• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pem

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pem"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pembubaran Partai Politik di

Indonesia sebagai Perlindungan Kebebasan Berserikat

Oleh : Pandu Dewanata1

“Tidak Ada Demokrasi Tanpa Partai, dan Tidak Ada Partai Tanpa Demokrasi”

- Clinton Rossiter

A. Pendahuluan

Perubahan UUD 1945 dilakukan untuk mewujudkan paham konstitusionalisme, hal tersebut akan terwujud dalam kekuasaan negara yang dibatasi sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan dan terdapat perlindungan terhadap hak asasi manusia. Untuk mewujudkan paham konstitusionalisme perubahan UUD 1945 melahirkan berbagai lembaga baru, salah satunya Mahkamah Konstitusi. Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah pembubaran partai politik. Hal tersebut dilakukan agar kebebasan berserikat tidak dibungkam oleh penguasa sebagaimana yang terjadi pada rezim pemerintahan sebelumnya.

Dalam konteks ini, pembubaran yang dimaksud mengakhiri eksistensi hukum dari partai politik, dimana proses terjadinya pembubaran berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik bisa terjadi karena tiga hal, yakni atas keputusan sendiri, menggabungkan diri dengan partai politik lain, atau dibubarkan berdasarkan keputusan otoritas negara. Dalam tulisan ini, penulis fokus pada pembubaran partai politik variasi ke tiga yakni pembubaran yang dilakukan oleh keputusan otoritas negara secara paksa (enforced dissolution).2 Perbedaan antara pembubaran dengan cara keputusan otoritas negara secara paksa dengan pembubaran jenis lainnya adalah pembubaran jenis ini harus dipandang sebagai pemberian sanksi dari negara terhadap partai politik yang inkonstitusional dan melanggar peraturan perundang-undangan.

1 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan NPM 110110130254.

(2)

Mahkamah Konstitusi dapat membubarkan partai politik yang telah terdaftar dan berstatus sebagai badan hukum dalam Kementrian Hukum dan HAM apabila terbukti dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi melakukan bentuk pelanggaran konstitusional.3 Adapun alasan-alasan membubarkan suatu partai politik telah tertuang dalam Pasal 68 (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dimana partai politik tersebut terbukti memiliki ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini sebagaimana diamanatkan pada Pasal 40 ayat (2) huruf a Undang-Undang Partai Politik yang menyatakan bahwa partai politik dilarang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan. Lebih ekstrim lagi, partai politik yang menganut, mengembangkan dan menyebarluaskan paham komunisme, marxisme, dan leninisme berdasarkan Pasal 40 ayat (5) Undang-Undang Partai Politik sudah pasti harus dibubarkan karena hal tersebut bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia.

Walaupun dapat dibubarkan oleh negara melalui Mahkamah Konstitusi, partai politik harus dibubarkan dengan prosedur yang ditetapkan dalam undang-undang. Selain menyangkut kebebasan berserikat, partai politik memiliki peran yang begitu penting dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi dan kedaulatan rakyat, keberadaan partai politik memegang fungsi yang sangat strategis. Hal itu karena negara demokrasi memang dibangun di atas sitem kepartaian.4 Bahkan menurut R.M. Maciver, demokrasi tidak dapat berjalan tanpa adanya partai politik itu sendiri, karena partai politik berfungsi sebagai struktur perantara (intermediate structure) antara rakyat (civil society) dengan negara (state).5 Lebih lanjut menurut Miriam Budiardjo pentingnya partai politik tertuang dalam 4 fungsi yakni komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik dan pengatur konflik politik.6 Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sendiri keberadaan partai politik dianggap begitu penting bagi keberlangsungan negara. Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa partai politik

3 Moh. Saleh, Akibat Hukum Pembubaran Partai Politik, Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, 2011, Jakarta: Sekretariat Jendral MK RI, hlm. 7-8.

4 Sulastomo, Membangun Sistem Politik Bangsa dalam Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama, 2001, Jakarta: Kompas, hlm. 62.

5RM Maciver, The Modern State, first edition, 1955, London: Oxford University Press, hlm. 194.

(3)

sebagai peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu Pasal 6A ayat (2)UUD 1945 juga menyatakan bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Tulisan ini akan menguraikan mengapa Mahkamah Konstitusi dipandang sebagai lembaga yang dapat melindungi kebebasan berserikat. Di awal pembahasan penulis akan menguraikan mengenai kebebasan berserikat dikaitkan dengan pembatasan hak asasi manusia dalam konteks partai politik. Selanjutnya dibahas mengenai praktik-praktik pembubaran partai politik yang dilakukan di Indonesia. Kemudian yang terakhir, akan diuraikan juga menjelaskan kewenangan pembubaran partai politik yang dimiliki Mahkamah Konstitusi sebagai perwujudan dari konstitusionalisme, sekaligus menegaskan fungsi strategis Mahkamah Konstitusi dalam melindungi hak kebebasan berserikat.

