• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Faktor Penularan dengan Kasus Demam Berdarah Dengue (Analisis Lanjut Data Riskesdas 2007 di Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hubungan Antara Faktor Penularan dengan Kasus Demam Berdarah Dengue (Analisis Lanjut Data Riskesdas 2007 di Jawa Barat)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Antara Faktor Penularan dengan Kasus

Demam Berdarah Dengue

(Analisis Lanjut Data Riskesdas 2007 di Jawa Barat)

Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) belum berhasil menurunkan jumlah kasus secara bermakna meskipun angka kematian bisa ditekan Di Jawa Barat. Faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD belum banyak diketahui sehingga pemberantasan yang dilakukan masih berdasarkan pada kasus. Penelitian ini bertujuan memperoleh informasi tentang variabel yang berhubungan dengan kejadian DBD dengan melakukan analisis lanjut data hasil Riskesdas 2007 di Kota Cimahi, Kota Bandung, Kota Sukabumi, Kabupaten Cirebon, Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bandung dan Kota Bekasi sehingga keseluruhan ada 10 kabupaten/kota.

Analisis bivariat dan multivariat dilakukan pada variabel independent yaitu jumlah penghuni rumah, kemudahan air sepanjang tahun, keberadaan tandon air terbuka, status gizi, kasus campak, dan kasus TB paru dihubungkan dengan variabel dependent yaitu kasus DBD.

Jumlah sampel yang dianalisis adalah 29.377 orang terdiri dari 48,58% laki-laki dan 51,42% perempuan, paling banyak dari Kabupaten Bogor (15,64%) dan paling sedikit dari Kota Sukabumi (5,90%). Hasil analisis bivariat menunjukan variabel kasus TB paru, kasus campak, jumlah penghuni rumah, dan status gizi, berhubungan bermakna dengan kejadian DBD sehingga berpeluang menjadi faktor risiko kejadian DBD. Analisis multivariat menunjukan ada interaksi antara variabel independent dalam hubungannya dengan kasus DBD. Analisis pada masing-masing kabupaten

A B S T R A C T / A B S T R A K INFO ARTIKEL

Control of dengue hemorrhagic fever (DHF) has not succeed yet in reducing the cases significantly, although the mortality rate can be reduced. The factors associated with the incidence of DHF has not been known, its lead the control was conducted by the case. This study aimed to obtain information about the variables associated with the case of DHF by conducting further analysis on Riskesdas 2007 data from Cimahi, Bandung, Sukabumi, Cirebon, Depok, Bogor, Bogor regency, Indramayu, Bandung and Bekasi (overall were 10 districts/cities).

Independent variables i.e. the number of occupants of the house, water supply all of the year, the presence of water container, nutritional status, measles cases, and pulmonary tuberculosis cases, its have been associated with the dependent variable of DHF cases. Bivariate and multivariate analyzes were performed on the data Riskesdas 2007 over all locations.

Number of samples analyzed was 29 377 people, consisting of 48.58% men and 51.42% women, mostly from Bogor Regency (15.64%) and the least amount from Sukabumi (5.90%). Results of bivariate analysis showed that variable pulmonary tuberculosis cases, measles cases, variable number of occupants of the house, and nutritional status were significantly corelated to the incidence of DHF, so likely to be risk factors of DHF. Multivariate analysis showed that there were no interaction between independent variables in relation to cases of DHF. Analysis on each district showed that the interaction between variables were occured in Bandung district and Bogor city. Estimation of DHF cases can be calculated based on the variable of pulmonary tuberculosis cases, measles cases and nutritional status.

Kata kunci : Faktor risiko kasus DBD, kasus campak, kasus TB paru, status gizi, Riskesdas 2007, Jawa Barat.

Keywords : Risk factors for DHF cases, measles cases,

c pulmonary tuberculosis cases, nutritional status, Riskesdas 2007, West Java.

Lukman Hakim*

Loka Litbang P2B2 Ciamis, Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI

(Relationship Between Transmision Factors with

Dengue Fever Dengue Cases

(Further analysis of the Riskesdas 2007 Data in West Java))

(2)

PENDAHULUAN

Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan adanya penularan virus dengue

akibat interaksi agent (virus dengue), pejamu

(host) yang rentan dan lingkungan. Faktor agent yang berpengaruh adalah serotipe dan virulensi virus dengue; faktor pejamu meliputi ke p a d a t a n d a n m o b i l i t a s p e n d u d u k , pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, kelompok umur, suku bangsa, dan kerentanan terhadap

1

penyakit. Faktor lingkungan meliputi kualitas perumahan, jarak antar rumah, keberadaan

2

genangan air dan iklim makro maupun mikro.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penularan virus dengue tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia, karena masih tergantung pada faktor lain seperti vektor capacity, virulensi virus dengue, serta

