• Tidak ada hasil yang ditemukan

Factors Underlying Online Game Addiction’s Behaviour in School Age Children

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Factors Underlying Online Game Addiction’s Behaviour in School Age Children"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Harvien Amellia Hardanti, Ikeu Nurhidayah, Siti Yuyun Rahayu Fitri

Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran E-mail: ngkeu_mail@yahoo.com

Abstrak

Adiksi bermain game online merupakan aktivitas bermain yang dilakukan secara berlebihan dan cenderung mengganggu kehidupan sehari-hari. Kecamatan Jatinangor, Sumedang memiliki angka adiksi bermain

game online yang tinggi pada sebagian besar anak usia sekolah yang bermain di warung internet penyedia

game online. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku adiksi bermain game online pada anak usia sekolah. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan sampel menggunakan teknik konsekutif dengan 52 responden. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan 51 butir pertanyaan. Analisis data menggunakan distribusi frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan faktor motivasi melatarbelakangi perilaku adiksi pada 56%, sedangkan faktor atraksi penghargaan sebanyak 60%. Oleh karena itu, diperlukan penanganan baik dalam mengatasi maupun mencegah adiksi bermain game online oleh keluarga, sekolah, dan tenaga kesehatan terkait.

Kata kunci: Adiksi, anak, game online, usia sekolah.

Factors Underlying Online Game Addiction’s Behaviour in School Age

Children

Abstract

Online games addiction is an activity to excess playing online games tend to give a negative influence to daily

life. District Jatinangor, Sumedang has a high rates in addiction of online games among school-age children.

The purpose of this study was to identify the determinant factors that influence the behavior addiction toward

the game onlie among children in the school age. This study design used descriptive method. The sample are 52 respondent. It’s were taken by consecutive sampling. The data collection used a questionnaire of 51 questions. The data was analysed by distributive frequencies. The results showed that 56% and 60% addiction behavior

influenced by motivational factor and attraction factors. Based on this finding, it is recommended to treated and

prevent games addiction behavior in children based on collaboration between family, school and health provider.

(2)

Pendahuluan

Bermain merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anak. Bermain juga merupakan unsur penting dalam perkembangan anak (Wong, 2011). Kegiatan bermain anak dapat menjadi ciri tahapan perkembangan anak. Tahapan anak usia sekolah (6–12 tahun) memiliki karekteristik senang bermain, senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan atau melakukan sesuatu secara langsung (Hurlock, 1999). Anak usia sekolah merasa tidak puas lagi memainkan jenis permainan yang sederhana, tetapi mereka lebih tertarik pada permainan eksplorasi, seperti game online (Simon, Hartati, & Arsilah, 2007).

Menurut Dorothy dalam Simon, dkk. (2007), bentuk-bentuk permainan yang sesuai untuk anak usia sekolah yaitu permainan eksplorasi, energik, kemahiran sosial, imajinatif, dan puzzle. Permainan eksplorasi merupakan bentuk permainan yang sering dimainkan oleh anak usia sekolah. Permainan ini dapat dipelajari melalui empat cara yaitu mencari atau membuat penemuan baru (mencari suatu benda di lingkungan rumah atau sekolah), merangsang rasa ingin tahu anak (permainan menggunakan remote control), mengembangkan keterampilan (permainan sapu lidi), dan mempelajari keterampilan baru (video game, komputer, & game online).

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi mengalami kemajuan yang pesat. Salah satu perkembangan tersebut yaitu adanya penemuan internet. Perkembangan ini juga memicu perkembangan permainan baru menggunakan internet, disebut game online. Menurut Freeman (2010) menyatakan bahwa empat dari sepuluh pengguna internet (40%) atau sekitar 510 juta dari 1.3 miliar orang bermain game online.

Di Indonesia, terjadi fenomena maraknya game online dan perkembangan warung internet yang menyediakan layanan game online yang berkembang sangat pesat. Menurut Muliawati dalam Republika (2011), pertumbuhan pasar game online di Indonesia tahun 2011 mengalami peningkatan jumlah pengguna yang mencapai angka 6,5 juta atau naik 500 ribu orang dari tahun 2010 yang

hanya mencapai angka sekitar enam juta orang (Republika, 2011)

