaan

sebenarnya penggunaan asas yurisdiksi universal karena batasan-batasan yang ada

justru mempersempit ruang gerak yurisdiksi universal. Argumen selanjutnya adalah

penggunaan yurisdiksi universal absolut dalam prakteknya tidak menimbulkan

pertentangan berarti dari komunitas internasional selama lingkup kejahatan yang

dilakukan benar-benar memenuhi kriteria penggunaan prinsip yurisdiksi universal.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Pada permulaan tahun 1970 an cara pendekatan yang dilakukan oleh IMO dalam membuat peraturan yang berhubungan dengan Marina Pollution pada dasarnya sama

46 Tahun 2013 tentang Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak UMKM

Dari hasil evaluasi penilaian yang dilakukan terhadap website Bina Darma mendapatkan skor 85 yang berarti website Bina Darma dinyatakan acceptable termasuk dalam grade

Instrumen yang digunakan untuk mendapatkan data sense of humor adalah Multidimensional Sense Of Humor Scale (MSHS) yang disusun pertama kali oleh Thorson dan Powell

Sego Kokoh is rice which symbolize the power of cardinal direction of the universe. The implementation of Boyong Dewi Sri traditionis a representation of highSradha

[r]

Fungsi ini membolehkan pengguna melaksanakan arahan ‘ping’ rangkaian untuk mengesahkan jika Appliance boleh mencapai alamat IP atau URL yang dimasukkan oleh

[r]