3

status kekebalan (imunitas) pejamu yang salah satunya dipengaruhi usia dan status

4

gizi. Vektor capacity dipengaruhi oleh populasi nyamuk, frekuensi gigitan nyamuk per hari (multiple bites), lamanya siklus gonotropik, umur nyamuk, lamanya inkubasi extrinsic virus dengue dan proporsi nyamuk yang menjadi infektif. Frekuensi nyamuk menggigit manusia, di antaranya dipengaruhi oleh jumlah manusia; sehingga diperkirakan nyamuk Ae. aegypti di rumah yang padat p e n gh u n i nya , l e b i h t i n g g i f re ku e n s i menggigitnya terhadap manusia dibanding di

2

rumah yang kurang padat. Imunitas pejamu terhadap penyakit infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah umur

4

dan status gizi. Penelitian di Thailand menunjukkan, anak-anak kekurangan gizi memiliki risiko lebih rendah untuk tertular virus dengue, tetapi jika tertular akan mempunyai risiko yang lebih tinggi terkena

shock bahkan kematian. Sebaliknya, anak-anak obesitas memiliki risiko lebih tinggi tertular DBD dibandingkan yang status gizi

5

normal. Laporan lain menyebutkan bahwa orang obesitas mempunyai risiko lebih tinggi mendapatkan DBD dengan komplikasi atau

6

kematian. Selain itu, telah dikonfirmasi bahwa penderita DBD dengan status gizi baik, jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan yang obesitas.7

Status gizi (nutrition status) adalah keadaan tubuh karena konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi, dibedakan antara gizi kurang, baik dan lebih yang ditentukan berdasarkan beberapa metode pengukuran, di antaranya pengukuran

anthropometry dengan mengukur berat badan

8

dan tinggi badan. Status gizi dipengaruhi oleh keseimbangan asupan dan penyerapan gizi, khususnya zat gizi makro yang berpengaruh

8

pada sistem kekebalan tubuh.

Status imunitas seseorang bisa menurun karena immunodefisiensi atau penyebab lain, salah satunya karena menderita penyakit tertentu, misalnya campak dan tuberkulosis

9

paru. Campak yang disebabkan oleh paramiksovirus, biasanya mempunyai efek l a n j u t a n , d i a n t a r a n y a t e r j a d i n y a

t ro m b o s i t o p e n i a ( p e n u r u n a n j u m l a h trombosit) sehingga penderita mudah memar dan mudah mengalami perdarahan serta malnutrisi pasca serangan campak. Faktor ini bisa menurunkan imunitas sehingga mudah

10

terkena penyakit infeksi lainnya. Sedangkan efek samping tuberkulosis paru adalah rusaknya sel makrofag dan malnutrisi sehingga juga akan menurunkan imunitas dan

11

lebih rentan terhadap penyakit infeksi.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 di Jawa Barat, menunjukkan prevalensi DBD berdasarkan diagnosis sebesar 0,22%, sedangkan berdasarkan gejala klinis sebesar

12

0,41%. Selain itu ditemukan anak dengan status gizi sangat kurus sebesar 3,6%, kategori kurus sebesar 5,4%, kategori normal sebesar 81,3% dan kategori gemuk sebesar 9,6%. Sedangkan kabupaten/kota di Jawa Barat dengan IR tinggi berada di wilayah tengah dan utara; sepuluh besar tertinggi adalah Kota Cimahi, Kota Bandung, Kota

*Alamat Korespondensi : email : lukmahak@gmail.com

menunjukkan adanya interaksi antar variabel di Kabupaten Bandung dan Kota Bogor. Perkiraan terjadinya DBD bisa dihitung berdasarkan variabel kasus TB paru, kasus campak dan status gizi.

(3)

Sukabumi, Kabupaten Cirebon, Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bandung dan Kota

13

Bekasi.

Analisis lanjut data Riskesdas 2007 ini bertujuan mengetahui hubungan beberapa faktor penularan dengan kasus DBD serta menentukan model matematika untuk menduga kejadian DBD di kabupaten/kota dengan kasus DBD Jawa Barat.

BAHAN DAN METODE

Analisis dilakukan pada data Riskesdas 2007 yang berasal dari Kota Cimahi, Kota Bandung, Kota Sukabumi, Kabupaten Cirebon, Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bandung

dan Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat. Variabel independent yang dianalisis adalah jumlah penghuni rumah, kemudahan air sepanjang tahun, keberadaan tandon air terbuka, status gizi, kasus TB paru dan kasus campak; sedangkan variabel dependent yang dianalisis adalah kasus DBD. Analisis dilakukan pada data masing-masing kabupaten/kota serta data gabungan keseluruhan.

