• Tidak ada hasil yang ditemukan

Maryono al Riwayah dan al Dirayah dalam Tafsir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Maryono al Riwayah dan al Dirayah dalam Tafsir"

Copied!
207
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam

Oleh:

M a r y o n o 05.2.00.1.05.01.0041

Dosen Pembimbing:

Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA

KONSENTRASI TAFSIR HADITS SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis saudara Maryono (NIM. 05.2.00.1.05.01.0041) yang berjudul

RIWÂYAH DAN DIRÂYAH DALAM TAFSIR; Studi tentang Metode Penafsiran al-Syaukâny” telah diperiksa dan dinyatakan layak untuk diajukan ke Sidang Ujian Tesis.

Jakarta, 4 Februari 2008

Pembimbing

(3)

iii Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : M a r y o n o

NIM : 05.2.00.1.05.01.0041

Tempat, Tanggal Lahir : Grobogan, 24 Mei 1976

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul Al-RIWÂYAH

DAN Al-DIRÂYAH DALAM TAFSIR; Studi tentang Metode Penafsiran

al-Syaukâny” ini benar-benar merupakan karya asli saya kecuali kutipan-kutipan yang saya sebutkan sumbernya. Segala kesalahan dan kekurangan di dalamnya

sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.

Jakarta, 4 Februari 2008

(4)

iv

ء = ` '_ = a

ب = B _ = i =

ت T ' ث = TS ' = ج = J

ح = H III. VOKAL PANJANG خ = KH '_ = â

د = D _ = î

د = DZ '_ = û

ر = R

ز = Z IV. DIFTONG

س = S '_ = au

ش = SY '_ = ai

ص = SH

ض = DL V. PEMBAURAN

ط = TH '_ = al

ظ = ZH '_ = al-sy…

ع = ' '_ = wa

al-غ = GH

ف = F

ق = Q

ك = K

ل = L

1Pedoman Transliterasi Arab-Latin

(5)

v

ه = H

ي = Y

ة = T

VI. PEDOMAN TRANSLITERASI KHUSUS DALAM HALAMAN2 :

1) Untuk nama halaman pada catatan kaki (footnote) dari tiap-tiap

buku atau sumber berbahasa Arab yang digunakan dalam Tesis

ini, penulis menulisnya dengan lambang atau disingkat "s" yang

berarti "shahîfah".

2) Untuk nama halaman pada catatan kaki (foot-not) dari tiap-tiap

buku atau sumber berbahasa Inggris yang digunakan dalam Tesis

ini, penulis menulisnya dengan lambang atau disingkat "p" yang

berarti "page".

3) Untuk nama halaman pada catatan kaki (foot-not) dari tiap-tiap

buku atau sumber berbahasa Indonesia yang digunakan dalam

Tesis ini, penulis menulisnya dengan lambang atau disingkat

"hlm" yang berarti "halaman".

2"Pedoman Transliterasi Khusus Dalam Halaman"

(6)

vi

Penelitian ini mengkaji metode penafsiran al-Syaukâny dalam kitab

tafsirnya, Fathul Qadîr;al-Jâmi' bayna Fannay ar-Riwâyah wa al-DirâyahMin

'Ilm al-Tafsîr. Fokus perhatiannya adalah bagaimana al-Syaukâny

menggunakan metode al-Riwâyah dan al-Dirâyah, serta bagaimana dia

melakukan konvergensi antara keduanya.

Al-Syaukâny memberikan posisi yang tinggi kepada riwayat, terutama

yang berasal dari Rasulullah saw., dalam penafsiran al-Qur`an. Untuk

menerima atau menolak sebuah riwayat, al-Syaukâny bersikap sangat

selektif. Tetapi sikap selektif dalam menerima riwayat-riwayat dalam tafsir itu

tidak membuatnya sepenuhnya bebas dari kritik para ulama.

Sedangkan metode al-Dirâyah terkait sangat erat dengan

persoalan-persoalan bahasa. Dalam penafsiran terhadap setiap ayat Qur`an,

al-Syaukâny selalu menjelaskan makna-makna leksikal dari lafadz-lafadz yang

terkandung dalam ayat tersebut. Kaitan antara dirâyah dan

persoalan-persoalan bahasa juga terlihat dalam sikap al-Syaukâny yang relatif tekstual

dalam melakukan tafsir. Aktivitas rasional dalam tafsir (tafsir bi al-Ra`y)

dibatasi oleh orientasi pemaknaan yang bersifat tekstual itu, dalam arti bahwa

pemaknaan apa pun tidak boleh melampaui kemungkinan-kemungkinan

tekstual dan linguistik dari lafaz ayat yang bersangkutan. Di sisi lain,

(7)

riwayat-vii

Konvergensi yang dimaksud oleh al-Syaukâny adalah penggunaan

al-Riwâyah dan al-Ddirâyah secara sama-sama ekstensif. Dalam penafsiran

setiap ayat al-Qur`an, al-Syaukâny selalu mengemukakan uraian-uraian

leksikal dan linguistik, diikuti kemudian oleh pencantuman riwayat-riwayat

yang relevan. Dipandang dari perspektif ini, metode konvergensi al-Syaukâny

bukanlah sesuatu yang baru. Banyak kitab-kitab tafsir sebelum al-Syaukâny

yang ditulis berdasarkan konvergensi tersebut. Dari sudut pandang yang lebih

luas, hal itu menunjukkan bahwa al-Riwâyah dan al-Dirâyah bukan lagi

kriteria yang memadai untuk melakukan pemetaan dan tipologi karya-karya

(8)

viii

This study deals with the method of Quranic interpretation proposed

by al-Syaukâny in his work, Fathul Qadîr; al-Jâmi' bayna Fannay ar-Riwâyah

wa al-Dirâyah Min 'Ilm al-Tafsîr. Its main focus is how al-Syaukâny uses the

method of riwâyah and dirâyah, and how he makes both methods converge

one another.

Al-Syaukâny attributes a high esteem to the riwâyahs, especially the

Quranic interpretations proposed by the Prophet (p.b.u.h). As a mufassir

al-Syaukâny is very selective, accepting only the riwâyahs validated by

muhadditsîn. But it does not make his work accepted without any criticism.

This study also proves the close relation between al-Syaukâny’s

method of dirâyah and linguistic explanations. He gives profuse lexical

explanation of Quranic words almost in every verse. At the same time,

al-Syaukâny also believes that any interpretation of Quran is limited by the

textual and linguistic possibilities of the Quranic verse itself. In doing so,

al-Syaukâny put the text as the standard by which he judge several riwâyahs,

especially which come from the Companions and the Successors.

Al-Syaukâny uses riwâyah and dirâyah extensively. In his commentary

of a verse of Quran, he always gives lexical explanations followed by several

(9)
(10)
(11)

x

Allah swt., karena dengan izin dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan

tugas akhir akademis berupa penulisan tesis ini.

Shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi

Muhammad saw., yang kepada beliaulah diturunkan wahyu ilahi, kemudian beliau

aplikasikan dalam ucapan, sikap serta keteladanan.

Selanjutnya, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

setulus-tulusnya kepada semua pihak telah membantu penyelasaian tesisi ini, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan banyak

terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA., selaku Pembimbing Akademik

(PA) sekaligus pembimbing penulisan tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA., yang selalu memberikan

kelancaran, motivasi sekaligus solusi dalam menyelesaikan proses belajar

di Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta.

3. Ayahanda Sutari Muhsinin beserta Ibunda Iryati Sadiyun yang telah

memberikan doa dan restunya.

4. Orang-orang yang telah membantu secara finanssial dalam proses belajar

di Pasca Sarjana hingga penyelasain tesis ini.

5. Siti Badriah S.Pd.i selaku istri tercinta yang telah menemani dan

mendampingi dengan setulus hati mulai dari penulisan tesis ini hingga

selesai.

6. Ananda Najma Nabila and Muhammad Belva Haidar, belahan jiwa dan

permata hati yang selalu memacu semangat untuk menyelesaikan

penulisan ini.

7. Dosen-dosen yang telah mengajar penulis selama masa studi di Sekolah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Mereka adalah Dr. Ahzami

Sami‘un Jazuli, Dr. Sahabuddin, Dr. Lutfi Fathullah, Prof. Dr. Kautsar

(12)

xi

8. Teman-teman Tafsir Hadis di Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta,

angkatan 2005-2006 M., khususnya Ghozi Mubarok, Ansor Bahary, and

Bejo (Adib Mas'ud) yang telah meluangkan waktunya untuk membantu

(13)

xii

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ... 12

D. Penegasan Judul ... 13

2. Macam-macam Riwâyah dan Contoh Penafsirannya ... 44

a. Tafsir al-Qur’an dengan Sunnah ... 48

(14)

xiii

4. Macam-macam Corak Tafsir bi al-Ra`yi atau Dirâyah ... 80

5. Kelebihan Metode Tafsir bi al-Ra`yi atau Dirâyah ... 81

6. Kelemahan Metode Tafsir bi al-Ra`yi atau Dirâyah ... 81

BAB IV ANALISIS METODE PENAFSIRAN AL-SYAUKÂNY ... 83

A. Metode Riwâyah al-Syaukâny ... 83

1. Penafsiran al-Qur`an dengan Hadits Rasulullah saw. ... 83

1.a. Memiliki Kesamaan dalam Masalah Sanad ... 83

1.b. Kritis dan Selektif terhadap Hadits-Hadits Dla’if ... 86

1.c. Mengkompromikan Hadits-Hadits yang Bertentangan ... 95

2. Penafsiran al-Qur`an dengan Pendapat Sahabat ... 98

2.a. Merujuk Pendapat Sahabat ... 98

2.b. Sikap al-Syaukany Terhadap Pendapat Sahabat ... 100

2.c. Sikap Terhadap Riwayat Yang Saling Bertentangan ... 104

3. Penafsiran al-Qur`an dengan Pendapat Tâbiîn ... 104

3.a. Merujuk Pendapat Tabi’in ... 106

3.b. Sikap Terhadap Riwayat Tabi’in Yang Bertentangan ... 108

4. Al-Syaukâny dan Qirâ`ât ... 112

4.a. Melakukan Tarjîh terhadap Qiraât Yang ada ... 112

4.b. Tidak Melakukan Tarjîh terhadap Qiraât Yang ada ... 113

5. Tawaqquf terhadap Isrâ`iliyyât ... 114

B. Metode Dirâyah al-Syaukâny ... 118

1. Penafsiran al-Qur`an dengan al-Qur`an ... 119

2. Dirâyah dan Persoalan-persoalan Bahasa ... 125

C. Konvergensi Riwâyah dan Dirâyah sebagai Metode Kritis ... 128

BAB V PENUTUP ... 139

A. Kesimpulan ... 139

B. Saran-saran ... 140

(15)

