A.Latar Belakang Masalah
Skizofrenia merupakan penyakit distorsi mental tentang apa yang dirasakanya
dengan kenyataan terhadap orang lain adalah berbeda, lebih cenderung persepsi
terhadap dirinya sendiri. Skizofrenia ini merupakan golongan penyakit tidak
menular, tetapi gangguan psikotik ini paling sering terjadi di dunia (Yosep, 2009).
Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat dengan berbagai gejala
seperti berbicara yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitif dan persepsi.
Gejala -negative dari gangguan psikotik ini seperti avolotion (menurunya minat
dan dorongan), berkurangnya keinginan berbicara dan miksinya keinginan
pembicaraan, efek yang datar dan terganggunya relasi personal (Fauziah, 2005).
Menurut Fausiah (2005) hampir 1% dari jumlah penduduk di dunia menderita
skizofrenia selama hidup mereka. Berdasarkan data World Health Organition
WHO (2010) masalah skizofrenia sudah menjadi masalah yang sangat serius,
angka kejadian pertahun mencapai 15-20/100.000 individu, dengan resiko
morbiditas selama hidup 0,85% (pria/wanita) dan kejadian puncak pada akhir
masa remaja atau awal dewasa (Katona, 2013).
Berdasarkan data Depkes RI (2008) melaporkan bahwa di Indonesia jumlah
penderita gangguan jiwa berat sekitar 6juta orang atau sekitar 2,5% dari penduduk
gangguan jiwa. Dari 1-3 penderita tersebut separuh diantaranya berlanjut menjadi
gangguan jiwa berat skizofrenia (Nurdiana, 2010).
Berdasarkan data dinas kesehatan Jawa Tengah (2013) terdapat 3/1000 dari
32.952.040 penduduk di jawa tengah terdiagnosa skizofrenia, jadi terdapat sekitar
98.856 orang yang mengalami gangguan jiwa skizofrenia (Sri, 2013). Berdasarkan
laporan tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten angka kejadian gangguan
jiwa pada tahun 2014 sebanyak 1.565 penderita. Penanggulangan kesehatan jiwa
di Kabupaten Klaten menjadi tanggung jawab RSJD Dr. M. Soejarwardi klaten
dibantu oleh puskesmas yang ditunjuk sebagai puskesmas delegasi dalam
pelayanan jiwa yaitu puskesmas Cawas I dan puskesmas Delanggu I.
Di indonesia penanganan penderita gangguan jiwa belumlah memuaskan,
treatment yang dilakukan seperti treatment biologis, social, psikologis (intervensi
perilaku, kognitif dan sosial seperti melatih keterampilan berbicara, keterampilan
mengelola gejala, terapi kelompok, terapi melatih kerja, dll), terapi keluarga
(melatih bagaimana keluarga menghadapi perilaku keluarganya yang menderita
skizofrenia agar tidak kambuh), dan komunitas asertif (menyediakan layanan
komperhensif bagi penderita skizofrenia dengan dokter ahli, pekerja social dan
psikolog ) serta treatment lintas budaya penyembuhan tradisional (dengan do’a,
upacara adat, jamu, dll) belumlah sepenuhnya dilakukan (Harrist dan Craighead,
kazdin & Mahoney, 2006).
Kekambuhan adalah timbulnya gejala yang sebelumnya sudah memperoleh
kemajuan (Stuard and Laraia, 2006). Pasien dengan diagnosis skizofrenia
100% pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kekambuhan pasien skizofrenia yaitu klien, penanggung jawab
klien (care manager), dokter, dan keluarga (Kelliat, 2011).
Keluarga adalah tempat berlindung dan tempat paling nyaman bagi pasien
skizofrenia dalam menjalankan hidup dan mengembalikan kemandiriannya. Peran
dari keluarga merupakan salah satu unsur terpenting dalam membantu individu
menyelesaikan masalahnya (Ardani, 2013).
Keluarga merupakan unit paling dekat dengan klien, dan merupakan “perawat
utama” bagi klien. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan
keperawatan yang diperlukan klien di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit
dengan sia-sia jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan klien
harus dirawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal asuhan di rumah
sakit adalah meningkatkan dan memberdaya kemampuan keluarga secara mandiri
dalam merawat klien di rumah (Kelliat, 1992).