Seluruh variabel independent dijadikan dua kategori (dikotome) yaitu kategori tidak berisiko (diberi kode 0) dan kategori berisiko (diberi kode 1). Sedangkan data variabel

dependent dibuat menjadi kategori tidak sakit DBD (kode 0) dan kategori sakit DBD (kode 1). Kode pada variabel dependent disesuaikan dengan kode variabel dependent, yaitu 0 (tidak berisiko) dan 1 (berisiko) (Tabel 1).

Tabel 1.

Nama Variabel Independent dan Jenis Kategori Berdasarkan Risiko Terkena DBD

No Nama Variabel

Kategori

Tidak Berisiko Terkena DDB

(0) Berisiko Terkena DDB (1) 1 Jumlah penghuni

rumah

TIDAK PADAT PADAT

2 Kemudahan air sepanjang tahun

TIDAK MUDAH MUDAH

3 Keberadaan tandon air terbuka

TIDAK ADA ADA

4 Status gizi NORMAL TIDAK NORMAL

5 Kasus TB paru TIDAK PERNAH PERNAH

6 Kasus campak TIDAK PERNAH PERNAH

Selanjutnya dilakukan analisis bivariat dengan chi square test untuk mengetahui ada tidaknya hubungan masing-masing variabel

1 4

independent dengan variabel dependent . S e d a n g k a n u n t u k m e n g e t a h u i v a r i a b e l independent yang paling besar hubungannya dengan variabel dependent, dilakukan analisis multivariat (regresi binary logistic) antara variabel independent yang dengan variabel dependent.

Analisis ini juga bertujuan membuat permodelan pendugaan dalam menghitung probabilitas individu (dalam %) terjadinya kasus DBD berdasarkan nilai-nilai sejumlah variabel prediktor. Model matematika untuk pendugaan p ro b a b i l i t a s ke j a d i a n eve n t , d i te n t u ka n

15

(4)

Berdasarkan jenis kelamin, sampel tediri dari 14.272 orang (48,6%) laki-laki dan 15.105 orang (51,4%) perempuan. Setelah dikelompokkan, sebanyak 2.756 orang (9,4%) berada pada kelompok umur <5 tahun dan 26.621 orang (90,6%) berada pada kelompok umur >5 tahun.

Variabel penelitian

1. Jumlah penghuni rumah

Variabel jumlah penghuni rumah dalam kategori tidak berisiko dalam kejadian DBD, paling tinggi ada di Kabupaten Bandung yaitu 51,6% dan paling rendah di Kabupaten Bogor y a i t u 2 5 , 5 % , d e n g a n r a t a - r a t a 1 0 kabupaten/kota adalah 33,0%. Sedangkan kategori berisiko, paling tinggi ada di Kabupaten Bogor yaitu 74,5% dan paling rendah di Kabupaten Bandung yaitu 48,4%, dengan rata-rata 10 kabupaten/kota adalah 67,0% (Tabel 3).

2. Kemudahan air sepanjang tahun

Variabel kemudahan air sepanjang tahun dalam kategori tidak berisiko dalam kejadian DBD, paling tinggi ada di Kabupaten Bandung yaitu 45,3% dan paling rendah di Kota Bogor y a i t u 8 , 7 % , d e n g a n r a t a - r a t a 1 0 kabupaten/kota adalah 29,5%. Sedangkan kategori berisiko, paling tinggi ada di Kota

Bogor yaitu 91,3% dan paling rendah di Kabupaten Bandung yaitu 54,7%, dengan rata-rata 10 kabupaten/kota adalah 70,5% (Tabel 3).

3. Keberadaan tandon air terbuka

Variabel keberadaan tandon air terbuka dalam kategori tidak berisiko dalam kejadian DBD, paling tinggi ada di Kota Depok yaitu 97,1% dan paling rendah di Kota Bandung y a i t u 8 5 , 9 % , d e n g a n r a t a - r a t a 1 0 kabupaten/kota adalah 93,1%. Sedangkan kategori berisiko, paling tinggi ada di Kota Bandung yaitu 14,1% dan paling rendah di Kota Depok yaitu 2,9%, dengan rata-rata 10 kabupaten/kota adalah 14,1% (Tabel 3). 4. Status gizi

Variabel status gizi dalam kategori tidak berisiko dalam kejadian DBD, paling tinggi ada di Kabupaten Bandung yaitu 53% dan paling rendah di Kabupaten Cirebon yaitu 43,5%, dengan rata-rata 10 kabupaten/kota adalah 48,4%. Sedangkan kategori berisiko, paling tinggi ada di Kabupaten Cirebon yaitu 56,5% dan paling rendah di Kota Bandung yaitu 47%, dengan rata-rata 10 kabupaten/kota adalah 51,6% (Tabel 3).

