i
PENGALAMAN MEMAAFKAN PADA ORANG KRISTEN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Ade Mauryn
NIM : 089114073
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
You hold my every moment
You calm my raging seas
You walk with me through fire
Heal all my disease
and I trust in You
I trust in You
I believe
You’re
my Healer
I believe
You are all I need
I believe
You’re my Portion
I believe
You more than enough for me
Jesus, You’re all I need
Nothing is Impossible for You
Nothing is Impossible
Nothing is Impossible for You
You hold my world in Your Hands.
v
Persembahan
Karya ini kupersembahkan untuk Tuhan Yesus Kristus yang teramat baik.
Orang tuaku yang luar biasa, Alm Petrus Marpaung & Ruth Sani.
Saudari-saudariku Etny Oktovien Marpaung dan Elsa Novauli marpaung, how I really love you sisters.
Untuk keluarga besar Marpaung dalam setiap doa dan nasehatnya
dan keluarga besar Daniel Tangsi yang selalu mendukung dan mengingatkanku.
Keluargaku Lansia Sariayuers yang selalu menyemangati dan menjadi teman bersuka sekaligus berduka.
Anak-anak kost Sariayu Opung, Inang, Novie, Sasa, Cece Marjan, Nia, Ote, Metta, Niken, Vina, Jolina, dan Leza.
Cell Group Depend on God untuk setiap berkat lewat sharing dan doanya.
Teman-teman seperjuangan yang sering bersama-sama mengerjakan skripsi diperpus, jalan-jalan, nonton bareng, kuliner bareng, shoping bareng, dan
yang saling menyemangati dan mendoakan.
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah saya sebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yoyakarta, 7 Agustus 2013 Penulis,
vii
PENGALAMAN MEMAAFKAN PADA ORANG KRISTEN
Ade Mauryn
ABSTRAK
Memaafkan adalah salah satu prinsip yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Akan tetapi, memaafkan juga merupakan suatu prinsip pilihan. Hal ini dikarenakan ada beberapa masalah yang dianggap sebagai peristiwa yang tidak bisa dimaafkan. Namun, bagaimana jika memaafkan adalah suatu kewajiban atau nilai sentral dalam pribadi orang Kristen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) apa saja yang dialami dalam proses memaafkan orang Kristen , dan 2) dampak memaafkan bagi orang Kristen tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis deskriptif fenomenologi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa walaupun ada tantangan yang menghambat seseorang untuk memaafkan, orang Kristen tetap memutuskan untuk memaafkan orang yang telah menyakitinya, bahkan melakukan perdamaian. Untuk itu, strategi yang dilakukan adalah menggunakan peran agama dengan berdoa, patuh akan perintah Tuhan, dan mendapati peran Tuhan sebagai pengampun, hakim, pemberi pikiran positif, pemberi kekuatan, dan pengontrol kemarahan. Proses memaafkan ini lebih berorientasi kepada diri sendiri, karena orang Kristen termotivasi untuk seperti Tuhan, untuk mempratekkan firman Tuhan, dan tidak ingin menyimpan emosi negatif didalam diri. Namun pada orang Kristen ini juga dikatakan tulus dalam memaafkan karena orang Kristen bisa mendoakan kebahagiaan pelaku dan mengatakan bahwa ia mengasihi orang yang telah menyakitinya.
FORGIVENESS EXPERIENCE OF CHRISTIAN
Ade Mauryn
ABSTRACT
Forgiveness is one of the principles for conflict resolution. However, forgiveness is also the matter of choice. It is because there are some conflicts can be an unforgivable offense. But, what if the principle of forgiveness is a obligation for Christian. This research aimed to investigate 1) Forgiveness process of Christian in unforgiving situation, and 2) effect of forgiveness. This research used a descriptive phenomenology. The result shown that although there are challenges
in forgiveness’s process, Christian still decided to forgiving who have hurt them, even making a reconciliation. Relating to that issue, Christian have to deal with praying, obeying God’s commands, and believing God as forgiver, judge, giver of positive thoughts, giver of strengths, and controlling anger. This process is self oriented dimension, because Christian’s motivated to be like
God, practice their bible’s words, and won’t to keep negative emotions. However, Christian’s forgiveness is a genuine, because Christian will pray offender’s happiness, and said that he loves who had pain him.
ix
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Ade Mauryn
Nomor mahasiswa : 08 9114 073
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
PENGALAMAN MEMAAFKAN PADA ORANG KRISTEN
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta hak untuk menyimpan dan mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa harus meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 7 Agustus 2013 Yang menyatakan,
KATA PENGANTAR
Penelitian tentang pengalaman memaafkan pada orang kristen ini berangkat dari ketertarikan peneliti untuk mengetahui lebih dalam lagi usaha orang Kristen yang selalu memaafkan pada kondisi yang tersulit sekalipun. Dengan selesainya karya ini, peneliti sungguh menyadari bahwa memang Tuhan Yesus Kristus yang selalu memampukan peneliti dari hikmat dan kekuatannya.
Pada kesempatan ini saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pribadi yang telah membantu dengan caranya sendiri dalam proses pengerjaan tulisan ini. Terima kasih kepada:
1. Pak V. Didik Suryo Hartoko sebagai dosen pembimbing skripsi. Terima kasih untuk kesabarannya dan juga untuk tuntutannya. Terima kasih juga karena menginspirasi saya untuk menambahkan hobi baru saya yaitu membaca, Terima kasih banyak .
2. Kepada Dosen penguji Bu A. Tanti Arini, S.Psi., Msi. Dan Pak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi., M.Si. yang telah banyak memberikan kritik dan sarannya kepada penelitian ini.
3. Pak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi dan Ibu Agnes Indar Etikawati, M.Si.,Psi. selaku Dekan dan Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing saya selama menjadi mahasiswa di fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
xi
5. Seluruh staff sekretariat dan Laboratorium fakultas Psikologi USD (Mbak Nanik, Mas Gandung, Pak Gie, Mas Doni, dan mas Muji) yang sudah banyak membantu dalam pengurusan administrasi.
6. Anak kost Sari Ayu, para lansia. Lusia Sari Tambunan, Novie Imoliana, Lina Mariana, Devi Yenni Sinaga, Sasa Dermawan, Rotua Winata Silitonga, Jolina, Yoestenia, Metta, Niken, Vina. Thank you so much. Thanks for 2008 till now, you’re the best that I ever had.
7. Depend on God Cell Group, untuk menyertakanku dalam doa kalian.
8. Teman-temanku yang di Kalimantan. Terima kasih untuk segala dukungannya.
9. Kelompok 2 KKN untuk segala bantuannya. Terima kasih banyak.
10.Secara khusus kepada 5 partisipan yang telah bersedia meluangkan waktu dan berbagi pengalamannya, saya mengucapkan terima kasih banyak.
Penulis memohon maaf jika tidak bisa menyebutkan satu-persatu. Hanya bisa mengatakan terima kasih atas segala bantuannya. Semoga penelitian ini berguna bagi pembaca.
Yogyakarta, 7 Agustus 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ...ii
HALAMAN PENGESAHAN ...iii
HALAMAN MOTTO ...iv
HALAMAN PERSEMBAHAN...v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………...vi
ABSTRAK ...vii
ABSTRACT ...viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...ix
KATA PENGANTAR ...x
DAFTAR ISI ...xii
BAB I. PENDAHULUAN ...1
A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Rumusan Masalah ...8
C. Tujuan Penelitian ...8
D. Manfaat Penelitian ...9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...10
A. Kajian Pustaka tentang Memaafkan ...10
1. Definisi Memaafkan ………..…...10
xiii
3. Proses Memaafkan ………..15
4. Dampak Memaafkan………...………....19
B. Memaafkan menurut Agama Kristen………...20
C. Kerangka Berpikir ………...24
D. Pertanyaan Teoritis ………...25
BAB III. METODE PENELITIAN………...26
A.Strategi Penelitian………26
B.Fokus Penelitian………...27
C.Latar Belakang Peneliti ………...27
D.Metode Pengumpulan Data………...28
1. Partisipan………...…………...……...28
2. Setting Penelitian ………..…...29
3. Jenis Data ………...29
E. Prosedur Analisis Data ………...29
F. Kredibilitas………...30
G.Pertanyaan Wawancara………31
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……….32
A.Deskipsi Tekstural dan Struktural P1…….……….32
1. Latar Belakang….…..……….32
2. Latar Belakang Pengalaman ………...32
3. Deskripsi Tekstural ………...….33
B.Deskipsi Tekstural dan Struktural P2 ………..……37
1. Latar Belakang ………36
2. Latar Belakang Pengalaman ………...37
3. Deskripsi Tekstural ………38
4. Deskripsi Struktural ………...41
C.Deskipsi Tekstural dan Struktural P3 ………..….…..42
1. Latar Belakang ………...42
2. Latar Belakang Pengalaman ………...42
3. Deskripsi Tekstural ………....43
4. Deskripsi Struktural ………...44
D.Deskipsi Tekstural dan Struktural P4 ………...45
1. Latar Belakang ………...45
2. Latar Belakang Pengalaman ………...45
3. Deskripsi Tekstural ………...46
4. Deskripsi Struktural ………...49
E. Deskripsi Tekstural Semua Partisipan ………...50
F. Deskripsi Struktural Semua Partisipan ……….….57
G.Esensi Pengalaman ………...58
H.Pembahasan ………...60
1. Memaafkan adalah Nilai Sentral dan Keharusan dalam Kehidupan Kristen………...60
xv
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………...………65
A.Kesimpulan………..65
B.Saran………66
DAFTAR PUSTAKA………...68
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Memaafkan adalah sebuah prinsip dalam merespon pelanggaran, penghianatan, dan kejadian meyakitkan lainnya. Dengan memaafkan, rasa sakit dan luka hati yang disebabkan oleh kesalahan pelanggar dapat terlepaskan (Egan & Todorov, 2009). Konsep memafkan ini merupakan suatu prinsip positif yang memiliki asosiasi dengan kesehatan dan kesejahteraan individu bahkan dalam suatu hubungan (Worthington, Witvliet, Pietrini, Miller, 2007).