Sejalan dengan pesatnya perkembangan teknologi internet ini juga memicu perkembangan teknologi permainan baru yang menggunakan internet, yang dikenal dengan game online. Game online sangat digemari oleh semua kalangan. Salah satu penelitian di Amerika juga mengungkapkan bahwa 2/3 dari total semua rumah tangga yang memiliki anak usia sekolah (6-18 tahun) mempunyai komputer di rumahnya dan sekitar 59% diantaranya memanfaatkan untuk bermain game online (Freeman, 2010). Game online adalah permainan yang bisa dimainkan oleh ribuan bahkan ratusan orang melalui layanan internet dalam waktu yang sama (Kim, Park, & Kim, 2002). Game online memiliki perbedaan dengan permainan lainnya, yaitu bisa dimainkan oleh lebih dari satu pemain (multiplayer) secara bersamaan, dimana dan kapan saja dengan menggunakan komputer yang didukung dengan koneksi internet. Game online tersedia dalam berbagai jenis (genre) permainan dan disajikan dengan audiovisual yang menarik serta dirasa lebih memiliki tantangan dan kepuasan batin jika dapat mengalahkan pemain lain. Hal ini yang menjadikan para pemain mampu duduk berlama-lama. Game online sering kali mengakibatkan suatu perilaku tidak sehat atau merugikan diri sendiri yang berlangsung terus-menerus yang sulit diakhiri individu bersangkutan yang disebut dengan adiksi (Yee, 2002).

Game online pada hakikatnya merupakan permainan dimana pemain difokuskan pada permainan game online dan semua hal yang ada di dunia nyata akan terlupakan, sehingga pemain game online akan kehilangan rasa sensibilitas terhadap waktu (Chen & Park dalam Zhong, 2009). Beberapa kasus tercatat, terdapat beberapa pemain yang menghabiskan waktu sia-sia demi game online dan bersedia untuk tidak mandi, makan, bekerja, dan tidak melaksanakan kewajibannya.

Game online memiliki dampak positif yaitu meningkatkan keterampilan berpikir abstrak, pemecahan masalah dan logika, koordinasi mata tangan dan kemampuan visual spasial, mengajar anak-anak, mengelola hipotesis, kerja tim dan kerja sama ketika bermain dengan orang lain, dan keterampilan simulasi

(3)

dunia nyata (Hong & Liu, 2003 & Lozen, 2009).

Selain dampak positif, game online juga mengakibatkan dampak negatif, yaitu dampak fisik dan psikologis. Dampak fisik dapat berupa berat badan menurun akibat lupa makan dan minum atau bahkan obesitas akibat makan tidak terkontrol, gangguan penglihatan, nyeri tulang belakang akibat terlalu lama duduk di depan layar komputer, jari tangan membengkak dan nyeri akibat terlalu sering menekan tombol komputer atau joystick, serta terganggunya pola tidur. Dampak psikologis dapat berupa kurang sosialisasi dengan teman-teman sekolah, kurang peka terhadap lingkungan sekitar, lupa kewajiban belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah (PR), sulit berkonsentrasi pada pelajaran sekolah, dan stres jika kalah saat bermain game online (Greenfield & Gross, 2000; Young dalam Lemmens, Valkenburg, & Peter, 2009; & Rini, 2011). Hal ini menyebabkan timbulnya keresahan dari orangtua dan guru yang menganggap bahwa kebiasaan bermain tersebut akan berpengaruh buruk pada prestasi akademik dan perilaku sosial (Chandra, 2006).

Game online yang dilakukan terus menerus akan mengakibatkan adiksi. Adiksi didefinisikan sebagai suatu perilaku tidak sehat atau merugikan diri sendiri yang berlangsung terus menerus yang sulit diakhiri individu bersangkutan (Yee, 2002). Mark (2004) juga menyatakan bahwa adiksi merupakan perilaku ketergantungan baik secara fisik maupun psikologis dalam suatu aktivitas. Menurut Lance Dodes dalam Yee (2002), ada dua jenis adiksi yaitu adiksi fisik (kecanduan terhadap alkohol atau kokain) dan adiksi non fisik (kecanduan terhadap game online). Kecanduan bermain game secara berlebihan dikenal dengan istilah game addiction (Grant & Kim, 2003).

