• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktik Hukuman Mati dan Jaminan Perlind

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Praktik Hukuman Mati dan Jaminan Perlind"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Praktik Hukuman Mati dan Jaminan Perlindungan

Hak-Hak Asasi Fundamental di Indonesia: Mengungkap Sistem

Pemidanaan yang Dipaksakan di Indonesia

Puri Kencana Putri1

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

I. Pendahuluan

Pada sesi ke-tiga puluh yang diselenggarakan oleh Dewan Hak Asasi Manusia dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations of Human Rights Council) yang diselenggarakan pada bulan September 2015 tema hukuman mati telah mendapatkan perhatian yang amat luas dari negara-negara anggota Dewan HAM PBB.2 Secara khusus, Dewan HAM PBB memberikan mandat kepada Sekretaris Umum PBB untuk mengangkat tema hukuman mati pada laporan 5 tahunan (quinquennial report) di Majelis Umum PBB. Laporan tersebut diharapkan mampu memberikan potret besar terhadap kesadaran global yang idealnya mampu mengatakan bahwa praktik hukuman mati adalah praktik usang dan cenderung dijauhi oleh negara-negara modern, yang menjunjung tinggi akuntabilitas, penegakan hukum dan HAM. Dari data yang diketahui, setidaknya terdapat 160 negara yang telah mengabolisi praktik hukuman mati dari sistem hukum positif yang mereka miliki, termasuk bagi negara-negara yang telah menggunakan pendekatan moratorium hukuman mati. Angka ini dapat dipandang progresif, mengingat ketika digelontorkan wacana abolisi hukuman mati ditahun 1948, hanya sekitar 48 negara yang memiliki komitmen.3

Namun demikian meskipun terdapat tren progresif global dari negara-negara untuk menjauhkan diri dari praktik hukuman mati polemik klasik kerap muncul khususnya ketika masih banyak negara yang memutuskan menggunakan pendekatan hukuman

1 Puri Kencana Putri adalah Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Ia menghabiskan studi Hukum HAM internasional di UN Mandated University for Peace, Costa Rica dan Ilmu Politik di Ateneo de Manila University (2013-2014).

2 Sebagai sebuah sistem di dalam PBB, Dewan HAM memiliki pertemuan rutin yang diselenggarakan setiap tahun yang dikenal dengan istilah sesi (session). Untuk setiap tahunnya, Dewan HAM menyelenggarakan tidak kurang dari 3 kali sesi reguler, dengan total keseluruhan 10 pekan. Jamaknya mereka sesi yang melibatkan seluruh anggota Dewan HAM PBB akan diselenggarakan pada bulan Maret (selama 4 pekan), Juni (3 pekan) dan September (3 pekan). Selain itu, Dewan HAM PBB juga mampu menyelenggarakan sebuah sesi khusus (special session) jika terdapat 1/3 dari keseluruhan suara para anggota Dewan HAM PBB yang memutuskan untuk menggelar suatu pertemuan dalam merespons situasi pelanggaran HAM dan kedaruratan lainnya. Lihat: OHCHR. Human Rights Council

on Session. Penjelasan dapat diakses di:

http://www.ohchr.org/EN/HRBodies/HRC/Pages/Sessions.aspx. Diakses pada tanggal 1 November 2015.

(2)

mati dalam sistem hukum pidana nasional; termasuk negara-negara yang masih mempercayai bahwa praktik ini mampu efektif memberikan efek jera pada tindak pidana narkotika. Bagi mereka yang meyakini pula bahwa praktik hukuman mati juga amat terkait dengan opini kolektif yang kerap disandingkan dengan tingkat kepuasan kolektif dan ‘rasa keadilan’ publik terhadap praktik kejahatan yang telah terjadi.4 Pada konteks masih diterapkannya praktik hukuman mati di Indonesia, dinamika HAM dan segenap kewajiban yang diberikan kepada negara menjadi menarik untuk diperiksa secara seksama, khususnya ketika standar HAM dapat direalisasikan dengan beberapa ukuran berikut: Pertama, tren global dalam mengevaluasi kembali praktik hukuman mati. Kedua, komitmen Pemerintah Indonesia pada sejumlah instrumen hukum HAM internasional. Ketiga, kapasitas dari standar hukum nasional yang mampu melindungi hak-hak asasi setiap individu tanpa diskriminatif dan menjauhi pemidanaan yang dipaksakan. Ketiga ukuran di atas kiranya mampu memberikan semacam ilustrasi dan catatan evaluatif kepada Pemerintah Indonesia terkait dengan komitmennya dalam menggunakan standar penegakan hukum nasional.

Dari perkembangan terbaru pada sektor penegakan hukum dan jaminan perlindungan HAM di Indonesia, konteks praktik hukuman mati telah digunakan untuk ‘mengelola’ suatu sentimen yang kontraproduktif dengan komitmen Pemerintah Indonesia pada beberapa tahun terakhir untuk menghentikan sementara (de facto moratorium) atas penerapan hukuman mati. ‘Mengelola’ sentimen tersebut kemudian amat lekat dengan agenda terbaru dari Pemerintah Indonesia di era Joko Widodo untuk memerangi kejahatan narkotika dengan pendekatan absolutisme: menggunakan kembali hukuman mati untuk menghadirkan efek jera atas perdagangan narkotika di Indonesia.

Empat belas orang telah dieksekusi mati selama tidak kurang dari 1 semester diawal tahun 2015. Dari 14 orang tersebut, mayoritas terpidana yang dieksekusi mati adalah warga asing yang telah mendekam di lembaga pemasyarakatan tidak kurang dari 1 dekade. Dua gelombang eksekusi mati yang kembali digunakan oleh Pemerintah Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari sumber data yang telah digunakan oleh Pemerintah dalam membenarkan praktik hukuman mati sebagai alat untuk mencegah ‘kedaruratan negara pada isu kejahatan narkotika’ di Indonesia. Adalah laporan yang dikeluarkan oleh Badan Narkotika Nasional Indonesia (BNN) telah diggunakan suatu standar metodologi yang diragukan validitasnya telah dijadikan dasar untuk memprioritaskan eksekusi hukuman mati sebagai langkah penegakan hukum yang didukung oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

Laporan yang dikeluarkan ditahun 2013 berjudul Jurnal Data: Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba menyatakan bahwa 2,6% dari total populasi di Indonesia atau sekitar tidak kurang dari 4.5 juta warga Indonesia telah menggunakan narkotika dan zat-zat terlarang.5 Baik eksekusi maupun

4 Penjelasan ini banyak dibahas oleh peneliti Lowy Institute for International Policy Dr. Dave McRae dalam tulisannya yang berjudul A key domino? Indonesia’s death penalty policies. Dr. Dave McRae membuat analisa mengenai persepsi publik Indonesia atas isu hukuman mati. Hasil laporan riset dapat diakses di: http://www.lowyinstitute.org/files/mcrae_a_key_domino_web-1.pdf. Diakses pada 21 November 2015.

5 Penulis mendapatkan dokumen dari Claudia Stoicescu (peneliti Universitas Oxford yang mendalami kajian harm reduction dan drugs policy, termasuk untuk konteks Indonesia) melalui korespondensi email per tanggal 10 Maret 2015. Badan Narkotika Nasional. 2014. Jurnal Data: Pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (P4GN) Tahun 2013. Jurnal sendiri dapat

(3)

validitas dari laporan BNN mendapat penentangan luar biasa dari banyak pihak di dalam maupun di luar Indonesia. Akademisi dan masyarakat sipil –salah satunya adalah Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)- telah banyak mengeluarkan pernyataan, reaksi dan usulan strategis kepada negara untuk tidak menempuh praktik hukuman mati dengan mengedepankan praktik-praktik terbaik dalam mencegah dan mengintervensi praktik perdagangan obat-obatan terlarang.

Naskah kajian ini akan memeriksa secara seksama kesenjangan perspektif yang telah digunakan kembali oleh pemerintah untuk tetap mempertahankan reproduksi argumentasi dan praktik hukum positif atas hukuman mati di Indonesia. Selain itu, tulisan ini juga akan diperkaya dengan beberapa data otentik yang dimiliki oleh KontraS –tempat di mana penulis bekerja- terkait dengan kejanggalan-kejanggalan penegakan hukum yang telah ditempuh baik sebelum dan sesudah eksekusi hukuman mati dilakukan. Tulisan ini akan dilengkapi dengan catatan 2 gelombang eksekusi di awal tahun 2015, termasuk bentuk pelanggaran terhadap komitmen Pemerintah Indonesia atas sejumlah instrumen hukum HAM internasional yang telah diadopsi menjadi bagian dari tata sistem hukum nasional. Analisa dokumen, literatur dan hasil advokasi KontraS akan menjadi metode yang digunakan dalam mengolah tulisan ini.