5. Kasus campak

Variabel kasus campak dalam kategori tidak HASIL

Jumlah sampel penelitian yang dianalisis adalah 29.377 orang, paling banyak berasal dari Kabupaten Bogor (15,64%), paling sedikit berasal dari Kota depok (6,64%) (Tabel 2).

Tabel 2.

Jumlah Sampel Penelitian Per Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2007

No Kab/Kota

Jenis Kelamin

Jumlah %

Laki-laki Perempuan

1 Kabupaten Bogor 2.277 2.317 4.594 15,64

2 Kabupaten Bandung 2.012 2.325 4.337 14,76

3 Kabupaten Cirebon 1.464 1.687 3.151 10,73

4 Kabupaten Indramayu 1.259 1.232 2.491 8,48

5 Kota Bogor 1.049 1.152 2.201 7,49

6 Kota Sukabumi 860 874 1.734 5,90

7 Kota Bandung 1.722 1.633 3.355 11,42

8 Kota Bekasi 1.431 1.379 2.810 9,57

9 Kota Depok 867 1.083 1.950 6,64

10 Kota Cimahi 1.331 1.423 2.754 9,37

11 Jumlah 10

Kabupaten/Kota

(5)

berisiko dalam kejadian DBD, paling tinggi ada di Kota Bekasi yaitu 99,7% dan paling rendah di Kabupaten Cirebon yaitu 96,7%, dengan rata-rata 10 kabupaten/kota adalah 98,7%. Sedangkan kategori berisiko, paling tinggi ada di Kabupaten Cirebon yaitu 3,3% dan paling rendah di Koka Bekasi yaitu 0,3%, dengan rata-rata 10 kabupaten/kota adalah 1,3% (Tabel 3).

6. Kasus TB paru

Variabel kasus TB paru dalam kategori tidak berisiko dalam kejadian DBD, paling tinggi ada di Kota Bekasi yaitu 99,8% dan paling rendah di Kabupaten Cirebon yaitu 97,8%, dengan rata-rata 10 kabupaten/kota adalah 99%.

Sedangkan kategori berisiko, paling tinggi ada di Kabupaten Cirebon yaitu 2,2% dan paling rendah di Kota Bekasi yaitu 0,2%, dengan rata-rata 10 kabupaten/kota adalah 1% (Tabel 3).

7. Kasus DBD

Variabel kasus DBD dalam kategori TIDAK SAKIT, paling tinggi ada di Kota Bekasi yaitu 99,8% dan paling rendah di Kabupaten Cirebon yaitu 98,5%, dengan rata-rata 10 kabupaten/kota adalah 99,4%. Sedangkan kategori SAKIT, paling tinggi ada di Kabupaten Cirebon yaitu 1,5% dan paling rendah di Kota Bekasi yaitu 0,2%, dengan rata-rata 10 kabupaten/kota adalah 0,6% (Tabel 3).

Tabel 3.

Prosentase Kategori Berisiko Variabel Independent dan Kategori Sakit Variabel Dependent Penelitian Per Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007

Kabupaten/Kota Variabel

1 2 3 4 5 6 7

Kabupaten Bogor 74,5 69,9 7,2 50 0,9 0,8 0,4

Kabupaten Bandung 48,4 54,7 8,6 53,7 0,8 1 0,4

Kabupaten Cirebon 69,2 66,6 3,2 56,5 3,3 2,2 1,5

Kabupaten Indramayu

52,3 69,2 4,2 54,1 1,9 1,6 0,4

Kota Bogor 72,1 91,3 6,7 49,9 1,2 1,2 0,6

Kota Sukabumi 68,6 69,8 8,5 54,4 1,8 1,2 0,5

Kota Bandung 72,2 65,6 14,1 47 1,3 0,8 0,6

Kota Bekasi 73,2 78,6 6,1 49,6 0,3 0,2 0,2

Kota Depok 50,5 81,4 2,9 51,1 0,8 0,5 0,3

Kota Cimahi 69,5 59 4,1 50,8 0,5 0,7 0,9

10 Kab/Kota 67 70,5 6,9 51,6 1,3 1 0,6

Keterangan variabel: 1 = Jumlah penghuni rumah

2 = Kemudahan air sepanjang tahun 3 = Keberadaan tandon air terbuka 4 = Status gizi

5 = Kasus campak 6 = Kasus TB paru 7 = Kasus DBD

Hubungan antar variabel independent dengan variabel dependent

Analisis bivariat antara masing-masing tujuh variabel independent dengan kasus DBD, menunjukkan di kabupaten Bogor, Kabupaten Indramayu dan Kota Bekasi tidak ada variabel independent yang signifikan berhubungan dengan variabel dependent , sedangkan di tujuh kabupaten/kota lainnya dan pada data gabungan seluruh kabupaten/kota, terdapat beberapa v a r i a b e l i n d e p e n d e n t y a n g s i g n i f i k a n berhubungan dengan variabel dependent.