Adiksi game ditandai dengan pemain bermain game secara berlebihan seakan-akan tidak ada hal yang ingin dikerjseakan-akan selain bermain game dan seolah-olah game ini adalah hidupnya, serta memiliki pengaruh negatif bagi pemainnya (Weinstein, 2010). Pemain game yang bermain game online selama minimal enam bulan dihitung dari pertama kali bermain game online dapat dikatakan adiksi game online jika memenuhi

kriteria adiksi tertentu selama jangka waktu enam bulan (Lemmens, dkk., 2009). Menurut Lemmens, dkk., (2009) terdapat tujuh kriteria adiksi game yang didasarkan pada DSM IV antara lain: salience, tolerance, mood

modification, relapse, withdrawal, conflict,

dan problems. Kriteria adiksi bermain game ditetapkan pada pemain yang mendapatkan ≥4 kriteria adiksi, dengan penilaian jika pemain memiliki poin skala likert ≥ 3 pada dua atau lebih item pertanyaan pada setiap kriteria (Lemmens, dkk., 2009).

Penelitian yang dilakukan di Korea Selatan pada tahun 2011 menunjukan bahwa 73,4% dari 384 responden dan 83,9% dari 706 siswa mengalami adiksi bermain game online (Koo, Wati, Choong, & Hea, 2011). Hasil penelitian di Indonesia tahun 2010 pada 184 pemain game online mulai dari usia sekolah sampai dewasa muda menunjukkan bahwa semakin muda umur seseorang maka semakin besar kecenderungannya dalam bermain game online (Kusumadewi, 2010). Anak dianggap lebih sering dan rentan terhadap penggunaan permainan game online daripada orang dewasa (Lemmens, dkk., 2009).

Penelitian Yee (2002) mengemukakan dua faktor yang memengaruhi seseorang kecanduan game online, yaitu faktor atraksi dan faktor motivasi. Faktor atraksi yaitu faktor yang mendorong penggunaan waktu dan keterikatan pribadi terhadap game online, antara lain lingkaran penghargaan (reward) yang terelaborasi di dalam game online dan jaringan relasi pemain yang kian bertambah seiring game online dimainkan (Yee, 2002). Sedangkan faktor motivasi adalah tekanan pada saat tidak menggunakan game online atau masalah yang membuat game online sebagai tempat pelarian, antara lain: aspek motivasi berprestasi (achievement), motivasi sosial (social), dan motivasi penghayatan (immersion) (Yee, 2002).

(4)

bagian dari suatu kelompok (teamwork), (7) keinginan untuk menemukan hal-hal baru (discovery), (8) mendalami karakter permainan (roleplaying), (9) menciptakan keunikan (customization), dan (10) pelarian (escapism) (Yee, 2007).

Studi penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Wan dan Choiu (2007) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi perilaku adiksi bermain game online diantaranya: kontrol diri, motivasi, kebutuhan psikologis (keinginan berkuasa), keinginan berprestasi, dan kesepian. Frekuensi bermain game online juga menjadi penyebab seseorang semakin terikat dan menjadi pecandu (Griffiths, Davies, & Chappell, 2004). Penelitian Supendi (2012) juga menyatakan bahwa ada dua faktor penyebab anak bisa kecanduan bermain game online, yaitu faktor internal dan eksternal Faktor internal yaitu keinginan yang kuat dari diri anak untuk memperoleh nilai yang tinggi dalam game online, rasa bosan yang dirasakan anak ketika berada di rumah atau di sekolah, ketidakmampuan mengatur prioritas untuk mengerjakan aktivitas penting lainnya, dan kurangnya self control dalam diri anak. Faktor eksternal berupa lingkungan yang kurang terkontrol karena teman-teman anak juga banyak bermain game online, kurang memiliki hubungan sosial yang baik, dan harapan orang tua yang terlalu tinggi terhadap anaknya untuk mengikuti berbagai les atau kegiatan.

Jatinangor merupakan daerah dalam kawasan pendidikan yang memiliki akses yang cukup maju dalam berbagai bidang, seperti gaya hidup. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan kebutuhan bermain game online pada anak yang didukung dengan banyaknya warung internet penyedia game online. Pada awalnya pengunjung warung internet hanya