II. Mengukur keabsahan hukuman mati di Indonesia: Dilema standar ganda atas pemidanaan hukuman mati yang dipaksakan

Pada tanggal 4 Maret 2015, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menyatakan sebuah pendapat resmi pada Diskusi Panel Tingkat Tinggi Dewan HAM PBB (UN Human Rights Council biennial high-level panel discussion) dengan topik

‘on the question of dan the death penalty’ sebagai berikut:6

Kami memercayai bahwa negara-negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati harus mampu

memberikan batasan yang ketat, secara hati-hati dalam menjatuhkan vonis hukuman mati [...] Indonesia meyakinkan bahwa menjunjung tinggi proses hukum yang ketat telah dilakukan dalam praktik penerapan hukuman mati.

Pernyataan di atas juga harus diperiksa dengan upaya terdahulu yang telah ditempuh oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dengan memberikan suara

http://www.bnn.go.id/portal/_uploads/post/2014/08/19/Jurnal_Data_P4GN_2013_Edisi_2014_Oke.pdf. Diakses pada 21 November 2015.

6 Pernyataan ini telah disampaikan oleh Dicky Komar, Direktur untuk Urusan HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dalam High Level Panel Discussionon the Question of the Death Penalty ‘Regional Efforts Aiming at the Abolition of the Death Penalty and Challenges Faced in that Regard’ at the 28th Session of Human Rights Council di Jenewa 4 Maret 2015. Pernyataan sendiri bisa dilihat di: http://www.mission-indonesia.org/article/516/statement-by-the- delegation-of-the-republic-of-indonesia----high-level-panel-discussion-on-the-question-of-the-death- penalty----regional-efforts-aiming-at-the-abolition-of-the-death-penalty-and-challenges-faced-in-that-regard----at-the-28th-session-of-the-human-rights-council. Namun menariknya pernyataan ini juga bisa dikaitkan dengan pernyataan yang disampaikan oleh delegasi Indonesia melalui Panel Discussion on the Impact of World Drug Problem on the Enjoyment of Human Rights di Jenewa 28 September 2015 yang masih menggunakan logika temuan BNN. Pernyataan sendiri bisa dilihat di: http://mission-

(4)

‘abstain’ pada Sidang Ke-67 Majelis Umum PBB ditahun 2012 untuk sebuah resolusi yang menyerukan kepada seluruh negara anggota PBB dalam meneguhkan semangat moratorium eksekusi hukuman mati sebagai langkah progresif sebelum melakukan abolisi hukuman mati secara global. Pilihan abstain ini merupakan sebuah pilihan politik luar negara hak asasi yang amat maju dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, mengingat dalam banyak putaran resolusi di tingkat PBB, Kementerian Luar Negeri kerap masih bertumpu pada pilihan ‘menentang’ dan tidak banyak mengambil sikap proaktif dalam agenda moratorium gobal.

Pilihan ‘abstain’ nampaknya sinergis dengan beberapa langkah pemidanaan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia saat itu, seperti keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam memberikan grasi untuk mengganti hukuman mati yang telah divonis kepada beberapa nama terpidana mati seperti Deni Setia Maharwan dan Meirika Franola menjadi hukuman seumur hidup.7 Mahkamah Agung Indonesia juga memberikan suatu pandangan maju dalam mengurangi vonis mati terhadap terpidana Hengky Gunawan menjadi 15 tahun dengan memberikan pertimbangan yang berangkat dari standar hukum HAM internasional yang telah diadopsi di dalam sistem hukum positif di Indonesia dan dasar-dasar konstitusi 1945 yang menjamin adanya perlindungan hak atas hidup.8

Modalitas lainnya yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia adalah konsistensi yang diberikan untuk mengambil tindakan dalam merespons rencana eksekuti mati terhadap sejumlah tenaga kerja Indonesia di beberapa negara yang masih menggunakan hukuman mati. Langkah proaktif ini bisa dilihat ketika pemerintahan di bawah Susilo Bambang Yudhoyono ditahun 2011 membentuk suatu unit taktis untuk memberikan bantuan pendampingan hukum.9 Setidaknya sepanjang tahun 2011 hingga 2014 terdapat 240 warga negara Indonesia yang diganjar vonis hukuman mati telah diringankan vonisnya dan termasuk 46 warga Indonesia lainnya ditahun 2014.10 Menarik untuk diperhatikan tren eksekusi mati sepanjang masa pemerintahan di Indonesia pasca Orde Baru tumbang ditahun 1998. Diketahui bahwa sepanjang rentang tahun 1999 hingga 2014 setidaknya terdapat 27 orang telah dieksekusi mati. Di antara rentang tahun 1999 hingga 2012 moratorium de facto diterapkan, namun ditahun 2013 (masa pemerintahan Susilo bambang Yudhoyono) terdapat 5 eksekusi dilakukan di rentang bulan yang berdekatan.11

Dalam konteks Indonesia, dilema penerapan hukuman mati memang membangun ketegangan tersendiri khususnya antara dimensi politik, hukum, perlindungan HAM

7 Lihat: The Jakarta Post. 2012. Who deserves clemency. Artikel dapat diakses di: http://www.thejakartapost.com/news/2012/11/19/who-deserves-clemency.html. Diakses pada 26 Oktober 2015.

8 Lihat: Tribunnews. 2012. Terpidana mati Hengky Gunawan tidak dihukum mati, ini jawaban MA. Artikel dapat diakses di: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt508543e6aaaca/pembatalan-hukuman-mati-hengky-bukan-semata-ham. Diakses pada 26 Oktober 2015.

9 Lihat: The Jakarta Post. 2011. Migrant worker taskforce to focus on TKI on death row. Artikel dapat diakses di: http://www.thejakartapost.com/news/2011/07/07/migrant-worker-taskforce-focus-tki-death-row.html. Diakses pada 26 Oktober 2015.

10 Lihat: The Jakarta Post. 2015. 279 migrant workers face death penalty abroad. Artikel dapat diakses di: http://www.thejakartapost.com/news/2015/04/19/279-indonesian-migrant-workers-threatened-face-death-penalty.html. Diakses pada 26 Oktober 2015.

(5)

dan belakangan terkait dengan isu kemajuan pembangunan dan maupun dukungan investasi yang belakangan menjadi perhatian dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan.12 Lebih spesifik lagi, tahun 2015 juga turut memberikan corak yang khas dari eksekusi-eksekusi mati sebelumnya. Corak kekhasan ini amat terkait dengan tumpang tindih tafsir proses hukum yang bisa digunakan oleh para terpidana hukuman mati. Elaborasi berikut akan memperjelas tantangan mengurai atau bahkan mempromosikan agenda hukuman mati di Indonesia.

Pertama, pada sejarah hukum modern di Indonesia, pasca 1945 vonis hukuman mati telah digunakan pada sejumlah tindak pidana kejahatan, namun secara tren vonis ini jamaknya diterapkan pada kejahatan pembunuhan berencana, tindak pidana narkotika dan tindak pidana terorisme.13 Namun tren ini kemudian sedikit berubah pasca Orde Baru jatuh ditahun 1998. Ada pengarusutamaan HAM yang begitu kuat melalui amandemen konstitusi Undang-Undang Dasar untuk memasukkan konsiderasi hak atas hidup (Pasal 28A, 28I), maupun yang secara terang dicantumkan di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 4). Pemerintah Indonesia secara mantap mulai mengikatkan diri pada sejumlah instrumen hukum HAM internasional guna tunduk pada aturan yang mengikat (legally binding)

dari sejumlah aturan seperti yang dipromosikan melalui Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Indonesia telah meratifikasinya melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005); di mana instrumen ini secara tegas menjamin adanya perlindungan mutlak untuk hak atas hidup (bagian dari hak yang tidak bisa dikurangi

12 Pernyataan sepihak yang dikeluarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Panjaitan banyak dikutip oleh media Australia. Meskipun tidak ada elaborasi pernyataan lebih lanjut yang disampaikan oleh kementerian-kementerian bidang terkait. Bahkan beberapa sanggahan dari pejabat negara muncul untuk menyanggah pernyataan Luhut. SBS. 2015.

Indonesia announces moratorium executions. Artikel dapat diakses di: http://www.sbs.com.au/news/article/2015/11/19/indonesia-announces-moratorium-executions. Artikel diakses pada 22 November 2015.