Namun, Kita perlu sedikit melihat tentang sifat dasar manusia yang dapat dipahami lewat sudut pandang dari biologi evolusioner, filosofi moral, dan teologi. Didalam diri manusia berisi kapasitas untuk menjadi manusia yang jahat dan baik, untuk merugikan dan menolong, untuk menyerang atau membalas dendam, dan untuk memaafkan atau rekonsiliasi (McCullough, 2007). Ketika ada konflik atau kejahatan yang menimpa seseorang, ego mengajak untuk tidak memaafkan orang yang bersalah. Dalam keadaan ini korban diliputi oleh rasa marah, ketakutan, kepahitan dan bahkan berakibat stress pada diri korban (Worthington et al, 2007).
gangguan emosional. Gangguan emosional ini seperti kecemasan, depresi, dan rendahnya harga diri. Lalu gejala fisik yang timbul yaitu sakit kepala, sakit punggung, sakit perut, dan menurunnya kekebalan yang bisa membuat kita rentan terhadap infeksi dan alergi. Selain itu, dalam emosi negatif ditunjukkan bertambah tingginya tegangan otot mata, denyut jantung yang lebih tinggi, dan tegangan alis mata yang juga meninggi.
Selain perasaan, juga terdapat keinginan untuk mendapatkan keadilan dengan menghukum, menghujat, dan memusuhi, dianggap sebagai solusi pemecahan suatu konflik (Worthington et al, 2007). Perilaku ini sering kita saksikan dalam berita tentang tawuran, terjadinya perang suku yang hanya dikarenakan ada perselisihan antar individu yang dibesar-besarkan, bahkan kasus tuntutan akan pemukulan yang dilakukan secara hukum legal.
Dalam beberapa kasus, masalah yang diselesaikan lewat keadilan kadang-kadang malah memperbesar sebuah konflik. Dengan mengetahui dampak yang menguntungkan, kita perlu menggunakan prinsip lain untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sulit. Salah satu cara yang baik untuk mengatasi kejadian menyakitkan tersebut adalah dengan memaafkan (Ken-ichi & Naomi, 2001).
Memaafkan tidak membutuhkan adanya melupakan atau memindahkan kejadian terluka dari kesadaran (APA, 2006). Memaafkan justru mengingat dan mengganggap serius pada perilaku salah dan merugikan yang telah dilakukan (The Encyclopedia of positive Psychology). Condoning adalah perilaku yang menggagalkan untuk melihat tindakan sebagai sesuatu yang salah. Pardoning berarti pengampunan yang biasa dilakukan dalam dunia hukum. Reconciliation adalah adanya perdamaian suatu hubungan yang sebelumnya pecah antara orang yang menyakiti dan yang tersakiti (APA, 2006). Memaafkan lebih sebagai suatu perubahan dari motivasi menjauhi atau mencari cara membalas dendam terhadap orang yang menyakiti hati menuju kearah yang netral atau lebih positif. (McCullough, 2005).
Kemudian, ada beberapa penelitian yang memfokuskan konsep dari memaafkan, salah satunya dengan membagi topik memaafkan berdasarkan orientasinya oleh Lawler-Row, Scott, Raines, Edlis-Matityahou, & Moore (2007). Penelitian ini terbagi menjadi memaafkan interpersonal (focus on other) dan memaafkan intrapersonal (focus on self). Contoh respon dalam
memaafkan intrapersonal adalah melepaskan sesuatu yang salah dalam diri, menyadari bahwa orang lain bisa melakukan kesalahan; dan jika tidak memaafkan dan masih menyimpan kebencian dalam hati, maka akan berdampak untuk kehidupan seterusnya. Lalu, contoh memaafkan interpersonal adalah memahami bahwa pelaku menyesal atas perbuatannya, membiarkan pelaku mengetahui bahwa kesalahannya dapat dimaklumi menerima apa yang sudah mereka lakukan, dan tetap menjadi teman.
Penelitian Lawler-Row dan koleganya ini dilakukan pada 270 siswa kejuruan yang diambil dari usia 18-33 tahun. Hasil penelitian menunjukkan 45, 6% hanya memaafkan intrapersonal atau berfokus pada diri sendiri, 31, 1% memaafkan interpersonal atau berfokus pada pelaku, dan 20, 4% keduanya yaitu memaafkan intrapersonal dan interpersonal.
respon aktif yang positif seperti memberi kesempatan kedua, menerima permintaan maaf, dan membangun hubungan kembali.
Walaupun melihat dampak yang menguntungkan, memaafkan adalah satu prinsip yang memang tidak mudah untuk dilakukan (dalam Cohen, Malka, Rozin, & Cherfas, 2006). Dorongan manusia sangat ingin melihat orang yang melukai juga ikut merasakan penderitaan korban. Sekalipun korban memutuskan untuk memaafkan, dalam prosesnya kebanyakan orang melakukan hal tersebut lebih berorientasi pada diri sendiri tanpa melihat ke sisi pelaku, kecuali pelaku terlibat dalam proses ini seperti pengajuan permintaan maaf (Younger, Piferi, Jobe, & Lawler, 2004).
Berdasarkan penelitian yang mengukur alasan seseorang untuk memaafkan oleh Younger et al (2004), ditemukan bahwa 72,7% seseorang yang menerima permintaan maaf, maka ia akan lebih memaafkan orang yang menyakitinya, dan sisanya memaafkan walaupun tidak menerima permintaan maaf. Lalu, 73,2% mengindikasikan seseorang tidak memaafkan karena ia tidak mendapatkan permintaan maaf, dan sisanya tidak memaafkan walaupun menerima permintaan maaf. Salah satu alasan korban yang tidak memaafkan adalah karena pelaku sudah merusak kepercayaan yang diberikan.
penganut Protestan, katolik, dan Nonrelijius oleh Toussaint & Williams (2008) menemukan bahwa kelompok protestan dan katolik menunjukkan tingkatan skor sikap yang tinggi dalam memaafkan orang lain daripada kelompok yang tidak beragama. Selain itu, orang Kristen diajarkan bahwa memaafkan harus bersifat unconditional. Memaafkan tidak bergantung dengan adanya penyesalan, keadilan, dan restitusi antara pelaku dan korban (Cohen, 2005).
Bagi orang Kristen, pengampunan manusia dianggap sebagai sebuah hadiah. Yesus selalu bersedia untuk memaafkan semua orang berdosa yang siap untuk menerima karunia surgawi. Namun, orang Kristen diharapkan tidak cukup dengan menyesal dan menerima pengampunan dari Tuhan, tapi ia juga harus memaafkan orang lain. Selain itu, Tuhan juga memperingatkan untuk mengasihi musuh. Pengikut Kristus dilarang untuk melakukan pembalasan dan menyerang siapapun. Mereka harus memaafkan, walaupun orang yang bersalah tidak menunjukkan adanya penyesalan. Hal ini dikarenakan permusuhan kepada manusia berarti juga melakukan permusuhan kepada Tuhan. (Zablowinski, 2009).
dijadikan satu kesatuan. Respon-respon ini memiliki relasi yang konsisten dengan literatur psikologi dan literatur teologi-kristen yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya.