B. Pembahasan

Kebebasan Berserikat dan Pembatasan Hak Asasi Manusia

Sejak berakhirnya Perang Dunia ke-II, banyak negara yang memasukkan jaminan dan perlindungan HAM itu secara tertulis ke dalam konstitusinya, terlebih lagi setelah kejatuhan rezim komunis pada akhir abad ke-20. Perancangan konstitusi negara pasca Perang Dunia II terfokus pada dua masalah pokok:

1. Penegasan HAM sebagai pembatasan wilayah otonomi individu yang tak boleh dilanggar oleh negara.

2. Pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan khusus untuk menjaga dan melindungi hak-hak asasi tersebut.7

Dimasukkannya HAM ke dalam konstitusi tertulis berarti memberi status kepada hak-hak itu sebagai hak-hak konstitusional. Perlindungan yang dijamin oleh konstitusi bagi hak konstitusional itu adalah perlindungan terhadap pelanggaran oleh perbuatan negara atau public authorities, bukan terhadap pelanggaran oleh individu lain.8 Sehingga jaminan

7 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, 2013, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 132-133.

(4)

terhadap hak asasi manusia dan hak warga negara menjadi materi muatan yang harus ada dalam sebuah konstitusi.9

Salah satu hak asasi manusia yang fundamental adalah kebebasan berserikat. Pada dasarnya kebebasan berserikat lahir dari kecenderungan dasar manusia untuk hidup bermasyarakat dan berorganisasi baik secara formal maupun informal.10 Hal ini sejalan dengan pendapat Aristoteles yang mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang kodratnya untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain karena masing-masing manusia tidak mampu hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain.11 Menurut Jimly Asshiddiqie kecenderungan tersebut merupakan suatu keniscayaan, dimana kehidupan berorganisasi timbul untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang sama dari individu-individu serta untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan persamaan pikiran dan hati.12 Kebebasan berserikat menjadi penting karena merupakan manifestasi puncak dari kebebasan hati nurani, kebebasan berkeyakinan dan kebebasan menyatakan pendapat seseorang. Selain itu, hak-hak tersebut juga merupakan sarana bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan sehingga jaminan terhadap hak-hak tersebut merupakan prasyarat mutlak demokrasi. Tanpa adanya kemerdekaan berserikat, harkat kemanusiaan dapat berkurang karena dengan sendirinya seseorang tidak dapat mengekspreksikan pendapat menurut keyakinan dan hati nuraninya.13

Kebebasan berserikat mendapat jaminan yang tegas dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yakni “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Jauh sebelum Pasal 28E ayat (3) dirumuskan dalam perubahan UUD 1945, jaminan berserikat telah tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945. Akan tetapi jaminan tersebut hanya ditentukan akan diatur dalam undang-undang. Menurut Jimly Asshiddiqie, apabila undang-undang belum mengatur hak tersebut maka tidak dapat dipastikan jaminan terhadapnya.14

9 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 2006, Bandung: Alumni,hlm. 60. 10 Muchamad Ali Safa’at, Op. Cit, hlm.14.

11 Herbert Gintis and Carel van Schail, Zoon Politicon: The Evolutionary Roots of Human Sociopolitical Systems,

http://tuvalu.santafe.edu/~bowles/Gintis.pdf, diunduh pada 12 Juni 2016. 12 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hlm. 44.

13 Richard H. Pildes, The Constitutionalization of Democratic Politics – The Supreme Court, 2003 Term,

http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=669068, diunduh pada 12 Juni 2016.

(5)

Ketentuan senada pun sejatinya terlihat dalam dokumen internasional yang tertuang dalam konferensi International Commision of Jurirsts di Bangkok pada tahun 1965 yang menjadikan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat sebagai ciri utama negara yang memiliki pemerintahan demokratis di bawah Rule of Law. Dengan diaturnya kebebasan berserikat dalam kedua ketentuan diatas, dapat diketahui bahwasannya kebebasan berserikat telah diakui dan disepakati sebagai bagian yang penting di negara Indonesia secara khusus dan masyarakat global secara umum sehingga perlu diatur secara tegas dan spesifik.

