• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWENANGAN BPKP DALAM MENENTUKAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT KORUPSI DI INSTANSI PEMERITAHAN DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEWENANGAN BPKP DALAM MENENTUKAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT KORUPSI DI INSTANSI PEMERITAHAN DAERAH"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KEWENANGAN BPKP DALAM MENENTUKAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT KORUPSI DI INSTANSI

PEMERITAHAN DAERAH

(Jurnal Ilmiah)

Oleh

MERY FARIDA

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)
(3)

ABSTRAK

KEWENANGAN BPKP DALAM MENENTUKAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT KORUPSI DI INSTANSI PEMERITAHAN DAERAH

Oleh

Mery Farida, Prof. Dr. Yuswanto, S.H.,M.H, Nurmayani, S.H.,M.H. Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung

Jalan Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung, 35145 Email : meryfarida95@gmail.com

Kerugian negara akibat korupsi di instansi pemerintahan daerah terus meningkat, seiring dengan bertambahnya transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, oleh karena itu dibutuhkan suatu lembaga untuk menghitung dan menetapkan kerugian keuangan negara di daerah. Secara konstitusional BPK adalah satu-satunya lembaga yang memiliki kewenanga tersebut, tetapi beberapa tahun terakhir Aparat Penegak Hukum berdasarkan Nota Kesepahaman Antara Kejaksaan RI, Kepolisian Negara RI, dan BPKP Nomor: Kep-109/A/JA/09/2007; No. Pol.: B/2718/ Ix/2007; dan Nomor: Kep-1093/K/D6/2007 tentang Kerjasama Dalam Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara Yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi meminta bantuan BPKP untuk melakukan penentuan kerugian negara, sehingga hal ini mejadi polemik di masyarakat.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kewenangan BPKP dalam menentukan kerugian negara Akibat Korupsi di Instansi Pemerintah Daerah? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, jenis data yaitu data Sekunder dan Analisis data yang digunakan yaitu Analisis deskriptif kualitatif. .

BPKP berwenangan melakukan penghitungan kerugian negara yang didasarkan pada Putusan MK No. 31/PUU-X/2012 dan Pasal 3 huruf e Undang-Undang No, 192 Tahun 2014 Tentang Badan Pemeriksaa Keuangan dan pembangunan yang menyatakan penghitungan kerugian negara BPKP melalui Audit Investigasi, tetapi berdasarkan Peraturan Kepala BPKP Nomor: Per-1314/K/D6/2012 tentang Pedoman Penugasan Bidang Investigasi sebelum melakukan penghitungan kerugian negara BKPK harus mendapat permintaan terlebih dahulu oleh APH

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun, menyatakan bahwa BPKP hanya memilki kewenangan Menghitung Kerugian Negara dan yang memiliki kewenangan menghitung kerugian negara adalah hakim dan BPK. Selain itu yang menjadi alasan BPKP tidak berwenang adalah BPKP hanya menerima mandat dari APH, sehingga Laporan BPKP bukan merupakan KTUN dan bersifat informatif.

(4)

THE AUTHORITY OF THE FINANCIAL AND DEVELOPMENT SUPERVISORY BOARD IN DETERMINING STATE LOSSES DUE TO

CORRUPTION IN LOCAL GOVERMENT INSTITUTION

By

Mery Farida, Prof. Dr. Yuswanto, S.H.,M.H, Nurmayani, S.H.,M.H Legal Section State Administration Faculty of Law University of Lampung.

Street Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung, 35145 Email : meryfarida95@gmail.com

State losses due to corruption in local government agencies continue to increase, along with increased transfer of funds from Central government to local governments, therefore it takes an institution to calculate and determine the financial losses of the state in the region. Constitutionally Financial Audit Board is the only institution that has the authority, but the last few years Law Enforcement Apparatus based on a memorandum of understanding between the Attorney General of the Republic of Indonesia, the Indonesian National Police, and The Financial and Development Supervisory Board number: Kep-109/A/JA/09/2007; No. Pol.: B/2718/ Ix/2007; and number: Kep-1093 / K / D6 / 2007 concerning Cooperation in the Handling of Cases of Irregularities in State Financial Management Indicated by Corruption, asks BPKP's assistance to determine the state's loss, so that this becomes a polemic in the community.

