• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Transformasi Nilai kebangsaan, Kesbangpol kemendari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah Transformasi Nilai kebangsaan, Kesbangpol kemendari"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Transformasi Nilai-nilai Kebangsaan

Melalui Media Massa dalam Membangun Karakter Bangsa

1

Oleh Usman Yatim2

1. Pengantar

Membincangkan karakter bangsa sekarang ini lumayan cukup menarik perhatian banyak kalangan. Paling tidak istilah karakter bangsa ini agak mengemuka ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Maret 2010 memberi arahan kepada para menteri bidang kesra, terutama Mendiknas untuk mengupayakan bagaimana agar karakter bangsa dapat dicuatkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, terutama melalui jalur pendidikan. Dari arahan Presiden SBY ini, Kementerian Pendidikan Nasional mengangkat tema Hari Pendidikan Nasional 2010 dengan “Pendidikan Karakter Bangsa”.

Sejak Hardiknas itu istilah karakter bangsa lumayan banyak disuarakan, seperti beberapa kali ikut diucapkan oleh Wakil Presiden Boediono. Kalangan tokoh masyarakat juga banyak angkat bicara soal karakter bangsa, terutama cukup mengemuka, saat Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia, 25 – 28 Juli 2010, yang mengangkat tema “Peran Ulama dalam Perbaikan Akhlak dan Pemberdayaan Ekonomi Umat.” Istilah perbaikan akhlak oleh MUI tidak lain juga tidak lepas dari upaya membangun karakter bangsa.

Kini, seminar yang digelar di Kampus Universitas Pakuan Bogor, juga menyorot soal karakter bangsa yang dikaitkan dengan kesadaran bela negara. Tampaknya, kita kini memang ada upaya serius untuk melakukan gerakan membangun karakter bangsa dengan melibatkan segenap komponen bangsa. Tujuannya, sebagaimana acuan seminar ini antara lain untuk “merumuskan prinsip-prinsip dasar dalam membangun karakter bangsa yang

1 Makalah untuk Seminar “Membangun Karakter bangsa yang Sadar Bela Negara” yang

diselenggarakan oleh Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri bersama Forum Komunikasi Kesadaran Bela Negara di Kampus Universitas Pakuan Bogor, 24 Juli 2010.

2 Drs.Usman.Yatim, MPd, MSc, Ketua Departemen Wartawan Kesra Persatuan Wartawan

(2)

memiliki sikap dan prilaku bela negara sebagai identitas bangsa yang bermartabat di lingkungan global.”

Kegiatan yang digelar oleh Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri bersama Forum Komunikasi Kesadaran Bela Negara ini tentu patut diberi apresiasi. Hal itu mengingat persoalan kita saat ini memang banyak menyangkut masalah karakter yang terkait dengan jati diri kita sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat. Upaya mengajak semua komponen bangsa untuk ikut terlibat, termasuk kalangan insan media massa, memang patut serius dilakukan.

Pertanyaannnya, “bagaimanakah peran media massa ikut membangun karakter bangsa dengan melakukan transformasi nilai-nilai kebangsaan?” Menjawab pertanyaan ini termasuk gampang-gampang susah. Dikatakan gampang, karena boleh saja dikatakan bahwa apa yang telah dilakukan media saat ini, termasuk sepanjang kesejarahannya, telah melakukan transformasi nilai-nilai kebangsaan tersebut. Sedangkan disebut susah karena dapat saja banyak orang menyebut bahwa karakter bangsa itu belum terwujud atau bahkan malah kian menjauh dan itu karena peran media belum optimal. Boleh jadi, hal inilah mengapa kalangan media diajak dalam forum seminar ini.

2. Apa itu Karakter Bangsa?

Pertanyaan tentang apa itu karakter bangsa, atau kata karakter itu sendiri, patut kita ajukan di sini. Hatta Rajasa (2007) sempat menulis tentang “Membangun Karakter dan Kemandirian Bangsa” (http://www.setneg.go.id). Dari tulisannya ini, tidak ditemukan secara spesifik penjelasan arti karakter itu yang sesungguhnya, kecuali dia banyak mengulas tentang pembangunan, tata nilai, dan daya saing.