Menurut Hillarie Barnet, kebebasan berserikat sebagai hak asasi manusia memiliki batasan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi keamanan nasional dan keselamatan publik, untuk mencegah kejahatan, serta untuk melindungi kesehatan dan moral, serta melindungi hak dan kebebasan lain.15 Pembatasan tersebut harus ditafsirkan secara ketat bahwa pembatasan harus diatur dalam aturan hukum, harus dilakukan semata-mata untuk mencapai tujuan dalam masyarakat demokratis, dan harus benar-benar dibutuhkan dan bersifat proporsional sesuai dengan kebutuhan sosial.16 Ditambahkan oleh Sam Issacharoff, bentuk pembatasan yang dapat dibenarkan dalam negara demokrasi adalah pembatasan terhadap kelompok yang mengancam demokrasi, kebebasan, serta masyarakat secara keseluruhan.17

Terlebih lagi, di dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasan haruslah diberikan suatu batasan. Dimana ketentuan Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 secara lengkap seperti berikut:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nila-nilai agama, keamana, dan ketertban umum dalam suatu masyarakat yang demokrasi.”

15 Muchamad Ali Safa’at, Op. Cit, hlm. 23-24.

16 Moh. Saleh, Akibat Hukum Pembubaran Partai Politik, Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, 2011, Jakarta: Sekretariat Jendral MK RI, hlm. 7-8.

(6)

Maka dari itu menurut Jimly Asshidiqie dalam suatu negara yang demokratis, pembubaran partai politik hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan-alasan rasional dan proporsional melalui mekanisme due process of law serta berdasarkan putusan pengadilan.18

Praktik-Praktik Pembubaran Partai Politik di Indonesia

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, praktik pembubaran partai politik terjadi sebanyak tiga kali : (1) Pembubaran Partai Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia; (2) Pembubaran Partai Komunis Indonesia; (3) Fusi atau penggabungan partai politik pada masa Orde Baru. Ketiga praktik tersebut menunjukkan adanya pembubaran yang dilakukan oleh keputusan otoritas negara secara paksa (enforced dissolution).

Pembubaran Partai Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konstelasi politik pada masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Diawali dari Kabinet Djuanda yang tidak melibatkan kader Masjumi dan PSI mendapat protes dari daerah-daerah basis kedua partai itu. Di Sumatra Barat, misalnya, terjadi unjuk rasa yang mengultimatum Djuanda supaya mengundurkan diri dalam waktu 5 hari. Mereka juga menuntut Presiden Soekarno untuk menunjuk Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX menjadi formatur pembentukan kabinet yang bersifat nasional. Karena ultimatum tersebut tidak dipenuhi oleh Djuanda, pada Februari 1958 terjadi pemberontakan dari kelompok yang menamakan diri Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Bukittinggi. Pada saat yang sama di Sulawesi Utara berdiri Dewan Manguni yang sejalan dengan PRRI. Pemberontakan tersebut dapat diatasi oleh TNI dalam waktu singkat.19

Pemberontakan PRRI melibatkan sejumlah pimpinan Masjumi dan PSI yakni antara lain Syafruddin Prawiranegara, M. Natsir, Burhanuddin Harahap (Masyumi) dan Soemitro Djojohadihoesoema (PSI). Keterlibatan mereka mengakibatkan tensi ketegangan antara pemerintah dengan dua partai itu semakin meningkat. Kemudian pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang salah satu isinya menyatakan bahwa konstitusi negara kembali ke UUD 1945.

Pada periode selanjutnya, tepatnya pada 31 Desember 1959 dikeluarkanlah Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan 18 Muchamad Ali Safa’at, Op. Cit, hlm. 25.

(7)

Kepartaian. Dimana sebagai tindak lanjut dari Penpres tersebut, dikeluarkanlah peraturan Peratuan Presiden Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan dan Pembubaran Partai-Partai yang selanjutnya diubah dengan Perpres Nomor 25 Tahun 1960. Peraturan tersebut diikuti dengan Keputusan Presiden Nomor 128 Tahun 1961 tentang Pengakuan Partai-Partai yang memenuhi Perpres Nomor 13 Tahun 1960, dimana partai-partai yang diakui tersebut adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII, IPKI, Parkindo dan Persatuan Tarbiyah Islam (PTI) sedangkan partai-partai yang ditolak pengakuannya adalah PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daen Lalo, dan Partai Rakyat Nasional Djodi Gondokusumo yang termuat dalam Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1961.20