The problem in this research is how is the authority of The Financial and Development Supervisory Board in determining state losses due to Corruption in Local Government Institution?

This study uses the normative juridical approach, the type of data is secondary data and data analysis used is descriptive qualitative analysis.

BPKP has the authority to calculate state losses based on Decision of the Constitutional Court No. 31 / PUU-X / 2012 and affirmed in Article 3 letter e Act no. 192 Year 2014 About the Finance and Development Audit Board which states the calculation of state losses The Financial and Development Supervisory Board through Investigation Audit, but based on Regulation of Head of The Financial and Development Supervisory Board Number: Per-1314 / K / D6 / 2012 concerning Guidelines for Assignment of Investigation Field before calculating the loss of State The Financial and Development Supervisory Board shall be requested in advance by Law Enforcement Apparatus

(5)

Enforcement Apparatus, so the The Financial and Development Supervisory Board Report is not a state administrative decision and is informative.

(6)

I. PENDAHULUAN

Tujuan Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam alinea ke-IV UUD 1945 yaitu “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social” dan untuk mencapai tujuan tersebut maka akan selalu berkaitan dengan pengelolan keuangan Negara sebagai bentuk pembiayaan terhadap penyelenggara -an pemerintah-an Negara, ak-an tetapi dalam pengelolaan keuangan daerah baik pada tingkat pusat maupun daerah terdapat kerugian keuangan negara maupun potensi kerugian negara.

Menurut Thedorus M. Tuanakotta terdapat lima sumber yang dapat menimbulkan keuangan negara yaitu:1 a. Pengadaan barang dan jasa b. Pelepasan Asset

c. Pemanfaatan Aset d. Penempatan Aset e. Kredit Macet

sumber kerugian keuangan negara tersebut, memungkin kan terjadinya indikasi tindak pinada, oleh karena itu pengelolaan terhadap keuangan Negara harus dilakukan pengawasan.

Pengawasan keuangan Negara2 adalah kegiatan untuk menjamin agar pengumpulan penerimaan-penerimaan Negara, dan penyaluran pengeluaran-pengeluaran Negara tidak menyimpang dari rencana yang telah digariskan didalam anggaran. Bentuk pengawasan dalam rangka pengelolaan dan tanggungjawab

1 Chandra Ayu Astuti, Anis Chariri, Penentuan Kerugian Negara yang dilakukan Oleh BPKP dalam Tindak Pidana Korupsi, Vol. 4, No. 3, tahun 2015, hlm 3

keuangan negara dalam hal untuk menghitung kerugian keuangan negara dapat berupa:

a. Pengawasan Internal

1) Dilakukan oleh atasan terhadap bawahannya dalam suatu lingkungan kerja; 2) Inspektorat Jendral,

Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat kabupaten kota; 3) Badan Pengawas Keuangan

dan Pembanguan;

b. Pengawasan Eksternal oleh Badan Pemeriksa Keuangan keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan hasil penghitungan ICW (Indonesia Corruption Watch) ditemukan jumlah kasus korupsi yang menimbulkan kerugian negara terbanyak berada dilevel pemerintahan Kabupaten/Kota. Temuan ICW menunjukan sepanjang tahun 2016 ada 219 kasus tindak pidana korupsi terjadi di Pemerintahan Kabupaten denga total kerugian mencapai Rp. 478 Miliar. Sedangkan Pemerintah Kota beradaa di urutan kedua terbesar yang tersangku kasus korupsi pada tahun yang sama, yakni total 73 kasus dan kerugian Negara mencapai Rp. 247 Miliar rupiah.