A. Latar Belakang Masalah

Jika hendak ditelisik, diskursus tafsir telah dimulai sejak masa

Rasulullah saw. dan berlanjut hingga ke generasi sesudahnya, yakni masa

sahabat, masa tâbi’în dan tâbi’î at-tâbi’în. Generasi ini sering disebut dengan

generasi ulama salaf.1 Generasi selanjutnya adalah generasi ulama khalaf,2

hingga muncul tafsir yang ditulis oleh para mujaddid (pembaharu) pada masa

sekarang ini.3

Dalam lintasan sejarah, tafsir merupakan sebuah upaya memahami

dan menjelaskan kandungan pesan al-Qur`an. Upaya ini telah eksis pada

1 Pengertian ulama salaf atau mutaqaddimîn ialah mereka (para ulama) yang

tumbuh dan berkembang sebelum abad ketiga Hijriyah. Masa ini memiliki tiga periode : 1) Periode awal Islam (Rasulullah saw. dan sahabat), yaitu abad pertama Hijriyah; 2) Periode

tâbi’în, yaitu abad pertama sampai abad kedua Hijriyah, dan 3) Periode tâbi’î at-Tâbi’în, yaitu abad kedua dan ketiga Hijriyah. Lihat Said Agil Husain al-Munawwar dan Masykur Hakim, I’jaz al-Qur’an dan Metodologi Tafsir, (Semarang : Dina Utama, 1994), hlm. 28.

2 Adapun yang disebut ulama khalaf atau mutaakhkhirîn ialah mereka yang hidup

sesudah abad ketiga Hijriyah, yaitu abad keempat sampai abad kedua belas Hijriyah. Lihat Said Agil Husain al-Munawwar dan Masykur Hakim, I’jaz al-Qur’an dan Metodologi Tafsir, hlm. 28.

3 Muhamad Husain al-Dzahaby memberikan gambaran yang cukup jelas bahwa

banyak kesalahan yang terjadi dalam penafsiran al-Qur`an sejak masa Nabi Muhammad saw. hingga saat ini. Hal ini terjadi karena banyak faktor, di antaranya adalah, pertama,

kepentingan kelompok (madzhab) tertentu; kedua, tidak lagi memperhatikan sanad; ketiga,

(16)

awal Islam yang dimotori oleh Nabi Muhammad saw. sendiri sebagai penafsir

pertama. Hal ini dapat dipahami bahwa sebagai penerima wahyu, Nabi

Muhammad saw. juga berhak untuk menafsirkan al-Qur`an dan memiliki

tanggung jawab dalam menjelaskan makna kandungan al-Qur`an kepada

para sahabatnya.4

Di antara sahabat Nabi Muhammad saw., hanya ada beberapa orang

saja yang dikenal luas pemahamannya tentang tafsir. Ada sekitar sepuluh

orang sahabat yang oleh al-Suyûthy (w. 911 H) disebut atau dikenal sebagai

ahli tafsir, yaitu empat orang al-Khulafâ` al-Rasyidîn (Abu Bakar al-Shiddîq,

'Umar ibn al-Khathâb, Utsmân ibn 'Affân dan 'Ali ibn Abi Thâlib), Ibn Mas’ûd,

Ibn ‘Abbâs, Ubai ibn Ka’ab, Zaid ibn Tsâbit, Abû Musâ al-Asy’ary dan

Abdullâh ibn Jubair.5

4 Mannâ’ al-Qattân, Mabâhits fî ’Ulûm al-Qur`ân, (tt.: tpn, tth.), s. 334.

5 Jalâluddîn al-Suyûthy, Al-Itqân fî ’Ulûm al-Qur`ân, (Beirut : Dâr al-Kitâb al-Islâmy,

t.th.), Juz. II, s. 187. Berikut ini, penulis sampaikan nama lengkap para sahabat tersebut. Abu Bakar al-Siddîq adalah 'Abdullâh ibn Abî Quhâfah 'Utsmân al-Qurasy al-Taimy. Wafat tahun 13 H.

'Umar ibn Khatthâb, beliau memiliki gelar Fâruq Abu Hafsh 'Umar ibn al-Khatthâb, al-Qurasy, al-'Adawy, al-Makky, meninggal syahid di kota Madinah pada tahun 23 H.

Utsmân ibn 'Affân Abu 'Umar al-Umawy, beliu memiliki gelar Dzunnûrain meninggal dunia pada hari Jum'at, 18 Dzulhijjah 35 H.

'Ali ibn Abi Thâlib memiliki gelar Abu Hasan, Abû Turâb, 'Ali ibn Abi Thâlib al-Qurasy, al-Hasyimy, al-Makky, syahid di kota Kûfah pada tahun 40 H.

Ibn Mas’ûd, ia adalah 'Abdullah ibn Mas'ud, ibn Ghafil, ibn Khabib, ibn Syamkhun, ibn Hudail meninggal pada tahun 32 H. Ada yang berpendapat meninggal ada tahun 33 H. Ibn ‘Abbâs, Abu al-'Abbas 'Abdullah ibn 'Abbas al-Qurasy, al-Hasyimy, meninggal di Thaif pada tahun 68 H.

Ubai ibn Ka’ab ibn Qais dari Bani Najjar al-Anshary al-Khazrajy, diberi kunyah Aba al-Mundhir dan Aba al-Thufail, meninggal dunia pada tahun 30 H

(17)

Pada masa-masa berikutnya, tafsir mulai terbentuk menjadi sebuah

disiplin ilmu yang otonom. Bahkan, para ulama mulai menyusun

kaidah-kaidah yang harus dipahami dan dimengerti oleh orang yang ingin

menafsirkan al-Qur`an dengan tujuan mencegah terjadinya penyimpangan

dan kesalahan dalam memahami firman Allah tersebut.6

Di sisi lain, selain merupakan salah satu ilmu syari’at yang agung dan

tinggi kedudukannya, tafsir juga menjadi suatu ilmu yang mulia, baik dilihat

dari obyek pembahasan, tujuan maupun dilihat dari fungsionalnya sepanjang

zaman. Tanpa tafsir, seorang muslim tidak dapat menangkap mutiara-mutiara

berharga dari ajaran Allah swt. yang terkandung didalam al-Qur`an.

Mempelajari tafsir merupakan suatu kewajiban di antara

kewajiban-kewajiban yang lain dan dicintai oleh Allah sebagaimana perintah-Nya untuk

merenungkan kandungan al-Qur`an, memahami maknanya dan menjadikan

ayat-ayat-Nya sebagai petunjuk.

Diriwayatkan dari Anas ibn Mâlik bahwa Rasulullah bersabda,

ﺍﻭﹸﻟﺎﹶﻗ

،ِﺱﺎﱠﻨﻟﺍ

ﻥِﻤ

ﻥﻴِﻠﻫَﺃ

ِﻪﱠﻠِﻟ

ﻥِﺇ

:

َلﺎﹶﻗ

؟ﻡﻫ

ﻥﻤ

،ِﻪﱠﻠﻟﺍ

َلﻭﺴﺭ

ﺎﻴ

:

ُلﻫَﺃ

،ِﻥﺁﺭﹸﻘﹾﻟﺍ

ُلﻫَﺃ

ﻡﻫ

ﻪﹸﺘﺼﺎﹶﺨﻭ

ِﻪﱠﻠﻟﺍ

meninggal dunia pada tahun 45 H. Abû Musâ al-Asy’ary dan Abdullâh ibn Jubair. Lihat Abû 'Abdillah Syamsu al-Din Muhammad al-Dzahaby, Tadzkiratu al-Huffâzh, (untuk selanjutnya

Tadzkiratu al-Huffâzh), (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Alamiyah, t.th.), Juz. I, s.1-16.

6 Al-Suyûthy menyebutkan 15 ilmu bantu yang diperlukan oleh seorang mufassir

(18)

“Sesungguhnya Allah swt. memiliki kekasih di kalangan manusia.” Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah saw.?”. Beliau menjawab, “Mereka adalah ahl al-Qur`ân, para kekasih Allah dan orang-orang teristimewa di sisi-Nya.”7

Kegiatan penafsiran al-Qur`an terus berlangsung dan bergerak sesuai

dengan perkembangan zaman dan situasi di mana seorang mufassir

menafsirkan al-Qur`an sesuai dengan kemampuannya (ijtihad) hingga kita

mengenal banyak metode dan corak penafsiran, seperti tafsîr bi al-Ma`tsûr,

tafsîr bi al-Ra’yi, al-Tafsîr al-Isyâry, al-Tafsîr al-Bathiny, tafsîr al-Sûfi, adaby,

ijtima’y dan ’ilmy.