Pada penelitian memaafkan sebelumnya, dapat dilihat gambaran proses memaafkan pada orang umumnya lebih melibatkan peran dari pelaku seperti adanya penyesalan dan pengajuan permintaan maaf dari orang yang menyikiti hati. Dapat dibandingkan juga bahwa bagi orang Kristen memaafkan bersifat unconditional, yang berarti memaafkan adalah suatu tindakan yang dilakukan tidak bersyarat dan suatu keharusan. Selain itu, memaafkan dan rekonsiliasi memiliki satu kesatuan. Memaafkan tidak hanya terjadinya perubahan intrapersonal yang membaik, tetapi juga kembalinya hubungan interpersonal. Kemudian juga belum ada kejelasan bagaimana keadaan hubungan interpersonal seseorang yang sudah memaafkan.
Lalu, bagaimana dengan konflik yang tak termaafkan? Orang Kristen harus memaafkan karena jika tidak dilakukan, maka orang Kristen akan berdosa dan tidak diampuni oleh Tuhan. Dengan keharusan ini, bagaimanakah usaha memaafkan pada orang Kristen untuk mempertahankan nilai memaafkan pada dirinya?
usaha penerapan nilai yang melekat pada seseorang, khususnya nilai memaafkan lewat pengalaman orang kristen. Peneliti ingin melihat lebih dalam lagi bagaimana pengalaman memaafkan yang dialami oleh orang Kristen dalam mempertahankan nilai memaafkan yang dianggap sebagai sentral dalam agama Kristen.
Untuk mendapatkan hasil sesuai dengan tujuan penelitian tersebut, maka peneliti menggunakan penelitian kualititaf. Hal ini, dikarenakan desain penelitian kualitatif bersifat alamiah, tidak berusaha untuk memanipulasi setting penelitian, melainkan melakukan studi terhadap suatu fenomena dalam situasi fenomena tersebut ada (Poerwandari, 1998). Pendekatan yang digunakan adalah fenomologi deskripstif. Pendekatan ini dirasa lebih tepat digunakan agar mendapatkan pemahaman deskripsi pengalaman yang original dan secara keseluruhan dari suatu fenomena memaafkan pada orang Kristen (Moustakas, 1994).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimanakah proses memaafkan pada orang Kristen?
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara teoritis dan praktis.
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan menambahkan pengetahuan untuk bidang psikologi, khusunya psikologi klinis dan Psikologi sosial bagaimana perasaaan dan pikiran, serta proses memaafkan yang berfokus pada ajaran agama Kristen.
b. Penelitian ini diharapkan menjadi sumber acuan bagi peneliti yang ingin meneliti masalah yang berkaitan dengan topik memaafkan, seperti: Pengalaman memaafkan yang berfokus pada agama lain.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi partisipan penelitian, penelitian ini diharapkan menambahkan pengetahuan tentang adanya perbedaan konsep memaafkan bagi orang awam atau non-kristen dengan Kristen sendiri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka tentang Memaafkan
1. Definisi Memaafkan
APA Dictionary of Psychology (2007) mengatakan:
“Forgiveness n. Willfully putting aside feelings of resentment toward an
individual who committed a wrong, been unfair or hurtful, or otherwise harm one in some way. Forgiveness is not equated with reconciliation or excusing another, and it is not merely accepting what happened or easing
to be angry. Rather, it involves a voluntary transformation of one’s
feelings, attitudes, and behavior toward the individual, so that one is no longer dominated by resentment and can express compassion, generosity,, or the like toward the individual. Forgiveness is often considered an
important process in psychotherapy and counseling.”
Memaafkan adalah tindakan yang dengan sengaja mengesampingkan perasaan negatif seperti sakti hati, marah, benci, dan dendam pada seseorang yang melakukan kesalahan, tidak adil atau menyakiti hati terhadap korban. Memaafkan melibatkan sebuah kesukarelaan untuk merubah perasaan, sikap, perilaku terhadap seseorang, sehingga perasaan dendam tidak lagi dominan dan dapat mengekspresikan belas kasihan, keramahan, atau kesukaan terhadap seseorang.
Frise R.N & Mcminn R. M, 2010) bahwa Memaafkan berbeda dengan rekonsiliasi. Rekonsiliasi melibatkan dua orang yang kembali membangun hubungan bersama. Memaafkan adalah proses dalam diri manusia, sedangkan rekonsiliasi adalah proses eksternal yaitu proses dalam berelasi. Hal ini dikarenakan rekonsiliasi sendiri melibatkan usaha bersama untuk membangun sebuah hubungan antara orang yang menyakiti hati dan yang disakiti (McCullough & Witvliet, 2002).
Sebagai tambahan, Enright (2010) mengatakan memafkan lebih dari menerima atau mentoleransi ketidakadilan. Memaafkan tidak hanya meletakkan peristiwa lampau dibelakang kita, tetapi kita juga harus membuka ruang dalam hati untuk orang yang menyakiti kita. Memaafkan juga tidak sama dengan melupakan. Ketika seseorang memaafkan, ia pasti akan mengingat, namun dengan cara yang berbeda saat sebelum ia memaafkan.
McCullough dan koleganya (1998) mengidentifikasikan dua motivasi yang mendasari adanya keputusan untuk memaafkan adalah menjauhi dan balas dendam. Ketika seseorang merasa tersakiti, biasanya ia akan menjaga jarak atau menjauh secara fisik dan psikologis atau mencari ganti rugi atas perbuatan tersebut dengan berharap adanya pembalasan terhadap orang yang menyakitinya. Lalu ketika memutuskan untuk memaafkan, tidak akan ada lagi kebutuhan untuk menjauhi atau mencari pembalasan atas perlakukan jahat yang dialami korban. Pembagian aspek ini juga turut dinyatakan oleh penulis yang menemukan bahwa memaafkan sebagai suatu set perubahan motivasi dari seseorang yang menjadi: a) Menurunnya motivasi membalas perlawanan dengan menyerang partner dalam hubungan tersebut, b) Menurunnya motivasi untuk menghindari pelanggar, dan c) Meningkatnya motivasi akan penerimaan, dan ada keinginan untuk rekonsiliasi walaupun perilaku pelanggar membahayakan.
2. Alasan atau Motivasi untuk Tidak Memaafkan dan Memaafkan
atau berencana untuk membalas dendam, 4) Seseorang tidak memaafkan karena lingkungan sosial tidak melakukan perilaku memaafkan saat mengalami hal yang menyakitkan juga, 5) Seseorang tidak memaafkan karena ada cara lain yang lebih mudah, dan 6) Seseorang tidak memaafkan karena ada kaitannya dengan harga diri.
Disisi lain, McCullough (2007) menjelaskan adanya motivasi untuk memaafkan oleh korban biasanya didasari oleh sifat yang peduli. Seseorang lebih siap untuk memaafkan seseorang yang kepada siapa ia merasa dekat dan ia mengetahui untuk siapa ia memberikan rasa empati. Lalu, adanya nilai yang diharapkan terhadap suatu hubungan bisa menjadi motivasi seseorang untuk memaafkan. Ketika seseorang memiliki harapan yang positif untuk sebuah interaksi sosial yang akan datang, maka otak memberi sinyal akan adanya imbalan atau keuntungan yang akan datang. Motivasi ketiga yaitu perasaan aman. Seseorang lebih siap memaafkan orang lain yang mereka percaya, dan kurang bisa memaafkan orang yang menyakitinya secara mendalam karena lebih berbahaya.
Setelah ada pelanggaran, individu ini lebih meminta adanya hukuman dan pergantian untuk memaafkan (Exline, Baumeister, Campbell, & Finkel, 2004). Memaafkan lebih memiliki relasi konsisten dengan skala yang tinggi pada pribadi yang relijius. Pribadi yang relijius lebih memiliki motivasi untuk memaafkan.
Ohbuci & Takada (2001) mengatakan bahwa didalam diri manusia, ada dua motivasi yang mendorong seseorang untuk memaafkan, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi Intrinsik meliputi personal belief, Self-ideal, rasa bersalah, dan empati. Personal belief ini adalah seseorang yang memiliki kepercayaan untuk menentang
pembalasan dendam dan hukuman, contohnya ia akan mengatakan “Kita
seharusnya tidak menyakiti orang lain walau apapun alasannya”. Self-ideal adalah sebuah harapan untuk menjadi orang yang murah hati. Rasa bersalah disebabkan oleh persepsi seseorang yang mengambil bagian untuk bertanggung jawab dengan suatu konflik. Terakhir, empati adalah perspektif dan rasa kasihan dalam memahami keadaan yang dialaminya. Motivasi intrinsik ini tidak mengharapkan adanya eksternal rewards, tapi hanya mendapatkan internal rewards seperti perasaan akan kepuasaan atau harga diri. Setelah memaafkan, korban tidak memiliki kemarahan yang besar atau penyerangan pada orang yang menyakitinya.
grup. Ketakutan akan penyerangan ini maksudnya seorang korban menahan diri untuk membalas penyerang karena ia takut menerima pembalasan lagi oleh lawannya tersebut. Pada motivasi ini, reward yang diharapkan adalah agar konflik tidak semakin membesar. Menjaga suatu hubungan adalah menahan diri dari pembalasan dendam karena takut mendapatkan hukuman berupa rasa tertolak dan tidak disukai oleh orang lain, dan harapannya adalah tetap menjaga hubungan baik.