Penpres No. 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian tampaknya memang ditujukan khusus kepada Masjumi dan PSI, karena pada Pasal 9 menyebutkan bahwa Presiden, setelah mendengar pendapat Mahkamah Agung, dapat melarang atau membubarkan partai yang sedang melakukan pemberotakan. Kecurigaan akan dibubarkanya Masjumi dan PSI semakin mendekati kenyataan dengan dikeluarkannya Penpres No.13/1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai politik. Maka dari itu pada 21 Juli 1960 Soekarno memanggil pemimpin-pemimpin Masjumi dan PSI ke istana. Soekarno kemudian menyerahkan setumpuk daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh pemimpin partai itu secara tertulis dalam satu minggu.21 Oleh karena jawaban pimpinan Masjumi dan PSI tidak memuaskan Soekarno, maka pada 17 Agustus 1960 kedua partai itu dibubarkan melalui Keputusan Presiden No.200/1960 dan No.201/1960. Jika ultimatum ini tidak dipenuhi, maka partai bersangkutan akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Kurang dari 30 hari setelah Keppres itu diturunkan, pimpinan Masjumi dan PSI membubarkan partai mereka.22

Keputusan Presiden dalam hal tidak mengakui beberapa partai politik tidak terdapat upaya hukum yang dapat diajukan ke pengadilan. Kondisi tersebut merupakan akibat dari kekuasan Presiden Soekarno yang sangat besar, hal itu dapat terlihat dari ditempatkannya Ketua Mahkamah Agung sebagai Menteri Koordinator Hukum dan Dalam Negeri yang

20 Muchamad Ali Safa’at, Op. Cit, hlm. 155-163. 21 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 181.

(8)

kedudukannya berada di bawah Presiden.23 Akibat kebijakan penyederhanaan partai politik tersebut, partai politik tidak lagi memiliki pengaruh yang kuat dalam berkontribusi terhadap pembangunan bangsa. Bahkan partai-partai yang masih ada, mendapatkan pengawasan yang sangat ketat dari militer dan pemerintahan sipil.

Sedangkan pembubaran Partai Komunis Indonesia sangat erat kaitannya dengan Peristiwa G30S yang meletus pada tahun 1965. Peristiwa G30S menjadi tanda berakhirnya kiprah PKI dalam percaturan politik nasional, dalam peristiwa tersebut sejumlah jenderal diculik dan dibunuh. Aksi pembantaian itu dimotori oleh Kolonel Untung, seorang komandan pasukan pengawal istana.24 Kolonel Untung menuduh korban-korbannya sebagai komplotan “Dewan Jenderal” yang sedang mempersiapkan kudeta sehingga harus diantisipasi secara dini. Sebagai kelanjutan dari pembantaian para jenderal itu, keesokan harinya disiarkan berita mengenai terbentuknya “Dewan Revolusi” yang beranggotakan 45 orang dengan tugas mengamankan negara dan Presiden. Meskipun dari 45 anggota Dewan Revolusi tersebut 5 orang yang berfaham komunis namun banyak kalangan menuduh PKI terlibat dalam aksi pembunuh itu untuk melakukan kudeta.25

Jenderal Soeharto yang pada saat itu menjabat panglima komando cadangan strategis bertindak cepat menguasai keadaan dengan menangkap kolonel Untung berikut kelompoknya. Akibat lanjutannya adalah pembasmian segenap kekuatan PKI diseluruh tanah air oleh TNI Angkatan Darat dan kelompok-kelompok masyarakat yang anti terhadap komunisme. Aksi pembasmian ini dilakukan secara massif dengan jumlah korban berkisar antara 80.000 hingga 500.000.26

Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September / Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangi sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan

23 Bibit Suprapto, Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia, 1985,Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 245.

24 Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, 2003,Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 202.

25 Victor M.Fic, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi, 2005, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 203.

(9)

Surat Perintah Sebelas Maret diartikan sebagai pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.27 Setelah Supersemar diterbitkan, Soeharto mengeluarkan Keppres Nomor 1/3/1966 yang berisi tentang pembubaran PKI. Keppres tersebut dikuatan dengan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang dihasilkan pada sidang tersebut adalah melarang PKI berikut ideologinya tumbuh dan berkembang di Indonesia. Dari kejadian tersebut dapat disimpulkan lembaga yang membubarkan PKI adalah presiden, sedangkan MPR hanya menguatkan Keppres tersebut dengan melarang ideologi komunis.