Dewasa ini, kajian tafsir sebagai bagian dari ilmu-ilmu al-Qur`an

mengalami perkembangan begitu pesat. Demikian kajian metodologi tafsir

yang juga mengalami kemajuan sangat berarti. Dalam kondisi demikian,

muncul buku yang berjudul manâhij al-mufassirîn.8 Sebagian besar buku itu

berisi tentang biografi para mufassir dan metode atau cara penafsiran mereka.

7 Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Mâjah dalam Sunan-nya, bab “Fadhl Man Ta’allama al-Qur`ân wa ‘Allamahû”, no. 215; lihat juga, al-Dârimy dalam kitab Fadhâ`il al-Qur`ân, bab “Fadhl Man Qara`a al-Qur`ân”, no. 3326; lihat juga, al-Hâkim dalam kitab

Fadhâ`il al-Qur`ân, bab “Ahl al-Qur`ân Hum Ahlullâh wa Khâsshatuhû”, no.556; lihat juga, Ahmad dalam Musnad-nya, Juz III, s. 127; lihat juga, Abû Dawud ath-Thayâlisî, dalam

Musnad-nya, no. 2124; lihat juga, Abû Nu‘aim dalam Hilyat al-Awliyâ`, Juz III, s. 63. Menurut Imâm al-Bushîry, al-Mundzîry, dan Syekh al-Albâny, bahwa hadis tersebut di atas adalah sahih secara hukumnya. Lihat, Ibrahîm ‘Ali al-Sayyid 'Ali Isâ, Al-Ahâdîts wa al-Âtsâr al-Wâridah fi Fadhâ`il Suwar al-Qur`ân al-Karîm: Dirâsah wa Naqd (Kairo: Dâr as-Salâm, 1425 H./2005 M.), cet. 2, s. 34-35.

8Di antara buku-buku yang menyajikan pembahasan tersebut antara lain: a) Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, karya al-Dzahaby (Cet. I: 1946); b) Al-Tafsîr wa Rijâluhû, karya Muhammad al-Fadhl bin ’Asyur (Cet. I: 1966); c) Al-Bidâyah ‘an al-Tafsîr al-Mawdhû’iy,

(19)

al-Selain buku tersebut di atas, terdapat pula buku-buku yang berisikan

tentang ilmu-ilmu al-Qur’an yang jika ditarik dari dua kategorisasi

pembagiannya yang ada maka tafsir dapat dibagi menjadi :

Pertama, membagi tafsir kepada: 1. al-Tafsîr al-Ma`tsûr, 2. Tafsîr

al-Ma’qûl, dan 3. al-Tafsîr al-Isyâriy.9

Kedua, membagi tafsir kepada: 1. al-Tafsîr al-Ma`tsûr, 2. Tafsîr

al-Atsary al-Nazhary al-Naqdy, dan 3. al-Tafsîr al-Ma’qûl.10

Pembagian kedua ini tampaknya mulai tumbuh dengan munculnya

tulisan Muhammad al-Fadl bin ‘Asyûr,11 seorang penulis dari Tunisia, dalam

bukunya berjudul: al-Tafsîr wa Rijâluhû. Ia telah menyimpulkan bahwa

adanya karya tafsir yang menggabungkan penggunaan riwayat dan rasio

Mufassirîn, karya Hasan Yûnus ’Abid (Cet. I : 1991), g) Ta’rîf Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn, karya ‘Abdul Fattah al-Khalidy (cet. I : 2002), Manâhij Tafsîriyyah, karya Jamâl Musthafâ ’Abd al-Hamid al-Najjâr (2000), dan at-Tafsîr wa al-Mufassirûn fi al-’Ashr al-Hadîts, karya ’Abd al-Qadir Muhammad Shâlih (Cet. I : 2003).

9 Pembagian seperti ini antara lain dikemukakan oleh al-Zarkasyy dalam Al-Burhân fî ’Ulûm al-Qur`ân; al-Suyûthy dalam Al-Itqân fî ’Ulûm al-Qur`ân; al-Zarqany dalam Manâhil al-’Irfân fî ’Ulûm al-Qur`ân; dan al-Dzahaby dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Bandingkan dari beberapa literatur yang telah disebutkan.

10Pembagian seperti ini antara lain dikemukakan oleh Muhammad al-Fadhl ibn

‘Asyûr dalam al-Tafsîr wa Rijâluh, Shalâh ‘Abdul Fattâh al-Khâlidy dalam Ta’rîf al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn; dan ’Abd al-Qâdir Muhammad Shâlih dalam Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-’Ashr al-Hadîts.

11Dia bukanlah Ibnu ‘Asyûr penulis tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr Tafsîr Qur’ân al-Karîm. Penulis tafsir ini adalah Muhammad al-Thâhir ibn ‘Asyûr (1296-1393 H./1879-1973 M.), Lihat, ’Abd al-Qâdir Muhammad Shâlih, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-’Ashr al-Hadîts,

(20)

secara signifikan, yang kemudian ia istilahkan dengan Tafsîr Atsâry

al-Nazhary al-Naqdy.12

Dalam perkembangan kemudian, pendapatnya tersebut dikutip oleh

Shalâh ‘Abdul Fattâh al-Khâlidy dalam Ta’rîf Dârisîn bi Manâhij

al-Mufassirîn dan ‘Abd al-Qâdir Muhammad Shâlih dalam Tafsîr wa

al-Mufassirûn fi al-‘Ashr al-Hadîts. Mengenai al-Tafsîr al-Ma’qûl, ada juga

kelompok kedua yang membaginya menjadi dua, yaitu; 1. Yang terpuji

(mahmûd) sehingga dapat diterima, dan 2. Yang tercela (madzmûm)

sehingga harus ditolak.13

Semua corak penafsiran yang penulis sebutkan di atas memiliki

kekurangan dan kelebihan masing-masing. Hal ini, karena kita harus

mengembalikan arti tafsir itu sendiri yang seringkali disebut “pemahaman”

atau “interpretasi” dari masing-masing penulis.

Seperti halnya yang dikatakan oleh Gamâl al-Bannâ dalam karyanya

Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm baina al-Mutaqaddimîn wa al-Muta’akhirîn”, yang

menyatakan bahwa setiap ulama yang menulis karyanya, baik yang memiliki

corak ma`tsûr ataupun ra`yi tidak luput dari kekeliruan dan kekurangan

dalam menafsirkan al-Qur`an al-Karîm.”14

12 Di antara ulama yang menggunakan metode riwâyah dan dirâyah adalah: tafsir

Yahya ibn Salâm Bashry, tafsir Baqi’ ibn Makhlad Andalusy, tafsir Ibnu ‘Athiyyah al-Andalusy, tafsir Ibn al-Jauzy, tafsir al-Wâhidy, tafsir al-Baghawy, tafsir al-Syaukâny. Lihat, Shalâh ‘Abdul Fattâh al-Khâlidy dalam Ta’rîf al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn(Damaskus: Dâr al-Qalam, 1423 H-2002 M), cet. I, s. 302.

13 al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, s. 264.

14 Gamâl al-Bannâ, “Evolusi Tafsir” , terj. Novrianto, (Jakarta : Qibthi Pres, 2004),

(21)

Hal ini wajar karena mereka hanya sekedar berusaha sesuai

kemampuannya dalam membumikan al-Qur`an ke dalam hati semua orang

yang ingin memahami dan mengambil petunjuk darinya.15 Dalam

menafsirkan al-Qur`an, Muhammad Abduh - lah (w. 1905 H.) tokoh yang

memiliki cita-cita seperti tersebut, sebagaimana yang disampaikan oleh

Muhammad ‘Imârah yang menyatakan bahwa tafsir yang diinginkan olehnya

adalah tafsir yang mampu membuat pendengar dan pembacanya mampu

memahami al-Qur`an sebagai sumber agama yang dapat memberi petunjuk

kepada seluruh umat manusia.”16

Fathûl Qadîr misalnya, yang ditulis oleh al-Syaukâny.17 Kitab ini

merupakan salah satu kitab tafsir yang luput dari pengamatan Gamâl

al-Bannâ khususnya kelebihan dan kekurangan tafsir tersebut. Kitab ini juga

mencoba menggabungkan dua corak penafsiran, yakni menggunakan

metode al-Dirâyah wa al-Riwâyah.

15 J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, (Yogya: Tirta Wacana, 1997),

cet. 1, hlm. 15-16. Dalam buku ini, Jansen menjelaskan mengapa tafsir Muhammad Abduh mendapat apresiasi yang sangat berlebihan. Menurutnya, itu karena tafsir ini mampu mengubah sikap orang yang membacanya.

16 Sauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, (Jakarta: Paramadina,

2002), cet. 1, hlm. 99.