Salah satu permasalahan yang terjadi mengenai pengawasan terhadap keuangan negara adalah lembaga Negara manakah yang berhak menentukan adanya suatu kerugian negara. khususnya antara BPK dan BPKP sebab perbedaan hasil penghitungan kerugian Negara yang

2 Yuswanto, Hukum Keuangan

(7)

dilakukan oleh BPK dan BPKP di tingkat pemerintah daerah

BPKP adalah lembaga pemerintah non departemen (LPND) yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. berdasarkan Peraturan Presiden No. 192 Tahun 2014 Tentang Badan Pemeriksaan Keuangan Dan Pembangunan yang atur dalam Pasal 2 menyatakan: “BPKP mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/ daerah dan pembangunan nasional.”

Untuk Menjalankan tugasnya berdasarkan Pasal 54 Keppres No. 103 Tahun 2001, BPKP memiliki kewenangan yaitu:

1) Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya; 2) Perumusan kebijakan di

bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro; 3) Penetapan sistem informasi di

bidangnya;

4) Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi di bidangnya;

5) Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan di bidangnya;

6) Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu: a. Memasuki semua kantor,

bengkel gudang, bangunan, tempat-tempat penimbunan, sebagainya;

b. Meneliti semua catatan, data elektronik, dokumen, buku

perhitungan, suratsurat bukti, notulen rapat penitia dan sejenisnya, hasil survei laporanlaporan pengelolaan, dan surat-surat lainnya yang diperlukan dalam pengawasan; c. Pengawasan kas, surat-surat berharga, gudang persediaan dan lain-lain;

d. Meminta keterangan tentang tindak lanjut hasil pengawasan, baik hasil pengawasan sendiri maupun hasil pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan, dan lembaga pengawasan lainnya.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUUX/2012 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan Dapat membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK. Maka berdasarkan hal ini BPKP memiliki kewenangan untuk melakukan audit terhadap keuangan Negara.

(8)

Pol.: B/2718/ Ix/2007; dan Nomor: Kep-1093/K/D6/2007 tentang Kerja- sama Dalam Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara Yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan “Dalam hal dari hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui adanya penyimpangan yang berindikasi tindak pidana korupsi, maka BPKP melakukan audit investigatif dan melaporkan hasilnya dalam rapat koordinasi maupun kepada Instansi penyidik untuk ditindaklanjuti”.

Akan tetapi, secara yuridis Kewenagan BPK dalam menentukan kerugian Negara secara Konstitusional diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”. Kemudian di pertegas dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang menyatakan “BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”. Sedangkan BPKP merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan Keppres dan kewenangannya diatur melalui Keppres Keppres No. 103 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (PPSPIP). Sehingga BPK merupakan lembaga yang lebih berwenang apabila terjadi tabrakan kewenangan

antara keduanya. Hal ini merujuk pada teori stuffenbau dan asas lex superior derogate lege inferior.

Atas dasar Permasalahan yang berkaitan dengan kerugian negara ini, maka pada akhir tahun 2016 dikeluarlah Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Dalam Angka 6 SEMA tersebut dijelaskan Bahwa “Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara”

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menulis judul skripsi “Kewenangan BPKP Dalam Menentukan Kerugian Negara Akibat Korupsi Di Instansi Pemerintahan Daerah”

Berdasarkan latar belakang yang telah uraikan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bagaimanakah kewenangan BPKP dalam menentukan kerugian Negara akibat korupsi di Instansi

(9)

II. METODE PENELITIAN

2.1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: Pendekatan secara yuridis normatif3, Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan cara menelaah kaidah-kaidah, norma, norma, aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Pendeketan tersebut dimaksud untuk mengumpulkan berbagai macam peraturan perundang—undangan, teori-teori dan literatur-literatur yang erat hubungan dengan Kewenangan BPKP Dalam Menentukan Kerugian Negara Akibat Korupsi Di Instansi Pemeritahan Daerah

2.2. Data Dan Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekuder adalah data yang bersumber dari bahan-bahan pustaka, yamg antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya (library research). Data sekuder yan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari4 :

1) Bahan Hukum Primer

Bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer. Terdiri dari buku-buku, literatur dan hasil penelitian yang

3 Soerjono Soekanto, Pengantar

Penelitian Hukum, 1983, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 27

berkaitan dengan Kewenangan BPKP Dalam Menentukan Kerugian Negara Akibat Korupsi Di Instansi Pemeritahan Daerah 3) Bahan Hukum Tersier