Pada masa pemerintahan Soeharto terdapat juga kebijakan penyederhanaan terhadap partai politik. Hal tersebut disebabkan karena partai politik dipandang sebagai sumber pertikaian yang mengganggu stabilitas bangsa.28 Maka dari itu, pada masa pemerintahan Soeharto partai-partai politik mendapatkan berbagai tekanan untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan yang ada. Kebijakan penyederhanaan partai politik ini pada akhirnya menghasilkan 10 peserta pemilu pada tahun 1971 yakni PNI, NU, Parmusi, Golkar, Partai Katolik, PSII, Murba, Partai Kristen Indonesia, Perti, dan IPKI. 29

Kebijakan penyederhanaan dikombinasikan dengan kebijakan fusi partai politik pada tanggal 9 Maret 1970. Dimana Presiden Soeharto menyarankan untuk mengklasifikasikan partai berdasarkan kesamaan indentitas masing-masing partai. Maka dari itu partai-partai yang ada dikelompokan menjadi golongan nasionalis, golongan spiritual, dan golongan karya yang dimanifestasikan menjadi 3 partai yakni Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, dan Golongan Karya (Golkar). 30

Pasca Pemilu 1971, Presiden Soeharto yang posisinya semakin kuat karena mendapat legitimasi pemilu kembali memunculkan ide penyederhaan partai. Ide ini sebenarnya sudah cukup lama menjadi bahan pembicaraan para penggagas konsep orde baru. Mereka menilai bahwa partai politik selalu menjadi sumber pertikaian yang tentu saja mengganggu stabilitas. Maka tidak mengherankan apabila setahun sebelum Pemilu 1971 dilangsungkan, di hadapan sembilan partai dan Golkar Soeharto sudah mengemukakan saran penggabungan partai-partai untuk mempermudah kampanye pemilu tanpa kehilangan identitas

masing-27 Ibid, hlm.189. 28 Ibid.

29 Arif Zulkifli, PDI di Mata Golongan Menengah Indonesia: Studi Komunikasi Politik, 1996, Jakarta: Grafiti, hlm. 51-55.

(10)

masing. Soeharto menginginkan partai-partai yang ada dikelompokan ke dalam Golongan Nasional, Golongan Spiritual dan Golongan Karya.31

Gagasan pengelompokan partai itu memunculkan sikap pro dan kontra di kalangan masyarakat. Partai pertama yang menyetujui adalah PNI dan IPKI, kemudian disusul oleh Parmusi dan NU. Kalangan yang mewakili Islam memandang gagasan itu akan menyatukan pandangan politik umat Islam yang sebelumnya terpecah-pecah. Selain itu, dengan adanya pengelompokan proses pengambilan keputusan akan semakin mudah karena alternatif-alternatif pendapat dapat diperkecil.32

Golongan yang menentang pengelompokan adalah Parkindo dan Partai Katolik. Sebenarnya penolakan mereka lebih disebabkan pada pengelompokan kedua partai ini kedalam kelompok spiritual. Mereka akan menerima jika mereka dikelompokkan pada golongan nasionalis. Alasannya, golongan nasionalis dapat melaksanakan program yang tidak mementingkan motif-motif ideologis keagamaan.33

Dimana pada tanggal 5 Januari 1973 NU, Parmusi, PSII dan PERTI telah memfusikan politiknya dalam satu partai politik bernama Partai Persatuan Pembangunan, kemudian PNI, IPKI, Parkindo dan Partai Katholik pada 10 Januari 1973 difusikan dalam satu wadah yang bernama Partai Demokrasi Indonesia.34 Konsep fusi tersebut dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan serta Undang-Undang-Undang-Undang No.4 Tahun 1975 tentang Pemilihan Umum. Kedua Undang-Undang itu telah membatasi organisasi peserta pemilu yang sebelumnya berjumah sepuluh menjadi tiga. Itu juga berarti bahwa sejak dua Undang-Undang tersebut diberlakukan hanya tiga aliran politik saja yang diperkenankan, yaitu ideologi keagamaan yang diwakili PPP, kekaryaan yang diwakili oleh Golkar dan demokrasi yang diwakili PDI. Hanya tiga kekuatan politik yang ada itulah yang bertarung dalam Pemilu 1977. Itu pun masih dengan pembatasan baru lagi bagi partai politik di luar Golkar, dengan adanya peraturan kepengurusan partai yang hanya memperbolehkan partai politik beroperasi di ibu kota tingkat pusat, Dati I dan Dati II. Sementara di wilayah yang lebih kecil, hanya Golkar yang dapat berperan. Ketentuan ini kemudian lebih dikenal

31 Ibid, hlm.194. 32 Ibid.

33 Ibid, hlm.195.

(11)

dengan istilah “massa mengambang”. Sistem pemilu dengan tiga kontestan itu berlangsung hingga lima kali pemilu selama pemerintah orde baru, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1992, dan 1997.35 Hasilnya adalah selama pemerintahan Presiden Soeharto, khususnya pada 1971-1997 Golongan Karya menguasai secara mutlak perolehan suara di seluruh provinsi, sehingga membawa partai beringin ini menjadi partai pemenang, bahkan mendapatkan legitimasi untuk memerintah karena ia menguasai perangkat eksekutif dan legislatif sekaligus.36