17 Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn ’Abd. Allâh

al-Syaukâny al-Shan’âny. Ia lahir pada hari Senin, 28 Zulqaidah 1173 H. (1759 M.) dan meninggal di kota yang sama pada hari Rabu, 27 Jumadil Akhir 1250 H (1834 M) di pemakaman Khuzaimah, San’â. Syaukân adalah sebuah nisbah terhadap tempat kelahirannya yang letaknya berdekatan dengan kota Shan’â, Yaman Utara. Desa Syaukân tersebut dihuni oleh suku Sahamiyyah, termasuk rumpun kabilah Khaulân. Lihat al-Syaukâny, al-Badr ath-Thâli’ bi-Mahâsin Man ba’da al-Qarn as-Sâbi’ (Beirut : Dâr al-Ma’rifah, t.th.), jld. II, s. 211-214 dan jld I, s. 480. Menurut al-Dzahaby, desa Syaukân disebut juga dengan Hijratu Syaukân. Lihat al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, jld. II, s. 211 dan

(22)

Menurut Muhammad Husain al-Dzahaby, tafsir Fathul-Qadîr termasuk

sebagian tafsir yang pokok dan sumber atau referensi yang sangat penting

(otoritatif), karena ia telah menggabungkan antara pola tafsir al-Dirâyah

dengan al-Riwâyah, sehingga dapat mewujudkan pembahasan pola

al-Dirâyah sekaligus memperluas pola al-Riwâyah. Hal ini karena penulis tafsir

tersebut berpegangan kepada tafsir Abi Ja’far an-Nakhasy, Ibnu ‘Athiyyah

al-Dimasyqy, Ibnu ‘Athiyyah al-Andalûsy (w. 546 H), al-Qurthuby (w. 671 H),

al-Zamakhsyari (w. 538 H.), dan yang lainnya.”18

Pendapat al-Dzahaby di atas, hemat penulis, tidak selamanya benar

jika kita membaca keterangan di atas bahwa upaya penggabungan dua

metode penafsiran Riwâyah dan Dirâyah sudah pernah dilakukan oleh para

ulama lain sebelumnya. Al-Thabary (w. 310 H.), misalnya, telah melakukan

seperti apa yang dilakukan oleh al-Syaukâny.19 Bahkan menurut Muhammad

al-Zuhaily, judul yang diberikan al-Thabary kepada kitab tafsirnya, yaitu

Tafsîr Jâmi’ al-Bayân ’an Ta`wîl Ây al-Qur`ân, sudah menunjukkan bahwa

dia menggabungkan antara metode riwâyah dan dirâyah di dalam kitab yang

ditulisnya itu.20

Lebih jauh, menurut Shidqi Jamil al-‘Aththâr menyatakan bahwa

Imâm al-Thabary secara mutlak adalah mufassir pertama dan karya tafsirnya

18 Al-Dzahaby, at-Tafsîr wa al-Mufassirûn…, cet ke-7, Juz II, s. 42-43.

19 Shalâh Abdul Fattâh al-Khâlidy,Ta’rif al-Darisîn bi Manâhij al-Mufassirîin, (Beirut :

Dâr al-Qalam, 1423 H./2002 M.), cet. I. s. 350.

(23)

yang ditulis itu menggabungkan metode riwâyah dan dirâyah, bahkan tidak

ada mufassir baik sebelum dan sesudahnya yang menyamainya.21

Salah satu contoh penafsiran al-Syaukâny yang dapat membedakan

dengan tafsir-tafsir sebelumnya adalah ketika ia menafsirkan QS. Ali ’Imran

(3) :169:

Al-Syaukâny dalam tafsirnya menjelaskan perbedaan ulama tentang

para syuhadâ` yang disebut dalam ayat di atas. Ada yang berpendapat

bahwa ayat tersebut diturunkan untuk orang-orang yang mati syahid pada

waktu perang Uhud. Ada pula yang menyatakan bahwa ayat itu diturunkan

untuk para syuhadâ` perang Badr atau Bi`ru Ma’unah. Yang pasti, lanjut

al-Syaukâny, ayat di atas diturunkan dengan alasan yang khusus ( ﻲﻓ ﺕﻟﺯﻨ ﺎﻬﻨﺃ

ﺹﺎﺨ ﺏﺒﺴ), tetapi kaidah yang harus dipegang adalah umumnya lafadz,

bukan sebab yang khusus ( ﺏﺒﺴﻟﺍ ﺹﻭﺼﺨﺒ ،ﻅﻔﻠﻟﺍ ﻡﻭﻤﻌﺒ ﺭﺎﺒﺘﻋﻻﺎﻓ ). Selanjutnya,

al-Syaukâny menjelaskan maksud ayat terebut secara global dan sesuai

dengan pendapat jumhur ulama, bahwa " orang yang meninggal di jalan

Allah itu hidup dengan kedidupan yang benar ” (ﺔﻘﻘﺤﻤﺓﺎﻴﺤ ﺀﺎﻴﺤﺃﻡﻬﻨﺃ).22

21 Ibnu Jarîr al-Thabary, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wil Ayyi al-Qur’ân. (Beirut : Dâr

al-Fikr, 1426 H./2005 M.), Juz. I. s. 11.

(24)

Selanjutnya al-Syaukâny juga menjelaskan tentang terjadinya

perbedaan tentang makna "hidup" dalam ayat tersebut. Sebagian mufassir

ada yang mengatakan, "Sesungguhnya arwah mereka dikembalikan kepada

jasad mereka di dalam kubur lalu mereka bersenang-senang.” Al-Syaukâny

juga mengutip pendapat Mujâhid yang berkata, “Mereka diberi rizki

buah-buahan dari surga. Maksudnya, mereka mendapati baunya tetapi mereka

tidak ada di dalamnya.” Dan telah berkata ulama yang bukan ulama jumhûr,

“Sesungguhnya mereka hidup kiasan saja (hayâtun majâziyah). Maksudnya,

sesungguhnya mereka ada di dalam hukum Allah swt., berhak mendapatkan

kenikmatan didalam syurga.”23

(25)

Al-Syaukâny memberikan penafsiran yang tidak sama dengan ulama

sebelumnya, semisal Ibn Katsîr (w. 774 H.) dan al-Suyûthy (w. 911 H).24

Ibnu Katsîr menyatakan dalam tafsirnya bahwa orang yang mati syahid itu,

walaupun mereka dibunuh di dunia ini, maka sesungguhnya arwah mereka

hidup dan diberi rizki di dalam alam abadi (dâr al-Qarar ).25

Dalam masalah ini Ibnu Katsir tidak memberikan keterangan

bagaimana mereka hidup. Apakah hidup hakiki atau majazi seperti yang

penulis jelaskan diatas.

Demikian juga al-Suyûthy yang tidak menjelaskan hidup seperti apa

yang dijalani oleh orang yang telah gugur di jalan Allah. Ia bahkan hanya

menjelaskan tentang makna kalimat-kalimat yang ada dalam ayat tersebut.26

Menurut hemat penulis, hal itu sebenarnya kurang begitu memberikan

pemahaman yang dalam tentang makna al-Qur`an. Tapi hal ini wajar karena

karya al-Syuyuthy tersebut memang digunakan untuk kalangan pemula yang

sedang ingin mendalami Qur'an. Tetapi ketika kita membaca karya

al-Syuyuthy yang lain misalnya "al-Dur al-Mantsur fi al-tafsir bi al-matsur" kita

akan mendapat pemahaman yang mendalam tentang kasus ini.

24 Ibnu Katsîr dan al-Suyûthy sama-sama mewakili corak penafsiran dengan metode riwâyah dan dirâyah. Lihat juga kitab al-Suyûthy yang berjudul Tafsîr al-Jalâlain; dan Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm.

25 Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhim (Beirut : Muassasat al-Rayyân, 1424

H./2003 M.), cet. 8, Juz. I. s. 555.

26 Al-Mahally dan al-Suyûthy, Tafsîral-Jalâlain (Bandung : Maktabah al-Ma'arif, t.th),

juz I, s. 65. Berikut ini, penafsiran yang dilakukan oleh Imâm al-Suyûthy,

(26)

Terlepas dari perbedaan tentang ciri metode riwâyah dan dirâyah di

atas, hemat penulis, catatan negatif yang seringkali ditujukan kepada model

periwayatan (ma`tsûr) adalah bercampurnya antara riwayat yang shahîh

dengan yang dha’îf (lemah), bahkan juga yang maudhû’ (palsu). Seolah tak

ubahnya mereka seperti pencari kayu bakar di malam hari (hathib layli) yang

tidak bisa membedakan antara ular dan batang kayu bakar.

Sementara corak ijtihâdi yang juga disinyalir negatif adalah munculnya

tafsir Mafâtihul Ghaib atau al-Tafsîr al-Kabîr karya al-Râzy (w. 604 H), yang

mewakili ulama ahl al-Sunnah juga dilatarbelakangi oleh pesona al-Kasysyâf,

sehingga sebagian ulama seperti Ibnu Taimiyyah (w.728 H) setelah masanya

mengatakan atau berkomentar :“Fîhi kullu syai`in illâ tafsîr” (berbagai hal

terdapat di dalamnya kecuali tafsir). Pernyataan ini tidak lepas dari apa yang

dilakukan oleh al-Râzy yang banyak menukil banyak pendapat dari ulama

kalam, filsafat dan kimia.27 Selanjutya Al-Khâlidy memberikan kritik atas

pernyataan tersebut dengan mengatakan harusnya perkataan itu diubah

dengan ucapan "fihi kullu syaiin ma'a al-tafsir”. Imam al-Subky berkata, "fîhi

ma'a al-tafsîr kullu syaiin" 28

Karena itu, al-Syaukâny dalam muqaddimahnya mengatakan bahwa

secara umum para ulama tafsir dibagi ke dalam dua kategorisasi, yaitu

menafsirkan dengan riwâyah dan lughat (bahasa).29 Sehingga apa yang

27Shalâh Abdul Fattâh al-Khâlidy,Ta’rif al-Darisîn bi Manâhij al-Mufassirîin, s. 489.