mahasiswa, tetapi saat ini banyak anak usia sekolah yang mengunjungi warung internet. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sanditaria (2012), menemukan bahwa 62% dari 71 responden game online di warung internet penyedia game online Kecamatan Jatinangor, Sumedang mengalami adiksi bermain game online.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan, didapatkan data terdapat 4 warung penyedia game online di Kecamatan Jatinangor, Sumedang yang sering dikunjungi anak-anak. Hasil studi pendahuluan menunjukkan tujuh dari 12 pemain game online di salah satu warung internet Kecamatan Jatinangor, Sumedang adalah anak-anak. Semua anak mengemukakan sudah menyukai game online sejak 1–2 tahun yang lalu dan biasa menghabiskan waktu 2–3 jam dalam sekali bermain. Sebanyak tiga dari tujuh anak menyatakan suka bermain game online setiap hari dan empat diantaranya memiliki frekuensi bermain 2–3 kali dalam seminggu. Sebanyak lima dari tujuh anak menyatakan mengetahui permainan game online dari teman sekelasnya dan sisanya mengetahui dari kakaknya. Sebagian besar anak menyukai jenis permainan Lost Saga dan Point Blank. Semua anak mengemukakan alasan menyukai jenis permainan game online antara lain banyak teman yang bermain (tiga orang), melepas lelah sebelum malamnya mengerjakan tugas sekolah (empat orang), menginginkan naik level dengan cepat (dua orang), dan penasaran dengan game jenis baru (satu orang). Semua anak saling berinteraksi dan mengenal satu dengan lainnya.

Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Perilaku Adiksi Bermain Game Online pada Anak Usia Sekolah”.

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Perilaku Adiksi Bermain Game Online pada Anak Usia Sekolah Kecamatan Jatinangor Sumedang (n = 52)

Faktor-faktor Tinggi Rendah Mean ± SD

f % f %

Motivasi 29 56 23 44 112,90 ± 16,65

Atraksi 27 52 25 48 38,13 ± 7,75

(5)

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Pengambilan sampel menggunakan teknik konsekutif. Jumlah populasi penelitian ini yaitu 60 anak usia sekolah dengan penyebaran warnet pertama sebanyak 20 pengunjung, warnet kedua sebanyak 15 pengunjung, dan warnet ketiga sebanyak 10 pengunjung. Jumlah sampel penelitian ini yaitu 52 anak. Sampel yang diambil berdasarkan kriteria, yaitu anak usia sekolah (6–12 tahun) yang telah bermain game online selama minimal enam bulan terhitung dari pertama kali bermain dan telah mengalami adiksi bermain game online sesuai dengan kriteria Lemmens. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan kuesioner yang berupa pernyataan tertutup dengan 51 butir pernyataan. Kuesioner berisi pernyataan terkait dengan faktor motivasi bermain game online berdasarkan Motivation of Play in Online Games (Yee, 2007) dan faktor atraksi bermain game online berdasarkan teori Attraction Factor (Yee, 2007).

Responden diminta memberikan tanda ceklist di kolom angka pada rentang 1–5

sesuai dengan petunjuk pengisian kuesioner. Proses scanning dilakukan untuk responden yang mengalami adiksi bermain game online sesuai dengan kriteria Lemmens. Responden dikatakan mengalami adiksi bermain game online jika memiliki ≥4 kriteria adiksi, dengan penilaian jika responden memiliki poin skala likert ≥3 pada dua atau lebih item pernyataan pada setiap kriteria (Lemmens, dkk., 2009).

Uji instrumen penelitian telah dilakukan dengan empat pengujian yaitu: uji validitas konten, face validity, uji validitas konstrak, dan uji reliabilitas. Hasil pengujian validitas untuk menunjukkan semua item pertanyaan valid, kecuali dua buah pertanyaan mengenai faktor motivasi bermain game online. Kedua pertanyaan tersebut diganti dan diujikan kembali dan didapatkan hasil valid. Hasil uji reliabilitas kuesioner faktor motivasi dan faktor atraksi bermain game online didapat hasil koefisien Alpha Cronbach berkisar antara 0.89–0.93 dan semua item pernyataan dikatakan reliabel.

Pengolahan data dilakukan melalui lima tahapan yaitu: pengeditan, pemberian kode, pengelompokan, pengolahan data, dan analisis data. Penelitian ini menggunakan analisis univariat dengan distribusi frekuensi Tabel 2 Distribusi Frekuensi Per Subfaktor yang Melatarbelakangi Perilaku Adiksi Bermain Game Online pada Anak Usia Sekolah Kecamatan Jatinangor Sumedang (n=52)

Sub Faktor Tinggi Rendah Mean ± SD

f % f %

Faktor Motivasi

Advancement 22 42 30 58 19,19 ± 4,05

Mechanics 22 42 30 58 12,19 ± 2,35

Competition 25 48 27 52 11,73 ± 3,52

Socializing 24 46 28 54 12,23 ± 2,94

Relationship 30 58 22 42 8,87 ± 2,89

Teamwork 20 38 32 62 11,35 ± 1,90

Discovery 25 48 27 52 12,60 ± 2,52

Roleplaying 19 37 33 63 9,25 ± 3,1

Customization 27 52 25 48 7,98 ± 2,32

Escapism 22 42 30 58 7,31 ± 2,05

Faktor Atraksi

Penghargaan 31 60 21 40 18,75 ± 4,13

(6)

Hasil Penelitian

Hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku adiksi bermain game online menunjukkan faktor motivasi memberikan persentase yang tinggi dalam melatarbelakangi perilaku adiksi bermain game online pada sebagian responden (56%), yaitu sebanyak 29 responden.