(6)

dalam keadaan apapun, non derogable rights), larangan untuk melakukan pembunuhan di luar prosedur hukum dan secara progresif mendorong negara-negara yang belum mengabolisi hukuman mati untuk membatasi penerapan hukuman secara ketat dan terbatas pada kejahatan yang amat serius (the most serious crime) dan upaya persuasif untuk mendorong negara-negara non-moratorium ini untuk secara bertahap mengambil langkah maju dalam mempromosikan nilai-nilai moratorium dan abolisi (Pasal 6 ayat 6 ICCPR).

Kedua, kita harus mengetahui bahwa si terpidana dapat didampingi oleh tim kuasa hukum yang berbeda-beda di tiap proses hukum, mengingat terdapat kesulitan dan tantangan untuk mendampingi atau bahkan seringnya para pengacara dan organisasi pro bono yang bisa memberikan bantuan hukum baru mengetahui vonis dan situasi yang mendesak lainnya dijelang eksekusi hukuman mati.14

Ketiga, vonis hukuman mati sejatinya terbuka untuk dijatuhkan pada semua tahap peradilan hingga di tingkat Mahkamah Agung. Dalam situasi vonis yang masih dijatuhkan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung, maka si terpidana berhak untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung dan sekaligus menggunakan hak terakhirnya untuk mendapatkan pengampunan (grasi) kepada Presiden. Namun demikian ada perdebatan yang menguat belakangan ini tafsir ambigu untuk menggunakan prosedur Peninjauan Kembali dan kemampuan presiden dalam menggunakan hak prerogatif untuk memberikan dan/atau menolak grasi.

Pada ranah Peninjauan Kembali (PK) yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia menganulir ketentuan dari PK yang mulanya hanya diperbolehkan kepada para terpidana untuk mengajukan 1 kali prosedur PK ditahun 2013. Selang setahun – tepatnya Desember 2014, Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran MA (SEMA) bernomor 7/2014 yang menegasikan keputusan MK bahwa PK hanya boleh diajukan 1 kali dengan disertai bukti baru yang memperkuat. Tentu saja pertentangan keputusan institusional di sektor hukum ini memberikan hambatan yang signifikan kepada para terpidana untuk mencari keadilan khususnya ketika diketahui dari pengalaman KontraS untuk mengadvokasi beberapa terpidana, persidangan PK tidak menghambat proses eksekusi mati.15

Pada ranah grasi, eksekusi 2015 menyimpan pengalaman buruk dari keputusan presiden yang menolak grasi untuk semua terpidana mati yang terlibat pada tindak pidana narkotika. Jika kita meninjau Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi diketahui bahwa individu terpidana hukuman mati dapat memohonkan grasi kepada presiden setiap 2 tahun sekali apabila eksekusi belum dilakukan kepada mereka. Namun ditahun 2010, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengesahkan satu produk baru yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang

14 Pengalaman ini sering dialami KontraS ketika melakukan pendampingi beberapa terpidana mati seperti Ruben Pata Sambo, Yusman Telaumbanua hingga Rodridgo Gularte antara periode tahun 2013 hingga 2015.

(7)

perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, menyatakan bahwa ada batasan 1 kali pengajuan grasi kepada presiden bagi para terpidana hukuman mati. Pengajuan dilakukan dalam tempo 1 tahun dari tanggal vonis memiliki standar ‘kekuatan hukum tetap’ yang juga diberikan definisi di dalam UU No. 5/2010.16

Dalam standar grasi di Indonesia, merujuk Pasal 11 UU No. 22/2002 tentang Grasi keputusan presiden idealnya diikuti dengan saran dan rekomendasi dari Mahkamah Agung. Dari akses Keterbukaan Informasi Publik merujuk Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang menjamin hak publik untuk tahu, KontraS mengetahui bahwa per Januari 2015 terdapat 17 (tujuh belas) penolakan grasi yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo.17 Mayoritas penolakan dilakukan secara kolektif, ataupun memiliki tanggal yang berdekatan antara satu penolakan dengan penolakan lainnya tanpa diikuti alasan yang kuat mengapa keputusan penolakan grasi lebih diprioritaskan tanpa melihat praktik-praktik sosial yang baik yang telah dilakukan oleh para narapidana mati di dalam lingkungan lembaga pemasyarakatan.18

16 Lihat: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22/2002 tentang Grasi. Dokumen dapat diakses di: http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2010_5.pdf. Diakses pada 20 November 2015.

17 Surat KIP KontraS layangkan kepada Kementerian Hukum dan HAM Direktorat Lembaga Pemasyarakatan Nomor PAS.7-PK.01.01.02-243 tertanggal 4 Februari 2015. Ke-17 nama tersebut adalah termasuk gelombang pertama dan kedua eksekusi mati ditahun 2015; kecuali beberapa nama berikut ini Syofial aka Iyen bin Azwar (WNI - pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang), Harun bin Ajis (WNI - pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang), Sargawi aka Ali bin Sanusi (WNI - pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang); termasuk juga di dalamnya nama Mary Jane Fiesta Veloso (warga negara Filipina) dan Serge Atloui (warga negara Prancis).

(8)

Keempat, hampir mustahil untuk menemukan sumber informasi yang akurat untuk mengetahui daftar terpidana hukuman mati di Indonesia. Namun demikian KontraS terus melakukan pemantauan setiap tahunnya dari pemberitaan media massa yang sedikit banyak memberikan data dan informasi atas nama-nama terpidana yang divonis hukuman mati, termasuk eksekusi mati dan upaya hukum yang menyertainya. Kejaksaan Agung sebagai eksekutor resmi juga tidak memiliki data valid yang bisa digunakan untuk mengetahui bahkan lebih lanjut dapat digunakan untuk mengadvokasi para terpidana mati.

Informasi lainnya adalah sulitnya mengakses dengan nama-nama terpidana yang telah ditolak grasi oleh presiden. Oleh karena itu, UU KIP merupakan salah satu kanal yang efektif untuk mendorong negara transparan atas praktik eksekusi di Indonesia. Meski demikian tidak banyak yang mengetahui cara mengakses UU KIP, hal ini yang kerap membuat organisasi pro bono yang mendampingi hukum harus banyak bekerja ekstra untuk mendapatkan sumber-sumber informasi, fakta-fakta hukum yang akurat, kredibel dan terpercaya guna memaksimalkan fungsi pendampingan hukum yang semakin sesungguhnya dipertegas dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Organisasi Bantuan Hukum. Meskipun tentu saja tantangan-tantangan dalam melakukan pendampingan hukum tetap ada, seperti ketidaktahuan para terpidana dan keluarga atas adanya akses bantuan hukum ini, anggaran yang minimalis, dan termasuk kemampuan dari organisasi bantuan hukum untuk memberikan pendampingan berdasarkan kecakapan hukum dan menggunakan standar HAM yang layak.19

meratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005) yang menjamin ketersediaan ruang pengampunan kepada semua terpidana hukuman mati. Lebih lanjut, ruang pengampunan (baik yang diakui dalam etimologi Bahasa Inggris sebagai clemency ataupun pardon) sebagaimana yang dikembangkan di dalam sistem hukum modern di dunia khususnya yang terkait dengan penerapan praktik hukuman mati, maka setiap terpidana yang telah divonis hukuman mati dan telah menggunakan semua prosedur hukum untuk mengkomutasi vonis namun tidak mendapatkan perubahan memiliki hak untuk menggunakan ‘akses’ terakhir melalui mekanisme clemency atau pardon yang dikeluarkan oleh pihak eksekutif dalam hal ini presiden. Kekuatan untuk menggunakan clemency mulanya adalah bagian dari keabsahan monarki untuk mengurangi dan/atau membatalkan hukuman. Namun dalam sejarah politik modern dunia, baik clemency dan pardon telah dikembangkan sedemikian rupa dibanyak konstitusi modern monarki maupun dasar hukum konstitusional republik. Dalam konteks Amerika Serikat, clemency atas vonis hukuman mati adalah pengubahan vonis hukuman mati menjadi pemenjaraan, sedangkan pardon atau bahkan ‘unconditional pardon’ bahwa si pengambil keputusan tidak hanya membatalkan vonis eksekusi, namun juga memberikan pembebasan tak bersyarat dan bahkan terkadang juga diikuti dengan penghapusan penuh atas kewajiban-kewajiban pidana yang menyertainya. Lebih lanjut, pengembangan catatan ini bisa dilihat di: Austin Sarat. 2005. Mercy on trial: What it means to stop an execution; dan Louis J. Palmer. 2001. Encyclopedia of Capital Punishment in the United States, 110.