Kemudian, motivasi dengan koherensi grup adalah memaafkan seseorang yang telah menyakitinya dikarenakan ia mempedulikan akan reaksi dari orang lain daripada reaksinya sendiri. Jika korban dan pelaku tergabung dalam 1 kelompok, korban akan mengaitkan konflik dengan orang lain dalam kelompok tersebut dan hal itu justru akan mengancam ikatan dalam kelompok. Dalam perilaku memaafkan ini, reward yang diharapkan adalah menjaga keharmonisan sosial. Dalam motivasi ekstrinsik ini, korban tidak benar-benar rela untuk memaafkan, dan ia masih memiliki rasa marah dengan menunjukkan permusuhan terhadap orang yang menyakitinya.
3. Proses Memaafkan
atau tidak penuh diakui untuk beberapa alasan. Akan tetapi, dengan pengakuan dan kesadaran terhadap perasaan dan kebenaran tersebut merupakan suatu proses esensial untuk diproses. Kedua, adanya tuntutan akan keadilan, hukuman, dan ganti rugi yang dilakukan untuk mengurangi emosi negatif korban.
Ketiga, Korban masih menunjukkan rasa permusuhan terhadap pelanggar. Namun, disini korban mulai terbuka untuk memaafkan dengan membebaskan perasaan negative tersebut sebagai cara untuk memulihkan dirinya. Untuk memaafkan, korban melihat diluar dirinya terhadap pelaku. Lalu, korban mungkin memegang moral atau kewajiban agama untuk memaafkan pelaku manusia bermoral atau sebagai seorang yang diciptakan Tuhan. Hal ini bisa menjadi jenis tuntutan impersonal (Impersonal claim) yang mendukung korban untuk memaafkan, contohnya adalah saya harus memaafkan pelaku karena sebagai seorang yang bermoral, pelaku juga memerlukan rasa hormat dan pertimbangan dari
saya”. Disisi lain, korban menggunakan tuntutan akan hubungan personal
(personal claim) dalam pengampunannya. Maksudnya korban mungkin memiliki hubungan yang dekat dengan pelaku, misalnya pelaku dan korban memliki hubungan darah atau perkawinan, dan hubungan tersebut bisa menjadi alasan untuk memaafkan yang harus diusahakan.
positif terhadap pelaku, seperti belas kasihan, memahami, atau mengasihi pelaku. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan pelaku juga merasakan adanya penyesalan dan hasrat untuk mendapatkan pengampunan. Tahap selanjutnya, korban mengambil keputusan untuk memaafkan. Korban berusaha memahami keadaan, latar belakang, dan perasaan pelaku. Dengan kata lain, korban memisahkan antara pelaku dari pelanggaran yang telah dilakukannya.
Kemudian, adanya ekspresi dari memaafkan korban untuk pelaku. Seringnya terjadi hubungan baik kembali antara pelaku dan korban, misalnya dengan bersalaman cukup menjadi indikasi seseorang telah memaafkan. Bisa juga, korban mengatakan ke orang lain bahwa ia telah memaafkan pelaku. Terakhir, perasaaan negatif menghilang dan terganti menjadi emosi yang positif terhadap pelaku. Memaafkan adalah secara prinsipan adanya perubahan internal dari hati dan pikiran, bahkan secara langsung ke orang lain. Proses yang dikemukakan North ini adalah proses memaafkan yang ideal. Ia juga mengatakan bahwa setiap tahap ini tidak selalu dialami oleh korban secara nyata (dalam Enright & North, 2010).
Model proses memaafkan yang lain dikemukakan oleh
Fitzgibbons’s (dalam Enright & North, 2010) menjelaskan proses-proses
(decision), ketika korban cukup menderita atas konsekuensi dari kejadian marah, mereka akan termotivasi untuk melakukan sesuatu untuk mengurangi penderitaan yang dialami. Motivasi untuk memaafkan ini dapat dinpengaruhi oleh kondisi kultur, dukungan dari keluarga, teman, dan kelompok sosial, serta ajaran agama atau filosofi. (3) fase tindakan (working on forgiveness), di mana ada ada usaha pembentukan perpektif yang baru, bertambahnya pemahaman, dan membangun perasaan, pikiran, dan perilaku yang positif terhadap pelaku, dan (4) fase hasil (outcome or deepening phase), di mana korban memperoleh pembebasan emosi,
kelegaan, menemukan sebuah tujuan baru dalam hidup.
4. Dampak Memaafkan
Memaafkan sering digunakan sebagai proses penting dalam psikoterapi dan konseling (VandenBos, 2007). Memaafkan memiliki hubungan dengan kesehatan fisik manusia. Dalam studi McCullough, ia memfokuskan penelitiannya pada efek cardiovascular. Dalam penelitiannya, kondisi ketika orang memaafkan yaitu partisipan mengalami penurunan stres psikologis, level pada emosi negatif menurun, level emosi positif meningkat, dan memiliki kontrol diri yang baik. Memaafkan juga memiliki asosiasi dengan psychological well-being yang baik, tingginya kepuasan dalam hidup, dan gejala riwayat hidup akan kesehatan fisik rendah. Kemudian, Memaafkan dapat berfungsi sebagai alternatif lain untuk perilaku seperti merokok, dan penggunaan alkohol atau narkoba yang biasanya dilakukan untuk mengatasi emosi negatif dan pengalaman sosial yang dihadapi.
daripada orang yang tidak yakin untuk memaafkan, dan tidak mempercayai pelaku untuk dimaafkan.
Studi memaafkan pada hubungan berpasangan suami-isteri, Worthington & Berry (2001) mengukur kesehatan fisik dan fungsi psikologis partisipan. Hasilnya, yaitu orang yang memaafkan variabel personalitinya menunjukkan adanya karakter memaafkan yang tinggi dan rendahnya karakter marah, serta variabel interpersonalnya ditunjukkan bahwa adanya kualitas hubungan yang lebih baik dengan ditunjukkan tingginya perasaan suka dan kebahagiaan terhadap pasangan. Selain itu orang yang memaafkan juga memiliki kesehatan yang membaik.
B. Memaafkan menurut Agama Kristen
Penganut Kristen diajarkan untuk memaafkan tujuh puluh tujuh kali tujuh kali, mendoakan, dan mengasihi musuh. Injil menjelaskan bahwa keinginan Tuhan untuk memaafkan dan melakukannya dengan sikap altruistik. Tuhan tidak meninggalkan orang sendiri yang mencoba memaafkan tanpa bantuan-Nya. Tuhan sangat penting dan tetap ada untuk bekerja dalam diri orang (Worthington, 2006). Dalam Kristen memiliki kepercayaan bahwa Seorang Penebus telah menebus dosa manusia dan mereka diampuni, seperti pada injil Mat 6: 14-15 berbunyi: “Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang disorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi
jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni
kesalahanmu”. Oleh karena itu, Orang Kristen diajarkan untuk memaknai
Selain itu, Memaafkan dalam ajaran Kristen adalah bersifat suatu kewajiban dan kemuliaan. Pernyataan ini diberikan oleh McCullough dan Wothington (1999) yang melakukan penelitian untuk melihat hubungan antara relijius dan komitmen.
Penganut agama Kristen untuk memaafkan orang lain murni dengan motivasi akan kasih. Akan tetapi, ditemukan juga bahwa memaafkan merupakan suatu perintah yang sulit untuk dipatuhi karena hal tersebut berlawan dengan adanya perasaan dalam diri untuk menjatuhkan hukuman sebagai wujud keadilan. Terdapat penelitian survei pada Protestan, Katolik, and Nonrelijius oleh Loren L toussaint & David R. Williams (2008). Hasilnya menunjukkan orang Kristen memiliki nilai memaafkan yang paling tinggi, diikuti oleh katolik, dan terakhir yang tidak beragama. Penelitian ini hanya melihat seberapa besar nilai memaafkan dalam sikap, akan tetapi tidak berdasarkan perilaku.