Bahan-bahan penunjang lain yang ada relevansinya dengan pokok-pokok permasalahan, memberikan informasi, petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, ensklopedia, bulletin, majalah, artikel-artikel di internet dan bahan-bahan lainnya yang sifatnya seperti karya ilmiah berkaitan dengan Kewenangan BPKP Dalam Menentukan Kerugian Negara Akibat Korupsi Di Instansi Pemeritahan Daerah

2.3 Prosedur Pengumpulan Dan Pengolahan Data

1) Prosedur Pengumpulan Data Pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah prosedur studi pustaka. Studi Kepustakaan adalah Pengkajian tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber. Pengkajian tersebut dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur, perundangundangan, dokumen, dan pendapat para sarjana dan ahli yang berkaitan dengan Kewenangan BPKP Dalam Menentukan Kerugian Negara Akibat Korupsi Di Instansi Pemeritahan Daerah

2) Prosedur Pengolahan Data

pengolahan data yaitu kegiatan merapikan data dari hasil

(10)

pengumpulan data sehingga siap pakai untuk dianalisis.5 Dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai dengan masalah; b. Klasifikasi data, yaitu menempatkan data sesuai dengan kelompok-kelompok yang telah ditentukan dalam bagian-bagian pada pokok bahasan yang akan dibahas, sehingga diperoleh data yang objektif dan sistematis sesuai dengan penelitian yang dilakukan.

c. Rekontuksi data (reconstruction), yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, dan logis sehingga mudah dipahami dan diinterprestasikan untuk menjawab pokok bahasan yang diteliti.

d. Sistematis data (systematizing), yaitu penyusunan data berdasarkan urutan data yang telah ditentukan dan sesuai dengan ruang lingkup pokok bahasan secara sistemastis dengan maksud untuk memudahkan dalam menganalisis data.

2.3. Analisis Data

Data yang telah diolah kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu Data yang telah diolah kemudian dianalisis dengan menggunakan

5 Bambang Waluyo, Penelitian

Hukum dalam Praktek, 2008, Jakarta:Sinar Grafika, hlm. 72

6 Direktorat Penyusun APBN, Direktorat Jedral Anggran, Informasi APBN

analisis deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif adalah analisis yang diwujudkan dengan cara menggambarkan kenyataan atau keadaan-keadaan atas suatu objek dalam bentuk uraian kalimat berdasarkan keterangan-keterangan dari pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan penelitian ini. Hasil analisis tersebut kemudian di interprestasikan guna memberikan gambaran yang jelas terhadap permasalahan yang jelas terhadap permasalahan yang diajukan.

III. PEMBAHASAN

Penentuan Kerugian Negara Oleh BPKP Dalam Tindak Pidana Korupsi di Pemerintahan Daerah

3.1 Penghitungan Kerugian Negara Oleh BPKP

Jumlah dana untuk seluruh daerah pada tahun 2016 mencapai Rp. 776, 3 Triliun6, akan tetapi semakin besarnya dana untuk pemerintah daerah, maka semakin meningkat pula kerugian negara. Berdasarkan laporan hasil pemeriksan BPK pada tahun 2016 menemukan kerugian negara sebanyak 2.525 permasalahan senilai Rp1,13 triliun dan potensi kerugian negara sebanyak 413 senilai Rp419,60 miliar

Kasus tindak pidana korupsi merupakan penyebab kerugian negara terbesar di Indonesia yang sangat berpengaruh kepada turunnya kualitas kehidupan masyarakat maupun

(11)

mengganggu stabilitas ekonomi7 . Tindak pidana korupsi banyak dilakukan di pemerintah daerah dan terbesar terjadi pada pemerintahan kabupaten/kota. yang didasarkan pada temuan ICW menunjukan sepanjang tahun 2016 ada 219 kasus tindak pidana korupsi terjadi di Pemerintahan Kabupaten denga total kerugian mencapai Rp. 478 Miliar. Sedangkan Pemerintah Kota beradaa di urutan kedua terbesar yang tersangku kasus korupsi pada tahun yang sama, yakni total 73 kasus dan kerugian Negara mencapai Rp. 247 Miliar rupiah.