(3)

perlu melekat pada diri kita. Ibarat pepatah, “tak kenal maka tak sayang” maka kita perlu tahu apa itu arti karakter, dan karakter bangsa. Pengenalan kita yang dalam terhadap kata karakter, akan merasuk dalam pikiran dan hati kita, kemudian kita secara sadar mau mengimplementasikan secara terus menerus.

Tentu saja diyakini, kita sesungguhnya sudah banyak tahu arti karakter tersebut. Namun, tahu saja belum tentu mendalami, menghayati, atau menganggapnya sangat penting. Paling tidak kita tahu arti karakter tetapi hanya melihatnya sekadar sebuah kata yang digunakan penghias kata, hanya slogan tanpa makna. Kata karakter banyak diucapkan, menjadi bahan seruan, himbauan tapi tanpa ada dalam tindakan. Karakter tidak banyak dilihat dalam kehidupan nyata sehingga menjadi suatu yang abstrak, tidak dapat untuk ditiru, diikuti atau diteladani.

Secara sederhana, kata karakter biasanya dikaitkan dengan watak, kepribadian, sifat, jati diri, sikap dan prilaku. Mengutip dari buku yang diterbitkan International Association of Character Cities (2006), karakter adalah “motivasi batiniah untuk melakukan yang benar berapapun harga yang harus dibayar.” Pengertian ini, karakter dikaitkan dengan perbuatan yang mengandung nilai-nilai, moral atau etika dalam kehidupan. Perbuatan dan nilai-nilai itu sedemikian pentingnya sehingga dirasa mutlak untuk dilakukan dan siap dibayar dengan harga berapapun. Karakter terkait dengan upaya mengembangkan kualitas-kualitas seperti kejujuran, kesabaran, kesetiaan, disiplin, dan sebagainya.

Pengertian lainnya (http://id.wikipedia.org), karakter bisa digambarkan sebagai sifat manusia pada umumnya, di mana manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri. Karakter disebutkan seperti pemarah, sabar, ceria, pemaaf, dan banyak lainnya. Manusia sebagai makhluk individu-sosialis mempunyai karakter sosial yang kuat berbeda dengan makhluk-makhluk hidup lainnya.Masih menurut Wikipidia, untuk menunjukan ekstistensi dirinya manusia pasti mempunyai ciri khas, karakter sendiri-sendiri.

(4)

negara. Dalam hal ini, patut dikutip pernyataan ini: “taburkan pemikiran, anda akan menuai tindakan; taburkan tindakan, anda akan menuai kebiasaan; taburkan kebiasaan, anda akan menuai karakter; taburkan karakter, anda akan menuai tujuan hidup (Samuel Smiles).”

Dari kata-kata itu, dapat kita pahami bahwa karakter itu haruslah berawal dari berbagai nilai-nilai moral yang ada dalam pikiran dan hati kita, kemudian nilai-nilai itu kita wujudkan dalam tindakan atau perbuatan, dan tindakan itu kita lakukan secara terus menerus sehingga menjadi kebiasaan, serta dari kebiasaan itulah terbangun karakter. Hasilnya, karakter yang terbangun dapat mengarahkan upaya kita dalam mencapai tujuan hidup.

Dengan demikian, ketika kita berbicara tentang karakter bangsa, sesungguhnya adalah segala sesuatu terkait dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan kebangsaan, dalam hal ini keindonesiaan kita. Lantas, nilai-nilai dan semangat kebangsaan manakah yang telah menjadi karakter kita sebagai bangsa? Pertanyaan tersebut boleh jadi dapat menjadi topik pembicaraan tersendiri yang mengundang banyak perdebatan.

Terlepas suka atau tidak suka, nilai-nilai kebangsaan yang layak untuk menjadi karakter kita sebagai bangsa dan negara Indonesia, tidak lain adalah Pancasila. Sila-sila yang terkandung dalam Pancasila, merupakan prinsip-prinsip dasar dalam membangun karakter bangsa. Dilihat dari kesejarahan dan nilai-nilai budaya luhur kita, implementasi Pancasila dapat mewujudkan sikap dan prilaku bela negara, sekaligus dapat menjadi identitas bangsa dan negara Indonesia yang bermartabat di lingkungan global. Masalahnya, apakah Pancasila sudah menjadi karakter keindonesiaan kita?