Pada tokoh agama, tingkat memaafkan orang lain lebih tinggi daripada memaafkan situasi dan dirinya sendiri. Kemudian, diikuti oleh kelompok kristen dengan tingkat memaafkan yang menunjukkan bahwa kelompok ini lebih bisa memaafkan keadaan daripada memaafkan dirinya dan orang lain. Terakhir, kelompok NRA juga menunjukkan bahwa kelompok lebih bisa memaafkan keadaan daripada diri sendiri dan orang lain. Selain itu, tokoh agama lebih bisa mempercayai orang kembali, yang terlihat dari sikapnya ke orang lain dan rendahnya sinisme daripada orang Kristen dan yang tidak memiliki kelekatan agama. Hal ini menunjukkan bahwa orang Kristen juga mengalami kesulitan untuk memaafkan orang yang telah menyakitinya.
Exline et al. (2003); Worthington, 2003; Worthington & Scherer, 2004) mengidentifikasikan tipe dalam memaafkan, mengatakan bahwa ketika seorang memutuskan untuk memaafkan adalah sebuah pernyataan yang bermaksud baik terhadap pelanggar yaitu menolak untuk membalas dendam atau menjauhi. Keputusan memaafkan ini adalah berakar dari injil kitab yang merupakan mandat atau perintah dalam memaafkan. Ketika melaksankan perintah tersebut, alasan yang menyebabkan orang Kristen lebih terbuka dalam memafkan adalah pengajaran radikal dan contoh dari Yesus yang memerintahkan untuk memaafkan semua musuh.
memaafkan demi Kristus, ia akan mulai menemukan pemulihan, pengakhiran, kedamaian, dan penghiburan. (Fr. Callistus Isara, MSP). Kedua, penyaliban mengajarkan kita bahwa rekonsiliasi adalah tugas dari korban. Model penyaliban menggambarkan bahwa yang disakiti yang berinisiatif untu memperbaiki suatu hubungan. Perlakuan menyakitkan bisa menjadi sebuah kesempatan untuk menunjukkan perubuhan hidup yang merupakan karunia dari Tuhan. Disini Yesus mengumpakan, bahwa siapapun yang menolak untuk memaafkan orang yang berhutang, maka ia akan mendapatkan hukuman. Hanya dengan Memaafkan, kita membebaskan kita dari rasa sakit yang sudah lampau dan menuju kemasa depan yang baru (Christian Reflection A Series in Faith and Ethics, 2001).
Dapat disimpulkan bahwa penganut Kristen diharapkan untuk memaafkan orang lain atas dasar perintah sebagai wujud menaati ajaran tersebut. Penganut Kristen juga diharapkan untuk memaafkan orang lain secara murni dengan motivasi akan kasih. Dapat disimpulkan bahwa penganut Kristen melakukan proses memaafkan dan perdamaian. Hal ini dilakukan untuk membuktikan ketaatan pada ajaran Tuhan.
C. Kerangka Berpikir
Konsep memaafkan sangat terkait dengan aspek spiritual dan religiusitas seseorang. Namun, konsep memaafkan didefinisikan dengan makna yang berbeda. Banyak peneliti setuju bahwa definisi memaafkan memiliki perbedaan makna dengan istilah forgetting, pardoning, dan rekonsiliasi. Ketika memaafkan, seseorang menurunkan tingkat pikiran, perasaan, dan perilaku negatif pada diri sendiri. Kemudian yang kedua adalah seseorang meningkatkan pikiran, perasaan, dan perilaku positif pada oran lain.
dikatakan bahwa selain tipe kepribadian, faktor yang mempengaruhinya adalah motivasi. Motivasi ini bisa berupa empati, untuk mendaptkan rasa aman, adanya harapan sosial, dll.
Menurut ajaran Kristen, prinsip memaafkan ditanamkan dalam diri penganutnya sebagai cara menyelesaikan suatu konflik. Motivasi dalam menaati ajaran agama untuk seperti Tuhan dan mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. Selain ada perubahan dalam intrapersonal, orang Kristen juga diharapkan untuk melakukan perdamaian dengan orang yang bersalah. Dengan ajaran tersebut orang Kristen mungkin sudah terbiasa untuk memaafkan orang yang bersalah. Namun, kadang ada beberapa masalah yang dirasa cukup sulit untuk dimaafkan.
Oleh karena itu, dengan melihat proses yang dilakukan oleh orang Kristen dalam memaafkan, kita dapat mengetahui perasaan, pikiran, dan perilaku yang dialami oleh mereka, motivasi apa saja yang terdapat dalam proses ini, strategi apa yang dilakukan, perubahan apa sajakah yang terjadi, dan kemanakah orientasi memaafkan pada orang Kristen ini.
D. Pertanyaan Teoritis
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Strategi Penelitian
Peneliti menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif mulai dengan asumsi, pandangan dunia, kemungkinan menggunakan pandangan teori, dan studi dari masalah penelitian. Peneliti menggunakan metode kualitatif karena peneliti membutuhkan dan ingin memahami secara detail tentang pengalaman memaafkan yang dialami orang kristen. Pemahaman detail ini hanya bisa dibangun dengan berbicara secara langsung dengan orang, mengunjungi langsung ketempat subyek, dan memperbolehkan subyek untuk bercerita tanpa dibebani oleh apa yang kita ingin teliti. (Creswell, 2007). Dengan cara seperti ini, maka penelitian ini memiliki kekayaan data yang tidak hanya didapatkan dari dari data mentah wawancara, tapi juga emosi partisipan ketika bercerita.
B. Fokus Penelitian.
Penelitian ini menggambarkan sebuah kejadian yang berada dalam kesadaran dan ingatan partisipan. Penelitian ini berfokus pada pengalaman orang Kristen yang berada pada kondisi sulit memaafkan dan bagaimana proses memaafkan yang terjadi pada orang Kristen dalam mempratekkan nilai agamanya tersebut.
C. Latar Belakang Peneliti
Dengan penelitian ini, selain dapat memahami, peneliti juga ingin belajar cara-cara apa saja yang dilakukan berdasarkan pengalaman orang yang sudah berhasil memaafkan dengan kepercayaan dan ajaran yang sama.
D. Metode Pengumpulan Data
1. Partisipan
2. Setting Penelitian
Peneliti melakukan pengambilan data di gereja dan dikost peneliti. Peneliti berusaha menjaga kenyamanan subyek dengan kondisi yang hanya terdapat peneliti dan subyek dalam proses wawancara ini.
3. Jenis Data
Peneliti menggunakan wawancara semi testruktur. Lalu, Data direkam menggunakan MP3 dan nantinya peneliti akan mengubah hasil wawancara tersebut dalam bentuk verbatim.
E. Prosedur Analisis data
1. Peneliti membaca secara keseluruhan verbatim yang sudah ditulis oleh peneliti. Hal ini dilakukan agar peneliti lebih memahami deskripsi pengalaman yang ada.
2. Menentukan unit makna. Setiap mendapatkan transisi makna, peneliti akan memberikan garis miring dalam teks tersebut. Langkah ini merupakan langkah praktis yang akan membantu peneliti melakukan langkah berikutnya.
3. Mentransformasi yang implisit, khususnya dalam makna psikologis. Tahap ini mencari makna psikologis dari situasi yang dialami secara konkrit oleh subyek. Hal ini berarti peneliti sungguh mengartikulasikan dan menampakkan makna-makna psikologis yang berperan dalam pengalaman tersebut.
menyertakan verbatim yang menguatkan pernyataan. Verbatim ini dibuat dengan huruf miring dan diberi tanda kutip.Setiap dimensi atau tahap yang berkaitan dengan pengalaman diterima dan dimasukkan.
5. Membuat deskripsi struktural individu dan gabungan. Dalam deskripsi struktural ini menunjukkan bagaimana pikiran dan perasaan yang ada dalam pengalaman memaafkan. Deskripsi struktural ini adalah suatu cara bagaimana cara peneliti memahami pengalaman memaafkan ini. Peneliti secara sadar mengimajinasikan, merefleksi, dan menganalisis verbatim diluar dari yang terlihat dan menjadi esensi dari deskripsi struktural pengalaman memaafkan.
6. Mengintregasikan tekstur dan struktur menjadi esensi dari suatu fenomena secara keseluruhan.
F. Kredibilitas
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan validitas argumentative. Validitas argumentative tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah (dalam Poerwandari. 1998: 117). Proses ini dapat dibaca dalam bagian pembahasan dan lampiran.
Untuk meningkatkan dependality penelitian kualitatif, maka peneliti melakukan metode yang dianggap penting, antara lain.
2. Keterbukaan, sejauhmana peneliti membuka diri dengan memaanfaatkan metode-metode yang berbeda untuk mencapat tujuan.
Peneliti sudah membaca beberapa pendekatan yang digunakan dalam penelitian kualitatif, dan pendekatan fenomonologi deskriptif lebih bisa menggambarkan pengalaman yang diteliti.