Kerugian negara akibat dari tindak pidana korupsi harus dibuktikan secara nyata adanya kerugian negara. Oleh karena itu untuk menentukan ada tidaknya kerugian negara harus dilakukan penghitungan kerugian negara oleh institusi resmi yang memiliki keahlian dalam hal menghitung kerugian negara yang dalam hal ini adalah lembaga pengawas keuangan negara yaitu BPK selaku pengawas keuangan negara ekstern dan BPKP selaku pengawan keuangan negara Intern. 8

Secara konstitusional lembaga yang berwenang untuk melakukan penghitungan kerugian negara adalah BPK sebagaimana tercantum dalam Pasal 23E UUD 1945, yang kemudian kewenangannya dipertegas dalama Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksaan Keuangan,

Berdasarkan penjelasan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan

7 Emerson Yuntho, dkk, Penerapan Unsur Merugikan Negara Daam Kasus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Selatan: Indonesia Corruption Watch, hlm 20

Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPK diberi kewenangan untuk melakukan 3 (tiga) jenis pemeriksaan, yakni:

a. Pemeriksaan keuangan, adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah.

b. Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah. Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan BPK untuk melaksanakan pemeriksaan kinerja pengelolaan keuangan negara.

c. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif.

Audit dengan tujuan tertentu BPK berkaitan dengan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan investigasi. Pemeriksaan keuangan adalah audit dengan tujuan tertentu yang dimaksudkan untuk menyatakan

8 Agung Suseno, Eksistensi BPKP Dalam

(12)

pendapat mengenai nilai kerugian keuangan negara yang timbul dari suatu kasus penyimpangan dan digunakan untuk mendukung tindakan litigasi, sedangkan pemeriksaan investigasi adalah proses mencari, menemukan, dan mengumpulkan bukti secara sistematis yang bertujuan mengungkapkan terjadi atau tidaknya suatu perbuatan dan pelakunya guna dilakukan tindakan hukum selanjutnya.

Hasil dari pemeriksaan keuangan audit investigasi adalah kerugian negara, potensi kerugian negara dan kekurangan penerimaan. Apabila hasil pemeriksaan berupa potensi kerugian negara ditemukan adanya indikasi tindak pidana korupsi maka berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan IHPS I Tahun 2017 terdapat beberapa kasus tidak dapat di tindaklanjuti oleh BPK dikarenakan banyaknya permintaan penghitungan kerugian negara kepada BPK, oleh karena itu APH selain meminta penghitungan kerugian negara/kerugian daerah kepada BPK, APH meminta penghitungan kerugian negara pada pengawas intern pemerintah yaitu Badan Pengawas Keuangan Dan Pembangunan (BPKP), dikarenakan penghitungan kerugian negara merupakan hal yang mendesak dalam rangka pemberantasan korupsi dan terdapat beberapa permintaan APH yang belum sempat di tindaklanjuti oleh BPK

maka APH meminta penghitungan kerugian negara kepada BPKP yang berkompeten dalam melakukan penghitungan kerugian negara.

Ketentuan mengenai penghitungan kerugian negara meskipun dalam kewenangan BPKP tidak dijelaskan secara eksplisit tetapi berdasarkan Pasal 3 huruf e tentang fungsi BPKP dalam Peraturan Presiden No. 192 Tahun 2014 Tentang Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan, BPKP memiliki fungsi menghitung kerugian negara yang dinyatakan sebagai berikut:

“pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program dan/atau kegiatan yang dapat menghambat kelancaran pembangunan, audit atas penyesuaian harga, audit klaim, audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah, pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi;”

Fungsi BPKP dalam menghitung kerugian keuangan negara pada pemerintah daerah diuraikan dalam Pasal 385 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah sebagai berikut:

1) Masyarakat dapat menyampaikan pengaduan atas dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di instansi Daerah kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah dan/atau aparat penegak hukum. 2) Aparat Pengawasan Internal

(13)

3) Aparat penegak hukum melakukan pemeriksaan atas pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah terlebih dahulu berkoodinasi dengan Aparat Pengawas Internal Pemerintah atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membidangi pengawasan.

4) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat administratif, proses lebih lanjut diserahkan kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah. 5) Jika berdasarkan hasil

pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat pidana, proses lebih lanjut diserahkan kepada aparat penegak hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kewenangan BPKP dalam menghitung kerugian negara, dipertegas dengan Putusan MK Nomor: 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 Menurut MK, dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK , melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan Dapat membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK.

Kerjasama antara BPKP dan APH dituangkan dalam Nota Kesepahaman Antara Kejaksaan RI, Kepolisian Negara RI, dan BPKP Nomor: Kep-109/A/JA/09/2007; No.

Pol.: B/2718/ Ix/2007; dan Nomor: Kep-1093/K/D6/2007 tentang Kerjasama Dalam Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara Yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) nota kesepahaman tersebut menyatakan bahwa “Dalam hal dari hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui adanya penyimpangan yang berindikasi tindak pidana korupsi, maka BPKP melakukan audit investigatif dan melaporkan hasilnya dalam rapat koordinasi maupun kepada Instansi penyidik untuk ditindaklanjuti”.

BPKP dalam melaksanakan audit investigasi untuk menghitung kerugian negara harus di dasarkan pada permintaan tertulis dari instasi yang membutuhkan audit investigasi. Permintaan audit investigasi berdasarkan Peraturan Kepala BPKP Nomor: Per-1314/K/D6/2012 tentang Pedoman Penugasan Bidang Investigasi dapat bersumber dari : a. Pengembangan Hasil Audit

Operasional

b. Pengaduan Masyarakat

c. Permintaan Instansi Penyidik/Penetapan Pengadilan d. Permintaan Objek Penugasan

(14)

kerugian negara merupakan kewenangan yang diberikan berdasarkan mandat, dikarenakan dalam melaksanakan audit Investigasi BPKP harus mendapatkan permintaan terlebih dahulu dari APH atau instasni lain yang berwenang sehingga BPKP tidak melanggar kententuan dalam konstitusi.

3.2 Kewenangan BPKP Dalam Menentukan Kerugian Negara Akibat Korupsi di Pemerintahan Daerah

Penentuan kerugian negara hanya dapat dilakukan oleh lembaga yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan. BPKP merupakan salah satu lembaga yang berwenang melakukan audit investigasi untuk menghitung kerugian negara, kemudian yang menjadi perdebatan adalah apakah hasil penghitungan BPKP tersebut dapat menjadi penetapan kerugian keuangan negara.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang BPKP, BPKP merupakan suatu lembaga yang bertanggung jawab kepada Presiden dan mengenai pengawasan keuangan negara Presiden telah menugaskan BPKP untuk melakukan audit dengan tujuan tertentu melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2014 tentang Peningkatan Kualitas Sistem Pengendalian Intern Dan Keandalan Penyelenggaraan Fungsi Pengawasan Intern Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Inpres tersebut diterbitkan dalam rangka mempercepat penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), yang menyatakan sebagai berikut:

“Menugaskan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan pengawasan dalam rangka meningkatkan penerimaan negara/daerah serta efisiensi dan efektivitas anggaran pengeluaran negara/ daerah, meliputi:

a. audit dan evaluasi terhadap pengelolaan penerimaan pajak, bea dan cukai;

b. audit dan evaluasi terhadap pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Instansi Pemerintah, Badan Hukum lain, dan Wajib Bayar;

c. audit dan evaluasi terhadap pengelolaan Pendapatan Asli Daerah;

d. audit dan evaluasi terhadap pemanfaatan aset negara/ daerah; e. audit dan evaluasi terhadap program/kegiatan strategis di bidang kemaritiman, ketahanan energi, ketahanan pangan, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan;

f. audit dan evaluasi terhadap pembiayaan pembangunan nasional/daerah;

g. evaluasi terhadap penerapan sistem pengendalian intern dan sistem pengendalian kecurangan yang dapat mencegah, mendeteksi, dan menangkal korupsi;

(15)

Berdasarkan Instruksi presiden ini, BPKP hanya diberikan tugas untuk melakukan penghitungan kerugian negara, begitu pula dengan peraturan lainnya hanya menegaskan mengenai kewenangan BPKP dalam menghitung kerugian negara bukan menentukan kerugian keuangan negara baik pusat maupun daerah.