Variabel kasus TB paru berhubungan dengan kasus DBD di Kabupaten Bandung (p=0,010) dan

(6)

campak (P=0,008). Di Kota Depok, analisis bivariat menghasilkan dua variabel independent yang signifikan yaitu kasus campak (p=0,038) dan kasus TB paru (p=0,023), serta status gizi (p=0,173) sebagai confounding. Di Kota Sukabumi, variabel

kasus TB paru signifikan berhubungan dengan kasus DBD (p=0,004), serta kemudahan air sepanjang tahun (p = 0,192) sebagai confounding (Tabel 4.).

Tabel 4.

P ValueHasil Analisis Bivariate Antara Variabel Independentdan Dependent

di Jawa Barat Tahun 2007

Variabel Kabupaten/Kota

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Jml penghuni rumah

.445 .573 .194 .302 .346 .425 .043 .282 .510 .392 .439

Kemudahan air sepanjang tahun

.405 .080 .561 .557 .651 .192 .273 .460 .357 .324 .442

Keberadaan tan-don air terbuka

.671 .531 .546 .322 .379 .550 .064 .358 .864 .289 .310

Status gizi .500 .348 .424 .399 .029 .608 .564 .233 .173 .307 .306

Kasus campak .852 .860 .070 .161 .000 .850 .000 .978 .038 .008 .000

Kasus TB paru .865 .001 .000 .139 .012 .004 .001 .985 .023 .827 .000

Keterangan

1 = Kab. Bogor, 2 = Kab. Bandung, 3 = Kab Cirebon, 4 = Kab Indramayu, .

Sedangkan analisis pada data di 10 kabupaten/kota, menghasilkan dua variabel yang signifikan berhubungan yaitu kasus campak (p=0,000) dan kasus TB paru (p=0,000) (Tabel 5).

Tabel 5.

Hasil Analisis Bivariate Antara Variabel Independentdan Dependentdi Jawa Barat Tahun 2007

Variabel Kategori

Kasus DBD

Total P

value

Ratio Prevalenc

e (RP) Tidak

sakit

Sakit

Jumlah Penghuni rumah

Tidak Padat 9643 56 9699 0.439

Padat 19560 118 19678

Jumlah 29203 174 29377

Kemudahan Air

Sepanjang Tahun

Tidak Mudah 8623 50 8673 0.442

Mudah 20580 124 20704

Jumlah 29203 174 29377

Keberadaan tandon air terbuka

Tidak ada 27198 160 27358 0.310

Ada 2005 14 2019

Jumlah 29203 174 29377

5 = Kota Bogor, 6 = Kota Sukabumi, 7 = Kota Bandung, 8 = Kota Bekasi,

(7)

Status gizi Normal 14123 88 14211 0.306

Tidak normal 15080 86 15166

Jumlah 29203 174 29377

Kasus campak

Tidak sakit 28853 153 29006 0.000 1.054

Sakit 350 21 371

Jumlah 29203 174 29377

Kasus TB paru

Tidak sakit 28925 153 29078 0.000 1.070

Sakit 278 21 299

Jumlah 29203 174 29377

Perkiraan kejadian demam berdarah dengue

D i h i t u n g b e rd a s a rka n h a s i l a n a l i s i s multivariate (logistic binary) beberapa variabel

independent dan confounding terhadap variabel dependent. Analisis ini dilakukan pada data yang menghasilkan lebih dari satu variabel yang signifikan berhubungan atau variabel confounding.

Analisis multivariat di Kabupaten Cirebon dengan dua variabel independent menghasilkan hanya variabel Kasus TB paru yang secara bersama-sama signifikan berhubungan dengan kejadian DBD (p=0,000), dengan demikian tidak bisa dihitung peluang terjadinya kasus DBD

Di Kota Bandung, analisis dengan empat variabel independent, menunjukkan variabel kasus campak (p=0,000) dan kasus TB paru (p=0,042) secara bersama-sama signifikan berhubungan dengan kejadian DBD (p=0,000), dengan demikian untuk menduga kasus DBD dihitung berdasarkan variabel kasus campak (p=0,000) dan kasus TB paru. Dari hasil itu diketahui, individu yang menderita sakit TB paru dan status gizi tidak normal, peluangnya untuk sakit DBD adalah adalah 38,74%, sedangkan individu yang tidak menderita sakit TB paru dan status gizi normal, peluangnya untuk sakit DBD adalah adalah 0,51%.