Berdasarkan tabel 2, diperoleh data bahwa pada faktor motivasi, dorongan motivasi terbesar terdapat pada aspek berkompetisi (competition), aspek hubungan (relationship) dalam motivasi sosial, dan aspek menciptakan keunikan (customization) yang memberikan persentase paling tinggi pada responden. Pada tabel 2 juga dapat dilihat bahwa faktor atraksi, aspek penghargaan (reward) memberikan persentase paling tinggi pada sebagian besar responden (60%), yaitu sebanyak 31 responden. Aspek ini berkaitan dengan adanya faktor motivasi instrinsik (motivasi bermain game online) pada pemain dengan kecenderungan adiksi.

Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor motivasi memberikan persentase yang tinggi dalam melatarbelakangi perilaku adiksi bermain game online pada 29 responden (50%). Subkomponen untuk berkompetisi (competition) dalam aspek motivasi berprestasi (achievement) pada 48% responden, subkomponen hubungan (relationship) dalam aspek motivasi sosial memberikan persentasi paling tinggi pada 58% responden dan subkomponen menciptakan keunikan (costumization) dalam aspek motivasi penghayatan (immersion) memberikan persentasi paling tinggi pada 52% responden. Subkomponen kompetisi dalam aspek motivasi berprestasi (achievement) berkaitan dengan jenis permainan game online yang dimainkan. Permainan persaingan seperti game online merupakan jenis permainan yang paling diminati oleh anak usia sekolah (Hurlock, 1999). Pada penelitian ini, sebagian besar responden memilih permainan yang bertema persaingan dan kekerasan seperti permainan point blank. Permainan ini mengambil setting

peperangan dengan senjata-senjata militer yang dibuat semirip mungkin serta dapat memainkan secara sendiri atau membentuk tim dalam melawan musuh. Hal ini yang menjadi alasan sebagian responden untuk memainkan game ini.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian Yee (2007) yang menunjukkan bahwa pemain dengan motivasi untuk mendapatkan kemajuan (advancement) memiliki persentasi tertinggi diantara motivasi lainnya. Penelitian Rama (2008) menunjukkan hasil yang sama yaitu motivasi berprestasi sebagai motivasi yang paling dominan yang dapat menyebabkan responden termotivasi untuk bermain game online, tetapi peningkatan motivasi berprestasi tidak diikuti dengan kemunculan perilaku adiksi bermain game online.

Subkomponen lain yang memiliki persentase tinggi adalah komponen hubungan (relationship) pada aspek motivasi sosial. Komponen ini berkaitan dengan karekteristik responden, yaitu kemampuan berhubungan dengan sesama pemain lain yang didukung oleh lama bermain game online. Penelitian Chandra (2006) menunjukkan adanya keterkaitan jumlah waktu bermain game online dengan faktor motivasi sosial terutama subkomponen hubungan (relationship) yang menyebabkan para pemain mencoba menjalin hubungan yang lebih mendalam dengan pemain lain. Motivasi ini juga dapat dikaitkan dengan tempat bermain game online yang paling dominan (warnet) internet daripada di sekolah. Pergaulan teman sebaya pada anak usia sekolah atau kegiatan yang berhubungan dengan sekolah. Pergaulan teman sebaya pada anak usia sekolah juga dapat berpengaruh besar pada anak (Rini, 2011). Penelitian Rama (2008) menunjukkan bahwa motivasi sosial memiliki hubungan yang tinggi dengan kemunculan perilaku adiksi bermain game online.

Subfaktor lain yang memengaruhi perilaku adiksi adalah menciptakan keunikan (customization). Subfaktor ini berkaitan

(7)

dengan lamanya anak mengenal game online. Penelitian Chandra (2006) menunjukkan adanya keterkaitan antara lama mengenal game online dengan faktor motivasi penghayatan pada subkomponen customizing. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Young dalam Lemmens (2009) yang menyatakan anak yang telah bermain game minimal enam bulan dapat menjadi adiksi. Pada faktor ini, anak juga berusaha untuk menjadi lebih unik dibandingkan pemain lain, dengan cara menampilkan permainan lain yang berbeda.