Mahkamah Konstitusi: Perwujudan dari Konstitusionalisme

Adanya konstitusi tidak terlepas dari ide pembatasan kekuasaan atau paham konstitusionalisme. Secara historis, konstitusionalisme mulai berkembang pada abad ke-17 dan abad ke-18 sebagai misi politik yang hendak dicapai oleh konstitusi tertulis negara bangsa (nation state). Tujuan mendasar konstitusi pada masa itu adalah untuk membuat monarch (raja) tunduk pada hukum, yaitu dengan cara membentuk “pemerintah berdasarkan hukum” bukan berdasarkan “orang”.37 Dalam konteks tersebut sangat tepat pendapat K.C. Wheare yang mengatakan bahwa konstitusi adalah an instrument by which government can be controlled (instrument untuk mengawasi pemerintah).38

Konstitusi berkembang dari ide pemerintahan yang terbatas (spring from belief in limited government).39 C.F. Strong juga mengungkapkan hal yang serupa, bahwa tujuan dari konstitusi adalah to limit the arbitrary action of the government (untuk membatasi dari tindakan pemerintahan yang sewenang-wenang), to guarantee the rights of the governed (untuk menjamin hak-hak yang diperintah), dan to define the operation of the sovereign power (untuk menentukan batas-batas pelaksananaan kekuasaan yang berdaulat).40 Dalam konteks pembatasan kekuasaan, suatu konstitusi memuat aturan-aturan ketatanegaraan yang bersifat mendasar (hal-hal pokok). Namun demikian, konstitusionalisme bukan merupakan konsep statis,melainkan bersifat dinamis yang berkembang seiring dengan

35 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 195.

36 Daniel Dhkidae, Peta Politik Pemilihan Umum 1999-2004, 2004,Jakarta: Kompas Gramedia, hlm.3.

37 Anne Peters & Klaus Armingeon, Introduction-Global Constitutionalism from an Interdisciplinary Perspective, Indian Journal of Global Legal Studies, Vol. 16, No. 2, 2009, Bloomington: Indiana University Maurer School of Law, hlm. 388.

38 Indra Perwira, et. al, Budaya Konstitusi dalam UUD 1945 Perubahan Dikaitkan dengan Gagasan Perubahan Kelima UUD 1945, Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2009, Bandung, hlm. 8. 39 K.C. Wheare, Modern Constitution, 1975, London: Oxford University Press, hlm. 7.

(12)

perkembangan masyarakat. Mark Tushnet berpendapat bahwa konsep awal konstitusionalisme berhubungan dengan konsep liberlisme klasik di mana perhatian utamanya adalah memastikan kekuasaan pemerintah tidak disalahgunakan,41 yang salah satunya menekankan pada jaminan hak-hak sipil dan politik.

Konstitusi tidak sama dengan konstitusionalisme.42 Suatu negara yang memiliki konstitusi belum tentu menerapkan gagasan konstitusionalisme, tetapi “constitutionalism asks for a legitimate constitution” (konstitusionalisme menginginkan sebuah konstitusi yang terlegitimasi).43 Legitimasi tersebut tentu saja terkait dengan penerimaan norma-norma konstitusi oleh rakyat sebagai bagian dari proses demokrasi.44 Dalam konteks tersebut maka konsep konsep konstitusionalisme dalam perkembangannya lebih mencerminkan konsep konstitusionalisme demokratis (democratic constitusionalism) di mana ketidaksepahaman atau perbedaan pandangan dianggap sebagai “a normal condition” untuk pengembangan hukum ketatanegaraan.45

Dari praktik pembubaran partai politik di Indonesia, sangat terlihat dominasi eksekutif dalam prosesnya. Pembubaran partai politik hanya didasarkan atas penilaian politis dari presiden, apakah partai politik tersebut sejalan dengan tujuan negara atau tidak. Tentunya ini tidak sesuai dengan pembatasan kebebasan berserikat yang membutuhkan putusan pengadilan sebagai perwujudan due process of law. Untuk menghindari praktik-praktik yang pernah terjadi, perubahan UUD 1945 memberikan kewenangan untuk Mahkamah Konstitusi dalam pembubaran partai politik.