3. Diskursus, sejauh mana dan seintensif apa peneliti mendiskusikan temuan dan analisisnya dengan orang-orang lain (Poerwandari. 1998). Pada metode ini, peneliti tidak sendiri dalam menyelesaikan penelitian ini. Peneliti mendiskusikan proses-proses dan hasil penelitian dengan pembimbing penelitian.
G. Pertanyaan Wawancara
1. Tolong ceritakan pengalamanmu dimana kamu berada dalam kondisi sulit memaafkan?
2. Kapan peristiwa itu terjadi? 3. Ceritakan proses memaafkannya.
4. Proses kamu mengampuni itu berapa lama? 5. Kenapa kamu memaafkannya?
6. Keadaan kamu saat mengampuni itu apa yang kamu pikirkan dan rasakan? 7. Bagaimana keadaanmu setelah memaafkan dari perasaan, pikiran, dan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Tekstural dan Struktural P1
1. Latar Belakang
P1 adalah mahasiswi jurusan Farmasi berusia 22 tahun. Selain berkuliah, kegiatan P1 adalah aktif dalam pelayanan di gereja. P1 bertugas sebagai penari tambourine dan pengajar tambourin untuk anak-anak. P1 juga seorang pemimpin persekutuan doa yang memiliki 6 anggota. Pertemuan ini rutin yang dilakukan rutin 1 kali dalam seminggu, begitu juga dengan tugas pelayanan dan tugas mengajarnya.
2. Latar Belakang Pengalaman
3. Deskripsi Tekstural
P1 akan mudah untuk marah ketika ada orang yang melukai hati orang terdekatnya terutama ibu. Pengalaman marah yang dialami P1 ini dipicu oleh ayah yang terbukti menyelingkuhi sang ibsehingga ibu marah dan menangis. Peristiwa ini dapat dimasukkan dalam kategori perusakan kepercayaan. “Karena papa ku pernah kedapatan selingkuh, mama ku marah, dan terus mamaku nangis”, siapapun
yang nangisin mama itu rasanya memang sangat mudah untuk ku
benci”. Selain itu, P1 sering merasa diabaikan oleh ayah yang sering
pergi meninggalkannya. “Yang bikin susah dimaafkan. Natal itu tidak pernah sama kita. Sekitar 6 7 tahun. Itu pergi kemana ga tau.
Pokoknya sekali meninggalkan rumah itu bisa sampe 1- 2 bulan ga
ada dirumah, itu ga balik-balik, Pergi tanpa kabar lagi”.
Pada peristiwa ini, perasaan marah muncul sehingga ia merasa sangat sulit untuk memaafkan. “Rasanya kesel sama papa ku. Jadi sulit banget untuk memaafkannya,.Bahkan meliat muka papaku aja
kesel rasanya”. Selain itu, reaksi yang muncul P1 ketika berada dalam
keadaan sakit hati adalah pikiran untuk merusak seperti menghukum dan perilaku keengganan mengakui sang ayah. “hukuman moral utuk dia aja. Biar dia tau rasa ga perlu punya nama baik”. bilang aja ma,
bilang aja kalo dia selingkuh. Biarin aja, bodo. Yang malu Biar aja
Ada dua proses memaafkan yang dialami oleh P1. Pertama, proses pengalaman gagal memaafkan. Proses ini terdapat dorongan dari luar dirinya yaitu ketika P1 melihat sosok ibu yang memaafkan, dan ia mencoba mengidentifikasi perilaku tersebut. Namun usaha tersebut dirasa gagal karena merasa masih marah ketika mengingat kejadian. “belajar dari my mother. Karena termotivasi dari dia. Liat dia itu, kok bisa itu lho mengampuni dengan sangat sangat
setulus-tulusnya, kok aku ga bisa. Jadi aku belajar. Jadi ya aku maafin papa,
padahal sebenarnya itu cuman dibibir doank.”.
Proses kedua, memaafkan yang melibatkan Tuhan ini terdapat motivasi, tantangan, dan strategi yang digunakan oleh P1. Motivasi dalam memaafkan pada proses ini adalah keinginan mengidentifikasi Tuhan dan mempratekkan perintah Tuhan. “Kalo Tuhan aja bisa maafin aku, kenapa enggak”. Namun, tantangan untuk mempraktekkan hal tersebut, muncul konflik dalam diri P1 yaitu rasa tidak pantas untuk memaafkan sang ayah: “perang sama diri sendiri.. Karena dari dalam lubuk hati yang paling dalam ada yang ngomong
ayo maafin. Tapi rasanya secara manusia orang itu ga layak untuk
dimaafkan. Kenapa saya harus maafkan. aku merasa harus dipaksa
untuk mengucapkan itu, Aku ngomong mengasihi dia, tapi hatiku gak
mengasihi dia. Jadi nangis. kalau ingat luka hati nya, itu
sangat-sangat menggalaukan. Antara haduh mengampuni tapi Kesalahannya
berdoa mendapat kemudahan untuk memafkan. P1 merasa akan Tuhan yang lebih dulu memaafkan dan bukan ia yang berhak menghukum. Hal ini terlihat bahwa P1 melakukan perbandingan bahwa ia mengecilkan dirinya dan membesarkan Tuhan “waktu doa baru ngambil keputusan untuk mengampuni. Aku aja sudah diampuni
Tuhan Yesus, masa aku gak ngampuni.. Tuhan yang lebih berhak,
hakim atas segala hakim, gitu lho, isa mengampuni dia, masa kita
gak, siapakah kita”.
Setelah memaafkan, maka dampak yang muncul adalah perasaan yaitu rasa kepuasan “Nangis lega karena aku sudah mengampuninya dengan setulus-tulusnya. pas ending-endingnya
tangisan sukacita. Rasanya itu lebih sehat. Ga tau kenapa lebih sehat.
Lega, sukacita, senang, Jauh lebih baik. sampai sekarang, semakin
hari semakin membaik”. Selain perasaaan maka perilaku yang
menghukum berubah menjadi kasih dan ada rekonsiliasi.
tantangan karena merasa benar dan sulit menerima rasa menyakitkan, dan strategi yang dilakukan dengan berdoa dan mengecilkan diri bahwa ia sudah dimaafkan Tuhan. Terakhir adalah dampak memaafkan kesehatan berupa kesehatan fisik, dan kesehatan psikologis seperti sukacita, lega, serta hubungan dengan pelaku berjalan baik.
4. Deskripsi Struktural
B. Deskripsi Tekstural dan Struktural P2
1. Latar Belakang
Saat wawancara P2 masih berkuliah dan berusia 24 tahun P2 adalah seorang mahasisiwi lulusan UKDW jurusan Teknik Informatika. yang aktif dalam pelayanan gereja. Setiap minggu ia menjadi pengajar kelas tambourine untuk kalangan dewasa. Sebelumnya ia setiap minggu bertugas melayani dipanggung sebagai penari tambourin dan harus mengkuti latihan rutin setiap minggunya. Selain itu, perannya di dalam gereja ialah pernah menjadi koodinator bagian kostum panggung. P2 juga seorang pemimpin persekutuan doa yang bertugas memimpin doa, membagikan renungan firman dari kitab, dan menjadi penasehat untuk anggotanya. Dalam kehidupan sehari-hari, P2 dan keluarganya membaca kitab dan melakukan perjamuan kudus.
2. Latar Belakang Pengalaman
mengganti nomor Handphone agar tidak mendapatkan terror lagi. Setelah sadar, P2 mengetahui bahwa H adalah orang yang selama ini menjadi penerornya. Hal ini menyebabkan P2 kecewa dan sangat marah. Selain itu P2 selalu ketakutan dan terancam setiap bertemu dengan H, padahal mereka berada pada 1 universitas dan 1 jurusan yang memaksanya untuk sering bertemu. Oleh karena itu, ia ingin melepaskan perasaan yang tidak nyaman tersebut. Pada akhirnya P2 memutuskan untuk memaafkan H pada waktu saat teduh.
3. Deskripsi Tekstural
Dibohongi merupakan suatu penyebab P2 sakit hati. “saya merasa diperdaya, dan diperalat”. Selain itu, adanya ancaman terhadap keselamatan orang tua P2 merasa cemas dan putus asa “yang benar-benar membuat saya tergoncang, saat itu mami mo ke
Manado,. dia itu mendoakan ketidakselamatan untuk orang tua saya.
Saya waktu itu benar-benar tertekan. Sampe saya ga tau ngomong ma
siapa lagi”. Dari perlakuan H, timbul pikiran menyalahkan perasaaan
yang bercampur aduk antara benci, dan ketakutan, sehingga memilih untuk menghindari H. “saya sakit hati, ga bisa dipungkiri, Saya kepahitan saat itu. Dan,..ada rasa takut bercampur rasa benci,
kenapa dia itu Setega itu pada saya. Saya ga mau dekat-dekat sama
Selain menyalahkan sumber masalah, P2 kehilangan akal sehat dengan menyalahkan dan meragukan akan keberadaan Tuhan “saya seperti kehilangan akal sehat. saya meragukan Tuhan. Kalo Tuhan itu
benar-benar ada, kenapa seolah-olah orang yang sms saya ini bisa
mengendalikan segala sesuatunya”..