28 Shalâh Abdul Fattâh al-Khâlidy,Ta’rif al-Darisîn bi Manâhij al-Mufassirîin, s. 489.

29 Dalam bahasa Arab, pernyataan al-Syaukâny itu tertulis sebagai berikut,

ﻥﻴﻘﻴﺭﻁ ﺍﻭﻜﻠﺴﻭ،ﻥﻴﻘﻴﺭﻓ ﺍﻭﻗﺭﻔﺘ ﻥﻴﺭﺴﻔﻤﻟﺍ ﺏﻟﺎﻏ ﻥﺇ :

لﻭﻷﺍ ﻕﻴﺭﻔﻟﺍ :

ﺩﺭـﺠﻤ ﻰـﻠﻋﻡﻫﺭﻴﺴﺎﻔﺘ ﻲﻓ ﺍﻭﺭﺼﺘﻗﺍ

ﺔﻴﺍﺭﻟﺍﻩﺫﻫ ﻊﻓﺭﺒ ﺍﻭﻌﻨﻗﻭ ،ﺔﻴﺍﻭﺭﻟﺍ .

ﺭﺨﻵﺍ ﻕﻴﺭﻔﻟﺍﻭ :

(27)

ditawarkan al-Syaukâny dengan menggunakan kedua corak penafsiran

tersebut perlu mendapatkan perhatian.

Perbedaaan dalam menyikapi “sesuatu” adalah wajar. Begitu juga

halnya dengan perbedaan penafsiran terutama dalam menggunakan metode

dalam memahami al-Qur`an. Namun yang amat disayangkan, seringkali

masing-masing pihak merasa paling benar dalam memahami nash-nash

al-Qur’an tersebut. Sehingga hampir dipastikan tidak ada kata sepakat untuk

mengatakan bahwa pendapat lain pun benar adanya.

Sikap seperti ini juga dianjurkan oleh al-Syaikh Muhammad ‘Abdul

al-Azhîm al-Zarqâny dalam ungkapannya :

”…oleh karena itu, semuanya harus kita pandang, kita mengerti tanpa mengikuti pendapat orang yang menyesatkan, orang-orang Mu’tazilah dan demikian orang-orang diberi gelar-gelar kekafiran dan kefasikan. Begitu juga kita tidak ikut bersama orang-orang yang membodohkan ahl as-Sunnah dan meremehkannya dengan memberikan gelar-gelar kebodohan dan terbelakang serta mengikuti hawa nafsu mereka sendiri dalam menafsirkan al-Qur’an.”30

Dari ungkapan-ungkapan sebelumnya, dapat dirangkum bahwa dalam

perkembangan ilmu-ilmu al-Qur’an dan lebih khusus lagi metodologi tafsir,

ada perkembangan baru mengenai kategorisasi pembagian tafsir, yaitu dari;

ﻟﻭ ،ﺔﻴﻟﻵﺍ ﻡﻭﻠﻌﻟﺍ ﺩـﻗ ﻥﻴﻘﻴﺭـﻔﻟﺍﻼـﻜﻭ ،ﺎﺴﺎﺴﺃﺎﻬﻟ ﺍﻭﺤﺤﺼﻴﻡﻟ ﺎﻬﺒﺍﻭﺅﺎﺠﻥﺇﻭ ،ﺎﺴﺃﺭﺔﻴﺍﻭﺭﻟﺍ ﻰﻟﺇﺍﻭﻌﻓﺭﻴ ﻡ

ﺏﺎﻁﺃﻭلﺎﻁﺃﻭ ،ﺏﺎﺼﺃ .

Keterangan redaksi dari pernyataan al-Syaukâny di atas dapat dilihat pada, Al-Syaukâny, Fathul Qadîr, al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsir, s. 70. Bandingkan dengan Al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz. II, s. 212.

30 Al-Zarqâny, Manâhil al-’Irfân fî ’Ulûm al-Qur`ân (Beirut : Dâr al-Fikr, t.th.), Juz. II,

(28)

al-Tafsîr al-Ma`tsûr, al-Tafsîr al-Ma’qûl, dan al-Tafsîr al-Isyâriy menjadi

al-Tafsîr al-ma`tsûr, al-al-Tafsîr al-Atsâry al-Nazhary al-Naqdy, dan Tafsîr

al-Ma’qûl. Kategorisasi terakhir ini menambahkan satu kategori baru yang

menggabungkan antara al-Ma`tsûr, al-Tafsîr al-Ma’qûl, atau dalam bahasa

al-Syaukâny, Dirâyah dan Riwâyah.

Dengan demikian, bagaimana gambaran konkret mengenai

metodologi konvergensi dua corak penafsiran tersebut berdasarkan kajian

mendalam terhadap sebuah karya tafsir yang menerapkannya, belum

ditemukan. Di sisi lain, kajian terhadap tafsir yang ditulis oleh mufassir belum

banyak diteliti terutama karya al-Syaukâny, lebih khusus di Indonesia.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis, kajian yang akan dituangkan

dalam sebuah tesis ini berkaitan dengan metode penafsiran al-Syaukâny

dengan mengkaji karyanya Fathul Qadîr, al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah

wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsir ini, layak untuk dilaksanakan.

B. PERMASALAHAN

Uraian dalam sub bahasan permasalahan di sini, akan dibagi ke dalam

tiga hal berikut, antara lain : 1. Identifikasi Masalah, 2. Pembatasan Masalah,

dan 3. Perumusan Masalah. Berikut ini penjelasan ketiga bagian di atas :

1. Identifikasi Masalah

Bertolak dari latar belakang masalah yang dikemukakan sebelumnya,

maka permasalahan yang akan dikaji dalam tesis ini dapat diidentifikasikan

(29)

a. Metode manakah yang lebih tepat dalam menafsirkan al-Qur`an:

al-Riwayah atau al-Dirayah?

b. Bagaimanakah sejarah munculnya metode Riwayah dan

al-Dirayah dalam tafsir al-Qur`an?

c. Bagaimana model penggabungan antara metode al-Riwayah dan

al-Dirayah dalam tafsir al-Qur`an?

d. Bagaimana Syaukâny merumuskan metode Riwayah dan

al-Dirayah dalam kitab tafsir yang ditulisnya?

2. Batasan Masalah

Dari beberapa permasalahan di atas, penulis berniat mengkaji secara

khusus tentang metode penafsiran yang dilakukan al-Syaukâny. Pembahasan

mengenai metode al-Riwâyah dan al-Dirâyah yang dikemukakan oleh

al-Syaukâny menyangkut banyak hal. Namun tesis ini akan memfokuskan

perhatiannya kepada tiga permasalahan berikut ini. Pertama, mengelaborasi

metode konvergensi al-Riwâyah dan al-Dirâyah al-Syaukâny. Kedua, menguji

orisinalitas al-Syaukâny dan memperbandingkannya dengan para mufassir

yang lain.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah yang dikemukakan

sebelumnya, maka permasalahan utama yang akan dikaji dalam tesis ini

adalah: Metodologi penafsiran al-Syaukâny dalam kitab tafsirnya, Fathul

(30)

Dari permasalahan utama tersebut, dapat dirumuskan beberapa

pertanyaan penelitian berikut ini.

a. Bagaimana al-Syaukâny menetapkan kriteria al-riwâyah dan

al-dirâyah serta melakukan konvergensi antara kedua metode tersebut

dalam kitabnya Fathul al-Qadîr, al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa

al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsir?

b. Jika dibandingkan dengan para mufassir yang lain, apakah metode

konvergensi yang ditawarkan oleh al-Syaukâny bersifat orisinal?

C. TUJUAN DAN SIGNIFIKANSI PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan atas permasalahan yang telah diajukan sebelumnya,

maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui metodologi penafsiran

al-Syaukâny dalam kitab tafsirnya, Fathul Qadîr, Jâmi’ baina Fannay

al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsir.

2. Signifikansi Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengisi kekurangan informasi

berkaitan dengan kontribusi al-Syaukâny dalam menafsirkan al-Qur`an

dalam kitabnya Fathul Qadîr, Jâmi’ baina Fannay Riwâyah wa

al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsir.

Dengan demikian, hemat penulis, tesis ini diharapkan berguna dan

(31)

berminat terhadap kajian pemikiran Islam, terutama kontribusi al-Syaukâny

dalam menafsirkan al-Qur`an.

Secara lebih luas, penelitian ini mencoba menyumbangkan pemikiran

tentang perlunya dirumuskan sebuah paradigma baru yang lebih relevan

dalam persoalan al-Riwâyah dan al-Dirâyah.

D. PENEGASAN JUDUL

Tesis ini berjudul: AL-RIWÂYAH DAN AL-DIRÂYAH DALAM

TAFSIR; Studi tentang Metode Penafsiran al-Syaukâny. Ada tiga

istilah yang perlu diberikan penjelasan: al-Riwâyah, al-Dirâyah dan metode.

Riwâyah diderivasikan dari akar kata (ىور) yang bermakna

“memindahkan” (naql) atau “menyebutkan” (dzikr).31 Metode tafsîr bi

al-riwâyah meliputi penafsiran al-Qur`an dengan al-Qur`an, al-Qur`an dengan

hadis, al-Qur`an dengan pendapat para sahabat,32 dan al-Qur`an dengan

31 Muhammad Ibn Mukrin atau lebih dikenal Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr

al-Hâdis, t.th.), Juz. IV, s. 7; lihat juga, Shalahuddîn al-Munjid, Al-Munjid fî Lughat wa al-A’lâm, (Beirut : Dâr al-Masyriq, 1994), cet. 34, s. 289.