Subkomponen keunikan (customization) berkaitan dengan jumlah pengeluaran untuk bermain game online. Hal ini berhubungan dengan keinginan untuk membuat keunikan dalam penampilan tokoh permainan game online yang membutuhkan jumlah jam bermain yang tinggi dan jumlah pengeluaran uang yang banyak (Chandra, 2006). Pada penelitian ini, 44% responden menghabiskan uang sekitar Rp. 10.000 sampai dengan Rp. 30.000 untuk game online per minggu, dan 46% responden menghabiskan uang saku lebih dari Rp. 50.000 per minggu.

Penelitian McClelland dalam Rama (2008) menyatakan bahwa pemain yang memiliki motivasi bermain yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa bermain game online dapat memenuhi tujuan dari penempatan motivasi (motive disposition) yang dimiliki oleh seorang pemain game online. Motivasi tersebut dapat menjadi sebuah sarana untuk menghasilkan suatu kesenangan dari seorang pemain. Hal ini didukung oleh penelitian Rama (2008) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi motivasi bermain game online pada seorang pemain, akan diikuti oleh kemunculan perilaku adiksi bermain game online. Berbeda dengan penelitian Wei (2012) yang menunjukkan bahwa game online memberikan kebutuhan untuk memuaskan dan motivasi dalam kehidupan nyata pada pemainnya. Selain itu, pemain mendapatkan teman-teman dalam dunia game yang sebenarnya mereka cari dalam kehidupan nyata. Hal ini menyebabkan pemain game semakin termotivasi untuk terus bermain game online.

Menurut pandangan teori kognitif, masalah akan timbul pada saat anak mulai memiliki sistem keyakinan yang disfungsional dalam bermain game online. Keyakinan difungsional

ini terjadi karena pemikiran anak yang keliru tentang bermain game online. Anak menganggap bermain game online dapat memberikan efek kepuasan dan membantu menghindari masalah yang dihadapi. Selain itu, game online juga memberikan proses pengulangan yang menantang anak untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukannya sehingga meningkatkan motivasi anak untuk kembali bermain (Henry, 2010 dalam Detria, 2013).

Penelitian Hodge dalam Rama (2008) juga menunjukkan bahwa jika seorang individu menunjukkan perilaku adiksi terhadap aktivitas tertentu, perilaku tersebut telah mendapatkan motivational monopoly. Motivational monopoly yang terjadi pada pemain game online akan menyebabkan bermain game online sebagai perilaku dominan (salience) dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini akan menimbulkan konflik dan masalah akibat melalaikan kewajiban yang lain. Penelitian Clark (2006) juga mengatakan jika perilaku adiksi bermain game online terjadi, maka aktivitas lain akan hilang dari daftar aktivitas yang biasanya dilakukan oleh individu.

Banyak pemain game online yang tidak bisa berhenti bermain. Hal ini dikarenakan pemain akan kehilangan sarana untuk mencapai motive disposition pada saat pemain meninggalkan game online. Periode ini juga akan menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan (withdrawl) pada diri seorang pemain yang lebih besar dibandingkan dengan perasaan menyenangkan (mood

modification) yang didapatkan saat bermain game online. Efek negatif ini akan terjadi ketika pemain bermain kembali. Inilah siklus yang menyebabkan pemain game online akan meningkatkan intensitas bermainnya (tolerance). Dengan demikian banyak pemain game online yang telah berhenti bermain kembali bermain, bahkan intensitasnya lebih tinggi dari sebelumnya (relapse).

(8)

ini dapat meningkatkan motivasi anak untuk terus bermain yang pada akhirnya akan menimbulkan perilaku adiksi.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi adiksi bermain game online adalah dengan pendekatan kognitif (Detria, 2013). Pendekatan kognitif berperan dalam mempertimbangkan berbagai tindakan yang akan dilakukan, menentukan pilihan tindakan, dan mengambil keputusan tindakan perilakunya. Perilaku dikendalikan oleh interaksi yang kompleks antara peristiwa internal dan kekuatan lingkungan (Ilfiandra, 2008).