(9)

III. Menafsir praktik hukuman mati Indonesia pada standar hukum HAM internasional

Pernyataan yang dikeluarkan oleh perwakilan Kementerian Luar Negeri pada High Level Panel Discussion untuk isu hukuman mati di Jenewa, sebagaimana yang telah dikutip di atas adalah bentuk klaim atas penghormatan standar hukum HAM internasional dan harus dapat diuji dengan situasi penegakan hukum dan perlindungan HAM di tingkat nasional. Dalam beberapa tahun terakhir ini KontraS, organisasi tempat penulis bekerja, amat aktif untuk mengkampanyekan perlindungan hak atas hidup dan mendorong negara untuk mengambil langkah resmi moratorium sebelum memperkuat komitmen abolisi dengan mengamandemen semua produk hukum dan perundang-undangan yang masih menyelipkan vonis pidana hukuman mati.

Bagian ini akan mengelaborasi secara rinci kejanggalan-kejanggalan hukum yang telah terjadi dan digunakan untuk melegitimasi pemidanaan hukuman mati yang dipaksakan. Pelanggaran atas sejumlah instrumen hukum nasional dan hukum HAM internasional akan memperkaya ilustrasi. Penulis juga menggunakan banyak data advokasi yang dimiliki KontraS untuk memperjelas kejanggalan-kejanggalan hukum tersebut. Pada Pasal 14 dari ICCPR diatur perihal proses peradilan yang jujur dan tidak memihak (fair trial). Pasal tersebut sedikit banyak mendorong agar negara-negara pihak dari Kovenan Internasional (baca: ICCPR) tunduk dan memenuhi segala proses penyelidikan dan penyidikan yang bisa digunakan untuk mengukur sistem peradilan yang jujur dan tidak memihak di Indonesia.

III.1 Akses bantuan hukum dan upaya untuk mengajukan banding

Sebelum tersedia UU No. 16/2011,20 beberapa produk hukum telah memberikan jaminan atas ketersediaan akses bantuan hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dipasal 54 dan 55 secara terang menyatakan bahwa setiap individu memiliki hak untuk mendapatkan pendampingan hukum untuk semua jenis tindak pidana yang dilakukan. Khusus di Pasal 56 diterangkan lebih lanjut bahwa bagi tersangka atau terdakwa yang diancam dengan vonis hukuman mati atau kurungan penjara 15 tahun atau lebih dan tidak mampu untuk membayar kuasa hukum maka para pejabat (disetiap proses pemeriksaan hukum) harus mampu menunjuk kuasa hukum untuk mendampingi mereka.

Adapun KontraS telah menemukan sejumlah kejanggalan atas kegagalan negara mengefektifkan fungsi pendampingan dan akses bantuan hukum sebagaimana yang bisa terlihat dalam beberapa kasus berikut ini:

1. Jamiu Owolabi atau yang lebih dikenal oleh publik Indonesia sebagai Raheem Agbaje Salami, ketika ditangkap pada 2 September 1998 membawa heroin seberat 5,28kg. Diketahui bahwa ia tidak mendapatkan pendampingan hukum hingga 15 Oktober 1998. Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhi vonis seumur hidup pada medio April 1999 atas kejahatan tindak narkotika. Dari data yang KontraS kumpulkan bahwa nyaris 17 tahun Owolabi tidak mendapatkan pendampingan hukum yang layak pada setiap proses banding hingga tingkat

(10)

kasasi karena ia tidak memiliki uang untuk membayar pengacara. Diketahui juga ada kesalahan identitas yang dikekalkan dari tingkat penyelidikan, penyidikan hingga eksekusi mati. Nama Raheem Agbaje Salami adalah nama yang diberikan dari paspor curian oleh sindikat narkotika ketika melibatkan Owolabi dalam rantai perdagangan manusia untuk kejahatan narkotika di Indonesia. Sebelum eksekusi dilakukan pada 29 April 2015, Owolabi yang akhirnya didampingi oleh pengacara Utomo Karim dipaksa untuk mengukur baju eksekusi tanpa adanya pemberitahuan 3x24 jam kepada konsular ataupun Kedutaan Besar Nigeria. Inkonsistensi Kejaksaan Agung sebagai prosekutor yang menggunakan kewenangannya secara berlebihan, memberikan beban mental sebelum tanggal eksekusi ditetapkan. Identitas yang tidak pernah diungkam dari proses hukum dan penolakan grasi dengan catatan, “tidak ada alasan untuk memberikan grasi kepada terpidana tersebut,” membuat tim kuasa hukum menempuh beberapa mekanisme secara bersamaan yakni proses PK untuk bukti baru identitas yang dipalsukan dan gugatan di tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk penolakan grasi.21 Terdapat pelanggaran serius atas Pasal 56 ayat 1 KUHAP yang seharusnya memberikan beban kewajiban kepada Negara Republik Indonesia untuk menunjuk kuasa hukum di semua tingkatan pemeriksaan hukum tanpa dibebankan pembiayaan kepada si terpidana.

2. Ruben Pata Sambo dan Markus Pata Sambo (bapak dan anak) yang telah didampingi KontraS sejak tahun 2013 terlibat pada kasus tuduhan pembunuhan berencana terhadap 4 orang anggota keluarga ditahun 2005. Sebelum didampingi KontraS, Pengadilan Negeri Makale telah menunjung kuasa hukum pada tanggal 28 Maret 2006. Ada penundaan atas yang serius atas akses bantuan hukum meskipun mereka tetap mendapatkan pendampingan. Diketahui bahwa pada banding di tingkat Pengadilan Tinggi dan kasasi di MA, kedua orang ini baru mengakui adanya tekanan fisik dan mental selama masa tahanan polisi untuk mengakui tindak pembunuhan yang mereka lakukan. Namun baik banding di tingkat pengadilan tinggi dan MA tidak mempertimbangkan temuan fakta baru tersebut, maupun mendorong untuk membuka penyelidikan independen atas dugaan yang telah disampaikan.22 Saat ini Ruben dan Markus masih berada di lembaga pemasyarakatan Lowokwaru Malang.

3. Zainal Abidin dituduh telah memiliki 58,7kg ganja, ia ditangkap pada 21 Desember 2000. Laporan Amnesty International mengutip bahwa dari isi Berita Acara Perkara (BAP) Zainal Abidin diketahui bahwa ia telah memiliki akses kuasa hukum. Namun dari pengacara yang mendampingi jelang eksekusi diketahui bahwa Zainal Abidin baru mendapatkan tim kuasa hukum pasca 2 hari penangkapan dan BAP dibuat setelah terjadi pemukulan kepada Zainal Abidin.23 Karena lemahnya akses hukum yang ia miliki, sejak vonis pertama di Pengadilan Negeri Palembang Abidin telah dijatuhi hukuman 18 tahun

21 Lihat: BBC. 2015. Terpidana mati Nigeria ajukan PK, dengan bukti identitas palsu. Artikel dapat diakses di: http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/03/150310_nigerian_execution_plan. Diakses pada 20 November 2015.

(11)

kurungan penjara. Jaksa penuntut melakukan banding, di Pengadilan Tinggi Palembang hingga kasasi di Mahkamah Agung Abidin akhirnya divonis hukuman mati. KontraS mengetahui bahwa ada upaya PK yang dilakukan oleh Abidin pada 2 Mei 2005 namun tidak mendapatkan respons jawaban. Setelah diusut diketahui bahwa PK Abidin terselip selama 15 tahun di Pengadilan Negeri Palembang. Namun PK segera diproses dan ditolak 2 hari sebelum eksekusi yaitu ditanggal 27 April 2015 dengan nomor 65 PK/Pid.Sus/2015. 4. Pada kasus Yusman Telaumbanua dan Rusula Hia yang didampingi KontraS

diketahui bahwa sejak penangkapan dan penahanan 14 September 2012 (atas dugaan kasus pembunuhan berencana dibulan April 2012 untuk 3 orang) oleh Kepolisian Sektor (Polsek) Gunungsitoli keduanya baru mendapatkan akses bantuan hukum yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri Gunungsitoli pada tanggal 13 Januari 2013. Diketahui saat menyampaikan dakwaannya, jaksa penuntut meminta vonis hukuman seumur hidup; namun tim kuasa hukum justru meminta hukuman yang paling berat yakni hukuman mati. Meski kedua terpidana telah memohon kepada majelis hakim untuk mendapatkan keringanan vonis, mereka akhirnya tetap divonis mati. Diketahui bahwa kedua terpidana ini memiliki kesulitan untuk memahami Bahasa Indonesia dan minimnya pemahaman hukum ditambah dengan tidak diberitahukannya adanya hak untuk melakukan upaya banding oleh pengacara sebelumnya, sehingga mereka tidak pernah menggunakan proses banding.24

Diketahui bahwa hukuman mati sebagai satu wajah pemidanaan yang dipaksakan kerap tidak memberikan akses dan bahkan hak bagi para tersangka, terdakwa hingga terpidana untuk mendapatkan ruang bantuan hukum. Mengingat karakteristik vonis yang berat yang akan dijatuhkan, namun juga kita mengetahui ada ruang koordinasi yang begitu lemah untuk mendorong negara proaktif dalam memberikan akses bantuan hukum secara cuma-cuma, khususnya kepada kelompok masyarakat yang kurang mampu, dengan domisili yang begitu beragam –bahkan dalam pengalaman pendampingan Yusman Telaumbanua dan Rusula Hia, Pengadilan Negeri Gunungsitoli berada di wilayah yang amat jauh dari pusat informasi- disparitas informasi menjadi begitu signifikan dan harus bisa dijawab oleh negara untuk menghindari potensi tercerabutnya hak-hak fundamental secara sewenang-wenang oleh sistem yang masih belum adil.