Menurut Friedman (2002) peran keluarga merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan performa dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dibatasi
secara nurmatif dan budaya, baik peran keluarga secara formal maupun informal
yang bertujuan untuk mencegah kekambuhan pada anggota keluarga yang
terdiagnosa skizofrenia.
Untuk mendapatkan jawaban nyata, perlu dilakukan suatu penelitian guna
mengidentifikasi peran keluarga dalam perawatan penurunan frekuensi
kekambuhan klien skizofrenia, mengingat keluarga merupakan sistem pendukung
pasien. Umumnya, keluarga meminta bantuan tenaga kesehatan jika mereka tidak
sanggup lagi merawatnya. Oleh karena itu, asuhan keperawatan yang berfokus
pada keluarga bukan hanya memulihkan keadaan klien, melainkan bertujuan
untuk mengembangkan dan meningkatkan kemandirian keluarga (Friedman,
2002).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan di wilayah kerja Puskesmas Cawas I
Klaten pada tanggal 16 Oktober 2014, puskesmas Cawas I Klaten merupakan
puskesmas Delegasi bersama puskesmas delanggu I dari RSJD Dr. M. Soedjarwdi
Klaten dalam hal penjaringan, pengobatan dan mitra penanggulangan gangguan
jiwa di kabupaten Klaten sejak tahun 1995. Setiap minggu sekali tim medis dari
RSJD Dr. M. Soedjarwadi Klaten datang ke puskesmas Cawas I. Jumlah pasien
skizofrenia sampai saat ini di puskesmas Cawas I Klaten mencapai 88 pasien dan
55 pasien diantaranya pernah kembali mengalami gejala skizofrenia setelah
pulang perawatan dari RSJD Dr. Soedjarwadi Klaten. Berdasarkan hasil rekam
medik di puskesmas tersebut bahwa angka kekambuhan skizofrenia yang terjadi
pada tahun 2014 paling tinggi yaitu 6 kali dalam satu tahun.
Penyakit skizofrenia ini berdasarkan jumlah kunjungan setiap bulanya
termasuk dalam kategori 10 besar penyakit tidak menular di puskesmas Cawas I
Klaten.
Data rekam medik puskesmas Cawas I Klaten didapatkan bahwa prevelensi
penderita skizofrenia pada tahun 2012 ditemukan frekuensi kekambuhan sebanyak
530 kunjungan dari sejumlah 60 penderita, sedangkan laporan tahun 2013
kunjungan dari 55 penderita, dan tahun 2014 terdapat angka kekambuhan
skizofrenia sebanyak 487 kunjungan dari 55 penderita skizofrenia. Jumlah
keseluruhan penderita skizofrenia di puskesmas Cawas I Klaten pada tahun 2014
sebanyak 93 penderita tetapi yang mengalami kekambuhan sebanyak 55 pasien.
Menurut petugas penanggung jawab jiwa di puskesmas Cawas I Klaten,
biasanya keluarga yang meminta bantuan ke puskesmas Cawas I Klaten ketika
tanda dan gejala pada anggota keluarga yang sakit skizofrenia muncul kembali
seperti amuk dan halusinasi setelah pengobatan alternatif yang dilakukan tidak
mengalami perubahan. Sebagian besar keluarga juga terlambat mengambilkan
obat secara mandiri atau mendampingi anggota keluarga yang sakit skizofrenia.
Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian “Hubungan Peran Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan
Pasien Skizofrenia Di Wilayah Kerja Puskesmas Cawas I Klaten”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian “Apakah Ada Hubungan Peran Keluarga dengan Frekuensi
Kekambuhan Pasien Skizofrenia Di Wilayah Kerja Puskesmas Cawas I Klaten ? ”
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Mengetahui hubungan antara Peran Keluarga dengan Frekuensi
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui peran keluarga terhadap pasien skizofrenia di wilayah kerja
puskesmas Cawas I Klaten
b. Mengetahui Frekuensi kekambuhan pasien Skizofrenia di wilayah kerja
puskesmas Cawas I Klaten.
c. Mengetahui peran keluarga dengan Frekuensi kekambuhan pasien
skizofrenia di wilayah kerja puskesmas Cawas I Klaten
D.Manfaat Penelitian
1. Institusi Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi institusi pendidikan untuk
menambah pengetahuan tentang gangguan penyakit jiwa khususnya skizofrenia
yang masih banyak terjadi di Indonesia bahkan di Dunia.