Teknik perubahan perilaku manajemen diri merupakan salah satu upaya penerapan teori modifikasi perilaku. Teknik ini merupakan gabungan antara teori behavioristik dengan teori kognitif sosial. Teknik ini mengubah perilaku anak yang dalam prosesnya akan mengarahkan anak untuk merubah perilakunya sendiri dengan teknik terapeutik (Cormier & Cormier, 1985). Teknik ini bertujuan untuk membantu anak agar dapat mengubah perilaku adiksi bermain game online sebagai perilaku negatif dan mengembangkan perilaku positifnya.

Anak yang mengalami adiksi bermain game online dapat menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bermain game online dan tidak menghiraukan aktivitas lain yang penting bagi anak termasuk waktu untuk bersosialisasi dengan keluarga maupun teman yang akan berkurang. Penanganan adiksi pada anak juga dapat dilakukan melalui terapi berbasis keluarga (family therapy) dan konseling kelompok (support groups).

Di dalam penatalaksanaan ini, perawat melibatkan anak dan keluarga dalam pemberian asuhan keperawatan (Wong, 2011). Perawat juga harus berperan sebagai advokasi keluarga dengan cara mengenal tujuan dan kebutuhan keluarga, merencanakan intervensi terbaik untuk menangani masalah, memberikan pilihan informasi yang sesuai dengan minat terbaik anak, serta memberikan pendidikan kesehatan bagi anak dan keluarga.

Simpulan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, faktor motivasi merupakan faktor yang

memiliki persentase paling tinggi dalam melatarbelakangi perilaku adiksi bermain game online pada sebagian responden. Terdapat tiga aspek motivasi yang memberikan dorongan paling besar untuk terjadinya adiksi bermain game online, yaitu motivasi untuk berkompetisi (competition), motivasi hubungan (relationship), dan motivasi menciptakan keunikan (customization). Faktor lain yang memengaruhi perilaku adiksi bermain game adalah faktor atraksi, yaitu atraksi untuk mendapat penghargaan (reward) memberikan persentase paling tinggi pada sebagian besar responden.

Berdasarkan hasil penelitian, perlu dilakukan beberapa upaya untuk mengurangi adiksi bermain game online pada anak melalui pendekatan kolaborasi oleh keluarga, sekolah, dan pemberi pelayanan kesehatan terutama perawat komunitas. Perawat berperan dalam pemberian dukungan dan konseling bagi anak. Pemberian konseling juga dapat melibatkan pihak sekolah dengan menunjuk guru pembimbing sebagai konselor dari sekolah.

Daftar Pustaka

Caldwell, C.D., & Cunningham, T.J. (2010). Internet addiction and students: Implications for school counselors. Association Counseling of American, 3(2).

Chandra, A.N. (2006). Gambaran perilaku dan motivasi pemain online games. Jurnal Pendidikan Penabur, 7(5).

Clark, N.C. (2006). Addiction and structural characteristic of massively multiplayer online games. Hawaii: University of Hawaii.

Cormier, W.H., & Cormier, L.S. (1985).

Interviewing strategies for helpers:

Fundamentals skills and cognitive behavioral interventions. California: Brooks Cole Publishing Company.

Detria. (2013). Efektivitas teknik manajemen diri untuk mengurangi kecanduan online game. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

(9)

Freeman, C. B. (2010). Internet gaming addiction. The Journal for Nurse Practitioners-JNP. American College of Nurse Practitioners. doi: 10.1016/j. nupra.2007.10. 006.

Greenfield & Gross. (2000). Childrens activities and development. The future of children, 10(2), 123–144.

Grant, J. E. & Kim, S. W. (2003). Dissociative symptoms in pathological gambling. Psychopathol, 36, 200–203.

Hong, Z. C. & Liu, M. C. (2003). A study on thinking strategi between expert and novices of computer games. Computer and Human Behavior, 19, 245–258.

Hurlock, E. B. (1999). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga.

Ilfiandra. (2008). Model konseling kognitif-perilaku untuk mengurangi prokrastinasi

akademik mahasiswa. Bandung: Disertasi PPB UPI.

Kim, K, H., Park, J. Y., & Kim. D. (2002). E-lifestyle and motives to use online games.

Irish Marketing Review, 15(2), 71–77.

Koo, C. L., Wati, Y., Choong, C. L., & Hea, Y. O. (2011). Internet-addicted kids and South Korean government efforts: boot-camp case. Journal Cyberpsychology, Behavior,

and Social Networking, 14(6). doi: 10.1089/ cyber.2009.0331.