Di Kota Bogor, analisis dengan tiga variabel independent, menunjukan variabel status gizi (p=0,039), kasus campak (p=0,00) dan kasus TB paru (p=0,036) secara bersama-sama signifikan berhubungan dengan kejadian DBD, dengan demikian untuk menduga kasus DBD dihitung berdasarkan variabel status gizi, kasus campak dan kasus TB paru. Dari hasil itu diketahui, individu

dengan status gizi tidak normal, menderita sakit TB paru dan menderita campak, peluangnya untuk sakit DBD adalah adalah 26,77%, sedangkan individu dengan status gizi normal, tidak menderita sakit TB paru dan tidak menderita campak, peluangnya untuk sakit DBD adalah adalah 2,02%.

Analisis multivariat di Kota Cimahi dengan dua variabel independent, menghasilkan hanya variabel kasus campak yang secara bersama-sama signifikan berhubungan dengan kejadian DBD (p=0,000), dengan demikian tidak bisa dihitung peluang terjadinya kasus DBD berdasarkan variabel independent. Sedangkan di Kota Depok, analisis dengan empat variabel independent, menunjukan tidak ada variabel yang secara bersama-sama signifikan berhubungan dengan kejadian DBD, dengan demikian tidak bisa dihitung peluang terjadinya kasus DBD berdasarkan variabel independent. Sedangkan di Kota Sukabumi, analisis dengan tiga variabel independent, menghasilkan hanya variabel kasus TB paru yang secara bersama-sama signifikan berhubungan dengan kejadian DBD (p=0,000), dengan demikian tidak bisa dihitung peluang terjadinya kasus DBD berdasarkan variabel independent.

(8)

Tabel 6.

Output Analisis Multivariat Variabel Kasus Campak dan Kasus TB Paru Terhadap Kasus DBD di Jawa Barat Tahun 2007

a. Variabel(s) entered on step 1: campak, TB_Paru.

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1a Campak 2.027 .258 61.613 1 .000 7.595

TB_Paru 2.277 .259 77.279 1 .000 9.749

Constant -5.314 .084 4043.118 1 .000 .005

Dengan demikian, bentuk model untuk menduga kejadian infeksi virus dengue berdasarkan nilai variabel kasus campak dan kasus TB paru, yaitu :

P = 1

1 + 2,218 -(-5,314 + (2,027 x X1) + (2,277 x X2) dimana :

P = besarnya peluang untuk terjadinya infeksi virus dengue (dalam %) X = nilai variabel kasus campak, yaitu 0 = tidak sakit, dan 1 = sakit1

X = nilai variabel kasus TB paru, yaitu 0 = tidak sakit, dan 1 = sakit2

Selanjutnya, berdasarkan bentuk model pendugaan ini, dapat dihitung besarnya probabilitas individu untuk menderita DBD, adalah :

i. Apabila nilai variabel kasus campak dan kasus TB paru adalah 1 yang berarti semuanya positif atau berisiko terhadap infeksi virus dengue, maka peluangnya adalah :

P = 1

= 1

1 + 2,218 -(-5,314 + (2,027 x 1) + (2,277 x 1)

1 + 2,218 -(-5,314 + (4,304)

P = 1

= 1

= 0,309048

= 30,90%

1 + 2,218 1,01

1 + 2,235739

D e n ga n d e m i k i a n , i n d iv i d u ya n g menderita sakit TB paru dan menderita campak, peluangnya untuk sakit DBD adalah adalah 30,90%.

ii. Apabila nilai variabel kasus campak dan kasus TB paru adalah 1 yang berarti semuanya positif atau berisiko terhadap infeksi virus dengue, maka peluangnya adalah :

P = 1

= 1

1 + 2,218 -(-5,314 + (2,027 x 0) + (2,277 x 0)

1 + 2,218 -(-5,314 + (0)

P = 1

= 1

= 0,014299

= 1,43%

1 + 2,218 5,314

(9)

PEMBAHASAN

Analisis bivariat yang dilakukan antara tujuh variabel independent masing-masing d e n g a n v a r i a b e l d e p e n d e n t , s e c a r a keseluruhan menunjukkan empat variabel yang signifikan berhubungan, yaitu variabel kasus TB paru (di Kabupaten Bandung, Kabupaten Cirebon, Kota Bogor, Kota Depok, K o t a S u k a b u m i d a n p a d a d a t a 1 0 kabupaten/kota), variabel kasus campak (di Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Cimahi, Kota Depok dan di 10 kabupaten/kota), variabel jumlah penghuni rumah (di Kota Bandung), dan variabel status gizi (di Kota Bogor). Keempat variabel tersebut berpeluang menjadi faktor risiko kejadian DBD.