Pemerintah Indonesia dalam hal ini juga terikat pada aturan hukum HAM internasional sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 14 ICCPR yang menegaskan bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum, termasuk jaminan untuk mendapatkan waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri termasuk bantuan hukum demi kepentingan keadilan dengan konsiderasi kemampuan ekonomi terdakwa ; dalam hal ini bisa ditafsirkan sebagai akses dari bantuan hukum.25 Hal ini juga ditegaskan di dalam Komentar Umum yang dikeluarkan oleh Komite HAM PBB

23 Lihat: Amnesty International. 2015. Keadilan yang cacat: Peradilan yang tidak adil dan hukuman mati di Indonesia. Hal. 27.

(12)

untuk hak mendapatkan persamaan dihadapan pengadilan dan akses atas peradilan yang jujur dan tidak memihak.26

III.2 Hak untuk mendapatkan peradilan yang jujur dan tidak memihak

Telah disinggung sedikit di atas bahwa ada persoalan serius terkait dengan pemenuhan hak untuk mendapatkan peradilan yang jujur dan tidak memihak dalam konteks hukuman mati di Indonesia. ICCPR pada Pasal 9 ayat 3 yang menegaskan bahwa bagi setiap individu yang ditangkap dan ditahan terkait dengan urusan pidana maka harus diajukan ke mekanisme pengadilan untuk melindungi hak-haknya. Lebih lanjut, Komite HAM memberikan tafsir atas kemampuan penangkapan dan penahanan dari aparat hukum dengan mempertegas pengawasan dari mekanisme yudisial amat diperlukan untuk mencegah terjadinya praduga bersalah atau terlanggarnya hak-hak fundamental dari para tersangka –seperti hak untuk tidak disiksa atau bahkan hak atas hidup.27 Dalam konteks ini, KontraS juga menemukan beberapa kejanggalan fundamental yang muncul jelang dan selama proses persidangan dari beberapa terpidana mati. Termasuk penundaan proses persidangan yang memakan waktu cukup lama. Pengalaman ini muncul pada kasus Rodrigo Gularte, Ruben Pata Sambo dan Markus, Mary Jane Fiesta Veloso, Jamiu Owolabi, hingga Yusman Telaumbanua. Rata-rata jaksa penuntut di pengadilan negeri wilayah Tangerang, Makele, Sleman, Surabaya hingga Gunungsitoli mengulur waktu antara rentang waktu dua hingga 5 bulan penambahan masa tahanan tanpa ada kepastian kapan sidang pertama akan digelar.28

III. 3 Hak untuk tidak disiksa dan mendapatkan tindakan tidak manusiawi lainnya

Hak untuk tidak disiksa atau mendapatkan perlakuan tidak manusiawi lainnya begitu dekat dengan penggalian informasi yang dapat digunakan untuk memperberat vonis hukuman mati. Dalam situasi ini kita harus mengetahui bahwa Pemerintah Indonesia terikat dengan sejumlah instrumen hukum HAM internasional yang melarang pendekatan penyiksaan sebagai bagian dari proses penyelidikan, penyidikan dan upaya penggalian informasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian.

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (CAT) dipasal 2 ayat 2

25 Lihat: Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. 1966. Dapat diakses di: http://www.kontras.org/baru/Kovenan%20Sipol.pdf. Diakses pada 20 November 2015.

26 Lihat: Human Rights Committee. 2007. General Comment No. 32 of Article 14: Right to equality before the court and tribunals and to fair trial. Para. 38. UN Doc CCPR/C/GC32. Dapat diakses di: http://tbinternet.ohchr.org/_layouts/treatybodyexternal/Download.aspx?symbolno=CCPR%2fC%2fGC %2f32&Lang=en. Diakses pada 20 November 2015. Kewajiban negara untuk mencari kuasa hukum yang kredibel dan memiliki kemampuan untuk memberikan pendampingan secara hukum untuk kasus-kasus berdimensi hukuman mati juga telah disampaikan oleh Komite HAM PBB. Lihat: Human Rights Committee. 1990. Pinto v. Trinidad and Tobago. UN Doc CCPR/C/39/D/232/1987. Para. 12.5. Dokumen dapat diakses di: https://www1.umn.edu/humanrts/undocs/session39/232-1987.html. Diakses pada 20 November 2015.

27 Lihat: Human Rights Committee. 2014. General Comment No. 35 of Article 9: Liberty or security of a person. Para. 33 UN Doc CCPR/C/GC/35. Dapat diakses di: http://tbinternet.ohchr.org/_layouts/treatybodyexternal/Download.aspx?symbolno=CCPR%2fC%2fGC %2f35&Lang=en. Diakses pada 20 November 2015.

(13)

memberikan perlindungan yang tegas atas larangan penyiksaan. Larangan ini juga tersedia di dalam Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Pasal 7 ICCPR, Pasal 19dan 37(a) dari Konvensi tentang Hak Anak, dan Pasal 10 dari Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.29

Jika kita melihat luasnya larangan untuk melakukan penyiksaan pada sejumlah instrumen, kita juga harus mengetahui bahwa hak untuk tidak disiksa dalam keadaan apapun termasuk untuk mendapatkan keterangan atas suatu tindak kejahatan juga merupakan bagian dari hak yang tidak boleh dikurangi (non derogable rights)

sebagaimana yang dilindungi dalam pasal-pasal tersebut.30Keterangan yang didapatkan dari pendekatan penyiksaan tidak boleh dijadikan bukti, dan segala bentuk penyiksaan harus mendapatkan ruang penyelidikan independen, efektif dan imparsial; agar si pelakunya bisa bertanggung jawab di meja persidangan dan korban mendapatkan pemulihan hak-hak melalui pendekatan komprehensif.31

Dalam kasus yang dialami oleh Yusman Telaumbanua, KontraS menemukan dugaan kuat bahwa BAP yang dilakukan oleh polisi juga menyertakan praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya. KontraS sebagai bagian dari tim kuasa hukum telah mengadukan aparat kepolisian terkait namun hingga kini belum ada penyelidikan independen yang bisa digunakan untuk mengungkap praktik penyiksaan.32 Namun dalam konteks Zainal Abidin yang telah dieksekusi mati pada 29 April 2015, temuan penyiksaan dan intimidasi yang ia sampaikan melalui pledoi (No. 53K/Pid/2002) menerangkan bahwa ia mengakui memberikan keterangan yang memberatkan vonis mati agar penyiksaan dan intimidasi segera berakhir. Namun temuan ini tidak pernah diselidiki lebih dalam sebelum eksekusi dilakukan.33 Dalam kasus Ruben dan Markus Pata Sambo yang juga didampingi KontraS ada keterangan baru yang memperkuat elemen penyiksaan ketika Ruben dan Markus kerap dipukul, ditelanjangi dan ditendang oleh penyidik kepolisian di Kepolisian Resor Tana Toraja guna mengakui

29 Lihat: OHCHR. Indonesia: View of the ratification status by country or by treaty. Dapat diakses di: http://tbinternet.ohchr.org/_layouts/TreatyBodyExternal/Treaty.aspx?CountryID=80&Lang=EN. Diakses pada 21 November 2015.