3. Pancasila Karakter Keindonesiaan

(5)

kehidupan berbangsa dan bernegara. Presiden menggarisbawahi pula bahwa rangakaian dokumen sejarah, mulai dari 1 Juni 1945 hingga teks final Pancasila yang diundangdasarkan pada 18 Agustus 1945 adalah satu-kesatuan dalam proses kelahiran Pancasila.

Presiden SBY mengingatkan pula, hal terpenting saat ini adalah menyangkut dijadikannya Pancasila sebagai rujukan dalam menjawab tantangan bangsa di tengah dunia yang terus berubah. Mendengarkan pandangan SBY tentang Pancasila terkait pidato Bung Karno, 1 Juni 1945 itu memang sangat menarik. Apalagi pada kesempatan itu ikut hadir, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri bersama para tokoh senior lainnya. Tampaknya, kita memang tidak ada lagi masalah dengan kesejarahan Pancasila. Namun, sebagaimana dikatakan tadi, persoalan kita saat ini justru menyangkut penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila itu.

Kita justru layak mempertanyakan, sejauh mana lima sila Pancasila telah merefleksikan dalam kehidupan kita? Bila melihat kenyataan keseharian, rasanya Pancasila, jangankan untuk dihayati dan diamalkan tapi mengenalnya saja kini terasa seperti terlupakan. Apalagi dilihat dalam kehidupan generasi muda, Pancasila sudah terasa asing, tidak bergema, dan bahkan nyaris tanpa makna. Cobalah kita ajak anak-anak, generasi muda, seberapa pahamkah mereka tentang Pancasila?

Ironisnya, tidak hanya para generasi muda, di kalangan para penyelenggara Negara, Pancasila juga sudah seperti terlupakan. Cobalah lihat berbagai perkembangan pemikiran, kebijakan terkait masalah kehidupan berbangsa dan bernegara, apakah nilai-nilai Pancasila banyak disinggung, menjadi rujukan utama? Bagaimana dengan berbagai produk perundang-undangan yang dibuat terakhir ini, apakah semangat dan nilai-nilai Pancasila tersebut ikut mewarnai?

(6)

Padahal Pancasila pernah sering dikumandangkan sebagai falsafah, pandangan hidup, way of life, ideology, dasar Negara Indonesia. Kata-kata ini sampai kini tentu tidak banyak yang membantah, namun lagi-lagi tidak banyak dikedepankan sehingga terasa asing bagi banyak kalangan, terlebih di kalangan generasi muda. Bahkan, pernah pula, Pancasila dikaitkan dengan berbagai kosa kata lain, seperti demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila, pers Pancasila, dan sebagainya.

Harus diakui, kita tidak dapat melupakannya, Pancasila pernah demikian popular ketika masa Orde Baru. Pemerintahan masa Orde Baru memang sangat antusias mengusung Pancasila dalam segala sisi kehidupan bangsa dan Negara. Masa itu dikedepankan satu asas Pancasila bagi organisasi politik dan kemasyarakatan. Masa itu pula kita mengenal P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), BP-7 (Badan Pembinaan Pelaksananaan Pendidikan P-4), dan Tim P-7 (Tim Penasehat Presiden untuk Pelaksanaan P-4). Segala-galanya ketika itu orang menyebut Pancasila sehingga harus diakui pula banyak terjadi hal-hal yang kebablasan.

Seiring dengan pergantian masa dari Orde Baru ke era reformasi, Pancasila lantas dikesampingkan. Hujatan yang dialamatkan kepada pemerintahan Orde Baru telah berimbas kepada Pancasila dengan menyebut dan menuding, Pancasila disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan, dan penafsiran Pancasila dilakukan secara sepihak. Segala cacat yang ditimpakan kepada Orde Baru dinilai karena penyalahgunaan Pancasila.

Lucunya, boleh jadi ada penerapan atau pengamalan yang salah terhadap Pancasila tapi kenapa justru Pancasila yang dikebiri? Ibarat kita tidak pandai menari, lantai yang disalahkan. Pancasila kala itu kita tuding habis, termasuk menyalahkan para Bapak Bangsa yang telah mewariskan Pancasila tersebut. Pancasila kita hadapkan, pertentangkan atau bandingkan dengan agama, padahal berulangkali ditegaskan Pancasila bukanlah agama.