32Untuk pendapat para sahabat ini, masih ada kesepakatan para pakar untuk

memasukkannya dalam kategori al-Tafsîr al-Ma`tsûr. Al-Hâkim secara mutlak menganggap bahwa pendapat para sahabat sebagai atsâr, karena mereka menyaksikan sendiri peristiwa turunnya ayat-ayat al-Qur`an, sehingga pendapat mereka dianggap marfû’ (disandarkan kepada Nabi sendiri). Berbeda dengan Ibnu al-Shalâh dan al-Nawawy yang membatasi pada informasi yang berkaitan dengan Asbâb al-Nuzûl saja. Lihat al-Dzahaby, Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jld. I, s. 94. Lebih lanjut al-Dzahaby mengatakan bahwa yang dihukumi marfû’

(32)

pendapat para tabi’in.33 Penelitian ini akan mengkaji bagaimana konsep

al-Syaukâny tentang tafsir bi al-Riwâyah serta bagaimana ia menilai

riwayat-riwayat tersebut.

Dirâyah diderivasikan dari akar kata (يرد) yang bermakna

“memperoleh pengetahuan” (al-Tawâshul ilâ al-’ilm).34 Biasanya, dirâyah

dipertentangkan dengan riwayah dalam pengertian sesuatu yang diperoleh

melalui penalaran rasional, bukan melalui riwayat.

Kajian mengenai al-Tafsir al-Dirâyah mencakup penafsiran dengan

penggunaan nalar (ijtihad). Dalam hal ini, ulama ilmu-ilmu al-Qur’an atau

lebih spesifik, ulama tafsir, membagi kepada tafsir yang tercela dan yang

terpuji. Sementara muffasir al-Ma’qûl, seperti al-Zamakhsyary memberikan

peran yang tidak terbatas kepada akal dalam memahami semua aspek

agama, termasuk keimanan yang harus dibangun berdasarkan keputusan

akal, agar tidak ada lagi keraguan.35

33Lihat al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jld. 1, s. 152. Kutipan dari tabi’în ini

masih dia sangsikan sebagai al-Tafsîr al-Ma’qûl atau rasio. Kesangsian ini muncul pada al-Dzahaby karena dia mengkategorikan tafsir al-Thabary sebagai al-Tafsîr al-Ma’qûl sementara di dalamnya terdapat pula kutipan dari para tabi’în. Lihat al-Dzahaby, Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jld I, s. 152. Selain al-Dzahaby terdapat pula al-Zarkasyy (w. 794 H.) yang agaknya lebih ketat dibandingkan al-Dzahaby dalam memasukkan pendapat-pendapat

tâbi’in ke dalam tafsir bi al-Matsûr. Menurut al-Zarkasyy, pendapat-pendapat tâbi’in termasuk dalam tafsir bi al-Matsûr asalkan memenuhi dua syarat, yakni hanya pendapat para pemuka-pemuka tâbi’in saja dan jika riwayat-riwayat yang didapatkan mereka itu marfû’ hingga ke Rasulullah atau juga hingga ke salah satu sebagian sahabat Rasul, dan pendapat ini boleh diikuti. Lihat Muhammad bin ‘Abdillâh al-Zarkasyy, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, yang telah ditahqîq dan ditakhrîj oleh Musthafâ ‘Abdul Qâdir ‘Athâ (Beirut : Dâr al-Fikr, 1424 H./2004 M.), Juz. II. s. 189.

34Shalahuddîn al-Munjid, Al-Munjid fî al-Lughat wa al-A’lâm,cet. 34, s. 214.

(33)

Pada sisi lain, seperti Muhammad Husain al-Dzahaby tidak

membenarkan penggunaan akal secara mutlak dan dia mensyaratkan

seorang muffasir al-Ma’qûl harus didasari oleh penguasaan terhadap

seluk-beluk bahasa Arab dalam pembicaraan mereka, pengertian lafadz-lafadz dan

makna-makna yang ditunjukkan oleh lafadz-lafadz tersebut, pemanfaatan

syair-syair Arab Jahili, sikapnya terhadap hadits-hadits asbâb al-Nuzûl,

pengenalannya terhadap ayat-ayat nâsikh (yang menasakh) dan mansûkh

(yang dinasakh) dan sejumlah ilmu yang dibutuhkan oleh seorang muffassir

untuk menafsirkan al-Qur`an.36 Sedangkan al-Syaukâny sendiri membatasi

dirâyah hanya pada persoalan-persoalan linguistic (bahasa) atau lebih dikenal

bersifat bahasa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode diartikan sebagai

“pengetahuan, cara, mendidik, meneliti”.37 Dalam Kamus Bahasa Indonesia

Terbaru, metode diartikan sebagai “cara yang telah terpikir baik-baik dan

teratur untuk mencapai sesuatu maksud (dalam ilmu pengetahuan dan lain

sebagainya)”.38

36Pernyataan diatas didasarkan atas definisi al-Tafsîr al-Ma’qûl (al-Tafsir bi al-Ra`yi)

yang dikemukakan oleh al-Dzahaby. Lihat, al-Dzahaby al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. II, s. 255.

37 Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

(Jakarta : Balai Pustaka, 1988), cet. I, hlm. 581.

38 Suharto dan Tata Iryanto, Kamus Bahasa Indonesia Terbaru, (Surabaya : Pustaka

(34)

Istilah kata metode dalam bahasa Arab seringkali disebut “manhaj”

atau “al-Minhaj” atau juga “al-Uslûb”, yang kemudian memiliki atau

diderivasikan dari akar kata (ج ـﻫ ن), yang berarti metode atau cara.39

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat penulis tegaskan bahwa

yang dimaksudkan dengan judul tesis ini adalah “metode penafsiran

al-Qur`an dengan menggunakan al-riwâyah dan al-dirâyah yang dilakukan oleh

al-Syaukâny dalam kitabnya Fathul Qadîr, al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah

wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsir.”

E. KAJIAN TERDAHULU YANG RELEVAN

Kajian mengenai biografi al-Syaukâny sebagai seorang penafsir telah

banyak dilakukan orang. Namun dalam persoalan metode penafsirannya,

terutama tentang perpaduan antara al-Riwâyah dan al-Dirâyah, belum ada

penelitian yang penulis temukan. Berikut ini adalah beberapa informasi

tentang karya yang berhubungan dengan penelitian, antara lain :

a. Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukâny, Relevansinya bagi

Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Karya ini menjelaskan

tentang konsep ijtihad al-Syaukâny dalam masalah ushûl fiqh dan

pengaruh hukumnya di Indonesia, khususnya masalah hukum

mu’amalah.

b. “Kehujahan Qaul Shahâby, Kajian terhadap Ushûl Fiqh dan Ijtihad

al-Syaukâny”. Disertasi ini belum dibukukan. Secara khusus, ia

39 A. Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, yang telah ditelaah dan

(35)

membahas tentang apakah ucapan para sahabat bisa dijadikan hujjah

untuk istinbath hukum ataukah tidak.

c. Ahmad Fahmi Arif, “Pemikiran Politik dalam Fathul Qadîr”. Tesis ini

menyatakan tentang konsep syûrâ, keadilan rakyat serta kriteria

pemimpin dalam Fathul Qadîr, tanpa menguraikan manhaj penafsiran

dalam kitab tersebut.

d. M. Syafi’i, “Syarat-syarat ’Illat Menurut al-Syaukâny: Kajian terhadap

Kitab Irsyâd al-Fuhûl; Pemikiran dan Praktik”. Tesis ini menyatakan

tentang posisi ‘illat atau sebab dalam kitab ushul fikih yang ditulis oleh

al-Syaukâny.

e. Al-Sayyid Muhammad ‘Ali Iyâzy memberikan informasi tentang

beberapa karya lain yang mengulas pemikiran al-Syaukâny sebagai

berikut:

1. Al-Imâm al-Syaukâny Mufassirân, karya Dr. Muhammad

al-Ghumarî, diterbitkan di Jeddah, Dâr-al-Syurûq, 1401 H.

2. Al-Imâm al-Syaukâny wa Îrâduhû li al-Qirâ`ât fii Tafsîrihî,

karya Ahmad ‘Abdullâh al-Muqrî, tesis di Universitas Madinah

al-Munawwarah.40

40 Menurut Muhammad 'Ali al-Iyâzî, setidaknya ada dua pengkaji atau sumber

(36)

Karya-karya di atas memiliki fokus kajian yang berbeda dengan apa

yang penulis teliti. Sebagian di antaranya mengkaji persoalan hukum, politik

dan usul fikih.

Berbeda dengan semua karya di atas, penelitian ini memusatkan

perhatiannya kepada metode penafsiran al-Syaukâny dalam kitab Fathul

Qadîr, al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsir,

berikut kemungkinan melepaskan diri dari paradigma al-riwâyah dan

al-dirâyah yang telah lama berlaku.

F. METODOLOGI PENELITIAN

1. Sumber Data

Data yang akan digali terdiri atas dua kategori. Pertama, data pokok,

yaitu yang berkaitan dengan al-Riwâyah dan al-Dirâyah penafsiran

al-Syaukâny dalam kitabnya Fathul Qadîr, al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah

wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsir. Kedua, data pelengkap, yaitu tentang

metode penafsiran, identitas dan biografi al-Syaukâny, serta kondisi sosial

keagamaan dan kemasyarakatan yang melingkungi kehidupannya.

Sumber-sumber data dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua

kategori.

Pertama, sumber data primer; yaitu karya al-Syaukâny sendiri, Fathul

Qadîr: al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr.