Variabel kasus campak dan kasus TB paru bisa menjadi faktor risiko kasus DBD karena berpengaruh terhadap status imunitas

seseorang (immunodefisiensi) sehingga

menjadi rentan terhadap mikroba termasuk

10

virus dengue, dengan demikian akan menjadi rentan terhadap infeksi penyakit menular termasuk infeksi DBD. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian di Jepara dan Ujung Pandang yang dilaporkan bahwa untuk terjadi infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD pada manusia, selain populasi nyamuk juga masih tergantung pada faktor lain seperti vektor capacity, virulensi virus dengue, serta

3

status kekebalan host. Jumlah penghuni rumah bisa menjadi faktor risko kejadian DBD karena variabel tersebut berpengaruh terhadap frekuensi gigitan nyamuk per hari

(multiple bites), sehingga diperkirakan nyamuk Ae. aegypti di rumah yang banyak p e n gh u n i nya , l e b i h t i n g g i f re ku e n s i menggigitnya terhadap manusia dibanding di

.2

rumah yang lebih sedikit penghuninya

Variabel status gizi bisa menjadi faktor risiko kejadian DBD karena juga bisa berpengaruh terhadap status imunitas

seseorang (immunodefisiensi) sehingga

menjadi rentan terhadap mikroba termasuk

1 0

virus dengue. Beberapa penelitian

terdahulu, juga menunjukan hasil yang sama, misalnya penelitian yang dilakukan di Vietnam dan El Salvador yang membuktikan status gizi sangat berpengaruh terhadap

5

kasus DBD khususnya pada ana-anak. Status gizi juga berpengaruh terhadap sitem

immunitas tubuh yang berfungsi membantu perbaikan DNA manusia; mencegah infeksi yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus, dan organisme lain; serta menghasilkan antibodi untuk memerangi serangan bakteri

4

dan virus asing yang masuk ke dalam tubuh.

Analisis ini menunjukan, responden yang tidak menderita sakit TB paru, tidak menderita sakit campak, tinggal di rumah dengan penghuni yang sedikit, serta memiliki status gizi baik (normal), memiliki tingkat proteksi yang lebih tinggi dibandingkan yang berada pada kelompok sebaliknya, sehingga lebih terhindar dari kasus DBD.

Selain itu, terdapat empat variabel yang menjadi variabel coumponding (p <0,25) yaitu variabel jumlah penghuni rumah (Kabupaten Cirebon), variabel keberadaan tandon air terbuka (Kota Bandung), variabel status gizi (Kota Depok), dan variabel kemudahan air sepanjang tahun (Kota Sukabumi). Kelima variabel tersebut, kalau berinteraksi dengan variabel lain, berpeluang menjadi faktor risiko kejadian DBD.

Berdasarkan analisis data, tidak di semua kabupaten kota, variabel independent signifikan berhubungan dengan kasus DBD. Di Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu dan Kota Bekasi, tidak ada satupun variabel independent yang berhubungan dengan variabel dependent, artinya ketujuh variabel yang dianalisis bukan jadi faktor risiko kejadian DBD.

(10)

berpeluang 38,74% untuk menderita DBD, sedangkan yang tidak menderita sakit TB paru dan campak, berpeluang 0,51% untuk menderita DBD. Di Kota Bogor, peluang terjadinya kasus DBD dihitung berdasarkan variabel kasus TB paru, kasus campak dan status gizi; yaitu individu yang menderita sakit TB paru, menderita campak dan status gizi tidak normal, berpeluang 26,77% untuk menderita DBD, sedangkan yang dalam keadaan sebaliknya, berpeluang 2,01% untuk m e n d e r i t a D B D . S e d a n g k a n s e c a r a keseluruhan di 10 kabupaten/kota, peluang terjadinya kasus DBD dihitung berdasarkan variabel kasus TB paru dan kasus campak; yaitu individu yang menderita sakit TB paru dan campak, berpeluang 30,90% untuk menderita DBD, sedangkan yang tidak menderita sakit TB paru dan campak, berpeluang 1,33% untuk menderita DBD. Kecilnya nilai pendugaan peluang terjadinya kasus DBD, disebabkan sedikitnya variabel yang dijadikan sebagai prediktor (dua variabel di Kota Bandung, tiga variabel di Kota Bogor, dua variabel pada data di 10 kabupaten/kota), sedangkan penularan virus dengue dan kejadian kasus DBD sangatlah komplek dengan melibatkan banyak faktor dan variabel.

KESIMPULAN

Terdapat hubungan bermakna antara status gizi dengan kejadian DBD di Kota Bogor, variabel kasus TB paru berhubungan dengan kejadian DBD di Kabupaten Bandung, Kabupaten Cirebon, Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Sukabumi, dan secara ke s e l u r u h a n d i 1 0 k a b u p a t e n / ko t a , Bandung, bisa dihitung berdasarkan status kasus campak dan status kasus TB paru; di Kota Bogor bisa dihitung berdasarkan status kasus campak, status kasus TB paru dan status gizi; sedangkan secara keseluruhan di 10 kabupaten/kota, bisa dihitung berdasarkan status kasus campak dan status kasus TB paru.