(7)

Tampaknya, kinilah saatnya kita kembali menggelorakan Pancasila sebagai dasar Negara, falsafah hidup bangsa dan Negara Indonesia yang penuh kemajemukan ini.

Tatkala era kebebasan, kehidupan yang penuh keterbukaan, demokrasi demikian akrab dalam kehidupan kita saat ini, upaya menggelorakan, memasyarakatkan Pancasila merupakan suatu keharusan. Ketika kita tidak lagi berdebat soal kesejarahannya maka kinilah saatnya Pancasila benar-benar dapat kita jadikan sebagai salah satu identitas utama keindonesiaan kita. Salah satu karakter, jati diri Indonesia, haruslah itu Pancasila. Ketika kita mulai berpikiran sempit, sektarian, bersikap primordial, otonomi daerah yang kebablasan, ketika itu pulalah kita harus mengedepankan Pancasila.

Tentu saja, cara-cara yang dilakukan tidak harus persis sama dengan masa Orde Baru. Kalau perlu, otoritas dalam upaya memasyarakatkan Pancasila itu tidak harus lembaga pemerintah tetapi mungkin lembaga independen. Prinsipnya, upaya pemasyarakatan Pancasila harus segera dilakukan. Harus ada kemauan semua pihak, segenap komponen bangsa, menghidupkan kembali Pancasila.

Paling tidak, Pancasila harus benar-benar digerakkan dalam dunia pendidikan. Ketika Kementerian Pendidikan Nasional mengedepankan pendidikan karakter bangsa dalam rangka Hari Pendidikan Nasional 2010, harusnya dapat menjadikan Pancasila sebagai ikon karakter bangsa dan Negara Indonesia. Saatnya kini, dari TK hingga perguruan tinggi, Pancasila dipopulerkan. Bila upaya tersebut dapat dilakukan, barulah kita meyakini Pancasila dapat menjadi rujukan, namun jika tidak ada tindakan, gerakan masyarakat untuk mensosialisasikannya, maka ajakan Presiden SBY menjadikan Pancasila sebagai rujukan, hanyalah himbauan tanpa makna, retorika tak berkesan.

(8)

4. Peran Media Membangun Karakter Bangsa

Media komunikasi selalu dituntut untuk dapat berperan terhadap apa yang ingin kita harapkan atau wujudkan, termasuk dalam upaya menstransformasikan nilai-nilai kebangsaan dalam upaya membangun karakter bangsa. Hal itu karena keberadaan media massa memang punya pengaruh besar dalam mendorong perubahan. Media massa disebut sebagai faktor dominan dalam terbangunnya opini, pencitraan. Berbagai perubahan, dinamika yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, disebut-sebut banyak dipengaruhi oleh peran media komunikasi.

Bila kita melihat perjalanan sejarah bangsa, mulai sejak masa perintisan kemerdekaan, masa perjuangan merebut kemerdekaan, awal kemerdekaan, masa Orde Lama, Orde Baru, dan kini era reformasi, peran media massa memang selalu menonjol. Media massa adalah sarana untuk menyampaikan isi pesan/pernyataan/informasi. Selain pembentuk opini, media dapat membangun atau meruntuhkan semangat. Media disebut sebagai cermin atau mencerminkan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

Pertanyaan yang mengemuka dalam era kebebasan saat ini, apakah media massa kita ikut memainkan peran utama dalam menstransformasikan nilai-nilai kebangsaan yang diharapkan? Jawabannya, tentu ada yang bilang berperan, dan ada pula yang bilang tidak berperan. Ketika banyak orang risau nilai-nilai kebangsaan mulai pupus dalam kehidupan kita, peran media lantas dikritisi. Media massa justru dituding lebih mengedepankan nilai-nilai yang tidak relevan dengan nilai-nilai-nilai-nilai kebangsaan.

(9)

Melihat kenyataan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa saat ini, karakter keindonesiaan yang harus disosialisasikan media massa memang tidak banyak untuk dapat dilakukan. Sebagaimana dikatakan diatas, nilai-nilai kebangsaan Indonesia dalam realitasnya barulah sebatas wacana, harapan yang belum dapat dilihat dari tindakan, perbuatan, sikap dan prilaku masyarakat, terutama dari para elit, para pemimpin. Andai tindakan atau perbuatan saja ada, belum tentu semua dapat dicuatkan media. Tidak selalu realitas yang ada dalam masyarakat dimunculkan oleh media, apalagi bila trend pemberitaan dinilai tidak punya nilai berita.