Kedua, data sekunder, berupa karya-karya lainnya, baik dari

al-Syaukâny sendiri, tetapi tidak terkait dengan penafsirannya, seperti; Nayl

Authâr Syarh Muntaqâ, Fawâ`id Majmû’ah fî al Ahâdîts

(37)

maupun dari kajian terdahulu yang pernah dilakukan (tentang aspek yang

berbeda dari tokoh yang sama, seperti yang telah dikemukakan pada kajian

pustaka).

Kemudian, berkaitan dengan rumusan kriteria dirâyah dan riwâyah

penafsiran al-Qur`an, sumber-sumbernya adalah buku-buku ’ulûm

al-Qur`ân, seperti; al-Burhân fi ’Ulûm al-Qur`ân, karya Badr al-Dîn Muhammad

bin ’Abdullâh al-Zarkasyy; al-Itqân fi ’Ulûm al-Qur`ân, karya Jalâluddîn ’Abd

ar-Rahman bin Abû Bakr al-Syaukâny; Manâhil al-’Irfân fî ’Ulûm al-Qur`ân,

karya ’Abd al- ’Azim al-Zarqâny, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, karya

al-Dzahaby, dan yang lainnya.

2. Jenis Penelitian dan Kerangka Teoretis

Berdasarkan uraian sebelumnya, penelitian ini bertolak dari adanya

kategorisasi tafsir yang menggabungkan al-Ma`tsûr dan al-Ma’qûl dalam satu

karya tafsir. Salah satu di antaranya adalah karya al-Syaukâny, Fathul Qadîr,

al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsir. Aspek

al-Riwâyah dan al-Rirâyah disebutkan sendiri secara tegas oleh penulisnya

dalam judul kitab tersebut. Maka tesis ini meneliti sejauh mana perpaduan

antara dua metode penafsiran itu dilakukan oleh al-Syaukâny.

Mengingat bahwa yang diteliti dalam tesis ini adalah “hasil kerja”

pemikiran seorang tokoh yang masa hidupnya telah lama berlalu, maka jenis

metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library

research) dengan mencari dan mengumpulkan sumber-sumber kepustakaan.

Data-data penelitian ini sepenuhnya diperoleh dari bahan-bahan

(38)

ilmiah, atau literatur-literatur lain. Sumber data primernya adalah satu kitab

karya al-Syaukâny yaitu Fathul Qadîr, al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa

al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsir. Kitab ini dipilih, selain karena memang metode

penafsiran yang dilakukannya tertuang dalam kitab tersebut. Sedangkan

data-data sekunder akan digali dari sumber-sumber dalam tigat kategori

berikut. Pertama, literatur-literatur tentang al-Syaukâny., terutama yang

mengkaji pemikirannya tentang penafsiran al-Qur`an. Kedua, kajian-kajian

tafsir dan 'ulum al-Qur'an. Ketiga literatur-literatur lain yang relevan, seperti

tentang fiqh, ushul fiqh, metodologi penelitian, sejarah Islam, ilmu bahasa,

ensiklopedi biografis (kutub al-rijâl wa al-thabaqat), dan sebagainya.

Dengan data penelitian yang tersebar di banyak literatur, penelitian ini

menggunakan teknik pengumpulan data dokumenter41 atau teknik elisitasi

dokumen.42 Dengan teknik tersebut, setiap keping informasi akan

diperlakukan sebagai bernilai sama untuk kemudian diklasifikasi, diuji, dan

diperbandingkan satu sama lain.

Kajian yang merupakan penelitian kepustakaan ini lebih bersifat

analisis-argumentatif dalam membuktikan adanya penggabungan corak

penafsiran al-Syaukâny dalam karyanya Fathul Qadîr, al-Jâmi’ baina Fannay

al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr.

Dalam membangun landasan teori, dirumuskan kriteria penerimaan

riwâyah dan dirâyah yang dikemukakan oleh al-Syaukâny dengan

41 Teknik dokumenter adalah teknik pengumpulan data dari sumber-sumber tertulis.

Lihat Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, cet. 12, 2002), hlm. 206.

(39)

menggunakan data-data yang digali dari buku-buku ’Ulûm al-Qur`ân dan

Muqaddimah Tafsir al-Syaukâny sendiri. Yang berhubungan dengan situasi

ketika tafsirnya itu ditulis, dianalisis dengan pendekatan sejarah sosial

keagamaan dan kemasyarakatan, terutama dalam lokasi yang melingkungi

kehidupan al-Syaukâny, yakni Yaman dalam masa pemerintahan Turki

Utsmâni.

G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Untuk memudahkan pembahasan tesis ini, maka penulis

menyusunnya ke dalam lima bab dan beberapa sub bab yang ada di

dalamnya, yang perinciannya sebagai berikut :

Bab I membahas tentang pendahuluan, yang terdiri atas tujuh bagian.

Pertama, latar belakang masalah. Kedua, permasalahan yang di dalamnya

mencakup tiga sub; identifikasi, batasan dan perumusan masalah. Ketiga,

tujuan dan signifikansi penelitian. Keempat, penegasan judul. Kelima, kajian

terdahulu yang relevan. Keenam, metode penelitian yang di dalamnya

mencakup sumber data, jenis penelitian dan kerangka teoritis. Ketujuh atau

terakhir, sistematika pembahasan.

Bab II membahas tentang al-Syaukâny dan karya Fathul Qadîr,

al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, yang terdiri

atas empat bagian. Pertama, biografi al-Syaukâny. Kedua, profil intelektual

al-Syaukâny. Ketiga, karya-karya al-Syaukâny. Keempat atau terakhir, kitab

(40)

metode, sistematika kitab tafsir Fathul Qadîr dan sumber penulisan kitab tafsir

Fathul Qadîr.

Bab III membahas tentang mengenal al-Riwâyah dan al-Dirâyah

dalam tafsir, yang terdiri dari dua bagian besar. Pertama, mengenal

al-Riwâyah, yang mencakup penegertian al-Riwâyah, macam-macam

al-Riwâyah, kelebihan metode tafsir al-Riwâyah dan kelemahan metode tafsir

al-Riwâyah. Kedua, mengenal al-Dirâyah yang mencakup pengertin al-Dirâyah,

pembagian al-Dirâyah, komentar ulama tentang tafsir al-Dirâyah, macam

corak tafsir al-Dirâyah, kelebihan metode tafsir al-Dirâyah dan kelemahan

metode tafsir al-Dirâyah.

Bab IV membahas tentang analisis metode penafsiran al-Syaukâny,

yang berisi dua bagian. Pertama, al-Riwâyah dan al-dirâyah sebagai metode

Penafsiran. Kedua, konvergensi al-Riwâyah dengan al-Dirâyah sebagai

metode kritis.

Bab V membahas tentang penutup yang berisi kesimpulan dan

(41)

MIN 'ILM AL-TAFSÎR

A. Biografi Al-Syaukâny

Al-Syaukâny adalah seorang pemikir Moslem kontemporer abad 18

H1 yang memiliki gelar Abu 'Abdillah. Ia berasal dari kota Yaman sebuah

wilayah yang banyak melahirkan ulama besar dan daerah yang sangat subur

dari lima wilayah yang ada di kota Hijaz.2 Nama lengkapnya Muhammad bin

‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullâh bin al-Hasan ibn Muhammad bin Shalâh

1 Secara garis besar, periodesasi sejarah kemajuan dan kemunduran umat Islam

dapat dibagi menjadi tiga periode : 1) Periode klasik (650-1250 M), merupakan zaman kemajuan. Periode ini dapat dibagi menjadi dua bagian: pertama, fase ekspansi, integrasi, dan puncak kemajuan, terjadi kira-kira pada tahun 650-1000, dan kedua, fase disintegrasi, terjadi kira-kira pada tahun 1000-1250; 2) Periode pertengahan (1250-1800), yang juga dibagi menjadi dua fase: pertama, fase kemunduran (1250-1500), dan kedua, fase tiga kerajaan besar (1500-1800) yang mengalami zaman kemajuan pada tahun 1500-1700 dan masa kemunduran pada tahun 1700-1800; 3) Periode Modern (1800-sekarang) adalah periode kebangkitan umat Islam. Pemikiran Islam pada zaman inilah yang disebut pemikiran modern Islam atau pemikiran modern dalam Islam. Lihat, Team Penulis, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), cet. II, jld 4, hlm. 58. Kemudian periodesasi sejarah umat Islam ini dapat pula dibaca pada Harun Nasutinon, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek,

(Jakarta : Universitas Indonesia, 1985), cet. 5, jld. 1, hlm. 56-88.

2 Hijâz adalah satu dari lima kawasan atau area yang terletak di Jazirah Arab. Empat

(42)

bin ‘Ali bin ‘Abdullâh al-Syaukâny, al-Khaulâny, al-Shan’âny (Abû Abdillâh).3

Demikianlah nama lengkap al-Syaukâny.