Dalam proses memaafkan, terdapat motivasi untuk mengidentifikasikan dirinya dengan Tuhan “saya habis ikut ret-reat
encounter dan saya juga semakin bertumbuh didalam Tuhan, Roh
kudus tu kan ngingetin mengampuni dan melupakan, seperti Tuhan
Yesus yang telah mengampuni dan melupakan”.
Selain itu, keinginan untuk coping emosi yaitu untuk membereskan rasa kehilangan akan kepercayaan pada dirinya. “Karena saya ngerasa tidak nyaman dengan rasa terancam, rasa
ketemu dia kayak takut, menghindar. Kayak mulai kehilangan rasa
percaya diri. P2 yang dulu bukan seperti P2 yang sekarang. Itu yang
membuat saya merasa tidak nyaman sendiri. Dan saya memutuskan,
buat apa saya simpan trus, memang saya harus bertindak untuk
mengampuni”.
P2 memutuskan untuk memaafkan dan mendoakan kebahagiaan H “akhirnya saya memutuskan saya mau mengampuni dia. Saya berdoa buat dia, saya juga berdoa untuk ibaratnya
yang ingin saya lakukan adalah saya bertemu dia, menegur dia, dan
berkata “aku sudah mengampunimu lho”. Dan saat itu bukan hal
yang mudah memang”. Strategi yang digunakan P2 yaitu kepatuhan
agar ia juga dimaafkan “Ketaatan pada firman. sebagai orang yang
udah percaya dengan Tuhan Yesus, kan ngajarin mengampuni dan
melupakan. Kalau kamu disakiti, kamu harus Mengampuni 77 kali 7,
dalam arti tidak terhingga. Karena kalau kita mengampuni, maka kita
diampuni. Didoa Bapa kami, juga jelas,.Ampunilah dosa kami seperti
kami juga mengampuni orang yang bersalah”. Karena itu adalah
Teladan sendiri dari Tuhan Yesus. Itu yang membuat aku, okelah saya
mau mengampuni dan saya tidak mau hidup dalam kepahitan lagi.”.
Oleh karen itu, P2 memutuskan untuk patuh melakukan rekonsiliasi dengan menemui pelaku, Saya bilang, “Aku udah mengampunimu kok”, trus dia bilang “Ouh iya ya. Ya udah. Hanya gitu responnya”.
Akibat usaha rekonsiliasi, selain P2 merasa ada kemenangan dan kelegaan ketika mematuhi perintah, P2 masih merasa ada kekhawatiran dalam dirinya terhadap H. “Tuhan setidaknya aku menang. Aku sudah mengatakan apa yang harus kukatakan. Sampai
detik ini, setiap kali ketemu dia, saya masih ada rasa rada takut,
merasa terancam. Bukan karena takut sama dia, tapi masih ada kaya
rasa ancam dalam diri saya”.
terhadap keselamatan orang tua, 2) perasaan kecewa, benci, marah, dan hilang kepercayaan diri; dan hilang akal sehat dengan menyalahkan menyalahkan Tuhan, dan pikiran menyalahkan sumber masalah; perilaku menghindar terhadap kejadian tersebut, 3) Proses memaafkan yang meliputi kesulitan walaupun ada dukungan untuk memaafkan. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut, P2 patuh dan mempersiapkan diri untuk berdamai. Usaha perdamaian yang ditolak mengakibatkan perasaan terancam terhadap pelaku. Disisi lain, dampak memaafkan ini terjadi perubahan intrapersonal seperti perasaan lega dan bersyukur.
4. Deskripsi Struktural
rasa bersyukur ada dalam diri P2 walaupun masih merasa terancam ketika bertemu dengan pelaku.
C. Deskripsi Tekstural dan Struktural P3
1. Latar Belakang
P3 adalah seorang mahasiswa ekonomi dari universitas UKDW yang berusia 22 tahun. Di gereja, P3 terlibat dalam pelayanan sebagai Guru sekolah minggu, pemimpin persekutuan doa untuk remaja dan anak-anak. Selain itu, P3 juga sering melakukan persekutuan doa bersama teman pelayanannya.
2. Latar Belakang Pengalaman
berubah menjadi baik dan ada suatu perdamaian antara kedua belah pihak.
3. Deskripsi Tekstural
Serangan agresi yaitu disalahkan dan dimarahi menjadi pemicu pengalaman marah pada P3. Dari kejadian tersebut marah dan ingin membalas bentakan pelaku “pengen emosi, pengen emosi, pengen bentak orang itu, karena saya bener gitu, dan dia salah.” Dikarenakan ingin menjaga kesempunaan Tuhan lewat diri, maka P3 ingin mendapatkan cara yang tidak merusak dan juga tidak merasa kalah “Ya Tuhan, aku gak mau ngelawan dia tapi aku juga gak mau
diungkit-ungkit sama dia, seperti itu. penting aku bisa maafin dia”. Terdapat motivasi untuk melakukan perintah Tuhan “entah kenapa dalam hati saya disuruh Tuhan bilang lihat matanya. Namun,
kesulitan yang didapat adalah masih menyimpan rasa marah Cowok kalo liat matanya, orangnya juga lihat, pasti tambah emosi. Kalau
secara logika, saling hadap-hadapan matanya tu nantangin” Entah
kenapa waktu saya liat matanya, rasanya nyeees, gitu. Hati tu
langsung serasa ga ada emosi lagi”. P3 menggunakan peran Tuhan
sebagai pengendali kemarahan “saya bisa maafin orang itu bukan karena saya bisa mengendalikan emosi, tapi karena Tuhan Yesus yang
mengendalikan emosiku”. Selain itu, Tuhan adalah sosok pemberi
pegawai BRI. Kalau kamu ditanyain, segala macam,..Itu tujuannya
buat ngasih tau kantor. Biar kantor ganti rugi. Entah kenapa pikiran
positif masuk kedalam pikiranku”. Dampak lain dari memaafkan
adalah ada rasa ketagihan karena merasa menang dari suatu kesulitan “Aku malah pengen kecelakan lagi. Rasanya tu, seperti sudah
ngalahin sesuatu. sudah mengalahkan sesuatu..ngerasain senang
banget,.aku jadi seperti berada di atas”.
Tema-tema inti yang muncul yang menjadikan P3 marah adalah 1) adanya serangan agresi dengan disalahkan, 2) Pikiran ingin membalas dan merasa marah yang menghalangi P3 memaafkan.
Kemudahan memaafkan ini didapatkan dengan melibatkan Tuhan. Dengan adanya kepatuhan walaupun sulit untuk melaksanakan perintah, namun peran Tuhan bagi P3 adalah sebagai pengendali emosi dan Tuhan pemberi pikiran positif. Oleh karena itu, P3 mendapatkan kemenangan dan ada belas kasihan terhadap pelaku.
4. Deskripsi Struktural
kesulitan dalam menuruti perintah Tuhan yang bertentangan dari pikirannya. Bagi P3, pengontrol kemarahan adalah Tuhan, sehingga Tuhan yang menurunkan emosi dan memberi pikiran positif untuknya. Dampak memaafkan ini terdapat perubahan perasaan, pikiran, dan perilaku dari sebelumnya. P3 merasakan kelegaan yang meliputi puas, menang, dan senang. Lalu, perubahan korban terhadap pelaku adalah pikiran positif, belas kasihan dan perdamaian dengan pelaku.
D. Deskripsi Tekstural dan Struktural P4
1. Latar Belakang
P4 adalah masiswa kedokteran hewan yang berusia 23 tahun. P4 dibesarkan dengan agama Kristen. Sekarang P4 menjadi pemimpin persekutuan doa yang selalu ada setiap satu kali minggu. P4 juga terlibat aktif dalam pelayan menjadi guru kids digereja. Pengalaman memaafkan ini dialami saat P4 pada tahun 2011. Permasalahan yang terjadi adalah antara partisipan dan pacar pertama.
2. Latar Belakang Pengalaman
dibohongi dan ia sangat kecewa. Perasaan sakit hati ini ia bawa sampai ia berkuliah di Yogyakarta. Lalu P4 mengikuti kegiatan gereja yang disebut retreat encounter. Pada sesi pemulihan, seluruh partisipan diajak untuk memaafkan seseuai dengan firman Tuhan. Pada waktu itu, P4 meminta petunjuk Tuhan untuk menunjukkan sumber sakit hatinya. Lalu, P4 merasa diperlihatkan wajah perempuan yang menyakiti hatinya tersebut. Lalu P4 memutuskan untuk memaafkan perempuan tersebut. Setelah memaafkan, ada keinginan untuk berbicara dan berteman lagi dengan pelanggar. Namun, P4 tidak bisa melakukan hal itu, karena pelanggar berada dipulau yang berbeda.