Audit Investigasi dalam hal menghitung kerugian negara, sebagaimana dijelaskan sebelumnya harus berdasarkan pada permintaan APH. Sehingga sumber kewenagan BPKP dalam menghitung kerugian negara adalah mandat dari APH. Maka Laporan BPKP bersifat informatif dan bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara seperti halnya penentuan kerugian negara oleh BPK. Berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 75 PK/TUN/2015 menyatakan bahwa laporan hasil audit investigatif BKPK bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.

Laporan BPKP bukan merupakan KTUN dikarenakan tidak terpenuhinyan unsur bersifat individual, final dan menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum.

Unsur bersifat Individual tidak terpenuhi karena Laporan Hasi Audit Investigasi oleh Deputi BPKP Bidang Investigasi merupakan permintaan penyidik yang dalam hal penghitungan kerugian keuangan negara tanpa memberikan rekomendasi kepada seseorang dan/atau pejabat untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, sehingga Lapaoran Audit Investigasi BPKP tidak memenuhi unsur

9 Rita Novita Sari, Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Oleh BPKP Sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (Analisis

individual. Sedangkan tidak terpenuhinya unsur final dikarenakan Laporan Hasi Audit Investigasi BPKP hanya bersifat informatif dan belum bersifat final sebab memuat hasil penghitungan kerugian keuangan negara yang dikeluarkan oleh BPKP masih memerlukan tindak lanjut dari APH selaku instansi yang meminta BPKP untuk melakukan audit investigasi dalam hal penghitungan kerugian negara kemudian unsur Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum tidak terpenuhi dikarena putusan tersebut tidak bersifat final sehingga tidak memiliki akibat hukum.9

Menurut keputusan mahkamah agung tersebut laporan kerugian keuangan negara BPKP dalam hal ini merupakan keterangan ahli untuk menghitung kerugian negara yang dituangkan dalam bentuk laporan sehingga Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli yang dalam hal ini adalah BPKP yaitu mempunyai nilai kekuatan pembuktian "bebas" atau "vrij bewij skracht". Di dalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempuma dan menentukan. Terserah pada penilaian hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud. Akan tetapi, Hakim dalam mempergunakan wewenang kebebasan dalam penilaian pembuktian, harus benar-benar bertanggung jawab atas landasan moral demi terwujudnya kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum.

(16)

Maka dengan demikian hanya satu lembaga yang dapat menentukan kerugian negara yaitu BPK sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 E ayat (1) UUD 1945, yang kemudia di pertegas dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 yang menyatakan BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

Akan tetapi, karena masih banyaknya pertentangan mengenai kewenangan BPKP dan BPK ini maka Ketentuan mengenai penentuan kerugian keuangan negara ini di pertegas dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Dalam Angka 6 SEMA tersebut dijelaskan Bahwa :

“Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara.”

Dalam SEMA ini dijelaskan bahwa yang memiliki kewenangan menentukan kerugian negara hanya BPK, sedangkan BPKP hanya memiliki kewenangan untuk menghitung kerugian keuangan negara. Namun dalam keadaan tertentu penentuan kerugian keuangan negara tetap berada di tangan hakim.

(17)

Maka berdasarkan uraian diatas, dapatlah di ketahuin bahwa BPKP tidak berwenang menentukan kerugian negara dan yang memiliki kewenangan secara yuridis adalah BPK, akan tetapi apabila dikemudian hari terjadi pertentangan mengenai penentuan kerugian negara dilakukan oleh hakim, dan apabila hakim menggunakan hasil audit BPKP di bandingkan BPK dapatlah dikatakan bahwa hasil audit BPKP adalah second analisis yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan kerugian negara.