Ia dilahirkan pada tengah hari Senin, 28 Dzulqa’dah 1173 H/1759 M

di desa Hijratu Syaukân,4 Yaman Utara,5 dan meninggal di San’a, pada hari

Rabu, 27 Jumadil Akhir 1250 H/1834 M, di Pemakaman Khuza’ah, kota

3 Al-Syaukâny, al-Badru al-Thâli’u bi Mahâsini Man ba’da al-Qarn al-Sâbi’ , (Beirut :

Dâr al-Ma’rifah, t.th,), jld. II, s. 215. Dari beberapa referensi yang penulis temukan, tidak ada perbedaan tentang tanggal lahir dan wafatnya al-Syaukâny. Misalnya, Muhammad ibn Ja’far al-Kattâny, al-Risâlah al-Mustathrafah libayani Mashûr Kutub al-Sunnah al-Musyarrafah

(untuk selanjutnya al-Risâlah al-Mustathrafah), (Beirut : Dâr al-Kutub al-Ilmiya, 1416 H./1995 M.), cet. 1, s. 119. ‘Umar Ridhâ Kahâlah, Mu’jam al-Mu’alifîn; Tarâjim Mushannifi al-Kutub al-‘Arabiyah, (Bairut : Dâr Ihya’ al-Turâs al-‘Araby, t.th.), jld. 11, s. 53. Muhyi al-Dîn ‘Atiyyah dan Shalâh al-Dîn, Dalîl Muallafât al-Hadîts al-Syarîf al-Matbûah al-Qadîmah wa al-Hadîtsah

(untuk selanjutnya Dalîl Muallafât), (Beirut : Dâr Ibn Hazm, 1416 H./1995 M.), cet ke-1, jld. II, s. 725. Abd. al-Rahman 'Utbah, Ma’a al-Maktab al-‘Arabiyah : Dirâsat fi Ummahât al-Mashâdir wa al-Marâji’ al-Muttasilah bi al-Turâs (untuk selanjutnya Ma’a Maktab al-‘Arabiyah), (Beirut : Dâr al-Auza’i, 1406 H./1986 M.), cet ke-3, s. 99. Lihat juga, Ibrahim Ibrahim Hilâl, Qatru al-Waly ‘Alâ Hadits al-Wâly (Kairo : Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, t.th.), s. 15.

4Syaukân adalah nama satu desa yang sangat subur dan ditempati oleh salah satu

suku Khaulan. Antara Syaukân dan dan Shan’â tidak sampai perjalanan satu hari jika ditempuh dengan berjalan kaki. Menurut al-Syaukâny, sesuai dengan riwayat yang bisa dipercaya, Syaukân disebut juga dengan Hijratu Syaukân. Yang pasti, alasan penamaan ini karena desa itu melahirkan tokoh-tokoh besar, ulama, dan sederet pahlawan yang membentengi kota Yaman dari serangan Turki dan negara-negara lain yang ingin menguasai Yaman. Penisbatan nama al-Syaukâny tidaklah sebenarnya karena tempat tinggalnya dan para pendahulunya ada di Adnal Syaukân, antara tempat itu dan dirinya ada gunung besar yang memanjang yang disebut Al-Hijratu, sebagian ulama ada yang mengatakan Hijratu Syaukân. Lihat, Al-Syaukâny, al-Badru al-Thâli’u bi Mahâsini Man ba’da al-Qarn al-Sâbi’, jld. I, s. 481.

5 Yaman adalah salah satu dari jazirah Arab yang paling subur dan banyak kekayaan

(43)

San’a. Sebelum ia lahir, orang tuanya tinggal di kota San’a. Namun, ketika

musim gugur tiba, ia pulang ke Syaukân, yang merupakan kampung asal

mereka, dan pada waktu itulah al-Syaukâny dilahirkan. Tidak lama setelah

itu, ia dibawa ayahnya (‘Ali al-Syaukâny) kembali ke San’a.

Ayahnya, ‘Ali al-Syaukâny,6 adalah ulama yang terkenal di San’a

Yaman. Dia bertahun-tahun dipercaya oleh pemerintahan imâm-imâm

Qâsimiyah, tepatnya pada masa khalifah al-Imâm al-Mahdî al-‘Abbâs bin

Husain di wilayah Khaulân, al-Qâsimiyah adalah sebuah dinasti Zaidiyyah di

Yaman, untuk menjabat sebagai qâdli (hakim).

Al-Syaukâny memulai karier intelektualnya dengan belajar kepada

ayahnya dalam lingkungan yang penuh dengan keluhuran budi dan kesucian

jiwa. ‘Ali al-Syaukâny, yang membimbingnya dalam pelajaran al-Fiqh, ushûl

al-Fiqh dan al-Hadîts. Setelah itu, ia belajar al-Qur’an di bawah asuhan serta

bimbingan beberapa guru dan diselesaikan di hadapan al-Faqih Hasan bin

Abdullâh al-Hablî, lalu ia juga memperdalam kepada para masyâyikh

al-Qur’an di Shan’a.

Kemudian, ia meneruskan pelajarannya dengan memepelajari ilmu

tajwid, dan qira'ah pada beberapa orang guru (masyâyikh) di Shan’a

sehingga ia menguasai bacaan al-Qur’an dengan baik ia sanggup menghafal

6 Nama lengkapnya adalah, ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullâh bin Al-Hasan bin

(44)

berbagai matan dalam berbagai disiplin ilmu, seperti : kitab al-Azhâr7 yang

ditulis oleh Ahmad ibn Yahya ibn Murtadhâ ibn al-Husain al-Mahdî, salah

seorang imâm Zaidiyyah di Yaman. Mukhtashar al-Farâidl yang ditulis oleh

al-'Ushaifirî, Milhat yang ditulis oleh Harîri, al-Kâfiyah al-Syâfiyah yang

ditulis oleh Ibnu al-Hâjib, al-Tahdzib oleh al-Tiftâzânî, al-Talkhish oleh

al-Qazwînî, al-Ghayah oleh Ibnul Imâm, Manzhûmah al-Jazarî fil Qira’ah,

Manzhûmah al-Jazarî fil ‘Arûdh, Âdâb al-Bahts wal Munazharah oleh

al-’Adlud. 8

Selanjutnya al-Syaukâny juga membaca tafsir al-Kasysyaf dan

hasyiyahnya (karya al-Zamakhsyary) bersama dengan Sa’ad dan

disempurnakan bersama dengan al-Hasan bin Ismâ'îl al-Maghriby. Kemudian

ia disamping membaca kitab terebut ia juga banyak mempelajari

kitab-kitab hadis dan syarahnya misalnya : hadis al-Bukhârî dari awal hingga akhir

dengan ‘Ali bin Ibrahim bin Ahmad bin ‘Amir, sementara mendengarkan

7 Kitab al-Azhâr inilah yang paling banyak ditekuni oleh al-Syaukâny dibandingkan

dengan kitab-kitab yang lain, sesuai dengan pengakuannya dia membaca kitab tersebut selama 13 tahun dengan beberapa guru, diataranya dengan ayahandanya sendiri, ‘Abdur Rahman Qâsim al-Madany, Ahmad bin Amir al-Khada’i, Ahmad bin Muhammad bin Harazy, dan al-Syaukâny terus mengulang-ulang membaca kitab tersebut sehingga ia menjadi mahir tentang fikih Zaidiyyah. Namun kemahiranya itu lalu menyebabkan ia harus berijtihad dengan menulis subuah karya yang berjudul “Al-Sâil Jarar Mutadafaq ‘la Hadâ’iq al-Azhâr” yang mengkritik secara brilian kitab al-Azhâr tersebut. Ini menjadi bukti bahwa ia tidak senang dengan taqlid kepada siapa saja. Lihat, Al-Syaukâny, al-Badru al-Thâli’u bi Mahâsini Man ba’da al-Qarn al-Sâbi’, jld. I, s. 215; lihat juga komentar Ibrahim Ibrahim Hilâl dalam Qatru al-Wâli ‘alâ Hadîts al-Wâli, (Jumhuriyah : Dâr al-Kutub al-Hadisiyyah, t.th.), s. 47

8 Lihat,Al-Syaukâny, al-Badru al-Thâli’u bi Mahâsini Man ba’da al-Qarn al-Sâbi’,,

jld. I, s. 215. Dalam kitab tersebut, al-Saukâny juga menyebutkan bahwa dirinya banyak mempelajari kitab-kitab yang cukup berfariativ misalnya, kitab adab, sejarah, dan kitab-kitab

Referensi

Dokumen terkait

Banyak terjadi kesalahan dalam penafsiran Al- Qur’an dengan metode bi al- ra’yi. Mereka tidak mengindahkan madzhab sahabat Nabi dan tabi’in dan menafsirkan

Pendapat Ulama Tafsir yang akan ditampilkan penulis adalah terdiri dari Tafsir Klasik dan Kontenporer, diantaranya Tafsir Klasik pendapat Ibnu Kastir dengan

Pada dasarnya, Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbâh juga tidak berbeda pendapat ketika menjelaskan tentang larangan Allah untuk membunuh orang lain tanpa sebab yang

Berdasarkan bentuk-bentuk akomodasi budaya yang dilakukan di dalam Tafsir al-Ibrīz dan Tafsir al-Huda tersebut dapat dikatakan bahwa kedua kitab tafsir al-Qur’an

Ia tidak memaparkan tafsir seluruh ayat al-Qur’an, akan tetapi hanya menuliskan ayat-ayat yang menjadi dasar hukum, atau yang menjadi pendukung pendapat dalam

Dalam tafsir Al-Munir oleh AGH Daud Ismail ini menganut tafsir bi al-ma’tsur, hal ini bisa di lihat dari ungkapannya yang mengatakan “Naiyya Akorangnge Saisannamuto

Para ulama tafsir, dalam hal ini Ibnu Jarȋr, Ibnu Katsȋr dan Wahbah Zuhaili menafsirkan ayat-ayat Nashārā hampir dengan nada yang sama, bahwa mereka ada yang baik, ada yang tidak

Sumber Bahasa Arab Apabila para sahabat ra tidak menemukan tafsir dalam ayat Al- Qur’an dan tidak ada juga penjelasan dari Rasulullah S.A.W., mereka merujuk tafsir alquran kepada