Kusumadewi T. N. (2009). Hubungan antara kecanduan internet game online dan keterampilan sosial pada remaja. Universitas Indonesia Jakarta. Diakses dari lontar.ui.ac. id.

Lemmens, J. S., Valkenburg, P. M., & Peter, J. (2009). Development and validation of a game addiction scale for adolescents. Media Psychology, 12(1), 77–95. doi: 10.1080/15213260802669458.

Lozen, G. (2009). The positive effect of

online games on children. diakses dari http:// ezinearticles.com

Mark, D. G. (2004). Demographic factors and playing variables in online computer gaming. Cyber pshychology, 7(4), 479–487. doi: 10.1089/cpb.2004.7.479.

Rama, A. (2008). Motivasi bermain MMORPG dan perilaku adiksi pada

mahasiswa pemain di Jatinangor. Jakarta: Untar.

Republika. (2011). Jumlah gamer nnline Indonesia terus tumbuh. Diakses http:// teknologiterbaru4u.blogspot.com/2011/09/ jumlah-gamer-online-indo nesia-terus.html. Republika (2011, 19 Agustus). Game

indonesia juara Asia online game awards

2011. Diakses dari republika.co.id.

Rini. (2011). Menanggulangi kecanduan game online pada anak. Jakarta: Pustaka Mina.

Sanditaria, W. (2012). Gambaran adiksi bermain game online pada anak usia sekolah

di warung internet penyedia game online

Jatinangor Sumedang. Fakultas Keperawatan Unpad Sumedang. Diakses dari http://jurnal. unpad.ac.id./ (diakses Februari 2013).

Simon, R., Hartati, T., & Arsilah. (2007). Model permainan di sekolah dasar berdasarkan pendekatan DAP (developmentally apropriate practice). Diakses dari http://file. upi.edu/Direktori/FIP.

Wan, C.S. & Choiu, W.B. (2007). The motivations of adolescents who are addicted to online games: a cognitive perspective.

Adolescence, 42(165), 179–197.

(10)

Wong, D. L. (2011). Wong’s nursing care of infants and children. St. Louis: Elsevier Mosby.

Yee, N. (2002). Ariadne: Understanding MMORPG addiction. Diakses dari http:// www.nickyee.com/hub/addiction/addiction. pdf.

Yee, N. (2007). Motivations of play in online

games. Journal of CyberPsychology and Behavior, 9, 772–775.

Zhong, Z.J. (2009). Third-person perceptions and online games: A comparison of perceiped antisocial and prosocial game effects. Journal of Computer-Mediated Communication, 14: 286–306. doi: 10.1111/ j.1083-6101.2009.01441.

Gambar

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Perilaku Adiksi Bermain              Game Online pada Anak Usia Sekolah Kecamatan Jatinangor Sumedang (n = 52)
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Per Subfaktor yang Melatarbelakangi Perilaku Adiksi Bermain              Game Online pada Anak Usia Sekolah Kecamatan Jatinangor Sumedang (n=52)

Referensi

Dokumen terkait

Can be examined in partial fulfillment of the Degree of Sarjana Pendidikan Islam in the Study Program of English Education of the Language Education Department of the

evaluation framework for Health Information Systems : human , organization and technology-fit factors ( HOT-fit ).. Sex Role Orientation and Behavior in a

Menurut penelitian terdahulu, konsumsi biji labu kuning selama 8 minggu pada tikus yang mengalami aterosklerosis atau kondisi terjadinya penyempitan di dalam pembuluh darah,

Pertemuan 5 : Aliran/ajaran yang mempengaruhi psikologi transpersonal: Kajian kebijaksanaan Timur, India, Budhisme, Zen, Tasawuf Pertemuan 6 : Tokoh-tokoh aliran kepribadian

Model pertumbuhan absolut/mutlak dari kerang kapah ( Meretrix meretrix ) setiap bulan selama tiga bulan yaitu Untuk bulan November 2011 menggunakan sampel sebanyak 120

(pengembangan kapasitas merupakan suatu proses bukan output. Pengembangan kapasitas merupakan suatu usaha untuk memudahkan orang, organisasi dan sistem untuk

Terdapat 5 isolat bakteri yang berhasil diisolasi dari cacing tanah Lumbricus rubellus yang semuanya bersifat bakteriosida terhadap Salmonella typhi demikian pula

Setelah dinyatakan lulus ujian lisan Tugas Akhir , mahasiswa wajib mengumpulkan Tugas Akhirnya yang telah direvisi dan ditanda tangani oleh pembimbing dan penguji,