IV. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan:

BPKP berwenang melakukan penghitungan kerugian keuangan negara melalui Audit Investigasi, hal ini didasarkan pada Keputusan Presidenn No. 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, Peraturan Presiden No. 192 Tahun 2014 Tentang Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan, Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2014 tentang Peningkatan Kualitas Sistem Pengendalian Intern Dan Keandalan Penyelenggaraan Fungsi Pengawasan Intern Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat, dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Dearah. Kemudian dipertegas dengan Putusan MK Nomor: 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 Menurut MK, akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah

bahwa Penghitungan Kerugian Keuangan Negara harus didasarkan terlebih dahulu oleh permintaan penghitungan oleh instansi yang berwenang salah satunya APH sebagaimana tercantum dalam Peraturan Kepala BPKP Nomor: Per-1314/K/D6/2012 tentang Pedoman Penugasan Bidang Investigasi.

(18)

dapat dijadikan second analisis yang tidak mengikat hakim.

4.2 Saran

Banyaknya permasalahan mengenai kewenangan BPKP maupun BPK dalam menentukan kerugian negara, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum lembaga mana yang berwenang menentukan kerugian negara. Maka dari itu penulis mengharapkan adanya revisi terhadap SEMA No. 4 Tahun 2016 untuk lebih menekankan lembaga yang bewenang menentukan kerugian negara dan antara BPK dan BPKP lebih meningkatkan kerjasama dalam hal kerugian negara, karena kan apabila dilihat dari perannya masing-masing jika kedua lembaga ini mampu berkerjasama maka akan menciptakan pengawasan keuangan negara yang sangat baik.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Penyusun APBN. Direktorat Jedral Anggran,

Informasi APBN 2017, APBN Yang Lebih Kredibel dan berkualitas ditengah ketidakpastian global,

Kementrian Keuagang Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar

Penelitian Hukum. Rineka Cipta: Jakarta

Waluyo, Bambang. 2008. Penelitian Hukum dalam Praktek. Sinar Grafika: Jakarta

Yuntho, emerson, dkk. 2014. Penerapan

Unsur Merugikan Negara

Daam Kasus Tindak Pidana Korupsi. Indonesia Corruption Watch: Jakarta Selatan

Yuswanto. 2014. Hukum Keuangan Negara. Justice Publisher: Bandar Lampung

Sari, Rita Novita. Penghitungan

Kerugian Keuangan

Negara Oleh BPKP

Sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (Analisis

Putusan Mahkamah

Agung Nomor 75

PK/TUN/2015), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Lampung, 2016

Agung Suseno. 2010. Eksistensi

BPKP Dalam

Pengawasan Keuangan Negara. Vol. 17, no. 1

Chandra Ayu Astuti, Anis Chariri. 2015. Penentuan Kerugian Negara yang dilakukan Oleh BPKP

dalam Tindak Pidana

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan telah dilaksanakannya evaluasi terhadap dokumen penawaran yang masuk pada paket pekerjaan Peningkatan Jalan Boulevard, Pokja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Domain Pembelajaran sepanjang hayat merupakan satu proses untuk mendapatkan pengetahuan, kemahiran dan kompetensi sama ada secara formal atau tidak formal

Format yang dapat digunakan, yaitu untuk audio adalah format MP3.Kemudian untuk sistem operasi yang digunakan pada umumnya dalam lingkungan sistem operasi berbasis Windows dengan

Penggunaan pupuk yang mengandung bahan amelioran dengan bahan aktif kation polyvalen seperti pugam berpotensi menekan laju emisi gas rumah kaca dari lahan gambut yang dikelola

Karena nilai EVA kurang dari nol itu berarti Bank Muamalat Indonesia pada periode 2008-2010 tidak mampu memberikan nilai tambah ekonomi pada perusahaan karena total

“Setelah anak lancar membaca Al-Quran maka belajar Al-Quran selanjutnya dengan cara membaca basmalah,ta’auz, kemudianmembaca Al- Quran bergiliran satu-satu terlebih

Setelah berlalu masa pengumuman kehendak nikah, maka akad nikah boleh dilangsungkan dan harus di bawah pengawasan PPN. kemudian pernikahan tersebut dicatat dalam lembar

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA antara siswa yang belajar dengan menggunakan model