2. Profesi keperawatan
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan bisa
sebagai bahan masukan ilmu keperawatan untuk mengembangkan perencanaan
keperawatan serta meningkatkan profesionalisme dan mutu pelayanan
keperawatan jiwa.
3. Bagi Keluarga
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada keluarga
untuk menunjang proses keperawatan yang tepat dan diperlukan oleh anggota
4. Bagi Penulis
Bagi peneliti hasil penelitian ini dapat memberi pengalaman nyata bagi
peneliti sebagai peneliti pemula serta dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan
tentang peran keluarga terhadap kekambuhan pada pasien skizofrenia.
5. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi guna menunjang penelitian
dalam ruang lingkup yang lebih luas tentang gangguan skizofrenia.
E.Keaslian Penelitian
Penelitian yang hampir serupa pernah dilakukan oleh :
1. Ruspawan, Dewa Made (2011) . “Hubungan Peran Keluarga dengan Frekuensi
Kekambuhan Klien Skizofrenia di Poliklinik RSJ Provinsi Bali”. Teknik
analisa data menggunakan Uji Korelasi Product Moment dengan α = 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata nilai peran keluarga sebesar 55,57 %
dan rata-rata kekambuhan klien Skizofrenia sebesar 4,02 kali. Nilai p sebesar
0,0001 dan nilai r = 0,610 dengan p<0,05. Maka dapat dinyatakan ada
hubungan yang kuat antara Peran Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan
Klien Skizofrenia di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
2. ElenKonis, Kristin (2012). “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kekambuhan
Pasien Skizofrenia Di Poliklinik RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang”.
Metode penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif dengan
pendekatan deskriptif. Teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara
dan dokumentasi. Responden yang diambil 4 orang. Teknik analisa data yaitu
Triangulasi data. Hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan faktor-faktor
yang mempengaruhi kekambuhan pasien skizofrenia yaitu dari pasien yaitu
klien, dokter, penanggung jawab klien dan keluarga.
3. Priyanti,Leni (2012). “Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kekambuhan Pada
Pasien Skizofrenia Di Unit Rawat Inap Rsjd Atma Husada Mahakam
Samarinda”. Metode Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif.
Populasi penelitian ini adalah semua keluarga pasien yang menjalani rawat inap
di Unit Rawat Inap RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda dengan besarnya
sampel sebanyak 51 responden. Pengumpulan data dengan kuesioner. Teknik
analisa data adalah univariat persentase dan distribusi frekuensi. Hasil
penelitian adalah Regimen terapeutik pada tidak efektif yaitu sebanyak 32
orang (62,7%), meskipun Pengetahuan keluarga tentang skizofrenia dalam
kategori tinggi, Sikap keluarga kurang baik terhadap pasien skizofrenia yaitu
sebanyak 28 orang (54,9%). Perilaku keluarga yang buruk terhadap pasien
skizofrenia yaitu terdapat 31 orang (60,8%). Meskipun dukungan petugas RSJ/
Puskesmas terhadap pasien selama berada di rumah sudah tinggi yaitu
sebanyak 31 orang (60,8%). Faktor lingkungan sudah ikut mendukung pasien
selama berada di rumah yaitu sebanyak 29 orang (56,9%) meskipun masih
terdapat 22 orang (43,1%) yang menyatakan lingkungan tidak mendukung
pasien selama berada di rumah.
4. Nurdiana (2007). “Peran Serta Keluarga Terhadap Tingkat Kekambuhan Klien
Skizofrenia”. Pada studi ini penulis menggunakan desain Cross Sectional.
skizofrenia di Rumah Sakit Dr. Moch. Ansyari Saleh Banjarmasin. Saat penulis
melakukan penelitian seluruh sampel berjumlah 30 orang, pengambilan data
dengan non Probabilty Samplng tipe Porposif Sampling, data yang diproses
dengan menggunakan Chi-Square dengan angka signifikan (p) < 0,05. Hasil
Chi-Square Test menunjukkan signifikan yaitu 0,006 artinya ada hubungan