Selain Mahkamah Konstitusi ditempatkan sebagai Guardian of Constitution, kewenangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari fenomena judicialization of politics. Fenomena judicialization of politics dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi memutus pembubaran partai politik memang tidak dapat dilepaskan dari tujuan dibentuknya Mahkamah Konstitusi itu sendiri, karena memang sejak awal terlihat bahwa pertimbangan dibentuknya MK kental dengan muatan politis.46 Hal itu dapat kita lihat, dimana ketika 41 Mark Tushnet, Comparative Constitutional Law, dalam Mathias Reimann & Reinhard Zimmermann (ed), The Oxford Handbook of Comparative Law, 2008, London: Oxford University Press, hlm. 123.

42 Anne Peters & Klaus Armingeon,Op. Cit, hlm. 388. 43 Ibid.

44 Dalam Indra Perwira, et. al, Op. Cit, hlm. 11. 45 Ibid.

46 Wicaksana Dramanda, Political Judicialization dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,

(13)

pembahasan amandemen UUD 1945 berlangsung, dalam pembahasan mengenai MK oleh Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR 2000 dan 2001 terdapat tiga pendapat mengenai kedudukan MK, yaitu: Pertama, MK merupakan bagian dari MPR. Kedua, MK melekat atau menjadi bagian dari MA. Ketiga, MK didudukan sebagai lembaga negara tersendiri.47 Usulan agar MK menjadi bagian dari MPR tersebut didasari oleh alasan bahwa nantinya MK akan menangani perkara-perkara yang sifatnya politis sehingga harus diletakan sebagai bagian dari MPR, karena saat itu MPR merupakan lembaga tertinggi yang berfungsi untuk memutus hal-hal yang bersifat mendasar seperti menetapkan dan merubah UUD 1945, serta memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden.48

Meskipun akhirnya usulan agar MK menjadi bagian dari MPR tersebut ditolak, akan tetapi hal itu membuktikan bahwa memang sejak awal tujuan dibentuknya MK adalah untuk mengadili perkara-perkara yang bersifat politis. Bahkan dapat kita telusuri dari salah satu pendapat anggota MPR ketika melakukan pembahasan Amandemen UUD 1945 tentang pembentukan MK yaitu Soetjipto dari Fraksi Utusan Golongan yang menyatakan secara tegas bahwa MK memang dibentuk untuk menyelesaikan masalah-masalah politik:49

“Jadi bisa saja memang kalau rekrutmennya Mahkamah atau Hakim Konstitusi itu sembilan, tiga oleh DPR, tiga oleh DPD, dan tiga oleh Presiden. Karena perkara-perkara nanti memang berkisar masalah ketatanegaraan sengketa antar pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, antar pemerintah daerah-pemerintah daerah dan juga masalah mengenai konstitusi dan juga masalah politik karena dari DPR...”

Salah satu alasan mengapa begitu politisnya tujuan dibentuknya MK tidak dapat dilepaskan dari konfigurasi politik yang ada ketika dibentuknya MK. Ketika dibentuknya Indonesia baru saja lepas dari pemerintahan yang otoriter dan memasuki era reformasi, dimana pada saat itu banyak muncul partai-partai politik baru, dan tidak terdapat satu kekuatan politik yang benar-benar menguasai MPR sebagai lembaga yang mengubah UUD 1945. Sebagaimana dikemukakan Tom Ginsburg pembentukan Mahkamah Konstitusi sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang ada ketika dibentuknya, apabila semakin terbaginya lingkungan politik dimana terdapat banyak partai yang saling bersaing untuk mendapatkan

47 Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Buku VI Kekuasaan Kehakiman), 2010, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, hlm. 443.

(14)

kekuasaan, akan membuat semakin kuatnya peran pengadilan yang akan dibentuk. Sebaliknya apabila terdapat satu partai politik yang kuat dan menguasai mayoritas lingkungan politik, maka peran pengadilan akan semakin lemah.50 Maka dari itu dengan terdapatnya banyak partai dan tidak terdapatnya kekuatan politik yang sangat dominan ketika dibentuknya MK, tak heran apabila saat ini MK memiliki peran yang kuat dalam memutus masalah-masalah politik.

Dalam konteks pembubaran partai politik, fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi membuat pemerintah tidak dapat serta merta membubarkan partai politik. Akibat hukum dari pembubaran partai politik sendiri berdampak sangat besar bagi status hukum partai politik, bahkan status dari anggota partai politik yang dibubarkan apabila sedang menjabat dalam cabang kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Sehingga putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pembubaran partai politik menjadi sangat diperlukan untuk melindungi kebebasan berserikat dan juga melindungi kehidupan demokrasi di Indonesia.