3. Deskripsi Tekstural
Peristiwa yang menjadi P4 sakit hati yaitu perusakan kepercayaan yang dilakukan oleh pacar pertama. “dibohongi aja dengan alasan dia yang alasan putus karena orang tuanya, sekarang
malah pacaran dengan cowok lain gitu”. Pemicu lain adalah ia
merasa direndahkan karena lelaki penggantinya yang tidak sepertinya “benar-benar buat aku sakit hati ju,. kebetulan cewekku ini dia
nasrani, dia Kristen, dia anak Tuhan, tapi dia punya cowok yang
bukan anak Tuhan”.
“mengejutkan,.. kaget, benar-benar sedih, kecewa, dan sakit hati
banget.. Rasa kecewa sama rasa dibohongi,.Alasannya gak dibolehin
orang tua, ternyata kamu dibolehin aja pacaran. Coba kamu lebih
jujur bilang kamu gak suka sama aku atau apa mungkin aku lebih bisa
terima itu”.
Tidak hanya pada sumber masalah, pikiran mengacu pada nilai Kristen pun muncul dengan menyalahkan perilaku Tuhan, “aku kesel sama Tuhan,. Aku gak tau kenapa aku tiba-tiba bisa gitu bisa
nyalahin Tuhan juga,.. Tuhan tu kenapa gak gini gini, aku anak
Tuhan, dia juga anak Tuhan. Kenapa Tuhan malah kasih dia ke orang
lain”. Dengan adanya kehadiran wanita lain dan mendapatkan
pengganti maka ada usaha memaafkan namun tidak berhasil, “aku mulai mengenal perempuan-perempuan lain, disisi lain aku mulai
mengatakan aku memaafkan perempuanku yang lama. Tapi
sebenarnya aku tau, didalam hatiku yang paling dalam, sebenarnya
aku masih belum bisa mengampuni”.
Keputusan memaafkan terjadi ketika P4 mengikuti retreat yang diadakan gereja, dan doa yang dikabulkan ketika meminta petunjuk Tuhan “Tuhan tu bener-bener jawab doaku. Tuhan langsung tunjukkin sakit hatiku. Tiba-tiba wajah perempuan ini muncul”. Adanya
aku beresin. Ya aku cuma punya prinsip gitu, ya dan ternyata ya itu
aku gak punya alasan spesifik sebenarnya untuk aku bener-bener
maafin dia”. Namun, hambatan yang menantang P4 untuk memaafkan adalah masih menyimpan sakit hati terhadap pelaku “yang awalnya
aku merasa fine-fine aja, tiba-tiba wajah itu muncul dihadapanku,
baru aku ngerasa kalau aku belum bisa mengampuni dia. Rasa
kepahitanku aku tu yang sebenarnya dalam banget, ternyata saat itu
Tuhan bukakan bahwa aku masih menyimpan suatu kepahitan.”
Tuhan memberi pertolongan dengan memberi kekuatan “tapi satu hal yang bener-bener yang aku tau Tuhan yang bantu untuk bisa
maafkan dia. Bener kalau saat itu gak minta bantuan Tuhan untuk
mengampuni dengan kekuatanku sendiri itu mustahil untuk bisa
memaafkan”. aku bisa rasain kasih Tuhan yang luar biasa. Kasih Tuhan itu yang memampukan aku untuk bisa mengampuni dia bisa
memaafkan temanku itu.
Dampak memaafkan yang menjadi pengalaman dimana ia merasa adanya kelegaan, pelepasan perasaan negatif dan keinginan melakukan perdamaian dengan pelanggar. “Rasanya bener-bener dihati tu wuaah,.. bener-bener rasanya yang lega,.ketika aku
benar-benar bisa mengampuni aku muntah waktu itu,.. yang kurasain, ada
suatu sukacita begitu aku bisa berbeda lah saat aku bisa mengampuni
dia ada sesuatu yang wuaaah,.satu hal yang terjadilah dalam hidupku
aku. Nanti kalau aku bisa ketemu dia, mungkin aku sudah berbeda
lagi dimana aku dulu menyimpan perasaan gimana. aku mau coba
lagi bisa bertemu dengan dia, pengen ngobrol-ngobrol juga banyak
sama dia.”
Tema inti yang ada berhubungan dengan 1) pengalaman marah karena kepercayaan yang dirusak, 2) Reaksi berupa perasaan sakit hati, sedih marah, harapan akan kejujuran, dan perilaku menghindari sumber masalah, dan menyalahkan Tuhan 3) Adanya usaha memaafkan yang gagal. Lalu, P4 melibatkan Tuhan berdoa meminta petunjuk dengan motivasi untuk membersihkan emosi negatif dalam diri. Dalam pengalaman doa tersebut, P4 mendapatkan pertolongan Tuhan, sebagai pemberi kekuatan dan pengendali emosi. Dari kelegaan dan pelepasan perasaan negatif terhadap pelaku ini mendorong P4 untuk melakukan rekonsiliasi.
4. Deskripsi Struktural
pertolongan Tuhan sebagai pengontrol emosi memudahkan subyek untuk memaafkan dan berkeinginan melakukan rekonsiliasi.
E. Deskripsi Tekstural Semua Partisipan
Dalam deskripsi tekstural ini akan menguraikan proses memaafkan pada partisipan yang meliputi kategori deskripsi dari pelanggaran, reaksi terhadap peristiwa tersebut, motivasi untuk memaafkan, tantangan atau hambatan dalam proses memaafkan, strategi yang digunakan, dan dampak dari memaafkan tersebut.
Empat partisian ini mengalami pengalaman marah yang dipicu oleh pengabaian, agresi verbal, direndahkan, perusakan kepercayaan, dan serangan terhadap orang terdekat.
Tahapan Tema deskriptif Koding Deskripsi
kejadian marah
Kepercayaan yang dirusak terhadap diri sendiri dan orang terdekat
P1 Dibohongi, sakit hati ketika orang terdekat (ibu) diselingkuhi/dikhianati
P2 Dibohongi, diperalat, diperdaya P3 -
P4 Dibohongi Agresi verbal
dengan disalahkan
P1 - P2 -
P3 Disalahkan dan dimarahi saat merasa benar
P4 -
P3 - P4 -
Direndahkan P4 Direndahkan Serangan terhadap
orang terdekat
P1 Ibu menangis akibat dibohongi P2 Adanya ancaman akan
keselamatan orang tua
Dalam kondisi ini menimbulkan reaksi-reaksi berupa perasaaan, pikiran, dan perilaku negatif terhadap pelanggar. Perasaan marah ini meliputi benci, sakit hati, sedih, kesel, kecewa, takut, kehilangan akal sehat, dan kehilangan kepercayaan diri yang menghambat partisipan untuk memaafkan. Selain itu, respon terhadap serangan terhadap keselamatan orang terdekat adalah korban merasa cemas, putus asa dan terancam.
Pikiran negatif yang muncul adalah pikiran yang mengacu pada nilai Kristen dan pada sumber masalah. Pikiran yang mengacu pada sumber masalah antara lain menyalahkan dan keinginan untuk menghukum sumber masalah. Pada nilai Kristen yaitu menyalahkan Tuhan sebagai akibat dari kehilangan akal sehat. Lalu perilaku yang ditunjukkan oleh korban terhadap masalah adalah menghindari sumber masalah dan menujukkan permusuhan. Harapan akan adanya kejujuran juga turut menghambat seseorang, karena menolak kenyataan yang dialami.
Reaksi terhadap
Perasaan marah P1 Marah, benci
Pelangga ran
benci. P3 Marah
P4 Sakit hati, marah, sedih, kecewa.
Perasaan ketakutan P1 -
P2 Ketakutan terancam, kehilangan kepercayaan diri, cemas, putus asa.
P1 Ingin menghukum
P2 merasa sakit hati, takut, dan benci dengan menyalahkan perbuatan H yang dirasa jahat, hilang akal sehat
P3 Ingin membalas, menyerang P4 Ingin kejujuran
Pikiran menyalahkan Tuhan
P1 -
P2 Meragukan keberadaan Tuhan P3 -
P4 Menyalahkan Tuhan Perilaku negatif
terhadap sumber masalah
P1 Tidak mengakui
P2 merasa takut dan terancam, lalu menghindari H karena H adalah peneror
P3 -
P4 Menghindar