Menurut Dennis Mc.Quail (1987), ”media massa merupakan filter yang menyaring sebagian pengalaman dan menyoroti pengalaman lainnya dan sekaligus kendala yang menghalangi kebenaran.” Artinya, media massa belum tentu mampu mengungkap segala apa yang ada dalam kehidupan masyarakat. Suatu yang faktual, kebenaran yang diharapkan muncul, boleh jadi tidak merupakan kebenaran yang kita harapkan. Misalnya, ketika kasus video porno yang melibatkan Ariel Peterpan, Luna Maya dan Cut Tari dihebohkan media massa, kita berharap masyarakat menjauhi pornografi tapi kenyataannya justru banyak orang makin mendekati pornografi.

Lantas bagaimana media massa dapat menstransformasikan nilai-nilai kebangsan yang membangun karakter bangsa, bilamana fakta yang muncul adalah berbagai tindakan atau prilaku yang jauh menyimpang dari karakter bangsa? Korupsi tetap merajalela, para elit, pejabat banyak lebih memperkaya diri daripada peduli terhadap rakyat miskin. Anggota DPR kita suka membolos dan banyak menuntut fasilitas, menaikkan gaji sendiri. Penegakan hukum lebih banyak sekadar wacana, himbauan tetapi jauh dari tindakan nyata. Berbagai fakta yang jauh dari karakter itulah yang terekam dan tersiarkan oleh media massa.

(10)

Peran media sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999, Pasal 6, adalah “memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, memperjuangkan keadilan dan kebenaran.”

Berbagai peran tersebut sebenarnya sudah banyak dilakukan meski tentu saja banyak hal yang patut dikritisi terhadap media massa kita. Hanya lagi-lagi, persoalan utamanya banyak terletak pada elit, para pemimpin, mereka yang menjadi sumber pemberitan media massa. Harus diakui, pihak media massa kini cukup kesulitan untuk menemukan nara sumber yang layak menjadi tokoh, ikon yang dapat menonjolkan nilai-nilai kebangsaan yang dapat benar-benar membangun karakter bangsa. Sederhananya, media massa tidak atau belum punya tokoh, nara sumber yang layak menjadi panutan, teladan dalam membangun karakter bangsa.

5.

Penutup

- Transformasi nilai-nilai kebangsaan dalam membangun karakter bangsa perlu dilakukan oleh segenap komponen bangsa karena sangat menentukan bagi masa depan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia, terutama untuk “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Pembukaan UUD 1945).

(11)

- Bentuk dan nilai-nilai kebangsaan yang patut ditransformasikan dalam membangun karakter bangsa, secara umum adalah nilai-nilai Pancasila. Masalahnya kini, Pancasila yang layak menjadi karakter keindonesiaan kita, cenderung dilupakan, tidak lagi tersosialisasikan.

Referensi

Dokumen terkait

KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan Tugas Akhir/Skripsi ini dapat diselesaikan dengan

Namun kami sangat mengharapkan bantuan dari Bapak/Ibu agar sudi kiranya meluangkan waktu untuk mengisi kuesioner pendahuluan ini dengan jujur dan terbuka, agar penelitian ini

Hamdayama (2015: 87) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan model belajar kooperatif, siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri atas 4-5

Hasil Pengujian Marshall Beton Aspal Yang Dipadatkan Dengan Alat Pemadat

Kajian juga dilakukan bagi menentukan rekabentuk anggota merujuk jenis dan spesifikasi saiz tembok, konkrit dan tetulang termasuk analisis daya ricih dan momen lentur terhadap

Berdasarkan hasil analisis multiv ariabel memperlihatkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara sikap dengan perilaku ibu dalam pemberian imunisasi HB 0-7 dengan OR

Pengenalan dunia industri terhadap SDM generasi muda ini dilakukan untuk mengenalkan perindustrian di zaman sekarang, pembangunan pabrik-pabrik dan bidang industri

keterampilan menulis siswa, dengan mengacu pada hasil tes menulis pada parsiklus, siklus I, dan siklus II. Proses pembelajaran dengan menggunakan metode CIRC telah