30 Sifat tidak boleh dikurangi hak-hak asasi dalam keadaan apapun dan situasi apapun (baik di masa damai ataupun di masa perang) juga bisa merujuk pada aturan jus cogens. Jus cogens adalah prinsip-prinsip fundamental yang telah diatur di dalam norma hukum internasional guna melindungi hak-hak fundamental. Pembatasan atas hak-hak yang masuk pada kategori jus cogens adalah dilarang. Untuk definisi jus cogens lihat: https://www.law.cornell.edu/wex/jus_cogens. Sedangkan penjelasan lebih lanjut mengenai prinsip non derogable rights dapat dilihat di: OHCHR. 2013 Core human rights in two covenants. Publikasi dapat diakses di: http://nhri.ohchr.org/EN/IHRS/TreatyBodies/Page %20Documents/Core%20Human%20Rights.pdf. Diakses pada 21 November 2015.

31 Komentar ini bisa dilacak dalam sejumlah instrumen hukum HAM internasional: CAT Pasal 12 hingga 15, ICCPR Pasal 2, 7 dan 14 (3), General Comment of the Human Rights Committee No. 31 on the nature of general legal obligation imposed on state parties to the covenant [CCPR/C/21/Rev.1/add] 13, 2004 Para 15-16. Ruang pertanggungjawaban dan pemulihan hak-hak korban juga diatur di dalam

General Comment of the Human Rights Committee No. 32 on the right to equality before the courts and tribunals and to fair trial.

32 Lihat: KontraS. 2015. Siaran pers: Update temuan terkait dugaan rekayasa kasus yang berujung pada vonis mati terhadap Yusman Telaumbanua dan Rasula Hia. Dapat diakses di: http://www.kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2020. Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly juga telah merespons baik temuan kasus ini, dengan menginstruksikan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan untuk memindahkan Yusman dan Rasula ke Lapas Tangerang. Diakses pada 21 November 2015.

(14)

kejahatan yang tidak mereka lakukan dalam BAP. Hingga kini belum ada upaya negara untuk mengusut praktik penyiksaan yang masih sering digunakan untuk mempercepat proses penyidikan perkara dalam konteks hukuman mati.34

Ilustrasi kasus-kasus di atas menunjukkan adanya indikasi yang begitu kuat diterapkannya tindakan penyiksaan untuk mempercepat ruang pengakuan. Dalam konteks Indonesia problem utama terjadi ketika hingga kini belum ada standar hukum yang mampu mengkriminalisasikan para pelaku penyiksaan baik yang merujuk KUHP maupun suatu undang-undang yang bisa menindak para pelaku penyiksaan. Hingga kini pembahasan revisi KUHP sudah masuk dalam agenda pembahasan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 dan telah ada pembahasan untuk mendorong percepatan RUU Tindak Pidana Penyiksaan di bawah Kementerian Hukum dan HAM, namun penulis memprediksi masih dibutuhkan waktu yang panjang untuk mengkonsolidasikan pasal dan RUU mengingat masih minimnya ruang komitmen antar institusi untuk mendorong penyiksaan sebagai bagian dari tindak pidana di dalam tata hukum di Indonesia.35

III.4 Hak alih bahasa dan informasi konsuler

Dari 14 terpidana yang telah dieksekusi per bulan Januari dan April 2015, diketahui bahwa 12 di antaranya adalah warga negara asing. Pemerintah Indonesia dalam hal ini harus amat berhati-hati untuk menerapkan eksekusi dengan mempertimbangkan sejumlah prosedur dan ketentuan yang berlaku dalam standar hukum internasional. Pertama, terkait dengan akses hukum yang setara di bawah jurisdiksi. Harus diketahui bahwa setiap orang –termasuk mereka yang terlibat dengan suatu tindak pidana dan warga negara asing harus mendapatkan akses ke pengadilan yang setara, apapun bentuk status sosial dan ekonominya. Selain itu, khususnya bagi warga negara asing yang terlibat dalam suatu tindak pidana kriminal terdapat hak alih bahasa yang harus tersedia serta merta untuk memahami keseluruhan proses hukum yang berlangsung. Hak mereka juga meliputi hak untuk berkomunikasi dengan pihak kedutaan besar dan/atau konsuler segera setelah mereka ditangkap, ditahan, disidangkan hingga mendapatkan vonis pemidanaan. Berkomunikasi dengan konsuler menjadi penting guna mengumpulkan keterangan dan bukti yang dapat meringankan vonis (baik yang diperoleh dari negara asal ataupun bukti baru lainnya) ataupun tetap menghubungkan mereka (baca tersangka, terdakwa dan terpidana warga negara asing dengan pihak keluarga).36 Dalam KUHAP Pasal 52 ayat 2 juga diterangkan bahwa bagi tersangka

34 Lihat: KontraS. Negara harus pastikan akses hukum dan mekanisme koreksi yang adil bagi terpidana mati Ruben cs. Siaran pers dapat diakses di: http://www.kontras.org/home/index.php? module=pers&id=1731. Diakses pada 21 November 2015.

35 Lihat: KontraS. 2015. Mendelegitimasikan praktik penyiksaan di Indonesia. Laporan dapat diakses di: http://kontras.org/buku/isi_laporan_praktik_penyiksaan_2014_2015.pdf. Diakses pada 21 November 2015.

36 Dalam konteks ini kita harus merujuk sejumlah produk hukum HAM internasional yang penting untuk memberikan perlindungan maksimal bagi warga Negara asing di dalam suatu jurisdiksi hukum yaitu: Pasal 8 dari DUHAM, Pasal 2, 3, 14(1) dan 26 dari ICCPR, Pasal 2 dan 15 dari CEDAW, Pasal 5 dan 6 dari CERD, Pasal 9 dan 13 dari Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Pasal 18 dari Konvensi Buruh Migran dan General Comment of the Human Rights Committee No. 32. Terkait asas kesetaraan dan non diskriminasi atas warga negara asing yang terlibat dalam suatu tindak pidana kriminal, hukum internasional mengatur dalam Pasal 18 dari Konvensi Buruh Migran, Pasal 5 dari

Declaration on the human rights of individuals who are not nationals of the country in which they live

(15)

atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak untuk menghubungi dengan pihak perwakilan negaranya dalam menghadapi setiap proses hukum. Dalam pemantauan KontraS diketahui terdapat sejumlah praktik buruk yang banyak dialami oleh warga negara asing dalam kaitannya dengan penerapan vonis maupun eksekusi mati.

Pengalaman KontraS melakukan advokasi untuk kasus Rodrigo Gularte diketahui bahwa pihak Kedutaan Besar Brasil mengetahui terpidana telah ditangkap dan ditahan setelah proses hukum berlangsung beberapa hari. Hal serupa juga dialami oleh Mary Jane Fiesta Veloso.37 Dalam temuan KontraS juga diketahui bahwa baik Gularte dan Veloso tidak benar-benar didampingi penerjemah bahasa. Gularte yang hanya mengetahui bahasa Portugis dan Spanyol mendapatkan pendampingan penerjemah Bahasa Inggris yang tidak tersumpah. Begitu pula dengan Veloso yang hanya memahami bahasa Tagalog juga mendapatkan pendampingan penerjemah Bahasa Inggris yang tidak tersumpah. Hal ini selain bertentangan dengan hukum internasional juga melanggar Pasal 177 ayat 1 dan Pasal 53 ayat 1 dari KUHAP dimana tersangka atau terdakwa berhak atas pendampingan alih bahasa yang kompeten dan berkualitas selama masa penyidikan dan persidangan.

Terkait dengan informasi kepada kedutaan besar maupun konsuler kita bisa melihat dari catatan advokasi Jamiu Owolabi, diketahui bahwa ia mendapatkan paspor curian bernama Raheem Agbaje Salami dengan asal negara Republik Cordova, negara yang tidak pernah eksis di dalam peta dunia. Ketidakmampuan aparat penegak hukum untuk mengungkap identitas Owolabi (yang belakangan diketahui adalah warga negara Nigeria) berdampak pada tidak terpenuhinya Pasal 197 (2) KUHAP atas identitas yang tidak sah termasuk status kewarganegaraan, maka dengan serta merta keputusan pengadilan dapat dikatakan tidak sah. Namun, ketika pengacara Owolabi masih mengajukan gugatan perdata (gugatan perbuatan melawan hukum) terhadap Jaksa Agung, eksekusi tetap dilakukan pada gelombang II.38

Konsiderasi lainnya adalah ketika KontraS –melalui nama Haris Azhar- mendorong revisi pemberian grasi melalui Pasal 11 ayat 1 dan 2 dari UU No. 5/2010 tentang Grasi; dua dari pemohon adalah Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Diketahui bahwa melalui Pasal 5 ayat 1 dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa uji konstitusional hanya bisa diajukan oleh warga negara Indonesia. Dalam konteks HAM dan situasi warga negara asing di Indonesia, permohonan uji konstitusional grasi menjadi penting untuk ditempuh ketika persoalan HAM, utamanya hak atas hidup menjadi begitu penting untuk dibahas dan melalui langkah pemberian grasi adalah upaya terakhir untuk melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu (termasuk warga negara asing), namun

Konvensi Buruh Migran (Pasal 16 ayat 7), Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Pasal 17 ayat 2 huruf d).