SARAN

Kelompok masyarakat dengan status gizi tidak normal, yang menderita TB paru, dan menderita campak supaya dijadikan prioritas dalam upaya pencegahan DBD. Pelaksanaan program pemberantasan DBD khususnya kegiatan pencegahan, supaya dilakukan secara terpadu dengan program perbaikan kesehatan lainnya, yaitu program perbaikan gizi, program pemberantasan TB paru, program pemberantasan campak dan program penyehatan lingkungan khususnya program perbaikan lingkungan perumahan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya penelitian analisa lanjut ini. Terutama kami sampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, Direktur Poltekes Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, serta tim manajemen data Balibangkes Kementerian Kesehatan RI.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gubler DJ. Epidemic Dengue Hemorrhagic Fever as a Public Health, Sosial and Economic Problem in Tha 21st Century. Trends Microbiol. 2002; Vol. 10: p. 100-113

2. Canyon D. Advances in Aedes aegypti Biodynamis and Vektor Capacity: Tropical Infectious and Parasitic Diseases Unit, School of Public Health and Tropical Medicine, James Cook University; 2000.

3. Lubis I. Peranan Nyamuk Aedes dan Babi Dalam Penyebaran DHF dan JE di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran. 1990; Vol. 60. 4. Aspinall R. Ageing and the Immune System in

vivo: Commentary on the 16th session of British Society for Immunology Annual Congress Harrogate December 2004. Immunity and Ageing 2005;Vol 2:5-10.) 5. Kalayanarooj S, Nimmannitya S. Guidelines for

diagnosis and management of dengue infection. Bangkok: Ministry of Public Health, Thailand; 2003.

(11)

Salvador. Am. J Trop. Med Hyg. 2010;Vol 82 (2).(pp. 324-329.

7. Nimmannitya S. Dengue hemorrhagic fever: current issues and future research. Asian-Oceanian J Pediar Child Health. 2002;Vol 1:1-20.

8. Almatsier, Sunita. Prinsip Dasal Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka utama; 2003. 9. Kumala S. 2009. Respon imun pada infeksi.

www.scribd.com/doc/ 43601512/Respon-Imun-Pada-Infeksi-1. Diakses tanggal 10 Mei 2012.

10. Suwoyo., Hardjito, K., Aisyah, S. 2010. Resiko Terjadinya Gejala Klinis Campak pada Anak Usia 1-14 Tahun dengan Status Gizi Kurang dan Sering Terjadi Infeksi Di Kota Kediri. Jurnal Penelitian Kesehatan Forikes Vol. I No. 2.

11. Zuraida. 2009. Ilmu Kesehatan Anak : T u b e r k u l o s i s p a d a a n a k . . c o m / u p l o a d s / 4 / 6 / 9 / 3 / 4 6 9 3 4 9 / T B paruc_anak.doc. Diakses tanggal 10 Mei 2012. 12. Balitbangkes. Riset Kesehatan dasar

(RISKESDAS) 2007 : Laporan nasional 2007. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2008.

13. Anonim. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat Tahun 2007. Bandung. Dinkes Prov Jawa Barat. 2008.

14. Atmaja. Populasi dan sampling. Jakarta: Binarupa Aksara; 2003.

Gambar

Tabel 1.
Tabel 2.Jumlah Sampel Penelitian Per Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2007
Tabel 3.
Tabel 5.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Diagram menu ini menggambarkan menu awal pada aplikasi dimana saat pertama kali user membuka aplikasi, maka aplikasi akan menampilkan opening atau pembuka dengan

untuk menjaga kualitas barang dan meningkatkan performance kerja, Engineering Process melakukan improvement (Pengembangan) pada station welding di lini assembly serta

Hasil sampel menunjukkan bahwa tidak ada indikasi manajemen laba sebelum merger dan akuisisi yang dilakukan dengan income increasing accruals.. Selanjutnya kinerja keuangan

Agar lebih jelas dan lebih spesifik tentang apa tepatnya yang dilakukan, kapan, dimana dan bagaimana, maka perlu kita ajukan pertanyaan sebagai berikut : “Bekerja sama

Adapun kendala yang sering dihadapi pengguna dalam memanfaatkan koleksi putusan pengadilan pada perpustakaan PTUN adalah terdapat kesulitan dalam proses pencarian informasi

Kesimpulan dari penelitian ini adalah pasien pasca stroke iskemik yang tidak bekerja kembali pasca serangan stroke dan jenis caregivers bukan pasangan berisiko untuk

Meskipun demikian, dapat diyakini bahwa, lembaga bisnis atau perusahaan yang sahamnya telah masuk dalam JII tentunya dalam melakukan pengungkapan CSR yang

Hasil penelitian ini sebagai berikut : profil kemampuan pemecahan masalah matematis subyek dengan gaya kognitif reflektif sudah memenuhi ciri kognitif reflektif dan tahapan