C. Penutup

Pembubaran partai politik memiliki dampak yang besar terhadap kebebasan berserikat dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Karena dapat membatasi kebebasan berserikat, maka pembubaran partai politik harus dilakukan sesuai dengan due process of law, yakni melalui putusan pengadilan. Sehingga alasan-alasan yang digunakan dalam membubarkan partai politik didasarkan pada alasan yang logis dan berdasarkan hukum. Ditambah dengan praktik-praktik pembubaran partai politik yang pernah terjadi di Indonesia, memperkuat pentingnya peran dari cabang kekuasaan yudikatif atau Mahkamah Konstitusi untuk membubarkan partai politik.

DAFTAR PUSTAKA Buku

(15)

Arif Zulkifli, PDI di Mata Golongan Menengah Indonesia: Studi Komunikasi Politik, 1996, Jakarta: Grafiti.

Atmadji Sumarkidjo, Mendung di Atas Istana Merdeka, Menyingkap Peran Biro Khusus PKI dalam Pemberontakan G30S, 2000, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Bibit Suprapto, Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia, 1985,Jakarta: Ghalia Indonesia. C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, 2011, Bandung: Nusa Media.

Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, 2003, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

____________, Peta Politik Pemilihan Umum 1999-2004, 2004, Jakarta: Kompas Gramedia. Deliar Noer, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, 2005, Jakarta: Yayasan Risalah.

I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, 2013, Jakarta: Sinar Grafika.

Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, 2006, Jakarta: Konstitusi Press.

K.C. Wheare, Modern Constitution, 1975, London: Oxford University Press.

Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, 1982, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik, 2011, Jakarta: Rajawali Press.

Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia: Dari Radikalisme Menuju Kebangsaan, 2009, Yogyakarta: Kanisius.

RM Maciver, The Modern State, first edition, 1955, London: Oxford University Press. Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, 2006, Bandung: Alumni.

Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Buku VI Kekuasaan Kehakiman), 2010, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Victor M.Fic, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi, 2005, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Jurnal, Makalah, Laporan Penelitian

Anne Peters & Klaus Armingeon, Introduction-Global Constitutionalism from an Interdisciplinary Perspective, Indian Journal of Global Legal Studies, Vol. 16, No. 2, 2009, Bloomington: Indiana University Maurer School of Law.

(16)

Indra Perwira, Susi Dwi Harijanti, Bilal Dewansyah, Budaya Konstitusi dalam UUD 1945 Perubahan Dikaitkan dengan Gagasan Perubahan Kelima UUD 1945, Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2009, Bandung

Mark Tushnet, Comparative Constitutional Law, dalam Mathias Reimann & Reinhard Zimmermann (ed), The Oxford Handbook of Comparative Law, 2008, London: Oxford University Press.

Moh. Saleh, Akibat Hukum Pembubaran Partai Politik, Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, 2011, Jakarta: Sekretariat Jendral MK RI.

Richard H. Pildes, The Constitutionalization of Democratic Politics – The Supreme Court, 2003 Term,

http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=669068.

Tom Ginsburg, Constitutional Courts in New Democracies: Understanding Variation in East Asia, Global Jurist Advance, Vol. 2, Issue 1, 2002.

Wicaksana Dramanda, Political Judicialization dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,

Referensi

Dokumen terkait

Dalam perhitungan nilai tanah ini digunakan metode Perbandingan Pendekatan Data Pasar ( Market Data Approach ). Nilai tanah ini didapatkan dari data hasil survei

• misalkan untuk menduga rata-rata dengan presisi d0 dan tingkat reliabilitas yang dikehendaki Z0, maka besarnya ukuran sampel yang dibutuhkan untuk masing-masing tipe

1. Pesan dakwah tentang aqidah dalam tradisi Mappadendang di Desa Kebo Kecamatan Lilirilau Kabupaten Soppeng. Adalah keimanan kepada Allah yang ditekankan pada sifatnya yang

Hasil pembacaan sensor inframerah dapat dimonitoring didalam web localhost, dengan memberikan informasi kondisi, durasi, dan status parkir motor kepada penjaga

Servik merupakan bagian uterus dengan bagian khusus, terletak dibawah istimus. Servik memiliki serabut otot polos, namun terutama terdiri atas jaringan kolagen, ditambah

Pengembangan masyarakat petani melalui program PIR-BUN ini termasuk dalam upaya penyadaran peran mereka sebagai aktor utama dalam proses pembangunan perkebunan yang juga

Sesuai dengan tujuan dari penelitian yaitu untuk menganalisis apakah ada atau tidak pengaruh motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik terhadap kinerja karyawan,

(1) Atas dasar permohonan wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 atau karena jabatan, Kepala Dinas meminta Kepala Bidang Penagihan Dinas Pendapatan,