37 KontraS sejak awal bulan Februari berkomunikasi intensif dengan pihak Kedutaan Besar Brasil (bersama dengan keluarga Gularte yaitu Angelita Muxfeldt) untuk mendorong advokasi hukum dan kampanye. KontraS terlibat sebagai tim kuasa hukum Rodrigo Gularte sebelum eksekusi dilakukan pada tanggal 29 April 2015. KontraS juga sempat membangun komunikasi dengan Kedutaan Besar Filipina untuk mengkampanyekan kasus Mary Jane Fiesta Veloso. Lebih lanjut lihat linimasa yang disampaikan oleh pihak Pemerintah Filipina atas advokasi kasus Mary Jane Fiesta Veloso: http://www.gov.ph/2015/05/03/for-the-record-a-timeline-of-the-case-of-mary-jane-veloso/. Diakses pada 21 November 2015.

(16)

sebaliknya dengan alasan hak konstitusional yang melekat pada identitas warga negara maka upaya uji materiil grasi dari warga negara asing tidak bisa dilakukan.39

III.5 Perlindungan hak anak

Hukum internasional melarang vonis pidana hukuman mati kepada individu yang masih berusia di bawah 18 tahun pada saat peristiwa pidana kriminal terjadi. Jika terdapat suatu keraguan untuk membuktikan seseorang masih berusia di bawah 18 tahun ketika tindak pidana terjadi maka ia harus tetap berstatus sebagai anak-anak hingga ada bukti yang menerangkan sebaliknya.40 Dalam standar hukum Indonesia perlindungan hak atas anak diatur di dalam beberapa produk perundang-undangan yaitu Pasal 64 huruf f Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Perlindungan Anak, Pasal 81 ayat 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; Pasal 64 huruf f Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang pengenaan hukuman mati dan/atau hukuman seumur hidup bagi anak-anak (individu yang berumur di bawah 18 tahun) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 81 ayat 6 yang menerangkan bahwa jika vonis hukuman mati dan/atau hukuman penjara seumur hidup diberikan kepada seorang anak maka sifatnya wajib diganti dengan hukuman 10 tahun kurungan penjara. Dalam konteks ini, KontraS yang mendampingi Yusman Telaumbanua menemukan kejanggalan hukum signifikan ketika Yusman yang dalam BAP penyidik polisi diterangkan telah berusia 19 tahun ketika tindak pidana terjadi, diduga kuat masih berusia di bawah umur.41 Rekayasa kasus yang begitu kuat dalam kasus Yusman membuat KontraS ingin memeriksa kembali bukti yang memperkuat usia sesungguhnya. Meskipun Yusman tidak memiliki akta kelahiran yang mampu menunjukkan usia validnya, namun KontraS berupaya untuk mengumpulkan bukti baru: keterangan dari keluarga dan tetangga di lingkungan Yusman tumbuh yang menyatakan bahwa Yusman dilahirkan pada tahun 1996.42 Artinya ketika peristiwa pidana itu terjadi Yusman baru berusia 16 tahun. Saat ini KontraS bersama dengan Kementerian Hukum dan HAM melakukan upaya forensik medis dengan memeriksa tubuh Yusman Telaumbanua untuk memastikan usia pasti terpidana.43

III.6 Perlindungan kelompok rentan: Gangguan mental

Kasus yang didampingi KontraS atas nama terpidana mati Rodrigo Gularte merupakan kasus yang signifikan untuk mendapatkan dukungan publik nasional dan internasional. Ia telah didiagnosa menderita penyakit skizofrenia paranoid dan gangguan bipolar sejka kecil. Bahkan rekam medis juga turut membuktikan status kesehatan Gularte yang dikeluarkan oleh Prof. Dr. Dr. Soewadi, MPH, Sp. KJ.(K), dokter spesialis kejiwaan berdasarkan permintaan Direktur Rumah Sakit Umum Cilacap per tanggal 11 Februari 2015.44

39 Lihat: CNN. 2015. Duo Bali Nine gugat wewenang Jokowi soal grasi ke MK. Artikel dapat diakses di: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150409175847-12-45530/duo-bali-nine-gugat-wewenang-jokowi-soal-grasi-ke-mk/. Diakses pada 21 November 2015.

40 Lihat: Resolusi Dewan HAM PBB [UN Doc. A/HRC/RES/19/37], 19 April 2002. 41 Hasil investigasi KontraS. 2015.

42 Ibid.

43 Hingga tulisan ini dibuat proses rekam medis fisik Yusman Telaumbanua masih dilakukan dengan melibatkan ahli forensik nasional.

(17)

Diagnosis medis adalah argumentasi terkuat yang digunakan oleh pihak Kedutaan Besar Brasil dan tim pengacara untuk menunda eksekusi mati dan sekaligus memohon keringanan hukuman. Namun demikian, Jaksa Agung tetap menggunakan argumentasi bahwa hukuman mati di Indonesia hanya bisa dibatalkan apabila ditujukan bagi perempuan hamil ataupun individu yang berusia di bawah 18 tahun.45 Argumentasi lainnya adalah penundaan eksekusi mati kepada Rodrigo Gularte dapat dilakukan sampai ia dinyatakan sembuh. Untuk mereka yang menderita penyakit skizofrenia amat sedikit kasus yang bisa membuktikan si penderita bisa sembuh total. Jaksa Agung bahkan mengatakan hasil diagnosis dan verifikasi medis bertolak belakang dengan temuan yang ia lakukan, dengan menyatakan bahwa Rodrigo Gularte sehat secara fisik dan mental sehingga eksekusi tetap bisa dilakukan.46 Meskipun demikian hingga hari ini KontraS sebagai salah satu tim kuasa hukum Rodrigo Gularte belum pernah melihat dokumen yang menguatkan pernyataan Jaksa Agung. Eksekusi yang tetap dilakukan pada tanggal 29 April 2015 di tengah proses peralihan pengampuan subyek hukum (guardianship) dari nama Rodrigo Gularte ke Angelita Muxfeldt (kakak sepupu Gularte) sebelum PK dilakukan adalah bentuk kegagalan negara dalam menyediakan ruang keadilan yang bisa diakses oleh para terpidana, utamanya mereka yang rentan dikriminalisasikan karena mengidap penyakit semacam ini.47

IV. Kesimpulan dan pandangan ke depan

Temuan-temuan penting di atas sedikit banyak menggambarkan peta dan situasi penegakan hukum di Indonesia yang masih korup, manipulatif dan cenderung mengorbankan kelompok masyarakat di level bawah: dengan karakteristik ketidakmampuan ekonomi, korban perdagangan manusia, perempuan penderita penyakit kejiwaan dan lain sebagainya. Rangkaian kasus individual jika dihubungkan akan membentuk pola dan karakter kegagalan penegakan hukum di Indonesia, termasuk masih rendahnya komitmen pemerintah untuk menggunakan prinsip-prinsip hukum yang jujur, adil dan imparsial. Padahal jika kita menilik lebih lanjut terdapat sejumlah modalitas yang bisa digunakan untuk memperkuat agenda penegakan hukum yang selaras dengan isu perlindungan HAM.

Pertama, saat ini Indonesia masih menjadi bagian dari Dewan HAM PBB hingga tahun 2017. Ada banyak harapan yang bisa digunakan untuk menyelaraskan fungsi penegakan hukum dan perlindungan HAM sesuai dengan semangat konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 dan komitmen pemerintah untuk tunduk pada sejumlah instrumen hukum HAM internasional yang mempromosikan nilai-nilai HAM sebagaimana hukum HAM di level nasional juga turut mempromosikan hal yang sama dengan semangat universalisme. Posisi Indonesia dalam Dewan HAM PBB bisa signifikan digunakan untuk mendorong ruang supervisi teknis dari negara-negara yang lebih dahulu mempromosikan abolisi pada standar hukum domestiknya, untuk

45 Pernyataan ini sebagaimana yang dikutip oleh CNN. Tidak ada aturan larang eksekusi gangguan jiwa. Artikel dapat diakses di: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150220144037-12-33626/jaksa-agung-tidak-ada-aturan-larang-eksekusi-gangguan-jiwa/. Diakses pada 22 November 2015.

46 Lihat: CNN. 2015. Jaksa Agung harus transparan atas opini kedua Rodrigo Gularte. Artikel dapat diakses di: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150419140007-12-47705/jaksa-agung-harus-transparan-atas-opini-kedua-rodrigo-gularte/. Diakses pada 22 November 2015.

(18)

mengakselerasikan tata peradilan dan penegakan hukum dengan standar HAM internasional di lingkup Indonesia.

Kedua, Terkait dengan pernyataan yang disampaikan oleh Luhut Binsar Panjaitan, penulis ingin memberikan komentar bahwasanya pernyataan seorang pejabat politik harus diikuti dengan langkah konkret yakni melakukan moratorium resmi yang harus kembali diutamakan oleh pemerintah. Pasca pernyataan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis Zaini Jamaludin yang membawa truk berisi 1,3 ton ganja.48 Pernyataan yang belakangan dianulir oleh Luhut sendiri masih membawa pro dan kontra di Indonesia untuk menyandingkan isu perlindungan dan pemajuan HAM dengan perbaikan infrastruktur ekonomi dan pembangunan sejatinya tidak boleh menegasikan ruang kewajiban negara yang bersifat mutlak dan di satu sisi bersifat pemenuhan progresif (progressive realisation, sebagaimana yang diatur di dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).49 Dalam hal ini, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia memiliki kesempatan yang baik dan amat strategis untuk melanjutkan agenda moratorium resmi yang sejalan dengan peta kebijakan HAM luar negeri sebagaimana yang telah dipromosikan oleh 2 pengampu kementerian sebelumnya Hassan Wirajuda dan Marty Natalegawa.50

Ketiga, untuk menyelaraskan fungsi-fungsi pemidanaan, fungsi peradilan dan dengan standar HAM yang ketat dan dihormati sebagai prinsip-prinsip universal maka Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah serius guna mengevaluasi ketentuan-ketentuan yang selama ini diduga kuat turut memberikan ruang tafsir yang ambigu dan potensial digunakan untuk mereproduksi pemidanaan hukuman mati yang dipaksakan. Revisi atau mengamandemen produk-produk perundang-undangan yang timpang tindih dengan semangat akuntabilitas hukum dan HAM menjadi keniscayaan yang harus mendapatkan prioritas. Dalam semangat ini juga penting bagi pemerintah untuk mengambil ruang evaluasi atas pelaksanaan akses bantuan hukum di Indonesia. Akses ini mutlak diperlukan sebagai prasyarat terbukanya sistem hukum yang akuntabel dan sekaligus efektif-kompeten untuk digunakan oleh kelompok masyarakat yang selama ini kerap tidak mendapatkan ruang keadilan dalam semua proses pemeriksaan hukum.

Keempat, dari pemantauan dan catatan evaluatif di atas ditemukan peluang untuk mendorong ruang akuntabilitas atas tindak pidana penyiksaan yang terkait erat dengan kesaksian yang digunakan di dalam proses penyidikan untuk pidana-pidana yang potensial dijatuhi vonis hukuman mati. Amatlah penting untuk memberikan catatan

48 Lihat: CNN. 2015. PN Jakbar vonis mati pemilik truk pembawa 1,3 ton ganja. Artikel dapat diakses di: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151119193247-12-92826/pn-jakbar-vonis-mati-pemilik-truk-pembawa-ganja-13-ton/. Diakses pada 22 November 2015.

49 Pernyataan sanggahan yang disampaikan oleh Luhut Binsar Panjaitan juga banyak diliput oleh media Australia. Lihat: SMH. 2015. Indonesia denies moratorium on death penalty. Artikel dapat diakses di: http://www.smh.com.au/world/indonesia-denies-moratorium-on-death-penalty-20151119-gl36nc.html. Diakses pada 22 November 2015.

(19)

evaluatif atas proses penyidikan kepolisian yang masih menggunakan pendekatan intimidatif dan kekerasan yang berujung pada penyiksaan yang disesuaikan dengan aturan-aturan internasional sebagaimana yang diatur di dalam ICCPR dan CAT. Komnas HAM dalam hal ini juga harus diajak proaktif sebagai badan yang dapat dikelola untuk menerima laporan dan memberikan rekomendasi mengikat atas temuan-temuan dari praktik penyiksaan yang beririsan dengan isu hukuman mati. Dalam medium yang beririsan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga harus dikelola sebagai badan negara independen yang bisa mendorong ruang pemulihan hak-hak korban dan perlindungan saksi maupun individu yang mengetahui praktik-praktik buruk dari penyiksaan dan isu hukuman mati.

Kelima, hak-hak tersangka yang kerap tidak terpenuhi seperti mendapatkan bantuan hukum secara cepat, hak alih bahasa (khususnya bagi warga negara asing), hak untuk terhubung dengan konsuler (bagi warga negara asing), hak untuk berkomunikasi dengan tim kuasa hukum dalam mengelola bukti dan temuan baru dan termasuk menjalin komunikasi dengan keluarga adalah rangkaian hak-hak asasi yang harus terus dijamin pemenuhannya dalam seluruh proses pemeriksaan hukum sesuai dengan standar-standar yang dihormati oleh pemerintah dan aparatus di dalamnya.

Keenam, terkait dengan hak publik untuk tahu (akses atas informasi) melalui UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, KontraS tempat penulis pekerja amat menggunakan mekanisme ini sebagai salah satu alat akuntabilitas guna mengukur informasi data yang akurat yang dimiliki negara, termasuk implementasi kebijakan yang terkait dengan isu hukuman mati. Adalah penting dan amat dibutuhkan untuk memberikan informasi seputar hukuman mati (baik nama terpidana, latar belakang kasus, lapas tahanan, identitas lainnya) sebagai bagian dari informasi yang bisa terakses oleh publik guna kebutuhan advokasi, kampanye dan sarana edukasi atas perlindungan hak atas hidup, penegakan hukum dan wacana pemajuan HAM di Indonesia.

Ketujuh, sebelum langkah moratorium diambil penting untuk segera mengevaluasi langkah pemberian dan penolakan grasi. Presiden sebagai pengampu eksekutif harus memiliki kredibilitas sebagai penentu keputusan yang terakhir di ruang grasi. Grasi dalam konteks ini memiliki tafsir yang dalam, tidak hanya sekadar sebagai sebuah kekuatan paripurna dalam mekanisme hukum namun jika kita meninjau lebih jauh lagi, grasi adalah arena tempat di mana wewenang untuk memberikan perlindungan dan catatan evaluatif obyektif –dengan mempertimbangkan ruang rehabilitasi para terpidana, saran yang disampaikan oleh Mahkamah Agung, dan catatan-catatan hukum lainnya- sebagai bagian yang integral dan tidak terpisah dari akses publik untuk mendapatkan keadilan.

Kedelapan, Kejaksaan Agung dan Kementerian Hukum dan HAM RI harus bisa memberikan akses seluas-luasnya bagi terpidana mati untuk mendapatkan akses kesehatan. Hal ini tidak hanya terkait dengan kondisi kesehatan si terpidana, namun juga bisa digunakan sebagai alat ukur evaluatif jika terdapat temuan bukti baru melalui rekam medis tersebut.

(20)

Referensi

Dokumen terkait

pupuk TSP sebesar Rp. Biaya pembelian perekat Bonstik sebesar Rp. Biaya saprodi meliputi biaya pengadaan benih, pupuk kandang, pupuk phonska, insektisida Prevaton, dan

Rencana Strategis Dinas PU dan Penataan Ruang Kota Batu tahun 2018 - 2022 merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang disusun OPD

Melihat dari penjabaran diskripsi terhadap peristiwa – peristiwa yang ada di dalam permainan video game Harvest Moon Back to Nature dapat disimpulkan konten video game

Oleh karena itu, perlu peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru dalam pengembangan bahan ajar yang kreatif dan inovatif, menarik, kontekstual dan sesuai

Berdasarkan hal tersebut, saat ini dibutuhkan alternatif lain yang dapat diaplikasikan secara aman dalam mengendalikan penyakit antraknosa pada cabai diantaranya

Proses pada kolom distilasi jenis SHOF digunakan untuk mengkaji kemampuan dari strategi MPC dalam pengontrolan proses multivariabel untuk meregulasi variabel proses,

Dalam melakukan analisis tidak hanya untuk keperluan pemeriksaan pola sebaran data, tetapi juga untuk pendugaan parameter dan Return Level.Dalam menganalisis Return

Kondisi ini diduga terjadi karena adanya perubahan pola arus menurut musim yang mempengaruhi karakter massa air lapisan permukaan pada masa tersebut (Wyrtki 1961). Kondisi